TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika dan Amerika Selatan, tepatnya dari Brasilia. Di Brasilia tanaman ini tumbuh secara liar atau setengah liar di sepanjang tepi sungai. Saat ini tanaman kelapa sawit telah ditanam di banyak negara dan menjadi tanaman industri. Tanaman kelapa sawit termasuk dalam family Araceae dengan sub family Cocoidae dan genus Elaeis, dan pada tahun 1763 diklasifikasikan oleh Jacquin sebagai Elaeis guineensis Jacq. (Pahan, 2007).
Sistem perakaran kelapa sawit merupakan sistem perakaran serabut yang terdiri dari akar primer, sekunder, tersier, dan kuartener. Akar primer umumnya berdiameter 6-10 cm, berasal dari pangkal batang dan menyebar secara horizontal dan menghujan ke dalam tanah dengan sudut yang beragam. Akar primer bercabang membentuk akar sekunder dengan diameter 2-4 mm dan panjang 10-15 cm. Sebagian akar-akar primer mengarah ke atas mendekati permukaan tanah. Akar sekunder bercabang membentuk akar tersier dengan diameter 0,7-12 mm dan panjang 10-15 cm yang berada dekat dengan permukaan tanah. Akar tersier umumnya bercabang lagi membentuk akar kuartener dengan diameter 0,1-0.3 mm dengan panjang hanya 1-4 mm dan tidak mengandung lignin (Lubis, 1992). Akar kuartener diasumsikan sebagai akar absorbsi utama (feeding root) yang berada dekat dengan permukaan tanah bersama akar tersier. Sebagian besar perakaran yang aktif berada dekat pada permukaan tanah pada kedalaman 5-35 cm.
Batang kelapa sawit berbentuk bulat dengan diameter 25-75 cm serta tidak bercabang. Tinggi batang dapat mencapai 25 meter. Umumnya pertambahan tinggi batang bisa mencapai 35-75 cm per tahun bergantung pada lingkungan dan keragaman genetiknya tetapi karena pertimbangan ekonomis hanya sampai 25-35 tahun atau mencapai ketinggian 10-11 meter. Batang diselimuti oleh pangkal pelepah daun tua sampai umur sekitar 11-15 tahun, setelah itu bekas daun/pelepah mulai rontok.
Daun kelapa sawit tersusun majemuk menyirip yang terdiri atas beberapa bagian yaitu; 1) kumpulan anak daun (leaflets) yang mempunyai helaian (lamina) dan tulang anak daun; 2) rachis, merupakan tempat anak daun melekat, 100-160
pasang anak daun linear; 3) tangkai daun (petiole - pelepah), merupakan bagian antara daun dan batang serta berduri; 4) seludang daun (sheath) yang berfungsi memberi kekuatan pada batang. Laju pertumbuhan daun adalah 2 daun/bulan, satu helai daun yang telah membuka mempunyai umur inisiasi sekitar 2 tahun dan umur fungsional (berfotosintesis secara aktif) selama sekitar 2 tahun.
Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monoecious), artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon, tetapi tidak pada tandan yang sama. Bunga muncul dari ketiak daun. Setiap ketiak daun hanya dapat menghasilkan satu infloresen (bunga majemuk). Jenis kelamin bunga ditentukan ±9 bulan setelah masa inisiasinya, selang 24 bulan inflor bunga akan berkembang sempurna. Bunga kelapa sawit merupakan bunga majemuk yang terdiri dari kumpulan spikelet dan tersusun dalam infloresen yang berbentuk spiral. Panjang infloresen betina ±30 cm atau lebih sedangkan infloresen jantan memiliki tangkai yang lebih panjang dari betina. Sistem penyerbukannya adalah penyerbukan silang, terjadi dengan bantuan serangga dan angin. Bunga betina yang telah anthesis akan menjadi buah/brondolan.
Secara botani buah kelapa sawit digolongkan sebagai buah drupe, terdiri atas pericarp yang terbungkus oleh kulit (exocarp), daging buah (mesocarp), dan cangkang (endocarp) yang membungkus inti (kernel). Inti memiliki kulit (testa),
endosperm yang padat, dan embrio. Kandungan minyak yang terdapat pada mesocarp berbeda dengan kandungan minyak yang ada pada endosperm matang.
