• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang

Dunia saat ini menghadapi ancaman penjangkitan kejadian luar biasa (KLB) dalam tiga konteks yaitu munculnya bakteri pathogen yang baru yang biasanya tidak diketahui bagaimana sumber dan penyebarannya dan beberapa memiliki potensi untuk menyebabkan KLB yang besar, terjadinya kembali KLB penyakit yang diakui menyebabkan penyakit yang signifikan pada manusia oleh karena tindakan pengendalian kesehatan masyarakat lemah atau jika organisme bisa beradaptasi (berkembang menjadi resisten terhadap antibiotik) maka akan potensial untuk terjadi KLB baru, dan adanya pelepasan secara sengaja atau pun kebetulan dari suatu agen biologi ke dalam populasi manusia dan atau populasi binatang (WHO, 2000).

Era globalisasi dimana mobilisasi manusia maupun barang sangat tinggi dan sangat cepat juga merupakan salah satu ancaman di bidang kesehatan misalnya transmisi penyakit menular dari suatu negara ke negara lain. Selain itu perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global juga semakin cepat. Kondisi ini akan mempengaruhi pola dan jenis penyakit potensial KLB baik secara langsung maupun tidak langsung seperti malaria, DBD, maupun penyakit

new emerging seperti flu burung (Direktorat Jenderal P2PL Depkes RI, 2008)

Ancaman KLB tidak akan hilang tanpa serangkaian tanggapan baik dari tingkat nasional maupun internasional. World Health Organization (WHO) melalui International Health Regulation (IHR) 2005 mewajibkan setiap negara anggota untuk mengembangkan, memperkuat, dan mempertahankan kemampuan dasar bidang surveilans dan respon pada setiap level administrasi, agar dapat mendeteksi, melaporkan, serta menangani risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia, sedini mungkin dan paling lambat lima tahun sejak diberlakukannya IHR (WHO, 2008).

(2)

Sebagai dampak diberlakukannya IHR 2005, beberapa negara sudah mengenali ancaman wabah baru dan sudah mencari cara untuk memperkuat surveilans dan kapasitas respon nasional mereka. Banyak sistem kewaspadaan terhadap KLB yang dikembangkan. Uni Eropa menerapkan EWGLI untuk surveilans penyakit legionellosis, Early Warning and Response Network (EWARN) di Sudan, Early Warning and Response System (EWARS) di Syria dan Nepal, Global Public Health Intelligence Network (GPHIN) di Canada dan

Electronic Surveillance System for the Early Notification of Community-based Epidemics (ESSENCE-FL) di Florida. Jaringan surveilans yang dikembangkan

oleh WHO antara lain Flunet yang diterapkan di 83 negara dan PACNET yang diterapkan di 22 negara di Kepulauan Pasific. Sedangkan yang dikembangkan oleh Center for Desease Control (CDC) adalah Pulsenet untuk surveilans penyakit yang bersumber dari makanan dan Epi-X untuk investigasi wabah penyakit infeksi dan non infeksi. Di Indonesia pernah dikembangkan Early Warning Outbreak

Recognition System (EWORS), suatu sistem surveilans sindromik elektronik yang

diterapkan di Rumah Sakit.

Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi surveilans digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku surveilans pada berbagai level. Rendahnya penggunaan data surveilans merupakan masalah di banyak negara berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi problem ini adalah membangun network dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan. Penelitian di Ontario yang dilakukan oleh Chu et al., (2012) menunjukkan bahwa data surveilans sindromik lebih banyak digunakan untuk pemantauan aktivitas virus, mengukur dampak pada sistem perawatan kesehatan dan menginformasikan pembukaan pusat penilaian influenza di beberapa wilayah, dan mendukung komunikasi dan pesan, dari pada untuk tujuan deteksi dini wabah. Data sindromik memiliki dampak terbatas terhadap keputusan yang melibatkan operasional klinik imunisasi, penutupan sekolah, mengirim surat informasi rumah dengan anak-anak sekolah atau menyediakan rekomendasi kepada penyedia layanan kesehatan.

(3)

Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk memimpin dan mengelola dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah

outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai

menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan lembaga donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (Disease Control Priorities Project, 2008).

