• Tidak ada hasil yang ditemukan

VISI PERDANA MENTERI SHINZŌ ABE UNTUK MEREVISI KONSTITUSI 1947 JEPANG: KAITANNYA DENGAN KONFLIK KEPULAUAN SENKAKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VISI PERDANA MENTERI SHINZŌ ABE UNTUK MEREVISI KONSTITUSI 1947 JEPANG: KAITANNYA DENGAN KONFLIK KEPULAUAN SENKAKU"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

VISI PERDANA MENTERI SHINZŌ ABE UNTUK MEREVISI KONSTITUSI 1947 JEPANG: KAITANNYA DENGAN KONFLIK KEPULAUAN SENKAKU

Wildan Ahmad Adani, Endah Hayuni Wulandari

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Abstrak

Shinzō Abe adalah Perdana Menteri Jepang yang ke-57 yang diangkat pada Desember 2012. Sebagai Perdana Menteri, Shinzō Abe berencana untuk merevisi Konstitusi 1947. Rencana revisi tersebut merupakan upaya untuk sesuatu yang lebih besar, yaitu untuk menjalankan hak pertahanan kolektif. Shinzō Abe ingin Jepang agar lebih proaktif dalam menjaga perdamaian dunia, dan menjalankan hak pertahanan kolektif dapat mewujudkannya. Namun, konstitusi menghalanginya untuk menjalankan hak tersebut. Di sisi lain, konflik Kepulauan Senkaku yang sedang Jepang hadapi dengan Cina dan Taiwan sedang berada di titik tertingginya. Jepang, Cina, dan Taiwan terus melakukan tindakan untuk menegaskan klaimnya. Shinzō Abe berusaha untuk merevisi Konstitusi 1947 dengan memanfaatkan ketegangan konflik Kepulauan Senkaku sebagai justifikasi tindakannya. Ketegangan konflik tersebut merupakan bukti dari situasi regional yang buruk bagi Jepang, sehingga dapat dijadikan alasan untuk merevisi konstitusi, dan akhirnya menjalankan hak pertahanan kolektif.

Kata Kunci: Shinzō Abe, Konstitusi 1947, Kepulauan Senkaku, Pertahanan Kolektif

Prime Minister Shinzō Abe’s Vision to Revise The 1947 Constitution: In Relevance to Senkaku Islands Dispute

Shinzō Abe is Japanese 57th Prime Minister who was appointed in December 2012. As Prime Minister, he is planning to revise the 1947 Constitution. His revision plan is an attempt to do something even greater, which is to exercise the right of collective defense. Shinzō Abe wants Japan to be more proactive in keeping peace in the world, and exercising the right of collective defense can realize his vision. However, the constitution stands in the way of it. On the other hand, the Senkaku Islands territorial dispute between Japan, China, and Taiwan is on its highest point. Those three countries are consistently asserting their claims about the island‟s ownership. Shinzō Abe is using the tension on the dispute to justify his plan to revise the 1947 Constitution. The tension on the dispute is proof that regional situation is not good for Japan, so it can be used to justify the constitution revision, and eventually exercise the right of collective defense.

(2)

1. Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini, hubungan antara Jepang, Cina, dan Taiwan sedang mengalami ketegangan. Masing-masing negara tersebut memiliki hubungan sejarah yang panjang antar satu sama lain, dan hubungan antarnegara memang tidak begitu baik. Jepang dan Cina memiliki hubungan yang tidak sehat karena sejarah perang di masa lalu. Sedangkan Cina dan Taiwan memiliki hubungan yang buruk karena masalah teritorial dan harga diri negara.1 Namun, satu masalah yang dapat memicu pertikaian antarnegara-negara tersebut adalah konflik perebutan wilayah. Masalah perebutan wilayah antarnegara-negara tersebut sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun lamanya, dan pernah disebut dapat memicu konflik militer. Pusat konflik perebutan wilayah ini adalah perebutan Kepulauan Senkaku, yang belakangan ini bagaikan menambah bensin ke kobaran api, semakin “membakar” hubungan ketiga negara tersebut.

Pusat konflik teritorial ini berada di sebuah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau kecil tak berpenghuni yang disebut Kepulauan Senkaku (Senkaku Shotō - 尖閣諸島) oleh Jepang, Kepulauan Diaoyu Dao (釣魚島) oleh Cina, dan Diaoyu Tai/Tiaoyutai (釣魚台) oleh Taiwan. Kepulauan ini terletak di perairan Laut Cina Timur, sekitar 120 mil laut dari Taiwan, 200 mil laut dari bagian timur Cina, dan sekitar 200 mil laut dari Okinawa, Jepang2. Ketiga negara tersebut telah menegaskan klaimnya atas kepulauan tersebut sejak tahun 1968, ketika Economic Commission for Asia and the Far East (ECAFE) dari PBB melakukan survey yang menunjukkan kemungkinan adanya cadangan minyak dan gas yang sangat besar di perairan Kepulauan Senkaku. Namun, konflik ini mulai memanas lagi ketika Jepang membeli kepulauan tersebut dari pemilik pribadi dan secara resmi menasionalisasikannya pada tahun 2012 lalu. Sejak itu, berbagai peristiwa yang dilakukan Cina dan Taiwan telah terjadi demi merespon tindakan Jepang dan mendapatkan kedaulatan kepulauan itu.

Di sisi lain, Perdana Menteri Shinzō Abe (2006 – 2007 dan 2012 – sekarang) sedang

1

Masalah teritorial yang dimaksud adalah mengenai Pulau Taiwan. Cina menganggap pulau tersebut masih

merupakan bagian dari provinsi Cina, namun Taiwan menganggap bahwa Pulau Taiwan bukan bagian dari Cina dan sudah menjadi negara berdaulat yang berdiri sendiri. Taiwan tidak diakui sebagai negara oleh Cina, sehingga keduanya sudah berseteru sejak lama.

2 Han-yi Shaw, The Diaoyutai/Senkaku Islands Disputes: Its History and an Analysis of The Ownership Claims of

(3)

berencana untuk merevisi Konstitusi 1947 yang selama ini menjadi dasar hukum Jepang. Ia mengatakan bahwa ia berniat untuk merevisi konstitusi yang membuat Jepang menjadi negara pasifis. Ia ingin merevisi beberapa pasal di dalam Konstitusi 1947, yaitu Pasal 96 dan Pasal 9. Pasal 96 adalah pasal yang mengatur syarat amandemen konstitusi, Abe berencana untuk meringankan syarat agar konstitusi lebih mudah direvisi. Sedangkan Pasal 9 merupakan pasal yang melarang Jepang memiliki kekuatan militer dan menggunakannya untuk menyelesaikan pertikaian apa pun, dengan kata lain pasal yang membuat Jepang yang pasif. Abe berkata bahwa ia ingin Jepang berperan aktif dalam menjaga kestabilan perdamaian dan menjadi negara yang bersifat “pasif proaktif”. Ia juga ingin agar Jepang dapat menjalankan hak pertahanan kolektif untuk melindungi sekutu-sekutunya jika diserang. Maka dari itu, ia ingin melepas kekangan Pasal 9 agar Self Defense Force (SDF) dapat bergerak lebih leluasa, karena kestabilan regional sekitar Jepang dikatakan semakin mengkhawatirkan juga.

Di samping tujuannya itu, sejak ia menjabat sebagai Perdana Menteri di akhir tahun 2012, Abe melakukan tindakan-tindakan yang tidak mendukung upayanya untuk merevisi konstitusi. Ia melakukan kunjungan ke Kuil Yasukuni yang kontroversial, dan ia juga berusaha untuk merevisi pernyataan maaf Yohei Kono mengenai “wanita penghibur” di zaman perang. Tindakan seperti ini memberikan pesan buruk kepada negara-negara korban Jepang pada masa perang, dengan kata lain Cina dan Taiwan. Akibatnya konflik Kepulauan Senkaku juga memburuk. Tindakan “provokatif” Abe tersebut juga dilakukan di tengah-tengah konflik Kepulauan Senkaku yang sedang berada di titik puncaknya, dan akhirnya menimbulkan ketegangan yang tidak diperlukan untuk menyelesaikan konflik. Rencana revisi ini memiliki suatu hubungan dengan konflik Kepulauan Senkaku. Apakah rencana revisi konstitusi PM Shinzō Abe memang dilakukan karena ingin menjaga kestabilan regional, atau dilakukan untuk melepaskan kekangan SDF dan menjustifikasi aksi-aksi militer yang mungkin akan terjadi jika konflik Kepulauan Senkaku terus berlanjut? Maka dari itu, makalah ini akan membahas hubungan antara rencana revisi Konstitusi 1947 oleh Perdana Menteri Shinzō Abe dengan konflik Kepulauan Senkaku, dan tingkat urgensi revisi Konstitusi 1947 berkaitan dengan keadaan Jepang dan daerah regional sekitarnya.

2. Kerangka Konsep

Untuk memahami kaitan antara visi Perdana Menteri Shinzō Abe dengan konflik Kepulauan Senkaku, pertama-tama perlu dibahas kerangka konsep dalam penelitian ini. Dua

(4)

variabel yang ada dalam penelitian ini memiliki beberapa konsep di dalamnya, dan definisinya perlu dijelaskan agar tidak timbul ambiguitas dalam mendefinisikan istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini.

Variabel pertama adalah „visi Perdana Menteri Shinzō Abe untuk merevisi Konstitusi 1947.‟ Di dalam variabel tersebut terdapat tiga konsep, yaitu „visi,‟ „revisi konstitusi‟ dan „konstitusi.‟ Konsep pertama adalah „visi.‟ Menurut Kamus Merriam-Webster, salah satu definisi dari visi adalah sesuatu yang kita bayangkan, atau sebuah pemikiran, konsep, atau objek yang dibentuk oleh imajinasi kita. Konsep kedua adalah „revisi konstitusi‟ atau disebut juga „amandemen konstitusi.‟ Menurut Jimly Asshiddiqie, amandemen konstitusi mencakup pengertian (a) penggantian naskah yang satu dengan naskah yang sama sekali berbeda, (b) perubahan dalam arti dalam naskah UUD dengan menambahkan, mengurangi, atau merevisi sesuatu rumusan dalam naskah UUD itu menurut tradisi negara-negara Eropah Kontinental, (c) perubahan dengan cara melampirkan naskah perubahan itu pada naskah UUD yang sudah ada. Konsep ketiga adalah „konstitusi‟ atau disebut juga „undang-undang dasar.‟ Menurut E.C.S. Wade, konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan-badan-badan tersebut. Jadi, pada dasarnya, konstitusi mengatur semua dasar dari setiap sistem pemerintahan.

Variabel kedua adalah „konflik Kepulauan Senkaku.” Di dalam variabel tersebut terdapat satu konsep, yaitu „konflik.‟ Ralf Dahrendorf menyatakan bahwa model analisa dari konflik sosial berada pada empat poin, yaitu bahwa (1) setiap masyarakat – dalam setiap hal – tunduk kepada proses perubahan ; perubahan sosial terdapat dimana-mana, (2) setiap masyarakat – dalam setiap hal – memperlihatkan pertikaian dan pertentangan ; pertentangan sosial terdapat dimana-mana, (3) setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya, (4) setiap masyarakat didasarkan atas penggunaan kekuasaan oleh sejumlah anggotanya terhadap anggotanya yang lain. Menurut Dahrendorf, konflik itu ada akibat adanya perbedaan distribusi otoritas, artinya setiap anggota masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan yang berbeda-beda. Sumber konflik berasal dari adanya status sosial, adanya benturan kepentingan, adanya dominasi, adanya diskriminasi, dan adanya kekuasaan. Berdasarkan teori konflik dari Dahrendorf, penulis bisa menyimpulkan bahwa konflik terdapat di seluruh masyarakat, bahkan antar masyarakat yang berbeda latar belakangnya, berbeda distribusi

(5)

kekuasaannya, dan berbeda kepentingannya seperti yang terjadi pada konflik Kepulauan Senkaku ini.

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Melalui metode ini akan dijelaskan secara deskriptif, kemudian dianalisis tentang hubungan antara kedua variabel tersebut yaitu „konflik Kepulauan Senkaku‟ dan „rencana revisi Konstitusi 1947 oleh Perdana Menteri Shinzō Abe.‟ Metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah pengumpulan data sekunder atau studi kepustakaan yang berasal dari buku – buku yang berkaitan dengan masalah serta berita – berita yang diakses melalui internet ataupun surat kabar. Data primer juga akan dipakai untuk membantu penelitian ini.

4. Isi dan Pembahasan

4.1 Awal Terjadinya Konflik Kepulauan Senkaku

Beberapa tahun belakangan ini, sebuah konflik teritorial yang melibatkan tiga negara, Jepang, Cina, dan Taiwan, sedang berada di titik tertinggi. Ketiga negara tersebut sedang memperebutkan sebuah kepulauan tak berpenghuni yang berada di Laut Cina Timur yang disebut Kepulauan Senkaku (尖閣諸島) oleh Jepang, Diaoyu Dao (釣魚島) oleh Cina, dan Diaoyu Tai/Tiaoyutai (釣魚台) oleh Taiwan. Konflik ini bukan hanya konflik teritorial biasa, ada faktor lain yang menyebab tiga negara itu begitu menekankan klaimnya atas kedaulatan kepulauan tersebut, dan faktor tersebut adalah minyak dan gas bumi.

Pada tahun 1968, sebuah komisi PBB yang disebut ECAFE (Economic Commission for Asia and the Far East) melakukan survei geologis di perairan sekitar Kepulauan Senkaku, dan menemukan adanya cadangan minyak dan gas yang sangat besar (sekitar 10 – 100 miliar barel). Setelah laporan survei ECAFE dipublikasikan, Cina dan Taiwan mulai bergerak untuk mengklaim kepulauan tersebut. Pada waktu itu, Kepulauan Senkaku berada di bawah administrasi Jepang, sehingga Jepang berada di posisi “bertahan,” sedangkan Cina dan Taiwan berada di posisi “menyerang.” Pada tahun 1970, Taiwan mulai mencoba untuk mengambil cadangan minyak tersebut dengan membuat kontrak dengan salah satu perusahaan minyak Gulf Oil, namun Jepang langsung menanggapi tindakan Taiwan dan menyatakan bahwa kontrak itu tidak sah. Di tahun yang sama, sekelompok jurnalis Taiwan juga mencoba untuk mendarat di

(6)

pulau Uotsuri, tapi usaha tersebut digagalkan oleh pihak berwajib dari Okinawa. Masih di tahun 1970, Jepang akhirnya berusaha untuk bekerjasama dengan Taiwan dan Korea Selatan untuk bersama-sama mengembangkan sumber daya yang ada di perairan Senkaku. Sayangnya, usaha kerjasama tersebut dihalangi oleh Cina yang mengaku bahwa Kepulauan Senkaku adalah wilayah suci mereka, dan mereka tidak sudi wilayah itu dieksploitasi oleh pihak asing. Konflik ini kembali memanas ketika Jepang dan Amerika menandatangani Perjanjian Pengembalian Okinawa pada tahun 1971 yang secara efektif mengembalikan administrasi Prefektur Okinawa ke Jepang. Cina tidak setuju mengenai isi perjanjian tersebut, karena Kepulauan Senkaku bukan merupakan bagian dari Okinawa, maka Jepang tidak berhak atas Kepulauan Senkaku. Periode setelah tahun 1968 adalah periode yang menandakan awal terjadinya konflik Kepulauan Senkaku yang sampai sekarang masih berlangsung.

4.2 Klaim Jepang

Jepang mengklaim bahwa pemerintahnya sudah menggabungkan Kepulauan Senkaku sejak tahun 1895, yaitu setelah Perang Cina-Jepang I berakhir. Jepang mengaku bahwa pihaknya telah melakukan survei ke pulau-pulaunya dan menyatakan semua pulau dalam Kepulauan Senkaku dalam kondisi terra nullius atau tidak berpenghuni. Akhirnya, pemerintah Jepang saat itu memutuskan untuk memasukkan Kepulauan Senkaku ke dalam wilayah Distrik Yaeyama, Prefektur Okinawa. Pihak Jepang juga mengatakan bahwa, sebelum survei ECAFE dilakukan, pihak Cina atau pun Taiwan tidak pernah protes mengenai penggabungan Kepulauan Senkaku. Untuk memperkuat klaimnya, Jepang menggunakan perjanjian-perjanjian (seperti Perjanjian Shimonoseki, Perjanjian San Francisco, dan lain-lain) yang melibatkan Jepang dan wilayahnya untuk membuktikan bahwa Kepulauan Senkaku tidak pernah disebutkan di dalam perjanjian mana pun. Sehingga klaim Jepang yang menyebutkan penggabungan kepulauan tersebut pada 1895 tetap bisa dipertahankan.

4.3 Klaim Cina

Klaim yang dinyatakan oleh Cina lebih banyak melibatkan bukti-bukti historis yang menyebutkan nama Kepulauan Diaoyu Dao. Cina menunjukkan dokumen-dokumen historis yang paling awal menyebutkan nama kepulauan tersebut, tertulis bahwa Dinasti Ming (1368 – 1644) dan Dinasti Qing (1644 – 1912) di daratan Cina dulu sudah melakukan hubungan dengan

(7)

Kerajaan Ryukyu (Okinawa dulu). Dinasti Ming sering mengutus utusan istana untuk pergi ke Kerajaan Ryukyu, dan utusan tersebut melewati jalur laut yang menggunakan pulau-pulau sebagai patokan arah. Kepulauan Diaoyu Dao adalah salah satu patokan arah yang disebutkan dalam salah satu catatan perjalanan utusan istana itu. Selain bukti sejarah, Cina menunjukkan kegeramannya mengenai perjanjian-perjanjian sepihak yang dibuat Jepang dan sekutunya, antara lain Perjanjian Shimonoseki, Perjanjian San Francisco, Perjanjian Pengembalian Okinawa, dan lain-lain. Cina merasa bahwa Jepang merampas Kepulauan Diaoyu Dao melalui perang, dan lalu terus mengklaim ketidakterlibatan kepulauan tersebut dalam perjanjian-perjanjiannya. Cina juga menemukan bukti-bukti komunikasi antarpejabat pemerintah Jepang yang berisi pernyataan bahwa pihak Jepang tidak memiliki bukti sejarah kepulauan itu.

4.4 Klaim Taiwan

Seperti Cina, pihak Taiwan juga banyak menunjukkan bukti sejarah yang sudah menyebutkan nama Kepulauan Diaoyu Tai. Kedua negara tersebut saling berbagi sejarah yang sama. Kedua klaim menyebutkan bahwa kepulauan tersebut ditemukan oleh Cina, dinamai oleh Cina, dan dipakai oleh Cina paling tidak sejak abad ke-14. Namun, meskipun klaim Taiwan dan Cina serupa, mereka mengeluarkan klaim yang terpisah. Taiwan menyatakan bahwa seharusnya Kepulauan Diaoyu Tai dikembalikan ke Cina berdasarkan beberapa perjanjian seperti Perjanjian San Francisco, Perjanjian Taipei, dan lain-lain. Dikembalikannya kepulauan tersebut secara otomatis dikembalikan ke Taiwan, sebab Kepulauan Diaoyu Tai termasuk dalam gugusan Pulau Formosa (Pulau Taiwan).

4.5 Beberapa Kebijakan PM Shinzō Abe (2012 – 2014) terhadap Konflik Kepulauan Senkaku

Perdana Menteri Shinzō Abe adalah Perdana Menteri Jepang yang saat ini sedang menjabat sejak Desember 2012. Ia merupakan Perdana Menteri yang dicalonkan dari partai LDP (Liberal Democratic Party) atau Jiyuu Minshutō (自由民主党). Ia juga merupakan Perdana Menteri yang sebelumnya sudah pernah memegang posisi ini pada periode 2006 – 2007. Abe memenangkan dukungan dari 328 anggota dari Majelis Rendah dan 107 anggota dari Majelis Tinggi dalam pemilihan yang dilakukan pada 16 Desember 2012. Dalam periodenya yang baru ini, Abe berjanji untuk meningkatkan perekonomian Jepang yang sedang mengalami resesi dengan menggunakan strategi ekonominya yang sekarang disebut Abenomics. Abe juga berjanji

(8)

untuk memperkuat kontrol Jepang atas konflik kepulauan yang ada di Laut Cina Timur. Di samping itu, Abe juga menunjukkan keinginan dan visinya untuk merevisi konstitusi Jepang yang sudah lama menjadi dasar negara selama hampir 70 tahun. Abe dikenal sebagai orang sayap kanan yang konservatif, ia juga seorang yang nasionalis, sehingga visinya itu tidak aneh. Ia juga seringkali melakukan tindakan-tindakan yang kontroversial, seperti mengunjungi kuil Yasukuni, merevisi pernyataan Yohei Kono dan Murayama Tomiichi, dan lain-lain. Tindakan Abe seringkali dikecam dan dinilai tidak bertanggung jawab sebagai kepala negara oleh negara-negara tetangga Jepang. Di samping itu, berikut ini adalah kebijakan-kebijakan Abe terhadap konflik Kepulauan Senkaku dari tahun 2012:

1. Pembentukan NSC (National Security Council), menggantikan Security Council-nya yang dulu. Dibentuk untuk memperkuat hubungan dengan sekutu-sekutu Jepang, terutama Amerika.3 Pada pertemuan NSC yang pertama kali, salah satu isu yang dibahas adalah masalah pembentukan ADIZ (Air Defense Identification Zone) yang dibentuk secara unilateral oleh Cina.

2. Pembuatan NSS (National Security Strategy) atau strategi keamanan nasionalnya yang pertama kali untuk Jepang. Pembuatan NSS ini dapat dikatakan sebagai reaksi dari naiknya ketegangan antara Jepang dan Cina, seperti salah satu dari pernyataan dalam NSS yaitu, “China has been rapidly advancing its military capabilities in a wide range of areas through its continued increase in its military budget without sufficient transparency.”

3. Pembuatan aturan-aturan program pertahanan nasional atau NDPG 2013 (National Defense Program Guidelines). Jepang menyatakan keinginannya untuk berkontribusi dalam keamanan kolektif, dengan kata lain, Jepang ingin bisa membantu keamanan regional (dengan membagi „beban‟ dengan Amerika) dan internasional (dengan berpartisipasi dalam operasi-operasi perdamaian PBB). Selain itu, Cina lagi-lagi disebut di dalamnya, menyebutkan bahwa Cina telah mengembangkan militernya secara tidak transparan, dan Cina juga terus mengintensifkan aktivitas maritim dan udaranya untuk mengubah status quo di daerah Asia Timur.

3 J. Berkshire Miller, “How Will Japan‟s New NSC Work?”

(9)

4. Peningkatan anggaran belanja militer sebanyak 0.8% dari biasanya, dan kenaikan ini merupakan kenaikan yang pertama sejak tahun 2003 lalu.4 Rencana penaikan anggaran akan menambahkan anggaran belanja sebanyak 35 miliar Yen dengan total 4.48 trilyun Yen.

4.6 Latar Belakang Rencana Revisi Konstitusi 1947 oleh PM Shinzō Abe

Rencana revisi Konstitusi 1947 yang dilakukan oleh Perdana Menteri Shinzō Abe bersama dengan partainya, LDP (Liberal Democratic Party) atau Jiyuu Minshutō (自由民主党), tentu bukan tanpa tujuan. Seperti yang sudah disebutkan dalam NSS (National Security Strategy) dan NDPG 2013(National Defense Programs Guidelines) yang baru diberlakukan pemerintahan Abe, ia ingin agar Jepang berkontribusi dalam pertahanan kolektif di dunia.5 Abe mengatakan bahwa ia ingin Jepang lebih proaktif dalam berkontribusi pada perdamaian, dan untuk melakukannya, ia berencana untuk merevisi kontitusi Jepang (khususnya Pasal 9) agar Jepang mendapatkan haknya dalam pertahanan kolektif. Abe sudah lama ingin berkontribusi dalam hal tersebut, akan tetapi Konstitusi 1947 Jepang, khususnya Pasal 9, secara spesifik menyebutkan bahwa Jepang dilarang untuk menggunakan kekuatan militer untuk menyelesaikan konflik internasional. Jepang sudah lama menjalan hak pertahanan kolektifnya, sebab Jepang sudah lama mendukung Amerika dalam menjaga perdamaian. Jepang yang membolehkan Amerika untuk membangun basis militer di Okinawa pun sudah termasuk dalam pertahanan kolektif. Sebab, basis militer tersebut ternyata terbukti berguna ketika Perang Vietnam (1959 – 1975) berlangsung, dan pesawat-pesawat Amerika dapat menerbangkan pesawatnya dari Markas Udara Kadena untuk membom Vietnam. saat itu. Pada tahun 1992, Jepang sebenarnya juga sudah

4 Kirk Spitzer, “Japan Boosts Defense Spending, More Or Less,”

http://nation.time.com/2013/01/31/japan-boosts-defense-spending-more-or-less/, (31 Januari 2013), (diakses pada 13 April 2014, pukul 14.28)

5 Pertahanan kolektif adalah hak yang didapatkan suatu negara yang berada di dalam suatu organisasi internasional,

untuk mengirim bantuan militer kepada anggota negara lain yang sedang diserang. Suatu negara hanya bisa mengirim bantuan militer jika penggunaan angkatan bersenjata perlu digunakan, dan jika kekuatan militer yang digunakan si penyerang sebanding dengan yang akan digunakan. Selain itu, perlu dipastikan juga bahwa ancaman militer dari si penyerang itu sudah dekat dengan negara yang diserang.

Craig Martin, “Collective self-defense and collective security: what the differences mean for Japan,” http://www.japantimes.co.jp/opinion/2007/08/30/commentary/collective-self-defense-and-collective-security-what-the-differences-mean-for-japan/, (30 Agustus 2007), (diakses pada 18 April 2014, pukul 20.33)

(10)

membuat undang-undang yang memperbolehkan SDF (Self Defense Force) untuk berpartisipasi dalam misi-misi penjagaan perdamaian dari PBB, dan ini dilakukan tanpa mengamandemen konstitusi sama sekali. Misi-misi perdamaian dari PBB yang diikuti oleh SDF menjadi kegiatan yang rutin dilakukan hingga memasuki awal abad ke-21. Jepang telah menjalankan misi-misi PBB di Golan Heights, Bosnia-Herzegovina, Timor Timur, Irak, dan juga pernah mendukung angkatan laut Amerika di Samudera Hindia saat Perang Afghanistan.6 Selain itu, melalui kerjasama pertahanan Jepang-Amerika pada tahun 1997, Jepang juga sudah setuju untuk membantu Amerika dengan menyediakan bantuan logistik di sekitar wilayah Jepang kepada Amerika jika sedang dalam berada keadaan darurat. Ini semua dapat dikategorikan dalam pertahanan kolektif. Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan oleh Jepang tanpa merevisi konstitusi. Lagipula, hak untuk melakukan pertahanan kolektif tiap negara berada di dalam Pasal 51 dari Piagam PBB, dan Abe memebenarkan rencananya untuk merevisi konstitusi dengan menggunakan pasal tersebut.7 Ia menyatakan bahwa Jepang tidak bisa memenuhi kewajibannya dalam Pasal 51 dari Piagam PBB jika Jepang masih berdiri sebagai negara yang „abnormal‟ dan tidak memiliki kekuatan militer seperti negara „normal‟.

Keadaan regional di sekitar Jepang (Asia Pasifik) akhir-akhir ini sangat mendukung bagi Abe dan LDP yang ingin merevisi konstitusi. Konflik-konflik teritorial yang sedang Jepang hadapi dengan Cina dan Korea Selatan merupakan salah satu dari keadaan regional yang harus Jepang hadapi dengan tegas.8 Khususnya dengan Cina yang juga sedang meningkatkan kekuatan militernya akhir-akhir ini. Seperti yang disebutkan di dalam NSS dan NDPG 2013 yang baru, Cina sedang meningkatkan kemampuan militernya melalui peningkatan anggaran belanja

6 Masayuki Tadokoro, “Change and Continuity in Japan‟s „Abnormalcy‟: An Emerging External Attitude of the

Japanese Public,” Postwar Abnormalcy as a Delicate Equilibrium (2010), h. 46

7

Kutipan dari Pasal 51 dari Piagam PBB:

“Article 51. Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if

an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”

“Chapter VII: Action With Respect To Threats To The Peace, Breaches Of The Peace, And Acts Of Aggression,” http://www.un.org/en/documents/charter/chapter7.shtml, (diakses pada 18 Arpil 2014, pukul 20.33)

8 Ministry of Defense, “National Defense Programs Guidelines, for FY2014 and Beyond,” h. 1, dapat diakses di

(11)

militernya yang tidak transparan.9 Hal tersebut sangat mengkhawatirkan Jepang yang sedang menjadi saingannya dalam konflik perebutan Kepulauan Senkaku. Cina juga memberlakukan ADIZ (Air Defense Identification Zone) yang mencakupi Kepulauan Senkaku, sebuah tindakan yang menurut Jepang merupakan upaya Cina untuk mengubah status quo regional di sekitar Kepulauan Senkaku. Ditambah lagi dengan aktivitas maritim Cina yang sering sengaja melewati garis teritorial Jepang di sekitar Senkaku untuk menekankan klaim Cina atas kepulauan tersebut. NSS dan NDPG 2013 juga menyebutkan ancaman regional lain, yaitu Korea Utara yang sedang mengembangkan teknologi nuklir dan misilnya akhir-akhir ini. Korea Utara membuat ketegangan regional meningkat dan menunjukkan bahwa Korea Utara bisa menjadi ancaman langsung terhadap keamanan Jepang.10 Jika melihat keamanan regional yang demikian, maka merevisi konstitusi, khususnya Pasal 9, adalah langkah yang masuk akal demi menjamin keamanan Jepang, setidaknya begitulah menurut Abe dan LDP. Sebab, bagi kaum konservatif, alasan yang paling bisa dimanfaatkan untuk merevisi konstitusi adalah dengan mengaitkannya dengan keadaan geopolitik di daerah Asia Pasifik.

Secara garis besar, latar belakang rencana Abe untuk merevisi Konstitusi 1947 Jepang adalah berubahnya situasi regional di Asia Pasifik yang mengharuskan Jepang untuk lebih proaktif dalam berkontribusi pada perdamaian. Konflik teritorial yang sedang dihadapi oleh Jepang membuat Jepang harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya konflik militer, khususnya dengan Cina yang terus mengambil sikap agresif dalam menekankan klaimnya untuk Kepulauan Senkaku. Sekecil apapun itu kemungkinan terjadinya konflik militer, Abe tetap mempertimbangkannya. Keberadaan kekuatan nuklir Korea Utara dan juga kekuatan militer Cina yang sedang meningkat juga mengguncang keadaan regional. Abe juga ingin meningkatkan kerjasama dengan Amerika sebagai fondasi untuk keamanan Jepang sendiri, dan sepertinya Abe ingin berpartisipasi dalam pertahanan kolektif sebagai upaya untuk menarik hati Amerika. Sebab, komitmen Amerika terhadap Asia semakin berkurang, bukannya meningkat, sehingga Jepang

9 Ministry of Defense, “National Defense Programs Guidelines, for FY2014 and Beyond,” loc. cit. 10 Ministry of Defense, “National Defense Programs Guidelines, for FY2014 and Beyond,” loc. cit.

(12)

seharusnya lebih proaktif.11 Jika Jepang dapat melindungi Amerika ketika diserang oleh pihak ketiga, maka Amerika akan semakin menguatkan hubungan dengan Jepang. Sayangnya dihalangi oleh konstitusi Jepang dan sentimen negara-negara tetangga Jepang yang mengecam apapun yang berbau militer dari Jepang. Tidak hanya itu, sifat Abe yang terkenal nasionalis dan konservatif juga merupakan faktor pendukung dari rencana revisi konstitusi. Pandangannya mengenai Jepang yang harus kembali menjadi negara yang „normal‟ dan kembali memiliki kekuatan militer untuk berkontribusi pada perdamaian itu baik, namun ia seakan tidak memperdulikan warisan sejarah Jepang yang menimbulkan bekas luka pada negara-negara korban perang. Kunjungannya ke Kuil Yasukuni pada Desember 2013 lalu hanya menambah kekhawatiran kepada negara-negara seperti Cina dan Korea Selatan soal pendirian Abe dalam rencananya merevisi konstitusi.12

4.7 Upaya-upaya Pemerintahan PM Shinzō Abe Untuk Merevisi Konstitusi 1947

Abe, bersama dengan partainya, sebenarnya sudah lama ingin merevisi konstitusi, sehingga upaya untuk merevisi konstitusi sudah dilakukan sejak pemerintahan Abe yang pertama, yaitu tahun 2006 - 2007. Berikut ini adalah beberapa upaya Abe di tahun 2007:

1. Abe mengajukan rancangan undang-undang mengenai ketentuan referendum nasional. Rancangan undang-undang yang diajukan Abe akan langsung menentukan ketentuan minimum referendum nasional menjadi mayoritas (>50%) saja.13

2. Melakukan trasnsisi Badan Pertahanan atau Defense Agency (Bōeichō - 防衛庁) menjadi Kementerian Pertahanan atau Ministry of Defense (Bōeishō - 防衛省).14

11 Justin McCurry, “Japan increases defence budget amid tensions with China,”

http://www.theguardian.com/world/2013/dec/17/japan-increases-defence-budget-tensions-china, (17 Desember 2013), (diakses pada 22 April 2014, pukul 17.19)

12

Pendirian yang dimaksud adalah apakah Abe masih tetap akan mengambil paham pasifisme dari Pasal 9

Konstitusi 1947 atau akan membuang paham itu sepenuhnya. Sebab, jika dilihat dari tindakan-tindakan Abe selama ini, ia seakan tidak ingin mengakui kejahatan Jepang di masa perang.

13 Rikki Kersten, “Abe and constitutional revision: round two,”

(13)

Transisi ini secara otomatis melahirkan Menteri Pertahanan yang akan memiliki posisi di dalam kabinet dan dapat memberi masukan mengenai anggaran belanja militer.

3. Abe membentuk satu komite untuk membahas mengenai kondisi-kondisi apa saja yang membolehkan Jepang untuk berpartisipasi dalam pertahanan kolektif.15 Komite ini ditutup oleh Abe ketika ia mengundurkan diri di tahun 2007.

Abe mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri pada 2007, namun dalam upayanya agar revisi konstitusi berlanjut, ia kembali menjabat di akhir tahun 2012. Pada periode pemerintahannya yang kedua ini, Abe menyatakan keinginannya untuk membuat Jepang lebih “berkontribusi secara proaktif dalam perdamaian,” dan untuk melakukan itu, reinterpretasi dari Pasal 9 harus dilakukan.16 Upayanya untuk mewujudkan keinginannya tersebut dapat terlihat dalam beberapa tindakannya seperti:

1. Dibuatnya NSS dan NDPG yang menjelaskan mengenai strategi, pendirian, dan pandangan Jepang mengenai perannya yang harus diambil dalam menjaga kemanan regional dan Jepang sendiri.

2. Menaikkan anggaran belanja militer. Penaikan anggaran ini dilakukan untuk menghadapi ketegangan regional (khususnya dengan Cina) yang sedang meningkat akibat konflik Kepulauan Senkaku.17

3. Mengajukan undang-undang baru yang mengatur usia minimun bagi para pemilih dalam referendum nasional. Usia 20 tahun yang tadinya merupakan persyaratan untuk dapat memilih dalam referendum, diturunkan menjadi 18 tahun.

4. Abe membentuk komite yang akan membahas apakah Jepang harus mengangkat larangannya untuk berpartisipasi dalam pertahanan kolektif. Komite tersebut dibentuk

14

“The Defense Agency's Transition to the Ministry of Defense,” http://www.mod.go.jp/e/jdf/no04/special.html, (diakses pada 12 Mei 2014, pukul 10.12)

15 Ayako Mie, “Abe ready for full-on military drive,”

http://www.japantimes.co.jp/news/2014/03/27/national/abe-ready-for-full-on-military-drive/, (27 Maret 2014), (diakses pada 7 April 2014, pukul 19.47)

16 Ibid 17

(14)

untuk melanjutkan komitenya yang dibentuk pada 2007. Terdapat lima pertanyaan yang akan dibahasa secara spesifik dalam komite ini, yaitu:

a. Bisakah Jepang membantu Amerika dengan melakukan inspeksi kapal ketika Amerika sedang diserang?

b. Bisakah Jepang ikut serta dalam misi PBB jika konflik meledak di daerah sekitar Jepang?

c. Bisakah SDF menyingkirkan ranjau di perairan sekitar Jepang?

d. Bisakah Jepang ikut serta dalam aksi militer Amerika seperti saat Perang Teluk? e. Bagaimana Jepang harus merespon terhadap kejadian bersenjata ketika kejadian

tersebut tidak dianggap sebagai serangan langsung terhadap Jepang?

5. Abe, bersama dengan LDP, sedang berusaha untuk menarik New Komeito (公明党) untuk ikut menyetujui rencana revisi Konstitusi 1947 Jepang. Komeito merupakan salah satu partai koalisi LDP. Jika Abe dapat meyakinkan mayoritas anggota partainya dalam majelis ditambah dengan Komeito, maka rencananya dapat berjalan.

5. Analisa Data

Rencana Abe untuk merevisi Konstitusi 1947 merupakan salah satu upaya Abe menjadikan Jepang negara yang lebih proaktif berkontribusi pada perdamaian. Ia juga merasa bahwa Jepang tidak boleh terus bergantung kepada Amerika untuk urusan pertahanan, sehingga ia berpikir untuk membuat SDF bisa membantu Amerika jika diserang. Tidak hanya Amerika, namun negara-negara sekutu Jepang lain yang membutuhkan bantuan Jepang, dengan kata lain partisipasi dalam pertahanan kolektif (sesuai dengan Pasal 51 Piagam PBB). Selain itu, situasi regional di sekitar Jepang juga mengkhawatirkan bagi Jepang, misalnya dengan meningkatnya kekuatan militer Cina, dan ancaman nuklir dari Korea Utara. Jepang harus bisa menanggapi situasi regional tersebut. Namun, di samping itu semua, konstitusi Jepang (khususnya Pasal 9) menghalangi visi Abe tersebut. Pasal 9 melarang Jepang untuk memanfaatkan kekuatan militer untuk menyelesaikan konflik apa pun, sehingga secara otomatis melarang Jepang untuk membantu sekutunya jika diserang. Oleh karena itu, Abe ingin segera merevisi konstitusi tersebut.

Di sisi lain, Jepang sedang menghadap konflik teritorial yang hebat dengan Cina dan Taiwan dan sedang memperebutkan Kepulauan Senkaku. Hal ini merupakan peristiwa yang

(15)

terjadi di waktu yang sangat tepat bagi Abe yang sedang ingin merevisi konstitusi. Konflik Kepulauan Senkaku dapat menjadi bukti bahwa situasi regional sedang mengkhawatirkan untuk Jepang, sehingga Jepang harus bisa merespon konflik itu dengan tegas dan leluasa, tanpa ada kekangan konstitusi. Konflik Senkaku juga merupakan panggung tempat Abe dapat memerankan kekuasaannya untuk membuat kebijakan-kebijakan keamanan dan terus meyakinkan bahwa keadaan regional di sekitar Jepang sudah memprihatinkan bagi Jepang. Akan tetapi, apa yang dilakukan Abe untuk mewujudkan visinya tersebut kontradiktif dengan visi itu sendiri. Ia ingin berkontribusi pada pertahanan kolektif untuk ikut menjaga perdamaian dunia, namun apa gunanya perdamaian dunia kalau Abe sendiri tidak bisa menjaga perdamaian di sekitar Jepang. Ia secara terang-terangan mengunjungi kuil Yasukuni yang kontroversial, dan membuat Cina geram akan tindakannya itu. Abe juga mencoba merevisi pernyataan Yohei Kono dan Murayama Tomiichi yang berisi permintaan maaf Jepang di masa perang. Tindakan seperti ini akan memberi kesan bahwa Abe sengaja memanas-manasi keadaan regional, supaya ketegangan regional meninggi dan memaksa Jepang untuk “beradaptasi” dengan situasi tersebut. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Abe membuat-buat “musuh” di Asia dan sengaja menimbulkan ketegangan dengan negara-negara tetangga demi tujuannya untuk melepaskan Jepang dari kekangan konstitusinya yang pasifis.18

6. Kesimpulan

Melalui penelitian ini, penulis telah menunjukkan adanya hubungan antara rencana revisi Konstitusi 1947 oleh PM Shinzō Abe dengan berlangsungnya konflik Kepulauan Senkaku. Konflik antara Jepang, Cina, dan Taiwan merupakan masalah yang bisa dijadikan alasan dan justifikasi rencana revisi konstitusi yang sedang Abe lakukan. Dengan kata lain, rencana revisi Konstitusi 1947 dapat lebih mudah dilaksanakan dengan memanfaatkan konflik Kepulauan Senkaku sebagai alasan pendukung pelaksanaan revisi.

18 Lu Yaodong, “Attempt to Uproot the „Pacifist‟ Principle in Abe‟s Constitutional Revisions,”

http://www.chinausfocus.com/foreign-policy/attempt-to-uproot-the-pacifist-principle-in-abes-constitutional-revisions, (28 Februari 2014), (diakses pada 8 April 2014, pukul 10.49)

(16)

7. Kepustakaan

I. Publikasi Elektronik

Anonim. “Chapter VII: Action With Respect To Threats To The Peace, Breaches Of The Peace, And Acts Of Aggression.” http://www.un.org/en/documents/charter/chapter7.shtml. (diakses pada 18 Arpil 2014, pukul 20.33)

Anonim. “The Defense Agency's Transition to the Ministry of Defense.” http://www.mod.go.jp/e/jdf/no04/special.html. (diakses pada 12 Mei 2014, pukul 10.12) Kersten, Rikki. 21 Februari 2013. “Abe and constitutional revision: round two.”

http://www.eastasiaforum.org/2013/02/21/abe-and-constitutional-revision-round-two/. (diakses pada 21 April 2014, pukul 13.31)

Lohmeyer, Martin. 2008. The Diaoyu / Senkaku Islands Dispute: Question of Sovereignty and Suggestions for Resolving the Dispute. University of Canterbury. Tesis.

Martin, Craig. 30 Agustus 2007. “Collective self-defense and collective security: what the

differences mean for Japan.”

http://www.japantimes.co.jp/opinion/2007/08/30/commentary/collective-self-defense-and-collective-security-what-the-differences-mean-for-japan/. (diakses pada 18 April 2014, pukul 20.33)

McCurry, Justin. 17 Desember 2013. “Japan increases defence budget amid tensions with China.” http://www.theguardian.com/world/2013/dec/17/japan-increases-defence-budget-tensions-china. (diakses pada 22 April 2014, pukul 17.19)

Mie, Ayako. 27 Maret 2014. “Abe ready for full-on military drive.” http://www.japantimes.co.jp/news/2014/03/27/national/abe-ready-for-full-on-military-drive/. (diakses pada 7 April 2014, pukul 19.47)

Miller, J. Berkshire. 10 Januari 2014. “Battle-Ready Japan?”

http://www.foreignaffairs.com/articles/140646/j-berkshire-miller/battle-ready-japan. (diakses pada 10 April 2014, pukul 21.00)

Ministry of Defense. 2013. “National Defense Programs Guidelines, for FY2014 and Beyond.” Dapat diakses di http://www.mod.go.jp/e/d_act/d_policy/national.html

Shaw, Han-yi. 1999. “The Diaoyutai/Senkaku Islands Dsiputes: Its History and an Analysis of The Ownership Claims of The P.R.C., R.O.C., and Japan.” Maryland: University of Maryland.

Spitzer, Kirk. 31 Januari 2013. “Japan Boosts Defense Spending, More Or Less.” http://nation.time.com/2013/01/31/japan-boosts-defense-spending-more-or-less/. (diakses pada 13 April 2014, pukul 14.28)

Tadokoro, Masayuki. 2010. “Change and Continuity in Japan‟s „Abnormalcy‟: An Emerging External Attitude of the Japanese Public,” University of Toronto Press.

(17)

Yaodong, Lu. 28 Februari 2014. “Attempt to Uproot the „Pacifist‟ Principle in Abe‟s Constitutional Revisions.” http://www.chinausfocus.com/foreign-policy/attempt-to-uproot-the-pacifist-principle-in-abes-constitutional-revisions. (diakses pada 8 April 2014, pukul 10.49)

Referensi

Dokumen terkait

Kenakalan yang dilakukan siswa SMA Negeri 7 Surakarta sebagian besar merupakan kenakalan yang bersifat pelanggaran terhadap tata tertib atau peraturan sekolah. Kenakalan yang

MATRIKS RENCANA TERPADU DAN PROGRAM INVESTASI INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH (RPI2-JM) BIDANG CIPTA KARYA BERDASARKAN ENTITAS. 1 Telah memuat Rencana Terpadu dan Program

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroba yang terdapat  pada kompos yang berasal dari limbah popok sekali pakai (diapers)  berisi mikroba yang selama ini

Tujuan penyusunan Laporan Arus Kas adalah menyajikan informasi historis mengenai perubahan kas dan setara kas suatu entitas pelaporan dengan mengklasifikasikan arus kas

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal cerita matematika materi bilangan bulat pada pembelajaran daring adalah

Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut, apabila sama sekali tidak ada individu yang puas terhadap layanan maka tidaklah berarti dalam populasi tidak ada sama sekali tingkat

Predictors: (Constant), panjang rangkaian, jarak alat, kecepatan kereta api,

Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak usia dini, di antaranya faktor internal (biologis, jenis kelamin, usia, kecerdasan) dan faktor eksternal (pola asuh,