• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH UMUR PANEN TERHADAP HASIL DAN KUALITAS BENIHTIGA VARIETAS KEDELAI (Glycine Max (L) Merill) Mahasiswa Prodi Agronomi Pascasarjana UNS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH UMUR PANEN TERHADAP HASIL DAN KUALITAS BENIHTIGA VARIETAS KEDELAI (Glycine Max (L) Merill) Mahasiswa Prodi Agronomi Pascasarjana UNS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

22

PENGARUH UMUR PANEN TERHADAP HASIL DAN KUALITAS BENIHTIGA VARIETAS KEDELAI (Glycine Max (L) Merill)

Endang Tri Sulistyowati1, Djoko Purnomo2, Bambang Pujiasmanto3, Supriyono4 1 Mahasiswa Prodi Agronomi Pascasarjana UNS

2 Dosen Pembimbing I Prodi Agronomi Pascasarjana UNS 3 Dosen Pembimbing II Prodi Agronomi Pascasarjana UNS

3 Dosen Prodi Agronomi Pascasarjana UNS ( e-mail: End_lies@yahoo.com )

ABSTRAK. Peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan antara lain dengan memilih varietas dengan melakukan pemanenan pada umur tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan saat panen varietas Grobogan, Argomulyo dan Anjasmoro terhadap hasil polong dan biji, juga untuk mempelajari kualitas biji varietas Grobogan,Argomulyo dan Anjasmoro saat panen. Disamping itu juga untuk menentukan umur panen optimum dalam menghasilkan benih berkualitas tinggi.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dua faktor, varietas sebagai faktor I dan umur panen sebagai faktor II dengan 3 kali ulangan. Ada 3 varietas yaitu: varietas Grobogan (V1), varietas Argomulyo (V2) dan varietas Anjasmoro (V3) dan 4 aras umur panen, yaitu: 5 hari sebelum umur panen dasar (P1), umur panen dasar (P2), 5 hari setelah umur panen dasar (P3) dan 10 hari setelah umur panen dasar (P4).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah polong bernas varietas Grobogan tidak berbeda nyata antar umur panen, sedang varietas Argomulyo mencapai polong tertinggi pada umur panen baku dan berbeda nyata antar umur panen, sedang varietas Anjasmoro juga tidak berbeda nyata antar umur. Untuk hasil biji varietas Grobogan dan Argomulyo tidak berbeda nyata antar umur panen, sedang varietas Anjasmoro hasil tanaman tertinggi dicapai oleh tanaman yang dipanen pada umur baku. Semua varietas menunjukkan panen yang dilakukan sesudah panen baku meningkatkan polong hampa. Biji ketiga varietas mencapai daya kecambah tinggi (> 85%), tidak terpengaruh oleh umur panen. Sedangkan kecepatan berkecambah ketiga varietas berturut-turut 6,7;7,7;8,7 hari. Biji ketiga varietas pada ketiga umur panen (5 hari sebelum, saat panen baku, serta 5 atau 10 hari setelah panen baku dapat digunakan sebagai bahan tanam

Kata kunci : umur panen, varietas, produksi kedelai (Glycine Max (L) Merr) PENDAHULUAN

Secara ekonomi, pengembangan

agribisnis benih kedelai di Indonesia memiliki prospek yang cerah dan menarik jika budidaya (teknologi on

farm) dapat meningkatkan produktivitas

secara nyata. Peluang pasar domestik

kedelai masih terbuka lebar dan

kebutuhan akan komoditas ini terus

meningkat. Usaha-usaha peningkatan produksi kedelai perlu terus dipacu, namun fakta menunjukkan laju produksi kedelai nasional masih belum mampu mengimbangi kebutuhan konsumsi. Salah satu usaha peningkatan produksi adalah penyediaan bibi atau benih yang bermutu tinggi. Biji bermutu tinggi sebagai bahan tanam adalah biji berasal dari saat panen

(2)

23 yang tepat. Tanaman kedelai yang terdiri atas berbagai varietas memiliki per-bedaan umur panen. Varietas Grobogan, Argomulyo, dan Anjasmoro sebagai varietas unggul memerlukan ketersediaan benih yang kontinyu. Umur panen ketiga varietas tersebut dalam menentukan kualitas biji sebagai bahan tanam perlu dipelajari, sehingga diperoleh pedoman

panen terutama pada pertanaman

penyedia benih.

Kedelai (Glycine Max (L) Merill)

merupakan salah satu komoditas

tanaman pangan yang penting di Indonesia. Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya, sejalan

dengan meningkatnya pertumbuhan

penduduk dan berkembangnya pabrik ternak. Komoditas per kapita kedelai saat ini ± 8 kg/kapita/tahun. Diperkirakan setiap tahunnya kebutuhan akan biji kedelai adalah ± 1,8 juta ton dan bungkil kedelai sebesar ± 1,1 juta ton (Deptan, 2006).

