14 A. Pemberdayaan
1. Pengertian Pemberdayaan
Berbagai macam definisi pemberdayaan (empowerment) dikemukakan oleh para ahli, sebagaimana yang dikutip oleh Rokhman (2003) berikut ini. Menurut Noe (1994), pemberdayaan adalah merupakan pemberian tanggung jawab dan wewenang terhadap pekerja untuk mengambil keputusan menyangkut semua pengembangan produk dan pengambilan keputusan. Khan (1997) mendefinisikan pemberdayaan sebagai hubungan personal yang berkelanjutan untuk membangun kepercayaan antara karyawan dan manajemen. Lebih lanjut Mowen (dalam Suryono, 1999) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah pemberian wewenang kepada karyawan untuk merencanakan, mengendalikan, dan membuat keputusan tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa harus mendapat otorisasi secara eksplisit dari manajer diatasnya.
memiliki efek langsung terhadap kehidupannya. Sejalan dengan Spreitzer, Mildawani (1999) mendeskripsikan pemberdayaan sebagai proses memotivasi diri untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki karyawan sehingga mampu untuk melakukan sesuatu secara mandiri
tetapi disertai kemampuan untuk
memertanggungjawabkan tindakan-tindakannya. Kanugo (dalam Spreitzer, 1995) mendefinisikan pemberdayaan sebagai proses untuk meningkatkan perasaan self-efficacy diantara anggota-anggota organisasi melalui identifikasi yang mendorong ketidakberdayaan dan menyingkirkan hal-hal tersebut melalui praktek organisasi formal dan teknik-teknik informal dengan menyediakan informasi.
Berdasarkan paparan mengenai definisi pemberdayaan di atas penulis mengacu pada pengertian pemberdayaan menurut Spreitzer (1995) yang mendefinisikan pemberdayaan suatu proses motivasi intrinsik dimana individu memunyai kekuasaan untuk berpartisipasi secara langsung untuk mengendalikan dan memengaruhi suatu kejadian yang memiliki efek langsung terhadap kehidupannya.
2. Dimensi Pemberdayaan
memunyai kekuasaan untuk berpartisipasi secara langsung untuk mengendalikan dan memengaruhi suatu kejadian yang memiliki efek langsung terhadap kehidupannya. Spreitzer mengungkapkan bahwa dimensi pemberdayaan meliputi empat hal, yaitu :
a. Meaning (pemaknaan), merupakan nilai dari tujuan dan maksud kerja yang dinilai dari dalam hubungannya dengan standar-standar dan ideal-ideal pada diri individu itu sendiri. Pemaknaan merupakan kesempatan bagi karyawan merasakan bahwa mereka melakukan tugas yang berharga, karena merasa menjadi bagian dari misi yang penting dalam skema organisasi yang lebih besar. Karyawan merasa dirinya berarti dengan melakukan tugas-tugas yang berharga. Perasaan kebermaknaan adalah perasaan karyawan yang merasakan bahwa tugasnya sebanding dengan waktu dan energi yang telah dikeluarkan. Pemaknaan melibatkan kepastian antara persyaratan peran kerja dan keyakinan, nilai–nilai, dan perilaku-perilaku.
b. Competence (kompetensi), mengacu pada keyakinan
belajar dan berkembang mengatasi tantangan baru. kompetensi mewakili keyakinan, penguasaan personal, atau usaha-kinerja.
c. Self-Determination (determinasi diri), merupakan
perasaan yang ada pada diri individu untuk memilih berinisiatif dan mengatur tindakan-tindakan. Karyawan memiliki perasaan bahwa dirinya memiliki pilihan. Pilihan berarti dapat melakukan pekerjaan secara bijaksana dengan suatu pendekatan kerja dengan suatu pendekatan kerja tertentu. Dengan kata lain, karyawan dapat mengatakan penilaiannya sendiri dan bertindak sesuai dengan pemahamannya dalam menyelesaikan tugasnya. Determinasi diri mencerminkan permulaan dan kelanjutan proses-proses dan perilaku kerja seperti membuat keputusan tentang metode-metode, langkah-langkah dan upaya-upaya kerja.
