• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTIK PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA PADA PEMBIAYAAN. MUDHARABAH (Studi Kasus Bank Syariah Mandiri Pusat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRAKTIK PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA PADA PEMBIAYAAN. MUDHARABAH (Studi Kasus Bank Syariah Mandiri Pusat)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTIK PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH (Studi Kasus Bank Syariah Mandiri Pusat)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh : Nurjannah 11140460000130

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

i

PRAKTIK PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH (Studi Kasus Bank Syariah Mandiri Pusat)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh: Nurjanah NIM: 11140460000130

Pembimbing

Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. NIP. 2001088601

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “Praktik Pengikatan Jaminan Fidusia Pada Pembiayaan Mudharabah (Studi kasus Bank Syariah Mandiri Pusat)”, yang ditulis oleh Nurjanah, NIM. 11140460000130, telah diujikan dalam sidang skripsi pada 9 April 2021 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi, M.A. NIP. 19760807 200312 1 001

Panitia Sidang :

Ketua : A.M Hasan Ali, M.A. (...) NIP. 19751201 200501 1 005

Sekretaris : Dr. Abdurrauf, Lc M.A. (...) NIP. 19731215 200501 1 002

Pembimbing : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. (...) NIP. 2001088601

Penguji I : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (...) NIP. 19670203 201411 1 001

Penguji II : Hidayatulloh, S.H.I., M.H. (...) NIP. 19870830 201801 1 002

(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar di Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya sendiri atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, ...

(5)

iv ABSTRAK

Nurjanah. NIM 11140460000130. PRAKTIK PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH (Studi Kasus Bank Syariah Mandiri Pusat). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442H/2020M.

Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengikatan jaminan fidusia pada pembiayaan mudharabah di Bank Syariah Mandiri Pusat dan juga prosedur yang dilakukan Bank Syariah Mandiri Pusat sebelum dilakukannya eksekusi objek jaminan fidusia ditinjau dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10// POJK.05/2019 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan.

Studi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan penelitian normatif empiris, dimana kajian yang dilakukan menyelaraskan antara peraturan-peraturan dengan praktiknya di Bank Syariah Mandiri Pusat. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian lapangan, yang kemudian peneliti menggabungkan antara fakta-fakta dan teori-teori yang diambil dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, peraturan Otoritas Jasa Keuangan, dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan pembiayaan mudharabah dan jaminan fidusia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengikatan jaminan fidusia dilakukan semata-mata agar mudharib atau nasabah tidak melakukan penyimpangan. Jaminan fidusia hanya akan dicairkan apabila nasabah terbukti mengalami pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad (wanprestasi). Bank Syariah Mandiri Pusat benar-benar selektif saat memilih calon nasabah agar meminimalisir terjadinya wanprestasi dan menjalankan semua prosedur sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh PT. Bank Syariah Mandiri dan prosedur sesuai dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Kata Kunci : Jaminan Fidusia, Pembiayaan Mudharabah. Pembimbing : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.

(6)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Praktik Pengikatan Jaminan Fidusia Pada Pembiayaan Mudharabah (Studi Kasus Bank Syariah Mandiri)”. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, tabi’in, dan berharap sampai kepada kami selaku ummatnya diakhir zaman ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi (S1) dan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam menyusun skripsi ini tidak sedikit kekurangan dan kesulitan yang dialami oleh penulis, baik dalam kepustakaan, penelitian lapangan maupun hal-hal lainnya. Tetapi berkat ketekunan, bimbingan, petunjuk serta bantuan dari pihak lain akhirnya dapatlah disusun dan diselesaikan skripsi ini menurut kemampuan penulis. Kendatipun isinya mungkin terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, baik mengenai materinya, bahasanya serta sistematikanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini disusn dan diselesaikan berkat petunjuk, bimbingan dan bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, sudah pada tempatnyalah penulis menghanturkan ucapan penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah rela memberikan, baik berupa moril maupun berupa materil dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang terdalam dan tak terhingga terutama kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya;

2. Bapak A.M. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat) dan Bapak Abdurrauf, Lc., M.A., selaku Sekertaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat).

(7)

vi

3. Bapak Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa meluangkan waktu memberikan arahan dan masukan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Abdurrauf, Lc., M.A., selaku dosen pembimbing akademik penulis. 5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta atas bimbingan dan pengajaran yang telah diberikan selama masa perkuliahan penulis.

6. Pimpinan dan Staf Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Umum Universitas IslamNegeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk melakukan studi kepustakaan.

7. Bapak Alm. Said Wiranta dan Ibu Nina Rosdiana yang senantiasa selalu memberikan kasih sayang dan dukungan serta doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Kakak penulis Sinta Rosmitasari, Muhammad Firdaus, Tika Nurcahyani yang selalu memberikan dukungan serta doa kepada penulis.

9. Teman-teman penulis selama perkuliahan Ayu Fauziah, Melika Lulu, dan Trisuci Puspito yang selalu setia menemani, menghibur, memberikan dukungan dan doa yang tiada henti kepada penulis.

10. Teman-teman penulis sejak Sekolah Menengah Pertama hingga saat ini Mardhiyah Lestari, Ayu Fauziah, Hana Soraya, Athaya Rahma Blackpink, Khusnul Asa, dan Ilma Navarinda yang selalu ada untuk memberikan dukungan dan doa disetiap situasi sulit yang dihadapi penulis.

Bekasi, 15 Juli 2020

(8)

vii DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 6

D. Metode Penelitian ... 8

1. Jenis Penelitian ... 9

2. Pendekatan penelitian... 9

3. Data Penelitian ... 9

4. Teknik Pengumpulan Data ... 10

5. Teknik Analisis Data... 10

E. Sistematika Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Kerangka Konseptual ... 12 B. Kerangka Teori ... 14 1. Perbankan Syariah ... 14 2. Pembiayaan Mudharabah ... 17 3. Jaminan ... 24 4. Jaminan Fidusia ... 38

BAB III GAMBARAN UMUM BANK SYARIAH MANDIRI ... 46

A. Sejarah PT. Bank Mandiri Syariah ... 46

B. Visi dan Misi PT. Bank Syariah Mandiri ... 47

C. Struktur Organisai Bank Syariah Mandiri ... 49

D. Prinsip Operasional PT. Bank Syariah Mandiri ... 49

E. Produk dan Jasa PT. Bank Syariah Mandiri ... 50

BAB IV PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI BANK SYARIAH MANDIRI PUSAT ... 54

(9)

viii

A. Prosedur Pembiayaan Mudharabah pada Bank Syariah Mandiri Pusat 54

B. Pengikatan Jaminan Fidusia yang Diterapkan dalam Pembiayaan

Akad Mudharabah pada Bank Syariah Mandiri Pusat... 59

C. Eksekusi Jaminan Fidusia pada Bank Syariah Mandiri Pusat ... 62

BAB V PENUTUP ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Rekomendasi ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN ... 94

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan industri keuangan syariah secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Hal dimaksud berarti secara yuridis empiris telah diakui keberadaannya oleh masyarakat Islam di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan nonbank yang telah menerapkan konsep bagi hasil (mudharabah) dalam kegiatan operasionalnya. Hal ini menunjukan kebutuhan masyarakat tentang kehadiran institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan ajaran Islam bagi pemeluknya.1

Lembaga keuangan syariah saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat di Indonesia. Hal ini kita ketahui ditandai dengan semakin banyaknya lembaga-lembaga keuangan syariah yang berdiri di Indonesia dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Khususnya lembaga keuangan syariah disektor perbankan yang menawarkan berbagai jenis pembiayaan baik pembiayaan yang bersifat konsumtif maupun produktif yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip islam yang sangat tepat untuk Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim.

