• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOTOBUANG Volume 9 Nomor 1, Juni 2021 Halaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TOTOBUANG Volume 9 Nomor 1, Juni 2021 Halaman"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

131

TOTOBUANG

Volume 9 Nomor 1, Juni 2021 Halaman 131— 140

STRATIFIKASI SOSIAL DALAM NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER: PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA

(Social Stratification in Bumi Manusia Novel by Pramoedya Ananta Toer: Literature Sociological Approach)

Nurul Arpa Lestaluhua, Falantino Eryk Latupapuab Universitas Pattimura

Jl. Ir. M. Putuhena, Poka, Tlk. Ambon, Kota Ambon, Maluku Posel: [email protected]

Diterima: 3 Februari 2021; Direvisi: 10 Juni 2021; Disetujui: 17 Juni 2021 doi: https://doi.org/10.26499/ttbng.v9i1.296

Abstract

This paper was the result of a qualitative research used sociology of literature approach. by descriptive method describing the social stratification in Bumi Manusia by Pramoedya Ananta Toer’s . The Data had descriptively analyzed by literature sociological theory, particularly through Social Stratification Theory. The Social Stratification points to the element of social level which consists of ascribed status and achieved status. Thus, the result describes the social stratification that occurs in the novel Bumi Manusia as ascribed status and achieved status. Finally, there are several determinants which constructing social stratification. Those factors are: power, marriage, attitude, resistance, struggle, effort or hardwork.

Keywords: sociological approach, social stratification, Bumi Manusia Abstrak

Artikel ini merupakan hasil penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra melalui penerapan metode deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan stratifikasi sosial yang tampak dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan perspektif teori sosiologi sastra, khususnya teori stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial menyasar pada unsur kedudukan yang terdiri atas ascribed status (status alamiah) dan achieved status (status yang diusahakan). Sebagai temuan, artikel ini mendeskripsikan stratifikasi sosial yang terjadi dalam novel Bumi Manusia yaitu berupa unsur kedudukan ascribed status (status alamiah) dan achieved status (status yang diusahakan) dan terdapat beberapa determina dalam membentuk stratifikasi sosial yaitu kekuasaan, pernikahan, sikap, perlawanan, perjuangan, usaha, dan kerja keras.

Kata-Kata Kunci: sosiologi sastra, stratifikasi sosial, Bumi Manusia

PENDAHULUAN

Karya sastra merupakan deskripsi dari kehidupan nyata. Seorang pengarang menulis sebuah karya sastra berdasarkan apa yang dilihat dalam kehidupan masyarakat, kemudian dituangkan dalam tulisannya sesuai dengan apa yang dirasakan. Penjelasan tersebut, sama halnya dengan yang dikatakan Teeuw (1984, hlm. 220), bahwa seni itu bersifat mimesis, yaitu peneladanan atau pembayangan atau peniruan kenyataan.

Persoalan terbentuknya lapisan-lapisan dalam masyarakat dalam berbagai tingkatan telah menjadi fenomena yang cukup banyak diakui dan ditemukan dalam berbagai amatan maupun studi ilmiah. Pelapisan masyarakat telah menjadi fenomena umum yang sudah diamati dan diperbincangkan sejak zaman dahulu, bahkan sejak zaman Yunani Kuno. Aristoteles dalam Soekanto (2013, hlm. 197), menyatakan bahwa pada zaman dahulu, di dalam negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, yang

(2)

Totobuang, Vol. 9, No. 1, Juni 2021: 131—140

132

melarat, dan yang berada di tengah-tengah. Pernyataan Aristoteles tersebut setidaknya telah membuktikan bahwa lapisan-lapisan sosial yang terbentuk dan dibicarakan dalam pintasan sejarah peradaban manusia merupakan keniscayaan, yang muncul, tumbuh, dan berkembang seiring dengan dinamika kolektif. Pelapisan tersebut muncul antara lain sebagai konsekuensi dari tindakan membeda-bedakan antara individu atau kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain. Pelapisan atau tingkatan itulah yang disebut sebagai stratifikasi sosial.

Menurut Pattinasarany (2016, hlm. 2), terminologi stratifikasi sosial berasal dari kata stratum yang berarti ‘lapisan’ dan

socius yang berarti ‘masyarakat’.

