• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi Daerah vs Perjuangan Kepentingan Elite Lokal - Sebuah Studi Kasus Realitas Otonomi Daerah - HIDAYAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Otonomi Daerah vs Perjuangan Kepentingan Elite Lokal - Sebuah Studi Kasus Realitas Otonomi Daerah - HIDAYAT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

OTONOMI DAERAH vs PERJUANGAN KEPENTINGAN ELITE LOKAL : Sebuah Studi Kasus Realitas Otonomi Daerah

Oleh: Syarif Hidayat*)

Pendahuluan

Krisis ekonomi dan politik yang merambah Indonesia sejak paruh-akhir tahun 1997, tidak dapat dihindari, telah memporak porandakan basis material negara yang selama ini telah dijadikan sebagai sumber utama dalam menggerakan roda ekonomi dan politik. Lebih jauh dari itu, kombinasi dampak krisis ekonomi dan politik juga telah mengakibatkan semakin melemahnya empat kapasitas utama negara yang dibutuhkan untuk dapat menjamin kesinambungan pembangunan ekonomi dan stabilitas politik: Institutional, Technical, Administrative, and Political Capacity (Merilee S. Grindle, 1996: 8). Namun pada sisi lain, krisis ekonomi dan politik di Indonesia, juga telah membuka kesempatan untuk melakukan revitalisasi atas konsep hubungan negara dan masyarakat, state-society relation, baik dalam kehidupan ekonomi dan politik. Diantara re-strukturisasi sistim pemerintahan yang cukup penting untuk dikemukakan adalah adanya upaya untuk memperluas otonomi daerah dan pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999. Barangkali tidak berlebihan bila fenomena yang disebut terakhir dapat diartikulasi sebagai sebuah kecenderungan yang menjanjikan sejumlah harapan dan sekaligus tantangan bagi Pemerintah Daerah, khususnya Daerah Tingkat II, dalam mennyongsong abad ke-21.

Dikatakan sebagai harapan yang menjanjikan bagi Pemerintah Daerah, karena dengan telah ditetapkannya UU. No. 22 Tahun 1999, maka akan terjadi perluasan wewenang Pemerintah Daerah Tingkat II. Secara teoritis, dengan adanya perluasan wewenang Pemerintah Daerah ini diharapkan dapat tercipta apa yang Smith (1985) sebut dengan local accountability, yakni meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya. Sementara Ruland (1992) cenderung mengoperasionalkan istilah local accountability dalam konteks pembangunan sosial dan ekonomi. Lebih spesifiknya, Ruland menyebutkan:

The accountability of local government remains necessary in the process of socioeconomic development. It is through the proximity of local decision-makers to their constituency, the areal division power is considered an additional assurance that demand will be heard and, accordingly, public services provided in line with people's needs. Moreover, the dispersal of political power through areal division and the existence of strong self-reliance to local governments would thus guarantee a social development pattern that rest on the principle of diversity in unity (1992:3)

Secara keseluruhan, poin penting yang perlu digaris bawahi disini adalah baik Smith maupun Ruland menekankan pentingnya perluasan otonomi daerah dalam rangka mewujudkan local accountability dan local government responsiveness. Bila ide dasar perluasan otonomi daerah ini dilihat dari perspektif state-society relation maka dapat dikatakan bahwa salah satu tujuan utama dari perluasan otonomi daerah adalah membuka akses yang lebih besar kepada masyarakat sipil (civil society) untuk berpartisipasi baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaannya.

Namun pada sisi lain, perlu dipahami bahwa perluasan otonomi daerah tidak kecil kemungkinan juga dapat membuka peluang semakin terkonsentrasinya kekuasan ditangan local state-actors (birokrat dan politisi di daerah). Ini sebenarnya salah satu bahaya dari perluasan otonomi daerah yang perlu dicermati (lihat Smith, 1993:14-15). Bila kecenderungan ini yang terjadi, maka masih terlalu dini untuk berharap bahwa kebijaksanaan perluasana otonomi daerah akan dengan serta merta membuka peluang yang lebih luas kepada civil society untuk berpartisipasi baik pada proses pengambilan keputusan publik di tingkat lokal, maupun pada tahap pelaksanaan dari berbagai keputusan

(2)

tersebut. Disinilah kita sampai pada pemahaman akan pentingnya sebuah kajian mendalam tentang aspek ekonomi-politik dari kebijaksanaan otonomi daerah.

Kajian seperti ini sangat penting untuk dikakukan, khususnya dalam menyikapi rencana perluasan otonomi daerah (?) yang tidak lama lagi segera akan dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Karena, seperti dikemukakan oleh Bates (1981:8):

[T]o have a better understanding about the nature of government in developing countries, scholars should pay more attention to the capacity for autonomous choices on the part of lokal actors, both public and private, and give greater weight to the importance of these choices in sharpening the impact of external environments upon the structure of lokal societies (1981:8)