Peran perbankan syariah dalam transaksi pembiayaan adalah bertindak sebagai penyedia dana, yang mana setiap nasabah akan menerima fasilitas pembiayaan dari pihak penyedia dana yakni bank syariah apa pun itu jenisnya, sampai batas waktu yang telah ditetapkan oleh pihak bank, maka nasabah wajib untuk mengembalikan pembiayaan tersebut kepada pihak bank syariah. Untuk meminimalisir risiko-risiko yang akan terjadi dalam pembiayaan-pembiayaan tersebut, maka pihak

1 Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Pertama), h., 12.

(11)

bank melakukan beberapa upaya pencegahan salah satunya dengan adanya jaminan.

Pembiayaan diberikan oleh lembaga keuangan dengan adanya jaminan dari debitur kepada bank. Pasal 24 UU Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan ditentukan bahwa “Bank tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan”. Jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan (accesoir). Jaminan bersifat tambahan karena mengikuti perjanjian pokok, yaitu perjanjian untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan nonbank, contohnya dalam perjanjian kredit bank, pihak peminjam harus melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Maka untuk memberikan kepastian hukum bagi bank diperlukan perjanjian jaminan sebagai tambahan (accesoir).

Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, dalam Pasal 1 dijelaskan bahwasannya jaminan fidusia ialah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Ditetapkannya UU RI Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ini adalah pertimbangan bahwa fidusia dinilai sebagai pemberian fasilitas kemudahan bagi dunia usaha agar lebih berkembang. Hal ini mengingat benda yang dijaminkan melalui fidusia tetap dapat dipergunakan oleh pemilik benda untuk modal usahanya.

Menurut ulama klasik dalam perjanjian mudharabah tidak diperlukan dan tidak dibenarkan adanya jaminan. Tidak etis bagi lembaga keuangan syariah meminta jaminan dalam hal perjanjian kerja sama

(12)

mudharabah mengingat hal ini sama-sama penyertaan modal. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa transaksi mudharabah terjadi karena adanya kepentingan bersama untuk bermitra usaha yang didasarkan pada sikap saling membutuhkan dan saling percaya dan terjadinya mudharabah bilamana pemilik modal sudah merasa yakin dan percaya atas diri orang yang akan mengelola modalnya itu. Karenanya jaminan yang dibebankan pada pengelola modal dinilai tidak mencerminkan nilai mudharabah yang sesungguhnya.1

Namun adapula hasil penelitian yang menyatakan jaminan dalam pembiayaan yang menggunakan pembiayaan mudharabah menurut kesepakatan para ulama klasik adalah dilarang dan menyebabkan tidak sahnya akad karena bertentangan dengan prinsip “amanah” yang mendasari akad ini. Adapun pendapat dari Ibnu Qudamah yang artinya sebagai berikut:

"Jika pemilik modal (shahib al-mal) mensyaratkan kepada pengelola (mudharib) agar bertanggung jawab terhadap risiko usaha, maka syarat itu fasid karena hal itu bukan merupakan bagian dari kemaslahatan dan bertentangan dengan karakeristik akad." (al-Khathib, AI-Mughni 7/179)

Akan tetapi, sebagian ulama kontemporer dan berdasarkan aplikasi diperbankan syari’ah saat ini, jaminan dalam pembiayaan mudharabah diperbolehkan tetapi bukan dimaksudkan untuk memastikan kembalinya modal, melainkan untuk memastikan bahwa kinerja mudharib sesuai dengan syarat-syarat kontrak dan untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan oleh pengelola dana (taqshir al-amiil). Oleh karena itu, jaminan hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan

1 Taufiqul Hulam, “Jaminan dalam Transaksi Akad Mudharabah Pada Perbankan Syariah”, Mimbar Hukum, 22, 3 (Oktober, 2010), h., 530.

(13)

pelanggaran (ta’addi), kelalaian (taqshir), atau menyalahi kesepakatan yang telah ditentukan (mukhalafatu al syurut).2

Jika jaminan fidusia dicairkan tanpa ada bukti pengelola dana melakukan pelanggaran (ta’addi), kelalaian (taqshir), atau menyalahi kesepakatan yang telah ditentukan (mukhalafatu al syurut) seperti yang disebutkan di atas, maka perlu dipertanyakan keabsahan dari perjanjian pembiayaan akad mudharabah tersebut.

Dalam praktiknya sering kali terjadi pencairan objek jaminan fidusia dilakukan tanpa sepengetahuan dari pihak nasabah. Karena pihak bank menganggap nasabah sudah tidak mampu untuk menutup kerugian akibat pembiayaan macet yang terjadi. Hal tersebut dilakukan oleh pihak bank tanpa melewati proses-proses yang seharusnya dilakukan sebelum melakukan pencairan objek jaminan fidusia, seperti restrukturisasi pembiayaan, pemberian Surat Peringatan pertama, kedua, dan ketiga, dan lain sebagainya. Atas dasar pertimbangan uraian masalah yang dijelaskan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai hal tersebut yang dituangkan penulis dalam skripsi dengan judul “Praktik Pengikatan

Jaminan Fidusia pada Pembiayaan Mudharabah (Studi Kasus Bank Syariah Mandiri Pusat).”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang di identifikasi adalah sebagai berikut:

a. Peraturan yang mengatur tentang jaminan dalam pembiayaan perbankan.

b. Pengikatan jaminan untuk meminimalisir risiko dalam pembiayaan akad mudharabah.

c. Wanprestasi dalam akad mudharabah.

2 Ah. Azharudin Lathif, “Penerapan Hukum Jaminan dalam Pembiayaan di Perbankan Syariah”, (Jakarta: Makalah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h., 13.

(14)

d. Penerapan pengikatan jaminan fidusia dalam pembiayaan akad mudharabah.

e. Tindakan atau prosedur sebelum dilakukannya eksekusi objek jaminan akad mudharabah.