Stratifikasi sosial adalah pelapisan masyarakat atau pelapisan orang-orang dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini, dapat dilihat pada orang-orang yang berkedudukan sama dalam kesatuan status sosial. Adanya stratifikasi sosial dapat

menyebabkan terjadinya

ketidakseimbangan hak dan kewajiban yang dapat memengaruhi dalam kadar tertentu relasi antaranggota masyarakat. Lebih lanjut, Soekanto (2013, hlm. 199) menyatakan bahwa timbulnya pelapisan sosial disebabkan oleh adanya sesuatu hal yang dihargai di dalam masyarakat. Sesuatu hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu. Sesuatu hal yang dihargai di dalam masyarakat dapat berupa uang, benda-benda bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama, atau mungkin juga keturunan yang terhormat.

Dalam hubungan dengan stratifikasi sosial, sebagai representasi struktur sosial, karya sastra ikut menjadi tempat terjadinya pelapisan-pelapisan, pembentukan strata-strata, sehingga menghadirkan permasalahan tertentu sebagai cerminan kehidupan masyarakatnya. Salah satu novel Indonesia

yang mengambarkan stratifikasi sosial yaitu novel Bumi Manusia (selanjutnya disingkat BM), karya Pramoedya Ananta Toer.

Novel BM adalah sebuah novel klasik karya Pramoedya Ananta Toer dengan jumlah 535 halaman, yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada tahun 1980 dengan beberapa kali cetak ulang. Novel ini merupakan novel pertama seri Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang ditulisnya ketika masih berada di dalam penjara di Pulau Buru, Maluku Tengah. Pramoedya adalah tahanan politik pemerintah Orde Baru dengan tuduhan berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pramoedya sendiri adalah salah seorang sastrawan besar asal Indonesia yang lahir pada tahun 1925 di Jawa Tengah.

Secara garis besar novel Bumi Manusia menceritakan tentang perjalanan kehidupan tokoh Minke, seorang pribumi yang berpengetahuan Eropa. Novel ini, juga secara apik menggambarkan terbentuknya pola-pola relasi kekuasan yang terbentuk dalam periode kolonialisme Belanda, yang menimbulkan konstruksi sosiokultural orang Eropa sebagai warga kelas satu, sementara kelompok suku bangsa lainnya diposisikan sebagai subordinat. Istilah ‘bangsa pribumi’ digunakan bukan hanya sebagai sebutan untuk menandai konstelasi dan subordinasi suku-suku bangsa melainkan juga sebagai konsekuensi sosiokultural yang timbul oleh sebab stratifikasi yang terbentuk pada zaman itu.

Lebih lanjut, dalam novel tersebut ditemukan persoalan kesenjangan kehidupan sosial terkait stratifikasi sosial, sebagaimana yang dapat ditemukan penggalan teks berikut ini: “dan: barangkali seperti itu juga tingkah orang-orang Yahudi dengan kewarganegaraan Romawi. Ia menganggap dirinya lain dari

saudara-saudara sekandung. Ia

(3)

Stratifikasi Sosial dalam …. (Nurul A. Lestaluhu & Falantino E. Latupapua)

133 Monolog tersebut secara jelas

mengandung analogi tentang adanya pemosisian kelompok masyarakat tertentu dalam relasi saling memandang antara satu suku bangsa dengan suku bangsa yang lain sehingga membentuk dikotomi dalam berbagai wujudnya. Orang berdarah Eropa sebagai kekuatan sosiokultural selalu diposisikan lebih tinggi derajatnya dari pada orang pribumi. Istilah ‘pribumi’ menunjuk pada masyarakat asli yang berasal dari wilayah/negara tertentu, tetapi kemudian mengalami penyempitan makna sebagai ‘yang tertindas, termarginalkan, terjajah, dan terabaikan hak-haknya’.

Stratifikasi sosial dalam novel BM dapat juga dilihat dalam wujud komunikasi antartokoh dalam konteks pilihan penggunaan bahasa sebagai refleksi status sosial dan penanda relasi kekuasaan. Pilihan ragam bahasa orang Belanda dalam komunikasi orang pribumi sebagai efek dari adanya stratifikasi sosial yang berimplikasi menindas, antara lain, dapat ditemukan dalam dialog berikut, “Kowe kira, kolo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara

Belanda lantas jadi Eropa? Tetap

monyet!” Petikan dialog dari dalam novel BM yang dicukil sebagian dari keseluruhannya merupakan perkataan tuan Mellema yang merupakan orang Belanda, yang ia tujukan kepada Minke. Minke adalah tokoh utama dalam novel BM, seorang pribumi yang diciptakan oleh pengarang dengan gelimbang simbolisme pikiran dan gaya hidup Eropa.