Tanaman kedelai pada umumnya ditanam di lahan sawah pada awal musim kemarau setelah tanam padi, dan di tegalan pada awal musim penghujan. Berdasarkan hasil rata-rata nasional, pertanaman kedelai musim kemarau memberikan hasil yang lebih tinggi dibanding hasil musim penghujan. Hal ini disebabkan karena faktor iklim, terutama radiasi matahari (Baharsyah et al., 1985

cit. Islami, 1988). Sebagai perbandingan

dikemukakan pula hasil penelitian kedelai pada musim kemarau dengan

pengairan yang cukup dapat meng-hasilkan rata-rata 1,9 ton tiap hektar, sedangkan hasil pada musim penghujan pada lokasi yang sama hanya meng-hasilkan 0,6 ton tiap hektar; bahkan sering terjadi kegagalan, dan juga kualitas biji kurang baik, sehingga tidak dapat digunakan sebagai benih. Hal ini

mengakibatkan kesulitan dalam

penyediaan benih pada musim

berikutnya.

Menurut Irawan AW (2006) tanaman kedelai sangat peka terhadap perubahan panjang hari atau lama penyinaran sinar matahari, karena kedelai termasuk tanaman hari pendek. Oleh karena itu bila varietas yang berproduksi tinggi dari daerah tropik dengan rata-rata panjang hari 14-16 jam ditanam di daerah subtropik dengan rata-rata panjang hari 12 jam, maka varietas tersebut akan mengalami penurunan produksi karena masa berbunganya menjadi pendek, yaitu dari umur 50-60 hari menjadi 35-45 hari setelah tanam. Selain itu batang tanaman pun menjadi lebih pendek dengan ukuran buku subur juga lebih pendek.

Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine Max (L) Merill, dengan klasifikasi (Adisarwanto, 2005):

Divisio: Spermatophyta, Classis:

(3)

24 Leguminoceae, Genus: Glycine, Species:

Glycine max Merr L.

Sejak masa Pemerintah Hindia Belanda petani Indonesia telah memiliki pengetahuan bahwa penggunaan benih yang baik akan menunjang dalam peningkatan hasil, baik kualitas maupun kuantitas. Petani telah melakukan seleksi biji yang akan digunakan sebagai bahan

tanaman (benih) selanjutnya

(Kartasapoetra, 2003). Secara tradisional pemilihan benih dilakukan pada waktu pemungutan hasil (panen), antara lain untuk benih padi, kacang-kacangan, sayuran, buah-buahan, kopi, tembakau, cengkeh, kakao dan yang lain. Sejak awal petani beranggapan bahwa benih yang berasal dari tanaman yang baik akan menjadi benih (bibit) yang baik pula. Faktor lain kurang diperhatikan, sehingga kualitas genetik, fisik dan fisiologi belum diabaikan.

Kualitas genetik benih adalah tidak terkontaminasi biji tanaman atau varietas lain. Kualitas fisik benih ialah benih bersih dari: kotoran fisik seperti

potongan organ tanaman yang

bersangkutan atau tanaman lain, batu-batuan atau tanah, benih pecah, rusak, dan lain-lain. Ini memerlukan fasilitas pengolahan benih yang memadai dan tenaga cakap serta jujur. Kualitas fisiologi ditentukan oleh tingkat viabilitas yang meliputi daya kecambah dan vigor benih yang dapat dicapai apabila biji

telah mencapai masak fisiologi

(Kartasapoetra, 2003). Salah satu faktor

penentu kualitas dan hasil benih yang lain ialah faktor kemasakan biji. Faktor kemasan biji dibagi menjadi dua, yaitu tanda visual dan tinjauan fisiologi.

Selain adanya kemasan biji juga

terdapat benih merupakan bagian

tanaman, terutama biji yang digunakan untuk tujuan pertanian (memiliki fungsi agronomis), dimaksudkan sebagai bahan tanaman (Sajad et al.,1975; Undang-Undang Perbenihan, 1992). Berdasar

berbagai pendapat tentang benih

berkualitas memiliki taraf kemurnian tinggi (genetik), tidak rusak (fisik), bebas dari kontaminan gulma, hama, dan penyakit, dan potensi fisiologi tinggi, antara lain daya tumbuh lebih dari 90%, viabel (mampu berkecambah dan tumbuh menjadi bibit yang normal dan dapat menghasilkan), sesuai dengan nama varietas. Namun demikian sifat yang ideal seperti tersebut jarang terjadi, sehingga perlu penetapan standar mutu minimum (Gunaeni et al., 2013).