Pada bagian lain, Mouzelis (1975), menyebutkan bahwa "organisasi [termasuk didalamnya organisasi pemerintah] terdiri dari sejumlah individu yang memiliki tata nilai pribadi, ekspektasi, dan pola perilaku tersendiri". Adalah suatu fenomena yang tidak dapat dihindari, tegas Mouzelis, bila individu-individu yang tergabung di dalam organisasi tersebut juga memiliki sejumlah tujuan pribadi, individual goals, dan akan berusaha memperjuangkan pencapaiannya. Dengan demikian, tulis Mouzelis, setiap keputusan atau kebijaksanaan yang diambil oleh sebuah organisasi, pada hakekatnya, merupakan sebuah kompromi dari suatu perjuangan untuk mewujudkan pencapaian tujuan organisasi dan kepentingan individu. Lebih jauh, ketika argumen dasar dari teori Organisation Behaviour di atas diaplikasikan pada konteks birokrasi, Mouzelis kemudian mengatakan:

Bureaucrats have to be seen as a whole human being with emotions, beliefs, and goals of his own; goals which do not always coincide with the general goals of the organisation. This aspects of individual behaviour may influence the structure and function of the whole organisation (Mouzelis, 1975: 56-57).

Mengacu pada proposi yang dikemukan oleh Bates dan Mouzelis di atas, kiranya dapat dibangun sebuah asumsi dasar yang akan dijadikan sebagai landasan dalam membahas tema yang diangkat dalam artikel ini. Secara singkat, asumsi yang dimaksud dapat dirumuskan sebagai berikut: untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang realitas otonomi daerah, para analis hendaknya menaruh perhatian khusus pada kapasitas dari elit daerah untuk melakukan autonomous choices, dan mengamati dampak dari hal ini baik pada tingkat pengambilan keputusan maupun pada tingkat implementasinya.

Makalah ini bukan sama sekali dimaksudkan untuk membahas aspek ekonomi politik dari otonomi daerah secara konseptual. Tetapi lebih pada menjelaskan realitas pelaksanaan otonomi daerah dalam kehidupan sehari-hari, dengan fokus perhatian pada pemahaman tentang perilaku (behaviour) elit lokal dalam melaksanakan wewenang pemerintah daerah. Perlu juga ditegaskan bahwa informasi yang disampaikan dalam makalah ini hanyalah sebuah refleksi dari realitas otonomi daerah di Indonesia, utamanya pada dekade Orde Baru. Sebagaimana layaknya sebuah refleksi, maka ia hanya merupakan percikan kecil dari gambaran 'bola kristal' yang lebih besar. Namun demikian, kendati hanya sebuah refleksi, makalah ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana sesungguhnya karakteristik otonomi daerah pada tingkat praktis.

(3)

Wewenang Daerah Dalam Bidang Tata Ruang dan Tata Guna Tanah:

Secara formal, pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyusunan Rencana Tata Ruang dan Tata Guna Tanah baru diatur secra spesifik dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 (UU tentang Penataan Ruang). Sebelum dikeluarkannya UU ini, pengaturan penyusunan Tata Ruang dan Tata Guna Tanah di daerah lebih banyak mengacu pada UU No. 5 Tahun 1960 (Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1987 (Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Kota).

UU No. 5 Tahun 1960 itu sendiri pada prinsipnya lebih banyak mengatur sistim pemilikan tanah di Indonesia daripada mengatur pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam bidang Tata Ruang dan Tata Guna Tanah. Hanya saja pada ayat 14 disebutkan: dalam rangka sosialisme Indonesia, pemerintah akan membentuk rencana umum penggunaan tanah, air dan udara. Rencana ini mengatur penyediaan ruang untuk, antara lain—kegiatan agama, sosial, budaya, pembanguan pertanian, industri, pertambangan, dan penyediaan ruang untuk transmigrasi. Pada bagian lain, Ayat 2(4), disebutkan bahwa otoritas atas kekayaan nasional dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberi tanggung jawab untuk menyusun Rencana Umum Tata Ruang di wilayahnya masing-masing, yang berisikan pengaturan tentang penggunaan tanah untuk kegiatan pembangunan.

Hal yang perlu di catat di sini adalah, otoritas daerah dalam menyusun Rencana Umum Tata Ruang tersebut belum berstatus wewenang yang di desentralisasikan, tetapi lebih pada apa yang disebut medebewind1 (tugas perbantuan).

Peran Pemerintah Daerah disini hanya sebagai pembantu teknis dari Pemerintah Pusat.

Pada tahun 1987, melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1987, dikeluarkan petunjuk teknis penyusunan Rencana Tata Ruang Kota. Inilah titik awal dari diperkenalkannya istilah Rencan Tata Ruang, yang kemudian dibedakan dalam tiga bentuk—Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), dan Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK). Poin lain yang penting untuk dicatat dari Permendagri No. 2 Tahun 1987 adalah, secara formal wewenang dalam penyusunan Rencana Tata Ruang telah di desentralisasikan ke Pemerintah Daerah. Untuk lebih jelasnya, pada ayat 12 disebutkan: Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam membuat dan melaksanakan RUTRK, RDTRK, dan RTRK. Namun, pada ayat lain (ayat 14 dan 15) ditegaskan bahwa dalam penyusunan Rencana Tata Ruang, Pemerintah Daerah harus melakukan koordinasi dengan instansi terkait [instansi Pemerintah Pusat yang di tempatkan di daerah], dan harus mengacu pada GBHN. Lebih jauh dikemukakan, RUTRK, RDTRK, dan RTRK di tetapkan dengan Peraturan Daerah, namun Peraturan Daerah yang dimaksud harus mendapat pengesahan dari Meteri Dalam Negeri.2

Pada tahun 1992 sebuah langkah fundamental dalam mengatur Tata Ruang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Melalui UU No. 24 Tahun 1992, pemerintah mengatur secara lebih spesifik tidak saja struktur Tata Ruang, tetapi juga pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyusunan Tata Ruang itu sendiri.