Uraian tersebut secara jelas membuktikan bahwa BM mengandung potensi persoalan sosiologis, terutama yang berkaitan dengan bentuk-bentuk stratifikasi sosial serta berbagai efeknya, yang menarik untuk diteliti secara lebih mendalam. Novel Bumi Manusia menjadi begitu relevan dan bermanfaat untuk diulas dari perspektif demikian sebagai wahana untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan sosial pada suatu masa sehingga

dapat dijadikan bahan refleksi dan kontemplasi, juga komparasi, untuk membentuk kesadaran tentang relasi sosial yang menghidupkan dan menggairahkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, yang berdiri di atas pengakuan akan keberagaman, kesetaraan, kebebasan, dan lain-lain.

Sebagai wahana studi historis, novel BM yang mengambil latar belakang dari situasi Indonesia pada awal abad ke-20 ini juga memiliki potensi besar untuk menciptakan gambaran yang menghidupkan imaji-imaji tentang kehidupan dan perjuangan bangsa Indonesia dalam kurun waktu kolonialisme Belanda. Pada saat membaca novel ini, pembaca seperti berada pada zaman pergerakan nasional yang menggambarkan perlawanan pribumi terhadap kekuasaan Eropa di Indonesia.

Dengan demikian, sebagai objek material, novel BM telah cukup problematik dalam kaitan dengan bentuk-bentuk stratifikasi sosial serta faktor-faktor yang membentuk stratifikasi sosial tersebut sebagai konsekuensi dari adanya pola-pola kekuasaan dan penaklukan dalam berbagai dimensi kehidupan.

Selanjutnya, pendekatan sosiologi sastra berfungsi sebagai alat analisis terhadap novel BM. Pendekatan sosiologi sastra dipandang relevan sebagai alat analisis karena adanya intensitas persoalan sosial dalam novel BM sebagai objek materi. Suaka (2014: 35), menyatakan bahwa sebagai salah satu pendekatan dalam analisis karya sastra, sosiologi digunakan untuk memahami sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Oleh karena stratifikasi sosial dalam novel Bumi Manusia merupakan refleksi atas permasalah kehidupan, maka upaya-upaya untuk menguraikan bentuk dan faktor-faktor pencetus terbentuknya stratifikasi sosial yang problematik akan membantu pembaca untuk memahami konstruksi

(4)

Totobuang, Vol. 9, No. 1, Juni 2021: 131—140

134

pikiran kolektif yang digambarkan oleh pengarang dalam karyanya.

Lebih lanjut, persoalan terkait stratifikasi sosial dalam novel Bumi Manusia perlu untuk diteliti. Fenomena stratifikasi sosial dalam novel yang menggambarkan kesenjangan kehidupan sosial serta hal-hal terkait hubungan antaranggota masyarakat yang mendekonstruksi gambaran ideal tentang relasi sosial yang tercipta atas dasar kesetaraan dan pengakuan akan harkat kemanusiaan yang universal. Oleh karena itu, analisis stratifikasi sosial dalam novel BM adalah suatu studi yang penting dan menarik untuk mengungkapkan gagasan dan pandangan Pramoedya Ananta Toer, juga refleksinya sebagai pengamat dan, mungkin saja sebagai yang mengalami secara langsung sebagai saksi atas tonggak peristiwa yang memunculkan problematika sosiokultural sebagai akibat dari stratifikasi sosial. Terhadap pembaca, studi ini tidak hanya dapat menawarkan perspektif pembacaan untuk menciptakan keutuhan pemahaman, tetapi juga sebagai refleksi menyeluruh untuk memahami berbagai relasi kemanusiaan yang terbentuk dalam relasi yang bersifat ulang-alik antara struktur karya sastra dan struktur masyarakat.

LANDASAN TEORI

1. Pendekatan Sosiologis dalam Sastra

Menurut Darmono dalam Wahyuningtyas (2011, hlm. 20), sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya, bukan sesuatu segi khusus masyarakat, terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek masyarakat yang menyangkut interelasi antarmanusia, syarat-syaratnya, dan akibat-akibatnya. Menurutnya terdapat dua hal utama dalam kajian sosiologi, yaitu pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra adalah cermin kehidupan masyarakat dan pendekatan yang menggunakan teks sastra

sebagai bahan fokusnya yang selanjutnya dicari aspek sosialnya.