2. Pembatasan Masalah

Dari permasalahan yang telah di identifikasikan di atas, untuk mempermudah penulis dalam menganalisis hasil penelitian, maka penulis membatasi masalah penelitian. Pembatasan masalah ini dimaksudkan agar pembahasan lebih terfokus dan spesifik. Oleh karena itu pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya pada penerapan pengikatan jaminan fidusia dalam pembiayaan akad mudharabah serta menganalisis tindakan atau prosedur yang dilakukan oleh bank sebelum dilakukannya eksekusi objek jaminan dengan studi kasus pada Bank Syariah Mandiri Pusat.

3. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan, maka penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pengikatan jaminan fidusia yang diterapkan dalam pembiayaan akad mudharabah pada Bank Syariah Mandiri Pusat agar meminimalisir wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah? b. Bagaimana tindakan atau prosedur yang dilakukan Bank Syariah

Mandiri Pusat sebelum dilakukannya eksekusi objek jaminan fidusia akibat adanya wanprestasi?

4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dengan rumusan masalah diatas, maka dapat dilihat tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana praktik pengikatan jaminan fidusia dalam pembiayaan akad mudharabah pada Bank Syariah Mandiri Pusat untuk meminimalisir wanprestasi.

(15)

b. Untuk mengetahui tindakan atau prosedur yang dilakukan Bank Syariah Mandiri Pusat sebelum dilakukannya eksekusi objek jaminan fidusia.

5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis, ataupun sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya mengenai pembiayaan akad mudharabah.

b. Manfaat Praktis

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pembiayaan akad mudharabah yang sesuai dengan hukum yang mengaturnya. Serta dapat diterapkan dengan sebagaimana mestinya sesuai dengan syariat-syariat islam.

C. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Sebagai upaya pencegahan untuk mengindari kesamaan tema dengan penelitian terdahulu. Maka penulis telah melakukan tinjauan (review) studi terdahulu yang memiliki persamaan pembahasan tentang segala jenis jaminan fidusia dalam praktiknya di perbankan syariah. 1. Penelitian Ridwan Fathoni, Siti Malikhatun Badriyah, dan R. Suharto

dengan judul “Efektivitas Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik Terhadap Pembiayaan Bank Syariah (Studi Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Artha Amanah Ummat Kabupaten Semarang)” membahas tentang efektivitas kewajiban bagi kreditur sebagai penerima jaminan fidusia untuk mendaftarkan jaminan fidusia secara online melalui Notaris sebagai pejabat yang berwenang dalam melakukan pendaftaran jaminan fidusia yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap pembiayaan BPRS Artha Amanah Ummat Kabupaten Semarang. Pembeda penelitian penulis

(16)

dengan penelitian ini yaitu pokok pembahasannya. Pada penelitian Ridwan Fathoni dkk, pembahasannya fokus kepada ke efektivitasan pemberlakuan pendaftaran jaminan fidusia secara online pada pembiayaan BPRS Artha Amanah Ummat Kabupaten Semarang. Sedangkan penelitian penulis fokus kepada praktik pengikatan jaminan fidusia dalam akad mudharabah pada Bank Syariah Mandiri Pusat.3

2. Penelitian Opan Ruly Sutisna yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyitaan Jaminan Fidusia (Studi di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Mu’amalah Cilegon)” penelitian ini fokus menganalisa UU No. 42 Tahun 1999 tentang penyitaan jaminan fidusia pada pasal 29 sampai pasal 34, yang menjadi pembeda adalah penelitian ini membahas secara rinci tentang mekanisme penyitaan jaminan fidusia, serta membahas tentang tinjauan hukum islam terhadap penyitaan jaminan fidusia di PT. BPRS Mu’amalah Cilegon.4

3. Penelitian yang ditulis oleh Dian Nurcahyani yang berjudul “Implementasi Jaminan Mudharib Terhadap Risiko Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah Mandiri Area Malang” menganalisa risiko pembiayaan mudharabah terhadap jaminan yang diserahkan oleh mudharib kepada pihak bank. Pembeda penelitian adalah penelitian ini membahas pada pola manajemen risiko yang akan terjadi kepada shahibul maal berkenaan dengan pembiayaan yang telah diberikan dengan disertai pembebanan jaminan kepada mudharib.5

4. Penelitian Halimatus Sa’diyah, Norsain, dan Isnani Yuli Andini yang berjudul “Kedudukan Fidusia Sebagai Jaminan Akad Pembiayaan

3Ridwan Fathoni, Siti Malikhatun Badriyah, dan R. Suharto, “Efektivitas Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik Terhadap Pembiayaan Bank Syariah (Studi Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Artha Amanah Ummat Kabupaten Semarang)”. (Semarang: Jurnal Hukum Universitas Diponegoro, 2016).

4 Opan Ruly Sutisna, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyitaan Jaminan Fidusia (Studi di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Mu’amalah Cilegon)”. (Skripsi S-1, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Sultan Hasanuddin Banten, 2018).

5 Dian Nurcahyani “Implementasi Jaminan Mudharib Terhadap Risiko Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah Mandiri Area Malang”. (Skripsi S-1, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018).

(17)

Murabahah Pada Bank Syariah: Studi Kasus Pada BPRS Bhakti Sumekar Sumenep” dalam penelitian ini para penulis membahas bagaimana perkembangan praktik pembiayaan murabahah dengan jaminan fidusia dari tahun 2015 sampai dengan 2016 di BPRS Bhakti Sumekar Sumenep dan meninjau kedudukan jaminan fidusia dari sudut pandang Islam. Pembeda antara penelitian ini dengan penelitian penulis adalah akad pembiayaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan akad Murabahah sedangkan penulis menggunakan akad Mudharabah untuk penelitian ini.6

5. Penelitian yang ditulis oleh Dewi Eka Saputri yang berjudul “Analisis Yuridis Pembiayaan Mudharabah Dengan Jaminan Kebendaan Pada Perbankan Syariah Menurut Hukum Islam (Studi Pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Kota Lhokseumawe)” penelitian ini menganalisis secara hukum tentang pembiayaan mudharabah dengan jaminan kebendaan pada perbankan syariah menurut hukum islam serta menganalisis peranan notaris terkait dengan pengikatan jaminan kebendaan pada pembiayaan mudharabah oleh Bank Syariah Mandiri Cabang Kota Lhokseumawe. Pembeda penelitian adalah dalam penelitian ini, penulis fokus kepada analisa peranan notaris terkait dengan pengikatan jaminan kebendaan pada pembiayaan mudharabah di perbankan syariah.7

D. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara kerja meneliti untuk dapat memahami atau menyelesaikan objek yang menjadi sasaran ilmu. Pada dasarnya sesuatu yang dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya “pengetahuan yang benar”. Dimana

6 Halimatus Sa’diyah, Norsain, dan Isnani Yuli Andini “Kedudukan Fidusia Sebagai Jaminan Akad Pembiayaan Murabahah Pada Bank Syariah: Studi Kasus Pada BPRS Bhakti Sumekar Sumenep”. (Sumenep: Misykat Al-Anwar Jurnal Kajian Islam dan Masyarakat, 2018).

