• Tidak ada hasil yang ditemukan

WALASUJI Volume 12, No. 2, Desember 2021:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "WALASUJI Volume 12, No. 2, Desember 2021:"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PEDAGANG SEKTOR INFORMAL

MENGHADAPI MASA PANDEMI COVID-19 DI KOTA MAROS THE STRATEGY OF INFORMAL SECTOR TRADERS TO FACE PANDEMIC

COVID-19 IN MAROS CITY

Iriani, Syamsul Bahri Balai Arkeologi Sulawesi Selatan

Jalan Pajjaiang No.13 Sudiang Raya Makassar, 90242 Pos-el: iriani_96@yahoo.com

DOI: 10.36869/wjsb.v12i2.231 ABSTRACT

The informal sector is a sector that has a huge impact during pandemic covid-19, because they cannot do their usual activities. The government’s policy in the form of PSBB restricts their movements to run their business, such as meatball and vegetable seller and who are in the front of the shops. This research described the strategy used by meatball and vegetable sellers during pandemic. The research method used was descriptive qualitative. Data were collected through interview, observation, and library study. The study result showed that during pandemic covid-19, the informal sector traders felt the decrease sales impact of which affected the income of meatball and vegetable traders, thus reducing their trading capital. They were in dilemma for wanting to run business and afraid of being to covid-19. Therefore, the meatball seller dealt by making various efforts so that their family needs are met and their business still survived by changing the marketing system selectively for goods being marketed and changing the debt-payment mechanism.

Keywords: informal sector, meatball sellers, vegetable sellers, strategy.

ABSTRAK

Sektor informal merupakan salah satu sektor yang sangat berdampak pada saat terjadi pandemi covid-19, sebab mereka tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. Kebijakan pemerintah berupa PSBB membatasi gerak mereka untuk melaksanakan usahanya, seperti pedagang bakso dan pedagang sayur keliling dan yang berada di emperan toko. Penelitian ini mendeskripsikan strategi yang digunakan oleh pedagang bakso dan pedagang sayur selama masa pendemi. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama masa pandemi covid-19, pedagang sektor informal merasakan dampak penurunan omset penjualan yang mempengaruhi pendapatan para pedagang bakso dan pedagang sayur, sehingga berdampak pula pada berkurangnya modal usaha mereka. Mereka dilematis antara ingin berjualan dan takut terpapar covid-19. Dengan demikian, pedagang bakso menyiasatinya dengan melakukan berbagai upaya agar kebutuhan keluarga mereka tetap terpenuhi dan usahanya tetap bertahan dengan cara mengubah wilayah pemasaran dan jumlah produksi setiap hari, sedangkan pedagang sayur mengubah sistem pemasaran secara selektif terhadap barang yang dipasarkan dan mengubah mekanisme utang-piutang.

Kata kunci: sektor informal, pedagang bakso, pedagang sayur, strategi

(2)

PENDAHULUAN

Merebaknya Covid-19 di tahun 2020 menggemparkan seluruh dunia, satu persatu negara yang penduduknya terkena virus corona melakukan lock down sebagai salah satu upaya untuk memutuskan mata rantai penyebaran virus corona yang begitu cepat menular, baik negara Asia, maupun Eropa, tidak terkecuali Indonesia. Penyebaran virus corona sampai ke berbagai negara membuat WHO menetapkan sebagai pandemi Covid-19.

Corona atau lebih dikenal dengan sebutan Covid-19 (Coronavirus Disease of 19), merupakan salah satu jenis wabah penyakit yang muncul seketika diberbagai Negara, termasuk di Indonesia. Jenis virus yang populer dengan sebutan corona atau Covid-19 ini, telah melanda masyarakat dibeberapa Negara di belahan dunia, tidak terkecuali negera-negara besar, seperti di antaranya Amerika, Inggeris, Jepang, China, Australia, dan banyak lagi Negara lainnya, termasuk Indonesia, jenis virus ini sangat memperihatinkan. Dikatakan seperti ini oleh karena dalam hitungan waktu tidak terlalu lama sudah menelan korban jiwa (meninggal dunia) dalam besaran (ratusan).

Bahkan korbannya terus bertambah jumlahnya dalam setiap hari dengan klasifikasi atau tingkatan yang berbeda, seperti orang tampa gejala (OTG), orang dalam pengawasan (ODP), dan lain sebagainya.