d. Impact (dampak), merupakan tingkat yang dirasakan individu dimana perilaku mereka membawa suatu perbedaan. Karyawan dengan sense of impact berarti percaya bahwa mereka dapat mempengaruhi unit kerjanya dan gagasan-gagasannya di dengar orang lain.
a) Persepsi kontrol (Perceived Control)
Persepsi kontrol merupakan kepercayaan tentang otoritas, pembuatan keputusan, ketersediaan sumber daya, dan otonomi dalam rencana kerja. Karyawan yang diberdayakan akan merasa dapat mengontrol lingkungan mereka.
b) Persepsi kompetensi (Percived Competence)
Persepsi kompetensi mengacu pada efikasi diri
(self-efficacy) yaitu keyakinan seseorang dalam
memobilisasi motivasi, sumber-sumber kognitif, dan latihan tindakan yang dibutuhkan saat menemui permintaan situasional serta kepercayaan diri dengan menghormati aturan yang ada: individu memiliki keyakinan bahwa dirinya bisa berhasil memenuhi tugas yang diberikan sebaik mereka menghadapi tantangan yang bersifat tidak rutin (non-routin) yang muncul saat bekerja.
c) Internalisasi tujuan (Goal Internalization)
Internalisasi tujuan merepresentasikan kemungkinan kekuatan dari gagasan seperti nilai penyebab, misi, atau visi untuk masa depan. Individu percaya dan menghargai tujuan dari organisasi dan siap untuk bertindak sesuai keinginan perusahaan.
(1995) yaitu : meaning, competence, self determination, dan impact. Hal ini dikarenakan dimensi yang dipaparkan
oleh Menon (2001), merupakan dimensi modifikasi milik spreitzer atau dapat dikatakan bahwa dimensi tersebut mengacu pada dimensi milik Spreitzer. Selain itu, sebagian besar penelitian mengenai pemberdayaan karyawan menggunakan dimensi milik Spreitzer sehingga sudah terbukti kevalidannya.
3. Faktor-faktor yang memengaruhi pemberdayaan Banyak faktor yang mendorong suatu organisasi untuk melakukan pemberdayaan. Pemberdayaan adalah suatu proses yang melibatkan pemimpin dan anggota organisasi sebagai partner dalam menentukan kegagalan atau kesuksesan organisasi (Suryadi, 2006). Nugroho (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam analisis pemberdayaan dipengaruhi oleh faktor internal dan organisasional. Faktor-faktor tersebut meliputi Locus Of control, tekanan, pendidikan, kepemimpinan, kekuatan
kelompok, kepercayaan, dan budaya organisasi. Selanjutnya Hersanti (2008), juga mendapatkan hasil bahwa budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap pemberdayaan karyawan.
Ambiguity, dan Kepemimpinan terhadap Pemberdayaan
Karyawan untuk Meningkatkan Komitmen Organisasional diketahui bahwa locus of control, kepemimpinan, dan komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap pemberdayaan, sedangkan role ambiguity tidak berpengaruh terhadap pemberdayaan.
Clutterbuck dan Kernaghan (2003) menyebutkan bahwa bentuk dan budaya organisasi mempengaruhi proses penerapan pemberdayaan. Hatami (2012) menemukan bahwa pemberdayaan karyawan berhubungan secara signifikan dengan budaya organisasi. Lebih lanjut Hatami mengatakan bahwa karyawan yang diberdayakan akan menunjukkan komunikasi yang lebih baik dan budaya organisasi yang lebih kuat. Sedangkan Siegall (dalam Lashley, 2001) mengatakan bahwa budaya organisasi yang sejalan dengan norma – norma yang ada pada anggota organisasi akan menimbulkan dampak positif terhadap pemberdayaan. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor penting yang memengaruhi pemberdayaan adalah budaya organisasi.