Dalam pendekatan sosiologi sastra terdapat beberapa sasaran. Damono (1998, hlm. 3--4), menyatakan bahwa sasaran pendekatan sosiologi sastra adalah sebagai berikut :

a. Konteks Sosial Pengarang

Konteks sosial pengarang ada hubungannya dengan posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Maksudnya adalah pengarang dan pembaca merupakan anggota masyarakat yang memiliki posisi masing-masing. Maka dari itu, faktor-faktor sosial juga dapat mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya. Oleh karena itu, yang paling penting diteliti adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengarang mendapatkan

pekerjaan dan berpenghasilan.

2. Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.

3. Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Maksudnya yaitu masyarakat mana yang akan menjadi gambaran dalam karya sastra yang ditulis pengarang. Hal ini, dapat menentukan bentuk dan isi karya sastranya.

b. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat

Aspek ini menyangkut kesanggupan sastra untuk secara jelas menggambarkan kehidupan masyarakat. Namun hal ini sering disalahartikan. Dengan demikian, haruslah mendapatkan perhatian sebagai berikut:

1. Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu, namun sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.

2. Seorang pengarang mampu mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta

(5)

Stratifikasi Sosial dalam …. (Nurul A. Lestaluhu & Falantino E. Latupapua)

135 sosial dalam karyanya. Maka karya sastra

memiliki sifat “lain dari yang lain”.

3. Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.

4. Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat.

c. Fungsi Sosial Sastra

Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkait dengan nilai sosial?” dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”. Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu :

1. Sudut pandang yang menganggap karya sastra sederajat dengan cerita-cerita keagamaan yaitu karya pendeta atau nabi. Dalam hal ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus memiliki fungsi sebagai pembaharu dan perombak.

2. Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Maksudnya yaitu sastra hanya sebagai penghibur semata.

3. Sudut pandang kompromistis. Maksudnya yaitu Sudut pandang yang bersifat kompromi, misalnya sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur .

Ratna (2003, hlm. 11) menyatakan bahwa tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak

berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual tetapi juga gejala sosial.

Dengan menggunakan perspektif teoretis demikian, kajian ini membentangkan persoalan stratifikasi sosial pada novel serius berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang berlatar waktu penjajahan Belanda di Pulau Jawa. Novel tersebut mengetengahkan jalinan cerita yang penuh problematika, terkait dengan stratifikasi sosial yang melibatkan para tokoh dalam relasi saling memandang dengan berbagai faktor sebagai pencetusnya.

Kompleksitas persoalan dalam novel (serius), secara sosial, sering merupakan jalinan yang rumit namun komprehensif untuk memahami pikiran kolektif dalam konteks latar tertentu. Menurut

Nurgiantoro (2015, hlm. 15--22), jenis novel terbagi menjadi tiga yaitu novel serius, novel populer dan novel teentit. Novel serius adalah karya sastra yang memiliki kesanggupan untuk menawarkan aneka kemungkinan untuk memperdalam perenungan dan memperkaya pikiran. Itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Hal itu sesuai dengan hakikat kebenaran dalam cerita. Untuk membaca dan memahami novel serius dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Di samping memberikan hiburan, novel serius juga memiliki tujuan implisit untuk memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang menjadi fokus penceritaan.

2. Unsur-Unsur Stratifikasi Sosial

(6)

Totobuang, Vol. 9, No. 1, Juni 2021: 131—140

136

Soekanto (2013, hlm. 210--217), menguraikan beberapa unsur stratifikasi sosial, sebagai berikut :

1. Unsur Kedudukan (Status Sosial)

Pada akhirnya, kajian ini berfokus pada stratifikasi sosial yang berdasarkan atas pembagian kelompok atau tingkatan manusia menurut status sosialnya. Unsur status sosial yang dimaksudkan adalah perlakuan terhadap kedudukan seseorang dalam suatu kelompok masyarakat. Hal ini, berkaitan dengan status seseorang. Dalam kaitan dengan itu, status sosial dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni:

a. Ascribed status (status alamiah)

Ascribed status merupakan status yang diperoleh secara alamiah yang melekat dalam diri seseorang tanpa melalui pewarisan karena keturunan, serta tanpa melalui serangkaian usaha.

b. Achieved status (Status yang diusahakan/ diperoleh secara sengaja)

Achieved status merupakan kedudukan yang dicapai seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh berdasarkan hubungan darah atau secara genealogis, tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja. Kesanggupan meraih status ini tergantung pada kemampuan masing-masing orang dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuan mereka.

METODE

Artikel ini merupakan hasil penelitian yang secara deskriptif membentangkan bentuk dan faktor-faktor pencetus stratifikasi sosial dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Metode yang dipakai yaitu deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif dapat diarahkan sebagai cara untuk memecahkan masalah yang diselidiki dalam menggambarkan bentuk dan sifat masalah tersebut. Menurut Wirawan dalam Faruk (2012, hlm. 22), penelitian kualitatif merupakan variabel yang mengacu pada fakta-fakta yang dapat dikategorikan,

tetapi tidak dapat diangkakan. Metode ini, dianggap sesuai dengan latar belakang dan tujuan penelitian yang dilakukan. Metode deskriptif yang dimaksud yaitu untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang akan dianalisis yaitu terkait stratifikasi sosial.

Data dan korpus penelitian diperoleh melalui teknik pembacaan mendalam serta deskripsi. Selain itu, teknik kepustakaan diaplikasikan sebagai suatu upaya untuk melegitimasi analisis dengan dukungan sumber-sumber tertulis yang relevan. Sementara itu, teknik pembacaan dan pencatatan merupakan perlakuan setara observasi terhadap teks novel secara cermat, terarah, sebagai objek material dalam studi ini.

Analisis dilakukan terhadap kalimat-kalimat, frasa-frasa, kata-kata, termasuk ungkapan-ungkapan tokoh dalam novel yang merujuk pada persoalan stratifikasi sosial dengan menggunakan teori sosiologi sastra, khususnya berkenaan dengan konsep-konsep status sosial.

PEMBAHASAN

Pembahasan terhadap novel BM karya Pramoedya Ananta Toer dalam kerangka stratifikasi sosial berfokus pada relasi antara dua bentuk status sosial yang terbaca dalam relasi antartokoh dalam latar dan alur cerita, juga pada cara dan gaya pengarang membingkai cerita.

Unsur status sosial yang dimaksudkan adalah yang berhubungan dengan perlakuan terhadap kedudukan seseorang dalam suatu kelompok masyarakat. Hal ini, berkaitan dengan status, yakni bagaimana posisinya secara sosial dalam suatu lingkungan kolektif. (1) Ascribed Status (status alamiah)

Persoalan-persoalan mengenai status alamiah ini terbaca dalam beberapa bagian novel, antara lain dapat ditemukan dalam kutipan (1), di bawah ini.

(7)

Stratifikasi Sosial dalam …. (Nurul A. Lestaluhu & Falantino E. Latupapua)

137

(1) Siapa kasih kowe izin datang kemari, monyet! Dengusnya dalam Melayu-pasar, kaku dan kasar, juga isinya. (BM, 64)

Bagian novel tersebut (1) menarasikan peristiwa kemunculan Tuan Mellema, suami Nyai Ontosoroh, secara tiba-tiba, lalu memarahi Minke karena datang ke rumahnya. Dapat terlihat dengan jelas bahwa Tuan Mellema menggunakan bahasa Melayu Pasar yang kasar dan kaku, dengan sapaan kowe yang merupakan sapaan kasar terhadap seseorang dengan status sosial yang lebih rendah. Ditambah lagi, penyebutan Minke sebagai monyet turut memperkuat adanya pemosisian Minke secara alamiah sebagai bukan

Belanda yang tidak diperkenankan

berkunjung, meskipun ia berupaya untuk melakukan mimikri sosial serupa orang Belanda.

Dalam kutipan tersebut tergambar adanya stratifikasi sosial berupa distingsi kedudukan Minke yang dibandingkan dengan Tuan Mellema dan keluarganya sebagai ascribed status atau status alamiah dengan menggunakan bahasa sebagai media penyataan status. Tuan Mellema memarahi Minke dengan kasar, memakai kata monyet sebagai metafora, dikarenakan Minke adalah seorang pribumi dan Tuan Mellem berkebangsaan Belanda. Tuan Mellema menganggap Minke tidak pantas diundang kerumahnya karena Minke adalah seorang pribumi. Derajat seorang pribumi sangat rendah di hadapan orang Belanda. Perlakuan Tuan Mellema terhadap Minke adalah perwujudan disparitas status sosial melalui penggunaan bahasa yang tidak setara sebagai salah satu determinan yang mempertegas status alamiah masing-masing pihak.

Lebih lanjut, melalui perkataan tokoh, Pramoedya berusaha menggambarkan persoalan sosial yang paradoksal, yang terjadi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. yaitu orang Eropa menganggap rendah pribumi

atas dasar superioritas Eropa/ kulit putih. Oleh karena itu, pada umumnya mereka bersikap dan berperilaku merendahkan golongan pribumi sebagai tuan yang sesungguhnya atas tanah Hindia Belanda. Dengan demikian, perilaku dan sikap merupakan salah satu determinan dalam membentuk perbedaan strata atau stratifikasi sosial.

(2) Kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet! (BM, 64)

Bagian novel yang dikutip ini (2) menggambarkan sebuah peristiwa terhinanya Minke secara sadar dan sengaja oleh Mellema. Ia mengatai Minke bahwa Minke tidak pantas dan tidak akan mungkin menjadi orang Eropa meskipun ia berusaha melakukan falsifikasi status sosial dirinya secara alamiah yang bukan Belanda, menjadi seakan-akan Belanda. Perkataan Mellema sekaligus merupakan sebuah destruksi terhadap upaya Minke mengonstruksikan citra dirinya, berusaha mengubah status sosial alamiah menjadi status sosial yang dibentuk atau diperoleh lewat usahanya itu.

Secara paradoksal, perkataan Tuan Mellema menunjukkan kegagalan usaha Minke untuk meniru atau melakukan mimikri untuk secara sadar menjadikan citra dirinya sebagai orang Eropa, bukan secara genetika, melainkan secara kultural. Perkataan Tuan Mellema secara tidak langsung mengandung implikasi bahwa pribumi adalah tetap pribumi yang rendah, hina, tidak beradab, terbelakang, dan kurang layak menjadi “manusia”.. Perlakuan Tuan Mellema terhadap Minke adalah semacam legitimasi status sosialnya sebagai orang Belanda/Eropa. Sebagai kekuatan kultural yang mendominasi secara sosial dan berada pada puncak stratifikasi sosial pada masa itu.

Dalam kutipan tersebut dapat pula diidentifikasi adanya upaya penggambaran

(8)

Totobuang, Vol. 9, No. 1, Juni 2021: 131—140

138

persoalan sosial yang terjadi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia yang dilakukan oleh orang Eropa. Misalnya penghinaan terhadap pribumi, penindasan terhadap pribumi dan perlakuan yang tidak pantas terhadap pribumi. Hal ini, dilakukan karena konstruksi stratitifikasi sosial mereka lebih tinggi dari pribumi, serta

adanya superioritas yang

mengonstruksikan disparitas sosial. Dengan demikian, perilaku atau sikap juga merupakan salah satu determinan dalam membentuk perbedaan strata atau stratifikasi sosial.

(3) Derai tawa semakin meriah, mengejek, lebih demonstratif juga jaksa, tersenyum senang dapat melakukan siksaan batin atas diri perempuan pribumi

yang banyak diiri oleh

perempuan-perempuan Totok

dan Indo Eropa itu. (BM, 425)

Kutipan (3) berisikan narasi tentang jalannya persidangan atas perkara kematian Tuan Mellema. Dalam persidangan, Nyai Ontosoroh dibuat malu dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Mereka menertawakan, mengejek, dan mempermalukan Nyai Ontosoroh. Mereka terlihat senang melakukan hal yang mempermalukan seorang perempuan gundik/nyai pribumi. Peristiwa ini, menurut penuturan Pramoedya, disebabkan oleh ketidaksukaan komunitas Eropa di Surabaya kala itu karena Nyai Ontosoroh dalam statusnya sebagai gundik/nyai telah memperoleh serangkaian keistimewaan atas hak milik keluarga Mellema. Ini adalah sesuatu hal yang tidak lazim dilakukan oleh perempuan pribumi yang menjadi gundik atau nyai pada zaman itu.

Dalam kutipan (3), tergambar suatu stratifikasi sosial yang nyata, yang diwujudkan secara simbolik dalam cara pengarang menarasikan interaksi

antartokoh yang penuh dengan benturan. Unsur stratifikasi sosial yang dimaksud yaitu unsur kedudukan ascribed status (status alamiah). Nyai Ontosoroh adalah minoritas empat lapis: perempuan, nyai, pribumi, Jawa, yang dianggap sebagai simbol ancaman atau perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni Eropa. Peristiwa di pengadilan adalah bentuk penolakan komunal orang Eropa sekaligus melambangkan upaya dominatif dan hegemonik untuk “melawan” Nyai Ontosoroh, dan menunjukkan dengan jelas posisinya sebagai representasi pribumi yang bagaimanapun secara sosial berada pada strata di bawah bangsa Eropa. Statusnya sebagai nyai atau gundik secara alamiah telah memosisikan Nyai Ontosoroh pada level subordinat dengan berbagai bentu ascribed status yang melekat padanya.