7 Dewi Eka Saputri “Analisis Yuridis Pembiayaan Mudharabah Dengan Jaminan Kebendaan Pada Perbankan Syariah Menurut Hukum Islam (Studi Pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Kota Lhokseumawe)”. (Medan: Tesis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2016).

(18)

pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan ketidaktahuan tertentu.8 Dalam penulisan rencana penelitian ini

atau proposal dibutuhkan data yang akurat untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada pada rencana penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah kualitatif yang bersifat deskriptif analisis yang menggambarkan data dan informasi lapangan berdasarkan sebagaimana adanya pada saat penelitian dilakukan, kemudian dilakukan analisa secara lebih mendalam.

2. Pendekatan penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan yuridis normatif yaitu dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan menelaah teori-teori, konsep-konsep, serta berbagai peraturan yang tercantum dalam POJK dan Undang-undang yang berkaitan dengan penelitian ini. Kemudian pendekatan yuridis empiris yaitu dengan menganalisis permasalahan yang ditemukan dari data sekunder kemudian dipadukan dengan hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan atau yang disebut dengan data primer.

3. Data Penelitian

Data-data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini ialah:

a. Data Primer, yaitu data utama yang diperoleh langsung dari sumbernya. Dalam hal ini data primer yang akan digunakan diperoleh dari wawancara. Untuk memperoleh data primer ini penulis secara langsung mengadakan wawancara dengan pihak Bank Syariah Mandiri Pusat.

8 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h., 27-28.

(19)

b. Data Sekunder, yaitu berupa bahan-bahan dokumen, buku-buku, jurnal ilmiah, berita dan artikel di internet yang berkaitan dengan tema penelitian, serta hasil penelitian lainnya yang dapat mendukung data primer.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan relevan, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Studi Dokumentasi

Metode ini dilakukan dengan studi dokumentasi yaitu dengan membaca buku-buku literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini, dan juga dengan cara mengumpulkan serta mempelajari data-data, arsip-arsip atau dokumen berdasarkan hasil laporan yang terkait dengan penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian, penulis melakukan studi lapangan dengan menggunakan metode wawancara. Menggali informasi atau data sebanyak-banyaknya dari responden atau informan dengan cara bertanya langsung.

5. Teknik Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analisis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur dari POJK dan Undang-undang yang bersangkutan dengan subjek penelitian kemudian dianalisis oleh penulis untuk menjadi rujukan dalam menyelesaikan masalah yang menjadi fokus penelitian penulis.

(20)

E. Sistematika Penelitian BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode penelitian, dan rancangan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini penulis membahas mengenai landasan teoritis tentang pengikatan jaminan fidusia, baik itu dari segi hukum positif maupun dari segi hukum islam. Kemudian membahas juga mengenai pembiayaan akad mudharabah secara umum.

BAB III GAMBARAN UMUM

Bab ini penulis akan memberikan gambaran umum yang berkaitan dengan objek penelitian, yaitu Bank Syariah Mandiri Pusat. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai Bank Syariah Mandiri Pusat secara lebih terperinci, seperti sejarah berdirinya PT. Bank Syariah Mandiri, visi dan misi, struktur organisasi, prinsip operasional, serta produk-produk dan jasa Bank Syariah Mandiri Pusat.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis memaparkan tentang analisis penerapan pengikatan jaminan fidusia dalam pembiayaan akad mudharabah, serta analisis terhadap tindakan atau prosedur yang dilakukan sebelum Bank Syariah Mandiri Pusat melakukan eksekusi objek jaminan fidusia.

BAB V PENUTUP

Dalam penutup, penulis menguraikan tentang kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya, dan saran-saran terkait dengan pembahasan penelitian ini.

(21)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Konseptual

Sesuai Tidak Sesuai

Hasil Penelitian

Kesimpulan Rekomendasi

Analisis pengikatan jaminan fidusia pada akad mudharabah serta eksekusi objek jaminan ditinjau dari POJK dan UU terkait

POJK RI Nomor 10/ POJK.05/2019 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha

Syariah Perusahaan Pembiayaan Pemaparan hukum jaminan fidusia pada pembiayaan

mudharabah di Bank Syariah Mandiri

Praktik Pengikatan Jaminan Fidusia pada Pembiayaan Mudharabah (Bank Syariah Mandiri)

Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

(22)

Dalam Kerangka konseptual di atas dapat dijelaskan bahwa dalam penelitian yang berjudul “Praktik Pengikatan Jaminan Fidusia pada Pembiayaan Mudharabah (Bank Syariah Mandiri)” pertama-tama dijelaskan terlebih dahulu mengenai hukum jaminan fidusia pada pembiayaan mudharabah di Bank Syariah Mandiri. Kemudian setelah itu dianalisis mengenai bagaimana pengikatan jaminan fidusia pada akad mudharabah juga mengenai pengikatan jaminan fidusia Bank Syariah Mandiri sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-undang terkait. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang dijadikan bahan rujukan untuk membahas masalah dalam penelitian ini yang pertama ada POJK RI Nomor 10/ POJK.05/2019 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan kemudian yang kedua yang dijadikan bahan rujukan adalah Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tenang Jaminan Fidusia.

Jika sudah mendapatkan hasil analisis dari bagaimana pengikatan jaminan fidusia pada akad mudharabah di Bank Syariah Mandiri kemudian disesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-undang yang dijadikan rujukan, maka penulis akan medapatkan hasil penelitiannya. Yang selanjutnya akan dituliskan untuk kesimpulan dan rekomendasi yang diperlukan untuk menyempurnakan penelitian ini.

(23)

B. Kerangka Teori

1. Perbankan Syariah

Masyarakat di negara maju dan berkembang sangat membutuhkan bank sebagai tempat untuk melakukan transaksi keuangannya. Mereka menganggap bank merupakan lembaga keuangan yang aman dalam melakukan berbagai macam aktivitas keuangan. Aktivitas keuangan yang sering dilakukan masyarakat di negara maju dan negara berkembang antara lain aktivitas penyimpanan dan penyaluran dana.

Bank syariah merupakan bank yang secara operasional berbeda dengan bank konvensional. Salah satu ciri khas bank syariah yaitu tidak menerima atau membebani bunga kepada nasabah, akan tetapi menerima atau membebankan bagi hasi serta imbalan lain sesuai dengan akad-akad yang diperjanjikan. Konsep dasar bank syariah didasarkan pada al-Qur’an dan hadis. Semua produk dan jasa yang ditawarkan tidak boleh bertentangan denngan isi al-Qur’andan hadis Rasulullah Saw.