Ekofisiologi Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit membutuhkan intensitas cahaya matahari yang cukup tinggi untuk melakukan fotosintesis. Produktivitas TBS/tahun dipengaruhi oleh jumlah jam efektif penyinaran matahari. Panjang penyinaran yang diperlukan tanaman kelapa sawit yaitu 5-12 jam/hari dengan kondisi kelembaban udara 80% dan kisaran suhu 24-280 C (Pahan, 2007).
Kelapa sawit membutuhkan curah hujan sekitar 2 000 mm/tahun yang merata sepanjang tahun tanpa adanya bulan kering (defisit air) yang nyata. Sebagian besar perkebunan komersial kelapa sawit dibangun pada daerah yang mempunyai neraca air positif selama 6 bulan atau lebih, yaitu kondisi di mana
jumlah curah hujan lebih besar daripada evapotranspirasi di perkebunan. Penutupan stomata dipengaruhi oleh status air dalam sistem atmosfer-tanaman serta mekanisme asimilasi karbon. Stomata tanaman kelapa sawit sangat sensitif terhadap perubahan kelembaban udara. Pengaturan stomata digunakan tanaman untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi kekeringan.
Lahan yang optimal untuk kelapa sawit harus mengacu pada lingkungan, sifat fisik lahan, dan sifat kimia tanah atau kesuburan tanah. Pemanfaatan lahan untuk pengusahaan kelapa sawit mengacu pada kelas kesesuaian lahan. Penggolongan kelas kesesuaian lahan dibagi menjadi empat kelas, sebagai berikut:
1. Kelas S-1: kesesuaian tinggi (highly suitable) dengan potensi produksi >24 ton TBS/ha/tahun.
2. Kelas S-2: kesesuaian sedang (moderately suitable) dengan potensi produksi 19-24 ton TBS/ha/tahun.
3. Kelas S-3: kesesuaian terbatas (marginally suitable) dengan potensi produksi 13-18 ton TBS/ha/tahun.
4. Kelas N : tidak sesuai (not suitable) dengan potensi produksi <12 ton TBS/ha/tahun.
Limbah dan Potensinya Limbah Padat
Pelepah kelapa sawit berasal dari pemotongan pelepah pada saat penunasan dan pemanenan. Pelepah biasa langsung disusun pada gawangan yang dapat berfungsi sebagai mulsa. Pelepah mengandung sejumlah unsur hara yang cukup tinggi yaitu 107.9 kg N/ha/tahun, 10 kg P/ha/tahun, dan 139.4 kg K/ha/tahun. Pelepah yang dihasilkan setiap tahunnya mengandung unsur hara yang setara dengan 234.56 kg Urea, 31.25 kg RP, 232.33 kg KCl, 63.70 kg Kieserite, dan 85.33 kg Dolomite (Purba, 2008).
Sabut adalah ampas kelapa sawit yang dihasilkan dari proses pengepresan tandan kelapa sawit, sedangkan cangkang adalah kulit luar biji kelapa sawit yang dihasilkan dari proses pemecahan biji untuk pengambilan minyak inti sawit. Sabut
dan cangkang dapat digunakan untuk mengoperasikan ketel uap PKS yaitu 85% sabut dan 15% cangkang dari hasil pengolahan TBS (Purba, 2008).
Janjangan kosong (JJK) merupakan produk sampingan (by product) dari pabrik pengolahan yang berasal dari sistem pembantingan (thresher)/pemipilan (stripper) setelah TBS diproses di stasiun perebusan (sterilizer) (Pahan, 2007). Setiap ton TBS diolah dihasilkan 19-24 % janjangan kosong (Irvan, 2009). JJK kaya akan kandungan materi organik dan nutrisi bagi tanaman. Aplikasi JJK dapat meningkatkan proses dekomposisi sehingga kandungan fisik, biologi, dan kimia pada tanah meningkat. Aplikasi JJK sangat efektif sebagai mulsa, dapat menurunkan temperatur tanah, mempertahankan kelembaban tanah, memperkecil pencucian hara tanah dan pupuk anorganik serta meminimalisasi resiko erosi akibat aliran permukaan.