Efektifitas dan efisiensi sistem surveilans bisa dilihat dengan melakukan evaluasi terhadap sistem surveilans tersebut. Evaluasi implementasi memberikan gambaran kepada pengambil keputusan apa yang terjadi dalam program dan bagaimana program telah berkembang (Patton, 2006). Menurut standar operasional prosedur pedoman sistem kewaspadaan dini dan respons, sistim surveilans ini akan dievaluasi setelah 6 bulan dalam kaitan dengan keterwakilan, kemampuan menerima, kesederhanaan, ketepatan waktu, kegunaan, kepekaan, dan fleksibilitas. Namun sejauh ini belum pernah dilaksanakan evaluasi terhadap penerapannya.

Salah satu pemanfaatan sistem kewaspadaan dini dan respon terhadap KLB dapat dilihat di Haiti. Sistem diterapkan untuk melengkapi sistem surveilans nasional yang sudah ada sebelumnya untuk mendeteksi dini KLB cholera setelah bencana gempa bumi. Sistem ini mampu memberikan alert secara tepat waktu. Alert tersebut dianalisis, dikomunikasikan dan digunakan untuk menilai kebutuhan sehingga dapat digunakan untuk memberikan respon lebih cepat.

Sebagai anggota dari organisasi Persatuan Bangsa - Bangsa, Indonesia selalu mendukung kebijakan dari organisasi tersebut apabila tidak bertentangan dengan kebijakan nasional maupun internasionalnya. Indonesia yang telah meratifikasi IHR tahun 2005 harus mengikuti dan menjalankan aturan tersebut (Depkes RI, 2008).

Indonesia dengan letak geografi yang strategis masih memiliki beberapa penyakit yang berpotensi menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti

(4)

malaria, DBD, diare, kolera, difteri, antrax, rabies, campak, pertusis, maupun ancaman flu burung pada manusia. Penyakit-penyakit tersebut apabila tidak dipantau dan dikendalikan maka akan mengancam kesehatan masyarakat Indonesia dan menyebabkan KLB yang lebih besar atau bahkan dapat menyebar ke negara tetangga lainnya.

Dengan latar belakang tersebut, Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan WHO dan the United States Centers for Disease Control and Prevention (US CDC) membangun suatu sistem dalam upaya kewaspadaan dini dan respon terhadap penyakit – penyakit potensial KLB. Sistem ini dikenal dengan nama

Early Warning Alert and Response System (EWARS). EWARS adalah sistem

komputer berbasis jaringan yang melaporkan secara mingguan, yang dapat menampilkan sinyal atau ―alert― adanya peningkatan kasus melebihi nilai ambang batas di suatu wilayah, baik wilayah kerja puskesmas, kabupaten maupun propinsi. Sebanyak 21 jenis prioritas gejala penyakit potensial KLB yang harus dilaporkan melalui EWARS (Depkes RI, 2008).

Pada tahun 2009 sudah ada 6 provinsi yang menggunakan EWARS yaitu Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan pada tahun 2012 bertambah 10 provinsi yang menggunakan sistem tersebut, salah satunya adalah Provinsi Jawa Tengah yang menerapkan EWARS secara serentak di 35 Kabupaten/Kota, termasuk Kabupaten Boyolali (Poskota, 2011).

Kabupaten Boyolali merupakan salah satu kabupaten yang memiliki cukup banyak penyakit potensial KLB seperti antrax, flu burung, pes, DBD dan sebagainya. Penerapan EWARS sebagai suatu sistem kewaspadaan dini dan respon terhadap KLB sangat membantu. Pengumpulan data dari Puskesmas dan jaringannya (Bidan desa dan Puskesmas pembantu) telah dilakukan. Begitu pula dari tingkat puskesmas ke tingkat kabupaten. Bahkan, setelah penerapan EWARS kelengkapan dan ketepatan waktu laporan mingguan (W2) mengalami peningkatan. Data dari Seksi Pencegahan dan Surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali menunjukkan pada tahun 2011 kelengkapan laporan Puskesmas adalah 89,19% dari target 90% dan ketepatan waktunya sebesar

(5)

68,96% dari target sebesar 80%. Sedangkan pada tahun 2012 kelengkapan laporan EWARS sebesar 98,9%, dan ketepatan waktu sebesar 94,1%. Kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) pada desa/kelurahan yang mengalami KLB seluruhnya (100%) dilakukan dalam waktu < 24 jam.