Varietas Kedelai adalah dimana tanaman itu mencapai hasil tinggi bila menggunakan varietas berpotensi hasil tinggi dan mampu beradaptasi pada suatu lingkungan. Varietas Grobogan, Argomulyo, dan Anjasmoro adalah varietas unggul (Balitkabi, 2009) dengan karakter (1) Varietas Grobogan: toleran terhadap penyakit karat daun, hasil rata-rata 2,77 ton/ha biji kering, kandungan lemak sekitar 18,4%, Kandungan sekitar 43,9 % bobot 100 biji sekitar 18 g, polong masak sekitar 76 hari, mulai berbunga

(4)

25

sekitar 30–32 hari, tipe tumbuh

determinate, tinggi tanaman 50 sampai 60 cm Polong masak tidak mudah pecah, Beradaptasi baik pada beberapa kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda cukup besar, pada musim hujan dan daerah beririgasi baik, (2) Varietas Argomulyo: toleran terhadap karat daun, hasil rata-rata 1,5-2 ton/ha biji kering, kandungan lemak sekitar 20,8% ,kandungan protein sekitar 39,4 %, bobot 100 biji sekitar16 g, polong masak sekitar 82 hari, mulai berbunga sekitar 35 hari, tipe tumbuh determinate, tinggi tanaman 40 cm, polong tidak mudah pecah,(3) Varietas Anjasmoro: moderat terhadap karat daun, hasil rata-rata 2,25 ton/ha biji kering, kandungan lemak sekitar 17,2– 18,6 %, kandungan protein sekitar41,8– 42,1 %, bobot 100 biji sekitar 14,8–15,3 g, polong masak sekitar 93 hari, mulai berbunga sekitar 39 hari, tipe tumbuh determinate, tinggi tanaman 64–68 cm , polong tidak mudah pecah.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di lahan SMK Negeri 1 Mojosongo dengan jenis tanah regosol, pada bulan Februari sampai dengan Mei 2011, bertepatan dengan awal musim kemarau. Tempat ini terletak pada 07° 32″ 25,5″ Lintang Selatan dan 110º 36′ 43,8″ Bujur Timur. Tinggi tempat 384 m dari permukaan laut (dpl) dengan curah hujan rata-rata per tahun 3082 mm.

Bahan Penelitian meliputi 3 benih kedelai (Grobogan, Argomulyo dan Anjasmoro) yang berasal dari Kebun Benih Ngale, Ngawi, pupuk Urea, SP-36, dan KCl. Adapun alat yang digunakan meliputi: alat pengolahan tanah, alat tanam, alat ukur, alat panen, timbangan dan oven.

Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) factorial (3 x 4) diatur dengan Petak Terpisah (Split Plot), terdiri atas macam varietas sebagai petak

utama yaitu: V1 (Grobogan), V2

(Argomulyo) dan V3 (Anjasmoro).

Umur panen berdasar diskripsi varietas Grobogan, Argomulyo, dan Anjasmoro masing-masing adalah 76, 83, dan 93 hari setelah tanam (hst) dan perlakuannya adalah: P1: 5 hari sebelum umur panen, P2: Umur panen sesuai diskripsi, P3: 5 hari setelah umur panen, dan P4: 10 hari setelah umur panen

Berdasar perlakuan macam varietas dan taraf panen diperoleh kombinasi perlakuan V1P1: Varietas Grobogan dipanen umur 71 hst, V2P1: Varietas Argomulyo dipanen umur 78 hst, V3P1: Varietas Anjasmoro dipanen umur 88 hst, V1P2: Varietas Grobogan dipanen umur 76 hst, V2P2: Varietas Argomulyo dipanen umur 83 hst, V3P2: Varietas Anjasmoro dipanen umur 93 hst V1P3: Varietas Grobogan dipanen umur 81 hst, V2P3: Varietas Argomulyo dipanen umur 88 hst, V1P4: Varietas Grobogan dipanen umur 86 hst, V2P4: Varietas Argomulyo

(5)

26 dipanen umur 93 hst, V3P4: Varietas Anjasmoro dipanen umur 98 hst.

Setiap kombinasi perlakuan diulang 3 kali sehingga diperoleh 36 petak sebagai satuan percobaan. Kedelai ditanam berjarak 30 x 20 cm dalam petak berukuran 2,4 x 3 m, jarak antar petak 30 cm, sedangkan antar blok berjarak 60

cm. Pengujian hasil benih di

Laboratorium terhadap indeks vigor dan daya kecambah. Dalam pengujian ini digunakan rancangan acak lengkap. Tiap perlakuan diulang 4 kali tiap ulangan terdiri dari 100 benih.

Data penelitian diperoleh melalui

pengamatan destruktif dan non

destruktif.

1. Pengamatan destruktif dilakukan dengan interval 20 hari sekali,

terhadap tanaman sampel (10

tanaman setiap petak) tentang: a. Biomasa akar

b. Biomasa batang c. Jumlah cabang primer

2. Pengamatan non destruktif dilakukan saat panen untuk mengetahui masak fisiologi setiap varietas berdasarkan: a. bobot biji segar

b. bobot biji kering oven c. volume biji segar

Setiap varietas diamati mulai 5 hari sebelum umur panen berdasar diskripsi sampai 5 hari dan selanjutnya dengan interval pengamatan 5 hari. Biji diambil dari polong tanaman sampel bagian bawah, tengan, dan pucuk yang sudah tua (sudah kering dan tidak lembek).