Secara konseptual, Rencana Tata Ruang (menurut UU. No. 24 Tahun 1992) didefinisikan sebagai struktur dan pola penggunaan ruang yang menetapkan kawasan budidaya dan kawasan lindung. Sementara, Rencana Tata Ruang itu sendiri dibedakan dalam tiga bentuk: Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi/Dati I, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Dati II. Pengkategorian ini secara eksplisit mengisyaratkan bahwa wewenang dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional berada pada Pemerintah Pusat. Sedangkan penyusunan dua Rencana Tata Ruang yang terakhir dilakukan oleh Pemerintah Propinsi/Dati dan Kabupaten/Dati II. Dengan kata lain, ini berarti secara legal formal wewenang untuk menyusun dua Rencana Tata

1 Lihat Penjelasan ayat 2(4), Undang-undang No. 5 Tahun 1960.

(4)

Ruang yang terakhir telah di desentralisasikan kepada Pemerintah Daerah.3 Tetapi perlu dicatat, pembagaian wewenang berdasarkan struktur pemerintahan tersebut bukan berarti memberi otonomi penuh kepada Pemerintah Daerah untuk menyusun Rencana Tata Ruang-nya sendiri. Pada Ayat 20, 21 dan 22 secara tegas disebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi/Dati I harus mewakili Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Sementara Rencana Tata Ruang Wilah Kabupaten/Dati II harus mencerminkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi/Dati I. Pada bagian lain juga disebutkan: Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi/Dati I dan Kabupaten/Dati II ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda), namun Perda yang telah ditetapkan tersebut harus mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri.

Setelah mengikuti ulasan secara singkat tentang dinamika pengaturan Rencana Tata Ruang dan Tata Guna Tanah di atas, dapat disimpulkan bahwa secara formal sejak tahun 1987 wewenang dalam penyusunan Rencana Tata Ruang dan Tata Guna Tanah telah didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah. Tetapi ruang lingkup wewenang yang diserahkan terlihat masih sangat dibatasi oleh Pemerintah pusat, sehingga tidak memungkinkan daerah untuk memiliki otonomi yang memadai baik pada tingkat penyusunan maupun pada tingkat pelaksnaannya. Ini terbukti, misalnya saja, kendati wewenang telah diberikan tetapi baik pada tahap penyusunan maupun pelaksanaan Rencana Tata Ruang, Pemerintah Daerah harus mengacu pada Juklak dan Juklis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Pada sisi lain, untuk menunjukkan wewenang dalam penyusunan Rencana Tata Ruang telah diserahkan kepada daerah maka penetapannya dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda). Namun otonomi daerah disini terlihat kurang berarti ketika disebutkan bahwa Perda tentang Rencana Tata Ruang baru berlaku setelah mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apakah pada tingkat praktis (realitas) karakteristik otonomi daerah sesederhana itu ?. Lebih spesifik lagi, apakah wewenang yang di miliki Pemerintah Daerah, atau dengan kata lain otonomi daerah, sesempit seperti yang dikemukan di atas?. Elemen utama dari diskusi pada bagian selanjutnya akan mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk itu, penulis akan menyajikan sebuah studi kasus yang pernah dilakukan di Jawa Barat.

Kasus Bandung Utara : Otonomi Daerah Vs Perjuangan Kepentingan Elit Lokal

Bandung Utara adalah sebuah nama yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menyebut kawasan yang terbentang memanjang di belahan utara kota Bandung. Secara geografis, belahan utara dan timur kawasan Bandung Utara dibatasi oleh garis topografis yang menghubungkan enam gunung yang berada disekitar kawasan tersebut—Gunung Burangrang, Masigit, Gedongan, Sunda, Tangkuban Perahu, dan Gunung Manglayang. Sementara di sebelah Selatan dan Barat, Kawasan Bandung Utara dibatasi oleh apa yang disebut Garis Kontur 750 m di atas permukaan laut4. Bila Bandung Utara di bedakan menurut administrasi pemerintahan, kawasan ini meliputi lebih

kurang sembilan Kecamatan5 yang berada di bawah wilayah administrasi pemerintah Kabupaten/Dati II Bandung, dan lima kecamatan yang berada dibawah wilayah administrasi pemerintahan Kotamadya/Dati II Bandung6.

Peruntukan Lahan di Kawasan Bandung Utara:

Secara historis, sejak masa pemerintahan Belanda Bandung Utara telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Setidaknya ada dua alasan utama mengapa Pemerintah Belanda, saat itu, menetapkan Bandung Utara sebagai kawasan konservasi. Pertama, karana hutan tropis yang berada dikawasan tersebut dianggap penting sebagai saringan alami bagi polusi udara. Ke-dua, berdasarkan studi hidrologi yang pernah dilakukan oleh Belanda,

3

Lihat Ayat 20, 21, 23, 27 dan 28, UU No. 24 Tahun 1992. Lebih jauh, pada penjelesan Ayat 19, disebutkan: karena Rencana Tata Ruang dibedakan menurut hirarkhi administrasi pemerintahan, maka otoritas dalam penyusunan dan pelaksanaannya juga dibedakan berdasarkan struktur pemerintahan.