B. Budaya Organisasi
1. Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah suatu kerangka kognitif yag berisi sikap, nilai, norma perilaku, dan harapan yang diyakini bersama oleh anggota-anggota organisasi Baron (2003). Sejalan dengan pemikiran tersebut Gareth (dalam Wirawan 2007) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat nilai bersama yang mengontrol interaksi setiap anggota organisasi juga dengan para pemasok, pelanggan, dan pihak-pihak lain di luar organisasi.
Glaser (1987) mendefinisikan budaya organisasi sebagai bagian dari pola-pola keyakinan, simbol, ritual, dan mitos yang berkembang seiring dengan waktu dan bekerja sebagai perekat yang menyatukan organisasi bersama-sama. Lebih lanjut Noe (1992) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah sebuah sistem dari berbagai arti nilai, kepercayaan, dan kebiasaan di antara anggota organisasi yang berinteraksi dengan standar formal untuk menghasilkan norma perilaku. Menurut Denison (1990), budaya organisasi menunjukkan suatu nilai-nilai, kepercayaan dan prinsip-prinsip yang mendasari suatu sistem manajemen organisasi . Secara
Miller (1987) mendefinisikan budaya organisasi sebagai kumpulan nilai yang dianut dalam organisasi dan mendasari bagaimana mengelola organisasi tersebut. Lebih lanjut Miller menambahkan bahwa nilai-nilai tersebut merupakan keyakinan yang dipegang teguh dan kadang-kadang tidak terungkap. Davis (dalam Wirawan, 2007) mengemukakan bahwa budaya organisasi merupakan pola kepercayaan dan harapan yang dianut oleh anggota organsasi. Kepercayaan dan harapan tersebut menghasilkan nilai-nilai yang dengan kuat membentuk perilaku para individu dan kelompok-kelompok anggota organisasi.
Berdasarkan paparan di atas maka penulis mengacu pada pengertian budaya organisasi menurut Glaser (1987) mendefinisikan budaya orgaisasi sebagai bagian dari pola-pola keyakinan, simbol, ritual, dan mitos yang berkembang seiring dengan waktu dan bekerja sebagai perekat yang menyatukan organisasi bersama-sama.
2. Dimensi Budaya Organisasi
a. Teamwork (kerjasama)
Karyawan memandang kelompok kerja mereka beroperasi sebagai sebuah tim di mana kepercayaan tinggi dan orang-orang diperlakukan secara adil dan konsisten. Manajemen dan karyawan dianggap memiliki hubungan kerja yang produktif. Mendengarkan satu sama lain, konstruktif menghadapi masalah bersama-sama.
b. Morale (moral)
Karyawan merasa termotivasi untuk menjadi efisien dan produktif, dan mengeluarkan upaya terbaik mereka. Karyawan merasa dihormati oleh orang-orang dalam kelompok kerja mereka dan seluruh organisasi c. Information Flow (arus informasi)
Karyawan mendapatkan cukup informasi agar menjadi efisien dan produktif, jika mereka tahu mengapa perubahan dibuat, dan sejauh mana mereka tahu apa yang terjadi di luar bagian pekerjaan mereka.
d. Employe Involvement (keterlibatan karyawan)
e. Supervision (Atasan)
Supervision mengacu pada persyaratan dalam
pekerjaan yang dibuat jelas, Seberapa baik atasan mendengarkan karyawan, atasan membiarkan karyawan tahu kapan mereka telah melakukan pekerjaan yang baik dan memberikan kritik dengan cara yang positif. Seberapa baik pengawas mendelegasikan tanggung jawab.
f. Meetings (pertemuan)
Mengacu pada efektivitas dan efisiensi pertemuan. Keputusan yang dibuat pada pertemuan bisa dimasukkan ke dalam tindakan, setiap orang mengambil bagian dalam diskusi pada pertemuan dan melakukan diskusi-diskusi sesuai jalur. Pertemuan dipandang sebagai waktu yang dihabiskan dengan baik.