Pada bagian ini, dapat dilihat upaya pengarang untuk menggambarkan persoalan sosial yang terjadi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, yang dilakukan oleh orang Eropa. Jadi, kekuasaan juga merupakan salah satu determinan dalam membentuk perbedaan strata atau stratifikasi sosial. Dengan kata lain, memiliki kekuasaan dalam bentuk tertentu secara sosial, ekonomi, dan kultural, membuka peluang untuk mendapatkan achieved status sekaligus untuk menunjukkan perlawanan terhadap ascribed status yang berada dalam bingkai subordinasi.

(2) Achieved Status (Status yang diusahakan)

Di bawah ini adalah kutipan yang menunjukan unsur achieved status (status yang diusahakan) :

(4) “Tutup mulut!” bentak Nyai dalam Belanda dengan suara berat dan kukuh. “Ia tamuku”.

(9)

Stratifikasi Sosial dalam …. (Nurul A. Lestaluhu & Falantino E. Latupapua)

139 Kutipan (4) adalah cuplikan dialog

dalam narasi keberanian Nyai Ontosoroh sebagai perempuan pribumi yang berani membentak suaminya, Tuan Mellema, orang Belanda.

Ketika Tuan Mellema sering mabuk-mabukan dan jarang pulang ke rumah, perusahaan mereka, Boerderij Buitenzon mengalami kebangkrutan. Nyai Ontosoroh berupaya membangun Kembali perusahaan Boerderij Buitenzon sendirian untuk memulihkan keadaan sehingga dapat meraih kesuksesan. Hal ini, membuat sebagian orang menghormati dan takut padanya termasuk Tuan Mellema dan kedua anaknya. Tuan Mellema yang merupakan Belanda kini tunduk dan takut pada Nyai Ontosoroh yang hanya merupakan seorang pribumi, hal ini berkat tekat dan perjuangan yang telah dilakukan Nyai Ontosoroh.

Dalam konteks ini, pengarang berusaha menggambarkan watak Nyai Ontosoroh melalui perubahan sikapnya terhadap Tuan Mellema, sekaligus membalikkan citra dan status pribumi yang diwakili oleh Ontosoroh dalam lapisan strata yang menempatkan ia secara bersama dengan Mellema. Melalui tokoh

Nyai Ontosoroh pengarang

memperlihatkan perlawanan pribumi terhadap Belanda sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan achieved status. Pengarang berusaha mengambarkan watak Nyai Ontosoroh yang berjuang dengan sungguh-sungguh dengan pikiran yang bijaksana, meskipun secara sosial, ia memiliki status alamiah yang berada pada lapisan paling bawah. Otoritas itu ia peroleh ketika dengan kemampuannya, ia berhasil mengubah perusahaan yang mengalami kebangkrutan menjadi perusahaan yang menguntungkan. Hal ini adalah sebuah perlawanan simbolik sekaligus mencerminkan bahwa kerja keras, usaha yang sungguh-sungguh dan berdisiplin adalah determinan penting dalam menciptakan achieved status, yang,

dalam konteks ini, sekaligus merepresentasikan semacam oposisi terhadap stigma-stigma yang tadinya membentuk ascribed status tokoh Nyai Ontosoroh. Dengan demikian, usaha, kerja keras, dan disiplin yang dapat membentuk kemampuan ekonomi, sekaligus sosial, yang pada gilirannya akan memantapkan posisi seseorang secara kultural dalam perlawanan dan perjuangannya untuk meraih achieved status dan mengubah posisinya dalam stratifikasi sosial. Secara implisit dan simbolik, fakta teks mengenai kegagalan Tuan Mellema merupakan refleksi kegagalan superioritas Barat yang bisa mengalami kegagalan dan kehancuran paradoksal, sementara Timur yang diwakili oleh Nyai Ontosoroh bisa menyelamatkan keadaan. Tampaknya, fakta ini menunjukkan adanya upaya simbolik untuk membalikkan superioritas kultural, sosial, dan ekonomi, sekaligus mengubah status sosial secara ulang-alik: Mellema pada satu pihak mengalami degradasi ekonomi, sosial, dan kultural, sementara Nyai Ontosoroh sebagai representasi golongan pribumi yang tadinya inferior mengalami peningkatan status dan posisi dalam stratifikasi.

(5) Dia tidak menulis, tapi ahli

mencekam orang dalam

genggamannya. Dia mengurus

perusahan besar secara Eropa! Dia menghadapi sulungnya sendirian,

menguasai tuannya, Herman

Mellema. (BM, 106)

Kutipan (5) menjelaskan tentang sosok Nyai Ontosoroh yang diakui Minke sebagai salah satu perempuan pribumi yang luar biasa melalui kerja kerasnya mengurus perusahaan besar, menghadapi perlawanan anak sulung Mellema, dan menguasai tuannya, Herman Mellema.