4

Lihat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 181 Tahun 1982.

5 Kecamatan Cikalong Wetan, Padalarang, Cisarua, Ngamprah, Cimahi Utara, Cimahi Tengah, Lembang, Cicadas, dan Kecamatan Ujung Berung.

(5)

menunjukan kawasan Bandung Utara, utamanya yang berlokasi di daerah perbukitan, merupakan sumber utama dari air bawah tanah untuk konsumsi masyarakat Bandung dan sekitarnya (Kunto, 1986:106-137).7 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Geyh (1990). Studi isotop yang dilakukannya menunjukkan bahwa air bawah tanah yang dikonsumsi oleh masyarakat Bandung dan sekitarrnya sebahagian besar berasal dari daerah perbukitan yang berada di kawasan Bandung Utara. Utamanya dari daerah-daerah yang berlokasi pada ketinggian antara 1050 s/d 1300 m diatas permukaan laut.

Setelah Indonesia merdeka, walau belum ada peraturan pemerintah yang secara resmi mengatur penggunaan lahan di Bandung Utara, tetapi fungsi sebagai kawasan konservasi masih tetap dipertahankan. Tetapi kecenderungan lain terjadi pada akhir tahun 1970an, dimana saat itu salah satu Universitas Pemerintah yang berlokasi di Bandung mengajukan proposal untuk pembangunan komplek perumahan dosen di lokasi yang termasuk pada kawasan Bandung Utara. Proposal yang diajukan ini disetujui oleh Pemerintah Daerah (Gubernur), yang kemudian telah memunculkan kritik baik dari kalangan akademisi maupun dari masyarakat umum. Maraknya kritik atas pembangunan komplek dosen tersebut, telah mendorong Pemerintah Daerah (Propinsi) untuk mengatur kembali tata guna tanah di kawasan Bandung Utara.

Faktor lain yang telah mendorong Pemerintah Daerah untuk melindungi Bandung Utara adalah, untuk memenangkan proyek Bandung Water Supply yang ditawarkan oleh permerintah Jerman. Proyek ini mensyaratkan agar Pemda melindungi lokasi-lokasi yang telah di identifikasi sebagai sumber utama dari air bawah tanah.8 Akhirnya, pada awal tahun 1981 pemerintah Propinsi/Dati I membentuk sebuah tim yang disebut Kelompok Kerja Penyusun Rencana Terperinci Pengembangan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara.9 Setalah melakukan studi selama lebih kurang

satu tahun, pada Oktober 1982 Tim menyerahkan laporan akhir kepada Gubernur Jawa Barat, yang kemudian telah dijadikan sebagai bahan utama bagi Gubernur untuk menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 181 Tahun 1982, tentang Pengaturan Tata Guna Tanah di Kawasan Bandung Utara.

Berdasarkan SK Gubernur No. 181 Tahun 1982, peruntukan lahan di Bandung Utara dibedakan dalam tiga kategori: Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Pertanian Tanaman Keras dan Kawasan Pertanian Non-Tanaman Keras. Kriteria yang digunakan dalam penetapan tiga kawasan tersebut antara lain: ketinggian dari permukaan laut, kemiringan tanah, dan sensitivitas terhadap bahaya tanah longsor. Berdasarkan tiga kreteria ini Kawasan Hutan Lindung adalah lokasi-lokasi terletak pada ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan tanah lebih dari 25%, dan sangat sensitif terhadap bahaya tanah longsor. Pada Kawasan ini, segala bentuk kegiatan pembangunan tidak diizinkan, karena memang difungsikan sebagai daerah konservasi sumber air bawah tanah.10

Echo dari SK Gubernur 181 Tahun 1982, rupanya lebih banyak bergema di atas kertas daripada dalam realitas. Hanya selang empat tahun setelah di terbitkan, pada bulan Desember 1986, pemerintah Propinsi menyetujui sebuh proposal yang diajukan oleh seorang Devoloper untuk pembangunan sebuah komplek real estate di lokasi yang termasuk pada kawasan Bandung Utara. Ini merupakan titik awal dari Bandung Utara di buka untuk komplek perumahan real estate. Pada beberapa tahun kemudian, jumlah komplek perumahan real estate di kawasan ini telah melonjak begitu cepat. Berdasarakan data yang dihimpun oleh Bappeda Propinsi/Dati I Jawa Barat, sampai pada akhir tahun 1993, jumlah Izin Lokasi untuk pembangunan perumahan real estate yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah (Propinsi) adalah

7 Informasi ini juga dibenarkan oleh Soewarno Darsoprajitno seorang ahli geologi (wawancara pada bulan Mei 1995). 8 Wawancara dengan Tarmidi (bukan nama sesungguhnya), pada tanggal 30 Juni 1995

9

Team ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi/Dati I Jawa Barat No. 146 Tahun 1981, yang beranggotakan wakil dari beberapa instasi terkait di tambah sejumlah ilmuan dari dua universitas pemerintah yang berlokasi di Bandung.