Pada tahun 2013 terdapat perubahan tentang jenis gejala yang harus dilaporkan melalui EWARS. Jika sebelumnya hanya 21 jenis gejala, pada akhir tahun 2013 menjadi 23 jenis dan ada beberapa gejala yang ditambah serta diganti. Dua gejala yang ditambahkan adalah Influenza Like Illness (ILI) dengan kode pelaporan Y dan Tersangka Hand Foot Mouth Disease ( HFMD) dengan kode Pelaporan Z. sedangkan gejala yang diganti adalah tersangka DBD yang diganti dengan tersangka chikungunya, tersangka campak diganti dengan campak klinis serta demam yang tidak diketahui sebabnya diganti tersangka leptospirosis. Jika dilihat, perubahan ini menambah gejala yang harus diamati dan dilaporkan sehingga seharusnya KLB yang terjadi makin sedikit. Berikut ini adalah tabel perbandingan perubahan kode dan jenis gejala yang dilaporkan melalui EWARS.

Tabel 1 Perbandingan Perubahan Kode dan Jenis Gejala Penyakit Yang Dilaporkan Melalui EWARS

No Kode Pelaporan Nama Gejala Tahun 2012 - Akhir 2013 Nama Gejala Akhir tahun 2013 -

1 A Diare Akut Diare Akut

2 B Malaria Konfirmasi Malaria Konfirmasi

3 C Tersangka Demam Dengue Tersangka Demam Dengue

4 D Pneumonia Pneumonia

5 E Diare Berdarah Diare Berdarah/disentry 6 F Tersangka Demam Tifoid Tersangka Tifoid

7 G Jaundice Akut Jaundice Akut

8 H Tersangka DBD Tersangka Chikungunya

9 J Tersangka Flu Burung pada Manusia

Tersangka Flu Burung pada Manusia

10 K Tersangka Campak Campak klinis

11 L Tersangka Difteri Tersangka Difteri 12 M Tersangka Pertussis Tersangka Pertussis 13 N AFP (Lumpuh Layuh

Mendadak)

AFP (Lumpuh Layuh Mendadak)

14 P Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies

Gigitan Hewan Penular Rabies

(6)

Lanjutan Tabel 1 Perbandingan Perubahan Kode dan Jenis Gejala Penyakit Yang Dilaporkan Melalui EWARS

No Kode Pelaporan Nama Gejala Tahun 2012 - Akhir 2013 Nama Gejala Akhir tahun 2013 16 R Demam yang tidak diketahui

sebabnya Tersangka Leptospirosis

17 S Tersangka Kolera Tersangka Kolera

18 T Kluster Penyakit yang tdk diketahui sebabnya

Kluster Penyakit yang tidak lazim 19 U Tersangka Meningitis/Encephalitis Tersangka Meningitis/Encephalitis 20 V Tersangka Tetanus Neonatorum Tersangka Tetanus Neonatorum

21 W Tersangka Tetanus Tersangka Tetanus

22 Y - ILI

23 Z - Tersangka HFMD

X - Total kunjungan

Meskipun telah menerapkan EWARS dengan ketepatan waktu dan kelengkapan laporan yang cukup baik, namun KLB masih banyak terjadi di Kabupaten Boyolali. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan jenis KLB jika dibandingkan tahun 2011 sebelum penerapan EWARS. Tahun 2011 terjadi 4 jenis KLB yaitu diare, antrax kulit, keracunan makanan dan difteri. Sedangkan pada tahun 2012 jumlah jenis KLB meningkat menjadi 8 jenis yaitu diare, rabies, campak, suspek antraks, keracunan makanan, leptospirosis, difteri dan AFP (Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali, 2012). Begitu pula pada tahun 2013 masih banyak KLB yang terjadi. Bahkan untuk DBD dan diare sampai menimbulkan korban jiwa. Jenis dan jumlah kasus KLB di Kabupaten Boyolali tahun 2011-2013 dapat dilihat pada gambar 1.

(7)

Gambar 1 Jenis dan Jumlah Kasus KLB Tahun 2011-2013

Hal ini menjadi suatu pertanyaan apakah data yang dikumpulkan diolah menjadi informasi yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang sedang timbul serta dimanfaatkan untuk mengambil tindakan pengendalian KLB?

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas dirumuskan permasalahan ―Bagaimana pemanfaatan EWARS untuk pengambilan keputusan dalam rangka kewaspadaan dini dan respon terhadap KLB di Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali‖

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengevaluasi pengelolaan dan pemanfaatan informasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons KLB ―EWARS‖ dalam kegiatan surveilans di Kabupaten Boyolali Jawa Tengah.

