• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORITIK DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORITIK DAN HIPOTESIS"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

12

LANDASAN TEORITIK DAN HIPOTESIS

A. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar

1. Pengertian Pengelolaan Proses Belajar Mengajar

Pengelolaan berarti “proses melalui kegiatan dengan menggerakkan orang lain”.1 Sedangkan Sondang P. Siagian mengartikan pengelolaan sebagai “kemampuan atau ketrampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan orang lain”.2 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa arti pengelolaan adalah suatu proses melalui kegiatan dalam rangka mencapai tujuan dengan melibatkan ketrampilan orang lain.

Untuk memberikan batasan mengenai proses belajar mengajar perlu diketahui terlebih dahulu pengertian belajar mengajar dapat dipahami dengan baik dan benar. Di sini akan dikutipkan salah satu dari berbagai definisi belajar dan mengajar yang dikemukakan oleh para ahli.

Belajar pada dasarnya adalah suatu proses yang diarahkan kepada suatu tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman.3 Sehingga hakikat proses belajar adalah usaha yang dilakukan oleh seorang individu yang berupaya mencapai tujuan belajar atau yang sering disebut dengan hasil belajar, yaitu suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap.

Oemar Hamalik dalam bukunya Proses Belajar Mengajar menjelaskan dua pengertian tentang belajar yaitu:

1. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behaviour through experiencing).

1 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 41. 2 Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1989), hlm. 5.

(2)

2. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan.4

Sementara itu, Nana Sudjana mendefinisikan belajar adalah sebagai berikut:

“Proses yang aktif, belajar adalah proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu. Apabila kita berbicara tentang belajar maka kita berbicara bagaimana mengubah tingkah laku seseorang”.5

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud proses belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang yang berinteraksi dengan lingkungan guna mencapai tujuan yang dikehendaki yang nantinya dapat mengubah tingkah laku individu.

Mengajar ada tiga kelompok pengertian, yang pertama adalah pengertian klasik yaitu mengajar adalah menyampaikan bahan pengajaran kepada murid. Yang kedua adalah dalam pengertian ekstrim yaitu mengajar adalah menjadikan atau membuat anak belajar, sedangkan yang ketiga adalah mengajar merupakan suatu proses mentransfer pengetahuan, nilai dan ketrampilan serta mengembangkan suatu potensi anak.6

Jadi, dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan proses belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang terdiri dari tindakan dengan menggunakan ketrampilan dan kemampuan agar terjadi interaksi antara siswa dan guru untuk mencapai tujuan yang ditetapkan melalui sumber daya manusia serta sumber-sumber lain yang mendukungnya.

4 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 27-28. 5 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002, hlm. 28-29.

(3)

2. Dasar dan Tujuan Pengelolaan Proses Belajar Mengajar

a. Dasar Pengelolaan Proses Belajar Mengajar

Dalam melakukan suatu aktivitas diperlukan dasar yang mendasari, mengapa hal itu dilakukan dan tidak bisa lepas dari tujuan yang dicanangkan, kemana aktivitas itu diarahkan. Dengan berlandaskan dan bertujuan, maka suatu aktivitas yang dijalankan akan lebih mantap dan terarah pada titik yang akan dicapai. Menurut Roestiyah, ada 3 landasan dalam mengelola proses belajar mengajar yaitu landasan filosofis, landasan sosiologi antropologis, landasan psikologis.7 Namun menurut penulis untuk pendidikan perlu ditambah yaitu landasan religius.

1) Landasan Religius

Al-Qur’an dan Hadits adalah sumber dasar agama Islam yang mengatur segala aktivitas setiap muslim, baik yang mencakup bidang hukum, kemasyarakatan, politik, kenegaraan dan juga berhubungan dengan bidang pendidikan.

Namun hakekat al-Qur’an adalah ketetapan Allah yang eksistensinya adalah memberikan kemudahan bagi yang menjalankan. Hal ini berlaku juga pada bidang yang berhubungan dengan bidang pendidikan yang salah satunya adalah pengelolaan proses belajar mengajar di SLB Negeri Bantul bersama seluruh staf dan karyawannya tak ketinggalan pula seluruh siswanya. Bila mau berusaha maka Allah tidak akan mempersulit urusan manusia seperti Firman-Nya dalam al-Qur’an surat az-Zumar ayat 39:

!"

#

$

%&'

(

)

(4)

“Katakanlah: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui.” (QS. az-Zumar: 39)8

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni:

* '%+ !,-./01 %2 345 6

$

789:';58

)

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.9

Ayat dan hadits inilah dasar perlunya dilakukan perencanaan pengelolaan yang matang, pengelolaan yang terkoordinatif dan kondusif yang dikerjakan secara sistematis, terorganisasi, terarah dan terawasi.

2) Dasar Sosiologis dan Antropologis

Manusia pada umumnya dilahirkan dalam keadaan seorang diri, namun dalam hidupnya tetap membutuhkan orang lain dalam mencukupi kebutuhan yang diperlukan. Demikian pula dengan pengelolaan proses belajar mengajar, karena pengelolaan proses belajar mengajar merupakan kegiatan yang melibatkan kepala sekolah, guru, karyawan dan juga siswa yang ada dalam proses tersebut, maka agar tercapai pengelolaan proses belajar mengajar yang baik harus ada kerja sama yang baik pula antara personalia yang harus saling mendukung. Dan perlu usaha yang membutuhkan suatu pengaturan, pengorganisasian serta koordinasi yang rapi dan sistematis.

8 Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 751.

9 Musrifah, “Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan”, dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’ti (eds.), PBM PAI di Sekolah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 126

(5)

3) Dasar Filosofis

Pengelolaan proses belajar mengajar harus berlandasan dan berpedoman pada falsafah yang dianut oleh bangsa di mana pengelolaan tersebut dilaksanakan. Pengelolaan atau manajement proses belajar mengajar bagi bangsa Indonesia harus didasarkan dan berpedoman pada nilai-nilai yang terkandung pada sila-sila dari Pancasila (way of life) bangsa Indonesia maka pengelolaan proses belajar mengajar harus didasarkan dan dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai tersebut.10

4) Dasar Psikologis

Pelaksanaan manajement atau pengelolaan proses belajar mengajar tidak bisa lepas dari faktor psikologis kepala sekolah atau guru dan karyawan maupun personal yang terkait dalam proses.

Menurut Roestiyah masalah psikologis yang ikut mendasari pengelolaan atau manajement adalah:

a) Masalah motivasi b) Masalah belajar

c) Masalah individu / pribadi d) Masalah manajemen e) Dasar komunikasi f) Dasar kurikulum g) Dasar mengejar h) Dasar evaluasi11 b. Tujuan Pengelolaan PBM

Tujuan merupakan suatu yang sangat esensial oleh karena besar maknanya. Tujuan dapat memberi petunjuk kemana suatu aktivitas akan berakhir dan dapat dijadikan pijakan dalam melaksanakan suatu aktivitas,

10 Roetiyah, op. cit., hlm. 76. 11 Ibid.

(6)

demikian juga pengelolaan proses belajar mengajar tentu tidak bisa lepas dari tujuan.

Menurut Hadari Nawawi tujuan administrasi pendidikan pengelolaan proses belajar mengajar adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan kegiatan operasional kependidikan dalam mencapai tujuan pendidikan (pengajaran).12

Dengan demikian pengelolaan dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pengelolaan adalah dasar kegiatan yang dilakukan oleh kepala sekolah, guru dan karyawan dapat berjalan secara efektif dan efisien sehingga tujuan tersebut dapat tercapai dengan hasil yang optimal.

3. Ruang Lingkup Pengelolaan PBM

Guru dikenal sebagai suatu pekerjaan profesional, artinya jabatan ini memerlukan suatu keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak bisa dikerjakan oleh sembarang orang tanpa memiliki keahlian sebagai guru. Seorang guru yang profesional dia harus menguasai betul tentang seluk beluk pendidikan dan pengajaran serta ilmu-ilmu lainnya. Dia juga telah mendapatkan pendidikan khusus menjadi guru dan memiliki keahlian khusus yang diperlukan untuk menjadi seorang guru. Dan diharapkan dengan pendidikan dan keahlian khusus hasil usahanya sebagai seorang guru akan lebih baik.

Seorang guru yang profesional harus menguasai item-item keguruan yang dapat menunjang keberhasilan dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Di antara item-item tersebut antara lain:

a. Persiapan mengajar

Di tangan para gurulah terletak kemungkinan berhasil atau tidaknya pencapaian proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu sebelum proses belajar mengajar berlangsung hendaknya guru mempersiapkan

(7)

segala sesuatunya dengan matang. Dalam persiapan ini guru merencanakan materi baru yang akan disampaikan dan berusaha atau menumbuhkan motivasi dalam diri siswa agar merek dapat menerima pelajaran baru dengan proporsi yang tepat.

Pengajar dapat mengisi bagian persiapan ini dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Memberitahukan kegunaan bahan pelajaran saat itu. Pengajar tidak cukup hanya memberitahukan hal yang akan dijelaskan. Namun pengajar juga perlu menjelaskan apa yang harus dilakukan siswa berhubungan dengan bahan pelajaran saat itu.

2) Menempatkan pokok masalah pelajaran saat itu pada ruang lingkup yang lebih jelas.

3) Menjelaskan hubungan antara pelajaran saat itu dengan yang lalu. 4) Menghubungakan pelajaran saat itu dengan pengetahuan yang ada

dalam benak siswa (pengetahuan pendahuluan).

5) Menunjukkan bahan pelajaran saat itu terdiri dari pokok masalah apa saja.13

b. Pelaksanaan Mengajar

Dalam pelaksanaan mengajar guru sudah mempunyai kemampuan menguasai bahan yang direncanakan, juga kemampuan mengelola proses belajar mengajar, mengelola kelas, kemampuan menggunakan metode dan sumber, kemampuan melaksanakan interaksi belajar mengajar dan juga kemampuan melakukan evaluasi hasil belajar. Menurut Dimiyati Mahmud yang dikutip oleh B. Suryosubroto pelaksanaan mengajar adalah pelaksanaan strategi-strategi yang telah dirancang untuk mencapai tujuan pengajaran.14

13 AD. Raji Jakkers, Mengajar dengan Sukses, (Jakarta: Grasindo, 1993), hlm. 39-41.

14 B. Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 36.

(8)

Setelah kita bicarakan tentang berbagai hal mengenai pelaksanaan mengajar, ada hal penting yang perlu disoroti yaitu dalam penyampaian materi. Pengajar (guru) harus memperhatikan sikap yang menunjang dalam penyampaian materi. Di antara yang harus diperhatikan dalam penyampaian materi yaitu:

1) Perumusan yang jelas dan sederhana

Berbicara menggunakan bahasa yang gamblang (bahasa sehari-hari), jangan menggunakan bahasa yang muluk-muluk. Mereka tidak akan tahu apa-apa. Jangan menggunakan kalimat yang panjang-panjang karena kalimat yang panjang akan mengaburkan pelajaran yang dijelaskan.

2) Penggunaan nada suara

Usahakan suara guru ketika sedang menjelaskan jelas terdengar sampai ke pendengar / siswa yang duduk paling belakang. Karena bila suara tidak keras maka murid akan bertanya-tanya yang mneimbulkan kegaduhan di dalam kelas dan semakin membuat ucapan pengajar menjadi lebih tidak jelas.

3) Gerak dan sikap

Seorang pengajar harus bisa membuat variasi secara tepat dalam gerak dan sikapnya. Yang terpenting pengajar selalu mengusahakan agar gerak/sikap yang ia tampilkan benar-benar dapat mendukung ulasan yang sedang ia berikan. Dengan kata lain, pengajar perlu mempertimbangkan bahwa gerak yang ia tampilkan memang berguna, atau sikapnya yang ini perlu untuk memperjelas uraian.

4) Memberi tanggapan secara positif

Tanggapan yang positiflah yang dapat meningkatkan proses belajar. Seorang murid yang memperoleh tanggapan bahwa pertanyaannya terlalu bodoh, ada kemungkinan besar dia kurang bergairah lagi untuk

(9)

bertanya. Oleh sebab itu pengajar harus selalu bersikap membimbing dan mau membantu.15

c. Evaluasi

Evaluasi diadakan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya dalam mengajar, jika gagal ia harus mengadakan perbaikan terhadap pengajaran yang diterapkan baik itu metode, strategi, alat bantu dan sumber-sumber yang dipakai.

Menurut Anas Sudjono evaluasi pendidikan adalah kegiatan atau proses penentuan nilai pendidikan sehingga dapat diketahui mutu atau hasilnya.16

Evaluasi juga dimaksud untuk mengamati peranan guru, strategi pengajaran khusus, materi kurikulum dna prinsip-prinsip belajar untuk diterapkan pada pengajaran. Tujuan diadakan evaluasi itu sendiri untuk memperbaiki pengajaran dan penguasaan tujuan tertentu dalam kelas.

Evaluasi merupakan bagian penting dalam suatu sistem instruksional. Karena itu, penilaian mendapat tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi pokok sebagai berikut:

1) Fungsi edukatif; evaluasi adalah suatu sub sistem dalam sistem pendidikan yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang keseluruhan sistem dan atau salah satu sub sistem pendidikan, dengan evaluasi dapat diungkapkan hal-hal yang tersembunyi dalam proses pendidikan.

2) Fungsi institusional; evaluasi berfungsi mengumpulkan informasi akurat tentang input dan output pembelajaran di samping proses pembelajaran itu sendiri.

15 AD. Raji Jakkers, hlm. 50-51.

(10)

3) Fungsi diagnostik; dengan evaluasi dapat diketahui kesulitan masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh siswa dalam proses / kegiatan belajarnya.

4) Fungsi administratif; evaluasi menyediakan data tentang kemajuan belajar siswa yang pada gilirannya berguna untuk memberikan sertifikat (tanda kelulusan) dan untuk melanjutkan studi lebih lanjut dan atau untuk kenaikan kelas.

5) Fungsi kurikuler; evaluasi berfungsi menyediakan data dan informasi yang akurat dan berdaya guna bagi pengembangan kurikulum (perencanaan, uji coba di lapangan, implementasi dan revisi).

6) Fungsi manajement; komponen evaluasi merupakan bagian integral dalam sistem manajement, hasil evaluasi berdaya guna sebagai bahan bagi pimpinan untuk membuat keputusan manajement pada semua jenjang manajement.17

B. Kemandirian Siswa Cacat Fisik (Tuna Daksa) 1. Kemandirian

a. Pengertian Kemandirian

Kata “mandiri” pada dasarnya memiliki arti yang sangat relatif, sebab kata mandiri mengandung arti tidak tergantung pada orang lain, bebas dan dapat melakukan sendiri.18 Kata ini seringkali diterapkan untuk pengertian dan tingkat kemandirian yang berbeda-beda

Kemandirian, menurut Sutari Imam Barnadib (1982), meliputi “perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa

17 Oemar Hamalik,, op. cit., hlm. 147-148.

18 Anung Haryono, “Belajar Mandiri; Konsep dan Penerapannya dalam Sistem Pendidikan dan Pelatihan Terbuka/Jarak Jauh”, http://202.159.18.43/ptjj/22anung.htm., hlm. 1.

(11)

bantuan orang lain”.19 Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kartini dan Dali (1987) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah “hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri”.20 Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian:

1. Suatu keadaan di mana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya.

2. Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

3. Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya. 4. Bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.21

Kemandirian atau perilaku mandiri dapat diartikan sebagai kebebasan seseorang dari pengaruh orang lain.22 Jadi ini berarti bahwa siswa mampu bekerja sendiri dengan memiliki perilaku-perilaku yang akan diperbuatnya dan berusaha memecahkan sendiri tanpa mengharap bantuan orang lain.

Sedangkan menurut Brower yang dikutip oleh Chabib Thoha bahwa perilaku mandiri itu dicirikan dengan kebebasan seseorang dari pengaruh orang lain dan kemampuan untuk emngembangkan sikap kritis terhadap kekuasaan yang datang dari luar dirinya.23 Kebebasan yang terjadi merupakan tanggung jawab seorang individu.

Menurut Bilmore kemandirian dicirikan oleh 1) ada rasa tanggung jawab, 2) memiliki pertimbangan dalam menilai problem yang dihadapi

19 Zainun Mu’tadin, “Kemandirian sebagai Kebutuhan Psikologis Pada Remaja,

http://www.e-psikologi.com/remaja/250602.htm., hlm. 1. 20 Ibid.

21 Ibid.

22 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 122.

(12)

secara intelegen, 3) ada perasaan aman bila memiliki pendapat yang berbeda dengan orang lain, 4) adanya sikap kreatif.24

Empat ciri tersebut merupakan ciri-ciri yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi terhadap kemandirian belajar.

b. Aspek-Aspek Kemandirian

Robert Havighurst (1972) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu:

1. Emosi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua. 2. Ekonomi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur

ekonomi dan tidak teragntungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua.

3. Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.

4. Sosial, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.25

Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, di mana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandiriannya seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap.

Untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Pada saat ini peran orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak sebagai “penguat” untuk setiap perilaku yang telah dilakukannya. Hal ini sejalan dengan apa

24 Ibid., hlm. 122-123. 25 Zainun Mu’tadin, loc. cit.

(13)

yang telah dikatakan Robert (1985) bahwa “kemandirian merupakan suatu sikap otonomi di mana seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain”.26 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemandiran sangat dipengaruhi oleh aspek emosi, sosial dan lingkungan di mana seseorang itu berada.

c. Proses Perkembangan Kemandirian

Kemandirian, seperti halnya kondisi psikologis yang lain, dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini. latihan tersebut dapat berupa pemberian tugas-tugas tanpa bantuan, dan tentu saja tugas-tugas tersebut disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak. Mengingat kemandirian akan banyak memberikan dampak yang positif bagi perkembangan individu, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuannya. Seperti telah diakui segala sesuatu yang dapat diusahakan sejak dini akan dapat dihayati dan akan semakin berkembang menuju kesempurnaan. Latihan kemandirian yang diberikan kepada anak harus disesuaikan dengan usia anak.27 Contoh: untuk anak-anak usia 3 – 4 tahun, latihan kemandirian dapat berupa membiarkan anak memasang kaos kaki dan sepatu sendiri, membereskan mainan setiap kali selesai bermain, dan lain-lain.

Sementara untuk anak remaja kemandirian dapat berupa memberikan kebebasan, misalnya dalam memilih jurusan atau bidang studi yang diminatinya, atau memberikan kesempatan pada remaja untuk memutuskan sendiri jam berapa ia sudah harus pulang ke rumah jika anak

26 Ibid. 27 Ibid.

(14)

tersebut keluar malam bersama temannya (tentu saja orang tua perlu mendangarkan argumentasi yang disampaikan sang remaja tersebut). Diharapkan dengan bertambahnya usia akan bertambah pula kemampuan anak untuk berpikir secara objektif, tidak mudah dipengaruhi, berani mengambil keputusan sendiri, tumbuh rasa percaya diri, tidak tergantung kepada orang lain dan dengan demikian kemandirian akan berkembang dengan baik.28

2. Cacat Fisik

a. Pengertian Cacat Fisik

Ada dua pengertian yang sering membingungkan orang yaitu pengertia tentang anak cacat atau anak yang menyandang ketunaan (handicapped children). Kebingungan untuk membedakan kedua pengertian tersebut timbul karena yang dapat diamati oleh masyarakat pada umumnya adalah penyelenggaraan pendidikan luar biasa berlangsung di sekolah-sekolah luar biasa (SLB) dan anak-anak yang berada di sekolah-sekolah semacam itu umumnya ialah anak cacat atau yang menyandang ketunaan. Karena adanya sekolah-sekolah luar biasa dengan murid yang terdiri dari anak-anak cacat inilah mungkin yang menyebabkan banyak orang memiliki pemahaman yang keliru tentang pengertian anak luar biasa yang dipandang identik dengan anak cacat. Padahal, anak luar biasa atau anak berkelaianan memiliki arti generik yang didalamnya tercakup anak cacat atau anak yang menyandang ketunaan. Anak yang memiliki keceradasan luar biasa tinggi atau yang memiliki bakat khusus di idang musik yang luar biasa hebat misalnya, termasuk anak luar bias atau berkelainan, namun bukan anak cacat. Sebaliknya anak

(15)

yang berkecerdasan sangat rendah atau anak buta atau anak tuli termasuk anak luar biasa atau berkelainan yang sekaligus juga anak cacat.

Anak cacat dalam bahasa Inggris disebut sebagai children with special needs. Dalam pengertian menurut Tyrel sebagaimana dikutip oleh S. Lazuardi adalah termasuk mereka yang menderita suatu defek (ada sesuatu yang dibutuhkan untuk keutuhannya), disabilioty (keinginan untuk memiliki kepandaian) dan hand icap (keadaan cacat yang menjadikannya kurang beruntung pada suatu lingkaran tertentu).29

Menurut Nagar Rasyid tuna daksa adalah “Anak yang menyandang cacat pada tubuhnya sejak lahir atau mendapatkannya sesudah lahir atau kecacatannya akan dialami seumur hidup”.30

Sementara itu menurut Sukarman sebagaimana dikutip oleh Endang Poerwanti dan Nur Widodo mengatakan bahwa cacat fisik adalah cacat yang ada hubungannya dengan tulang sendi dan otot. Cacat fisik adalah jenis cacat, di mana salah satu anggota tubuh bagian tulang atau persendian mengalami kelainan, sehingga timbul rintangan dalam melakukan fungsi gerak. Cacat fisik seperti ini sering disebut dengan “orthopedi”.31 Sedangkan menurut ilmu kedokteran disebutkan bahwa cacat tubuh adalah kelainan pada anggota gerak yang meliputi tulang, otot dan persendian, baik dalam struktur maupun fungsinya, sehingga dapat menjadikan rintangan bagi penderita untuk melakukan kegiatan secara layak.32

Lebih luas, Anastasi sebagaimana dikutip oleh Endang Poerwanti dan Nur Widodo mengatakan bahwa gangguan fungsi fisik dan

29 S. Lazuardi, Pengenalan dan Pencegahan Cacat pada Anak, Modul Kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

30 Nagar Rasyid, Menelusuri Hari depan Anak Penyandang Cacat Fisik, (Bandung: Aditorium PKK, 1990), hlm. 11.

31 Endang Poerwanti dan Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didik, (Malang: UMM Perss, 2002), hlm. 181.

(16)

psikomotor pada umumnya disebabkan oleh kerusakan-kerusakan otak atau organ ferifer, yaitu kerusakan pada susunan syaraf pusat pada anggota badan, urat daging atau pada panca indra.33

Jadi yang dimaksud cacat fisik, yaitu cacat yang dibawa sejak lahir atau karena sebab-sebab yang mengakibatkan cacat seumur hidup yang disebabkan kerusakan-kerusakan otak atau susunan pusat syaraf paad anggota badan, urat daging atau pada panca indra.

b. Dinamika Kepribadian Penyandang Cacat Fisik

Menurut Monk dkk, sebagaimana dikutip oleh T. Rina Dwi Pangestuti mengatakan bahwa apabila siswa mengalami penyimpangan fisik, maka sering disebut siswa penyandang cacat fisik, sehingga dapat dikatakan bahwa anak penyandang cacat fisik adalah anak yang mempunyai kelainan fisik. Kelainan fisik tersebut menyebabkan sebagian anggota tubuhnya atau seluruh anggota tubuhnya tidak berfungsi. Penyandang pada umumnya mengalami hambatan dalam beraktifitas karena keterbatasan kemampuan fisiknya. Adanya hambatan gerak tersebut akan mempengaruhi dorongan untuk mencapai tujuan, khususnya bagi anak penyandang cacat fisik dan ini merupakan hambatan untuk hidup selayaknya seperti remaja normal pada umumnya.34

Anak penyandang cacat fisik pada umumnya sulit menerima keadaan karena pada masa remaja kondisi fisik dan bentuk tubuh memiliki arti yang sangat penting. Kecacatan fisik yang berat mempengaruhi penilaian diri anak sebegitu rupa, sehingga menghambat perkembangan kepribadian yang sehat.35

33 Ibid.

34T. Rina Dwi Pangestuti, Kemandirian Ditinjau dari Persepsi Penerimaan Teman Sebaya pada

Remaja Penyandang Cacat Fisik, Skripsi, (Semarang: Fakultas Psikologi, Universitas Katolik

Soegiyajapranata, 1999), hlm. 21-22. 35 Ibid.

(17)

Menurut Suhartono sebagaimana dikutip oleh T. Rina Dwi Pangestuti, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terbentuknya kepribadian penyandang cacat fisik, sebagai berikut:

a. Konstitusi Mental

Kondisi mental yang sedikit lemah pada penyandang cacat fisik akan mempengaruhi kepribadian penyandang cacat fisik tersebut. Jika penyandang cacat fisik tersebut akan mampu mengatasi persoalan-persoalannya serta mampu meningkatkan dirinya, maka penyandang cacat fisik tersebut mempunyai konstitusi mental yang kuat.

b. Sikap Orang Tua

Sikap orang tua yang anggota keluarga atau anak yang mempunyai kelainan cacat fisik, pada umumnya cenderung merasa tertekan cemas, merasa berdosa dan malu terhadap keluarga lain di sekitarnya. Tidak jarang perasaan itu muncul dalam bentuk sikap dan tingkah laku yang bermaksud menyembunyikan penderitaan dari pandangan orang lain. Sikap orang tua yang secam ini tentu akan sangat berpengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan kepribadian penyandang cacat fisik, sehingga akan menimbulkan rasa tidak berharga, tidak percaya diri, rendah diri dan sebagainya.

c. Sikap Lingkungan

Lingkungan pada umumnya mempunyai persepsi yang bermacam-macam, terhadap penyandang cacat fisik antara lain: wajar, mengasihi, menganggap remeh dan menolak. Persepsi negatif masyarakat dapat berakibat yang tidak mengenakkan bagi penyandang cacat fisik. Persepsi itu dapat berupa anggapan bahwa penyandang cacat fisik tidak mampu bekerja, penyandang cacat fisik dianggap merepotkan, penyandang cacat fisik dianggap tidak dapat bermasyarakat dan sebagainya akibat yang ditimbulkan oleh persepsi

(18)

negatif dari masyarakat adalah para penyandang cacat fisik akan membentuk konsep dari yang negatif dan harga diri yang rendah. d. Pengalaman

Menurut pendapat ahli psikologi konditioning, individu akan berusaha mengulangi pengalaman-pengalaman yang menyenangkan sehingga menjadi kebiasaan tingkah laku. Sedangkan pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan akan berusaha dihindarinya. Namun kebiasaan-kebiasaan yang tidak menyenangkan tersebut dapat juga menambah perbendaharaan pengalaman, sehingga apabila menghadapi keadaan yang kurang menyenangkan individu akan berusaha menghindarinya. Penyandang cacat fisik yang senantiasa diejek, ditolak atau dicerca akan selalu berprasangka pada orang lain. Sebaliknya bila mendapat perlakuan yang wajar serta dihargai prestasi-prestasinya maka penyandang cacat fisik tersebut akan mempunyai kepercayaan diri yang besar.

e. Kesempatan Memperoleh Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan yang tinggi akan meningkatkan harga diri bagi para penyandang cacat fisik seperti orang-orang normal lainnya. Sebaliknya, penyandang cacat fisik yang kurang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan akan berkurang rasa harga dirinya. Peranan pendidikan dan tingkat perkembangan manusia merupakan faktor yang dominan terhadap kemampuannya untuk menanggapi masalah kehidupannya sehari-hari. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi memberikan wawasan dan pergaulan yang lebih luas, sehingga mempengaruhi berbagai aspek kepribadian. f. Lamanya Menyandang Cacat Fisik

Yang dimaksud ialah sejak kapan individu tersebut mengalami kecacatannya. Apakah didapat semenjak lahir, sejak kecil, setelah dewasa atau setelah tua. Bagi individu yang mengalami kecacatan

(19)

sejak lahir atau kecacatan sejak masih kecil akan lebih mudah beradaptasi dengan kecacatannya, sehingga penyandang cacat ini akan lebih dapat menerima dirinya dan keadaan seperti apa adanya. Keadaan ini akan mendukung bagaimana penyandang cacat fisik tersebut dapat berdiri sendiri, melakukan aktivitas yang sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki sejak lahir atau sejak kecil. Sedangkan bagi penyandang cacat fisik bukan bawaan sejak lahir atau karena kecelakaan, akan tetapi ia mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri karena mereka kurang dapat menerima kenyataan yang baru, sebab sejak kecil mereka terbiasa diperlakukan sebagai orang normal.36

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dinamika kepribadian penyandang cacat fisik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas. Faktor-faktor ini mempunyai peranan penting dalam kehidupan penyandang cacat fisik yang selanjutnya akan menentukan penyandang cacat fisik bersikap dan berpikir untuk menjalani kehidupan lebih lanjut agar tidak selalu tergantung oleh orang lain.

c. Sistem Layanan Pendidikan Anak Cacat Fisik

Sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa semua warga negara berhak memperoleh pendidikan, maka tidak terkecuali bagi anak-anak berkelainan. Ada berbagai bentuk layanan pendidikan anak penyandang cacat, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Pada dasarnya pendidikan anak berkelainan dapat dikelompokkan dalam 2 model yaitu pendidikan terpisah (segregasi) dan pendidikan terpadu (integrasi). Model segregasi merupakan model pendidikan yang sudah lama diterapkan yaitu pendidikan yang diselenggarakan secara khusus untuk anak-anak

(20)

berkelainan baik satu jenis maupun berbagai jenis kelainan dalam satu sekolah dan terisah dari pendidikan anak normal. Pendidikan integrasi merupakan model pendidikan yang cenderung baru, pada pendidikan terpadu anak berkelainan berlajar bersama-sama dengan anak-anak normal pada satu sekolah dan bahkan mungkin pada satu kelas, sedangkan tingkat keterpaduannya disesuaikan dengan tingkat kemampuannya.37

Berbagai jenis layanan pendidikan di Indonesia ada berbagai model dan bentuk, adapun layanan tersebut adalah:

1. Sekolah khusus

Sekolah khusus ini dikenal dengan sekolah luar biasa (SLB) pada SLB siswanya adalah anak-anak berkelainan yang sejenis. Adapun SLB yang ada meliputi SLB-A (sekolah khusus untuk anak tunanetra), SLB-B (sekolah khusus untuk anak tunarungggu-wicara), SLB-C (sekolah khusus untuk tunagrahita), SLB-D (sekolah khusus anak untuk tunadaksa), SLB-E (sekolah khusus untuk anak tunalaras), SLB-G (sekolah khusus untuk anak tunamajemuk). Pada SLB ini ada dua bentuk yaitu SLB yang dilengkapi dengan asrama biasanya untuk jenis kelainan yang berat dan SLB harian (day school) biasanya untuk anak-anak berkelainan ringan.

2. Sekolah terpadu

Sekolah terpadu atau integrasi adalah sekolah umum yang menyelenggarakan PLB. Jadi di sini sekolah terpadu di samping meneria siswa normal juga menerima siswa berkelainan biasanya tingkat kemampuan anak yang di sekolahkan di sekolah terpadu mendekati normal. Adapun sekolah terpadu yang secara resmi ada di Indonesia adalah sekolah terpadu untuk tuna netra, baik tingkat SD,

(21)

SLTP dan SLTA, sedangkan untuk jenis kelainan lain masih dalam taraf uji coba.38

Sedangkan bentuk layanan lain adalah rehabilitas yang dikelola oleh Departemen Sosial. Pada panti rehabilitasi yang bertujuan untuk merehabilitasi sosial vokasional, maka anak-anak berkelainan di panti rehabilitasi, di samping diberi pendidikan formal juga dibekali berbagai ketrampilan untuk moadl hidup di masyarakat. Panti rehabilitasi mendidik dan melatih anak-anak berkelainan sejenis ada panti rehabilitasi cacat netra, panti rehabilitasi cacat mental dan panti rehabilitasi cacat tubuh (fisik), Selain Depdikbud dan Depsos, anak-anak berkelainan ada yang direhabilitasi pada Depkeh, yaitu anak-anak tunalaras (nakal dan kriminal). Lembaga rehabilitasi yang menangani adalah Lembaga Permasyarakatan Anak-Anak (LPAN), Balai Pengentasan Anak (BISPA).39

C. Hubungan Pengelolaan Proses Belajar Mengajar dengan Kemandirian Siswa Penyandang Cacat Fisik

Anak cacat fisik (tuna daksa) pada dasarnya memiliki potensi yang dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar mengajar khusus bagi anak penyandang cacat. Hal ini terjadi karena anak penyandang cacat fisik juga berhak mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.

Dari sinilah, maka penciptaan lingkungan belajar merupakan salah satu faktor penting dalam memecahkan kesulitan siswa dalam belajar. Dan upaya itu harus dikembangkan secara optimal untuk kemudahan mencari ilmu pengetahuan yang komplek.40 Dari berbagai faktor penyebab kesulitan belajar pada siswa, ini

38 Ibid., hlm. 8. 39 Ibid., hlm. 8-9.

(22)

bermuara pada faktor ekstern belajar.41 Untuk itu guru sebagai pengelola yang secara langsung melakukan kontak baik dengan lingkungan maupun peserta didik, harus responsif terhadap keadaan yang ada disekitarnya. Selain itu guru yang mengajar pada sekolah luar biasa harus mempunyai kesabaran yang ekstra, karena guru tersebut menghadapi anak penyandag cacat secara baik.

Dalam proses belajar mengajar di sekolah (SLB), diharapkan para penyandang cacat fisik dapat mencapai tujuan belajar dengan sebaik-baiknya. Tetapi pada kenayatannya, berbagai hal dapat menghambat tercapainya tujuan belajar tersebut. Banyak anak yang tidak dapat mencapai tujuan belajar karena mengalami kesulitan dalam kegiatan belajar, dan kesulitan belajar tersebut dapat menjadi masalah baik bagi anak sendiri maupun bagi guru.

Menurut Lerner sebagaimana dikutip oleh Mulyono Abdurrahman bahwa ada sembilan peranan guru, khusus bagi anak berkesulitan belajar, khususnya anak penyandang cacat fisik di sekolah. Kesembilan peranan tersebut adalah:

1. Menyusun rancangan program identifikasi, asesmen, dan pembelajaran anak berkesulitan belajar.

2. Berpartisipasi dalam penjaringan, asesmen dan evaluasi anak berkesulitan belajar.

3. Berkonsultasi dengan para ahli yang terkait dan menginterprestasikan laporan mereka.

4. Melaksanakan tes, baik dengan tes formal maupun informal.

5. Berpartisipasi dalam penyusunan program pendidikan yang diindividualkaaan (individualized education program).

6. Mengimplementasikan program pendidikan yang diindividualkan. 7. Menyelenggarakan pertemuan dan wawancara dengan orang tua. 8. Bekerjasaama dengan guru reguler atau guru kelas untuk memahami

anak dan menyediakan pembelajaran yang efektif, dan

9. Membantu anak dalam mengembangkan pemahaman diri dan memperoleh harapan untuk berhasil serta keyakinan kesanggupan mengatasi kesulitan belajar.42

41 Dimiyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 80. 42 Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 102-103.

(23)

Di samping peran di atas, faktor utama yang memberikan dampak positif bagi siswa adalah bila guru menggunakan prinsip-prinsip mengajar anak penyandang cacat secara tepat, sehingga bisa memberikan hasil yang lebih baik bagi anak lambat belajar dalam proses belajar mengajar.43 Di sinilah, menurut JJ. Hasibuan sebagaimana dikutip B. Suryosubroto guru dalam proses belajar mengajar harus memenuhi tiga tahapan sebagai berikut:

1. Tahap sebelum pengajaran, meliputi:

a. Menyusun tahunan pelaksanaan kurikulum

b. Program semester atau cawu pelaksanaan kurikulum c. Program satpel dan perencanaan program mengajar 2. Tahap pengajaran, yaitu interaksi guru dan siswa meliputi:

a. Pengelolaan dan pengendalian kelas

b. Penyampaian informasi, ketrampilan-ketrampilan, konsep c. Penggunaan tingkah laku verbal dan non verbal

d. Cara mendapatkan balikan

e. Mempertimbangkan prinsip-prinsip psikologis, yaitu motivasi dan keterlibatan siswa

f. Mendiagnosis kesulitan belajar

g. Menyajikan belajar sehubungan dengan perbedaan individu h. Mengevaluasi kegiatan interaksi

3. Tahap sesudah pengajaran, meliputi: a. Menilai pekerjaan siswa

b. Membuat perencanaan untuk pertemuan berikut c. Menilai kembali PBM44

Jadi, guru memiliki peran sentral dalam mengelola proses belajar mengajar. Guru harus dapat menarik (memotivasi) anak penyandang cacat fisik untuk dapat belajar dengan baik. Dan menyerap materi yang diajarkan guru. Tugas guru sebagai fasilitator dalam proses belajar mandiri pada siswa cacat ialah menjadi fasilitator dan menjadi orang yang siap memberikan bantuan kepada siswa penyandang cacat, terutama dalam menentukan tujuan belajar, memilih bahan

43 Mugiarsih, “Kesulitan Belajar Anak lambat Belajar (Slow Learner), dalam Majalah Pendidikan Gerbang, Edisi 1 Th. III Juli 2003, hlm. 37-38.

(24)

dan media belajar serta dalam memecahkan kesulitan yang tidak dapat dipecahkan siswa atau peserta didik sendiri.

D. Hipotesis

Hipotesis adalah “dugaan sementara yang mungkin benar atau salah, yang akan diterima kalau fakta-fakta membenarkannya dan akan ditolak kalau salah atau palsu.”7

Dalam penelitian ini peneliti mengajukan hipotesis bahwa “ada pengaruh positif pengelolaan proses belajar mengajar terhadap kemandirian siswa penyandang cacat fisik (tuna daksa)”. Artinya, semakin baik pengelolaan proses belajar mengajar bagi siswa penyandang cacat fisik maka kemandirian penyandang cacat fisik akan semakin tinggi.

Referensi

Dokumen terkait

“Mungkin orang yang membawa Glagah Putih itu juga mempunyai ilmu sejenis itu,” membatin Ki Waskita dengan jantung yang semakin berdebaran, “Tapi orang ini tidak

Kantor BMT Bina Ummat Sejahtera cabang Genuk (CB16) dapat menjadikan kantor BMT Bina Ummat Sejahtera cabang Blora (CB12) dengan bobot 0,386, cabang Purwodadi (CB17)

Evaluasi meliputi validasi fungsi alih dan resolusi instrumen secara eksperimen, serta uji ketepatan dan ketelitian pengukuran sistem pada penentuan distribusi ukuran

Aplikasi ini di develop berbasis desktop dan berjalan di sistem operasi windows, sehingga dapat memudahkan user dalam penggunaannya, Applikasi ini juga sudah di design

Setelah mengetahui permasalahan pada teknik pembuatan motif karawo secara manual serta kebutuhan bahan dan alat yang digunakan pada proses penyulaman karawo, tahapan

LCD disini dapat menampilkan karakter yang ada pada ROM generator karakter, yang sudah berisi 192 jenis karakter, dengan cara memberikan kod karakter untuk

2.  Kapasitas fiskal mencerminkan potensi kemampuan daerah mendanai jasa-jasa yang harus disediakan pemerintah.. 3.  Kebutuhan fiskal menunjukkan total

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka AHP merupakan metode yang tepat untuk menganalisa kesesuaian jenis vegetasi mangrove dengan faktor lingkungannya,