10

(6)

sekitar 43 buah11. Ukuran dari lahan yang diajukan oleh masing-masing developer terlihat cukup bervariasi, berkisar antara 0,65 Ha m s/d 200 Ha. Namun secara keseluruhan, data Bappeda Provinsi menunjukkan, sampai dengan akhir tahun 1993, luas lokasi yang tealah di setujuai oleh Pemerintaha Daerah untuk pembangunan perumahan sekitar 2.150 Ha.

Suatu lonjakan yang cukup dramatis terjadi antara tahun 1993 dan 1994. Data Bapeda Propinsi/Dati I Jawa Barat mengindikasikan bahwa dalam kurun waktu ini jumlah Izin Lokasi yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah untuk pembangunan komplek perumahan sebanyak lebih kurang 48 buah, yang melingkupi area lebih kurang sekitar 2.620 Ha. Ini berarti dalam kurun waktu hanya satu tahun telah terjadi lonjakan jumlah Izin Lokasi lebih dari 100% bila dibanding dengan jumlah Izin Lokasi yang disetujui oleh Pemerintah Daerah dalam kurun waktu antara tahun 1983 (setelah SK Gubernur No. 181 diterbitkan) sampai dengan Desember 1993. Salah satu faktor penyebab lonjakan ini

terjadi adalah karena sejak di canangkannya Pakto ’93, Daerah Tingkat II (dalam hal ini Kabupaten dan Kotamadya Bandung) diberi wewenang untuk menerbitkan Izin Lokasi.

Bila Izin Lokasi untuk pembangunan perumahan real estate di Bandung Utara tesebut dijumlah secara keseluruhan, maka akan terlihat, sampai dengan akhir tahun 1994, Izin Lokasi yang telah disetujui oleh Pemerintah adalah sebanyak lebih kurang 91 buah. Sebagai konsekwensinya, kawasan Bandung Utara akan kehilangan lebih kurang 4.470 Ha guna menyerap kegiatan pembangunan komplek perumahan mewah tersebut. Fenomena ini kemudian telah mendorong penulis untuk membangun sebuah pertanyaan: Apa sebenarnya kepentingan Pemerintah Daerah sehingga telah mengizinkan para developer perumahan mewah (real estate) untuk mengembangkan kegiatan mereka di kawasan Bandung Utara ?.

Memahami kepentingan Pemerintah Daerah dalam kaitannya dengan kasus Bandung Utara memang cukup rumit. Namun demikian, untuk kepentingan analisis, secara umum kepentingan Pemerintah Daerah tersebut dapat dibedakan dalam dua kategori: kepentingan publik (public interest) dan kepentingan individu (individual interest). Bentuk dari kepentingan kategori pertama, relatif tidak terlalu sulit untuk diidentifikasi. Antara lain; kepentingan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam pembangunan perumahan, dan untuk mendukung program pemerintah pusat dalam pemenuhan stock perumahan nasional.12

Mengidentifikasi bentuk kepentingan kategori ke-dua, individual interest, terasa lebih rumit dibanding dengan kategori pertama, public interest. Ini tidak saja karena kepentingan kategori ke-dua tersebut lebih banyak bicara tentang kepentingan individu elit lokal, tetapi bentuk dari kepentingan individu itu sendiri sangat komplek, kait-mengait satu dengan lainnya, dan sangat relatif dan kontek tual sifatnya. Itulah sebabnya, upaya untuk menjelaskan bentuk kepentingan individu sering menjerat para pengamat untuk melakukan simplifikasi permasalahan. Sadar akan bahanya ini, ketika malakukan penelitian, penulis menfokuskan perhatian hanya pada bentuk-bentuk kepentingan individu yang relatif dapat diamati dan ditelesuri kebenarannya.

Dari hasil temuan di lapangan, sedikitnya ada tiga bentuk kepentingan individu elit lokal yang telah ikut mewarnai kebijaksanaan Pemerintah Daerah mengizinkan para real estate developer merambah kawasan Bandung Utara: Kepentingan Ekonomi (seeking economic ends), Kepentingan untuk Pengembangan Karir (Career Advancement), dan Kepentingan untuk Sponsor Politik (political sponsorship). Namun pada kesempatan ini, penulis hanya akan membahas satu diantara kepentingan individu elit lokal tersebut—Kepentingan Ekonomi.

11 Lihat Bappeda Propinsi/Dati I Jawa Barat (1995), Daftar Surat Keputusan Ijin Lokasi (Pelaksanaan Sebelum dan Sesudah Pakto 93) di Daerah Bandung Bagian Utara s/d Desember 1994). Perlu diketahui bahwa sejak dikeluarkannya Pakto 93, otoritas untuk mengeluarkan Izin Lokasi telah di limpahkan dari Pemerintah Daerah Tk. I ke Dati II. Konsekwensinya, sejak itu segala urusan yang berhubungan dengan permohonan Izin Lokasi untuk kawasan Bandung Utara, telah dikelola oleh Kabupaten/Dati II Bandung dan Kotamadya/Dati II Bandung.

