RESILIENSI PADA WIRAUSAHAWAN KULINER DI SURABAYA SKRIPSI
DiajukanKepadaUniversitas Islam NegeriSunanAmpel Surabaya untukMemenuhi Salah SatuPersyaratandalamMenyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Oleh : Nur Laitul Hidayat
B07212067
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek resiliensi pada Wirausahawan kuliner di Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi Fenomenologis. Ketiga subjek penelitian ini adalah pengusaha kuliner di Surabaya. Subjek pertama disebut CH, berusia 37 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan subjek kedua disebut HR, berusia 45 tahun, dan berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan subjek ketiga disebut WS, berusia 44 tahun, dan berjenis kelamin laki-laki. Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam , observasi dan dokumentasi, yang dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan. Aspek-aspek resiliensi yang dimiliki oleh ketiga subjek tidaklah jauh berbeda, ketiga subjek mampu mengatasi masalah yang menghambat usahanya dengan sikap yang optimis, positive thinking dan tidak pantang menyerah. Ketiga subjek dapat memulihkan keadaan mereka dengan baik yang menjadikan ketiga subjek tetap memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Hal ini juga ditunjukan dengan dukungan dari orang terdekat pada ketiga subjek saat subyek mengalami masalah, kendala bahkan kegagalan, ketiga subjek juga sama-sama mempunyai pengendalian keinginan yang baik karena ketiga subjek dapat bertahan dengan kondisi mereka tanpa mempengaruhi kondisi emosi. Ketiga subjek dapat mengatasi masalah-masalah usahanya secara baik karena ketiga subjek sama-sama memiliki sikap yang ramah , rasa untuk bersyukur, bekerja untuk menghidupi keluarga dan karyawannya, sehingga hal tersebut juga dapat mempengaruhi resiliensi pada ketiga subjek.
ABSTRACT
This research purposed to find out resiliency aspects of culinary entrepreneur in Surabaya. This research used qualitative method with phenomenologist strategy. The Three subjects of this study are culinary entrepreneur in Surabaya. The first subject called as CH, which is male in age 37 years old. The second subject named HR, which is male in age 45 years old. In addition, the third subject called as WS which is male in 44 years old. This research used in deep interview, observation and documentation which have been done in about a month. The resiliency aspects of the three subjects or not really different among one another, they are able to solve problems that obstruct their business with optimistic attitude, positive thinking and not giving up. They can recover their bad condition well; and this makes them have good relationship with other people. This also can be shown by the support from people around them when they are facing problems, when they are having difficulties, even when they are failing. All the three subjects also have good passion control as they can hold out in their condition without influencing their emotion. The subjects can break their business problems well because all of them are kind, have good attitude and behavior, always feel blessed, and work for their family and their employees, so that those can influence the resiliency of the three subjects.
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……… i
Halaman Persetujuan ……….. ii
Pernyataan ………... iii
Kata Pengantar ……… iv
Intisari ……… vi
Daftar Isi ……….. viii
Daftar Tabel ………. x
Daftar Lampiran ……….. xii
BAB I : PENDAHULUAN ………. 1
1. Latar Belakang ………... 1
2. Fokus Penelitian ………. 10
3. Tujuan ………. 11
4. Manfaat ………...11
5. Keaslian Penelitian …………..………... 11
BAB II : KAJIAN PUSTAKA ………. 12
1. Resiliensi ……… 12
2. Wirausahawan ... ……….. 23
3. Resiliensi pada Wirausahawan Kuliner di Surabaya……… 25
BAB III : METODE PENELITIAN ……… 27
1. Jenis Penelitian ……….. 27
2. Lokasi Penelitian ……… 28
3. Sumber Data ……….. 28
4. Cara Pengumpulan Data ……… 32
5. Analisis Data ………...………… 34
6. Keabsahan Data ………. 36
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….. 39
1. Deskripsi Subjek ……… 39
2. Hasil Penelitian ……….. 44
a. Deskripsi Hasil Temuan ……….. 41
b. Analisis Hasil Temuan ………. 75
3. Pembahasan ……… 85
ix
1. Kesimpulan ………. 88
2. Saran ………... 89
Daftar Pustaka ……….. 90
x
Daftar Tabel
[image:8.612.155.481.214.527.2]Tabel 3.1 Identitas Subjek ………... 29
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Panduan Wawancara ………...…….…. 93
Lampiran II : Panduan Observasi………...….…. 101
Lampiran III : Panduan Membaca Koding dalam Hasil Transkip Wawancara………...………….…... 102
Lampiran IV : Transkrip Hasil Wawancara ...…………..… 103
Lampiran XI : Transkrip Hasil Observasi ………...…..… 193
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Memasuki tahun 2015, bisa dikatakan tahun yang sangat sakral, sebab hal ini menentukan nasib perekonomian Indonesia. Pada tahun ini
Indonesia harus mampu bersaing dan menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menghadapi perekonomian khususnya di ASEAN.
Pemerintahaan Jokowi-JK telah berkomitmen untuk membebaskan perdagangan arus investasi di Indonesia. Seiring dengan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada masa jabatannya yang sudah
memproklamirkan kesiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) masyarakat Indonesia juga mau tidak mau harus
siap dan mampu bersaing dengan negara-negara tetangga. (wartakota.tribunnews.com di akses pada 9 Desember 2015)
Untuk menghadapi hal tersebut, pemerintah perlu kiranya mempersiapkan dan sekaligus menjadi fasilitator untuk menciptakan wirausahawan yang kompetetif. Di Indonesia jumlah pelaku wirausahawan
pada saat ini masih relatif minim. (wartakota.tribunnews.com di akses pada 9 Desember 2015)
Dari populasi yang mencapai sekitar 240 juta penduduk, para pelaku wirausaha hanya sekitar 1,65 %. Sedangkan jumlah wirausahawan yang ideal untuk menggerakan perekonomian suatu negara maksimal
2
pengangguran masih menjadi fakta tak terbantahkan yang masih melingkupi sebagian besar rakyat Indonesia. (wartakota.tribunnews.com di
akses pada 9 Desember 2015)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Februari 2014, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,70%. Jumlah angkatan
kerja di Indonesia pada Februari 2014 mencapai 125,3 juta jiwa. Selama setahun terakhir (Februari 2013-Februari 2014), jumlah penduduk
Indonesia yang bekerja mengalami kenaikan pada hampir semua sektor, terutama disektor jasa kemasyarakatan sebanyak 640 ribu jiwa (3,59 %). Sektor perdagangan sebanyak 450 ribu jiwa (1,77%). Serta sektor industri
sebanyak 390 ribu jiwa (2,60%). (wartakota.tribunnews.com di akses pada 9 Desember 2015)
Dengan data tersebut, kebutuhan akan tersedianya sejumlah wirausaha baru yang handal, tangguh serta unggul menjadi kebutuhan
yang perlu disiapkan melalui perencanaan yang jelas dan langkah-langkah yang konkrit serta konsiten dalam penyelenggaraannya.
(wartakota.tribunnews.com di akses pada 9 Desember 2015)
Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga mengatakan, bahwa jumlah pengusaha di Indonesia hanya sekitar 1,65
persen dari jumlah penduduk saat ini.
3
Ia berpendapat, jika jumlah pengusaha bisa bertambah maka akan turut mendongkrak ekonomi negara, bertambahnya lapangan pekerjaan,
dan akhirnya meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi ia juga mengharapkan agar pengusaha mau membangun usahanya di sejumlah daerah di Indonesia, dan tidak berfokus pada kota-kota besar
saja. (republika.co.id diakses pada 9 Desember 2015)
Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla juga memuji peran
pengusaha dalam kontribusinya pada negara. Pengusaha dinilai mampu memberikan pekerjaan bagi sebagian besar penduduk di Indonesia, sementara pemerintah hanya mampu memperkerjakan sebagian kecil saja.