Sementara Indonesia mengumumkan kasus pertama positif corona pada tanggal 2 Maret 2020, yang diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Tidak terlalu lama setelah pengumuman terebut, seluruh provinsi di Indonesia terinfeksi virus corona. Keadaan tersebut membuat pemerintah membuat suatu kebijakan, yakni social distancing, kemudian dilanjutkan dengan PSBB, yang dilakukan oleh pemerintah pusat, kemudian diikuti oleh pemerintah daerah. Sejak pemberlakukan PSBB di daerah, seluruh aktivitas umum dihentikan, sekolah-sekolah ditutup,perkantoran di tutup

dengan melakukan bekerja dari rumah dan belajar jarak jauh bagi para pelajar. Demikian pula halnya dengan fasilitas-fasilitas umum, pusat perbelanjaan. Kota-kota bagaikan kota mati, yang sebelumnya penuh manusia berlalu-lalang, namun setelah adanya pandemi virus covid 19, semua aktivitas masyararakat terhenti, yakni mulai dari bulan Maret hingga bulan Juni. Sosial distancing dianggap cara yang tepat untuk menangani penyebaran wabah virus, yang kemudian diatur dalam Undang Undang no.6 tahun 2018 tentang karantina kesehatan (Purbawati dkk dalam Muthi, 2021: 3).

Di berbagai negara, khususnya di Indonesia, usaha meminimalkan meluasnya jangkitan virus corona ini, baik memperkecil ruang penyebaran virus maupun memperkecil jumlah orang yang sakit akibat terkena virus ini, pemerintah menerapkan “lockdown”, yaitu menutup berbagai bentuk aktivitas masyarakat yang dianggap rawan kontak antar satu orang dengan orang lainnya (hindari keramain dengan berkerumun banyak orang). Selain itu, juga diterapkan satu program pencegahan meluasnya area jangkitan virus corona, disebut PSBB (pembatasan sosial berskala besar), yaitu menutup berbagai jalur mobilisasi orang antar satu tempat atau daerah dengan daerah lainnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan sebelumnya (Aturan umum minimal 14 hari), lalu kemudian diperpanjang jika masih diperlukan.

Semua usaha yang diterapkan pihak pemerintah untuk melakukan pencegahan, secara faktual membawa hasil yang dianggap mempuni. Hanya saja untuk menjalankan program pencegahan, khususnya PSBB, berefek pada berbagai hal, terutama pembengkakan anggaran. Dan tidak kalah pentingnya adalah berefek pada pekerja- pekerja yang penghasilannya perhari, seperti halnya pekerja sektor informal, dengan berbagai jenis kegiatan.

Di Sulawesi Selatan, saat pemberlakuan pencegahan penyebaran Covid-19, dengan memberlakukan PSBB di berbagai daerah, khusus di Makassar, Gowa, dan Maros, di mana Maros

(3)

dan Gowa merupakan daerah penyangga Kota Makassar, maka dengan sendirinya membatasi ruang gerak masyarakat untuk bergerak mencari nafkah hidup untuk memenuhi kebutuhan akan makan minum keluarga, khususnya bagi para pekerja yang berkecimpung dalam kelompok pekerja sektor informal. Solusi pemerintah pada saat itu adalah memberi bantuan, mulai dalam bentuk membagikan sembako, hingga pada pemberian bantuan berupa dana yang dilontarkan perbulan. Hanya saja bantuan ini tetap diterima dengan lapang dada, walau itu dianggapnya jauh dari harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing keluarga atau rumah tangga.

Apalagi penyaluran bantuan ini tentu menjadi polemik pada banyak orang, karena kemampuan pemerintah dan pihak pendonor lainnya belum mampu menjadikan program pemberian bantuan yang dapat dinikmati semua orang yang terkena imbasnya dengan adanya musibah yang tidak terlihat adanya tanda-tanda akan berakhir.

Bahkan banyak orang, terutama yang tidak menerima bantuan ini bersuara sumbang, bahwa tidak ada pemerataan, bantuan ada unsur pilih kasih, dan sebagainya. Terjadinya ulah sebagaian masyarakat seperti disuarakan sebelumnya, maka sebagian besar masyarakat mengabaikan yang namanya virus corona, karena mereka butuh makan minum bersama keluarganya.

Artinya, sebagian masyarakat tetap berusaha bagaimana menanggulangi kebutuhan akan makan hidup keluarganya, seperti ada sebagaian orang tetap bertahan dengan usahanya, walau penghasilannya dirasa belum bisa seperti saat kondisi normal, dan ada juga yang berusaha mencari kegiatan lain untuk menutupi kebutuhan hidup bersama keluarganya.

Ketidakmampuan pihak pemerintah dan pihak terkait lainnya menutupi kebutuhan hidup masyarakat yang terkena dampak mewabahnya Covid-19 yang sudah barlangsung cukup lama (sekitar 10 bulan) dan hingga saat penelitian ini dilangsungkan belum berakhir, maka pihak pemertintah terus mencari solusi mengurangi meluasnya jangkitan virus ini.

Seperti pihak pemerintah terkait memberi kelonggaran pada masyarakat untuk berusaha, namun menerapkan protokol kesehatan yang diberlakukan pada seluruh masyarakat, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan, seperti diwajibkan memakai masker setiap bepergian keluar rumah, selain itu dianjurkan mencuci tangan, dan selalu menjaga jarak dan dilarang berkumpul dalam jumlah banyak orang. Inilah bentuk pencegahan yang diterapkan dewasa ini untuk meminimalkan meluasnya area jangkitan dan bertambahnya jumlah penderita Covid-19.

Menurut berita yang disuarakan dalam liputan6 com, tanggal 4 April 2020, yang paling berdampak adalah para pekerja sektor informal. Sebab mereka yang tergabung dalam pekerja sektor informal, adalah kelompok orang yang berpenghasilan harian. Artinya, ketika yang bersangkutan tidak bekerja dalam sehari, maka mereka sulit memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarganya oleh karena mereka tidak mendapatkan uang untuk membelanjakan keluarga, terutama belanja harian untuk kebutuhan akan makan minum.

Pekerja sektor informal pada prinsipnya, merupakan kelompok orang yang sangat rentang berdampak dengan kehadiran wabah virus corona, yang menurut kondisi terlihat dewasa ini tak kunjung hilang. Dikatakan seperti ini oleh karena mereka bekerja selalu melibatkan diri kontak langsung dengan para koleganya. Sebab mereka bekerja selalu dalam formasi memenuhi kebutuhan orang banyak.

Umumnya jenis pekerjaan yang mereka kerjakan, adalah menjadi pedagang asongan dengan cara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain dengan membawa kebutuhan orang banyak. Selain itu ada juga yang beraktivitas dengan memasang barang dagangan/jualannya dengan cara menebar tikar atau terpal, di samping ada juga yang menggunakan balai- balai dari bahan kayu atau bambu. Apabila diperlukan, tergantung cuaca (hujan atau matahari cukup terik) mereka memasang tenda payung sebagai tempat berlindung dari

(4)

panasnya terik matahari dan guyuran turunnya hujan. Area yang mereka tempati memajang barang jualan/dagangan, seperti emperan jalan atau pertokoan/kios dengan seizin pemiliknya. Hal ini dikondisikan para pekerja oleh karena area yang disebutkan memang terbilang strategi oleh karena menjadi area lalu lalangnya banyak orang yang mana orang tersebut menjadi penikmat atau konsumen dari mereka yang berjualan/berdagang. Dan tidak kalah pentingnya adalah menjadi kuli bangunan (Bhinnekawathi, 2019: 4).

Kelompok pekerja inilah paling berdampak dengan mewabahnya virus corona.

Mereka secara langsung, maupun tidak langsung diperhadapkan pada dilema hidup dengan dua pilihan, yaitu pertama menghindari dijangkitinya penyakit dengan cara bertahan hidup di rumah walau kebutuhan hidupnya susah terpenuhi. Kedua, adalah mereka tetap bertahan hidup dengan melakoni aktivitas rutinnya sebagaimana saat kondisi normal (new-normal).

Sektor informal merupakan salah satu aspek yang kena dampak pandemi Covid-19, dalam hal ini pedagang bakso, penjual bahan kelontong dan pengemudi ojol. Pertumbuhan sektor informal merupakan salah satu bentuk elastisitas masyarakat dalam upaya untuk mendapatkan penghasilan dan menafkahi keluarga. Para pekerja sektor informal selalu menempati lokasi-lokasi yang strategis dari keramaian konsumen, sehingga cenderung tidak memperhatikan tata ruang kota. Oleh sebab itu pedagang sektor informal kadangkala menjadi salah satu permasahalan di wilayah perkotaan, sebab seringkali mengmbil tempat di wilayah strategis yang dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas. Hampir semua perkotaan memiliki pekerja sektor informal dan mengalami permasalahan terkait dengan kesemrautan tata kota, sehingga menimbulkan permasalahan sendiri (Nola, 2020: 21).

Istilah sektor informal pertama kali dikemukakan oleh Keit Harth (dalam Samosir, 2015: 21) menggambarkan sektor informal

sebagai bagian dari angkatan kerja yang berada di luar pasar tenaga kerja yang terorganisir.

Pengertian sektor informal tersebut sering dilengkapi dengan suatu daftar kegiatan arbiter yang terlihat apabila seseorang menyusuri jalan- jalan suatu kota dunia ketiga, seperti; pedagang kaki lima,penjual Koran, pengamen,pengemis, pedagang asongan, pelacur, pengojek, dan lain- lain. Mereka adalah pekerja yang tidak terikat dan tetap.

Kemudian Internasional Labour Organisation (dalam Aulia, 2018: 46), mengungkapkan bahwa sektor informal tidak terbatas pada pekerjaan di kawasan pinggiran kota, namun juga meliputi berbagai aktivitas akonomi yang mudah untuk dimasuki menggunakan sumber daya lokal sebagai faktor produksi utama usaha milik sendiri, skala operasi usaha kecil, berorientasi penggunaan tenaga kerja dengan penggunaan teknologi bersifat adaptif, keterampilan dapat di peroleh di luar instansi formal.

Menning (dalam Fadilla, 2018:

23) menyatakan, bahwa sektor informal merupakan pekerjaan kaum miskin yang tingkat produktifitasnya jauh lebih rendah dari pada pekerja di sektor modern di kota yang tertutup bagi kaum miskin. Sektor informal adalah lawan dari sektor formal yang terdiri dari unit usaha yang telah memperoleh proteksi ekonomi di pemerintah, sedangkan sektor informal adalah unit usaha yang tidak memperoleh proteksi ekonomi dari pemerintah.

Namun di sisi lain sektor informal merupakan suatu usaha yang yang mampu menampung tenaga kerja yang kena PHK, sehingga mampu mengurangi kemiskinan (Putra, 2016: 4).

Terlepas dari sektor informal sebagai salah satu permasalahan di perkotaan, namun disisi lain, sektor informal juga turut merasakan dampak dari pandemi covid 19 yang berlangsung sejak bulan Maret hingga saat ini. Kebijakan pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19 berupa social distancing dan lockdown, mengakibatkan dampak yang

(5)

cukup signifikan bagi semua aspek kehidupan.

Dalam hal ini termasuk pekerja sektor informal, sehingga mereka harus memiliki strategi untuk mempertahankan usahanya, agar mereka mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga seperti sediakala. Terkait dengan merebaknya Covid- 19 di Indonesia yang dimulai sejak Maret dan setiap hari jumlah pasien terinveksi mengalami penambahan, sehingga Presiden mengeluarkan kebijakan untuk menekan penyebaran virus Covid-19. Adapun peraturan tersebut adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kepres kedaruratan kesehatan masyarakat..

Kebijakan tersebut diatur dalam Undang- Undang No 21 tahun 2020. Selain itu juga melalui menteri hukum dan Ham menerbitkan larangan orang asing dan transit dan masuk ke Indonesia untuk sementara waktu dalam rangka menekan penyebaran Covid-19, dengan peraturan Mentreri Hukum dan Ham No. 11 tahun 2020.

Kebijakan tersebut kemudian diaplikasikan oleh pemerintah pusat, maupun daerah, termasuk pemerintah Sulawesi Selatan, yang kemudian diikuti oleh pemerintah daerah, seperti Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, sebagai kabupaten penyangga bagi Kota Makassar. Adapun kebijakan yang diterapkan adalah Pembatasan Sosisl Berskala besar, dengan menutup semua pusat perbelanjan, sekolah- sekolah dan perkantoran, dengan melakukan pembelajaran online dan bekerja dari rumah.

Hal tersebut berdampak pada perekonomian suatu daerah, termasuk perekonomian pekerja pada sektor informal. pekerja sektor informal yang diberlakukan oleh pemerintah di Sulawesi Selatan, menyebabkan perubahan di setiap lini kehidupan. Berkurangnya penghasilan pekerja sektor informal di masa pandemi ini menjadi sebuah permasalahan yang cukup berarti, sebab bagi pekerja yang tidak mampu melakukan deversifikasi usaha, maka akan berhenti total atau istirahat. Misalnya pedagang bakso keliling dan pedagang yang berjualan di emperan toko maupun trotoar

jalan atau tepi jalan, sebelum masa pandemi Covid-19 mereka mampu meraup keuntungan yang lumayan, sehingga mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung. Akan tetapi di masa pandemi Covid-19 mengalami penurunan penghasilan yang sangat drastis bahkan tabungan yang akan digunakan untuk keperluan lain akhirnya dijadikan sebagai modal usaha (Nadra, 2020: 3).

Bertitik tolak dari fenomena tersebut di atas, maka tulisan ini akan menjelaskan strategi pedagang sektor informal menghadapi masa pandemi Covid-19. Adapun sektor informal yang dimaksud dalam tulisan ini, adalah pedagang bakso kelililing dan pedagangan kelontong yang ada di Kecamatan Turikale, Kota Maros di masa Pendemi Covid 19.Sementara mereka harus memenuhi kebutuhan keluarga setiap hari. Dengan Rincian, Apa yang dirasakan oleh pedagang bakso keliling dan pedagang kelontong selama masa pandemi Covid-19 dan strategi atau usaha-usaha apa yang dilakukan untuk mempertahankan hidup dan usahanya?

METODE

Sebeleum melakukan penelitian terlebih dahulu tim mengurus perizinan di Kota Maros, di Kecamatan Turikale dan juga melapor ke Kelurahan Taro ada sebagai lokasi penelitian.

Setelah itu kami melakukan pengumpulan data melalui wawancara kepada beberapa informan yang terlibat dalam sektorinformal seperti pedagang bakso dan pedagang sayur, dengan menanyakan strategi yang dilakukan agar bisa bertahan hidup dan mempertahankan usahanya.

Setelah melakukan wawancara dan pendakatan kepada para informan, maka kami melakukan kesepakatan untuk mengadakan FGD, dengan mengundang para pedagang sayaur dan pedagang bakso untuk melakukan diskusi sesui dengan masing-masing topik. Pada saat FGD kami memberikan kesempatan kepada masing-masing peserta untuk mengemukakan pendapatnya tentang obyek yang ditentukan.

(6)

Setelah melakukan FGD, peneliti melakukan kembali wawancara kepada mereka untuk menambah informasi dari mereka yang kurang jelas (triangulasi).

Data yang diperoleh dari wawancara, observasi dan dokumentasi dianalisis secara kualitatif. Analisis data terdiri dari 3 alur kegiatan secara bersamaan, yakni reduksi data, menyederhanakan data yang diperoleh dengan mengklasifikasi, penyajian data dengan membuat abstraksi dengan menghubungkan atau membandingkan dengan teori yang ada dan penarikan kesimpulan (Miles, 1992: 16).

Proses analisis dimulai sejak awal penelitian hingga akhir penulisan. Berkaitan dengan penelitian tersebut maka tahap yang ditempuh adalah dengan menalaah seluruh data yang diperoleh, kemudian diklarifikasikan berdasarkan kategori-kategori yang kemudian mencari hubungan dengan kategori lain agar tergambar hubungan sosial masyarakat Desa Lestari sebelum konflik dan setelah terjadinya konflik.

PEMBAHASAN

Pedagang Informal di Kota Maros

Maros merupakan salah satu ibu kota kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di bagian barat Sulawesi Selatan, tepatnya antara lintang selatan dan bujur timur berbatasan dengan kabupaten Pangkep sebelah utara, Kota Makassar dan Kabupaten Gowa sebelah Selatan, Kabupaten Bone disebelah Timur dan Selat Makassar disebelah Barat.

Ibukota kabupaten Maros terletak tiga puluh kilometer ke arah utara kota Makassar ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Maros berbatasan langsung dengan Kota Makassar.

Bandar udara internasional Sulawesi Selatan terletak di wilayah Maros, sehingga Kota Maros merupakan daerah yang cukup strategis, tidak heran bila diikuti dengan tingginya mobilitas penduduk, baik yang berasal dari Kota Makassar, maupun daerah lainnya di

Sulawesi Selatan. Selain itu Bantimurung dan taman kupu-kupu merupakan salah satu obyek wisata yang ada di Kota Maros yang cukup digemari dan dikenal oleh masyarakat umum.

Secara administratif, Kabupaten Maros terdiri atas 14 kecamatan, 80 Desa dan 23 kelurahan.Jumlah penduduknya sekitar 348.300 jiwa yang tersebar di 14 kecamatan. Kecamatan Turikale sebagai kecamatan yang berada dalam Kota Maros, memiliki jumlah penduduk paling tinggi, yakni sekitar 43.335 jiwa (BPS Maros).

Hal ini disebabkan karena Turikale merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian Kota Maros, sehingga penduduknya cukup padat, termasuk di dalamnya para pekerja sektor informal, baik pedagang bakso, pedagang keliling, maupun pengemudi ojol. Demikian pula dengan mata pencaharian penduduknya cukup bervariasi, yakni ada pegawai negeri, wiraswasta, pedagang, petani, tukang jahit, bengkel, dan buruh bangunan. Demikian pula dengan penduduknya yang terdiri atas berbagai etnis, yakni etnis Bugis, Toraja, dan jawa.

Heterogenitas masyarakat merupakan identitas sebuah perkotaan dimanapun berada. Apa lagi Kota Maros yang merupakan kabupaten penyangga dari Kota Makassar.

Pedagang bakso bukan hal yang baru bagi setiap orang, di mana-mana dapat dijumpai pedagang bakso. Hampir di sepanjang jalan Kota Maros dijumpai pedagang bakso, baik yang ngetem atau menetap, maupun pedgang bakso keililing. Bakso dianggap sebagai mekanan setuja ummat oleh salah seorang pedagang bakso. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya penggemar bakso, mulai dari anak-anak, orang dewasa maupun orang tua.

Baik kalangan masyarakat bawah, menengah, maupun kalangan masyarakat atas.

Pedagang bakso di Kota Maros ada bermacam-macam, yakni ada yang berjualan di mall, di ruko-ruko dan ada pula yang berkeliling.

Hal ini sesuai dengan keinginan dan kemampuan pedagang yang bersangkutan. Walaupun tidak diketahui secara pasti, pedagang bakso keliling

(7)

memiliki jumlah yang paling banyak, di Kota Maros, baik menggunakan gerobak gandeng maupun gerobak dorong. Walaupun pada awalnya mereka hanya menggunakan gerobak dorong, namun seiring dengan perjaanan waktu, maka banyak gerobak dorong berubah menjadi gerobak gandeng, sesui dengan keinginan dan kemampuan pemiliknya. Bagi mereka yang merasa mampu dan ingin memperluas jangkauan operasinya, maka mereka menggunakan motor atau gerobak gandeng, namun bagi mereka yang membatasi jangkauannya dan lebih senang menggunakan gerobak dorong, maka ia tetap menggunakannya.

Pedagang bakso yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pedagang bakso keliling, baik menggunakan gerobak dorong maupun menggunakan gerobak gandeng atau motor.

Selain itu, ada yang menjual hanya berupa bakso tusuk dan ada juga yang menjual bakso berkuah dan mi. Hal ini sesuai dengan keinginan penjualnya dan juga sesuai sasaran konsumen.

Pedagang bakso yang ada di Kota Maros berasal dari Jawa, Maros dan Palopo. Mereka pada umumnya bekerja berkelompok, namun ada juga yang bekerja sendiri. Dalam satu kelompok biasanya terdiri atas 4 sampai 6 orang dan masing-masing orang memiliki gerobak, baik gerobak gandeng maupun dorong.

Setiap orang memiliki lokasi berjualan masing- masing, menjual di tepi jalan, di sekolah- sekolah, kantor-kantor, depan perumahan dan sampai masuk ke dalam kompleks perumahan.

Masing-masing sudah memiliki tempat menetap, sehingga merekapun sudah memiliki langganan di tempat mereka menjual. Oleh karena itu harga baksonya pun diseseuaikan dengan tempat dimana mereka menjual. Bagi mereka yang menjual di sekitar dan sasarannya adalah anak sekolah dasar, maka harganyapun disesuaikan dengan kemampuan pembeli.

Misalnya apabila anak SD maka bakso yang dijual hanya seharga 500-100/biji.

Para pedagang bakso yang bekerja secara berkelompok, pada umumnya ada

yang berperan sebagai pemilik modal, yakni memberi fasilitas berupa gerobak, kompor dan segala perlengkapannya, kecuali kendaraan (motor). Setiap haripun pemilik modal yang belanja dan membeli bahan untuk dijadikan bakso, bahkan sampai dalam proses pembuatan, sebab pemilik modal lebih mengetahui berapa yang harus dibelanja dan berapa hasil bakso yang harus dijual oleh masing-masing anggota.

Anggota hanya membantu menjual kemudian hasil jualannya dibagi kepada pemilik modal.

Pada umumnya pemilik modal mengambil 1-2

% dari masing-masing anggota sesuai hasil jualan pada hari itu.

Pada umumnya pemilik modal bagi pedagang bakso turut serta menjual, namun biasanya jualan mereka lebih variatif, dibanding anggotanya. Misalnya anggota hanya menjual bakso berkuah, maka pemilik modal, selain jual bakso berkuah, juga menjual pangsit.

Adapun alasan mereka menjual bakso agak bervariasi, yakni ada yang menjual bakso sebab melanjutkan profesi orang tuanya, yang juga berasal dari penjual bakso dan ada juga yang menjual bakso karena menganggap pekerjaan tersebut gampang dan hasilnya lumayan bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu ada juga yang menjual bakso karena diajak oleh teman-temannya, sehingga awalnya hanya mencoba-coba saja, namun lama kelamaan, mereka merasa cocok dengan pekerjaan tersebut, akhirnya pekerjaan tersebut ditekuninya hingga saat ini. Selain itu, ada juga pedagang bakso yang terinspirasi karena banyak bergaul dengan penjual bakso, kemudian mengamati pekerjaan tersebut, hingga akhirnya ia tertarik dan mengajak orang untuk bekerjasama dan awalnya hanya berperan sebagai pemilik modal, namun lama kelamaan iapun ikut menjual, dengan lasan ia akan mendapat penghasilan tambahan dari hasil jualan para anak buahnya. Mereka berfikir dari pada tinggal di rumah, lebih baik mengisi waktu dengan berjualan.

(8)

Selain itu, di Kota Maros juga kita jumpai pedagang sektor informal, dengan berjualan sayuran di sekitar emperan toko dan di tepi jalan, baik yang ngetem maupun mereka menggunakan mobil. Setiap hari mereka berjualan di tempat dimana mereka dapat mendapatkan pembeli, Namun sejak masa pandemi tempat mereka berjualan mulai sepi, selain mereka tidak mendapatkan sayur atau bahan untuk dijual, juga mereka tidak mendapatkan pembeli seperti biasanya.

Kondisi yang Dirasakan Oleh Penjual Bakso Keliling dan Pedagang Kelontong di Masa Pandemi Covid – 19

Terkait dengan merebaknya Covid- 19 di Indonesia yang dimulai sejak bulan Maret, yang mana setiap hari jumlah pasien yang terinfeksi mengalami penambahan yang signifikan, sehingga Presiden mengeluarkan kebijakan untuk menekan penyebaran Covid-19. Adapun peraturan tersebut adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kepres kedaruratan kesehatan masyarakat. Kebijakan tersebut diatur dalam Undang-Undang No 21 tahun 2020. Selain itu juga melalui menteri hukum dan HAM menerbitkan larangan orang asing dan transit dan masuk ke Indonesia untuk sementara waktu dalam rangka menekan penyebaran virus Covid-19, dengan peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 11 tahun 2020.

Kebijakan tersebut kemudian diaplikasikan oleh pemerintah pusat, maupun daerah.