(7)

Menulis pada tahun 1988, Robison mengatakan, one of the force factors underlying the alliances between Indonesian politico-bureaucrats and individual capitalists is because the client capitalists gave the politico-bureucrats acces to revenue for political dan personal needs, as well as entry to world of corporate capitalism as shareholders and investors (Robison, 1988:65). Ini bukan berarti apa yang dikatakan oleh Robison di atas secara nyata telah menjadi karakteristik hubungan bisnis elit lokal di Jawa Barat. Apa yang mungkin dapat dijelaskan oleh temuan-temuan berikut adalah: keinginan elit lokal untuk mengakumulasi keuntungan ekonmi telah menjadi salah satu faktor yang memotivasi mereka untuk membangun aliansi dengan para developer real estate di Bandung Utara.

Bentuk dari ‘imbalan’ yang diperoleh para elit lokal tentunya berbeda satu dengan yang lain, karena ia sangat ditentukan oleh tingkatan otoritas yang dimiliki, khususnya dalam mengontrol Izin Lokasi. Studi mengisayaratkan, bagi mereka yang berada pada posisi menengah-bawah (lower-middle) dalam strata birokrasi dan tidak memiliki otoritas yang cukup besar dalam mengontrol Izin Lokasi, biasanya mendapatkan keuntungan ekonomi dari para developer dalam bentuk tambahan pendapatan, yang sering disebut dengan istilah uang tol. Imbalan ini umumnya diberikan oleh para developer untuk mempercepat proses mendapatkan Izin Lokasi13.

Berbeda halnya dengan para elit yang berada pada posisi menengah-atas (upper-middle) dalam stuktur birokrasi lokal. Karena mereka memiliki otoritas yang besar dalam mengontrol Izin Lokasi, atau dengan kata lain sebagai penentu dalam penerbitan Izin Lokasi, maka para developer biasanya tidak segan-segan untuk menawarkan ‘imbalan’ yang lebih besar. Misalnya saja memberi kesempatan sebagai shareholder pada perusahan real estate yang bersangkutan.14

Bentuk lain dari kepentingan ekonomi elit lokal adalah membantu bisnis keluarga (family business). Barangkali kasus Rama Sangkuni (bukan nama asli), seorang mantan pejabat tinggi daerah, merupakan contoh yang paling menarik untuk menggambarkan bagaimana bentuk kepentingan di atas telah diimplementasikan pada tingkat realitas. Putra Rama Sangkuni aktif dalam bisnis real estate, yang secara kebetulan memiliki proyek perumahan di Bandung Utara. Kendati keterlibatan Rama Sangkuni (ketika masih menjadi pejabat) dalam bisnis keluarga tidak dapat dibuktikan secara nyata, namun banyak kalangan menyebutkan bahwa dengan otoritas yang dimiliki, Sangkuni telah ikut andil dalam meng-gol-kan proyek putranya di Bandung Utara15. Fenomena ini seharusnya tidak mengejukkan, karena seperti telah dikemukakan Robison (1988:20), the strength of Indonesia politico-bureaucrats’ family businesses seems to be rooted on their access to finance and government control over certain concessions. Apa yang menarik dari kasus Rama Sangkuni adalah---ternyata kecenderungan yang Robison temukan di tingkat nasional (Pusat) juga terjadi di tingkat daerah.

Setelah mengikuti uraian di atas, kiranya cukup jelas bahwa kebijaksanaan Pemerintah Daerah mengizinkan kawasan Bandung Utara dibuka untuk lokasi perumahan real estate tidak saja dimotivasi oleh keinginan untuk pencapaian kepentingan publik—misalnya untuk memenuhi stock perumahan nasional, tetapi juga telah dimotivasi oleh sejumlah kepentingan individu elit lokal. Pada konteks inilah, menurut hemat penulis, kita harus mengapresiasi pernyataan Grindle (1989) yang menyebutkan:

[B]oth politicians and bureaucrats remain individual self-seekers. …[I]n general their motives are to maximise their hold on power and their own economic welfare. As a consequence, both politicians and bureaucrats will, therefore, be motivated to use government resources to rewards those who support their hold on power or, to seek maximising their self-interests, either by selling the resources to whoever offers the hight price, or by allocating it to preferred clients (Grindle, 1989:18-19)

13

Wawancara dengan Sunjaya (bukan nama asli), salah seorang Kepala Seksi di Pemda Dati I Jawa Barat. Wawancara dilakukan padatanggal 1 Juni 1995.

(8)

Generalisasi:

Apa yang dapat dijelaskan oleh Kasus Bandung Utara tentang realitas otonomi daerah ?. Penulis sangat menyadari, adalah suatu simplifikasi bila membangun sebuah proposisi tentang realitas otonomi daerah di Indonesia dengan hanya berlandaskan sebuah studi kasus. Untuk mampu membangun kesimpulan tentang realitas otonomi daerah di Indonesia, tentunya membutuhkan studi yang lebih besar, dengan meneliti lebih banyak lagi isu desentralisasi, dan dilakukan di beberapa Pemerintah Daerah. Apa yang mungkin dapat dijelaskan oleh Kasus Bandung Utara, tidak lebih, hanya sebuah refleksi (percikan) dari realitas otonomi daerah di Indonesia.

