• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1. Di Indonesia, wacana populer tentang Mistik dalam hubungannya dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1. Di Indonesia, wacana populer tentang Mistik dalam hubungannya dengan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 1

“Di mana aku dapat menemukan Tuhan?” “Ia tepat di depanmu.”

“Lalu mengapa aku tidak melihat Dia?” “Mengapa orang mabuk tidak melihat rumahnya?”

Menyusul Sang Guru berkata,

“Temukan apa yang membuat engkau mabuk. Untuk melihat engkau harus sadar.”1

1. LATAR BELAKANG

1.1.

Mistik Kristen dan Zen

Di Indonesia, wacana populer tentang Mistik dalam hubungannya dengan kekayaan dari berbagai agama dan atau tradisi religius2, sedikit banyak ikut di ramaikan dengan diterbitkannya beberapa buku cerita meditatif yang dimaksudkan untuk pendalaman hidup rohani karangan pastor Yesuit berkebangsaan India, Anthony de Mello. Buku-buku de Mello antara lain Burung Berkicau (terbitan Cipta Loka Caraka, 1984), Sejenak Bijak (terbitan Kanisius, 1987), Doa Sang Katak 1 (terbitan Kanisius, 1990), Doa Sang Katak 2 (terbitan Kanisius, 1990), Berbasa-basi sejenak 1 (terbitan Kanisius dan Obor, 1997), Berbasa basi sejenak 2 (terbitan Kanisius dan Obor, 1997) . Dalam prakata buku Burung Berkicau Mello menulis,

di dalam buku ini disajikan banyak cerita, baik kuno maupun modern. Cerita-cerita ini dikumpulkan dari lingkungan keagamaan Buddha, Hindu dan Kristen; dari aliran Zen dan Sufi serta daerah Hasidi, Rusia dan

1

Anthony de Mello, Sejenak Bijak (Yogyakarta, 1987), p. 72. 2

Yang dimaksudkan dengan tradisi religius meliputi ajaran-ajaran moral (tulisan maupun lisan) yang terejawantahkan dalam literatur, bahasa, kebiasaan, festival, mitologi, legenda, kisah dan agama rakyat. Namun selain itu juga meliputi makna, pemikiran religius dan perspektif serta pandangan hidup tentang semesta. Lihat Archie C.C. Lee, Cross-Textual Interpretation and Its Implications for Biblical Studies, tanpa tahun, p.5.

(2)

Tiongkok....ingat-ingatlah cerita itu sepanjang hari dan biarkanlah keharuman atau getaran nadanya membayangi anda. Biarkanlah cerita itu berbicara kepada hati anda, bukan kepada otak anda. Cara ini juga mungkin membuat anda menjadi seorang mistik.3

Sedangkan dalam pengantar buku Sejenak Bijak, Mello menulis,

Sang Guru dalam cerita-cerita ini bukanlah satu orang. Ia itu Guru Hindu, Roshi Zen, Sang Bijak Tao, Rabbi Yahudi, rahib Kristen, Sufi mistik, Lao Tze dan Sokrates, Budha dan Yesus, Zarathustra dan Muhammad. Ajarannya ditemukan di abad ketujuh sebelum Masehi dan pada abad ke-20 ini. Kebijaksanaannya itu milik Timur dan Barat bersama....jika anda membaca halaman cetakan ini, dan bergulat dengan bahasa Guru yang penuh rahasia, mungkin sekali tanpa sengaja anda akan sempat menemukan Ajaran Keheningan yang tersembunyi di dalam buku ini, dan terbangun serta jadi berubah.4

Di dalam kehidupan mistik, terangkumlah pengalaman orang-orang dari berbagai tradisi dan agama. Itulah sebabnya dalam salah satu sub bab buku Fenomenologi Agama karangan Mariasusai Dhavamony yang bertajuk “Mistisisme”, Dhavamony melakukan pembahasan ke atas pengalaman Zen, mistisime Hindu, dan kaum Sufi5. Sementara itu mistikus Kristen William Johnston dalam buku terbarunya yang berjudul Teologi Mistik, Ilmu Cinta juga mengetengahkan berbagai pengalaman mistik non Kristen di samping kajian tentang pengalaman mistik dalam lingkup Kristen.6 Ketika kajian terhadap pengalaman religius dilakukan, orang akan menemukan adanya ketegangan kreatif yang dialektis di antara keunikan pengalaman dalam tradisi religiusnya sendiri dan “getaran-getaran frekuensi ” yang digaungkan oleh tradisi religius

3

Anthony de Mello,. Burung Berkicau (Jakarta, 1984), p.10, 11. 4

Anthony de Mello, Sejenak Bijak (Yogyakarta, 1987), p. 7,8. 5

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Kanisius, 1995), p. 273-290. 6

(3)

lain. Tesis ini ditulis dalam kesadaran akan adanya ketegangan kreatif yang dialektis itu.

Dalam kesadaran semacam tadi, dalam tesis ini ada dua tradisi religius yang hendak digumuli oleh penulis yakni mistik Kristen dan Zen. Minat penulis atas pilhan ini didasarkan pada beberapa hal : (1) kesadaran adanya hibriditas di kalangan orang Kristen Tionghoa di Indonesia; (2) realitas keberadaan Buddhisme di Indonesia sebagai salah satu konteks pluralitas agama; (3) ketertarikan pada kajian di seputar pengalaman religius manusia; (4) minat pada pendalaman dialog intra dan interreligiusitas, serta (5) adanya kajian sistematis yang menunjukkan afinitas di antara mistik Kristen dan Zen.