Dalam penelitiannya, Denison (1995) mengemukakan empat dimensi budaya organisasi. Keempat dimensi tersebut yaitu :
a. Involvement (keterlibatan) yaitu menyangkut
mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di semua level. Tingkat keterlibatan dan partisipasi yang tinggi akan menciptakan rasa kepemilikan dan tanggung jawab, sehingga diperoleh komitmen karyawan yang tinggi kepada organisasi.
b. Consistency (konsistensi) yakni dimana organisasi memiliki aturan-aturan main yang konsisten, terkoordinasi dengan baik, dan terintegrasi dengan baik. Sistem kepercayaan bersama, nilai-nilai, dan simbol-simbol merupakan dasar yang efektif untuk menyamakan konsensus dan mencapai aksi yang terkoordinasi.
c. Adaptability (adaptabilitas) adalah dimana organisasi memiliki orientasi kepada pelanggan, mengambil resiko dan belajar, serta memiliki kemampuan dan pengalaman menciptakan perubahan. Budaya yang adaptif dicirikan oleh organisasi dimana orang-orang berani mengambil resiko, percaya satu sama lain, memiliki pendekatan proaktif untuk kehidupan organisasi, bekerja bersama untuk mengidentifikasi masalah, percaya kepada kemampuan diri sendiri dan kepada kemampuan koleganya, serta memiliki antusiasme untuk melakukan pekerjaan mereka. d. Mission (misi) adalah dimana fungsi dan tujuan
organisasi menyebabkan para karyawan dengan alasan non-ekonomi bersedia untuk menginvestasikan upaya mereka demi kebaikan organisasi, karena adanya harapan karyawan kepada organisasi.
Berdasarkan uraian di atas penulis akan menggunakan dimesi budaya organisasi yang dipaparkan oleh Glaser (2003) sebagai landasan dalam penelitian ini. Dimensi tersebut meliputi teamwork, morale, information flow, employe involvement, supervision, dan meetings. Hal
ini dikarenakan dalam salah satu dimensi milik Denison terdapat sub aspek mengenai pemberdayaan yang merupakan variabel terikat dalam penelitian sehingga peneliti memilih menggunakan dimensi milik Glaser.
3. Fungsi Budaya organisasi
Robbins (2001) mengemukakan bahwa budaya menjalankan fungsi dalam organisasi. Fungsi tersebut adalah :
a. Menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lain.
c. Memermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang. Para karyawan memunyai rasa memiliki, partisipasi, dan rasa tanggung jawab atas kemajuan organisasi.
d. Meningkatkan kemantapan sistem sosial, budaya dalam organisasi tersebut merupakan perekat sosial yang membantu memersatukan organisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan.
e. Mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. Makna bersama yang diberikan oleh suatu budaya memastikan bahwa semua orang diarahkan kea rah yang sama.
Empat fungsi budaya organisasi juga dijelaskan oleh Kinicki (2005), yaitu:
a. Memberikan identitas organisasi kepada karyawannya, budaya memberikan identitas dalam suatu organisasi, kemudian dipromosikan kepada karyawannya. Identitas ini dapat didukung dengan memberikan penghargaan yang mendorong inovasi b. Memermudah komitmen kolektif, salah satu nilai
organisasi dimana para karyawannya bangga menjadi bagian darinya sehingga akan tetap bekerja dalam waktu yang lama.
c. Mempromosikan stabilitas sistem sosial, stabilitas sistem sosial mencerminkan taraf di mana lingkungan kerja dirasakan positif dan mendukung, dan konflik serta perubahan diatur dengan efektif.
d. Membentuk perilaku dengan membantu manajer merasakan keberadaannya. Fungsi budaya ini membantu karyawan memahami mengapa organisasi melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana organisasi bermaksud mencapai tujuan jangka panjangnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa budaya organisasi berfungsi sebagai pembeda atau menciptakan perbedaan antara organisasi yang satu dengan yang lainnya, dengan kata lain budaya organisasi berarti memberikan identitas bagi anggota organisasi.