Dari kasus Bandung Utara, setidaknya ada dua poin penting yang dapat dikemukakan sehubungan dengan realitas otonomi daerah di Indonesia. Pertama, suatu kenyataan bahwa walaupun secara legal formal wewenang yang diberikan ke Pemerintah Daerah sangat dibatasi oleh Pemerintah Pusat, pada tingkat realitas rupanya Pemerintah Daerah memiliki kapasitas untuk menemukan ruang guna mendapatkan otonomi yang lebih besar. Tetapi, kapasitas Pemerintah Daerah ini lebih banyak dihasilkan dari kemampuan elit lokal untuk memaksimalkan kelemahan-kelemahan dari aturan formal yang ada. Oleh karenanya, penulis lebih suka menyebut fenomena ini sebagai hidden autonomy.

Bagaimana hidden autonomy telah diemplementasikan secara praktis, dapat terlihat, misalnya saja, ketika Pemerintah Daerah Tk. I mengizinkan Bandung Utara dibuka untuk perumahan real estate, walaupun menurut SK. Gubernur 181/1982, Bandung Utara telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sumber air bawah tanah. Contoh lain adalah ketika Pemerintah Daerah Tk. I menyikapi intervensi Pemerintah Pusat dalam penyelesaian kasus Bandung Utara. Kendati Presiden Suharto sendiri telah menyampaikan semacam peringatan kepada Pemerintah Daerah untuk menarik kembali Izin Lokasi bagi para developer yang melanggar dan meminta departemen terkait untuk ikut membantu menyelesaikan kasus Bandung Utara, tetapi dalam kenyataan hampir dipastikan tidak ada Izin Lokasi yang dicabut kembali, dan penyelesaian kasus Bandung Utara pun akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah.

Poin ke-dua yang penting untuk digaris bawahi dari kasus Bandung Utara adalah, suatu kenyataan bahwa otonomi daerah telah menciptakan ruangan bagi perjuangan kepentingan individu elit daerah. Kecenderungan ini terlihat cukup jelas dari terlibatnya sejumlah kepentingan ekonomi elit lokal dibalik keputusan Pemerintah Daerah megizinkan kawasan konservasi di Bandung Utara untuk lokasi pembangunan perumahan real estate. Perjuangan kepentingan individu juga telah mendasari munculnya konflik antar elit lokal (antara elit Dati I dan Dati II) setelah diluncurkannya Pakto 93.

Secara keseluruhan, dapat ditarik kesimpulan bahwa karateristik dari desentralisasi dan otonomi daerah jauh lebih komplek dari apa yang dipahami sejauh ini. Pada tingkat realitas, seperti di indikasikan oleh kasus Bandung Utara, ternyata, implementasi otonomi daerah, lebih banyak diwarnai oleh tawar-menawar (bargaining) dan koalisi antara elit lokal dan aktor-aktor tertentu di dalam masyarakat. Lebih spesifik, kasus Bandung Utara mengindikasikan, kebijaksanaan desentaralisasi dan otonomi daerah, tidak diragukan, banyak di pengaruhi oleh kepentingan pemerintah pusat. Tetapi pada tingkat pelaksanaannya (realitas), otonomi daerah lebih banyak ditentukan oleh persepsi elit daerah, tujuan yang mereka rumuskan, dan cara-cara terbaik untuk pencapain tujuan tersebut.

Kunci untuk memahami fenenomena ini terletak pada apa yang Bate (1981:8) sebut dengan the relative capacity of local actors to make autonomous choices, yang tampaknya kurang mendapat perhatian dari para analis sebelumnya. Perlu ditegaskan, proposisi di atas bukan sama sekali bermaksud untuk meng-klaim bahwa temuan-temuan para analis sebelumnya adalah miss-leading. Tetapi, tidak lebih hanya mengatakan bahwa para analis sebelumnya cenderung memberi perhatian kecil terhadap pentingnya memahami prilaku (behaviour) elit lokal dalam mengamati realitas otonomi daerah.

(9)

meneliti sumber-sumber yang dimiliki untuk melakukan hal tersebut; dan mengamati lebih dekat bagaimana sumber-sumber tersebut telah diakumulasi, di mobilisasi dan digunakan.

Referensi:

Alagappa, Muthiah (1995) Political Legitimacy in Southeast Asia, California: Stanford University Press.

Bappeda Propinsi Dati I Jawa Barat (1982) Laporan Dalam Rangka Rencana Terperinci Pengembangan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara.

Bappeda Propinsi/Dati I Jawa Barat (1994) Daftar Surat Keputusan Izin Lokasi (Sebelum dan Sesudah Pakto

’93) di Daerah Bandung Bagian Utara (unpublished data).

Bates, R (1981) Market and State in Tropical Africa, Berkeley, CA: University of California Press.

Cheema, G.S. and Rondinelli, G.A. (eds) (1983) Decentralisation and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Beverly Hills: Sage.

Colander, D.C. (1984) Introduction, in David C. (ed.) Neoclassical Political Economy, Cambridge: Ballinger.

Conyer, D (1986) Decentralisation and Development: A Framework for Analysis, Community Development Journal, Vol. 21, no.2.

–––––––– (1984) Decentralization and Development: a Review of the Literature, Public Administration and Development, Vol. 4.

–––––––– (1983) Decentralization: The Latest Fashion in Development Administration? Public Administration and Development, Vol. 3.

Fredman, H.J (1983) Decentralized Development in Asia, dalam Cheema, G.S. and Rondinelli, D.A. (eds) (1983) Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Beverly Hills: Sage.

Geyh, M.A., (1990) Isotopic Study in the Bandung Basin. Indonesia, Bandung; Project Report No. 10, Directorate of Environmental Geology in association with the German Environmental Geology Advisory Team for Indonesia.

Grindle, M.S. (1996) Challenging the State: Crisis and Innovation in Latin America and Africa, Cambridge: Cambridge University Press.

––––––––(1989) The new political economy: Positive economics and negative politics, Working Paper, Country Economic Department, The World Bank, WPS 304.

––––––––(ed) (1980) Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton: Princeton University Press

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 1988, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987, in Biro Bina Otonomi Daerah (1989) Kumpullan Peraturan tentang Rencana Tata Ruang, Jawa Barat: Sekretarian Wilayah/Daerah Tingkat I.

King, D.Y. (1988) Civil Service Policies in Indonesia: an Obstacle to Decentralisation? Public Administration and Development, Vol. 8, No.3.

Kuntjoro-Jakti, D. (1981) The political economy of development: The case of Indonesia under the New Order Government, 1966-1978, Berkeley: University of California (PhD Thesis).

Kunto, H. (1986) Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: PT. Granesia.

(10)

–––––––– (1988) Politics and Culture in Indonesia. Ann Arbor: The Center for Political Studies, Institute for Social Research, University of Michigan.

–––––––– (1987) Indonesia in 1986: Contending with Scarcity, Asian Survey, Vol. XXVII, no.2 (February). MacIntyre, A. (1994) Business and Government in Industrialising Asia. NSW: Allen & Unwin.

–––––––– (1992) Business and Politics in Indonesia, New South Wales: Asian Studies Association of Australia in association with Allen & Unwin.

Mawhood P. (ed) (1987) Lokal Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa, Chicheser: John Wiley & Sons.

McVey, R. (1992) Southeast Asian Capitalists, New York: Cornell University.

Morfit, M. (1986) Strengthening the Capacities of Lokal Government: Policies and Constraints, dalam MacAndrew (ed) Central Government and Development in Indonesia, Singapore: Singapore University Press.

Mouzelis, N.P. (1975) Organization and Bureaucracy: An Analysis of Modern Theories, London: Routledge & Kegan Paul.

Pabottingi, Mochtar (1995) Indonesia: Historicising the New Order’s Legitimacy Dilemma, dalam Alagappa, M. (1995) Political Legitimacy in Southeast Asia, California: Stanford University Press.

Parson, T. et al. (eds) (1961) Theories of Sociology, Glencoe: The Free Press.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1987, tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, in Biro Bina Otonomi Daerah (1989) Kumpullan Peraturan tentang Rencana Tata Ruang, Jawa Barat: Sekretarian Wilayah/Daerah Tingkat I.

Robison, R. (1988) Authoritarian States, Capital-Owning Classes and the Politics of Newly Industrialising Countries: the Case of Indonesia, World Politics, Vol. XLI, No.1, October.

–––––––– (1986) Indonesia: The Rise of Capital, Sydney: Allen & Unwin.

–––––––– (1985) Class, Capital and the State in New Order, Indonesia, dalam Higgott R. & Robison, R. (eds) Southeast Asia: Essay in the Political Economy of Structural Change, London: Routledge & Kegan Paul.

Rondinelli, D.A. (1990) Decentralisation, Territorial Power and the State: A Critical Response, Development and Change, Vol. 21 (pp.491-500).

–––––––– (1983) Implementing Decentralization Programmes in Asia: a Comparative Analysis, Public Administration and Development, Vol. 3.

Ruland, J. (1992) Urban Development in Southeast Asia: Regional Cities and Local Government, Boulder: Westview Press.

Smith, B.C. (1986) Spatial Ambiguities: Decentralisation within the State, Public Administration and Development, Vol. 6 (pp.455-465).

––––––––(1985) Decentralization: The Territorial Dimension of the State, London: George Allen & Unwin. ---(1993) Choices in the Design of Decentralisation, London: Management and Training Services Division, COMMONWEALTH SECRETARIAT.

Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 181.1/SK.1624-Bapp/1982, Tanggal 5 November 1982, tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara.

(11)

Undang-Undang Penataan Ruang 1992, Jakarta: Cv. Eko Jaya.

Referensi

Dokumen terkait

Produsen menawarkan produk- produk dengan harga terjangkau, barang yang menarik, serta promosi menarik hal ini dapat membuat mahasiswi mudah terpengaruh dengan promosi yang

Menurut kelompok ini untuk masuknya tanggal satu bulan qamariyah, posisi hilal harus sudah berada diatas ufuk hakiki. Yang dimaksud dengan ufuk hakiki adalah

[r]

3 Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru bisa mengembangkan pendidikan sesuai dengan kondisi siswa dan lingkungan sekolah yang ada7. 2 Dede Rosyada,

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

[r]

The teacher should use this technique in teaching learning process to reach the target of writing class; (2) teacher should be active to involve his students in

Lahan dari pabrik eksisting pabrik yang digunakan untuk bangunan café ini merupakan sisi lahan yang dekat dengan jalan pribadi milik pabrik sebelah, sehingga