Setiap pengamatan pada polong dari 5 tanaman sampel selama 3 kali, sehingga diperlukan 5 x 3 = 15 tanaman sampel.

Varietas Grobogan diamati mulai umur 71 hari sampai 81 hari, varietas Argomulyo dimulai umur 77 hari sampai 87 hari, dan varietas Anjasmoro mulai umur 88 hari sampai 98 hari. Volume dan bobot biji saat panen, bobot kering oven dan volume biji kering oven, didapat dengan cara sebagai berikut: volume biji diukur setelah penimbangan bobot segar dan kering oven, menggunakan gelas ukur volume 100 ml berskala 1 mm.

Selain tersebut diatas juga

dilakukan pengamatan faktor produksi pada petak sampel dengan 10 tanaman sebagai sampel secara acak pada waktu panen, meliputi:

a. Jumlah polong (polong hampa dan polong isi

b. Bobot biji kering simpan (kadar air 10%), bobot benih tiap petak dan persentase benih baik

c. Kadar air biji diukur dengan moistur

tester saat biji pada ditimbang.

Penentuan bobot biji pada kadar air 10% ditentukan denga rumus atau perhitungan sebagai berikut:

Benih dengan bobot A kg pada kadar air a% menjadi B kg pada kadar air b%. Bobot kering oven benih tersebut adalah:

(6)

27 Maka

Jika benih dengan bobot A kg berkadar air a%, maka jika kadar air b% maka bobotnya:

Pengujian Kualitas Benih:

Daya tumbuh benih. Biji setiap umur panen berjumlah 100 diulang 4 kali dikecambahkan untuk mengetahui daya tumbuh dengan menggunakan rumus (Sutopo, 1985):

Kecepatan berkecambah, untuk

mengetahui kemampuan biji untuk menghasilkan tanaman dihitung dengan rumus indeks vigor yaitu:

Keterangan: IV = Indeks Vigor

G = Jumlah biji yang berkecambah pada hari tertentu

D = Waktu yang sesuai dengan jumlah kecambah tersebut

n = Jumlah hari pada perhitungan terakhir (Sutopo, 1985)

Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisia varian taraf 5 % dan dilanjutkan dengan uji beda Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Bobot Segar Brangkasan

Tumbuhan semakin besar dan tinggi

sejak dari perkecambahan secara

kuantitatif tercermin dalam bobot segar brangkasan. Bobot brangkasan mencapai

maksimum saat laju pertumbuhan

mencapai konstan kemudian semakin turun karena kehilangan air saat mulai menua. Interaksi terjadi antara varietas dan umur panen yang menunjukkan bobot segar brangkasan semua varietas masih relatif tinggi saat 5 hari sebelum masa panen berdasar diskripsi (panen baku). Saat masa panen baku bobot segar brangkasan semakin rendah, namun pada varietas Argomulyo penurunan bobot segar brangkasan tidak nyata (209 menjadi 189 g). Pada varietas Grobogan bobot segar brangkasan justru meningkat saat panen baku (129 menjadi 152 g, tidak berbeda nyata). Varietas Anjasmoro yang mengalami penurunan paling besar bobot segar brangkasan (dari 181 menjadi 45 g, berbeda nyata) saat 5 hari sebelum dan panen baku (Gambar 1). Semua varietas saat 5 dan 10 hari setelah panen baku, bobot segar brangkasan turun antara 45 hingga 56 g, hanya Grobogan yang masih relatif tinggi (85,2 g). Ini berarti ketiga varietas memiliki perbedaan kehilangan air saat panen. Berdasar diskripsi, Grobogan, Argomulyo, dan Anjasmoro masing-masing panen umur 76, 83, dan 93 hst, berarti varietas

berumur panjang kehilangan air

(7)

28 besar. Berat segar secara keseluruhan merupakan cerminan morfologi akar, batang, cabang, dan daun. Selanjutnya dari cabang kedelai terbentuk bunga

kemudian membentuk polong.

Keberhasilan penyerbukan tercermin dalam pembentukan polong (jumlah polong). (Tabel 1) Umur Panen Varietas t-5 t 0 t+5 t+10 Rerata Grobogan 129.21 c 152.25 C 85.19 d 50.05 e 104.17 b Argomulyo 208.93 a 198.87 Ab 64.06 de 56.33 e 132.05 a Anjasmoro 181.02 b 45.25 E 49.15 e 50.83 e 81.56 c Rerata 173.05 a 132.12 B 66.13 c 52.40 c 105.93 + Keterangan:

Angka diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan 5%

2. Jumlah Polong Bernas

Jumlah polong mengisaratkan

keberhasilan penyerbukan setiap bunga yang terbentuk. Setelah pembentukan polong terjadi proses pengisian polong

atau pembentukan biji. Proses

pembentukan biji menghasilkan polong bernas bila tidak terganggu dan polong hampa bila terkendala. Pada varietas Grobogan jumlah polong bernas tidak menunjukkan perbedaan yang berarti baik di panen umur 5 hari sebelum panen baku, 5 dan 10 hari sesudah serta saat panen baku. Jumlah polong bernas varietas Argomulyo masih rendah saat 5 hari sebelum panen baku (hanya 22) kemudian meningkat tajam saat panen baku (93,3), kemudian juga berkurang bila dipanen 5 dan 10 hari setelah panen baku, namun masih lebih tinggi bila dibanding jumlah polong bernas 5 hari

sebelum panen baku. Sedangkan varietas

Anjasmoro jumlah polong bernas

tertinggi saat panen umur 5 hari sebelum panen baku (73,3) namun tidak berbeda nyata dengan saat panen yang lain (Gambar 2). Meskipun tidak berbeda nyata selisih sekitar 20 hingga 30 polong per tanaman akan menentukan produksi per satuan luas. (Tabel 2)

Umur Panen Varietas t-5 t 0 t+5 t+10 Rerata Grobogan 62,00 b 69,67 Ab 61,33 b 70,00 ab 65,75 Argomulyo 22,00 c 93,33 A 55,33 b 43,00 bc 53,42 Anjasmoro 73,33 ab 45,67 Bc 57,67 b 34,67 bc 52,83 Rerata 52,44 69,56 58,11 49,22 57,33 Keterangan:

Angka diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan 5%

3. Jumlah Polong Hampa

Seperti penjelasan di atas bahwa kegagalan pembentukan biji oleh suatu gangguan menghasilkan polong hampa. Varietas Grobogan memiliki polong hampa yang hampir sama (sekitar 8-13 polong) saat dipanen umur 5 hari sebelum hingga 10 hari setelah umur panen baku. Polong hampa pada varietas Argomulyo dan Anjasmoro, menunjuk-kan bahwa dua varietas tersebut

mempunyai tanggapan yang sama

terhadap umur panen. Jumlah polong hampa semakin besar bila semakin lambat panen. Panen 5 hari sebelum dan saat panen baku jumlah polong hampa masing-masing hanya berkisar 6,7-14,3, namun saat panen 5 dan 10 hari setelah saat panen baku menjadi 22,7-25,7. Pola ini yang mengakibatkan polong bernas

(8)

29 varietas Argomulyo dan Anjasmoro turun saat panen 5 dan 10 hari setelah saat panen baku. (Tabel 3)

Umur Panen Varietas t-5 t 0 t+5 t+10 Rerata Grobogan 9,67 B 8,33 B 9,33 b 14,00 b 10,33 b Argomuly o 6,67 b 7,33 B 25,67 a 25,67 a 16,33 a Anjasmor o 11,00 b 14,33 B 26,00 a 22,67 a 18,50 a Rerata 9,11 b 10,00 B 20,33 a 20,78 a 15,06 + Keterangan:

Angka diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan 5%

4. Bobot polong kering

Biji merupakan keberhasilan pengisian polong berasal dari remobilisasi asimilat dari bagian vegetatif (akar, batang, cabang, dan daun). Saat panen polong telah menjadi kering, demikian pula biji.

Setelah beberapa jam dikeringkan

dibawah sinar matahari kemudian

ditimbang menghasilkan bobot polong kering sebagai gambaran hasil tanaman saat disimpan. Bobot polong kering varietas Grobogan paling rendah diantara dua varietas lain, hanya berkisar 17 hingga 26 g setiap tanaman pada saat panen baku dan saat panen 5 hari sebelum dan sesudah panen baku. Bobot polong kering varietas Grobogan paling tinggi (43,2 g per tanaman) saat panen 10 hari setelah panen baku. Pada varietas Argomulyo, bobot polong kering hampir tidak terjadi perubahan saat panen sebelum maupun sesudah panen baku (berkisar 42-46,5 g per tanaman). Varietas Anjasmoro memiliki bobot polong kering paling tinggi dibanding varietas lain saat panen 5 hari sebelum

panen baku (136,7), namun menjadi rendah saat panen di umur panen baku, 5 dan 10 hari setelah panen baku (22-40 g per tanaman) (Tabel 4)

Umur Panen Varietas t-5 t 0 t+5 t+10 Rerata Grobogan 24.76 ba 25.16 Ba 25.68 a 24.44 ba 25.01 a Argomulyo 19.76 cde 21.74 Bcd 19.64 cde 19.01 de 20.04 b Anjasmoro 19.15 de 11.20 F 23.20 abc 17.77 e 17.83 c Rerata 21.23 b 19.37 C 22.84 a 20.41 bc 20.96 + Keterangan:

Angka diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan 5%

5. Bobot 100 biji

Bobot 100 biji menggambarkan kualitas biji yang menggambarkan kandungan endosperm atau besar biji. Dalam diskripsi kedelai varietas unggul, bobot 100 biji sebagai salah satu karakter penting (Depatemen Pertanian, 2008). Bobot 100 biji varietas Grobogan berkisar antara 14,5 hingga 16,5 g, berarti lebih rendah daripada diskripsi (18 g). Demikian pula berat 100 biji varietas