Bank syariah terdiri atas dua kata, yaitu (a) bank, dan (b) syariah. Kata bank bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan dari dua pihak, yaitu pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Kata syariah dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpangan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. Maka dari itu, arti dari bank syariah sendiri ialah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan dan untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam.1

1 Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Pertama), h., 1.

(24)

Sedangkan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.2

Bank syariah memiliki sistem operasional yang berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Dalam sistem operasional bank syariah, pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Bank syariah tidak mengenal sistem bunga, baik bunga yang diperoleh dari nasabah yang meminjam uang atau bunga yang dibayar kepada penyimpan dana di bank syariah.

Secara filosofis, bank syariah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Belakangan ini para ekonom Muslim telah mencurahkan perhatian besar guna menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankang dan keuangan yang lebih sesuai dengan etika Islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya membangun model teori ekonomiyang bebas bunga dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi, dan distribusi pendapatan. Oleh karena itu, mekanisme perbankan bebas bunga yang biasa disebut dengan bank syariah didirikan.3

Bank syariah sebagai sebuah lembaga keuangan mempunyai mekanisme dasar, yaitu menerima deposito dari pemilik modal dan memounyai kewajiban (liability) untuk menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya, dengan pola dan/atau skema pembiayaan yang sesuai dengan syariat Islam. Pada sisi kewajiban

2 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011, Cet. Pertama), h., 32.

3 Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di

(25)

terdapat dua kategori utama, yaitu interest-fee current and saving

accounts dan investment account yang berdasarkan pada prinsip Profit and Loss Sharing) antara pihak bank dengan pihak depositor;

sedangkan pada sisi asset, yang termasuk didalamnya adalah segala bentuk pola pembiayaan yang bebas riba dan sesuai prinsip atau standar syariah seperti mudharabah, musyarakan, istisna, salam, dan lain-lain.4

Bank syariah secara yuridis normatif dan yuridis empiris diakui keberadaannya di Negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normatif tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, di antaranya, Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang-undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain itu, pengakuan secara yuridis empiris dapat dilihat perbankan syariah tumbuh dan berkembang pada umumnya diseluruh Ibu Kota, Provinsi dan Kabupaten di Indonesia, bahkan beberapa bank konvensional dan lembaga keuangan lainnya membuka unit usaha syariah (bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, dan semacamnya). Pengakuan secara yuridis dimaksud, memberi peluang tumbuh dan berkembang secara luas kegiatan usaha perbankan syariah, termasuk memberi kesempatan kepada bank umum (konvensional) untuk membuka kantor cabang yang khusus melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.5

4 Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Pertama), h., 1-2.

5 Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Pertama), h., 3.

(26)

2. Pembiayaan Mudharabah

Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sediri maupun lembaga. Sehingga dapat didefinisikan, pengertian pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan terhadap bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut dalam waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.6

Mudharabah berasal dari kata dharb yang artinya memukul. Atau lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha. Secara teknis. Mudharabah adalah sebuah akad kerja sama antarpihak, yaitu pihak pertama (shahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal; sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abdurrahman Al-Jaziri yang memberikan arti mudharabah sebagai ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang lain sebagai modal usaha.namun, keuntungan yang diperoleh akan dibagi di antara mereka berdua, dan jika rugi ditanggung oleh pemilik modal.7

Keuntungan usaha secara mudharabah, dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian atau kecurangan pengelola, maka pengelola wajib bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. Dalam akad mudharabah, untuk produk pembiayaan, juga dinamakan dengan profit sharing.

6 Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), h., 73. 7 Abd Ar-Rahman Al-Jaziri, “Al-Fiqh Ala Al-Mazhahib Al-Arba’ah”, dalam Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Pertama), h. 25.

(27)

Filosofi mudharabah, yaitu manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Ada orang yang mempunyai kelebihan harta, ada orang yang kekurangan harta, ada orang yang punya keahlian tetapi tidak memiliki modal untuk melaksanakan suatu pekerjaan, ada orang yang punya modal tetapi tidak punya waktu untuk mengurus sebagian hartanya. Untuk terjadinya keseimbangan, yang berpunya perlu membantu orang yang kurang dengan cara yang adil, sebab itu Islam menawarkan berbagai solusi agar tidak terdapat kesenjangan di tengah masyarakat, maka mudharabah merupakan bagian dari pada cara yang ditawarkan Islam.

a. Dasar Hukum

Secara umum, landasan dasar syariah Al-Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melaksanakan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadis berikut ini:

1) Al-Qur’an

a) Al-Muzzammil: 20

...

َِاللّ ِل

ْضَف ْنِم َنوُغَتْبَي ِض ْرَ ْلْا يِف َنوُب ِرْضَي َنو ُرَخآ َو

...

“Dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT” (Al-Muzzammil: 20).8

b) Al-Jumu‟ah: 10

ِض ْرَ ْلْا يِف او ُرِشَتْناَف ُة َلََصلا ِتَي ِضُق اَذِإَف

او ُرُكْذا َو ِ َاللّ ِلْضَف ْنِم اوُغَتْبا َو

َنوُحِلْفُت ْمُكَلَعَل ا ًريِثَك َ َاللّ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di

muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10)9

8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 990. 9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 990.

(28)

2) Al-Hadist

a) HR. Thabrani

“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta

sebagai mundharabah, ia mensyaratkan kepada mundharib-nya agar tidak mengurangi lautan, dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mundharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan abai itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dai Ibnu Abbas).

b) HR. Ibnu Majah

“Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah:

jual beli tidak secara tunai, muqaradah (mundharabah) dan mencampur gandum dengan jewawut untuk kepeluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR.

Ibnu Majah dari Shuhaib). 3) Ijma’

Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadist yang dikutip Abu Ubaid.10

b. Rukun dan Syarat Mudharabah

Sebagaimana akad lain dalam syariat islam, akad mudharabah menjadi sah, maka harus memenuhi rukun dan syarat mudharabah. Menurut madhzab Hanafi, apabila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga akad tersebut menjadi fasid (rusak).

Sedangkan rukun dalam mudharabah berdasarkan Jumhur Ulama ada 3 yaitu: dua orang yang melakukan akad (al aqidani), modal (ma‟qud alaih), dan shighat (ijab dan qabul). Ulama syafi‟iyah lebih memerinci lagi menjadi enam rukun, yaitu :

1) Pemilik modal (shohibul maal)

10 Naf‟an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h.161.

(29)

2) Pelaksanaan usaha (mudharib atau pengusaha) 3) Akad dari kedua belah pihak (ijab dan kabul) 4) Objek mudharabah (pokok atau modal) 5) Usaha (pekerjaan pengelola modal) 6) Nisbah keuntungan.

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudharabah adalah ijab dan qabulsaja, sedangkan sisa rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, sebagai syarat akad mudharabah.Adapun syarat-syarat mudharabah berhubungan dengan pelaku mudharabah (alaqidani),modal dan akad. Bagi pemilik modal dan pengusaha harus cakap bertindak hukum dan cakap untuk menjadi wakil.