Aplikasi JJK dapat meningkatkan unsur hara dalam tanah dan diikuti dengan peningkatan produksi TBS (Andayani, 2008). Aplikasi JJK sangat sesuai dalam menggantikan sebagian pupuk anorganik, asalkan jumlah pasokan hara dari JJK yang diaplikasikan sebanding dengan kandungan unsur hara dalam pupuk anorganik tersebut. Persentase kandungan hara pada JJK disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase Kandungan Unsur Hara dalam Janjangan Kosong
Hara Utama
Persentase Unsur Hara dalam JJK Per ton JJK sebanding dengan Kisaran Rata-rata Nitrogen (N) 0.32 – 0.43 0.37 8.00 kg Urea Fospor (P) 0.03 – 0.05 0.04 2.90 kg RP Potassium (K) 0.89 – 0.95 0.91 18.30 kg MOP Magnesium (Mg) 0.07 – 0.10 0.08 5.00 kg K ieserit Sumber: Pahan (2007)
Solid basah (wet decanter solid) merupakan produk akhir dari proses
pengolahan TBS di PKS yang menggunakan sistem decanter pada stasiun pemurnian. Stasiun pemurnian adalah stasiun pengolahan yang bertujuan untuk melakukan pemurnian MKS (minyak kelapa sawit) dari kotoran-kotoran seperti padatan (solid), lumpur (sludge), dan air sehingga diperoleh kualitas minyak sebaik mungkin. Sistem decanter digunakan untuk memisahkan fase cair (minyak
dan air) dari fase padat sampai partikel-partikel terakhir. Sludge merupakan fase campuran yang masih mengandung minyak. Sludge diolah kembali untuk mengambil minyak yang masih terkandung di dalamnya. Pada pengolahan sludge dengan sistem decanter diperoleh tiga fase yaitu light phase, heavy phase, dan
solid. Kandungan solid basah yang diperoleh dari pengolahan TBS selama
setahun ada sekitar 5%. Kandungan hara pada WDS hampir sama dengan JJK akan tetapi kandungan Kalium pada WDS lebih rendah (Pahan, 2007).
Limbah Cair (POME)
Limbah cair merupakan produk samping dari pengolahan TBS di PKS yang berasal dari proses perebusan (sterilizer), pemurnian (clarifier), dan sistem
decanter (heavy phase). Irvan (2009) menyatakan sebelum diaplikasikan di
lapangan, seluruh limbah cair ditampung dahulu di kolam penampungan (fat pit) dan akan melalui beberapa perlakuan yang bertujuan untuk mengurangi kandungan BO D (Biological Oxygen Demand) dengan memanfaatkan bekteri pengurai baik secara aerob maupun anaerob.
BOD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik pada limbah cair secara biologis. Limbah cair yang dikeluarkan PKS mengandung bahan organik dan mineral yang cukup dengan kandungan BOD sekitar 25 000- 32 000 mg/L, apabila dibuang langsung dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan air (Santoso, 2008) sehingga harus diturunkan hingga BOD < 5 000 mg/L sesuai ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Parameter lain yang digunakan untuk menentukan kualitas limbah cair adalah COD (Chemical Oxygen Demand), TSS (Total Suspended Solid), kandungan minyak dan lemak, nitrogen total, dan pH. Menurut Sugiharto (1987), COD menunjukkan banyaknya oksigen dalam ppm atau mg/l yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam kondisi khusus untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi. Pada penelitian sebelumnya diketahui kandungan bahan organik yang terdapat pada limbah cair dapat memperbaiki berat volume dan porositas tanah. Berat volume yang rendah dan porositas yang tinggi menunjukkan tanah yang lebih gembur. Aplikasi limbah cair juga berpengaruh terhadap sifat kimia tanah dengan memperbaiki pH, reaksi tanah, dan kandungan hara (Santoso, 2008).