Hal ini diungkapkan JK saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) ke VII di Bandung, Senin tanggal 23
November 2015. (Liputan 6.com, diakses pada 10 Januari 2016)
Dari beberapa informasi media elektronik diatas, pengusaha sangatlah berpotensi untuk memajukan perekonomian bangsa Indonesia.
Akan tetapi jumlah pengusaha di Indonesia masih relatif minim dibandingkan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Padahal
pada tahun 2016 ini adalah tahun dimulainya masyarakat ekonomi Asean. Oleh karena itu, agar perekonomian Indonesia tidak menjadi terpuruk dan warga Indonesia mampu bersaing dengan masyarakat Asia
4
Menurut Abraham Maslow, kebutuhan paling mendasar dari setiap manusia adalah kebutuhan fisiologis, termasuk didalamnya adalah
makanan, air, oksigen, mempertahankan suhu tubuh, dan lain sebagainya. (Jess dan Gregory : 2009). Oleh karenanya kuliner adalah bidang yang menjanjikan dalam berwirausaha dan semakin dilirik para pebisnis.
Sehingga dapat dikatakan untuk membuka usaha dalam bidang kuliner adalah sangat menguntungkan dan menjanjikan.
Salah satu pengusaha sukses dalam bidang kuliner adalah Rangga Umara pemilik Lele Lela. Lele Lela adalah singkatan dari “Lele Lebih Laku”. Rangga Umara mulai melebarkan sayapnya dengan membuka
cabang di negara tetangga, yakni di Malaysia dan Singapura. Rangga yang sebelumnya tidak mempunyai pekerjaan tetap, kini mempunyai omzet
miliaran rupiah per bulan. (diakeses dari Liputan6.com pada tanggal 10 Januari 2016)
Pengusaha kue lapis Sangkuriang milik Rizka wahyu Romadhona. Ia pernah gagal dalam menjalankan usaha bakso. Namun hal itu tidak membuat Rizka Wahyu Romadhona menyerah. Hal tersebut kemudian
membuat Rizka beralih ke bisnis kue lapis. Kue yang ia beri nama Sangkuriang itu dibuatnya dari bahan talas, bahan yang berbeda dengan
5
Adapula Sono, pemilik enam Rumah Makan Padang asal Nganjuk Jawa Timur. Sebelumnya Sono adalah seorang tukang cuci piring di
Rumah Makan Padang. Namun karena himpitan ekonomi keluarga, Sono memberanikan diri untuk buka rumah makan sendiri.
Selama satu tahun berdirinya rumah makan itu akhirnya bangkrut.
Iapun mencoba berjualan mie ayam, dan sang istri menjual aneka macam makanan dari umbi-umbian di sekitar Melawai. Kemudian ia menambah
menu masakan lagi hingga pada akhirnya ia membuka rumah makan Padang. Ia tak pernah patah arang walaupun banyak ujian selama ia mengembangkan usahanya. Salah satu ujian yang menimpa Sono adalah
kiosnya pernah terbakar.
Atas hasil jerih payahnya bersama istri, Kini Sono dikenal sebagai
bos dari empat rumah makan padang di sekitar Melawai dan Senayan, dengan omzet per hari sekitar Rp 7 juta. Dengan prestasinya itu, walau
hanya lulusan SD, Sono mendapat penghargaan dari Danamon Simpan Pinjam (DSP) sebagai salah satu nasabah yang terus tumbuh omzetnya. (kompas.com diakses pada tanggal 10 Januari 2016)
Dari beberapa kisah sukses beberapa pengusaha kuliner diatas, menandakan bahwasannya bisnis kuliner sangat menjanjikan untuk
digeluti. Namun, dalam menjalankannya banyak masalah-masalah atau kendala-kendala bahkan ada juga yang mengalami kerugian hingga kebangkrutan. Banyaknya pengusaha kuliner yang ada mengharuskan
6
usahanya tersebut tidak kalah dengan kompetitor lainnya. Oleh karena itu, masalah-masalah dalam menjalankan sebuah usaha akan selalu ada
walaupun sampai pada puncak kejayaan berwirausaha. Tak terkecuali pada pengusaha kuliner di Surabaya.
Dari hasil observasi penulis, banyak wirausahawan kuliner di
Surabaya yang menyajikan aneka ragam kuliner nusantara maupun mancanegara. Beberapa macam kuliner nusantara antara lain nasi rawon,
soto, pecel, gado-gado, sate, dan lain sebagainya. Sedangkan kuliner mancanegara antara lain seperti Pizza, Spagetti, Burger, Fried Chiken dan lain sebagainya. Hal ini dapat dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan dan
pusat keramaian Surabaya. Oleh karena itu, wirausahawan kuliner di Surabaya juga akan bersaing dengan pengusaha kuliner lainnya dan tidak
akan terhindar dari sebuah permasalahan-permasalahan dalam berwirausaha.
Seperti halnya yang dialami oleh wirausahawan yang menjadi subjek dalam penelitian ini, subjek pertama disebut CH. CH yang berusia 37 tahun ini mampu mengatasi permasalahan-permasalahannya seperti
kurangnya customer, keluar masuknya karyawan, konflik dengan partner kerjanya, kebijakan pemerintah untuk kenaikan upah buruh dan kegagalan
dalam usaha lain yaitu usaha cafe dan usaha cut and fill. Namun, pemilik dari soto abas ini menganggap bahawasannya permasalahan-permasalahan tersebut adalah sebagai guru yang menjadikan subjek menjadi orang yang
7
studi akidah filsafat ini telah memiliki tujuh cabang rumah makan soto abas yang tersebar di wilayah Surabaya dan Sidoarjo.
Subjek kedua adalah HR. HR lebih memilih untuk selalu bersyukur, sabar dan tetap menekuni usaha yang dijalankannya walaupun terdapat permasalahan-permasalahan dalam usahanya.
Permasalahan-permasalahan dalam usaha yang dialaminya seperti naik turunnya harga bahan pokok, pernah tidak ada pembelinya sama sekali, kurangnya
kesejahteraan karyawan, dan lahan parkir yang kurang memadai. Dengan ketekunan dan kesabarannya, HR mampu mempunyai dua cabang rumah makan besar di Jl Arif Rahmat Hakim dan Merr Surabaya serta ada pula
cabang frenchese di beberapa kota besar seperti Makasar, Solo, Kediri dan Banjarmasin. Selain itu, rumah makan yang buka hingga pukul 01.00 dini
hari ini tidak pernah sepi dikunjungi oleh pelanggan.
Subjek ketiga adalah wirausahawan asal Lamongan yang telah
memiliki beberapa bidang usaha kuliner seperti Soto Madura Wawan, Bebek Goreng Harissa, To Soto, dan Bebek Ndelik. Dalam menjalankan usahanya, WS juga tidak lepas dari permasalahan-permasalahan
berwirausaha. WS pernah menjadi korban penipuan, gagal dalam menjalankan usaha jual beli beras, dan kurangnya modal untuk membuka
8
Pada penelitian ini, resiliensi digunakan untuk mengetahui bagaimana ketahanan emosional wirausahawan pada bidang kuliner dalam
menghadapi berbagai permasalahan dalam usahanya. Bagi pengusaha yang mampu mengatasi permasalahan maka akan mudah untuk bangkit dan mencari solusi dari permasalahan tersebut. Kemampuan untuk bangkit
setelah mengalami situasi yang berat bukanlah sebuah kebetulan namun karena individu tersebut mempunyai kemampuan tertentu dalam
menghadapi setiap musibah.
Resiliensi menurut Wagnild dan Young (1993) adalah :
“Resilience cannotes emotional stamina and has been used to describe persons who display courage and adaptability in the wake of life’s misfortunes”.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa resiliensi
adalah hasil dari suatu kekuatan dalam diri individu, sehingga mampu beradaptasi terhadap kondisi ketidakberuntungan yang menimpa dirinya.
