• Tidak ada hasil yang ditemukan

WALASUJI Volume 12, No. 2, Desember 2021:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "WALASUJI Volume 12, No. 2, Desember 2021:"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ANAK-ANAK DALAM ANCAMAN KUSTA:

PENULARAN DAN PENANGANANNYA DI HINDIA BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20

CHILDREN UNDER THE THREAT OF LEPROSY: TRANSMISSION AND HANDLING IN DUTCH COLONIAL EAST INDIES IN THE EARLY

20

TH

CENTURY

Ayu Wulandari

Alumnus S1 Ilmu Sejarah, Departemen Sejarah, Universitas Gadjah Mada Jalan Sosio Humaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Pos-el: [email protected] DOI: 10.36869/wjsb.v12i2.212

ABSTRACT

For the history of human civilization, various outbreaks of viruses and diseases have occurred. One of the epidemics was the leprosy in the Dutch East Indies which increased sharply in the first half of the 20th century.

People became victims of this epidemic, including children. Unfortunately, not many academics placed children as the focus on studies of leprosy. Due to this background, this study discussed children on epidemic of leprosy in the early 20th century. This study was conducted using the historical method, with colonial newspapers as the primary source. The results showed that children in the Dutch East Indies were infected with the leprosy from their parents who had previously been infected. The presence of children leprosy infected was considered to disturb the comfort of the surrounding environment, thus causing a number of polemics in the society.

There were many demands to separate them from their surroundings and to prohibit them to go to school. To overcome this polemic, various philanthropic acts emerged to pay attention for children who have been leprosy infected. The philanthropic acts from Europe and the local doctors provided services for children leprosy infected by establishing hospitals and special foundations for them.

Keywords: children, leprosy, philanthropic acts, polemics, transmission.

ABSTRAK

Dalam sejarah peradaban manusia, berbagai wabah virus dan penyakit pernah terjadi. Salah satu wabah yang pernah terjadi adalah wabah kusta pada masa Hindia Belanda yang meningkat tajam pada paruh pertama abad ke-20. Masyarakat menjadi korban dari wabah ini, termasuk anak-anak. Sayangnya, tidak banyak akademisi yang menempatkan anak-anak sebagai fokus dalam kajian-kajian tentang kusta. Bermula dari latar belakang tersebut, kajian ini membahas tentang anak-anak dalam pusaran wabah kusta pada awal abad ke-20. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah, dengan koran-koran kolonial sebagai sumber primernya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada masa Hindia Belanda terinfeksi kusta dari orang tua mereka yang telah terinfeksi terlebih dahulu. Keberadaan anak-anak yang terinfeksi kusta ini dinilai mengganggu kenyamanan lingkungan sekitar, sehingga menimbulkan sejumlah polemik di masyarakat. Muncul berbagai tuntutan untuk memisahkan mereka dari lingkungan sekitar hingga melarangnya pergi ke sekolah. Menghadapi polemik ini, berbagai gerakan filantropi muncul untuk memberikan perhatian terhadap anak-anak yang telah terinfeksi kusta. Gerakan filantropi dari Eropa dan para dokter lokal memberikan pelayanan kepada anak-anak terinfeksi kusta dengan mendirikan rumah sakit dan yayasan khusus untuk mereka.

Kata kunci: anak-anak, kusta, gerakan filantropi, polemik, penularan.

(2)

PENDAHULUAN

Pada awal 2020, manusia di berbagai belahan dunia dihadapkan pada pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang menyerang kalangan dari berbagai usia. Para lansia, orang dewasa, hingga anak-anak memiliki peluang yang sama untuk terinfeksi virus ini.

Tak hanya itu, gelombang pandemi COVID-19 juga telah melemahkan berbagai sendi kehidupan, terutama pada bidang perekonomian.

Masyarakat juga harus beradaptasi dengan berbagai kebiasaan baru seperti harus menjaga jarak (physical distancing), memakai masker, hingga menghindari kerumunan. Tentu tidak mudah untuk hidup dalam kebiasan- kebiasaan baru tersebut, terutama bagi anak- anak yang seharusnya bersosialisasi dengan teman sebayanya atau bermain bebas di luar rumah. Mereka juga diharuskan belajar dari rumah (school from home), sebab sekolah yang seharusnya menjadi tempat tatap muka dinilai dapat menjadi klaster baru penularan COVID-19.

Namun, hidup dalam keterbatasan akibat virus dan penyakit sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah peradaban manusia.

Resistensi masyarakat terhadap berbagai virus dan penyakit di Indonesia khususnya, telah cukup sering dibahas oleh para sejarawan yang mendalami sejarah kesehatan. Sayangnya, pembahasan demi pembahasan yang ada hanya fokus pada masyarakat secara umum atau cenderung menempatkan orang-orang dewasa sebagai pusat kajian. Sementara itu, tidak banyak sejarawan atau akademisi yang memusatkan perhatiannya pada anak-anak.

Padahal, anak-anak menjadi kelompok yang tidak dapat dipisahkan dari setiap ancaman virus dan penyakit.

Pada masa kolonial Hindia Belanda misalnya, anak-anak pernah menjadi korban dari berbagai virus dan penyakit yang mewabah.

Dalam wabah cacar yang terjadi pada paruh pertama abad ke-20 di Pulau Jawa, anak-anak

mendominasi jumlah korban yang ada (Cipta, 2020:5). Kemudian dalam wabah influenza, anak-anak juga turut menjadi kelompok yang terserang. Tak hanya itu, dalam wabah kusta yang pernah terjadi di Hindia Belanda, anak- anak juga menjadi penderita penyakit ini. Dari berbagai macam virus dan penyakit, bagaimana anak-anak berada dalam pusaran penyakit kusta ini menjadi cukup menarik. Apalagi, sejauh ini tidak banyak kajian yang menempatkan anak- anak sebagai pusat kajian dari sejarah penyakit kusta dan penyebarannya di Hindia Belanda.

Secara umum, kusta atau lepra merupakan penyakit infeksi bakteri kronis yang dapat menyerang jaringan kulit hingga saluran pernapasan manusia. Penyakit ini dapat menyerang penduduk dalam skala yang luas (Bustan, 2006: 2), sehingga tidak dapat dianggap sebagai wabah yang ringan. Kusta di Hindia Belanda diperkirakan berasal dari orang-orang Cina atau para pendatang dari wilayah di luar Hindia Belanda (Rachmawati, 2014: 84). Menurut kajian yang dilakukan oleh Boomgaard (2007), penyakit kusta ini telah masuk ke Indonesia kolonial sekitar abad ke-16.

Kemudian pada abad ke-17, penyakit ini telah meluas di Hindia Belanda, terutama di kota- kota besar dan kumuh seperti Batavia. Sejak saat itu, kusta terus menyerang masyarakat dari berbagai usia hingga mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-20 (Rachmawati, 2014:

84). Tidak terkecuali pad kelompok anak-anak dari serangan penyakit ini. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kajian ini membahas anak-anak dalam pusaran penyakit kusta di Hindia Belanda pada awal abad ke-20, dengan menitikberatkan pada penularan hingga upaya penanganannya.

Sebelumnya, telah terdapat beberapa studi atau kajian yang membahas kusta dalam perspektif historis. Rachmawati (2014) dalam kajiannya yang berjudul Penyakit Kusta di Bangkalan Tahun 1924--1939 telah membahas tentang penyebaran kusta, faktor-faktor penyebab kusta, sampai menunjukkan jumlah

(3)

hingga langkah penanganan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Bangkalan, Madura. Kajian yang menarik juga dilakukan oleh Romadhon (2018) melalui tesisnya yang berjudul Ragapadmi and the First Leper: A Critical History of Leprosy Transmission in Madura, Indonesia, yang menghubungkan sejarah penyebaran lepra atau kusta di Madura dengan tradisi lisan masyarakat setempat (oral tradition). Kemudian terdapat sebuah kajian yang bersifat komparatif yang ditulis oleh Snelders, van Bergen, dan Huisman (2019) dalam Leprosy and the Colonial Gaze:

Comparing the Dutch West and East Indies, 1750-1950. Dalam kajian tersebut, mereka upaya Pemerintah Belanda dalam menangani kusta di Hindia Barat (Suriname) dan Hindia Timur. Dalam kajian tersebut juga diperkenalkan pola penanganan wabah kusta yang kini dapat ditemui dalam penanganan Covid-19 seperti isolasi mandiri. Kemudian dalam kajian- kajian lainnya, pembahasan mengenai kusta menjadi bagian dari pembahasan kebijakan kesehatan era kolonial. Cipta (2020) melalui kajian yang berjudul Upaya Penanganan Pemerintah Hindia Belanda dalam Menghadapi Berbagai Wabah Penyakit di Jawa 1911-1943 menyertakan penanganan penyakit kusta dalam pembahasannya. Kemudian, Hasanah (2020) dalam kajian terbarunya yang berjudul Kebangkitan Dokter Pribumi dalam Lapangan Kesehatan: Melawan Wabah Pes, Lepra, dan Influenza di Hindia Belanda Pada Awal Abad XX menganalisis peran dokter lokal dalam penanganan wabah kusta.

Berbagai kajian yang ada telah memberikan informasi yang cukup detail mengenai asal mula penyakit kusta, penularan dan penyebarannya, hingga respons Pemerintah Kolonial Hindia Belanda terhadap wabah ini. Namun dari berbagai studi yang ada, sayangnya belum terdapat kajian yang menempatkan anak-anak penderita kusta sebagai pusat pembahasannya. Karenanya, penting untuk menghadirkan narasi mengenai

penularan dan penanganan penyakit kusta pada anak-anak, sehingga historiografi sejarah kesehatan Indonesia tidak hanya dimiliki oleh orang dewasa.

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sejarah, yang terdiri atas pemilihan topik, heuristik atau pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, dan historiografi atau penulisan (Kuntowijoyo, 2013:69). Setelah memilih topik, penelitian dilakukan dengan mengumpulkan sumber primer berupa koran-koran kolonial. Sementara untuk buku, jurnal, dan referensi lainnya menjadi sumber sekunder dalam penelitian ini. Kemudian, sumber-sumber yang telah didapatkan memasuki tahap verifikasi dan interprestasi sehingga dapat diperoleh fakta- fakta historis yang kredibel. Fakta-fakta inilah yang kemudian disusun menjadi sebuah historiografi yang runtut dan komprehensif.

PEMBAHASAN

Anak-anak dalam Pusaran Wabah Kusta di Hindia Belanda

Penyakit kusta atau yang juga dikenal dengan lepra bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Penyakit ini telah menjangkiti masyarakat di beberapa titik wilayah Hindia Belanda sejak abad ke-17. Selain Hindia Belanda, wilayah lain seperti India yang berada di bawah jajahan Inggris juga menjadi koloni dari wabah ini. Kemudian, kusta juga menyebar luas di Filipina yang saat itu berada di bawa kekuasaan Spanyol (Romadhon, 2018:33).

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kusta bukan hanya wabah yang terjadi dalam konteks lokal Hindia Belanda saja. Namun bagi orang- orang Eropa yang berada di Hindia Belanda, penyakit kusta sebenarnya tidak familiar di telinga mereka (Romadhon, 2018:33). Bahkan

(4)

pada awalnya, mereka menganggap bahwa dirinya kebal dari serangan kusta karena adanya anggapan bahwa penyakit ini hanya akan menyerang masyarakat yang miskin dan memiliki tingkat kebersihan yang rendah.

Anggapan kekebalan orang Eropa dari wabah kusta juga mempengaruhi perspektif Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, karenanya sikap pemerintah terhadap wabah ini juga sempat berubah-ubah. Pada awalnya, kusta dianggap tidak berbahaya karena dianggap sebagai penyakit turunan. Beberapa rumah sakit dan klinik khusus kusta juga sempat ditutup setelah dikeluarkannya maklumat pada tahun 1870 yang menyatakan bahwa pemerintah tidak lagi ikut campur dalam penanganan kusta (van Bergen, 2019:165). Kusta baru dianggap sebagai penyakit berbahaya setelah tahun 1897, yakni pascapelaksanaan kongres internasional di Berlin yang menyatakan bahwa kusta merupakan penyakit menular.

Perkembangan terbaru ini mendorong pendirian institusi penanganan kusta di berbagai tempat, termasuk di wilayah Hindia Belanda.

Deklarasi bahwa kusta merupakan penyakit menular kemudian membuat masyarakat maupun otoritas Pemerintah Kolonial Hindia Belanda merasa tidak nyaman.

Apalagi, jumlah korban terus meningkat dari waktu ke waktu. Banyaknya penderita kusta juga menambah pengeluaran para elite lokal untuk merawat mereka di rumah sakit.

Sebagai contoh, para elite lokal di Batavia – terutama yang diberi tugas untuk mengelola penampungan penderita kusta – mengeluhkan biaya perawatan penderita kusta yang sangat tinggi, ditambah jumlah korban yang terus meningkat setiap harinya (Boomgard, 2007:26).

Berdasarkan tulisan van Bergen (2018:185), biaya perawatan kusta khususnya untuk isolasi jika dihitung secara kasar mencapai 41 gulden per pasien untuk per tahunnya pada 1915. Biaya ini tentu tidak cukup murah untuk dijangkau masyarakat lokal yang penghasilannya sangat

terbatas dan hidup di bawah garis kemiskinan.

Selain di Batavia, kusta juga meluas di Maluku, Bali, bagian timur Jawa, Sumatra, hingga Celebes (Sulawesi). Meskipun tidak diketahui pasti berapa jumlah korban kusta masa ke masa, namun mewabahnya penyakit ini setidaknya menunjukkan bahwa masyarakat Hindia Belanda memiliki kondisi kesehatan yang buruk, sanitasi yang minim, hingga tingkat kebersihan yang rendah (Hasanah, 2020: 217).

Wabah kusta diperkirakan mencapai puncaknya pada awal abad ke-20, merujuk pada laporan kolonial yang menyatakan bahwa pada tahun 1905 tercatat sepuluh ribu orang di Hindia Belanda menderita penyakit ini (van Bergen, 2018:108). Akibatnya, beberapa rumah sakit pun dialihkan menjadi rumah sakit khusus penanganan kusta. Contohnya saja rumah sakit militer yang berada di Semarang yang dialihfungsikan menjadi rumah sakit kusta pada 1908 (Hesselink, 2011:294).

Institusi atau rumah sakit khusus kusta ini sebenarnya telah terdapat sejak sebelum abad ke-20. Pada tahun 1870-an misalnya, terdapat empat institusi penanganan kusta di Jawa dan sepuluh lainnya berada di luar Jawa (Hesselink, 2011: 104). Kemudian pada awal abad ke-20, berbagai rumah sakit hingga lembaga khusus penanganan kusta didirikan di berbagai daerah seperti di Sumatra dan Borneo (Zondervan, 2016: 121). Hingga tahun 1911, terdapat dua puluh institusi penanganan kusta yang terdiri atas empat institusi milik pemerintah dan sisanya merupakan milik swasta (Zondervan, 2016: 122). Peningkatan jumlah klinik dan rumah sakit kusta ini di satu sisi menunjukkan meningkatnya perhatian Pemerintah Kolonial, namun di sisi lain hal ini juga menunjukkan peningkatan jumlah pasien penderita kusta.

Tingginya tingkat dan angka penyebaran kusta di Hindia Belanda membuat berbagai kalangan berpotensi menjadi korban selanjutnya dari wabah ini. Tak terkecuali dalam hal ini adalah anak-anak. Jauh sebelum

(5)

abad ke-20, anak-anak juga sebenarnya telah menjadi korban dari wabah kusta. Fenomena ini juga terjadi ketika penularan kusta mengalami penurunan pada abad ke-18. Sebagai contoh, pada tahun 1764 terdapat enam anak-anak yang terinfeksi kusta di Ambon, Maluku (Zondervan, 2016: 44).

Menariknya, sempat terjadi perdebatan mengenai infeksi kusta pada anak-anak di Hindia Belanda. Sebagian dokter memercayai bahwa kusta pada anak diturunkan oleh orang tuanya, namun sebagian lagi memercayai bahwa anak yang menderita kusta hanya tertular dari keluarga atau orang-orang terdekatnya. Penyelidikan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di desa-desa juga menunjukkan bahwa rata-rata, anak-anak yang terinfeksi kusta merupakan anak yang dirawat oleh nenek atau keluarga yang juga seorang penderita kusta (De Indische Courant, 5 Januari 1937). Namun yang pasti di Hindia Belanda secara umum, infeksi kusta pada anak-anak dapat dikatakan memiliki bahaya yang jauh lebih besar pada saat itu (De Indische Courant, 5 Januari 1937). Kasus yang terjadi relatif lebih tinggi terjadi pada anak- anak dengan usia di atas lima tahun. Sementara itu, tidak banyak ditemukan kasus kusta pada anak usia nol sampai dua tahun, karena menurut para dokter kusta membutuhkan waktu selama setidaknya dua tahun untuk menginfeksi anak- anak dengan kondisi yang lebih parah (De Nederlander, 31 Oktober 1933).

Adanya anak-anak yang terinfeksi kusta merupakan dampak lebih lanjut dari tidak adanya aturan pernikahan yang tegas di Hindia Belanda. Sebagai contoh, di Donorodjo, Jawa Tengah, tidak ada larangan untuk menikah dengan seorang laki-laki atau perempuan yang menderita kusta. Dalam kasus ini, potensi bagi anak untuk terinfeksi kusta sejak masih balita menjadi cukup tinggi (Gramberg, 1938). Hal ini terbukti dari naiknya kurva jumlah penderita kusta di kalangan anak-anak di Donoredjo pada 1930-an. Kasus yang sama juga terjadi

di beberapa titik lainnya. Pada tahun 1933 di Desa Klampok, Jawa Timur misalnya tercatat tidak kurang dari 25 anak-anak terinfeksi penyakit kusta (Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 4 Agustus 1933).

Penyebaran kusta di berbagai tempat kemudian mendorong para elite lokal seperti bupati untuk mengadakan eksplorasi lebih lanjut. Bupati Blora misalnya, segera menugaskan dokter yang kompeten untuk memetakan penyebaran kusta di wilayah tersebut hingga tahun 1935. Pada akhir tahun 1935, laporan eksplorasi yang diterbitkan menunjukkan bahwa terdapat 330 penderita kusta yang tersebar di 129 desa. Dari jumlah tersebut, secara detail dapat disebutkan bahwa 244 diantaranya terdiri atas laki-laki dan sisanya merupakan kaum perempuan (Sardjito, Mochtar, dan Tjitrohoepojo, 1938:1823).

Sementara itu, jumlah anak-anak yang terinfeksi kusta sebanyak 53 atau mencapai 16% dari keseluruhan jumlah korban (Sardjito, Mochtar, dan Tjitrohoepojo, 1938:1823).

Kemudian di wilayah lain seperti Kediri dan beberapa wilayah di luar Jawa, anak-anak juga menjadi bagian dari korban wabah ini. Dalam penelitian yang dilakukan oleh J. B. Sitanala, Achmad Mochtar, dan Sardjito pada Maret 1934 misalnya ditemukan beberapa anak yang terinfeksi kusta di Bali tepatnya di Karangasem, Paguyangan, Jagaraga, dan beberapa titik lainnya (Sitanala, Sardjito, dan Mochtar, 1936:

26). Mereka terinfeksi penyakit ini karena mengalami kontak erat dengan orang-orang dewasa yang telah lebih dulu menderita kusta.

Meskipun sekali lagi, perlu ditekankan bahwa jumlah anak-anak yang terinfeksi kusta tidak sebanyak korban dari kalangan orang dewasa.

Infeksi kusta pada anak-anak tidak hanya terjadi di perkampungan atau wilayah yang menjadi koloni kusta, sebab wabah ini juga melebar hingga wilayah permukiman di sekitar perkebunan. Penyakit ini menginfeksi anak-anak dari para pekerja di perkebunan kolonial. Bagaimanapun, terjadinya berbagai

(6)

wabah di Hindia Belanda – termasuk kusta – memang tidak dapat dilepaskan dari ekspansi perkebunan. Pembukaan lahan untuk perkebunan telah menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan sekitar (Agustono, Junaidi, dan Affandi, 2021: 5). Perluasan lahan perkebunan juga menimbulkan “domino effect”, kemudian terjadi perekrutan tenaga kerja yang masif, sehingga terjadi migrasi besar-besaran para tenaga kerja dan keluarganya ke wilayah sekitar perkebunan tersebut (Agustono, Junaidi, dan Affandi, 2021:5). Gelombang migrasi tersebut tidak diikuti dengan pembangunan permukiman yang layak, bersih, atau fasilitas kesehatan yang memadai. Kondisi seperti ini jelas terjadi di beberapa wilayah yang kaya akan perkebunan, seperti di Sumatra Timur.

Kusta yang menyerang anak-anak menunjukkan bahwa semua kalangan dapat terinfeksi wabah ini. Ketika mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-20, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian menempatkan anak-anak yang terinfeksi kusta sebagai bagian dari golongan yang harus diberikan perhatian dalam urusan kesehatan.

Namun, kehadiran anak-anak yang terinfeksi kusta ini juga menimbulkan masalah baru, yakni adanya sentimen masyarakat hingga lingkungan sekolah terhadap anak-anak tersebut.

Polemik dan Penanganan Kusta pada Anak- anak

Adanya anak-anak yang terinfeksi kusta menunjukkan bahwa keluarga dapat menjadi klaster pertama penularan penyakit ini. Sebagaimana telah dibahas dalam bagian sebelumnya, mereka dapat tertular dari ibu, nenek, ataupun anggota keluarga yang lainnya.

Anak yang menderita kusta kemudian juga berpotensi menularkan kepada anak-anak lainnya. Hal ini rentan terjadi di lingkaran pertemanan sebaya maupun di lingkungan sekolah, di mana antara satu anak berbaur dengan anak lainnya dengan jarak yang sangat

dekat. Kekhawatiran pun muncul dari berbagai kalangan, mulai dari orang tua murid, otoritas sekolah, tenaga medis, hingga Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Akibatnya, muncul sejumlah polemik di masyarakat mengenai anak-anak yang terinfeksi penyakit kusta.

Anak-anak yang sejak kecil telah terinfeksi kusta akan dijauhi oleh kerabat dan tetangganya, terutama jika gejala-gejala kusta tampak sangat nyata pada diri sang anak. Meskipun pada kenyataannya, anak- anak di bawah lima belas tahun hampir tidak menunjukkan gejala yang signifikan jika mereka terinfeksi kusta. Kemudian pada keluarga atau lingkungan masyarakat yang menyadari bahaya kusta, anak-anak tersebut dapat diusir, dicemooh, atau bahkan dianggap sebagai aib keluarga. Karenanya, hal ini dapat menimbulkan masalah baru yakni tekanan psikologis pada anak-anak tersebut.

Pro dan kontra yang cukup besar kemudian terjadi di lingkungan sekolah, dimana anak-anak yang terinfeksi kusta dinilai tidak layak untuk datang ke sekolah mereka.

Para orang tua murid khawatir jika sekolah akan menjadi klaster baru dalam penularan wabah ini. Konflik semacam ini pernah terjadi di Medan pada awal abad ke-20. Pada Desember 1904, ditemukan seorang anak yang diduga terinfeksi kusta di sekolah dasar anak- anak Eropa di Medan. Pihak sekolah kemudian juga mendatangkan dokter untuk memeriksa anak yang diduga terinfeksi kusta, yang hasilnya menunjukkan bahwa anak tersebut memang mengidap kusta. Menanggapi hal ini, maka ayah dari anak yang menderita kusta yang dimaksud di atas, memilih untuk menarik anaknya dari sekolah tersebut (De Sumatra Post, 23 Desember 1904).

Komite sekolah terkait kemudian juga mengirimkan surat kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia untuk menegaskan bahwa anak-anak yang terinfeksi kusta harus dilarang pergi ke sekolah (Het Vaderland, 23 Januari 1905). Surat tersebut dikirimkan bukan

(7)

hanya karena pihak sekolah khawatir dengan penularan kusta, tetapi juga didorong oleh adanya ancaman bahwa orang tua dari murid- murid yang sehat akan memindahkan anak- anak mereka ke sekolah lain agar lebih aman.

Namun dalam menanggapi surat ini, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tidak serta merta menyetujui penolakan terhadap anak-anak yang terinfeksi kusta di lingkungan sekolah.

Direktur laboratorium medis maupun otoritas Dinas Kesehatan di Batavia menilai bahwa penularan kusta pada saat itu masih tergolong rendah, termasuk di kalangan anak-anak.

Mengingat anak-anak yang sehat berpotensi tertular kusta dari teman sebayanya yang sudah terinfeksi, maka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memberikan saran agar pihak sekolah memastikan bahwa anak yang diduga mengidap kusta rutin mendapat pemeriksaan dokter setiap tiga bulan sekali. Keputusan ini dikeluarkan karena banyak kasus yang hanya didasarkan pada asumsi, sehingga pemeriksaan dokter dibutuhkan untuk memastikan apakah memang benar anak tersebut terinfeksi kusta atau tidak. Anak-anak akan dilarang untuk pergi ke sekolah jika dokter telah memutuskan bahwa mereka benar-benar menderita kusta dan tidak memungkinkan baginya untuk beraktivitas secara normal (De Sumatra Post, 25 Mei 1908).

Sekolah memiliki kewenangan untuk sewaktu-waktu mengeluarkan anak yang telah terkonfirmasi menderita kusta. Tidak jarang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga mengiyakan tuntutan untuk melarang anak yang terinfeksi kusta untuk pergi ke sekolah, apalagi pada saat yang sama terdapat sekitar sepuluh ribu orang yang terjangkit kusta di Hindia Belanda (van Bergen, 2018:108). Dari kasus ini, tampak bahwa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga mengalami kebimbangan dalam menangani kusta. Di satu sisi, mereka menganggap penyakit ini berbahaya dan menular sehingga penderitanya harus dijauhkan dari lingkungan sekitar, namun di sisi lain terkadang mereka menganggap bahwa kusta

hanya penyakit dengan tingkat infeksi yang rendah.

Meskipun prosedur mengenai larangan anak-anak yang terinfeksi kusta untuk ke sekolah telah ditetapkan, namun masyarakat tetap memiliki kekhawatiran. Karenanya, para orang tua murid – terutama di sekolah-sekolah Eropa – terus menerus memberikan masukan bahwa anak-anak penderita kusta harus dijauhkan dari anak-anak lain yang masih sehat.

Polemik ini mendorong Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melakukan sejumlah tindakan penanganan penyakit kusta pada anak-anak.

Mengingat penularan kusta dari satu anak ke anak-anak lainnya adalah salah satu bentuk penularan yang paling masuk akal, maka ada upaya penanganan dengan cara mengurangi kontak fisik antara anak yang terinfeksi kusta dengan anak yang sehat. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menyarankan anak- anak penderita kusta harus menjalani isolasi mandiri – setidaknya sampai beberapa waktu – hingga kondisi mereka membaik. Hal ini dapat mengurangi potensi penularan kusta sekaligus mengurangi kekhawatiran para orang tua dari anak-anak yang sehat. Keputusan agar anak- anak mengikuti isolasi mandiri ini juga menjadi sangat penting dalam sejarah penanganan kusta di Hindia Belanda, sebab hal ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung telah terjadi perubahan orientasi penanganan kusta dari yang sebelumnya terpusat pada orang dewasa dan kemudian dialihkan kepada anak-anak.

Setelah menyarankan kebijakan isolasi mandiri dan larangan pergi ke sekolah dengan syarat tertentu, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian mengeluarkan kebijakan yang mengejutkan. Sejak tahun 1925, Pemerintah Kolonial akhirnya secara resmi melarang sepenuhnya anak-anak yang terinfeksi kusta untuk pergi ke sekolah. Dekrit ini juga sekaligus menunjukkan ketakutan Belanda terhadap penyakit kusta di sekitar mereka (Romadhon, 2018:44). Kebijakan ini juga menguatkan himbauan agar anak-anak

(8)

yang telah terinfeksi kusta untuk tinggal di dalam rumah dan menghindari kontak fisik dengan anak-anak maupun orang dewasa di sekitarnya. Di satu sisi, cara ini dinilai cukup efektif untuk mencegah penularan kusta secara lebih lanjut. Namun di sisi lain, kebijakan ini sebenarnya juga dapat menimbulkan dampak psikologis yang cukup besar, dimana anak- anak tersebut memiliki perasaan cemas, takut, dan pesimisme bahwa mereka tidak berguna bagi lingkungan sekitar.

Isolasi mandiri dan kebijakan lain yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda lama kelamaan dinilai tidak terlalu efektif untuk menanggulangi wabah kusta pada anak-anak. Apalagi, usia anak-anak merupakan masa dimana mereka sangat aktif bermain dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga cukup sulit bagi para orang tua untuk mencegah mereka keluar dari rumahnya masing-masing. Merespons perkembangan ini, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian mendorong rumah sakit di berbagai wilayah untuk memberikan pelayanan terhadap anak yang menderita kusta. Bergandengan dengan pihak swasta, Pemerintah mendirikan beberapa rumah sakit hingga klinik khusus rawat jalan.

Beberapa klinik rawat jalan untuk penderita kusta ini dibangun hingga awal tahun 1940- an (de Jonge, 2004:99). Selain itu, pemerintah juga melakukan upaya lainnya seperti perbaikan pasokan air dan saluran drainase, sehingga masyarakat dapat hidup dengan cara yang lebih higienis.

Namun sama seperti kebijakan isolasi mandiri dan larangan pergi ke sekolah, mendorong para orang tua untuk membawa anak-anak yang terinfeksi kusta ke klinik atau rumah sakit tidak sepenuhnya meningkatkan angka kesembuhan. Faktanya, banyak orang yang enggan membawa anak-anak mereka untuk berobat. Kondisi ini tidak lain disebabkan oleh rendahnya tingkat perekonomian terutama pada masyarakat lokal, sehingga anak-anak yang terinfeksi kusta tidak mendapatkan

penanganan yang baik. Sulitnya akses dan kemampuan masyarakat untuk membawa anak-anak mereka berobat juga didorong oleh beberapa faktor lainnya seperti adanya rasa malu karena anaknya terinfeksi kusta.

Kesulitan para orang tua membawa anak-anaknya berobat kemudian mendorong pengabdian dari berbagai gerakan filantropi, baik dari masyarakat lokal maupun dari orang-orang Eropa. Gerakan filantropi ini juga dilakukan ketika wabah-wabah lainnya terjadi. Sebagai contoh, ketika wabah Flu Spanyol menyerang Hindia Belanda, muncul berbagai gerakan filantropi yang menyalurkan bahan makanan dan obat-obatan kepada masyarakat (Ravando, 2020:372--382). Secara umum, gerakan filantropi bagi anak-anak yang terinfeksi kusta menjadi sangat penting bagi masyarakat Hindia Belanda pada paruh pertama abad ke-20. Memperhatikan kondisi Hindia Belanda yang pada saat itu harus memerangi berbagai jenis wabah, maka golongan anak-anak rentan menjadi golongan yang terabaikan dalam penanganan wabah-wabah tersebut. Sebagai contoh, pada awal abad ke-20 Pemerintah Kolonial Hindia Belanda disibukkan dengan upaya memerangi Flu Spanyol pada 1918-- 1919. Selain Flu Spanyol, ada pula wabah pes yang terjadi di Malang sekitar tahun 1910-- 1916 yang juga menyita waktu Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Safitry, 2020:116-- 120). Wabah lain seperti malaria hingga cacar juga masih terus meluas di Hindia Belanda pada paruh pertama abad ke-20.

Mengenai gerakan filantropi terhadap anak-anak penderita kusta bisa dicontohkan oleh misi kemanusiaan bernama Rheinische Mission. Misi ini diinisiasi oleh para misionaris dari Jerman yang kemudian membangun rumah sakit khusus penderita kusta di Sumatra pada dekade pertama abad ke-20. Meskipun tidak ditujukan secara khusus untuk menampung pasien anak-anak, tetapi rumah sakit yang didirikan oleh Rheinische Mission ini juga memberikan pelayanan untuk anak-anak.

(9)

Berdasarkan informasi yang tersedia, dapat diketahui bahwa rumah sakit tersebut mampu menampung hingga enam puluh pasien penderita kusta (Zondervan, 2016:115).

Gerakan filantropi lainnya adalah dalam bentuk pembangunan rumah khusus anak- anak kusta di berbagai wilayah (De Indische Courant, 5 Januari 1937). Rata-rata, ide ini diinisiasi oleh dokter lokal yang menganggap wabah kusta pada anak-anak bukan hanya sebagai masalah kesehatan, tetapi juga sebagai isu kemanusiaan. Selain meminimalkan kontak mereka dengan anak-anak yang sehat, pendirian rumah khusus tersebut juga bertujuan memudahkan penanganan medis.

Hal ini dikarenakan mereka berada di bawah pengawasan tenaga medis langsung, sehingga lebih mudah untuk memonitor perkembangan kesehatan mereka. Dengan adanya rumah khusus anak-anak penderita kusta ini, maka orang tua harus menyerahkan anak-anak penderita kusta untuk dirawat oleh para tenaga medis. Menariknya, para orang tua menyambut baik gerakan filantropi ini karena tidak ada rasa keberatan dari mereka untuk menyerahkan anak-anaknya ke yayasan tersebut, terutama bagi orang-orang di Pulau Jawa (De Indische Courant, 5 Januari 1937).

Aksi nyata dari gerakan pembangunan yayasan atau rumah singgah khusus kusta misalnya terjadi di Surabaya. Ide ini diinisiasi oleh orang-orang yang memang berniat mendirikan yayasan, sehingga mereka mendirikan perkumpulan bernama “Stichting tot Oprichting en Instandhouding van Kinder- lepra-tehuizen” atau Yayasan Pendirian dan Pemeliharaan Rumah Kusta Khusus Anak-anak.

Secara keseluruhan, upaya mendirikan Yayasan ini diprakarsai oleh Dokter Soetomo (Bredasche Courant, 9 April 1936). Menurut Dokter Soetomo dan asistennya yakni Soetopo, rumah singgah khusus anak yang terinfeksi kusta ini sama saja dengan menerapkan prinsip ‘membawa orang sakit keluar dari lingkungannya’, sehingga tidak akan menulari orang-orang di sekitarnya

(Soetomo dan Soetopo, 1933:1307). Karenanya, Dokter Soetomo meyakini bahwa mendirikan rumah singgah tersebut dapat memutus rantai penularan kusta di Hindia Belanda, khususnya di Surabaya.

Bersama sekumpulan orang, Dokter Soetomo juga mengumpulkan dana kemanusiaan untuk kepentingan pembangunan yayasan. Setelah dana terkumpul, yayasan atau rumah singgah ini didirikan secara resmi pada September 1933, dimana beberapa dokter lokal menjadi tenaga medis di tempat tersebut (De Indische Courant, 7 Mei 1935). Yayasan atau rumah singgah (atau dapat juga disebut sebagai panti) tersebut bernama Kinderlepra-tehuizen te Soerabaja. Dokter-dokter spesialis penyakit kulit dari STOVIA atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen juga mendukung pendirian yayasan atau rumah singgah ini.

Perlu diketahui, bahwa rumah singgah ini tidak didirikan di jantung Kota Surabaya, melainkan di wilayah Gresik. Pada tahun 1930-an, Gresik merupakan bagian dari wilayah Surabaya, berbeda dengan masa-masa sebelumnya dimana Gresik menjadi kabupaten tersendiri (Basundoro, 2001:133-140). Jacob Bernardus Sitanala, Kepala Penanganan Penyakit Kusta lulusan dari STOVIA yang juga menjadi penasehat di yayasan tersebut, menyarankan penanganan dengan pola ini di wilayah Gresik. Pada saat itu, Gresik memang menjadi pusat penanganan kusta di Jawa Timur.

Saran ini juga diberikan dengan beberapa alasan, pertama adalah bahwa anak-anak merupakan golongan yang paling rentan terhadap infeksi.

Gejala kusta pada anak-anak pada tahap awal juga tidak terlalu mencolok, sehingga mereka masih terlihat normal dan masih memiliki kebebasan untuk bermain dan bergaul dengan anak-anak lainnya. Hal ini dapat memicu penularan dari satu anak ke anak lainnya.

Alasan lainnya dari menjadikan yayasan anak penderita kusta harus diprioritaskan adalah bahwa kusta pada orang dewasa tidak terlalu tinggi penularannya. Isolasi pada orang dewasa

(10)

juga cukup sulit karena berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah, dan pada umumnya orang dewasa yang menderita kusta juga telah dimutilasi sehingga mereka secara tidak langsung telah cukup dihindari oleh orang-orang di sekitarnya (Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 4 Agustus 1933).

Pada awal pendiriannya, para dokter menangani sekitar seratus anak-anak penderita kusta di rumah singgah yang ada di Gresik (Surabaya) (De Nederlander, 31 Oktober 1933). Menurut berbagai sumber, rumah singgah atau yayasan tersebut tidak tampak seperti rumah sakit pada umumnya. Rumah singgah khusus anak-anak terinfeksi kusta di Surabaya ini ditata dengan sangat rapi, yang pola arsitekturnya tidak jauh berbeda dengan bangunan-bangunan di sekitarnya agar tidak terlihat mencolok. Tak hanya itu, rumah singgah ini juga menjadi semacam sekolah atau tempat belajar, sehingga anak-anak akan tetap merasakan hidup seperti orang lain yang sehat dan normal. Mereka sibuk dengan berbagai aktivitas seperti membaca, menulis, belajar, hingga diberi keterampilan tertentu seperti memasak atau bertani (Bredasche Courant, 9 April 1936). Melalui yayasan atau rumah singgah ini, anak-anak mendapatkan harapan untuk sembuh dan harapan untuk dapat kembali ke tengah-tengah masyarakat sebagai orang yang memiliki keterampilan dan pengetahuan (Deli Courant, 14 Agustus 1936).

Oleh karena itu, meskipun di satu sisi rumah tersebut difungsikan sebagai “rumah sakit”

ramah anak, di sisi lain juga dimanfaatkan sebagai sebuah sekolah nonformal.

Pendirian rumah singgah atau yayasan di Surabaya juga sempat mendapat penentangan dari pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh, Dokter Gramberg, seorang dokter yang menangani kusta di Donorodjo, Jawa Tengah, merasa bahwa penanganan kusta yang berorientasi pada pasien dewasa jauh lebih penting dibandingkan pasien yang masih anak-

anak (Gramberg, 1934). Alasan ini merujuk pada fakta bahwa jumlah anak-anak di bawah lima belas tahun yang terinfeksi kusta tidak sebanyak jumlah pasien dari kalangan usia dewasa. Namun, Dokter Soetomo dan asistennya yakni Soetopo meyakini bahwa terlepas dari teori apapun mengenai penyakit kusta, penanganan penyakit di usia sedini mungkin dinilai dapat memberikan hasil yang baik (Soetomo dan Soetopo, 1934:614).

Sebelum ada gagasan untuk menempatkan anak-anak sebagai bagian dari prioritas penanganan kusta, para dokter maupun Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memang lebih sering mendapatkan kekecewaan dari penanganan wabah ini. Ini merupakan akibat dari kebijakan yang hanya memperhatikan para penderita kusta yang berusia dewasa, yang rata-rata sudah sangat parah, sehingga hampir tidak memiliki kemungkinan untuk pulih kembali. Karenanya, kehadiran rumah singgah khusus anak-anak yang terinfeksi kusta ini dinilai dapat memutus rantai kekecewaan tersebut. Lebih lanjut, rumah singgah ini juga berperan besar dalam mencegah kecacatan pada anak-anak yang terinfeksi kusta karena mereka telah mendapatkan perawatan sejak dini. Kemudian menurut Dokter Soetomo dan Soetopo (1934:614--615), penanganan kusta melalui pendirian rumah singgah khusus anak- anak diharapkan dapat berjalan beriringan dengan langkah-langkah penanganan yang telah ada sebelumnya. Penanganan pada orang dewasa dapat terus dilanjutkan dengan mencari tahu bagaimana mereka bisa disembuhkan, sementara penanganan pada anak-anak dapat mencegah kemungkinan buruk mengenai penjalaran kusta dalam tubuh mereka.

Meskipun mendapat respons yang kurang baik dari beberapa pihak, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan filantropi para dokter lokal untuk mendirikan yayasan atau rumah singgah di atas mendapat perhatian dari dokter atau kaum filantropi di berbagai wilayah di Hindia Belanda. Karenanya, ada upaya yang

(11)

sama di beberapa wilayah lainnya. Kiranya, menjamurnya rumah singgah khusus anak- anak terinfeksi kusta ini juga sebagai dampak dari propaganda yang dilakukan para dokter di rumah singgah Surabaya. Mereka menerbitkan semacam booklet yang menerangkan tujuan adanya yayasan atau rumah singgah tersebut (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch- Indië, 27 September 1933). Booklet tersebut secara tidak langsung juga menjadi bahan propaganda agar para dokter atau masyarakat secara umum menaruh perhatian mereka pada penanganan kusta pada kalangan anak-anak.

Pendirian yayasan atau rumah singgah khusus anak terinfeksi kusta kemudian mendapat dukungan baik dari bupati atau pejabat lokal dan para pegawai Eropa yang duduk di Binnenlandsch Bestuurs (Pemerintahan Dalam Negeri), agar pemberantasan kusta pada anak- anak dapat dilakukan secara menyeluruh (De Nederlander, 31 Oktober 1933). Di Bandung, Jawa Barat misalnya, didirikan pula rumah singgah khusus anak-anak penderita kusta (Hasanah, 2020:217). Terutama pasca tahun 1935, yayasan serupa menjamur di mana- mana. Pada tahun 1936 misalnya, yayasan serupa juga didirikan di Semarang (Romadhon, 2018:44). Setelah sebelumnya menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pendirian rumah singgah atau yayasan serupa yang berada di Surabaya, Dr. Gomperts, pegawai di Dienst der Volksgezonheid Geneeskundige (Dinas Layanan Kesehatan Masyarakat) akhirnya memberikan dukungan pendirian yayasan atau rumah singgah tersebut, dengan alasan bahwa usia anak-anak merupakan usia yang sangat sensitif terhadap penularan kusta (De Indische Courant, 15 September 1936).

Namun, pembangunan rumah singgah atau yayasan tersebut rata-rata juga dibiayai oleh dokter lokal atau terkadang dibantu oleh pihak swasta. Baru pascapendirian Koningen Wilhelmina Instituut voor Lepra Onderzoek atau Institut Ratu Wilhelmina untuk Penelitian Lepra, yayasan-yayasan khusus anak di Hindia

Belanda mendapat bantuan pembiayaan (Hasanah, 2020:217--218). Hal ini dikarenakan selain merawat anak-anak penderita kusta, rumah singgah atau yayasan tersebut secara umum juga menjadi tempat penelitian bagi para dokter terkait.

Selain para dokter atau filantropis yang mendirikan panti, rumah sakit, yayasan, dan semacamnya, banyak pula kalangan masyarakat yang memberikan harta dan tenaganya untuk penanganan kusta. Beberapa orang misalnya memberikan rumah sederhana untuk tempat tinggal para pengasuh yang harus merawat anak-anak di rumah singgah khusus kusta di Gresik (Surabaya) (Soerabaijasch handelsblad, 28 Januari 1941). Ide ini bermula dari beberapa pengasuh yang harus menjadi penglaju dari rumahnya ke yayasan atau rumah singgah ini setiap harinya, sementara jarak yang ditempuh cukup jauh. Kemudian, terdapat pula para tenaga medis yang secara sukarela mendedikasikan dirinya di rumah singgah tersebut. Tak hanya itu, solidaritas terhadap anak-anak terinfeksi kusta juga hadir dari orang-orang yang memiliki kemampuan sebagai administrator. Mereka mendedikasikan dirinya untuk menyusun program belajar di rumah singgah tersebut dengan menyesuaikan dengan kondisi fisik mereka dan jadwal pengobatannya (Soerabaijasch handelsblad, 28 Januari 1941). Di berbagai panti, rumah sakit, hingga yayasan sosial tempat anak- anak penderita kusta dirawat, beberapa juga memiliki guru yang mengajarkan aktivitas kesenian seperti menyanyi hingga bermain alat musik tradisional.

Penanganan kusta pada anak-anak tidak hanya dilakukan di Indonesia kolonial bagian barat, melainkan juga di Indonesia kolonial bagian timur. Di Maluku, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melalui para petugas kesehatan melakukan penelusuran penderita kusta di sekolah-sekolah. Hal ini juga diupayakan di wilayah kepulauan seperti Kepulauan Kei.

Sayangnya, berdasarkan tulisan Dokter Kapitan

(12)

(1936), penanganan kusta di Kepulauan Kei tidak optimal karena terbatasnya fasilitas pengobatan seperti rumah sakit atau klinik.

Berbeda dengan Kepulauan Kei, upaya penanganan kusta menjadi lebih terlihat di wilayah Bali. Memang tidak ada rumah singgah atau yayasan seperti yang sebelumnya disebutkan, sebab penanganan kusta di Bali memiliki sistem yang sedikit berbeda dari wilayah lainnya. Pada tahun 1930-an, masyarakat Bali membedakan penderita kusta menjadi dua macam yakni “kusta”

dan “sakit gede” (Sitanala, Sardjito, dan Mochtar, 1936:19). “Kusta” adalah kategori yang diberikan kepada orang-orang yang baru terinfeksi penyakit ini atau mengalami kontak erat dengan para penderita kusta, sementara

“sakit gede” adalah kategori yang diberikan kepada orang-orang yang secara fisik sudah memperlihatkan dampak infeksi kusta.

Kategorisasi di atas juga berlaku untuk kalangan anak-anak. Anak-anak yang masuk ke kategori “kusta” akan diisolasi secara mandiri di rumah-rumah kecil atau gubuk di pekarangan rumah mereka. Sitanala, Sardjito, dan Mochtar (1936:19) juga meriwayatkan bahwa anak-anak yang masuk kategori “kusta” ini dilarang untuk pergi ke sekolah karena bahkan anak-anak yang sehat tidak akan mau bermain dengan mereka.

Sementara itu, bagi anak-anak yang sudah memasuki kategori “sakit gede” diwajibkan untuk menjalani isolasi yang lebih ketat lagi dan mengikuti perawatan medis di rumah sakit yang ada di Jembrana dan Karangasem.

Selain upaya penanganan, upaya pencegahan penularan kusta di kalangan anak-anak pun juga giat dilakukan di Bali.

Upaya ini digalang oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan melibatkan para elite lokal seperti tokoh-tokoh adat. Dalam pertemuan rutin yang diadakan oleh elite desa misalnya, mereka memiliki kewajiban untuk menyampaikan kepada masyarakat Bali agar menghindari menidurkan anak yang sehat dalam satu ranjang dengan anak yang menderita

kusta (Sitanala, Sardjito, dan Mochtar, 1936:20). Selain itu, para elite lokal di Bali juga melarang orang tua yang mengalami kusta (termasuk yang masih berskala ringan) untuk menggendong anak-anak mereka, karena anak- anak dinilai lebih rentan terinfeksi penyakit ini.

Orientasi penanganan kusta yang fokus kepada anak-anak menarik perhatian para dokter dari wilayah jajahan lainnya. Sebagai contoh, pada tahun 1937 terdapat kunjungan dari Dokter Manalang, seorang dokter yang menangani kusta di Filipina (Soerabaijasch Handelsblad, 21 Juli 1937). Dalam kesempatan itu, Dokter Manalang ditemani dengan dokter- dokter lokal untuk meninjau fungsi rumah singgah atau yayasan yang berada di Gresik, Surabaya. Menurut Dokter Manalang, kondisi rumah singgah khusus anak-anak terinfeksi kusta ini masih jauh dari kata layak atau dalam arti tidak sebaik yang berada di Filipina (Soerabaijasch Handelsblad, 21 Juli 1937).

Perbedaan ini merupakan akibat lebih lanjut dari kondisi finansial. Di Filipina, penanganan kusta pada anak-anak benar-benar mendapatkan dukungan dari berbagai lembaga asing seperti Rockefeller dari Amerika. Sementara di Hindia Belanda, dukungan finansial masih terbatas pada sumbangan para dokter lokal, sumbangan dari kaum filantropi, dan sumbangan dari elite lokal atau Pemerintah Kolonial yang jumlahnya juga sangat terbatas. Dengan kondisi finansial yang terbatas ini, tentu para dokter di rumah singgah tersebut tidak dapat memberikan penanganan yang lebih canggih. Meskipun demikian, para dokter – terutama dokter lokal – tetap berupaya untuk menyembuhkan anak- anak di rumah singgah tersebut.

Meskipun rumah singgah atau yayasan khusus anak-anak kusta telah didirikan, namun sentimen negatif terhadap mereka tidak juga usai. Polemik yang ada pada kenyataannya tidak hanya berkaitan dengan anak-anak yang terkonfirmasi telah terinfeksi kusta. Pada anak-anak yang belum atau tidak terinfeksi pun, jika mereka memiliki orang tua yang telah

(13)

menderita kusta, mereka akan “disingkirkan”

dari lingkungan sekitarnya. Mereka cenderung mendapatkan penolakan dari lingkungan permainan, lingkungan sekolah, dan tetangga- tetangga di sekitarnya. Karenanya, gerakan kemanusiaan yang muncul tidak hanya fokus pada anak-anak yang terinfeksi kusta, tetapi juga anak-anak dari para orang tua yang menderita penyakit ini. Apalagi, orang tua yang terinfeksi kusta seringkali tidak bisa bekerja dan memiliki penghasilan yang sangat terbatas. Di Deli misalnya, orang tua yang bekerja di perkebunan yang terkena kusta diisolasi di bangunan atau rumah tertentu.

Kebijakan ini diterapkan oleh para pemilik perkebunan swasta pada awal abad ke-20, yang tidak lain bertujuan mempertahankan para pekerja perkebunan yang masih sehat (Snelders, van Bergen, dan Huisman, 2019:630). Beberapa tokoh dari perusahaan swasta kemudian menginisiasi penggalangan dana untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup anak-anak dari para penderita kusta.

Aksi filantropi ini memberikan harapan bagi anak-anak tersebut bahwa mereka masih dapat melanjutkan hidupnya meskipun orang tuanya telah terinfeksi kusta.

Tak hanya itu, perhatian juga diberikan kepada anak-anak balita dari orang tua yang terinfeksi kusta. Umumnya, perhatian ini diberikan kepada bayi-bayi yang lahir dari para ibu yang menderita kusta. Sebagai contoh, di Donordojo, Jawa Tengah, ada gerakan kemanusiaan untuk memisahkan bayi yang baru lahir jika ibunya terinfeksi kusta pada akhir 1930-an hingga awal 1940-an. Bayi- bayi tersebut akan dirawat di rumah sakit untuk sementara, dengan diberikan susu botol sebagai pengganti ASI (Air Susu Ibu) (Gramberg, 1938:1789). Tidak jarang, anak- anak tersebut juga dititipkan sementara kepada kerabat atau saudara mereka yang terbebas dari kusta. Pemisahan bayi dengan ibunya ini bertujuan untuk memperkecil kemungkinan penularan kusta. Meskipun tindakan ini tidak

dilakukan secara merata di seluruh wilayah Hindia Belanda, namun sekiranya upaya ini dapat menggambarkan keseriusan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk menangani kusta pada kalangan anak-anak.

PENUTUP

Terjadinya pandemi akibat virus ataupun bakteri merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal atau dihindari dalam peradaban manusia. Wabah kusta misalnya pernah menjangkiti masyarakat Hindia Belanda dan mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-20. Dalam puncak wabah ini, kusta tidak hanya merenggut orang dewasa, sebab anak-anak pun turut menjadi bagian dari korban yang terpapar penyakit kusta. Namun, anak- anak yang turut terpapar kusta pada awalnya tidak diperhatikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Karenanya, penanganan kusta berorientasi pada pasien dewasa. Perubahan yang cukup signifikan baru terjadi pada awal abad ke-20, dimana anak-anak yang terpapar kusta dinilai berbahaya bagi orang-orang di lingkungan sekitarnya. Apalagi, usia anak-anak adalah usia dimana mereka memiliki tingkat aktivitas yang tinggi, sehingga jika tidak dikendalikan dapat mengancam keselamatan seluruh penduduk Hindia Belanda.

Kesadaran bahwa kusta pada anak-anak memiliki tingkat bahaya yang juga tinggi kemudian mendorong munculnya berbagai polemik baru. Anak-anak yang terpapar kusta dilarang pergi ke sekolah, harus menjalani isolasi mandiri di rumahnya masing-masing, hingga dilarang untuk bermain dengan bebas dengan teman-teman sebayanya. Hal ini kemudian mendorong berbagai upaya dari para dokter lokal hingga Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Secara perlahan, mereka fokus untuk menangani penyakit kusta pada kalangan anak-anak. Berbagai upaya pun dilakukan, seperti pendirian panti kusta khusus anak-anak, pengondisian rumah sakit agar lebih ramah

(14)

terhadap anak-anak penderita kusta, hingga gerakan filantropi bagi anak-anak tersebut. Tak hanya memusatkan perhatian pada mereka yang telah terkonfirmasi terkena kusta, perhatian lebih pun ditujukan pada anak-anak yang masih sehat, terutama bagi mereka yang memiliki orang tua yang terpapar kusta. Upaya-upaya yang dilakukan pada paruh pertama abad ke- 20 ini – meski tidak menyentuh wilayah Hindia Belanda secara keseluruhan – menjadi episode penting dalam sejarah penanganan kusta di Hindia Belanda. Tindakan yang telah dilakukan pada masa kolonial ini, jika ditelaah lebih lanjut, sebenarnya juga dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia kini dan kemudian hari.

Pada masa pandemi Covid-19 di abad ke-21 ini misalnya, anak-anak seharusnya menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan dalam proses penanganannya.

DAFTAR PUSTAKA

Agustono, Budi, Junaidi, dan Kiki Maulana Affandi. 2021. “Pathology Laboratory:

An Institution of Tropical Disease in Medan, East Sumatra, 1906-1942”.

Cogent Arts and Humanities. Vol. 8. No.

1. Hlm. 1-14.

Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch- Indië. 4 Agustus 1933.

Basundoro, Purnawan. 2011. “Industrialisasi, Perkembangan Kota, dan Respons Masyarakat: Studi Kasus Kota Gresik”.

Humaniora. Vol. 13. No. 2. Hlm. 133- 140.

Boomgard, Peter. 2007. “Syphilis, Gonorrhoea, Leprosy and Yaws in the Indonesian Archipelago, 1500-1950”. Manusya:

Journal of Humanities. No. 14. 21-41.

Bredasche Courant. 9 April 1936.

Bustan, M.N. 2006. Pengantar Epidemiologi.

Jakarta: Rineka Cipta.

Cipta, Samudra Eka. 2020. “Upaya Penanganan Pemerintah Hindia Belanda dalam Menghadapi Berbagai Wabah

Penyakit di Jawa 1911-1943”. Jurnal Candrasangkala. Vol. 6. No. 1. Hlm.

1-21.

De Jonge, Huub. 2004. “State and Welfare in the Late Colonial Period: The Madura Welfare Fund (1937—1941)”. Asian Journal of Social Science. Vol. 32. No. 1.

Hlm. 91-104.

De Indische Courant. 15 September 1936.

De Indische Courant. 5 Januari 1937.

De Indische Courant. 7 Mei 1935.

De Nederlander. 31 Oktober 1933.

De Sumatra Post. 23 Desember 1904.

De Sumatra Post. 25 Mei 1908.

Deli Courant. 14 Agustus 1936.

Gramberg, K. P. C. A. 1934. “De Betekeenis van de Polikliniek in den Strijd Tegen de Lepra op Java”. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie. Vol. 74. No. 6.

Hlm. 325-332.

Gramberg, K. P. C. A. 1938. “De Verzorging van de uit Lepreuze Ouders Geboren Kinderen op Donoredjo”. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. Vol.

78. No. 30. Hlm. 1787-1791.

Hasanah, Siti. 2020. “Kebangkitan Dokter Pribumi dalam Lapangan Kesehatan:

Melawan Wabah Pes, Lepra, dan Influenza di Hindia Belanda Pada Awal Abad XX”. Masyarakat Indonesia. Vol.

46. No. 2. Hlm. 208-220.

Hesselink, Liesbeth. 2011. Healers on the Colonial Market: Native Doctors and Midwives in the Dutch East Indies.

Leiden: KITLV Press.

Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch- Indië. 27 September 1933.

Het Vaderland. 23 Januari 1905.

Kapitan, J. C. 1936. “Een Onderzoek Naar Het Voorkomen van Lepra Op de Kei- Eilanden”. Mededeelingen van den Dienst der Volksgezondheid in Nederlandsch Indie. Vol. 25. No. 1. Hlm. 72-79.

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

(15)

Rachmawati, Suci. 2014. “Penyakit Kusta di Bangkalan Tahun 1934-1939”. Avatara.

Vol. 2. No. 1. Hlm. 83-91.

Ravando. 2020. Perang Melawan Influenza:

Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial, 1918-1919. Jakarta: Kompas.

Romadhon, Dimas Iqbal. 2018. Ragapadmi and the First Leper: A Critical History of Leprosy Transmission in Madura, Indonesia. Tesis. Seattle, Washington:

University of Washington.

Safitry, Martina. 2020. “Kisah Karantina Paris of the East: Wabah Pes di Malang 1910- 1916”. Jurnal Sejarah. Vol. 3. No. 1.

Hlm. 116-120.

Sardjito, M., A. Mochtar, dan M. Soeparmo Honggopati Tjitrohoepojo. 1938. “De voortgang van Lepra ‘Fieldwork’ in het Regentschap Blora”. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. Vol.

78. No. 30. Hlm. 1822-1830.

Soerabaijasch Handelsblad. 21 Juli 1937.

Soerabaijasch handelsblad. 28 Januari 1941.

Sitanala, J.B., M. Sardjito, A. Mochtar. 1936.

“Nota Over de Bestrijding der Lepra in Nederlandsch Indie”. Mededeelingen van den Dienst der Volksgezondheid in Nederlandsch Indie. Vol. 25. No. 1. Hlm.

13-32.

Snelders, Stephen, Leo van Bergen, dan Frank Huisman. 2019. “Leprosy and the Colonial Gaze: Comparing the Dutch West and East Indies, 1750-1950”. Social History of Medicine. Vol. 34. No. 2. Hlm. 611-631.

Soetomo dan Soetopo. 1933. “Bijdrage tot Rationeeler Bestrijding der Lepra”.

Geneeskundig Tijdschrift voor Nederland- sch-Indie. Vol. 73. No. 21. Hlm. 1299- 1308.

Soetomo dan Soetopo. 1934. “Bijdrage tot Rationeeler Bestrijding der Lepra”.

Geneeskundig Tijdschrift voor Nederland- sch-Indie. Vol. 74. No. 10. Hlm. 606-616.

Van Bergen, Leo. 2018. Uncertainty, Anxiety, Frugality: Dealing with Leprosy in the Dutch East Indies. Singapore: NUS Press.

Van Bergen, Leo. 2019. “Kusta Sudah Pasti Menular”: Perdebatan tentang Ciri Kusta Pada 1865-1897”, dalam Leo van Bergen, Liesbeth Hesselink, dan Jan Peter Verhave. 2019. Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia Belanda 1852- 1942. Jakarta: AIPI bekerjasama dengan KITLV-Jakarta. Hlm. 160-176.

Zondervan, Sjoerd. 2016. Patients of the Colonial State: The Rise of A Hospital System in the Netherlands Indies 1890- 1940. Amsterdam: Uitgeverij Boxpress.

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: Masalah pengabdian kepada masyarakat ini, adalah masyarakat kabupaten sinjai penderita diabetes yang berobat di klinik Anur Sinjai, masih menyatakan

Hasil yang diperoleh dalam tulisan ini adalah bahwa ide Nurcholish Madjid tentang civil society didasarkan atas masyarakat Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad di kota

Pada penerbitan kali ini menyajikan 11 tulisan yang membahas Survei Analisis Sarana dan Prasarana LRT Sumatera Selatan dalam Menghadapi Covid-19, Kajian Kebutuhan Terminal

Tulisan ini bertujuan untuk membahas pentingnya pendidikan bagi perempuan Indonesia sebagai bekal hidup yang lebih bahagia sejahtera, berkualitas tinggi, dan mandiri

Hasil Orang Tua dalam Memotivasi Anak untuk Mengikuti Pembelajaran E-Learning (Online) dalam rangka Meningkatkan Minat Baca pada Program Kesetaraan Paket C di

Pembagian peringkat strategi unsur SWOT berdasarkan skor Unsur SWOT Keterkaitan Jumlah Skor Peringkat Strategi SO Kelompok usaha bersama bekerja sama dengan BUMDes untuk

Analisis Data Sistem Agribisnis Porang di Kota Pekanbaru Penilaian ketersediaan input produksi pertanian khususnya bibit porang menggunakan analisis deskriptif kriteria 6 enam tepat

Sumber data sekunder ini dapat berupa hasil pengolahan lebih lanjut dari data primer yang disajikan dalam bentuk lain atau dari orang lain Sugiyono, 2012:225 Dalam penelitian ini