Pengarang mengambarkan sosok Nyai Ontosoroh sebagai seorang perempuan pribumi yang luar biasa. Melalui watak Nyai Ontosoroh pengarang

(10)

Totobuang, Vol. 9, No. 1, Juni 2021: 131—140

140

memperlihatkan ketidaktundukkan pribumi terhadap Belanda, sekaligus perlawanan terhadap status sosial yang telah menjadi semacam “mitos” pada zaman itu. Secara simbolik, pengarang menunjukkan bahwa perlawanan secara tersembunyi terhadap simbol kekuatan atau kekuasaan merupakan salah satu faktor yang mampu mengubah status sosial seseorang.

Sekali lagi, faktor kemampuan, usaha, dan keras merupakan salah satu determinan untuk meraih status sosial, dalam konteks kekuasaan kolonial sekalipun. Citra Nyai Ontosoroh yang tangguh, tidak pasrah, pekerja keras adalah pembalikkan terhadap ascribed status yang awalnya telah menjadi semacam mitos menjadi sesuatu yang bisa diubah menjadi achieved status.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap masalah stratifikasi sosial dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Annanta Toer ditemukan bahwa stratifikasi sosial yang dominan muncul dalam penceritaan novel adalah unsur kedudukan atau status sosial. Status sosial terdiri atas ascribed status (status alamiah), yakni status yang didapatkan secara alamiah melalui keturunan; serta achieved status (status yang diusahakan), yakni status yang didapat dengan usaha tertentu sehingga menghasilkan perubahan-perubahan.

Stratifikasi sosial dalam novel Bumi Manususia karya Pramoedya Ananta Toer menempatkan strata pribumi, Indo (campuran Eropa dan Pribumi) dan Orang Eropa. Setiap bagian strata sosial tersebut pada awalnya telah memiliki ascribed status masing-masing, yang terbentuk melalui pola-pola kekuasaan kolonial yang menghasilkan relasi saling memandang, konflik, serta perjuangan-perjuangan kelas dan status sosial.

Berdasarkan analisis terhadap keseluruhan narasi dalam novel, telah

ditemukan beberapa determinan dalam membentuk perbedaan strata atau stratifikasi sosial, yakni: 1) keturunan; 2) kekuasaan dan jabatan; 3) pergundikan/perkawinan; 4) perilaku dan sikap; 5) perlawanan dan perjuangan , dan; 6) usaha dan kerja keras

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. (1998). Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Faruk. (2012). Metode Penelitian Sastra

(Sebuah Penjelajahan Awal).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong. (2005). Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nurgiyantoro, Burhan. (2015). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pattinasarany, Rita R.I. (2016). Stratifikasi

dan Mobilitas Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Ratna K. Nyoman. (2003). Pradigma

Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Ratna K. Nyoman. (2007). Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Soekanto, Soerjono. (2013). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grofindo Persada.

Suaka, Nyoman. (2014). Analisis Sastra: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Penerbit Ombak

Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya

Toer, Pramoedya Ananta. (2005). Bumi Manusia. Jakarta:Lentera Dipantara.

Wahyuningtyas, Wijaya. (2011). SASTRA:

Teori dan Implementasi.

Referensi

Dokumen terkait

On page 36, the Previous Study section has been amended with the correct recommendation that candidates should previously have studied a history curriculum.. We have not updated

pengukuran pengembalian batas bidang tanah tersebut dilakukan terhadap sertipikat yang tanda batasnya sudah hilang dan atau sertipikat yang tidak

1) Peningkatan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah melalui bantuan pembangunan rumah tidak layak huni, pemberian bantuan modal peternakan/modal usaha.. 2)

Para nelayan yang terdaftar dalam program Perdagangan yang Adil lebih berkomitmen untuk menjual langsung kepada para pembeli Perdagangan yang Adil sehingga menjamin rantai

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Perum Pegadaian Pusat dalam mengelola aset atau harta kekayaannya masih secara manual dan belum ada rancangan sistem basisdata inventaris

[r]

Karena itu tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kewajiban moral, sosialisasi perpajkan, dan sanksi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak orang

Berpijak pada latar belakang di atas, penelitian ini mencoba untuk menjawab tiga permasalahan; bagaimanakah gambaran tentang Yahudi sebagai agama dan bangsa? Bagaimanakah