Berbagai kriteria digunakan untuk menilai resiliensi individu. Tingkah laku positif seperti social achievement, adanya perilaku yang diharapkan masyarakat, kebahagiaan atau kepuasan hidup, kesehatan mental, tidak
adanya emotional distress, tidak terlibat dalam kejahatan kriminal atau perilaku yang beresiko (Synder & Lopez, 2005).
Hasil penelitian yang dilakukan Anderson (2011), survivor wirausahawan untuk lebih resilien akan lebih menghargai kekuatannya dan membangun tujuan hidupnya. Seseorang mampu beradaptasi dan
9
tersebut melakukan usaha yang efektif untuk mengatasi masalahnya. Untuk mengatasi stres, depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap resilien.
Setiap individu mempunyai kemampuan untuk tangguh (resilien) secara alami, tetapi hal tersebut harus dipelihara dan diasah. Jika tidak dipelihara, maka kemampuan tersebut akan hilang (Corner, 1995).
Resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk mengatasi kesulitan, rasa frustrasi, ataupun permasalahan yang dialami oleh individu (Janas, 2002).
Perkembangan resiliensi dalam kehidupan akan membuat individu mampu mengatasi stres, trauma dan masalah lainnya dalam proses kehidupan (Henderson, 2003). Masalah–masalah yang muncul tersebut
bisa berupa masalah ekonomi, psikologis, rumah tangga, sosial dan lain sebagainya.
Dengan demikian, pengusaha yang memeiliki resiliensi dapat terhindar dari beberapa gangguan-gangguan psikis seperti post power syndrome, frustasi hingga depresi. Menurut kartini kartono (1989) Post power syndrome adalah reaksi somatisasi dalam bentuk sekumpulan simtom penyakit luka-luka dan kerusakan fungsi-fungsi jasmani dan
mental yang progesif karena orang-orang yang bersangkutan tidak bekerja, pensiun, tidak menjabat atau tidak berkuasa lagi. Post power syndrome dapat terjadi apabila seseoang tidak memiliki sistem ketahanan yang kuat. (Afwun, 2015).
Menurut Chaplin, Frustasi adalah satu keadaan ketegangan yang
10
semakin meninggi yang disebabkan oleh rintangan dan hambatan. Sedangkan depresi adalah keadaan kemurungan (kesedihan, kepatahan
semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak puas, menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang. (Kartini Kartono, 2011)
Berdasarkan dari uraian diatas, resiliensi pada wirausahawan kuliner sangat menarik untuk dikaji. Maka penulis ingin meneliti
bagaimana aspek-aspek resiliensi yang dimiliki wirausahawan kuliner sehingga wirausahawan tersebut bangkit dari permasalahan-permasalahan usahanya dan memperbaikinya hingga mencapai kesuksesan dalam
berwirausaha.
Oleh karena itu, jika semua pengusaha Indonesia mempunyai
resiliensi maka jumlah pengusaha Indonesia tidak akan berkurang dan bahkan dapat meningkat. Sehingga dengan adanya pengusaha tersebut
maka Indonesia akan mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya dan mampu memajukan perekonomian bangsa Indonesia.
2. Fokus Penelitian
Agar penelitian ini menjadi lebih terfokus, maka fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana aspek-aspek resiliensi pada wirausahawan
11
3. Tujuan
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
aspek-aspek resiliensi wirausahawan kuliner di Surabaya.
4. Manfaat
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis memberikan sumbangan pada ilmu psikologi terutama dalam ranah psikologi industri dan organisasi.
2. Secara praktis penelitian ini berguna bagi wirausahawan dalam memahami aspek-aspek resiliensi untuk salah satu penunjang kesuksesan usahanya.
5. Keaslian Penelitian
Penelitin tentang resiliensi cukup banyak dilakukan oleh para
peneliti. Baik peneliti luar negeri maupun peneliti dalam negeri. Hal ini menunjukkan bahwa resiliensi merupakan topik yang menarik untuk
diteliti.
Penelitian Afwun Nailiyah (2015) dengan judul penelitian resiliensi pada karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja
(PHK). Hasil dari penelitian tersebut adalah kedua subjek mampu mengatasi tekanan yang terjadi dengan sikap optimis dan mampu
mengembalikan keadaan mereka dengan baik sehingga subjek mampu berhubungan baik dengan orang lain, hal tersebut ditunjukkan dengan dukungan dari orang-orang terdekat pada kedua subjek. Bentuk dari
12
secara baik karena kedua subjek sama-sama memiliki sikap yang ramah dan senang tersenyum, sehingga hal tersebut juga dapat mempengaruhi
resiliensi pada kedua subjek.
Penelitian dari Ahmad Junaedi Salim Pulungan (2012) dengan judul penelitian Gambaran resiliensi siswa SMA yang Beresiko Putus
Sekolah di Masyarakat Pesisir. Hasil penelitian dalam penelitian tersebut adalah siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir
secara umum tergolong sedang sampai tinggi. Dalam penelitian ini yang memiliki kemampuan tingkat resiliensi tinggi pada aspek: Emotion Regulation, Optimisme dan aspek Reach Out. Lalu yang memiliki kemampuan tingkat resilinsi sedang pada aspek: Impulse Control, Causal Analysis, Empathy dan aspek Self-efficacy.
Penelitian yang dilakukan oleh Nuzulia Rahmati (2012) dengan judul Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak Yang Mengalami Abuse. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden memiliki faktor I have dan mampu mengembangkan sumber resiliensi yang ada yaitu memiliki hubungan yang dilandasi kepercayaan, memiliki struktur dan
aturan dirumah, memiliki dorongan mandiri, memiliki role models, memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan.
Ketiga responden mampu mengembangkan kekuatan pribadi (I am), yaitu disayang dan disukai oleh orang lain, mencintai dan berempati kepada orang lain, bangga pada diri sendiri, mandiri dan bertanggung jawab serta
13
lebih baik. Selanjutnya ketiga responden juga mampu mengembangkan kemampuan interpersonalnya (I can), yaitu ketiga responden mampu
mengelola berbagai ransangan, mengukur tempramen diri dan juga orang lain. Ketiga responden juga mampu mengekspresikan/mengkomunikasikan perasaannya kepada keluarga dan juga orang lain.
Dalam jurnal Penelitian yang dilakukan oleh Mutia Maulidya dan Rika Eliana (2013) dengan judul gambaran resiliensi perantau
Minangkabau yang berwirausaha di Medan, menghasilkan mayoritas perantau Minangkabau yang berwirausaha memiliki resiliensi yang tergolong tinggi. Tidak ada perantau Minangkabau yang berwirausaha
memiliki resiliensi yang tergolong rendah.
Melihat beberapa hasil penelitian diatas, persamaan yang muncul
adalah tentang topik resiliensi. Meskipun demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain yang
pertama, penulis mengangkat resiliensi seorang wirausahawan. Kedua, wirausahawan yang menjadi subjek penelitian adalah wirausahawan dalam bidang kuliner di Surabaya. Dan yang ketiga adalah penelitian ini
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. Resiliensi
a. Pengertian
Menurut Masten dan Reed (2002) resiliensi didefinisikan sebagai kumpulan fenomena yang dikarakteristikkan oleh pola adaptasi positif pada kontek keterpurukan.
Menurut Jonh G Allen (2005) dalam bukunya Coping With Trauma, bahwasannya;
“Reciliency is the capacity to cope with adversity”. Atau kemampuan seseorang dalam menghadapi atau menanggulangi kesengasaraan atau situsi sulit.
Menurut Best Masten & Garmezy (1990) dalam Margareth E. Blausten & Kristine M. Kinniburg (2010) dalam bukunya Treathing Traumatic Stress in childern and adolecent, menyebutkan bahwasannya resiliensi adalah ;
“The process of, the capacity for, or outcome of successful adaptation despite challenging or threatening circumstances” atau proses dari kemampuan beradaptasi dari tantangan atau kenyataan yang mengancam.
Dalam buku Character & Resilience Manifesto karangan Chris Paterson, Claire Tyler, dan Jen Lexmond (2014) mengutarakan bahwa resiliensi adalah;
15
menguntungkan atau layak dari sesuatu yang menusuk dan keras, untuk melambungkan kembali dari kesengsaraan dan memberikan arti dalam sebuah hubungan”
Dalam Buku The Road to Resilience (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societes : 2012) Resiliensi adalah ;
“Ability of systems to respond and adapt effectively to changing circumstance . Yakni kemampuan untuk merespon dan beradaptasi secara efektif untuk merubah keadaan.”
Menurut Ann S. Mastern and Abigail H. Gerwirtz dalam buku Blackwell handbook of early Childhood Development (2006), milik Kathleen McCartney dan Deborah Philips, yang tercantum dalam
glosarium bahwasannya resiliensi adalah;
“Positive patterns of adaptation in the context of risk or adversity”, yakni pola positif untuk beradaptasi dalam konteks resiko atau kemalangan.
Menurut Cowen and work (1988) dalam buku Bill Gillham and James A. Thompson yakni Child Safety: problem and prevention from preschool to adolescence (2005) bahwa ;
“Resiliensi adalah the process (however it operates) by which children over-come adverse experiences” Yakni proses oleh individu/anak-anak dalam menanggulangi pengalaman yang menyakitkan.
Menurut Dulmu & Rapp-Plagici (2004) dalam Cognitive-Behavioral Interventions In Educational Settings : 2006. Resiliensi adalah kapasitas untuk mengembangkan diri walaupun terdapat faktor resiko atau
untuk membuka diri dari kondisi stres.
Resiliensi mewujudkan kualitas pribadi yang memungkinkan satu
16
tahun terakhir telah menunjukkan bahwa resiliensi adalah karakteristik multidimensi yang bervariasi dengan konteks, waktu, usia, jenis kelamin,
dan asal budaya, serta dalam individu mengalami situasi kehidupan yang berbeda. (Connor & Davidson, 2003)
Resiliensi (daya lentur) merupakan sebuah istilah yang relative baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul
dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak, remaja dan orang dewasa sembuh dari kondisi stress, trauma, dan resiko
dalam kehidupan mereka. (Desmita, 2010)
“Resilience is defined as an individual's or family's abilities to function well and achieve life's goals despite overbearing stressors or challenges that might easily impair the person or family. Embedded in the term is a sense of elasticity and flexibility, such as the abilities to bounce back from an overwhelming stressor and to remain flexible in the presence of ongoing pressures.”
Artinya resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan individu atau
keluarga untuk mencapai tujuan hidup yang baik meskipun stress atau tantangan dapat mengganggu individu maupun keluarga. Tertanam dalam istilah ini, rasa elastisitas dan fleksibilitas seperti kemampuan untuk
bangkit dan tetap fleksibel dengan adanya tekanan yang berkelanjutan. (Mullin, Arce, Vol 11 No.4, 2008)
Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi sebagai
17
menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari kesulitan tetapi resiliensi juga menyebabkan seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek
kehidupannya menjadi lebih positif. Pandangan Reivich dan Shatte tersebut secara tersirat mengandung makna bahwa resiliensi tidak hanya dibutuhkan pada saat seseorang mengalami kesulitan berat, namun juga
pada saat seseorang menjalani permasalahan dalam hidup sehari-hari.
Resiliensi didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang
yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari ketidakbaikan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, 2002 dalam
Larson dan Luthans, 2006).
Untuk mengatasi stres, depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap
resilien. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk tangguh (resilien) secara alami, tetapi hal tersebut harus dipelihara dan diasah. Jika tidak dipelihara, maka kemampuan tersebut akan hilang (Corner, 1995).
Resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk mengatasi kesulitan, rasa frustrasi, ataupun permasalahan yang dialami oleh individu
(Janas, 2002). Perkembangan resiliensi dalam kehidupan akan membuat individu mampu mengatasi stres, trauma dan masalah lainnya dalam proses kehidupan (Henderson, 2003)
Dari beberapa definisi dari para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwasannya resiliensi adalah kemampuan sesorang untuk
18
solusi dari masalah tersebut, sehingga ia dapat bangkit dari masalah yang membuat hidupnya terpuruk atau pada kondisi yang tidak menyenangkan.
b. Aspek Resiliensi
Wolin dan wolin (1994) mengemukakan tujuh aspek utama yang dimiliki oleh individu agar mencapai resilience yaitu:
a) Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. Insight adalah kemampuan yang paling mempengaruhi resiliensi. (Wolin dan wolin :1994)
b) Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang.
Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. (Wolin dan wolin : 1994)
c) Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang
19
d) Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab
atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat
diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah. (Wolin dan wolin : 1994)
e) Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu
yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat
keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat
seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. (Wolin dan wolin : 1994)
f) Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan
dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan. (Wolin
20
g) Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan
untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan
diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. (Wolin dan wolin :1994)
Sedangkan menurut Allen (2005), Aspek-aspek dari resiliensi adalah dapat mengenali diri sendiri dan orang lain , memiliki self esteem yang tinggi, memiliki kemampuan untuk belajar dari pengalaman,
kesabaran yang tinggi dalam situasi yang sulit, Open Mindedness, memiliki keberanian, menjadi pribadi yang disiplin, kreatif, jujur, humoris,
memberikan arti pada hidup, dan memiliki harapan.
c. Sumber Resiliensi
Menurut Grotberg (1994) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu
sebagai berikut :
1. I Have ( sumber dukungan eksternal )
I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar
21
keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut. (Grotberg : 1994)
2. I Am ( kemampuan individu )
I Am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam
dirinya. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan penyayang sesama. Hal tersebut ditandai
dengan usaha mereka untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap perasaan orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya. Mereka juga merasa bahwa
mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka
terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan
berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi. Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka. (Grotberg : 1994)
3. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )
I Can merupakan kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya
dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan
22
dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam
kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang
tidak baik. (Grotberg : 1994)
d. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Resiliensi
Ciri-ciri individu yang memiliki resiliensi menurut Sarafino (1994), yaitu (a) memiliki temperamen yang lebih tenang, sehingga dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan lingkungan;
(b) memiliki kemampuan untuk dapat bangkit dari tekanan dan berusaha untuk mengatasinya. Sedangkan menurut Grotberg (1994), mengatakan
bahwa individu yang memiliki resiliensi (a) mempunyai kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati; (b) memiliki
kemampuan untuk dapat bangkit dari permasalahan dan berusaha untuk mengatasinya; (c) mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatif sendiri dan memiliki empati dan sikap kepedulian
yang tinggi terhadap sesama. Reivich (2002), menambahkan bahwa individu yang memiliki resiliensi (a) mampu mengatasi stress; (b) bersikap
realistik serta optimistik dalam mengatasi masalah; (c) mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan nyaman. Maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki resiliensi dapat
23
Dengan demikian, individu mampu mengambil keputusan yang realistik dan tetap bersikap optimis. Individu juga tetap memiliki sikap kepedulian
terhadap sesama.
2. Wirausahawan
a. Pengertian
Robert D. Hisrich () dapat mendefinisikan melalui tiga pendekatan; 1) pendekatan ekonomi, entrepreneur adalah orang yang membawa sumber-sumber daya tenaga, material, dan aset-aset lain ke dalam kombinasi yang membuat nilainya lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, dan juga seseorang yang memperkenalkan perubahan, inovasi/pembaruan,
dan suatu order/tatanan atau tata dunia baru;
2) pendekatan psikologi, entrepreneur adalah betul-betul seorang yang digerakkan secara khas oleh kekuatan tertentu kegiatan untuk menghasilkan atau mencapai sesuatu, pada persoalan, percobaan, pada
penyempurnaan, atau mungkin pada wewenang mencari jalan keluar yang lain;
3) Pendekatan seorang pebisnis, entrepreneur adalah seorang pebisnis yang muncul sebagai ancaman, pesaing yang agresif, sebaliknya pada pebisnis lain sesama entrepreneural mungkin sebagai sekutu/mitra, sebuah
24
menghasilkan lapangan pekerjaan baru bagi orang lain yang dengan senang hati untuk menjalankannya (Saiman, 2009).
Kata wirausaha dalam bahasa Indonesia merupakan gabungan dari kata “wira” yang artinya gagah berani, perkasa dan kata “usaha”, sehingga
secara harfiah wirausahawan diartikan sebagai orang yang gagah berani
atau perkasa dalam berusaha (Riyanti, 2003). Wirausaha atau wiraswasta menurut Priyono dan Soerata (2005) berasal dari kata “wira” yang berarti utama, gagah, luhur berani atau pejuang; “swa” berarti sendiri; dan kata
”sta” berarti berdiri. Dari asal katanya “swasta” berarti berdiri di atas kaki
sendiri atau berdiri di atas kemampuan sendiri. Kemudian mereka
menyimpulkan bahwa wirausahawan atau wiraswastawan berarti orang yang berjuang dengan gagah berani, juga luhur dan pantas diteladani
dalam bidang usaha, atau dengan kata lain wirausahawan adalah orang-orang yang mempunyai sifat-sifat kewirausahaan atau kewiraswastaan
seperti: keberanian mengambil resiko, keutamaan dan keteladanan dalam menangani usaha dengan berpijak pada kemauan dan kemampuan sendiri.
Sehingga wirausahawan kuliner adalah orang yang memiliki
keberanian mengambil resiko, keutamaan dan keteladanan dalam menangani usaha dengan berpijak pada kemauan dan kemampuan sendiri
25
3. Resiliensi pada Wirausahawan Kuliner di Surabaya
Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi sebagai
kemampuan untuk merespon kesulitan hidup secara sehat, produktif, dan positif. Reivich dan Shatte memandang bahwa resiliensi bukan hanya menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari kesulitan tetapi
resiliensi juga menyebabkan seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek kehidupannya menjadi lebih positif. Pandangan Reivich dan Shatte
tersebut secara tersirat mengandung makna bahwa resiliensi tidak hanya dibutuhkan pada saat seseorang mengalami kesulitan berat, namun juga pada saat seseorang menjalani permasalahan dalam hidup sehari-hari.
Sedangkan wirausahawan berarti orang yang berjuang dengan gagah berani, juga luhur dan pantas diteladani dalam bidang usaha, atau
dengan kata lain wirausahawan adalah orang-orang yang mempunyai sifat-sifat kewirausahaan seperti: keberanian mengambil resiko, keutamaan dan
keteladanan dalam menangani usaha dengan berpijak pada kemauan dan kemampuan sendiri. Priyono dan Soerata (2005)
Sehingga, resiliensi pada wirausahawan kuliner di Surabaya adalah
kemampuan wirausahawan kuliner untuk merespon kesulitan hidup seperti permasalahan-permasalahan dalam berwirausaha secara sehat, produktif,
dan positif .
Resiliensi pada wirausahawan kuliner dapat dilihat dari bagaimana sikap pengusaha tersebut dalam menghadapi permasalahan-permasalahan
26
pengusaha tersebut berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondis-kondisi yang tidak menyenangkan, dan bahkan tekanan hebat yang
dapat membuatnyanya depresi. Dengan adanya resiliensi tersebut, maka pengusaha yang mempunyai masalah-masalah tersebut dapat bangkit dan segera menyelesaikan permasalahan-permasalan tersebut.
Namun resiliensi tidak hanya ditekankan pada hasil akhir yang positif dari kemampuan individu dalam mengatasi suatu peristiwa yang
menekan dan berkembang secara positif. Resiliensi harus dilihat secara utuh, mulai dari proses, hingga faktor-faktor yang berkontribusi dalam
27
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Fokus
dalam penelitian ini adalah resiliensi pada wirausahawan kuliner di
Surabaya. Guna mendalami fokus tersebut penelitian ini akan
menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif dipilih karena
fenomena yang diamati perlu pengamatan terbuka, lebih mudah
berhadapan dengan realitas, kedekatan emosional antar peneliti dan
responden sehingga didapatkan data yang mendalam, dan bukan
pengangkaan. Penelitian kualititatif memiliki tujuan untuk mengeksplorasi
kekhasan pengalaman seseorang ketika mengalami suatu fenomena
sehingga fenomena tersebut dapat di buka dan dipilah sehingga dicapai
suatu pemahaman yang ada.
Strategi yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah studi
fenomenologi. Teknik wawancara yang dipilih adalah teknik wawancara
mendalam, karena didalamnya peneliti menyelidiki peristiwa, aktivitas,
program dan proses individu di masa lalu. Dalam konteks penelitian yang
akan dikaji dan yang menjadi fokus utama dari penelitian ini adalah
aspek-aspek resiliensi atau ketahanan wirausahawan kuliner dalam
28
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan
penelitian seperti wawancara, observasi dan dokumentasi.
Lokasi pengambilan data pada subjek utama pertama adalah CH.
CH adalah owner dari soto Abas yang berlokasi di Rumah Makan cabang Juanda dengan alamat Jl. Raya Sedati Gede no. 25 Sidoarjo.
Sedangkan untuk significant other subjek pertama adalah istri CH yang beralamatkan di Perumahan BCA Jl. Letjend Suprapto gang masjid no.8
Waru Sidoarjo. Untuk kelengkapan data penulis, penulis melakukan
pengambilan data kembali pada manager Soto Abas cabang wonocolo
Surabaya.
Sedangkan pada lokasi penelitian pada subjek kedua yakni HR
adalah di Rumah Makan Soto Cak Har miliknya di Jl. Dr. Ir. Soekarno
(MERR) Surabaya. Untuk significant other subjek kedua ini adalah berlokasikan yang sama.
Untuk subjek ketiga WS, penulis melakukan pengambilan data di
Rumah Makan Bebek Goreng Harissa cabang JX International yang beralamatkan di Jl. Ahmad Yani Surabaya. Sedangkan untuk significant other subjek kedua ini adalah di Rumah Makan Bebek Goreng Harissa cabang di Jl. Dr. Ir. Soekarno (MERR) Surabaya.
3. Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland (1984, dalam Moleong, 2008)
29
tindakan, selebihnya adalah data tambahan. Seperti dokumen dan lain
sebagainya.
Terdapat dua jenis sumber data yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder. (Bungin, 2001). Sumber data primer adalah data
yang diambil dari sumber pertama yang ada dilapangan. Sedangkan
sumber data sekunder adalah sumber data kedua sesudah data primer.
1. Sumber Data Primer.
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data utama adalah
seorang pengusaha yang berwirausaha pada bidang kuliner di Surabaya.
Pada penelitian ini menggunakan tiga subjek agar hasilnya nanti lebih
[image:38.595.129.518.248.569.2]variatif.
Tabel 3.1. Identitas Subjek
Subyek Ke Nama Usia Jenis Kelamin Jabatan
1 CH 37 Th Laki-laki Owner Soto Abas
2 HR 45 Th Laki-laki Owner Soto Cak Har
3 WS 44 Th Laki-Laki Owner Soto Madura
Wawan dan CEOdi
Harissa Group
2. Sumber data Sekunder
30
Yang menjadi data sekunder pada subjek kedua adalah kasir dari
HR yakni R. R adalah karyawan HR yang paling lama bekerja dengan HR
dan yang paling dipercaya oleh HR.
Sedangkan untuk 2 data sekunder dari subjek ketiga adalah NC,
General Manager dari Harissa Group. NC mengaku sangat dekat dengan WS dan mengerti akan pasang surut dari usaha yang dimiliki oleh WS
hingga ia dipercaya untuk menjadi General Manager di Harissa Group. Menurut Sarantakos (dalam Poerwandi, 1998), prosedur
pangambilan sampel dalam penelitian kualitatif adalah umumnya
menampilkan karakteristik yaitu:
a) Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan
pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
b) Tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah
baik dalam jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai
dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam
penelitian
c) Tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah atau
peristiwa acak) melainkan kecocokan konteks.
Pengambilan subjek dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
memilih subjek dan informan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah
ditentukan oleh peneliti. Dengan pengambilan subjek secara purposif
(berdasarkan kriteria tertentu), maka penelitian ini menemukan subjek
31
Adapun kriteria utama dari subjek penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Seorang wirausahawan yang berusia 30 – 50 tahun 2. Sudah memiliki cabang usaha
3. Berwirausaha dalam bidang kuliner
4. Bersedia menjadi subjek penelitian
Adapun kriteria utama significant other adalah sebagai berikut : 1. Memiliki kedekatan yang baik dengan subjek
2. Telah mengetahui subyek dan mengetahui keseharian subjek
Untuk mencari subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian
tersebut, penulis mencari informasi dari beberapa warga Surabaya.
Dengan demikian penulis menemukan subjek yang sesuai dengan kriteria
penelitian tersebut dan memilih CH, HR dan WS sebagai subjek dalam
penelitian ini.
Sedangkan untuk significant other subjek pertama adalah istri dari CH sesuai dengan rekomendasi CH. Karena ada beberapa data yang
masih kurang lengkap, CH merekomendasikan L untuk menambah data
yang masih kurang tersebut.
Untuk significant other subjek kedua adalah kasir yang paling lama bekerja dan yang paling dipercaya oleh HR yaitu R. R terpilih sebagai
significant other juga atas rekomendasi dari HR.
32
paling mengetahui sejarahnya usaha milik WS. NC juga mengaku
mengetahui dan merasakan suka duka dalam usaha yang dibangun oleh
WS ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Guna mendapatkan data yang akurat dan kredibel, dalam penelitian
ini akan menggunakan beberapa teknik pengambilan data. Teknik
pengambilan data sangat beragam. Dalam penelitian ini akan
menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi
sebagaimana berikut :
1. Wawancara
Interview yang sering disebut juga dengan wawancara adalah
merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
mengadakan tanya jawab baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan sumber data. (Ali : 1987)
Metode ini digunakan untuk menggali data yang terkait dengan
proses merintis usaha subjek, permasalahan-permasalahan dalam usaha
subjek dan aspek – aspek resiliensi yang dimiliki oleh subjek.
Peneliti harus memperhatikan cara-cara yang benar dalam
melakukan wawancara, diantaranya adalah sebagai berikut: (Ali :
1987)
1) Pewawancara hendaknya menghindari kata yang memiliki
33
2) Pewawancara menghindari pertanyaan panjang yang
mengandung banyak pertanyaan khusus. Pertanyaan yang
panjang hendaknya dipecah menjadi beberapa pertanyaan
baru.
3) Pewawancara hendaknya mengajukan pertanyaan yang
konkrit dengan acuan waktu dan tempat yang jelas. (Ali :
1987)
2. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan
pengamatan langsung, dengan menggunakan mata tanpa alat bantuan
untuk keperluan tersebut dengan perencanaan yang sistematik.
Pengamatan dapat dilakukan terhadap suatu benda, keadaan, kondisi,
kegiatan, proses, atau penampilan tingkah laku seseorang. (Sanapiah :
1995)
Pada penelitian ini akan dilakukan observasi secara langsung.
Peneliti akan turun ke lapangan, dimana peneliti akan datang dan
melihat secara langsung aktitivitas yang dilakukan oleh subjek . Selain
itu, proses penjaringan data observasi dilakukan bersamaan dengan
pada saat proses wawancara berlangsung karena pada saat menjawab
pertanyaan, subjek menunjukkan ekspresi non verbal yang memiliki makna terkait dengan data informasi yang disampaikan secara verbal.
Penyusunan pencatatan observasi bertujuan untuk memfokuskan
34
gerakan tubuh atau body language bisa teramati atau terdeteksi sehingga mampu memberikan cek dan recek terhadap
informasi-informasi yang telah di sampaikan oleh subjek dalam wawancara.
3. Dokumentasi
Menurut Creswell (2010) dokumentasi dapat digunakan untuk
mengumpulkan dokumen-dokumen kualitatif yang berupa koran,
majalah, diary dan surat. Studi dokumen dipilih untuk melengkapi dari
penggunaan metode observasi dan wawancara. Sehingga nanti akan
mampu terlihat jelas bagaimana kehidupan nyata dari wirausahawan
kuliner di Surabaya beserta usaha yang telah dikembangkannya.
Ketiga alat pengumpul data digunakan untuk menggali
informasi dari subjek. Setelah mendapatkan data, data wawancara
dibuat transkip untuk dilakukan koding dan memberikan tema-tema
sesuai dengan fokus penelitian.
5. Analisis Data
Menurut Poerwandari (1998) Pengolahan dan analisis data
sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Dengan data
kualitatif yang sangat beragam dan banyak, menjadi kewajiban peneliti
untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap
mungkin.
Prosedur analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah
35
wawancara yang telah diverbatim dan deskripsi observasi. Koding adalah
pengorganisasian data kasar kedalam tema-tema atau konsep-konsep yang
digunakan untuk menganalisis data. Penelitian kualitatif melakukan
koding terhadap semua data yang telah dikumpulkan. (Newman 2003-200)
Koding dimasukkan untuk dapat mengorganisasi dan
mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat
memunculkan gambaran tentang topik yang diteliti. Dengan demikian
pada gilirannya peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang
telah dikumpulkan. (Poerwandari, 2005).
Langkah-langkah awal koding dapat dilakukan dengan cara
berikut: (Poerwandari, 2005)
1. Peneliti menyusun transkripsi verbatim (kata demi kata) atau catatan
lapangannya sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup
besar disebelah kiri dan kanan transkrip. Hal ini akan memudahkannya
membubuhkan kode-kode atau catatan-catatan tertentu diatas transkrip
tersebut.
2. Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada
baris-baris transkrip dan atau catatan lapangan tersebut. Dalam hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan nomor secara urut dari satu baris ke baris
lain atau dengan cara memberikan nomor baru untuk paragraf baru.
3. Peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode
36
dianggap paling tepat mewakili berkas tersebut. Jangan lupa untuk selalu
membubuhkan tanggal di tiap berkas.
6. Keabsahan Data
Moleong (2004: 324-326) mengutip Screven (1971) untuk
menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemerikasan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah
kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan yaitu derajat
kepercayaan (credibility), keterahlian (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Dalam penelitian ini menggunakan 2 kriteria dalam melakukan pemeriksaan data selama di
lapangan sampai pelaporan hasil penelitian.
1. Kredibilitas Data
Kriteria ini digunakan dengan maksud data dan informasi yang di
kumpulkan peneliti harus mengandung nilai kebenaran atau valid. Penggunaan kredibilitas untuk membuktikan apakah yang teramati oleh
peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia kenyataan,
dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia kenyataan tersebut
memang sesuai dengan yang sebenarnya ada atau terjadi.
Adapun untuk memperoleh keabsahan data, Moleong (2008)
merumuskan beberapa cara, yaitu: 1) perpanjangan keikutsertaan, 2)
ketekunan pengamatan, 3) Triangulasi data, 4) Pengecekan sejawat, 5)
37
anggota. Peneliti hanya menggunkan teknik ketekunan dan triangulasi
data.
Pertama, menurut Moleong (2008) ketekunan pengamatan
bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat
relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Jika perpanjangan
keikutsertaan menyedikan lingkup, maka ketekunan pengamatan
menyediakan kedalaman. Dengan ketekunan pengamatan peneliti bisa
mengetahui secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian.
Kedua, triangulasi (Moleong, 2008) yaitu teknik pemeriksaan
keabsahan data dengan melakukan pengecekan atau perbandingan
terhadap data yang diperoleh dengan sumber atau kriteria yang lain di luar
data itu, untuk meningkatkan keabsahan data. Pada penelitian ini,
triangulasi yang digunakan adalah: Triangulasi sumber, yaitu dengan cara
membandingkan apa yang dikatakan oleh subjek dengan dikatakan
informan dengan maksud agar data yang di peroleh dapat dipercaya karena
tidak hanya diperoleh dari satu sumber saja yaitu subjek penelitian, tetapi
data juga diperoleh dari beberapa sumber lain.
Triangulasi sumber data, dilakukan dengan cara: (Moelong : 2008)
1) Membandingkan apa yang dikatakan secara pribadi.
2) Membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen
38
3) Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi
pada saat itu dengan apa yang dilakukan sepanjang waktu.
4) Membandingkan keadaan perspektif seseorang dari berbagai
pendapat dan pandangan orang lain. Perbandingan ini akan
memperjelas perselisihan atas latar belakang alasan-alasan
terjadinya perbedaan pendapat maupun pandangan tersebut.
2. Kepastian Data
Kriteria ini digunakan untuk mencocokkan data observasi dan data
wawancara atau data pendukung lainnya. Dalam proses ini temuan-temuan
penelitian dicocokkan kembali dengan data yang diperoleh lewat rekaman
atau wawancara dan hasil dokumentasi. Apabila diketahui data-data
tersebut cukup koheren, maka temuan penelitian ini dipandang cukup
tinggi tingkat konformabilitasnya. Pengecekan hasil dilakukan secara
berulang-ulang serta dicocokkan dengan teori yang digunakan dalam
39
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. DESKRIPSI SUBJEK
A. Subjek Ke 1 ( CH, Owner Soto Abas)
Subjek pertama merupakan pemilik dari soto abas yakni CH. CH adalah seorang kepala rumahtangga dengan istri yang bernama Rofi’ah dan empat orang putra. Saat ini, Pak Cholis berusia 37 tahun. Sedangkan usia istri adalah 36 tahun. Outlet dari soto abas adalah sebanyak tujuh outlet yang beredar di wilayah Surabaya dan Sidoarjo. Yakni di cabang Wonocolo, Siwalankerto, Pucang, Bungurasih, Sedati Sidoarjo, Tambakrejo Sidoarjo, dan Krian Sidoarjo.
Rumah makan soto abas ini tidak hanya menjual aneka macam soto ayam khas Lamongan saja, akan tetapi juga menyajikan berbagai macam menu lainnya seperti nasi goreng dan bakso. Rumah makan yang dimiliki oleh alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya ini dilengkapi dengan fasilitas WIFI, Televisi,Audio player, dan kipas angin.
40
CH bertempat tinggal di Perumahan BCA, Jl Letjend Suprapto Gang Masjid No 8 Waru Sidoarjo. CH adalah alumni dari IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan program studi akidah filsafat dan meneruskan pendidikan magisternya di Universitas 17 Agustus Surabaya pada program studi psikologi. Akan tetapi pendidikan Magisternya tersebut tidak sampai ditamatkan kerena adanya kepesatan perkembangan dalam usahanya.
CH memulai berjualan soto pada usia 17 tahun dengan berkeliling dengan gerobaknya. Setelah dua tahun berjualan soto, CH memiliki satu karyawan karena CH ingin melalnjutkan sekolah pada jenjang sarjana. Pada saat ini, jumlah karyawannya berjumlah 39 karyawan yang tersebar di seluruh cabangnya.
B. Subjek ke-2 (HR, Owner Soto Cak Har)
Subjek utama kedua dalam penelitian ini adalah HR. HR adalah pemilik dari rumah makan soto Cak Har. Rumah makan soto Cak Har ini beralamatkan di Jl. Rahman Arif Hakim dan di Jl. Dr. Ir. Soekarno (MERR) Surabaya.
41
Kini, usaha sotonya mengalami perkembangan yang pesat. Rumah makan soto Cak Har banyak dipenuhi oleh orang setiap harinya. Bahkan, seperti pengakuan karyawannya, lahan parkir dari rumah makan soto Cak Har cabang Merr surabaya meluber hingga dijalan raya. Jumlah karyawan pada dua cabang soto Cak Har miliknya sudah terdapat 40 orang.
Saat ini, Usia HR adalah 45 tahun. Istri dari HR adalah berusia 39 tahun. HR memiliki tiga orang anak. Anak pertama lahir pada tahun 1996. Sedangkan untuk anak kedua lahir pada tahun 2002. Dan untuk anak ketiga lahir pada tahun 2011.
C. Subjek ke-3 (WS, Owner Soto Madura Wawan)
Pada subjek utama ketiga ini adalah WS. Putra asal Bojonegoro ini memilih untuk memilih berwirausaha dalam bidang kuliner khususnya soto ini adalah karena WS suka dengan soto. WS mengenal soto Madura lantaran dikenalkan oleh temannya yang kini menjadi kakak iparnya pada tahun 1987. Awal buka warung soto Madura Wawan ini Jl. Mayjend Sungkono. Sebelumnya, WS adalah sebagai pekerja dari sebuah hotel di Surabaya. Lantaran membuka warung soto lebih banyak pendapatannya daripada manjadi pegawai, maka WS memilih untuk tidak bekerja kembali di hotel.
42
Goreng Harissa, To Soto, dan Bebek Ndelik. Selain itu, WS juga menggeluti bisnis persewaan mobil.
Untuk Rumah Makan Soto Madura Wawan sudah memiliki dua belas cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk Rumah Makan Bebek Goreng Harissa, sudah memiliki sebelas cabang. Untuk rumah Makan To Soto sudah mencapai enam puluh cabang. Dan untuk Rumah Makan terbarunya adalah Bebek Ndelik masih mempunyai satu cabang. Oleh karena itu, jumlah karyawan WS sudah sangat banyak.
[image:52.595.121.515.139.603.2]
43
Tabel 4.1 Jadwal Kegiatan Observasi dan Wawancara
No Hari/Tanggal Jenis Kegiatan Tempat
1 Selasa, 5 Januari 2016
Wawancara dengan subjek pertama
RM. Soto Abas Cabang Juanda Sedati Sidoarjo 2 Rabu, 6 Januari 2016 Wawancara dengan
Significant other 1 untuk subjek pertama
Perumahan BCA Gg Masjid No 8 Waru Sidoarjo.
3 Rabu, 6 Januari 2016 Wawancara dengan Significant other 2 untuk subjek pertama
RM. Soto Abas Cabang Wonocolo Sidoarjo
4 Rabu, 6 Januari 2016 Meminta informed concent subjek ketiga
RM Bebek Goreng Harissa Cabang Merr Surabaya.
5 Kamis. 7 Januari 2016
Wawancara dengan subjek kedua
RM. Soto Cak har
cabang Merr
Surabaya. 6 Kamis, 7 Januari
2016
Wawancara dengan subjek ketiga
RM Bebek Goreng Harissa Cabang JX Surabaya.
7 Sabtu, 9 januari 2016 Wawancara dengan Significant other subjek ketiga
44
2. HASIL PENELITIAN
A. DESKRIPSI HASIL TEMUAN
Dari hasil penelitian ini, peneliti ingin manjawab dari pertanyaan peneliti yaitu bagaimana aspek-aspek resiliensi pada wirausahawan kuliner di Surabaya.
Sebelumnya, penulis akan mengemukakan hasil dari gambaran subjek dalam mengawali sebuah usaha dan bentuk-bentuk permsalahan-permasalahan berwirausaha yang dialami oleh subjek.
1) Kisah Perjalanan Subjek Dalam Membangun Usaha Kuliner.
a. Subjek 1
CH mengaku bahwa jiwa bisnisnya sudah ada saat CH masih kecil. Menurutnya, jika seseorang memiliki jiwa untuk selalu produktif, maka itu adalah orang yang memiliki jiwaentrepreneur.
45
masih inget kan mainan kecil itu yang kampung nggaktau kalau Surabaya (WCR1B242)
CH mengawali karir sebagai pengusaha kuliner pada tahun 1997. CH juga berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Sehingga pada tahun 1999 CH kuliah dan saat itu CH sudah memiliki satu karyawan untuk membantunya saat CH kuliah.
Tapi kalau keinginan saya untuk buka soto itu sejak kapan. Ya saya itu soto dari tahun 97. Kalau keinginan berwirausaha emang dari kecil udah tertanem jiwa wirausaha. Jiwa enterpreuner itu tadi. saya sempat ngajar selama 6 bulan terus karena kebutuhan ekonomi saya merantau ke Surabaya. Saya lulus dari pesantren kan 97. Nah saya 97, 98 itu berbekallah soto itu 99 saya kan baru masuk kuliah. Saya lulus 2003 jadi saya masa transisi 2 tahun. Saya uda punya karyawan, jadi 97-98 itu saya saya masih keliling iya kan. (WCR1B503). Terus 98 akhir saya udah punya warung tenda gitu, udah permanen. Eh itu uda merekrut anak buah satu. (WCR1B529)
CH memulai mendagangkan soto dengan mendorong gerobak. Satu tahun setelah berkeliling, CH menetap untuk berjualan dengan mendirikan tenda. Sampai pada akhirnya CH memiliki beberapa cabang.
46
kita syukuri yang membuat kita semangat lagi untuk terus bekerja bekerja dan bekerja. (WCR1B1625H)
Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh manager soto abas cabang Wonocolo.
Kalo dulu dari pertama kaki lima, terus dia keliling.. terus habis itu dia usaha kecil-kecilan dan sekarang menjadi bercabang sampai seperti ini (WCR3B17)
CH memilih berwirausaha karena kebangkrutan usaha yang dimiliki oleh ayahnya.
Ya sebenarnya kalau memilih dulu saya nggak dikasih pilihan gitu loh. Saya nggak memilih karena ini semua itu, eh terjadi karena tuntutan aja. Jadi keluarga saya dulu pengusaha sukses, petani. petani ya. petani sukses terus jatuh terus sampek depresi nah saya anak laki-laki yang pertama harus mengambil tombak estafet ekonomi keluarga. (WCR1B570).
Hal ini juga di sampaikan oleh istri subjek.
Sudah lama ya.. mungkin sejak orang tuanya.. itu kan pernah gagal, kemudian membangun sendiri mungkin cocokgituya. (WCR2B5)
b. Subjek 2
Sebelum mendirikan usaha sendiri, HR ikut bekerja di orang lain yang berjualan soto. Dari situlah HR belajar bagaimana memasak soto. Setelah HR memutuskan untuk membuka usaha soto sendiri, dikarenakan subjek ingin mandiri dalam membuka usaha.
47
akhir e pak Har ke Surabaya tahun delapan empat, delapan empat ke Surabaya ikut, ikut, ikut orang sampai tahun sembilan satu ikut orang sampai tahun sembilan dua, sembilan dua pak Har mulai mandiri, sembilan dua sampai sekarang ini sampai 2016. (WCR4B13)
Pada tahun 1992, HR memulai menjajakkan usahanya dengan berkeliling, dari jalan Arif Rahmat Hakim hingga Magrok.
Tahun sembilan dua pak Har itu kan keliling ke klampis, ke arif Rahman Hakim kita dorong kalau ada orang beli di jalan ya kita layani, kalau ga ada ya kita terus ke tempat tujuan Magrok, ya karena sudah ada tempat pak Har gaperlu keliling akhirnya lama-kelamaan sudah terkenal, mereka datang sendiri. (WCR4B146)
Hal ini juga disampaikan oleh R, kasir HR.
Ya sebenarnya si nggak tiba-tiba, tapi melalui proses cak harnya sendiri dulu jualan sotonya 15 tahun lebih sebenarnya. Mulai dari nol ya, yang namanya usaha itu ya ada maju mundur maju mundurnya itu terus mulai berkembang baru berapa tahun ya, mulai 2012 pas menempati lahan ini (WCR5B59)
R juga mengemukakan perkembangan usaha subjek saat ini
48
c. Subjek 3
Pada saat usia muda WS sudah mulai belajar berwirausaha. WS memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya dikarenakan WS pernah tidak naik kelas selama dua kali.
Sejak usia 12 tahun saya sudah belajar berwiraswasta, karena dulu, dulu 12 tahun itu saya sudah bekerja ikut Pak Lik saya di Cepu, kenapa koq umur 12 tahun sudah bekerja?, karena bayangkan sebenernya usia 12 tahun lulus SD karena saya yang cerita tadi, eh saya tidak naik dua kali saya berhentilah sekolah, lah sebenernya sajak kelas empat SD pun saya sudah berdagang eh saksinya banyak tu, nanti kamu ikut aku ke desaku ke Bojonegoro . Jadi saat seusia itupun om Wawan sudah belajar berdagang saat itu masih mercon itukan kayak petasan itukan di bebaskan kan dulu itu yah toh? Bisa jualan kemana-mana, jualan es, es lilin tu yang kulak’an di plastik-plastik itu, setelah 12 tahun saya gabung sama Pak Lik saya, karena ga sekolah malu saya tinggal di desa saya, di sana saya kerja bantu bikin roti bolak-balik apa roti goreng itu ya, jipang kayak gitu, nah saat di sana tahun kedua berarti usia om Wawan sudah empat belas tahun lebih ya, tahun ke empat belas tahun lebih ya orang tua Om Wawan datang. (WCR6B4)
49
kamu bekerja nyidek o banyu seng gedeh, ben kamu kecipratan, lah kamu lak kerjo nang kene kape dadi opo uripmu kedepan” (WCR6B42)
Setelah mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko, WS mendapat tawaran untuk bekerja di hotel. Saat bekerja di hotel, subjek mempunyai teman yang ayahnya sebagai penjual soto. Dari situlah WS belajar membuat soto dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri pada bidang kuliner yaitu soto. Dengan membuka usaha sendiri soto tersebut, ternyata hasil penjualan soto lebih besar daripada bekerja di hotel. Akhirnya WS memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya di hotel dan menekuni usaha sotonya tersebut, hingga membuka beberapa restaurant lainnya.
50
ngupas jahe, saya bantu... tapi disitu pembelajaran saya dapatkan ilmu. Nah karna saling mengenal saya diajak tempatnya jualan akhirnya mental saya untuk itu sudah ada ya sudah ada jadi dengan spontan ayuk buka soto joinan ya gitu awalnya gitu ya. (WCR6B134) saya cobalah, begitu diacc bingung rombong alhamdulillah rombong dapat pinjaman dari ayah Sholehudin karna joinan tadi ya kan sama mas Sholehudin itu. Di dalam perjalanan hingga menembus satu tahun mungkin masih sekitar 6 bulanan jualan soto sambil kerja. Saya lihat ya hasil jualan itu dimasukan celengan gak pake nabung di Bank, saya bandingkan gaji 4 bulan usaha sendiri dan gaji di hotel ya 10 kali lipat. Saya kerja 4 bulan itu saya kalau buat makan satu tahun bisa makanya saya pu