2. Tujuan Khusus

a. Mengkaji pengelolaan informasi dalam EWARS dilihat dari aspek:  pelaporan data (ketepatan waktu, kelengkapan, input, proses, output)  analisis dan interpretasi data

 umpan balik 0 10 20 30 40 50 60 Diar e An tr ax k u lit Dif ter i R ab ies C am p ak Su sp ek an tr ax lep to sp ir o sis AF P Hep atiti s A DB D cik u n g u n y a J um la h Jenis KLB Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013

(8)

b. Mengkaji pemanfaatan informasi dari EWARS untuk pengambilan keputusan dalam pengendalian KLB di Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten /Provinsi

a. Sebagai bahan masukan bagi Petugas Surveilans Kabupaten atau District

Surveillance Officer (DSO) dan Petugas Surveilans Provinsi atau Provincial Surveillnce Officer (PSO) dalam mengelola EWARS.

b. Sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan terhadap penerapan EWARS.

2. Bagi peneliti

Menambah wawasan bagi penulis khususnya dalam hal sistim informasi surveilans.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang evaluasi pemanfaatan EWARS di Kabupaten Boyolali belum pernah dilakukan, namun penelitian terkait dengan evaluasi sistem informasi sudah banyak dilakukan.

1. Chu et al., (2012) melakukan penelitian dengan judul The use of syndromic

surveillance for decision-making during the H1N1 pandemic: a qualitative study. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data surveilans sindromik lebih

banyak digunakan untuk pemantauan aktivitas virus, mengukur dampak pada sistem perawatan kesehatan dan menginformasikan pembukaan pusat penilaian influenza di beberapa wilayah, dan mendukung komunikasi dan pesan, dari pada untuk tujuan deteksi dini wabah. Data sindromik memiliki dampak terbatas terhadap keputusan yang melibatkan operasional klinik imunisasi, penutupan sekolah, mengirim surat informasi rumah dengan anak-anak sekolah atau menyediakan rekomendasi kepada penyedia layanan kesehatan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chu et al., (2012) terletak pada unit

(9)

analisis dan subjek penelitian. Chu et al., (2012) menggunakan unit analisis sistem surveilans sindromik khusus untuk penyakit H1N1 dan subjek penelitiannya adalah dari kementerian kesehatan, dinas kesehatan provinsi dan lembaga kesehatan masyarakat federal.

2. Halid, (2005) meneliti Pemanfaatan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian sebagai Dasar Pengambilan Keputusan di Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SIMPEG belum digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Halid, (2005) terletak pada unit analisis dn subjek penelitian. Halid, (2005) menggunakan unit analisis Bagian Kepegawaian Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu yang mengelola SIMPEG dan empat Unit Pelaksa Teknis (UPT) Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, sedangkan subjek penelitiannya terdiri dari Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bagian Tata Usaha, empat orang Kepala Sub Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, empat orang Kepala UPT Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, Kepala BKD, dua orang Pengelola SIMPEG, staf bagian kepegawaian UPT masing-masing dua orang, satu orang yang memiliki masalah kepegawaian dari masing-masing UPT dan dua orang yang memiliki masalah kepegawaian dari Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu.

Gambar

Gambar 1 Jenis dan Jumlah Kasus KLB Tahun 2011-2013

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tindakan (action research) yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan baru dan untuk memecahkan masalah dengan penerapan secara langsung (Suryabrata,

Dibagian pembelajaran akuntansi, selain wawancara dan analisis dokumen, peneliti juga melakukan observasi terkait pembelajaran akuntansi dimana peneliti melakukan

Kemudian dari segi hal tertentunya dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian tersebut hal tertentu disini merupakan pembiayaan mudharabah tersebut yang dibuat

Bedasarkan pendapat partisipan-partisipan diatas maka dapat disimpulkan bahwa peran yang telah dilakukan keluarga adalah memberikan dukungan dan motivasi untuk

Maka atas pertimbangan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwodadi Perkara Nomor 09/Pid.B/2017/PN Pwd memutuskan Para Terdakwa dikenakan pidana kurungan selama

Ibu Novi selaku Kepala PAUD Sambas juga menyarankan agar suasana sentra dibuat nyaman dan menyenangkan, karena jika anak dalam kondisi tertekan, kecewa, sedih atau marah

Penulis juga mengingatkan bahwa para peneliti Barat seperti Clifford Geertz, James Siegel yang cenderung kurang fair melihat bahwa kaum santri ekonomi tidak bisa maju/be-

Kemudian ditinjau dari aspek tujuh indikator pemahaman konsep pada daya serap siswa bahwa daya serap tertinggi terdapat pada indikator mengklasifikasikan dengan