Syarat dalam hal modal adalah harus berbentuk uang, dan jelas jumlahnya. Juga disyaratkan harus ada, tunai, bukan dalam bentuk utang, dan harus diberikan kepada mundharib. Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqih tidak diperbolehkan, karna sulit untuk menentukan keuntungannya.11

Yang berhubungan dengan labaatau keuntangan disyaratkan bahwa pembagian laba harus memiliki ukuran yang jelas dan laba harus berupa bagian yang umum (masyhuri). Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama diatas adalah:

1) Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada suatu posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya,

11 Naf‟an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h.117.

(30)

syaratsyarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.

2) Yang terkait dengan modal, disyaratkan: berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai, diserahkan sepenuhnya kepada pedagang atau pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqih tidak diperbolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. 3) Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa

pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanifiah, akad itu fasid (rusak).12 c. Jenis-Jenis Mudharabah

Ada dua jenis mundharabah. Kedua jenis tersebut adalah mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah.13

1) Mudharabah mutlaqah. Yang dimaksud dengan transaksi mundharabah mutlaqah adalah bentuk kerja sama antara shohibul maal dan mundhrib yang cakupannya sangat luas dan tidak di batasi oleh spesifik jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.14 Penerapan mundharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis himpunan dana yaitu mundharabah dan deposito mundharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan dalam menggunakan dana yang dihimpun.15

12 Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h.118.

13 Sutan SjahdeiniRemy, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-aspek

Hukumnya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 296.

14 Antonio Muhammad Syafi’I, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 97.

15 Heri Sudarsono, Bank dan Lembga Keuanag Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), h.59.

(31)

2) Mudharabah muqayyadah. Mundharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restrictedmundharabah atau specified mundharabah adalah kebalikan dari mundharabah mutlaqah. Si mundharib di batasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini sering kali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam jenis dunia usaha.16

d. Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan

Mudharabah dalam perbankan diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, mundharabah diterapkan pada:

1) Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito, dan sebagainya.

2) Deposito special (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mundharabah saja atau ijarah saja.

Adapun pada sisi pembiayaan, mundharabah diterapkan untuk: 1) Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan

jasa.

2) Investasi khusus, disebut juga mundharabah muqayyadah dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.

e. Resiko Mudharabah

Resiko yang terdapat dalam mundharabah, terutama pada penerapan dalam pembiayaan relatif tinggi, yaitu:

1) Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak.

16 Antonio Muhammad Syafi’I, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 97.

(32)

2) Lalai dalam kesalahan yang disengaja.

3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabah tidak jujur.17

f. Skema Mudharabah

Keterangan:

1) Nasabah mengajukan pembiayaan kepada bank atas suatu rencana proyek usaha. Kemudian diadakan negosiasi sampai bank menyetujui proyeksi yang diajukan oleh nasabah dengan syarat dan analisis yang ditetapkan oleh pihak bank. Pada tahap negosiasi tercapai kesepakatan berarti sudah terjadi asas konsensualisme.

2) Perjanjian dibuat dengan perlengkapan seluruh dokumen yang dibutuhkan. Pada tahap ini data diartikan sebagai asas formalisme. Di mana akad terjadi jika sudah terjadi formalitas suatu perjanjian sesuai dengan peraturan yang berlaku, bank sebagai shahibul maal (pihak pertama), dan nasabah sebagai mundharib (pihak kedua).

3) Nasabah menyalurkan dana pembiayaan untuk proyek yang telah disepakati.

17 Antonio Muhammad Syafi’I, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 98.

(33)

4) Nasabah memberikan nisbah bagi hasil atau nilai keuntungan sesuai dengan nilai kontrak. Lazimnya dibayarkan secara regular dalam interval per-bulan.

5) Perjanji pembiayaan akad mundharabah selasai sesuai dengan nota perjanjian atau sebagian pihak mengakhiri dengan beberapa alasan peraturan atau perundang-undangan yang berlaku.18

3. Jaminan

a. Konsep Dasar Jaminan 1) Pengertian Jaminan

Ruang lingkup hukum jaminan di Indonesia mencakup berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia. Dalam hukum positif di Indonesia terdapat peraturan perundang-undangan yang sepenuhnya mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang. Materi (isi) peraturan perundangan-undangan tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang, antara lain mengenai prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan, objek jaminan utang, penanggungan utang dan sebagainya. Beberapa ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata dan KUH Dagang mengatur sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan utang.

Istilah “jaminan” merupakan terjemahan dari istilah

zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitur untuk

memenuhi atau melunasi peruntugannya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang

18 Ahmad Dahlan, Bank Syariah: Teoritik, Praktik, Kritik, (Yogyakarta: Teras, 2012), h.165.

(34)

diterima debitur terhadap krediturnya.sedangkan dalam Bahasa Indonesia, istilah “jaminan” berasal dari kata “jamin” yang berarti “tanggung”, sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan.19

Menurut Pasal 2 Ayar (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit dikemukakan bahwa jaminan adalah: “suatu keyakinan bank atas kesanggupan

debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan perjanjian”.20

Jadi, dapat disimpulkan bahwa jaminan itu adalah suatu tanggungan yang dapat dinilai dengan uang, yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan debitur kepada kreditur sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain. Dengan kata lain, jaminan di sini berfungsi sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang debitur seandainya wanprestasi sebelum sampai jatuh tempo pinjaman atau utangnya berakhir.21

Sedangkan istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan dalam Bahasa Belanda “zakerheidsrechten” kata “recht” dalam istilah “zakerheidsrechten” berarti “hak”, sehingga “zakerheidsrechten” adalah hak-hak jaminan.22 Pada

zaman pemerintahan Hindia Belanda hukum yang mengatur tentang hukum jaminan dapat dikaji dalam Buku II

19 Zaeni Asyhadie dan Rahma Kusumawati, Hukum Jaminan di Indonesia: Kajian

Berdasarkan Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2018), h. 2.

20 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, Pasal 2 Ayat (1).

21 Zaeni Asyhadie dan Rahma Kusumawati, Hukum Jaminan di Indonesia: Kajian

Berdasarkan Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2018), h. 3.

22 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak-hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2007), Cet. V, h. 3.

(35)

KUHPerdata dan Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah menjadi Stb. 1937 Nomor 190 tentang Creditverband. Dalam Buku II KUHPerdata, ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hukum jaminan adalah gadai dan hipotek, dimana gadai diatur dalam Pasal 1150-1160 KUHPerdata, sedangkan hipotek diatur dalam Pasal 1162- 1232 KUHPerdata.23

Para ahli memberikan pengertian mengenai hukum jaminan sebagai berikut:

a) Salim HS, hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit. b) Mariam Darus Badrulzaman merumuskan jaminan sebagai

tanggungan yang diberikan oleh seseorang debitur dana tau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.

c) Sri Soedewi Masjhoen Sofwan berpendapat bahwa hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.

d) J. Satrio mengatakan bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur.

Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum jaminan adalah aturan dari sebuah bentuk penanggungan di mana seseorang penanggung (perorangan) menanggung untu memenuhi utang

(36)

debitur sebesar sebagaimana tercantum dalam perutangan pokok.24

2) Sifat Perjanjian Jaminan

Perjanjian jaminan mempunyai sifat accessoir yaitu perjanjian tambahan yang tergantung pada perjanjian pokoknya. Perjanjian pokok adalah perjanjian pinjam meminjam atau hutang piutang yang diikuti dengan perjanjian tambahan sebagai jaminan. Perjanjian tambahan tersebut dimaksudkan agar keamanan kreditur lebih terjamin dan bentuknya dapat berupa jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan.25

Sifat accessoir dari hak jaminan dapat menimbulkan akibat hukum sebagai berikut:26

a) Adanya dan hapusnya perjanjian tambahan tergantung pada perjanjian pokok.

b) Jika perjanjian pokok batal, maka perjanjian tambahan juga batal.

c) Jika perjanjian pokok beralih, maka perjanjian tambahan ikut beralih.

d) Jika perjanjian pokok beralih karena cessie, sobrogatie maka perjanjian tambahan juga beralih tanpa penyerahan khusus.

b. Macam-macam Jaminan

24 Zaeni Asyhadie dan Rahma Kusumawati, Hukum Jaminan di Indonesia: Kajian

Berdasarkan Hukum Nasional dan Prinsip Ekonomi Syariah, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2018), h. 5.

25 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi

Jaminan, (Jakarta: Indhill Co, 2009), h., 7.

26 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi

(37)

Dapat dilihat dari gambar diatas, jaminan dapat dibedakan dalam jaminan umum dan jaminan khusus. Pasal 1131 KUH Perdata mencerminkan suatu jaminan umum. Sedangkan pasl 1132 KUH Perdata disamping sebagai kelanjutan dan penyempurnaan pasal 1131 yang menegaskan persamaan kedudukan para kreditur, juga memungkinkan diadakannya suatu jaminan khusus apabila di antara para kreditur ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dan hal ini dapat terjadi karena ketentuan undang-undang maupun karena diperjanjikan.

1) Jaminan Umum

Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa:27

27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab Ke Sembilan Belas Bagian Kesatu Tentang Piutang-piutang yang diistimewakan padaa Umumnya Pasal 1131.

JAMINAN Umum Psl 1131 & 1132 Khusus Psl 1132 Karena ketentuan UU Karena diperjanjikan Privilege Psl 1133, 1134, 1139, 1149 Retentie psl 575/2, 576, 1364/2, 1616, 1729, 1812 Jaminan Kebendaan (Zakelijke Zekerheids Rechten) Psl. 1150, 1162 Jaminan Perorangan (Persoonlijke Zekerheids Rechten) Psl. 1820

(38)

“Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”

Sedangkan pasal 1132 KUH Perdata menyatakan sebagai berikut:28

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”

Dari pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa jaminan umum adalah jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta kekayaan debitur. Hal ini berarti benda jaminan tidak diperuntukkan bagi kreditur tertentu dan dari hasil penjualannya dibagi di antara para kreditur seimbang dengan piutang-piutangnya masing-masing.

Jadi, apabila terdapat lebih dari satu kreditur dan hasil penjualan harta benda debitur cukup untuk menutupi hutang-hutangnya kepada kreditur, maka mana yang harus didahulukan dalam pembayarannya di antara para kreditur tidaklah penting karena walaupun semua kreditur sama atau setimbang (concurent) kedudukannya, masing-masing akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan piutang-piutangnya.

Adanya beberapa kreditur, baru menimbulkan masalah jika hasil penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi hutang-hutangnya; jadi dalam hal ini akan tampak

28 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab Ke Sembilan Belas Bagian Kesatu Tentang Piutang-piutang yang diistimewakan padaa Umumnya Pasal 1132.

(39)

betapa pentingnya menjadi kreditur yang preferent yaitu kreditur yang harus didahulukan dalam pembayarannya di antara kreditur-kreditur lainnya jika debitur melakukan wanprestasi.29

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan umum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:30

a) Para kreditur mempunyai kedudukan yang sama atau seimbang, artinya tidak ada yang lebih didahulukan dalam pemenuhan piutangnya dan disebut sebagai kreditur yang konkuren.

b) Ditinjau dari sudut haknya, para kreditur konkuren mempunyai hak yang bersifat perorangan yaitu hak yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu.

c) Jaminan umum timbul karena undang-undang, artinya antara para pihak tidak diperjanjikan terlebih dahulu. Dengan demikian para kreditur konkuren secara bersama-sama memperoleh jaminan umum berdasarkan undang-undang.

2) Jaminan Khusus

Untuk mengatasi masalah-masalah yang ada pada jaminan umum, undang-undang memungkinkan diadakannya jaminan khusus. Hal ini tersirat dari pasal 1132 KUH Perdata dalam kalimat “... kecuali di antara para kreditur ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Dengan demikian pasal 1132 mempunyai sifat yang mengatur/mengisi/melengkapi

(aanvullendrecht) karen para pihak diberi kesempatan untuk

membuat perjanjian yang menyimpang. Dengan kata lain ada

29 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi

Jaminan, (Jakarta: Indhill Co, 2009), h., 9

30 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Jaminan, (Jakarta: Indhill Co, 2009), h., 11,

(40)

kreditur yang diberikan kedudukan yang lebih didahulukan dalam pelunasan hutangnya dibanding kreditur-kreditur lainnya. Kemudian pasal 1133 KUH Perdata memberikan penyataan yang lebih tegas lagi yaitu: “Hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, gadai, dan dari hipotik. Oleh karena itu, alasan untuk didahulukan dapat terjadi karena ketentuan undang-undang, dapat juga terjadi karena diperjanjikan antara debitur dan kreditur.31

Berdasarkan ketentuan undang-undang misalnya, yang diatur dalam pasal 1134 KUH Perdata tentang hutang-piutang yang didahulukan (bevoorrechte schulden) yaitu Privilege, sedangkan yang terjadi karena perjanjian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama kreditur dapat meminta benda-benda milik debitur untuk dijadikan sebagai jaminan hutang atau yang kedua kreditur meminta bantuan pihak ketiga untuk menggantilkan kedudukan debitur membayar hutang-hutang debitur kepada kreditur apabila debitur lalai membayar hutangnya atau wanprestasi. Menjaminkan dengan cara-cara tersebut di atas dikenal sebagai jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan dapat dilakukan melalui gadai, fidusia, hipotik, dan hak tanggungan. Sedangkan jaminan perorangan dapat dilakukan melalui perjanjian penggungan misalnya borgtocht, garansi, dan lain-lain. Berikut penjelasan mengenai jaminan perorangan dan jaminan kebendaan:32

a) Jaminan Perorangan (Persoonlijke Zekerheidsrechten/ Personal Guaranty)

31 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab Ke Sembilan Belas Bagian Kesatu Tentang Piutang-piutang yang diistimewakan padaa Umumnya Pasal 1133.