Argomulyo, hanya 13-14 g yang

seharusnya 16 g. Varietas Anjasmoro, bobot 100 biji mencapai 13,2-14,7 g yang berarti tidak terpaut jauh dengan diskripsi (14,8-15,3 g), namun saat panen umur baku bobot 100 biji hanya mencapai 10,5 g. Bobot 100 biji lebih rendah daripada diskripsi dapat terjadi karena kompetisi antara bagian vegetatif dan generatif (Sitompul dan Guritno, 1995). Oleh karena itu berat segar brangkasan, bobot polong kering, dan bobot 100 biji dapat dinyatakan tidak

(9)

30

berkorelasi. Bobot polong kering

seharusnya ikut menentukan produksi biji. (Tabel 5) Umur Panen Varietas t-5 t 0 t+5 t+10 Rerata Grobogan 14.52 bc 15.78 Ab 16.54 a 14.98 abc 15.46 a Argomulyo 13.91 bc 14.27 Bc 13.53 c 13.11 c 13.71 b Anjasmoro 13.85 bc 10.52 D 14.68 abc 13.24 c 13.07 c Rerata 14.09 b 13.52 B 14.92 a 13.78 b 14.08 Keterangan:

Angka diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan 5%

6. Hasil Biji

Produksi kedelai utama adalah biji yang dinyatakan dalam satuan bobot biji per satuan luas. Bobot biji satu tanaman dapat digunakan untuk menghitung potensi produksi tanaman dalam satu musim tanam. Bobot biji varietas

Grobogan dan Argomulyo tidak

menunjukkan perbedaan yang berarti saat tanaman dipanen pada umur panen baku, 5 hari sebelum dan sesudah serta 10 hari setelah umur panen baku (masing-masing mencapai 24,4-25,7 g dan 19-21,7 per tanaman). Sedangkan varietas Anjasmoro mencapai saat panen umur baku malah mencapai hasil paling rendah (11,2 g per tanaman). Saat panen 5 hari sebelum dan 10 hari sesudah umur panen baku mencapai varietas Grobogan mencapai 17,8-19,1 g per tanaman dan paling tinggi saat panen 5 hari sesudah umur panen baku (23,2 g per tanaman).

Dapat disimpulkan bahwa varietas

Grobogan mencapai hasil paling tinggi, Argomulyo lebih rendah, kedua varietas mencapai hasil hampir sama saat panen 5

hari sebelu hingga 10 hari setelah umur panen baku. Sementara itu varietas Anjasmoro mencapai hasil optimum saat panen 5 hari sesudah umur panen baku. (Tabel 6)

Umur Panen

Varietas t-5 t 0 t+5 t+10 Rerata

Grobogan 24.76 ba 25.16 Ba 25.68 a 24.44 ba 25.01 a Argomulyo 19.76 cde 21.74 Bcd 19.64 cde 19.01 de 20.04 b Anjasmoro 19.15 de 11.20 F 23.20 abc 17.77 e 17.83 c Rerata 21.23 b 19.37 C 22.84 a 20.41 bc 20.96 + Keterangan:

Angka diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan 5%

7. Daya Tumbuh Biji

Daya tumbuh biji kedelai diukur dari jumlah biji relatif yang berkecambah dari

sejumlah biji yang dikecambahkan

(dinamakan daya kecambah). Sesuai tujuan semula bahwa umur panen sangat

berperan dalam mutu biji yang

digunakan sebagai bahan tanam (benih). Daya kecambah biji mencerminkan biji

akan berkecambah bila ditanam,

kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Semakin tinggi daya kecambah biji semakin berkualitas sebagai bahan tanam

dan semakin sedikit biji yang

duperlukan. Pada percobaan ini tampak bahwa semua varietas kedelai memiliki daya kecambah yang sangat tinggi (> 85% hingga hampir 90%) baik biji berasal dari panen 5 hari sebelum, saat panen baku, 5 dan 10 hari setelah umur panen baku (Tabel 7).

(10)

31

Umur Panen

Varietas t-5 t 0 t+5 t+10 Rerata

Grobogan 88.50 abc 87.50 Bcde 88.13 abcd 85.03 f 87.29 Argomulyo 86.43 def 87.53 Bcde 87.53 bcde 86.73 cdef 87.06 Anjasmoro 87.40 bcde 86.13 Ef 88.57 a 89.60 a 87.93 Rerata 87.44 87.06 88.08 87.12 87.43 (+) Keterangan:

Angka diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan 5%

8. Kecepatan Berkecambah

Kecepatan berkecambah menunjukkan keserempakan biji tumbuh di lapangan

sehingga memudahkan pengelolaan

tanaman. Ketiga varietas menunjukkan tanggapan yang sama terhadap umur panen pada kecepatan berkecambah biji (Gambar 8). Biji varietas Grobogan memiliki kecepatan berkecambah paling rendah yang berarti berkecambah paling cepat (sekitar 6,7 hari) kemudian varietas Argomulyo 7,7 hari, paling lambat berkecambah biji varietas Anjasmoro (8,7 hari) (Tabel 8).

Keterangan:

Angka diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan 5%

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan hasil

penelitian dapat ditarik kesimpulan: 1. Jumlah polong bernas kedelai varietas

Grobogan mencapai 60-70 tidak berbeda nyata baik di panen umur 5

hari sebelum panen baku, 5 dan 10 hari sesudah serta saat panen baku (76 hari). Varietas Argomulyo, jumlah polong bernas rendah (22) saat 5 hari sebelum panen baku, saat panen baku (83 hari) menjadi 93,3, saat panen 5 dan 10 hari setelah panen baku mencapai 43-55. Sedangkan varietas Anjasmoro jumlah polong bernas tertinggi (73,3) saat panen umur 5 hari sebelum panen baku, tidak berbeda nyata dengan saat panen yang lain (panen baku 93 hari)

2. Hasil biji varietas Grobogan dan Argomulyo tidak berbeda nyata antar umur panen, varietas Anjasmoro hasil tertinggi oleh tanaman dipanen pada umur baku

3. Semua varietas menunjukkan panen yang dilakukan sesudah panen baku meningkatkan polong hampa

4. Biji varietas Grobogan, Argomulyo,

dan Anjasmoro mencapai daya

kecambah tinggi (> 85%), tidak

terpengaruh oleh umur panen.

Kecepatan berkecambah ketiga

varietas tersebut berturut-turut 6,7, 7,7, 8,7 hari

5. Biji ketiga varietas tersebut baik berasal dari panen 5 hari sebelum dan saat panen baku, serta 5 atau 10 hari setelah panen baku dapat digunakan sebagai bahan tanam.

B. Saran

Budidaya kedelai hendaknya sangat memperhatikan umur panen berdasar diskripsi atau umur panen baku dalam

Umur Panen Varietas t-5 t 0 t+5 t+10 Rerata Grobogan 6.67 b 6.67 B 7.33 b 6.67 b 6.83 c Argomulyo 7.67 ab 7.67 Ab 7.67 ab 8.67 a 7.92 b Anjasmoro 8.67 a 8.67 A 8.67 a 7.67 ab 8.42 a Rerata 7.67 7.67 7.89 7.67 7.72

(11)

32 menyesuaikan dengan ketersediaan air. Berdasarkan ketersediaan air budidaya kedelai hendaknya menggunakan varietas Grobogan bila air kurang tersedia,

Argomulyo bila air cukup, dan

Anjasmoro bila air tersedia lebih dari cukup.

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantoro A., D. Fardias, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S.

Budiyanto. 1989. Petunjuk

Laboratorium Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.

Anonim. 1992. Teknologi Benih. PT Rineka Cipta. Jakarta.

AdisarwantoT. 2005. Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Anonim, 2007. Varietas Unggul Utama Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Balitbang Perttanian,Pusat Litbang Tanaman Pangan, Balai Penelitian

Tanaman Kacang-kacangan dan

Umbi-umbian. Malang. 34p

Abidin, Z. 1991. Ilmu Tanaman. Angkasa. Bandung.

Statistik Indonesia. 1993.Statistical Year

Book of Indonesia. Biro Pusat

Statistik. Indonesia.

Islami T. 1988. Pengaruh Saat Tanam Terhadap Kemasakan, Produksi dan Kualitas Biji Kedelai Musim Hujan pada kedelai varietas Wilis.Tesis

Fakultas Pasca Sarjana UGM

Yogyakarta 1988. Tidak

dipublikasikan.

Balitkabi. 2009. Teknologi Produksi Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Ubi Kayu, dan Ubi Jalar. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Badan

Penelitian dan Pengembangan

Pertanian.

Caldwell B.E. 1973. Soybean

Improvement, Production and Use. In 16 series Agronomi, American

Assosiation of Agronomy in

Published Madison, Wisconsin. USA.

Departemen Pertanian. 2006. Usaha Pengembangan Kedelai.

Http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/t an/tp2006/lpkkedelai2.htm

Departemen Pertanian. 2006. Diskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918-2008. Deptan RI. Jakarta.

Damardjati D., S. Marwoto, D. K. S. Swastika, D. M. Arsyad, dan Y. Hilman. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai.

Badan Litbang Pertanian,

Departemen Pertanian. Jakarta Danusastro H. 1977. Fisiologi Lewat

Panen. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Gardner F., P. R. Pearce, and R. L. Mitchell. 1985. Physiology of crop Plant (Fisiologi Tanaman Budidaya). Terjemahan oleh Herwati Susilo dan Subiyanto. 1991. UI-Press.

Hebletwaite P. D. 1980. Seed Production. Butterworths London - Boston- Sydney - Wellington - Durban - Toronto.

Islami T. 1988. Pengaruh Saat Tanam Terhadap Kemasakan, Produksi, dan Kualitas Biji Kedelai Musim Hujan Pada Kedelai Varietas Wilis. Tesis.

Fakultas Pasca Sarjana UGM

Yogyakarta. 1988. Tidak

dipublikasikan.

Kartasapoetra A. G. 2003. Teknologi

Benih. Pengolahan Benih dan

Tuntunan Praktikum PT Rineka Cipta

Obendrof R. I., E. N. Ashwort, and G.T. Rytko. 1980. Influence of Seed Maturation on Germinability in Soybean. Crop Sci. 20 : 483 – 486 Purnomo D. dan Sitompul S.M. 2006.

Irradiasi pada Sistem Agroforestri Berbasis Jati dan Pinus serta Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Tanaman Kedelai. Biodiversitas Vol. 7 No. 3: 251-255. 2006.

Purnomo D., A.T. Sakya, dan M. Rahayu. 2010. Fisiologi Tanaman, Dasar

Ilmu Pertanian. Sebelas Maret

(12)

33

Rozi F. 2008. Dukungan Sistem

Perbenihan Berbasis Komunitas Terhadap Kedelai Unggul Varietas

Grobogan. Prosiding Seminar

Nasional Kacang-kacangam dan Umbi-umbian. UNS Surakarta.

109-120

Salisbury F.B., and C.W. Ross. 1992. Plant

Physiology. Terjemahan D.R.

Lukman dan Sumaryono: Fisiologi Tumbuhan. Penerbit ITB Bandung. Sija P. dan Noflidawati. 2013. Pengaruh

Gibberellic Acid Terhadap Mutu

Fisiologi dan Biokimia Benih Jagung.

Prosiding Seminar Ilmiah PERHORTI.

IPB Darmaga, Bogor.

Sitompul S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Sudarti T. 1977. Teknologi Benih. Yayasan

U G M.

Soemarno D., M. Arsyad, dan I. Marwan.

1990. Pengembangan Kedelai.

Potensi, Kendala, dan Peluang.

Teknologi Usaha Tani Kedelai. Pusat

Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan. Badan Peneltian

dan Pengembangan Pertanian.

Departemen Pertanian. 23 – 54 Suryawati A. 1994. Pengaruh Tingkat

Kemasakan Terhadap Mutu Benih Padi. Program Pasca Sarjana UGM. Tidak dipublikasikan.

Subiyanto. 1991. Fisiologi Tanaman

Budidaya. U I- Press.

Suyadi. 1997. Pengaruh Umur Panen Terhadap Hasil dan Kualitas Benih Beberapa Varietas Kedelai. Program

Pasca Sarjana UGM. Tidak

dipublikasikan.

Tekrony D. M., D. B. Egli, J. Balles, T. Pfsiffer, and R. J. Fellows, 1979. Phsyiological Maturity in Soybean.

Agron. J. 71:771 – 775

Tahlim S. dan D. K. S. Swastika. 2007.

Ekonomi Kedelai di Indonesia. Pusat

Analisis Sosial ekonomi dan

Kebijakan Pertanian. Bogor.

Wilkinns M. B.1984. Advanced Plant

Physiology. Pitman Pub. Inc.

Toronto.

Pantantico E. R. B.1975. Postharvest

Physiology. Handling and Utilization of Tropical and Sub-Tropical Fruits and Vegetable. The Avi Pub. Co. Inc.

Connecticut, Terjemahan:

Kamariyani dan Gembong

Tjitrosoepomo. 1993. Gajah Mada University Press.

Taiz L. and E. Zieger. 2010. Plant Physiology. Online. Created by Sinauer

Referensi

Dokumen terkait

S usia 23 tahun dengan kehamilan pertama atau primigravida, ibu mengatakan mengalami mual muntah pada pagi hari dan tidak nafsu makan, hal ini sesuai dengan teori

Mengajukan permohonan berhenti kuliah sementara selama ( ) semester, terhitung mulai... Surat permohonan ini saya ajukan dengan alasan sebagai berikut

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang berjudul, “SUBSTITUSI ISOLAT PROTEIN KORO PEDANG (Canavalia ensiformis) SEBAGAI PENGGANTI KUNING TELUR PADA

Perencanaan ini menggunakan sistem penyaluran air limbah dengan jenis small bore sewer , sementara untuk bangunan pengolahan air limbah menggunakan Anaerobic Baffled

Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa : 1) sebagian besar konsumen berjenis kelamin laki-laki (60%), dari segi usia sebagian besar konsumen berusia diatas 35

Tidak mengeluarkan dana untuk gaji, honor kegatan sekolah/madrasah, insentif, dan tunjangan lain bagi tenaga kependidikan pada tahun berjalan sesuai dengan yang

Maka dengan melihat pemaparan yang singkat diatas, penulis merasa tertarik untuk membuat suatu karya ilmiah, dengan memberikan gagasan secara tertulis tentang hal-hal apa saja

Kerjasama kami lakukan dengan pihak – pihak terkait yang dapat mendukung keberhasilan Program Sukses Tan ini, yaitu pemerintah daerah, warga di kecamatan terkait, dan juga