Kita dapat mengasumsikan adanya afinitas yang relatif erat antara mistik Kristen dan Zen. Terhadap kedua hal ini perlu diberikan keterangan terlebih dahulu. Mengenai mistisisme, haruslah disadari adanya banyak definisi tentangnya. Justru karena itu batasan tentang hal ini menjadi diperlukan. Dalam hal ini penulis mengetengahkan apa yang dipahami oleh Allister Mc Grath tentang mistisisme dalam rangka diskusi mengenai spiritualitas kristiani, yakni sebagai :

an approach to the Christian faith which places particular emphasis upon the relational, spiritual, or experential aspects of the faith, as opposed to the more cognitive or intellectual aspects, which are traditionally assigned to the field of theology...on the basis of this understanding of the term, a “mystic” or “mystical writer” is a Christian who deals primarily with the experiencing of God and with the transformation of the religious consciousness7

7

(4)

Sedangkan mengenai Zen, di tahap ini dapat dikemukakan apa yang ditulis oleh Thomas Merton. Pakar Zen dari ordo Jesuit ini menulis,

sukar bagi kita untuk memberikan batasan secara tepat apa itu pengalaman Zen, karena tradisi Zen sendiri menolak setiap abstraksi ataupun penggambaran deskriptif mengenainya....namun setidaknya dengan menyadari hal tersebut dapat dikatakan bahwa Zen adalah kesadaran ontologis mengenai ada yang murni di seberang subjek-objek, suatu pemahaman yang langsung mengenai ada-nya dalam kebegituannya.8

Beberapa orang Kristen - terutama ordo Jesuit - yang menggeluti Zen menuliskan pendalaman yang mendukung nisbah kedua hal tersebut9. Johnston menulis tentang pastor Jesuit pakar Zen yang bernama Enomiya-Lassalle, sebagai berikut :

ketika Enomiya-Lassalle “memperkenalkan praktek Zen kepada ratusan orang kristen ia mendapatkan perlawanan. Pencerahan Zen, demikian konon kabarnya, adalah pencerahan monisme, dan tidak cocok dengan Injil. Terhadap hal ini Lassalle menjawab bahwa dia dan orang-orang kristiani lainnya sekilas pandang telah melihat satori dan bahwa satori jauh dari menjauhkan mereka dari Injil, sebaliknya, pengalaman itu memperdalam komitmen mereka kepada Yesus Kristus....Menurut Lassalle Zen dapat dipadukan ke dalam agama kristen di mana orang berbakti kepada Yesus, Injil dan Gereja10.

Lassale bahkan menyatakan bahwa “satori yang merupakan mutiara indah kebudayaan dan agama Asia itu tidak hanya dapat dipadukan (dengan

8

Thomas Merton, Mystics & Zen Masters (New York, 1967), p. 14. 9

Misalnya, H.M. Enomiya-Lassalle, ZEN Way to Enlightenment (London, 1966), Thomas Merton, Mystics

& Zen Masters (New York, 1967), William Johnston, The Still Point, reflections on Zen and Christian Mysticism, (New York, 1970), JK Kadowaki SJ, Zen and The Bible, A Priest’s Experience, (London,

1977), William Johston, Teologi Mistik, Ilmu Cinta (Yogyakarta, 2001). 10

(5)

Kekristenan) melainkan harus dipadukan”11. Menurut Johnston, “pendekatan Lassalle ini terus menerus membangkitkan masalah yang tidak dapat dihindari, yakni masalah teologi dan pastoral”12. Sayang sekali Johnston tidak menjelaskan maksudnya lebih jauh. Walaupun ada “perlawanan” dari pihak Kristen (tentang kemonismean13 Zen) dan Buddhis14, namun Lassalle tidak mengubah pendiriannya. Ia tidaklah sendirian dalam mendalami hubungan dialektis antara Zen dan Kekristenan ini. Thomas Merton misalnya, ketika menelaah guru Zen bernama Hui Neng, menulis,

Hui Neng’s Zen is not a “liberation” from matter in order to “bind” us to interior purity, dhyana, illumination, and so on. It is a liberation from all forms of bondage to techniques, to exercises, to systems of thought and of spirituality, to specific forms of individual spiritual achievement, to limited and dogmatic social programs. Hui Neng’s aim was the direct awareness in which is formed the ‘truth that makes us free’ – not the truth as an object of knowledge only, but the truth lived and experienced in concrete and existential awareness. For this reason it is axiomatic in the Zen of Hui Neng that works and external concerns should in no way be regarded as obstacles to Zen; on the contrary, Zen is manisfested in them as well as anywhere else, including eating, sleeping, or humblest material functions. If the Zen of Hui Neng is properly understood, we see that it is in fact a necessary condition for the ‘convergence’.... But it is not by itself a sufficient

11

William Johston, Teologi Mistik, Ilmu Cinta (Yogyakarta, 2001), p. 131-132. Mengenai pendalaman dan “how to” dari pemaduan ini, telah pernah ditulis Johnston dalam bukunya The Still Point, reflections on

Zen and Christian Mysticism (lihat catatan kaki no. 9).

12

Ibid, p. 132. 13

Dalam A New Dictionary of Christian Theology diuraikan pemahaman monisme dalam hubunganya dengan epistemologi, filsafat dan teologi Kristen. Monisme dalam pengertian sederhana sebagai paham yang beranggapan bahwa segala sesuatu berasal dari satu asas sering juga dikaitkan dengan pantheisme yang ekspresi klasiknya dirumuskan dengan deus sive natura (Allah, yang adalah, alam)…dalam diskusi teologis monisme dianggap oleh beberapa orang ada dalam teologi proses terutama dalam gagasan Alfred North Whitehead yang meyakini adanya satu realitas utama yang mengaktualisasikan diri dalam semua entitas yang dapat kita ketahui dan pikirkan. Ini oleh beberapa orang disebut sebagai panentheisme. Lihat Alan Richardson & John Bowden, A New Dictionary of Christian Theology (London, 1983), p. 380. 14

William Johston, Teologi Mistik, Ilmu Cinta (Yogyakarta, 2001), p. 132. Beberapa masalah datang dari para Buddhis yang menganggap Zen Lassalle, yang memisahkan Zen dari Buddhisme Zen, adalah Zen bidaah (gedo Zen).

(6)

condition. We must also look to the transcendent and personal center upon which this love, liberated by illumination and freedom, can converge. That center is the Risen and Deathless Christ in Whom all are fulfilled in One.15 Dari pernyataan Thomas Merton di atas kita mendapatkan masukan mengenai hubungan yang dekat bahkan konvergen di antara pencerahan Zen dengan peristiwa Yesus Kristus yang menjadi inti iman Kristen kita. Keterkaitan Zen dan iman Kristen yang memperkaya kajian terhadap Alkitab telah dicoba dilakukan secara cukup mendetail oleh J.K. Kadowaki, S.J. Dalam bukunya , Zen and The Bible, A Priest’s Experience, J.K. Kadowaki mendalami beberapa bagian Alkitab dari perspektif Zen. Kutipan-kutipan dari Alkitab yang didalami itu antara lain adalah :

“Jika matamu menyesatkan engkau, cungkil dan buanglah” (Mat 5:29), “Bertobat dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1: 15), “Hidup kekal” (1 Yoh 2), “Yesus dan perempuan yang berzinah” (Yoh 8 : 2-11), “Unta dan lubang jarum” (Mrk 10:25), “Dosa satu orang dan kematian semua orang” (Roma 5: 12-19), “Berbahagialah orang yang miskin” (Lukas 6:20), “ Pandanglah burung-burung di udara” (Mat 6:26), “Inilah tubuhku” (Mat 26: 26), “Kasihilah musuhmu” (Luk 6 ; 35-36), “Tubuhmu adalah Bait Allah”(1 Kor 6:19), “Jika biji gandum itu mati ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24), “Salib Yesus”(Mrk 15: 16-37), “Salib dan kebangkitan Yesus”.16

Kadowaki telah membuktikan bahwa pendekatan semacam ini dimungkinkan. Jalan ke arah pendalaman dialektis Zen dan Kekristenan yang digagas oleh Lassalle dan Merton semakin jelas “bentuk”nya. Salah satu kenyataan tekstual yang amat kuat mendasari didalaminya pendekatan semacam ini adalah karena kita memiliki teks-teks yang berdimensi mistik dan sekaligus mengandung pencerahan. Dalam Kekristenan teks

15

Thomas Merton, Mystics & Zen Masters (New York, 1967), p. 42. Konvergensi, adalah gagasan yang oleh Zaehner dipahami sebagai suatu era baru dalam kajian religiusitas manusia, lih Merton p. 3 dst. 16

(7)

Kitab Suci adalah sumber utama untuk mendalami kehidupan beriman dan teologi, termasuk di dalamnya teologi mistik. Tentu saja tidak semua bagian Kitab Suci berbicara tentang teologi mistik, namun demikian harus dicatat bahwa ada teks-teks yang kandungan mistiknya amat kental. William Johnston menulis,

Ada naskah-naskah tertentu yang mengandung nilai istimewa untuk teologi mistik yang terus diulang oleh para bapa gereja, yakni : Naskah Doa Bapa Kami, kisah Maria yang bersimpuh menghadap kaki Yesus yang menjadi model anutan paling bagus mengenai kontemplasi, naskah-naskah penting lain ada dalam surat-surat Paulus misalnya Galatia 2 :20 (“Aku hidup, tetapi sekarang bukan aku, melainkan Kristus yang hidup di dalam diriku”), surat 1 Korintus 6: 17 (“barangsiapa bersatu dengan Tuhan menjadi satu roh dengan Dia”), juga pengalaman Musa yang beralih rupa ketika mendaki gunung .... Bagi orang-orang Kristen perdana kata-kata liturgi yang didaraskan ketika mereka berkumpul di meja Tuhan untuk memecahkan roti (“Inilah tubuhKu yang diserahkan bagimu. Inilah piala darahKu, darah perjanjian Baru dan Kekal yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa. Kenangkanlah Aku dengan merayakan peristiwa ini”), adalah kata-kata yang paling bermakna dalam seluruh Kitab Suci. Kata-kata itu mematrikan misteri iman : wafat dan kebangkitan Yesus. Dengan demikian pusat pengalaman religius orang Kristen –pengalaman yang akhirnya menjadi acuan semua teologi mistik- adalah mati dan bangkit bersama Yesus yang telah wafat dan telah bangkit.”17

Selain bagian Kitab Suci yang disajikan Johston itu, kita pun cukup terbiasa mengenali bahwa ada bagian-bagian lain dalam Kitab Suci yang mengemukakan teologi mistik misalnya Injil Yohanes yang sarat dengan teologi Unio Mystica antara Bapa, Yesus dan orang-orang yang percaya (Yohanes 17), juga pengalaman mistik Paulus dalam 2 Korintus 12 : 2-418.

17

William Johston, Teologi Mistik, Ilmu Cinta (Yogyakarta, 2001)., p. 30 18

Christopher Rowland, The Open Heaven, A Study of Apocalyptic In Judaism and Early Christianity, (New York, 1982), p. 380-381; Lihat juga tesis Pasca Sarjana karya Firman Panjaitan, Teologi Mistik

(8)

1.2. Teks Emaus, sebuah ajuan

Penulis beranggapan bahwa berkaitan dengan dialektika mistik Kristen dan pencerahan Zen, daftar teks kitab Suci yang dikemukakan dalam paragraf di atas (selain yang dipergunakan oleh Kadowaki maupun yang ditunjukkan oleh Johnston) masih bisa bertambah. Oleh karena itu penulis bermaksud mengajukan penelaahan tentang suatu bagian dari kisah Injil, terutama kisah perjumpaan Yesus yang bangkit dengan para murid, yang menurut penulis mengandung kadar mistik yang perlu digali dengan mendalam. Teks itu adalah kisah Emaus dalam Lukas 24 : 13-35. Sejauh yang diketahui oleh penulis, kisah Emaus ini belum banyak didalami dalam kerangka dialektika mistik Kristen dan Zen. Mengapa demikian ? Barangkali ada beberapa kemungkinan, yakni (a) bisa jadi pendapat bahwa teks Emaus ini berdimensi mistik adalah pendapat yang salah, atau (b) sebetulnya teks Emaus memang berdimensi mistik namun para penafsir tidak cenderung melihat afinitasnya dengan pengalaman pencerahan Zen.

Tesis ini bergerak pada asumsi kemungkinan (b)19. Bila kemungkinan (b) boleh disebut sebagai suatu “lubang”, maka penelitian dalam tesis ini dimaksudkan untuk mengisi ”lubang” tersebut. Tentu saja dapat diajukan pertanyaan semacam “Apakah semua bagian atau kisah dalam Alkitab dapat dilihat dari perspektif Zen?”. Terhadap pertanyaan ini, tidak tersedia jawaban yang mudah dan tunggal. Barangkali tidak cukup memadai untuk mengatakan bahwa perspektif Zen dapat digunakan secara sah untuk menafsirkan seluruh bagian Alkitab. Namun setidaknya, terhadap kisah Emaus kita dapat mencoba untuk melakukan upaya tafsir yang sedemikian ini. Alasan terhadap ajuan ini sebagai suatu upaya tafsir yang sah setidaknya didukung oleh beberapa macam hal. Pertama, adanya diskursus Hermeneutik/Penafsiran Alkitabiah Asia dalam

19

Teks kotbah yang dihantarkan E.G. Singgih dalam pembukaan Kuliah Alih Tahun Persetia 2004 yang bertajuk “Mysticism” , adalah teks kisah Emaus. Setidaknya ini dapat dipertimbangkan sebagai petunjuk bahwa dalam teks Emaus diakui mengandung teologi mistik.

(9)

ranah penafsiran Alkitab. Kedua, adanya diskursus Hermeneutik Multi Iman. Ketiga, adanya “gaung” di antara Zen dan kisah Emaus.

Sebelum penulis memberikan gambaran mengenai signifikansi ke 3 macam hal di atas, terlebih dahulu akan disajikan tilikan singkat mengenai diskursus metode/pendekatan tafsir, sebagai “ladang” tempat ke 3 macam hal itu diolah.

1.3.

Tilikan singkat tentang metode/pendekatan

20

tafsir: jenis & tujuan.

Sekilas tentang berbagai jenis tafsir

Dalam Dictionary of Biblical Interpretation21, kita mendapatkan gambaran yang luas mengenai berbagai metode/pendekatan tafsir dalam buku-buku yang berfokus pada diskursus metodologi penafsiran teks Alkitab. George Aichele dan kawan-kawan22 misalnya mengemukakan setidaknya 7 pendekatan, yaitu kritik respon pembaca, kritik strukturalis dan narratologis, kritik poststrukturalis, kritik retoris, kritik psikoanalisis, kritik feminis dan kritik ideologis. Sementara Severino Croatto23, mengetengahkan 5 pendekatan terhadap Kitab Suci, masing-masing adalah: realitas masa kini sebagai “teks” utama, konkordisme, metode historis kritis, analisis struktural dan hermeneutik.

20

Schneiders memilah definisi metode, metodologi dan pendekatan. Metode adalah suatu prosedur tertentu yang digunakan untuk menghasilkan hal-hal tertentu dalam suatu teks; Metodologi merujuk kepada suatu struktur yang menyeluruh dan fungsi yang saling terkait serta sistematis dari sekumpulan metode yang mengimplikasikan suatu pendekatan terhadap teks; Pendekatan merujuk kepada suatu cara tertentu untuk menggumuli teks yang meliputi suatu metodologi yang terartikulasikan yang pada gilirannya

menggerakkan peran dari metode-metode tertentu, lihat Sandra Schneiders, The Revelatory Text,

Interpreting The New Testament as Sacred Scripture, (New York, 1991), p. 111. Namun dalam tesis ini

penulis menggunakan istilah metode atau pendekatan untuk menunjukkan pada cara yang dipakai oleh penafsir dalam menggumuli sebuah teks untuk mendapatkan pengetahuan dan pengertian melalui aktifitas penggumulan itu.

21

John H. Hayes (gen ed), Dictionary of Biblical Interpretation, (Nashville, 1999). 22

George Aichele (ed), The Postmodern Bible, (London, 1995). 23

Severino Croatto, Biblical Hermeneutics, toward a theory of reading as the production of

(10)

Sedangkan Sandra Schneiders24 mengemukakan beberapa diantaranya, yakni pendekatan historis, pendekatan literer, pendekatan psikologis dan sosiologis, pendekatan kritik ideologis, pendekatan theologis, religius dan spiritualitas.

Kepada kita disajikan beragam pendekatan, beragam metode dari yang klasik hingga yang postmodernis. Tentu saja tidak ada metode tafsir yang terbaik pada dirinya sendiri. Ketepatan dalam menggunakan satu atau lebih metode tafsir, setidaknya, ditentukan oleh tujuan dan objek tafsirnya. Menurut Theo Witkamp “metode yang dipakai biasanya tergantung pada pertanyaan yang ditanyakan kepada teks atau pada kadar teks yang dipelajari, oleh karena itu kebanyakan metode-metode dipandang sebagai pelengkap, yaitu dapat digunakan bersama-sama”25.

Tujuan metode/pendekatan tafsir

Menarik memperhatikan wacana yang dikemukakan Schneiders sehubungan dengan adanya “dua tujuan dari metode/pendekatan terhadap teks yakni untuk memperoleh informasi dan transformasi dari teks (the objective of information and the objective of transformation)”26. Bagi Schneiders, kedua tujuan ini amat terkait namun tidak identik. Selengkapnya Schneiders menuliskan :

Pada the objective of information, kita meneliti tentang bagaimana sebuah teks dihasilkan (siapa yang menulis, kapan, dimana, dalam bahasa apa) dan tentang transmisi dari teks itu (apakah sebuah teks itu asli, apakah salinan terhadapnya adalah akurat). Kita berupaya untuk memahami posisi teologis yang disajikan oleh teks dan hubungan antar teks serta dunia pemikiran yang menyekitarinya. Kita berupaya membangun suatu jenis spiritualitas dan praktek religiusitas yang disajikan oleh teks itu. Semua

24

Sandra Schneiders, The Revelatory Text, Interpreting The New Testament as Sacred Scripture, (New York, 1991), p. 114-122.

25

Theo Witkamp, “Tentang Metode Metode Penelitian Teologi”, dalam Penelitian Teologi, Majalah Gema Duta Wacana, no. 42, 1992, p.47-48.

26

Sandra Schneiders, The Revelatory Text, Interpreting The New Testament as Sacred Scripture, (New York, 1991), p. 13.

(11)

penelaahan ini didorong oleh keinginan untuk mendapatkan informasi. Sedangkan dalam the objective of transformation, tujuannya adalah untuk bergerak melampaui penemuan tentang apa yang dikatakan atau dipertanyakan oleh teks sebagai sesuatu yang benar dan segala konsekuensi personal yang mungkin ditanggung oleh pembaca atau yang lainnya. Pembacaan transformasional ini terutama adalah sebuah proyek eksistensial bukan proyek kesejarahan, oleh karenanya dalam wahana religius, ia termasuk ke dalam ranah spiritualitas. Yang dipentingkan dalam the objective of transformation ini adalah menghantar pembaca, sebisa mungkin, kepada kebenaran dalam artian pelibatan yang eksistensial dengan kebenaran itu hingga menghasilkan buah, dan bukan sekedar dalam pengetahuan yang abstrak27.

Namun demikian, sembari memperhatikan dan mempertimbangkan wacana yang dikemukakan Schneiders, kita seyogyanya juga menyadari bahwa apa yang dimaksudkan sebagai karya yang bertujuan informasi bisa jadi bahkan sangat mungkin dikerjakan dalam suatu spirit yang transformatif. Demikian pula sebaliknya, karya yang dimaksudkan sebagai yang bertujuan tranformatif tidak boleh menisbikan masukan-masukan yang informatif. Jadi yang informatif bisa juga transformatif dan sebaliknya. Oleh karenanya yang penting bukan sekedar membagi yang informatif dan yang transformatif secara kaku melainkan senantiasa menyadari adanya keterkaitan di antara keduanya sebagai sesuatu yang bukan saja bergerak secara dialektis, namun juga inheren satu sama lain. Keterkaitan kedua tujuan ini menjadi hal yang penting bagi penulis karena materi tekstual yang hendak ditafsirkan adalah teks yang menyoroti suatu pengalaman religius, yang disatu pihak diharapkan mengandung daya transformasi namun juga sekaligus mengandung dimensi kajian intelektual.

27

Sandra Schneiders, The Revelatory Text, Interpreting The New Testament as Sacred Scripture, (New York, 1991), p. 14.

(12)

1.3.1. Wacana tentang Penafsiran/Hermeneutik Alkitabiah Asia

28

Karena Zen yang hendak dipergunakan untuk berdialog dengan teks Emaus adalah adalah salah satu tradisi religius Asia maka mengenai hal keAsiaan dalam diskursus penafsiran perlu ditunjukkan signifikansinya. Pada entry tentang Asian Biblical Interpretation kita mendapati sub entry yang berjudul Hermeneutik Kultural (Cultural Hermeneutics)29, yakni “upaya dan teori menafsir teks Alkitab yang dilakukan orang-orang Asia di dalam konteks sosiokultur dan tradisi religius asli (native) mereka sendiri.”30 Artikulasi dari upaya hermeneutis semacam ini bervariasi, “ada yang menggumuli kontekstualisasi ada pula yang menggunakan kategori-kategori religiusitas Asia untuk memahami tradisi Kristen, terutama mengenai Yesus Kristus. Beberapa ahli, demikian rangkuman dalam Dictionary of Biblical Interpretation, merujuk pendekatan-pendekatan hermeneutis mereka sebagai “cross textual”, “dialogical” atau “ dialogical imagination”, yakni pendekatan hermeneutis yang menghantar masuk berbagai realitas kultur Asia ke dalam percakapan dengan tradisi Alkitabiah”31.

Menurut Archie Lee, “lokasi sosial dari seorang penafsir masuk ke dalam proses menafsir dengan amat cepat”32. Gagasan tentang “lokasi” ini meliputi issue yang kompleks mengenai ras, gender, kelas sosial, umur, permainan kuasa dan juga relasi politis. Hal inilah yang oleh Lee, mengutip diskusi dalam The Postmodern Bible, disebut dengan a hybrid set of locations”33. Lee menyarankan agar para penafsir,

memberikan tekanan yang lebih besar pada respon pembaca dan tindakan pembacaan yang dibentuk oleh interaksi di antara teks dan pembaca.

28

John H. Hayes (gen ed), Dictionary of Biblical Interpretation, (Nashville, 1999) p. 70-74. 29

Sub entry selain cultural hermeneutics, pada bagian Asian Biblical Interpretation adalah wissenschaft,

liberation perspectives, feminist hermeneutics, dan post colonial interpretation. Ibid.

30

Ibid, p. 70, 71. 31

Ibid, p. 71. 32

Archie C.C. Lee, Cross-Textual Interpretation and Its Implications for Biblical Studies, tanpa tahun, p. 2. 33

Ibid, lihat juga The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, (New Haven and London, 1995).

(13)

Metode tafsir yang diusulkannya adalah penafsiran lintas kultural. Prinsip dasar yang dimaksudkan dengan istilah ini adalah pendekatan hermeneutis yang menempatkan realitas kultur Asia dalam percakapan dengan tradisi Alkitab34.

Sebagaimana halnya dengan percakapan sesehari, setiap pihak diminta untuk berbicara, mendengar, menanggapi. Prinsipnya kedua belah pihak berinteraksi dalam dialog. Model hermeneutik Alkitab dari perspektif Asia35 yang dialogis semacam ini “memberikan tekanan pluralitas makna, multiplikasi kisah, dan multi poros kerangka analisis karena model semacam ini berakar pada keragaman dan pluralitas Asia”36.

Berkenaan dengan ragam pembacaan terhadap kitab Suci, Robert Setio mengemukakan pembagian penafsiran menurut M.H. Abrams, yakni :

(1) Mimetic, teks Alkitab dipahami sebagai representasi dari suatu realitas; (2) Expressive, yang memusatkan perhatian pada pengarang atau penulis; (3) Objective, yang memusatkan perhatian pada teksnya sendiri apa adanya; dan (4) Pragmatic, yang memfokuskan perhatian pada pembaca (reader oriented). Dalam pembacaan pragmatic ini persoalan yang dibahas adalah bagaimana efek cerita bagi pembaca. Bagaimana pikiran pembaca dibentuk atau diarahkan oleh narator sehingga akhirnya pembaca akan menyetujui pemikiran tertentu atau mendukung serta mau mempraktikkan nilai tertentu dan sebaliknya membenci pemikiran atau nilai yang bertentangan ....Bila di Barat sendiri perkembangan mengarah ke tipe 4 maka ini bisa mengingatkan kita akan semakin dimungkinkannya muatan-muatan budaya kita yang membentuk diri kita sebagai pembaca untuk ikut berperan dalam penafsiran.37

34

John H. Hayes (gen ed), Dictionary of Biblical Interpretation (A-J), (Nashville, 1999), p. 71. 35

Istilah Hermeneutik Alkitab dari Perspektif Asia diambil dari judul buku R.S. Sugitharajah, Asian

Biblical Hermeneutics and Post Colonialism, Contesting the Interpretations, (New York, 1998).

36

Kwok Pui-lan, Discovering The Bible in Non-Biblical World, (New York, 1995), p. 39. 37

Robert Setio, “Membaca Alkitab Secara Pragmatis”, dalam Forum Biblika no. 11 (Jakarta, 2000). P. 52-54.

(14)

Memperhatikan wacana di atas, penulis melihat bahwa pijakan untuk mendialogkan kisah Emaus dan Zen sebagai suatu kekayaan tradisi religius yang berangkat dari realitas nilai dan kultur Asia adalah pijakan yang cukup kokoh.

1.3.2. Hermeneutik Multi Iman

Selain keAsiaannya, penulis ingin memperlihatkan bahwa kesahihan penafsiran yang mempertimbangkan Zen sebagai mitra dialog dalam memahami teks Kitab Suci juga meliputi keberadaan Zen sebagai kekayaan dari tradisi religius yang non Kristen. Hal semacam ini secara akademis dimungkinkan atas dasar pendalaman dari wacana hermeneutik multi iman.

Istilah hermeneutik multi iman (multifaith hermeneutics) diintrodusir oleh Kwok Pui-lan dalam salah satu dari sepuluh thesis (pernyataan) yang ia gagas dalam rangka menggumuli rasisme dan etnosentrisme dalam penafsiran Alkitab. Rumusan thesis tentang hermeneutik multi iman itu selengkapnya adalah : “The Bible must also be read from the perspective of other faith traditions. Multifaith hermeneutics looks at ourselves as others see us, so that we may be able to see ourselves more clearly38”. Ini menurut Kwok bukan suatu hal yang mudah.

Oleh karena itu menurut Kwok, langkah pertama untuk menuju suatu hermeneutik multi iman adalah:

mengakui bahwa sebagian besar orang di dunia hidup dalam budaya-budaya yang tidak diasah oleh cara pandang yang Alkitabiah. Orang yang hidup dalam konteks multi iman, dengan demikian, perlu mempelajari Alkitab dalam perbandingannya dengan tulisan-tulisan suci lain untuk menelaah baik tema-tema yang sama secara umum maupun penekanan-penekanan yang berbeda .... bahkan Alkitab juga dapat ditafsirkan dari perspektif religius yang lain itu. Berkaitan dengan wacana hermeneutik

38

(15)

multi iman ini, tugas yang paling sulit adalah bagaimana menafsirkan ulang Alkitab setelah melihatnya melalui lensa tradisi iman yang lain. Sungguh dibutuhkan kerendahan hati intelektual dan sekaligus keterbukaan yang radikal terhadap penyingkapan illahi yang ada dalam budaya dan iman lain .... namun pada saat yang sama, perlu juga diketahui bahwa masukan dan hikmat yang ada di dalam Alkitab adalah juga suatu sumber religius bagi kemanusiaan dan oleh karenanya perlu dibagikan, diuji, dan dikoreksi di dalam komunitas khalayak manusia yang lebih luas39.

Dengan memperhatikan wacana di atas, penulis semakin dikuatkan untuk melakukan upaya tafsir yang mempertimbangkan perspektif Zen dalam “membaca” kisah Emaus dalam rangka ambil bagian dalam dialog spiritualitas agama-agama.

1.3.3. “Gaung” kisah Emaus dan Zen

Pada bagian ini penulis ingin menunjukkan bahwa pilihan kajian yang dialogis ke atas Zen dan kisah Emaus bukanlah pilihan yang tidak dapat dibuktikan dari sudut pandang bangunan gagasan (Zen) dan bangunan penceritaan (teks Emaus). Memperhatikan kisah Emaus sebagaimana diceritakan Injil Lukas ini, juga menimbang diskursus tentang penafsiran/hermeneutik Alkitabiah yang memberikan tekanan pada pembaca dalam konteks sosio kultural religiusnya, penulis menduga bahwa kisah Emaus ini dapat diperjumpakan dan dibaca secara “berbeda” dari perspektif tradisi religius Asia, seperti Zen. Nilai-nilai Zen yang amat mengetengahkan pentingnya pengalaman menjadi “terbuka” dan mengalami satori/“pencerahan serta pentingnya koan dan zazen sebagai media edukatif untuk mengalami pencerahan (akan dijelaskan dalam bab 2/ pen), agaknya dapat dirasakan afinitas gaungnya dengan kisah Emaus dalam Lukas 24 : 13-35. Kisah ini menyaksikan pengalaman perjumpaan Yesus dengan

39

(16)

2 orang murid yang matanya “terhalangi”, mengamati edukasi religius (lewat dialog Yesus dan kedua orang murid itu) serta mendapatkan pengalaman mata “terbuka” melihat Yesus yang segera lenyap dari tengah-tengah mereka setelah Ia memecah-mecah roti. Kisah Emaus dengan demikian patut diduga menggemakan semacam pengalaman pencerahan “ala Zen” dalam perjumpaan dengan Yesus dengan 2 orang murid - yang kemudian menyatakan bahwa hati mereka berkobar-kobar- baik melalui ketersembunyian maupun penampakan kehadiranNya40.

Afinitas gaung dari kisah Emaus dan Zen inilah yang akan dikaji lebih jauh dalam tesis yang dimaksudkan untuk mengkaji suatu pengalaman religius. Pengalaman religius terhadap Yang Illahi atau Realitas yang tentu saja tidak dapat dijelaskan secara tuntas karena melampaui kata dan nalar manusia, memang bukan monopoli tradisi religius Asia. Namun demikian penafsiran Alkitab yang berpijak pada tradisi religiusitas Asia agaknya tetap memerlukan peneguhan. Dialog penafsiran Alkitab dengan tradisi Asia tidak berarti menyingkirkan kekuatan dan kekayaan khasanah tafsir yang dikembangkan di Barat yang dibentuk oleh latar belakang sejarah dan tatanan sosialnya. Sumbangan dari tradisi intelektual di Barat perlu tetap dipelihara, namun itu berarti dipelihara dalam keseimbangan atau ketegangan dialektisnya dengan menggarisbawahi peran pembaca di Timur (Baca Asia, atau lebih spesifik lagi : Indonesia) yang hidup dalam tradisi religius Asia, tanpa perlu mengkontraskannya secara keras. Bagi orang Kristen Asia dan orang Kristen di Asia, mengalami Yang Illahi atau mengalami Realitas dengan demikian dapat didalami dan dikemukakan dengan dialektika interaktif dengan tradisi religius yang memberikan identitas sekaligus pemaknaan hikmat orang Asia dengan segala dimensi hibriditasnya.

40

Kisah klasik dari tradisi Zen tentang ikan kecil di tengah laut yang bertanya kepada ikan besar mengenai “dimana ia dapat menemukan lautan” agaknya mengandung gagasan yang bisa jadi akan sangat interaktif dengan idea tentang ketersembunyian dan ketersingkapan Yang Illahi, lihat Anthony de Mello, Burung

(17)

2. PERMASALAHAN

Mencermati berbagai wacana yang dikemukakan pada bagian latar belakang , maka permasalahan utama yang hendak dikaji melalui tesis ini adalah :

Bagaimanakah penafsiran berperspektif Zen yang dikaji secara dialektis dapat meretas jalan masuk bagi pembaca Asia dalam hybriditasnya untuk memahami teks sedemikian rupa sehingga diperoleh pengayaan, pendalaman, dan alternatif pemahaman terhadap pengalaman religius dalam kisah Emaus sebagai pengalaman yang berdimensi mistik?

3. TUJUAN

Tujuan dari tesis terkait dengan rumusan permasalahan di atas adalah untuk : 1. Memaparkan proses dan hasil dialog kisah Emaus dengan Zen, yang berangkat

dan mengumuli titik-titik temu dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada, untuk dapat memperkaya dan memberikan alternatif tafsiran terhadap kisah Emaus dari perspektif Zen dalam dinamika edukasi religius dan pengalaman pencerahannya.

2. Mengkaji pengayaan dan pendalaman makna teks bagi spiritualitas Kristen pada umumnya dan secara khusus bagi spiritualitas Kristen Asia yang bertujuan informasional-tranformatif bagi pembaca di Asia (Indonesia) dalam wacana dialog inter dan intra religius.

(18)

4. HIPOTESIS

1. Pembaca Asia diduga akan memperoleh alternatif pengayaan dan pendalaman makna dan pemahaman terhadap teks Emaus melalui metode tafsir yang belajar dari masukan tradisi religius Asia yang dikerjakan dengan kreatif dan bertangung jawab daripada bila teks (misalnya) didekati dengan mengunakan pendekatan historis kritis41 saja .

2. Kajian perspektif Zen terhadap kisah Emaus tentang edukasi religius dari Yesus yang bangkit terhadap murid-murid yang matanya “terhalangi” hingga “dibukakan” dan dihayati dalam suasana hati yang “berkobar-kobar”, menghasilkan penemuan akan adanya “kedekatan gaung” maupun pengakuan akan keberbedaan di antara keduanya. 3. Teks Emaus adalah teks yang berdimensi mistik sekaligus memuat gagasan yang dapat dianggap sebagai berdimensi Zen.

4. Pada gilirannya hasil tafsir yang didapatkan melalui penelitian tekstual yang dialektis semacam ini dapat diiduga sebagai masukan demi pendalaman diskursif mengenai studi tentang spiritualitas agama-agama.

41

Perlulah kita mempertimbangkan masukan kritis dari A. Lee dan Kwok Pui-lan khususnya tentang keterbatasan pendekatan historis kritis. Lee menulis, “the method of historical criticism intends to eluciade

the history of the text. Biblical scholars, however, have admitted the limitation of this method. It presupposes an alleged objectivity which can be retrived by scientific method and it does not take into account the vital interaction between the contemporary reader, the received text and the act of readings in the interpretation process”, dalam Archie C.C. Lee, Cross-Textual Interpretation and Its Implications for Biblical Studies, tanpa tahun, p.1 dan 2. Lihat juga komentar tegas dari Kwok Pui-lan, “The Eurocentric positivist approach must not be taken as the sole norm for historical quest. The Bible is too important to be subjected to only one norm or model of interpretation. The fruits of historical-critical method must be tested and challenged by local religious communities that are daily reading the Bible anew and that have tried to weave their own stories and struggles with the biblical narratives”, dalam Kwok Pui-lam, Discovering the Bible in Non-Biblical World, (New York, 1995), p. 86.

(19)

5. JUDUL

Memperhatikan wacana yang telah dikemukakan, maka tesis ini akan diberi judul :

“ BUKANKAH HATI KITA BERKOBAR-KOBAR ? ”

Upaya Menafsirkan Kisah Emaus dari Perspektif Zen Secara Kritis

6. METODE

Narasi dalam kisah Emaus ini terutama akan didalami dengan cara belajar dari tradisi Zen, melintas ke ranah Zen, belajar dari perspektif Zen untuk kemudian menafsirkan teks Emaus. Sembari mengerjakan tafsir dari perspektif Zen ini, penulis akan melakukan semacam critical reading of the reading secara dialogis. Tilikan critical reading yang terutama ditujukan pada pembacaan dari perspektif Zen terhadap kisah Emaus ini beranjak dari narasi yang ada di dalam kisah Emaus itu sendiri. Melalui metode semacam ini juga dibuka kemungkinan akan didapatinya pengakuan kesamaan “gaung” dan atau perbedaan substansial di antara kisah Emaus dan kandungan religius dalam Zen itu sendiri. Masukan-masukan dari pendekatan lain sejauh sesuai dengan permasalahan dalam teks akan dipertimbangkan. Langkah-langkah semacam inilah yang penulis maksudkan dengan “upaya menafsirkan kisah Emaus dari perspektif Zen secara kritis”.

(20)

7. SISTEMATIKA

BAB SATU

Bab ini mengetengahkan Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan, Hipotesis, Judul, Metode dan Sistematika Pembahasan.

BAB DUA

Bab ini mengemukakan wacana tentang Zen sebagai suatu Tradisi Religius, baik sekelumit sejarah, inti sari ajaran, edukasi dan pengalaman religiusnya. Acuan utama adalah tulisan pakar Zen terutama D.T. Suzuki. Namun demikian pandangan dari pakar Zen yang Kristen seperti H.M. Enomiya-Lassalle, Heinrich Dumoulin, J.K. Kadowaki, Alan Watts, Merton dan Johnston serta beberapa pakar lain akan juga dikemukakan.

BAB TIGA

Pada bagian in dengan belajar dari Zen penulis berupaya menafsirkan kisah Emaus. Dalam upaya ini selain mencoba menafsirkan kisah Emaus dari perskeptif Zen, akan juga dikemukakan pertimbangan-pertimbangan kritis penulis terhadap penafsiran itu secara dialektis, sebagai a critical reading of the reading.

BAB EMPAT

Bab keempat ini akan menyajikan kesimpulan hasil tafsir dan refleksi lebih lanjut yang dapat dikembangkan dari hasil tafsiran. Terkait dengan hasil dan refleksi itu dimungkinkan pula adanya pengemukaan wacana mengenai studi dan spiritualitas agama-agama.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kalimat dalam setiap paragraf pada teks deskripsi yang ditulis siswa SMP N 1 Cepogo, Boyolali bervariasi.Variasi

Selain untuk merangsang refleks let down manfaat pijat oksitosin adalah memberikan kenyamanan pada ibu, mengurangi bengkak (engorgement), mengurangi sumbatan ASI,

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

Alhamdulillahirobbil’alamin, penulis menyamapikan puji syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan penulis kesehatan, keselamatan, dan kemudahan

DENGAN KATA LAIN HARI YANG SEKARANG INI ADALAH HARINYA MANUSIA, SEDANG HARI YANG DIMAKSUD DALAM FIRMAN TUHAN ITU TENTU HARINYA TUHAN DALAM HAL INI DIJELASKAN DALAM AL-QUR’AN BAHWA

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa isolasi lecithin menggunakan proses water degumming pada minyak jagung dapat digunakan sebagai emulsifier yang

Tipe penelitian adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun Pueraria javanica berpotensi menurunkan perkecambahan dan pertumbuhan serta