4. Hubungan Antara Budaya Organisasi dengan Pemberdayaan Karyawan
kehidupannya, dalam hal ini terdapat dimensi – dimensi yang dapat memengaruhi jalannya pemberdayaan. Dimensi tersebut mencakup pemaknaan, kompetensi, determinasi diri, dan yang terakhir adalah dampak (Spreitzer,1995). Lebih lanjut Carlzon (dalam Mildawani, 1999), menggambarkan pemberdayaan sebagai sebuah proses untuk membebaskan seseorang dari struktur atau lingkungan yang kaku. Carlzon mengatakan bahwa proses pemberdayaan mementingkan adanya kebebasan bagi seseorang untuk mengambil sebuah keputusan secara bertanggungjawab. Menurut Noe (1994), pemberdayaan adalah merupakan pemberian tanggung jawab dan wewenang terhadap pekerja untuk mengambil keputusan menyangkut semua pengembangan produk dan pengambilan keputusan. Secara terpisah Gaspersz (1997) mengatakan bahwa memberdayakan karyawan berarti memungkinkan karyawan untuk mencapai kemampuan prestasi tertinggi. Proses pemberdayaan karyawan dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada karyawan untuk membuat lebih banyak keputusan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya.
2001), mengatakan bahwa budaya organisasi yang sejalan dengan norma-norma yang ada pada anggota organisasi akan menimbulkan dampak positif terhadap pemberdayaan.
Budaya organisasi pada umumnya merupakan pernyataan filosofis, dapat difungsikan sebagai tuntutan yang mengikat para karyawan karena dapat diformulasikan secara formal dalam berbagai peraturan dan ketentuan organisasi. Budaya organisasi yang baku dapat menjadi acuan bagi ketentuan dan aturan yang berlaku. Pemimpin dan karyawan secara tidak langsung akan terikat, sehingga membentuk sikap dan perilaku yang sesuai visi, misi, dan strategi organisasi (Moeljono, 2005). Budaya organisasi yang kuat dan adaptif akan menciptakan suasana yang harmonis dan kondusif dalam suatu organisasi. Budaya organisasi yang tidak adaptif akan memberi akibat buruk terhadap perkembangan dan kinerja organisasi tersebut baik dalam jangka pendek maupun panjang (Akbar, 2002).
dalam organisasi untuk mengemban tanggung jawab adalah organisasi yang tepat bagi pemberdayaan (Kernaghan, 2003). Karyawan akan memiliki keberdayaan, apabila karyawan merasa pekerjaan mereka merupakan milik mereka, mereka bertanggung jawab, mereka mengetahui dimana posisi mereka, dan mereka memiliki pengendalian atas pekerjaan mereka (Gazperz, 1997).
Hasil penelitian Hersanti (2008), ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dengan pemberdayaan pegawai negeri sipil. Budaya organisasi yang kuat akan memungkinkan pegawai untuk lebih memiliki rasa berdaya, sehingga lebih mengoptimalkan potensi yang dimilikinya dalam menjalankan pekerjaan.
segala yang terjadi di lingkungan kerja mereka akan memunculkan self determinasi pada karyawan sehingga karyawan dapat berinisiatif dan memiliki pilihan untuk melakukan pekerjaan secara bijaksana, determinasi diri juga dapat tercipta ketika terjadi keterlibatan karyawan dalam pengambilan keputusan dan saat atasan menjadi pendengar yang baik serta memberitahukan kritik dan saran dengan positif.
harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diasumsikan bahwa budaya organisasi mempunyai hubungan dengan rasa pemaknaan, kompetensi, determinasi diri, dan dampak yang ke empat hal tersebut merupakan dimensi dari pemberdayaan.
C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara budaya organisasi dengan pemberdayaan pegawai. Hο = Tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara