• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Sebagai salah satu situs warisan budaya dunia, Candi Borobudur senantiasa dilakukan pengawasan serta pemantauan baik secara strukural candi, arkeologi batuan candi, sistem drainase dan lainnya. Pemantauan struktur candi menjadi salah satu hal pokok yang harus dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi pergerakan batuan candi yang disebabkan oleh pergerakan tanah di bawah candi sebagai akibat beban dari batuan candi maupun faktor lainnya. Dalam rangka pemeliharaan Candi Borobudur oleh Balai Studi dan Konservasi Candi Borobudur (Balai Konservasi Borobudur/BKB), dilakukan penanaman benchmark (patok) di beberapa lokasi pada badan dan halaman candi yang digunakan sebagai titik-titik pengukuran deformasi atau pergeseran candi baik pada arah horizontal maupun vertikal. Penanaman benchmark dilakukan sesuai dengan perencanaan atau desain jaring.

Desain jaring sipat datar Candi Borobudur tahun 2002 menggunakan kerangka dasar absolut yang meletakkan titik ikat di luar area pergeseran. Titik ikat pada kerangka dasar absolut digunakan sebagai titik acuan yang dianggap tidak mengalami pergeseran (Widjajanti, 2001). Jaring sipat datar tersebut digunakan untuk pengukuran beda tinggi tahun 2002, 2003 dan 2004 oleh tim BKB. Pengukuran tersebut menggunakan titik BORE (Gambar I.1) sebagai titik ikat dalam proses pendefinisian tinggi setiap benchmark yang selanjutnya digunakan untuk analisis deformasi vertikal. Analisis pergerakan vertikal Candi Borobudur dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi setiap benchmark pada Candi Borobudur dari satu epoch dengan epoch lainnya. Perbedaan tinggi benchmark antar epoch belum tentu menjadi indikasi adanya pergerakan, bisa saja perbedaan tersebut dikarenakan adanya kesalahan yang masih terkandung pada data pengukuran. Pada setiap pengukuran selalu terkandung kesalahan. Dalam teori kesalahan pengukuran, dikenal tiga macam kesalahan, yakni kesalahan acak, kesalahan sistematik, dan kesalahan kasar (Basuki, 2006). Untuk mendapatkan data dengan hasil ketelitian yang baik maka perlu

(2)

menghilangkan kesalahan tersebut. Kesalahan sistematik dapat dikoreksi dan kesalahan kasar dihilangkan, namun kesalahan acak tidak dapat dihilangkan maupun dikoreksi untuk itu perlu meminimalkan kesalahan acak tersebut. Salah satu metode untuk meminimalkannya adalah dengan metode hitung perataan kuadrat terkecil. Konsep yang digunakan adalah dengan jumlah kuadrat residu pengamatan minimum.

Gambar I.1 Jaring sipat datar Candi Borobudur tahun 2002 sampai tahun 2004 (Siswoyo, dkk., 2002)

Analisis pergerakan vertikal Candi Borobudur menggunakan data pengukuran beda tinggi tahun 2002, 2003 dan 2004 telah dilakukan oleh Koesumakristi (2005).

(3)

Penelitian tersebut menggunakan tinggi titik BORE sebagai titik ikat dengan tinggi titik diasumsikan tetap dan menggunakan hitung kuadrat terkecil metode parameter dalam pendefinisian tinggi setiap benchmark pada pengukuran beda tinggi tahun 2002, 2003 dan 2004. Hasil analisis deformasi Candi Borobudur menunjukkan kenaikkan hampir di semua benchmark. Analisis deformasi dari aspek fisik menyebutkan bahwa konsolidasi tanah candi mengakibatkan penurunan (Wangsadinata dan Djayaputra, 1982, dalam Lestari, 2015). Hal tersebut diperkuat dengan hasil pengamatan jaring GPS multi epoch tahun 2002 sampai 2012 yang menunjukkan adanya penurunan pada titik BORE (Lestari, 2015).

Metode perataan hitung kuadrat terkecil parameter terkendala minimal dapat digunakan dengan baik pada data observasi dan pendefinisian ketinggian benchmark pada satu epoch yang sama. Ketika terdapat perubahan ketinggian titik ikat pada epoch yang berbeda maka perubahan tersebut menyebabkan kesalahan pada model perataan (Han, dkk., 2014). Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melakukan koreksi tinggi titik ikat tiap epoch. Koreksi dilakukan dengan mendefinisikan tinggi titik ikat pada epoch pengukuran beda tinggi. Tinggi titik ikat pada epoch tertentu dapat didenifisikan menggunakan analisis kecepatan pergeseran vertikal (vertical velocity) titik ikat tersebut. Setelah tinggi titik ikat tiap epoch telah terdefinisi, maka metode perataan hitung kuadrat terkecil parameter terkendala minimal dapat digunakan untuk mendefinisikan benchmark pada masing-masing epoch.

Selain metode perataan hitung kuadrat terkecil parameter terkendala minimal, terdapat metode lain yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah perubahan tinggi titik ikat yakni metode perataan time-variant. Metode perataan time-variant merupakan metode perataan elevasi yang menggunakan kecepatan pergeseran vertikal sebagai salah satu parameter perhitungannya (Han, dkk., 2014).

Penelitian ini membandingkan antara besar dan arah vektor pergeseran vertikal beserta ketelitiannya dari hasil perataan metode hitung kuadrat terkecil (HKT) paremeter dan dari hasil perataan metode time-variant pada jaring sipat datar Candi Borobudur. Data yang digunakan adalah pengamatan beda tinggi tahun 2002, 2003 dan 2004.

(4)

I.2. Identifikasi Masalah

Jaring sipat datar Candi Borobudur tahun 2002 merupakan jaring dengan kerangka dasar absolut yang menggunakan titik ikat di luar area pergerakan. Titik BORE sebagai titik ikat dianggap tidak mengalami pergerakan vertikal sehingga analisis pergerakan vertikal dapat dilakukan dengan menggunakan hitung kuadrat terkecil metode parameter. Hasil penelitian Koesumakristi (2005) dengan data ukuran beda tinggi tahun 2002, 2003 dan 2004 menggunakan HKT metode parameter menunjukkan kenaikkan candi hampir di semua titik pengamatan. Hasil tersebut berlawanan dengan analisis deformasi fisik aspek geoteknik yang menyebutkan bahwa Candi Borobudur mengalami penurunan akibat konsolidasi tanah (Wangsadinata dan Djayaputra, 1982, dalam Lestari, 2015).

Berdasarkan pengamatan GPS pada jaring GPS tahun 2002 sampai 2012 diketahui bahwa titik BORE mengalami penurunan (Lestari, 2015). Perubahan tinggi di titik BORE perlu diperhitungkan dalam analisis pergeseran vertikal Candi Borobudur, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap hasil analisis pergeseran vertikal yang sudah dilakukan oleh Koesumakristi (2005). Evaluasi perhitungan tersebut dapat menggunakan dua metode perataan, yakni metode perataan hitung kuadrat terkecil parameter terkendala minimal dengan koreksi tinggi titik ikat dan metode time-variant. Hasil perataan antara hitung kuadrat terkecil metode parameter terkendala minimal dengan koreksi tinggi titik ikat dan metode time-variant berbeda sehingga dapat menyebabkan adanya perbedaan pada analisis pergerakan vertikal jaring pemantau Candi Borobudur.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan masalah yang teridentifikasi dalam penelitian ini, terdapat beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Berapa vektor pergeseran vertikal serta ketelitiannya pada jaring sipat datar Candi Borobudur tahun 2002, 2003 dan 2004 dihitung menggunakan perataan kuadrat terkecil metode parameter dengan koreksi tinggi titik ikat tiap epoch?

(5)

2. Berapa vektor pergeseran vertikal serta ketelitiannya pada jaring sipat datar Candi Borobudur tahun 2002, 2003 dan 2004 dihitung menggunakan perataan kuadrat terkecil metode time-variant?

3. Manakah analisis pergeseran vertikal jaring sipat datar Candi Borobudur yang lebih teliti antara hitung perataan metode parameter dengan koreksi tinggi titik ikat tiap epoch dan hitung perataan metode time-variant?

I.4. Cakupan Penelitian

Beberapa cakupan yang membatasi penelitian ini yaitu :

1. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data ukuran sipat datar Candi Borobudur pada tahun 2002, 2003 dan 2004.

2. Metode perataan hitung kuadrat terkecil metode parameter menggunakan minimal constraint dengan koreksi tinggi titik ikat tiap epoch.

3. Titik ikat yang digunakan adalah titik BORE. Tinggi dan vektor kecepatan pergeseran vertikal diperoleh berdasarkan analisis data pengamatan GPS multi epoch yang sudah dilakukan oleh Lestari (2015).

4. Analisis deformasi menggunakan analisis geometrik jaring.

5. Hasil analisis pergeseran penelitian ini dibandingkan dengan hasil analisis pergeseran penelitian Koesumakristi (2005) untuk melihat pengaruh koreksi tinggi titik ikat pada hasil analisis pergeseran.

I.5. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang diajukan, maka tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Menentukan vektor pergeseran vertikal serta ketelitiannya pada jaring sipat datar Candi Borobudur tahun 2002, 2003 dan 2004 menggunakan metode perataan HKT parameter dengan koreksi tinggi titik ikat tiap epoch.

2. Menentukan vektor pergeseran vertikal serta ketelitiannya pada jaring sipat datar Candi Borobudur tahun 2002, 2003 dan 2004 menggunakan metode perataan time-variant.

(6)

3. Mengetahui analisis pergeseran vertikal jaring sipat datar Candi Borobudur yang lebih teliti antara metode perataan HKT parameter dengan koreksi tinggi titik ikat tiap epoch dan metode perataan time-variant.

I.6. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk bidang keilmuan, diharapkan menambah pengetahuan metode hitung perataan jaring deformasi dengan kondisi titik ikat atau titik acuan pada jaring pantau yang mengalami perubahan posisi.

2. Untuk Balai Konservasi Borobudur, diharapkan dengan analisis pergerakan vertikal yang sesuai dengan kondisi candi sebenarnya dapat bermanfaat dalam pemeliharaan Candi Borobudur.

I.7. Tinjauan Pustaka

Penelitian pergerakan vertikal Candi Borobudur telah dilakukan oleh Variawati (2000) dengan judul “Studi Penentuan Gerakan Vertikal pada Candi Borobudur”. Penelitian tersebut menggunakan data pengamatan beda tinggi tahun 1996 dan 1997 dengan geometri jaring hasil desain tahun 1993. Penelitian tersebut melibatkan 84 titik pantau dengan 97 pengamatan. Metode perataan yang digunakan untuk mendefinisikan tinggi titik pantau adalah hitung kuadrat terkecil metode parameter. Hasil penelitian menunjukkan pergerakan vertikal jaring pantau Candi Borobudur tidak signifikan.

Analisis deformasi vertikal Candi Borobudur serupa telah dilakukan oleh Koesumakristi (2005). Judul penelitian tersebut yakni “Analisis Deformasi Vertikal Multi Epok Candi Borobudur”. Data yang digunakan adalah data pengamatan beda tinggi tahun 2002, 2003 dan 2004 dengan jaring sipat datar hasil rancangan tahun 2002. Penelitian tersebut melibatkan 52 titik pantau dan 20 pengamatan. Analisis yang dilakukan pada penelitian tersebut yakni membandingkan vektor pergeseran serta ketelitiannya antara epoch 2002 dan 2003, 2003 dan 2004 serta 2002 dan 2004. Metode perataan yang digunakan adalah hitung kuadrat terkecil metode parameter. Hasil dari

(7)

penelitian tersebut, ditinjau dari aspek geometrik, menunjukkan adanya pergeseran vertikal pada jaring sipat datar Candi Borobudur sebesar rerata 2,245 mm (kenaikan) pada epoch 2002 dan 2003, rerata -0,476 mm (penurunan) pada epoch 2003 dan 2003, dan rerata 2,551 mm (kenaikan) pada epoch 2002 dan 2004.

Penelitian serupa juga telah dilakukan dan dipublikasikan oleh Ma’ruf dan Djawahir (2004) dengan judul “Analisis Deformasi Vertikal Candi Borobudur”. Data yang digunakan pada penelitian tersebut adalah data tahun 2002 dan 2003 dengan 73 pengamatan. Jaring pantau yang digunakan adalah jaring hasil desain tahun 2002 yang terdiri atas 52 titik pantau dan satu titik datum. Hasil dari penelitian, ditinjau dari aspek geometrik, menunjukkan adanya pergerakan vertikal jaring pantau Candi Borobudur secara signifikan ke arah atas (kenaikan) dengan rerata sebesar 2,315 mm selama kurun waktu Agustus 2002 sampai November 2003.

Penelitian pergerakan vertikal Candi Borobudur oleh Lestari (2015) menggunakan data pengamatan GPS menganalisis pergerakan candi. Hasil dari penelitian tersebut salah satunya adalah terdeteksinya pergerakan titik BORE dengan kecepatan -4,4 mm/tahun.

Penelitian tentang model hitungan perataan time-variant pada jaring beda tinggi dilakukan oleh Han, dkk., (2014) dan dipublikasikan dengan judul “Time-Variant Adjustment for a Level Network”. Penelitian tersebut bertujuan untuk membentuk model hitungan matematis time-variant pada jaring beda tinggi yang memiliki titik ikat mengalami pergeseran vertikal. Pergerakan titik ikat dalam penelitian tersebut diasumsikan berkala setiap tahun atau kecepatan konstan, sehingga faktor pergeseran titik ikat lain seperti gempa bumi tidak diperhitungkan. Parameter yang digunakan dalam model perhitungan time-variant adalah tinggi titik ikat, kecepatan pergeseran vertikal titik ikat, tinggi titik pantau pada epoch tertentu dan kecepatan pergeseran titik pantau pada epoch tertentu. Penelitian tersebut menampilkan simulasi hitung kuadrat terkecil metode time-variant pada jaring beda tinggi sederhana dan membandingkannya dengan hasil hitung perataan tanpa koreksi tinggi titik ikat. Hasil simulasi menunjukkan simpangan baku metode time-variant lebih kecil tiga kali lipat dibandingkan simpangan baku hitung perataan tanpa koreksi tinggi titik ikat.

(8)

I.8. Landasan Teori

I.8.1. Deformasi Vertikal

Deformasi adalah perubahan posisi titik, bentuk dan dimensi suatu benda secara absolut maupun relatif. Perubahan kedudukan titik secara absolut ditinjau dari perilaku gerakan titik itu sendiri sejak titik tersebut belum bergerak, sedangkan perubahan kedudukan titik secara relatif peninjauan gerakan titik dilihat terhadap titik lainnya. Deformasi dapat terjadi karena adanya gaya yang bekerja dari luar ataupun dari dalam benda tersebut. Adanya gaya yang bekerja maka dapat menimbulkan reaksi yang membuat benda mengalami translasi, rotasi, deformasi linier serta dilatasi (deformasi sudut) atau bisa disebut benda mengalami deformasi (Widjajanti, 2001). Dalam kaitannya dengan deformasi vertikal maka fokus utama terhadap respon tersebut adalah pada arah vertikal.

Analisis deformasi merupakan pendekatan pemecahan permasalahan dalam deformasi dengan tujuan mengkaji sifat, jenis, gaya penyebab deformasi, arah dan pola, kuantifikasi pergeseran serta parameter-parameter deformasi. Penyelidikan deformasi secara global pada suatu objek pengamatan dilaksanakan berulang pada epoch yang berlainan dengan selisih waktu tertentu. Analisis deformasi antar epoch atau multi epoch memerlukan waktu pemantauan deformasi yang dilakukan lebih dari dua kali berurutan. Salah satu pendekatan untuk analisis tersebut adalah hitungan perataan bertahap dengan terus melakukan pembaharuan data. Metode tersebut mengasumsikan tidak adanya korelasi antar epoch dan cocok untuk komputer berkapasitas kecil (Caspary, 1987).

I.8.2. Kerangka Dasar Absolut

Perhitungan vektor pergeseran memerlukan data hasil pengamatan geodetik melalui survei deformasi. Dalam survei deformasi vertikal Candi Borobudur tahun 2002 menerapkan jaring kerangka dasar absolut. Kerangka dasar absolut adalah kerangka jaring yang terdiri dari titik-titik ikat yang terletak di luar area objek pengamatan deformasi yang posisinya diasumsikan stabil dan seluruh titik pengamatan ditempatkan pada wilayah yang diperkirakan mengalami deformasi (Widjajanti, 2001).

(9)

I.8.3. Bobot Pengukuran Beda Tinggi

Bobot pengukuran merupakan suatu besaran yang diberikan kepada nilai ukuran sesuai dengan ketelitian masing-masing ukuran. Nilai bobot pengukuran akan menunjukkan hubungan antara nilai varian dan tingkat kepresisian suatu pengukuran. Suatu pengukuran dapat dikatakan memiliki tingkat presisi yang tinggi jika mempunyai nilai varian yang kecil, hal tersebut dikarenakan pada pengukuran yang berulang dapat menghasilkan nilai ukuran yang saling berdekatan. Menurut Mikhail dan Gracie (1981), bobot yang baik pada perhitungan kuadrat terkecil akan menghasilkan varian akhir/aposteriori (𝜎̂02) yang bersesuaian dengan varian awalnya

(𝜎02), sedangkan estimasi 𝜎

02 yang kurang tepat dapat mengakibatkan estimasi bobot

pengukuran yang kurang tepat.

Bobot pengukuran dapat dihitung melalui persamaan I.1 (Mikhail dan Gracie, 1981):

𝑃 = 𝜎02 1

−1 ... (I.1)

Jika semua pengukuran tidak saling berkorelasi maka nilai matriks varian kovarian (∑1−1) merupakan matriks diagonal seperti I.2.

∑1−1 = [ 1 𝜎∆ℎ12 0 … 0 0 𝜎1 ∆ℎ22 … ⋮ ⋮ … 0 … ⋱ … 1 𝜎∆ℎ𝑛2 ] ... (I.2)

I.8.4. Hitung Kuadrat Terkecil Metode Parameter

Dalam pengukuran terdapat tiga kesalahan, yakni kesalahan kasar, kesalahan sistematik dan kesalahan acak (Wolf, 1981). Dari ketiga kesalahan tersebut, hanya kesalahan acak yang tidak dapat dihilangkan namun bisa diminimalisir untuk meningkatkan ketelitian pengukuran. Salah satu caranya adalah dengan melakukan pengukuran lebih, namun dengan adanya pengukuran lebih akan mengakibatkan solusi tidak unik pada parameter yang ditentukan. Oleh karena itu dibutuhkan suatu metode yang dapat menentukan nilai parameter sekaligus meminimalkan kesalahan acak, yakni dengan hitung perataan.

(10)

Hitung perataan merupakan suatu metode untuk menentukan nilai koreksi yang harus diberikan pada hasil pengukuran, sehingga hasil pengukuran tersebut memenuhi suatu syarat geometri (Wolf, 1981). Syarat geometri merupakan suatu kondisi yang harus dipenuhi dari hubungan suatu pengukuran dengan pengukuran lainnya. Penyelesaian hitung kuadrat terkecil dilakukan untuk mencari suatu nilai akhir yang unik dengan cara tertentu sehingga solusinya mempunyai jumlah kuadrat residu minimum (Soeta’at, 1996). Residu adalah beda antara ukuran dengan nilai hasil hitungan akibat adanya kesalahan acak. Hitung kuadrat terkecil dikenal memiliki beberapa metode, salah satunya adalah metode parameter.

Salah satu karakteristik hitung perataan kuadrat terkecil adalah jumlah pengamatan yang lebih dari jumlah parameter sehingga didapatkan nilai derajat kebebasan suatu data (Wolf, 1981). Derajat kebebasan (r) dapat ditentukan dengan persamaan (I.3).

𝑟 = 𝑛 − 𝑢 ... (I.3) Dalam hal ini :

𝑛 : jumlah ukuran,

𝑢 : jumlah parameter yang ditentukan nilainya.

Penyusunan model matematis hitung perataan menggunakan persamaan I.4 s.d I.7:

𝐿𝑎 = 𝐹(𝑋𝑎) ... (I.4) 𝐹(𝑋𝑎) = 𝐹(𝑋𝑜 + 𝑋) ... (I.5) 𝐿𝑎 = 𝐿𝑏 + 𝑣 ... (I.6) 𝐿𝑏 + 𝑣 = 𝐹(𝑋𝑜 + 𝑋) ... (I.7) Perhitungan matriks residu untuk mendapatkan nilai koreksi yang terbaik dibentuk dengan persamaan I.8:

𝑣 = 𝐴𝑋 + 𝐹 ... (I.8) Perhitungan nilai estimasi parameter yang terbaik menggunakan persamaan I.9:

(11)

𝑋 = −(𝐴𝑇𝑃𝐴)−1𝐴𝑇𝑃𝐹 ... (I.9)

Dalam hal ini :

𝐿𝑎 : nilai estimasi pengamatan, 𝑋𝑎 : nilai estimasi parameter, 𝐿𝑏 : nilai pengamatan,

𝐹 : selisih nilai estimasi pengamatan dengan nilai pengamatan, 𝑣 : residu atau koreksi pengamatan,

𝑋𝑜 : nilai pendekatan parameter, 𝐿𝑎 : nilai koreksi parameter,

𝐴 : matriks desain atau representasi geometrik yang elemennya terdiri atas koefisien parameter, dan

𝑃 : matriks bobot pengamatan.

Ketelitian estimasi nilai parameter ditunjukkan dari nilai varian kovarian parameter (∑𝑥𝑥) dengan persamaan I.10:

∑𝑥𝑥 = 𝜎̂02(𝐴𝑇𝑃𝐴)−1 ... (I.10)

Hasil hitung perataan dihasilkan nilai varian aposteriori dengan persamaan I.11: 𝜎̂02 = 𝑣𝑇𝑃𝑣

𝑛−𝑢 ... (I.11)

I.8.5. Uji Statistik Data Pengamatan

Pengujian statistik pada data pengamatan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kesalahan tak acak yang mempengaruhi data pengamatan. Adanya kesalahan tak acak pada data pengamatan dapat mempengaruhi hasil hitung perataan sehingga diperlukan pengecekan dengan uji statistik setelah proses hitung perataan. Terdapat beberapa metode pengujian, beberapa diantaranya adalah uji global menggunakan prinsip pengujian varian aposteriori (𝜎̂02) dengan varian apriori (𝜎

02),

(12)

pada setiap data pengamatan, dan uji Tau yang menggunakan prinsip sama dengan data snooping.

Kesalahan pengamatan pada hitung kuadrat terkecil diasumsikan mengikuti sebaran normal, benar atau tidaknya asumsi tersebut perlu diuji dengan uji statistik terhadap data pengamatan. Uji statistik data pengamatan yang digunakan pada penelitian ini adalah Pope’s Tau (τ). Uji Tau merupakan pengembangan lebih lanjut dari metode data snooping untuk mencari data pengamatan yang dihinggapi kesalahan tak acak. Pada uji ini membandingkan nilai residu/koreksi masing-masing data pengamatan terhadap simpangan baku residu pengamatan tersebut.

Tahap melakukan uji Tau data pengamatan sebagai berikut (Kuang, 1996): 1) Menyusun hipotesis:

Hipotesa nol (Ho) data pengamatan tidak dipengaruhi kesalahan tak acak.

Hipotesa tandingan (Ha) pengamatan dipengaruhi kesalahan acak.

2) Menetapkan taraf uji (𝛼0).

3) Menentukan nilai 𝑡𝛼0/2 dari table fungsi distribusi t-student dengan argumen 𝛼0 dan r (jumlah persamaan syarat).

4) Menghitung nilai 𝜏𝛼0/2 dengan persamaan I.12:

τ

𝛼0/2 (𝑟) =

√𝑟 𝑡𝛼0/2 (𝑟−1) √𝑟−1+ 𝑡2

𝛼0 2⁄ (𝑟−1)

... (I.12)

5)

Menghitung nilai τ𝑖 untuk setiap data pengamatan

τ𝑖 = 𝑣𝑖

𝜎𝑣𝑖 ... (I.13)

Dalam hal ini :

𝑣𝑖 : koreksi pengamatan ke-i,

𝜎𝑣𝑖 : simpangan baku koreksi ke-i yang merupakan akar dari elemen diagonal

matriks Σ𝑣𝑣 .

Σ𝑣𝑣 = 𝜎̂02(𝑃−1− 𝐴(𝐴𝑇𝑃𝐴)−1𝐴𝑇) ... (I.14)

6) Menguji hipotesis nol

(13)

Penolakan hipotesis nol pada uji tersebut menunjukkan adanya kesalahan tak acak yang mempengaruhi data pengamatan. Uji tersebut dapat menunjukkan secara langsung data pengamatan mana saja yang dipengaruhi kesalahan tak acak.

Pada penelitian ini juga dilakukan uji global selain untuk mendeteksi kesalahan tak acak pada data pengamatan tetapi juga mendeteksi kesesuaian model matematis yang digunakan pada hitung perataan. Penolakan Ho dapat disebabkan karena (Soeta’at, 1996) model matematis yang salah, kesalahan dalam menghitung, ill condition system, penghapusan derajat tinggi, ketidaktepatan dalam menentukan varian apriori dan adanya kesalahan kasar pada data ukuran. Tahap pengujian dilakukan sebagai berikut (Widjajanti, 1997):

1. Menyusun hipotesis: Ho : (𝜎̂𝑜2 = 𝜎𝑜2)

Ha : (𝜎̂𝑜2 > 𝜎𝑜2)

2. Menetapkan taraf uji (𝛼0).

3. Menentukan nilai batas 𝐹1−𝛼0,∞,𝑟 dari tabel fungsi Fisher dengan argumen

𝛼0 dan r (jumlah persamaan syarat).

4. Melakukan uji hipotesis nol (Ho). Ho ditolak apabila memenuhi persyaratan

seperti pada persamaan I.16:

𝜎 ̂𝑜2

𝜎𝑜2 > 𝐹1−𝛼0,∞,𝑟 ... (I.16)

Uji global dilakukan pada hitung perataan metode time-variant untuk mendeteksi kesesuaian model matematis yang digunakan pada hitung perataan. Penolakan hipotesis nol mengindikasikan adanya kesalahan tak acak atau dapat diasumsikan model matematis yang digunakan masih terdapat kesalahan.

I.8.6. Hitung Perataan Time-Variant pada Jaring Pemantauan Deformasi Vertikal

Hitung perataan time-variant adalah salah satu metode hitung perataan kuadrat terkecil yang langsung memasukkan koreksi parameter akibat adanya pergerakan pada titik ikat. Prinsip perhitungan metode tersebut sama dengan prinsip hitung kuadrat metode parameter berbobot dimana dalam proses perhitungannya memasukkan bobot pada parameter. Penggunaan tinggi titik ikat yang diukur pada suatu epoch untuk

(14)

penentuan tinggi titik pantau epoch lainnya dapat menyebabkan adanya kesalahan sistematik pada hitung perataan (Han, dkk., 2014). Oleh karena itu, perlu koreksi pada masing-masing parameter untuk menghindari kesalahan sistematik tersebut. Persamaan observasi dituliskan dengan persamaan I.17 s.d I.23:

∆ℎ𝑖𝑗,𝑡𝑘 = [ℎ̅̅̅̅̅ + 𝑉𝑗,𝑡𝑗 𝑗(𝑡𝑘− 𝑡𝑗)] − [ℎ̅̅̅̅̅ + 𝑉𝑖,𝑡𝑖 𝑖(𝑡𝑘− 𝑡𝑖)] ... (I.17) 𝑙 + 𝑣 = 𝐴∆𝑥+ 𝑓 ... (I.18) 𝑙𝑥+ 𝑣𝑥 = 𝑥0+ ∆𝑥 ... (I.19) ∆𝑥 = (𝑁 + 𝑊𝑥𝑥)−1(𝑡 − 𝑊 𝑥𝑥𝑓𝑥) ... (I.20) 𝑁 = 𝐴𝑇𝑃𝐴 ... (I.21) 𝑡 = 𝐴𝑇𝑃𝐹 ... (I.22) 𝐹𝑥 = 𝑥0− 𝑙𝑥 ... (I.23)

Dalam hal ini :

∆ℎ𝑖𝑗,𝑡𝑘 : beda tinggi titik pantau i dan j hasil ukuran epoch 𝑡𝑘,

ℎ𝑗,𝑡𝑗

̅̅̅̅̅ dan ℎ̅̅̅̅̅ : tinggi titik pantau i dan j, 𝑖,𝑡𝑖

𝑉𝑗 dan 𝑉𝑖 : kecepatan pergeseran vertikal titik pantau i dan j, 𝑡𝑗 dan 𝑡𝑖 : epoch pendefinisian titik pantau i dan j,

𝑡𝑘 : epoch pengukuran beda tinggi ∆ℎ𝑖𝑗,

𝑙 : nilai pengamatan dari tiga epoch yang berbeda, 𝑙𝑥 : nilai pengamatan untuk parameter x,

𝑣 : nilai residu ukuran,

𝑣𝑥 : nilai estimasi residu untuk parameter x, ∆𝑥 : koreksi setiap parameter,

𝑥0 : nilai pendekatan parameter,

𝐴 : matriks desain atau representasi geometrik yang elemennya terdiri dari koefisien parameter,

(15)

𝐹 : matriks sisa pengukuran hasil dari selisih estimasi pengamatan dengan nilai pengamatan, dan

𝑃 : matriks bobot pengukuran.

Nilai 𝑊𝑥𝑥 adalah matriks bobot untuk parameter x yang terdiri dari elemen 𝑊1, 𝑊2 dan 𝑊3 yang merupakan matriks bobot tinggi dan kecepatan pergeseran vertikal tiap epoch. 𝑊1 adalah bobot untuk tinggi dan kecepatan pergeseran vertikal titik ikat, sedangkan 𝑊2 dan 𝑊3 adalah bobot untuk tinggi dan kecepatan pergeseran

vertikal setiap titik pantau. Matriks 𝑊𝑥𝑥 dapat dituliskan sebagai persamaan I.24.

𝑊𝑥𝑥 = [ 𝑊1 0 0 0 𝑊2 0 0 0 𝑊3] ... (I.24) 𝑊1 = 𝜎02−1 ℎℎ= 𝜎02 [ 𝜎ℎ̅̅̅̅1 2 𝜎 ℎ1 ̅̅̅̅ℎ̅̅̅̅2 ⋯ 𝜎ℎ̅̅̅̅ℎ1̅̅̅̅𝑢 ⋮ 𝜎̅̅̅̅22 … 𝜎ℎ̅̅̅̅ℎ2̅̅̅̅𝑢 𝑠𝑦𝑚𝑚. … ⋱ … ⋮ 𝜎̅̅̅̅2𝑢 ] −1 ... (I.25)

Setelah koreksi ditentukan, maka estimasi parameter dapat dirumuskan persamaan I.26:

𝑥̂ = 𝑥0+ ∆𝑥 ... (I.26) dan matriks varian kovarian dihitung dengan persamaan I.27:

𝑥̂𝑥̂ = 𝜎̂02(𝑁 + 𝑊

𝑥𝑥)−1 ... (I.27)

Dalam hal ini 𝜎̂0 adalah varian aposteriori yang dapat diestimasi dengan

persamaan I.28:

𝜎̂0 = √𝑣𝑇𝑃𝑣+𝑣𝑥𝑇𝑊𝑥𝑥𝑣𝑥

𝑟 ... (I.28)

𝑟 = 𝑛1+ 𝑛2− 𝑢 ... (I.29) Dalam hal ini :

𝑟 : derajat kebebasan, 𝑛1 : jumlah ukuran,

(16)

𝑛2 : parameter untuk model ukuran, 𝑢 : parameter (termasuk titik acuan).

I.8.7. Analisis Pergeseran Vertikal

Pergeseran vertikal adalah perubahan tinggi suatu titik yang diukur dari dua epoch pengamatan yang berbeda. Untuk mengetahui besarnya pergeseran vertikal maka perlu dilakukan analisis. Salah satu metode analisis pergeseran vertikal adalah dengan membandingkan tinggi semua titik pantau beserta ketelitiannya hasil pengamatan dari masing-masing epoch pengukuran. Model matematis antara tinggi titik pantau tiap epoch dapat dituliskan dengan persamaan I.30 (Yulaikhah dan Widjajanti, 2004):

𝑣𝑗 = 𝐴𝑋𝑗+ 𝐹𝑗 untuk epoch ke-j

𝑣𝑘 = 𝐴𝑋𝑘+ 𝐹𝑘 untuk epoch ke-k ... (I.30) Dalam hal ini nilai 𝑋𝑗 dan 𝑋𝑘 diperoleh dari hasil hitung perataan. Vektor pergeseran (d) dapat dihitung dari selisih nilai parameter dua epoch pengamatan yang berbeda seperti persamaan I.31:

𝑑𝑗,𝑘 = 𝑋𝑘− 𝑋𝑗 ... (I.31)

Ketelitian estimasi pergeseran yang merupakan akar diagonal matrik varian kovarian pergeseran (∑𝑑𝑑) dihitung dari nilai varian kovarian titik pantau antar dua epoch (𝑥𝑥(𝑗) dan ∑𝑥𝑥(𝑘)) dengan persamaan I.32.

𝑑𝑑(𝑗,𝑘) = ∑𝑥𝑥(𝑗)+ ∑𝑥𝑥(𝑘) ... (I.32)

I.8.8. Uji Signifikansi Beda Dua Parameter

Uji signifikansi beda dua parameter dilakukan untuk mengetahui signifikansi perbedaan dua parameter dan dapat digunakan untuk uji signifikansi pergeseran. Perbedaan tinggi pada suatu titik pantau saat epoch i dan epoch j belum tentu mengindikasikan adanya pergeseran vertikal pada titik tersebut. Adanya kesalahan acak pada data pengukuran dapat menjadi salah satu faktor perbedaan tinggi hasil perataan. Untuk memastikan perbedaan tinggi pada titik pantau antar epoch

(17)

merupakan pergeseran sesungguhnya dan bukan diakibatkan adanya kesalahan tak acak maka dilakukan uji statistik terhadap signifikansi pergeseran.

Tahap melakukan uji signifikansi dua perameter sebagai berikut : 1) Menyusun hipotesis:

Ho : titik ke-i tidak tidak berbeda signifikan

Ha : titik ke-i berbeda signifikan

2) Menetapkan taraf uji (𝛼0).

3) Menentukan nilai 𝑡𝛼0/2 dari table fungsi distribusi t-student dengan argumen

𝛼0 dan r (jumlah persamaan syarat).

4)

Menghitung nilai τ𝑖 untuk setiap parameter

τ𝑥𝑖 = |

𝑥𝑖(1)− 𝑥𝑖(2) √(𝜎𝑥𝑖(1))2+ (𝜎𝑥𝑖(2))2

| ... (I.33) Dalam hal ini :

𝑥𝑖(1) dan 𝑥𝑖(2) : parameter satu dan parameter dua,

𝜎𝑥(1)𝑖 dan 𝜎𝑥(2)𝑖 : simpangan baku parameter satu dan parameter dua. 5) Menguji hipotesis nol

Hipotesis nol ditolak jika τ𝑥𝑖> τ(𝛼 2⁄ ; 𝑟) ... (I.34) Penolakan hipotesis nol pada uji tersebut menunjukkan bahwa perbedaan dua parameter signifikan. Sedangkan penerimaan hipotesis nol menunjukkan bahwa kedua parameter tidak berbeda signifikan.

I.9. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini mengacu pada penelitian Han, dkk., (2014) adalah nilai simpangan baku vektor pergeseran vertikal menggunakan metode time-variant tiga kali lebih kecil dibandingkan nilai simpangan baku vektor pergeseran vertikal menggunakan metode hitung kuadrat terkecil metode parameter dengan koreksi tinggi titik ikat tiap epoch.

Gambar

Gambar I.1  Jaring sipat datar Candi Borobudur tahun 2002 sampai tahun 2004  (Siswoyo, dkk., 2002)

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan tempe lamtoro gung diawali dengan proses prafermentasi yaitu perebusan, pembuangan kulit biji, perendaman dan pengukusan, yang dilanjutkan dengan fermentasi

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Arcioglu (2016) menunjukkan korelasi sebesar 41% dan signifikan antara kebersyukuran dan kepuasan hidup dengan subjek

Hasil didalam penciptaan karya ini berupa busana ready to wear dengan motif batik tumbuhan suweg yang di dominasi warna cerah seperti trend mode biopop.. Tumbuhan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijabarkan financial projection pada pertumbuhan penjualan, laporan neraca dan laba rugi selama periode 2014-2018 pada

Makanan ringan seringkali menjadi pilihan alternatif guna mengganjal perut di sela – sela rutinitas yang sibuk dan padat. Salah –satu makanan basah ringan yang cukup

Dari uraian diatas dapat dikemukakan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pembelajaran kimia dengan metode pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat memberikan

Pada pembibitan kelapa sawit sumber emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar berasal dari penggunaan bahan bakar solar, pupuk NPK, pestisida, dan fungisida. Second

Puji syukur kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir dengan judul Taman Kelinci sebagai Wahana Rekreasi dan