32 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi

(41)

Menurut Subekti, jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur dengan seorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau debitur.33

Dengan demikian jaminan perorangan merupakan jaminan yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu atau pihak ketiga. Artinya, tidak memberikan hak untuk didahulukan pada benda-benda tertentu, karena harta kekayaan pihak ketiga tersebut hanyalah merupakan jaminan bagi terselenggaranya suatu perikatan sebagai

borgtocht.

Penanggungan menurut pasal 1820 KUH Perdata adalah:34

“Suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berhutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang makala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”

Selanjutnya pasal 1822 KUH Perdata menyatakahn bahwa:35

1) Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih, maupun dengan syarat-syarat yang lebih berat, dari pada perikatan si berutang.

2) Adapun penanggungan boleh diadakan untuk hanya sebagian saja dari utangnya, atau dengan syarat-syarat yang kurang. Jika penanggungan diadakan untuk lebih

33 R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1991), h., 15.

34 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab Ke Tujuh Belas Bagian Kesatu Tentang Sifat Penanggungan Pasal 1820.

35 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab Ke Tujuh Belas Bagian Kesatu Tentang Sifat Penanggungan Pasal 1822.

(42)

dari utangnya, atau dengan syarat-syarat yang lebih berat, maka perikatan itu tidak sama seklai batal, melainkan ia adalah hanya untuk apa yang diliputi oleh perikatan pokoknya.

Dengan demikian untuk jumlah kurang, maka perikatan dapat dilangsungkan; sedangkan apabila lebih besar dari jumlah yang ditentukan maka tidak mengakibatkan batalnya perikatan karena perikatan itu tetap sah, hanya saja terbatas pada jumlah yang telah disyaratkan dalam perikatan pokok. Jika debitur wanprestasi, maka kewajiban memenuhi prestasi dari si penanggung dicantumkan dalam perjanjian tambahannya (perjanjian accessoir) bukan dalam perjnajian pokok sebab tujuan dan isi penanggungan adalah memberikan jaminan pokok, artinya adanya penanggungan tergantung pada perjanjian pokoknya.36

Penanggungan utang harus dinyatakan dengan pernyataan yang tegas tidak boleh dipersangkakan serta tidak diperbolehkan untuk memperluas penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktyu mengadakannya, demikian menurut ketentuan pasal 1824 KUH Perdata. Maksud diadakannya pernyataan yang tegas bukanlah berarti harus diadakan secara tertulis, dapat juga diadakan secara lisan namun hal ini dapat mempersulit kreditur membuktikan sampai dimana kesanggupan si penanggung tersebut. Selain itu pernyataan tegas dapat melindungi si penanggung yang bersangkutan, karena dia tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas

36 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi

(43)

hal-hal lain, selain apa yang sudah diperjanjikan secara tegas itu.

Disamping perjanjian penggungan (borgtocht), contoh lain dari jaminan perorangan adalah perjanjian garansi. Perjanjian garansi tercantum dalam pasal 1316 KUH Perdata yang berbunyi:37

“Meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya.”

Dengan demikian berdasarkan definisi tersebut seperti halnya dalam perjanjian penanggungan, dalam perjanjian garansi juga terdapat seorang pihak ketiga yang berkewajiban memenuhi prestasi. Tetapi dalam perjanjian garansi jika debitur wanprestasi, maka kewajiban si penanggung untuk memenuhi prestasi tercantum dalam perjanjian pokok yang berdiri sendiri yang antara lain menetapkan bahwa seseorang berjanji untuk menanggung kerugian yang diderita pihak lawannya jika pihak ketiga tidak memenuhinya, sedangkan dalam perjanjian penanggungan tercantum dalam perjanjian tambahan. Selain itu jika dalam perjanjian penanggungan kewajiban penanggung adalah memenuhi prestasi (membayar hutang),

37 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab Ke Dua Bagian Kesatu Tentang Ketentuan-ketentuan Pasal 1316.

(44)

maka dalam perjanjian garansi kewajiban yang harus dipenuhi penanggung untuk memenuhi kepentingan pihak ketiga adalah berupa penggantian kerugian.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakn bahwa ciri-ciri jaminan perorangan adalah:38

1) Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu. 2) Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu. 3) Seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan

pelunasan hutang misalnya borgtocht atau penjaminan penanggungan.

4) Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung asas kesamaan atau keseimbangan (konkuren) artinya tidak membedakan mana piutang yang terjadi lebih dahulu dan mana piutang yang terjadi kemudian. Dengan demikian tidak mengindahkan urutan terjadinya karena semua kreditur mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta kekayaan debitur.

5) Jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari benda-benda jaminan dibagi di antara para kreditur seimbang dengan besarnya piutang masing-masing (pasal 1136 KUH Perdata).

b) Jaminan Kebendaan (Zakelijke Zekerheidsrechten) Pada era sebelum reformasi terjadi dualism dalam pembebanan jaminan, terutama hak atas tanah. Secara formal pembebanan jaminan hak atas tanah berlaku ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok

38 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian pembiayaan mudharabah pada Bank Syariah Mandiri Cabang Medan, Bagaimanakah pihak

Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan perbedaan pembiayaan Bank Mandiri dengan Bank Syariah Mandiri; pengaruh tingkat inflasi terhadap

berjudul “ Pengaruh Pembiayaan Mudharabah Terhadap Profitabilitas Bank Syariah (Studi Pada PT Bank Syariah Mandiri) ”. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan

Pembayaran pembiayaan mudharabah dari pihak pengelola dana dari pihak Bank Syariah Mandiri diberikan kebijaksanaan yaitu pembayaran dapat dilakukan secara tunai disaat jatuh tempo

Sama halnya dengan faktor pembiayaan mudharabah, faktor pembiayaan musyarakah ternyata dapat mempengaruhi tingkat profitabilitas (ROA) pada Bank Syariah Mandiri karena

Adapun solusi dari kendala tersebut adalah : Bank Syariah Mandiri perlu membuat produk pembiayaan mudharabah dengan nilai dibawah 100 juta, membuat persyaratan yang

Dengan petunjuk dan bimbinganNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Jaminan Fidusia atas Pembiayaan Murabahah di BPR Syariah Mandiri

Skripsi dengan judul “Pengaruh Tabungan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah Terhadap Pendapatan Bank Syariah Mandiri” yang ditulis oleh Eni Fitriana NIM 3223113034