Dengan adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan oleh pemerintah di setiap daerah, maka secara otomatis masyarakat tidak dapat berpergian, sehingga mobilitas sangat terbatas.

Adanya larangan berpergian oleh pemerintah, secara otomatis menyebabkan lumpuhnya perekonomian masyarakat, sebab masyarakat yang biasanya bepergian untuk berjualan, dengan demikian akan terhambat, demikian pula halnya dengan pembeli,

tidak dapat belanja kebutuhan seperti biasa.

Keadaan ini menyebabkan semua aspek kehidupan manusia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hal ini dapat dilihat dengan berkurangnya penjual makanan yang lalu-lalang menjajakan dagangannya, khususnya para penjual bakso yang biasanya mereka pergi berjualan di sekolah-sekolah dan ke kantor-kantor, namun dengan adanya PSBB, pemerintah juga mengeluarkan aturan pembelajaran secara jarak jauh dan bekerja di rumah bagi para pegawai. Oleh karena itu, maka secara otomatis sekolah-sekolah dan perkantoran ditutup. Dengan demikian para pedagang bakso keliling membatasi areal operasi atau lokasi tempat berjualan.

Hilangnya konsumen atau pembeli selama masa pendemi covid 19, menyebabkan para pedagang bakso keliling harus menyiasati kondisi ini demi mempertahankan usahanya dan mempertahankan kehidupan keluarganya.

Selama masa pandemi Covid-19 pedagang bakso keliling merasakan penurunan omset yang cukup siqnifikan. Sehingga mereka mengalami dilematis, yakni disatu sisi para pedagang bakso keliling harus memenuhi kebutuhan keluarga dan disisi lain mereka harus mematuhi aturan pemerintah agar terhindar dari virus corona.

a. Berkurangnya Jumlah Penghasilan

Selama masa pandemi Covid-19, para pedagang bakso khususnya pedagang bakso kelililing mengalami hal yang sama, yakni jumlah pemasukan dari hasil penjualannya mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Sebelum masa pandemi Covid-19, pada umumnya pedagang bakso keliling mampu meraup hasil penjualan sebanyak Rp700.000 hingga Rp800.000-an perhari. Namun di masa pandemi covid 19, untuk mendapatkan penghasilan sebnyak Rp400.000- Rp500.000 sangat susah. Dengan demikian, maka pedagang bakso merasa sangat dirugikan dengan adanya pandemi tersebut.

(9)

Berkurangnya penghasilan yang dirasakan oleh para pedagang bakso keliling, membuat mereka tidak mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk di tabung.

Bahkan sebaliknya, ada sebagaian pedagang bakso malahan mengambil tabungannya untuk dijadikan sebagai tambahan modal jualan, agar tidak berhenti berjualan.

Selain mengambil tabungan sebagai modal usaha, para peagang baksopun mengurangi pengeluaran kebutuhan rumah tangganya, dengan membatasi belanja untuk konsumsi sehari-hari, apa lagi bagi mereka yang mempunyai anak lebih dari satu orang, yang mana pada umumnya pedagang bakso yang berasal dari Jawa tidak membawa anggota keluarganya, namun mereka berada di kampung halamannya di Jawa. Dengan demikian, maka setiap bulan mereka mengirimkan sebagain keuntungan dari penjualannya kepada keluarganya di kampung.

Dimasa pandemi ini kadangkala mereka tidak mengirimkan keluarganya di kampung, adapun bila dikirimkan tidak seperti jumlah biasanya, namun pas-pas untuk kebutuhan hidup selama sebulan, bahkan ada yang tidak cukup, disesuaikan dengan jumlah yang diperoleh selam satu bulan.

Oleh sebab itu para istri dan anak-anak pedagang bakso turut merasakan dampak pandemi terhadap penghasilan keluarganya yang sungguh berbeda dari masa–masa sebelumnya. Di mana istri dan anak pedagang bakso, bisa belanja apa yang ia inginkan. Pada saat pandemi, ketika ingin belanja mereka harus belanja sesuai prioritas. Belum lagi bagi mereka yang memiliki anak di usia sekolah dan harus belajar online, yang membutuhkan kuota. Dengan demikian secara otomatis, ia harus menyisihkan pula untuk kebutuhan kuota agar anak-anak mereka bisa belajar dari rumah.

Sejak masa pandemi para pedagang sayur juga merasakan turunnya omset penjualan, terutama pada pedagang sayuran yang tidak memiliki tempat penjualan yang sifatnya permanen, sebagaimana yang ditemukan

di Pasar Sentral Maros dengan mengambil posisi atau stand di pelataran depan pasar.

Yang bersangkutan hanya menebar terpal dan balai-balai untuk menempatkan barang jualannya, serta memasang tenda atau payung untuk berlindung dari teriknya matarahari dan turunnya hujan, oleh karena berkurangnya mobilisasi orang yang ke pasar. Artinya, konsumen sebagai pengguna membatasi diri karena ada dua permasalahan yang mesti dipertimbangkan akibatnya

b. Antara Ingin Berjualan dan Takut Terpapar Adanya berita tentang virus corona yang bisa menyerang manusia hingga membunuh manusia, membuat semua masyarakat merasa ketakutan. Berbagai macam cara yang dilakukan oleh setiap orang agar terhindar dari virus tersebut, bahkan pemerintah sudah mengambil tindakan untuk memutuskan mata rantai virus corona. Peraturan tersebut berlaku untuk seluruh masayarakat, salah satunya adalah pedagang sektor informal, yakni pedagang bakso keliling. Rasa ketakutan juga meleputi mereka, sehingga berfikir bahwa, apabila mereka terkena virus, maka akan tidak bisa berjualan, namun di lain sisi apabila tidak berjualan juga akan tidak memperoleh penghasilan dan tidak bisa bertahan hidup.

Selain terbatasnya penghasilan dan diikuti dengan membatasi diri untuk belanja yang tidak terlalu mendesak, para pedagang bakso juga merasakan ketakutan apabila terkena virus corona, namun di lain sisi mereka juga sangat membutuhkan penghasilan demi keberlangsungan hidup mereka dan juga usahanya. Oleh sebab itu dengan adanya larangan keluar rumah, maka para pedagang bakso mengalami dilematis, antara ingin keluar berjualan dan tinggal di rumah untuk mendukung peraturan pemerintah dengan memutus mata rantai virus corona.

Ada sebagian pedagang bakso yang tidak menghiraukan himbauan pemerintah

(10)

dengan tetap berjualan, namun mereka hanya membatasi wilayah operasinya. Ada sebagain yang berprinsi bahwa kalau memang sudah waktunya kita kena, akan kena, namun bila tidak ya..tidak juga. Namun ada juga yang begitu taat dengan peraturan pemerintah, yakni dengan tidak berjualan, akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama, namun hanya sekitar 3-5 hari. Sebab apabila hal ini dialakukan dalam waktu yang panjang, maka mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sebab mereka hanya bergantung pada satu pekerjaan saja, yakni sebagai penjual bakso. Sangat jarang dijumpai pedagang bakso memiliki pekerjaan sampingan. Apabila mereka berdagang bakso, maka pekerjaan itulah yang akan ditekuninya, tidak mengambil pekerjaan lain. Oleh karena itu ketika mereka tidak berjualan, maka sumber penghasilan utamanya akan tidak ada, sebab dapat dikatakan bahwa menjadi pedagang bakso merupakan suatu pekerjaan terakhir, setelah gagal dengan pekerjaan lain.

Permasalahan yang pertama, mereka memiliki atau dihantui rasa takut atau cemas untuk ke pasar setelah mendengar bahaya yang ditimbulkan mewabahnya virus corona ini. Artinya, para pengkonsumsi sayur mayur membatasi diri ke pasar untuk berbelanja oleh karena efek bahaya yang terkena jenis virus ini.

Perihal kedua, para masyarakat pengguna pasar merasa susah merubah pola aktivitas ke pasar dengan adanya pembatasan waktu buka pasar.

Artinya, kebiasaan-kebiasaan yang selama ini sudah menjadi patokan menuju pasar dirubah oleh managemen pasar, terutama membatasi atau mempercepat jam tutup. Padahal jam buka dan tutup untuk pedagang yang tidak memiliki stand tetap sebelum mewabahnya virus corona ini sudah menjadi kebiasaan.

c. Terbatasnya wilayah operasi

Pada saat diberlakukannya PSBB di wilayah Maros, maka para pedagang bakso

mengalami keterpurukan, karena omset penjualannya otomatis berkurang, bahkan ada yang sama sekali tidak ada. Sekolah-sekolah dan kantor-kantor yang dulunya dijadikan sebagai tempat untuk menghabiskan dagangannya, namun saat pandemi Covid-19 tempat tersebut ditutup, sehingga mereka memutar otak untuk bisa tetap berjualan. Setelah PSBB sudah pelan- pelan dihentikan, maka para pedagang bakso sudah mulai memperluas wilayah operasinya, yang awalnyanya hanya di sekitar tempat tinggalnya, namun setelah PSBB dibuka dan sudah berlaku new normal, maka pedagang bakso sudah mulai berjualan di depan-depan Alfamart dan depan kompleks perumahan.

Dengan demikian, maka penghasilan mereka tetap ada, walaupun hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.

Para pedagang sayur mayur yang menempati pelataran depan pasar, sebelum mewabahnya corona, mereka sudah menebar jualan mulai pukul 3.00 dini hari, dan tutup pukul 9.00. Setelah mewabahnya virus jenis corona ini pedagang sayur mayur yang tempatnya tidak permanen, jam bukanya dibatasi hanya sampai pukul 7.00 pagi. Pembatasan hingga pukul 7.00, menurut para pembeli terasa susah dipenuhi oleh karena jam seperti ini kaum ibu masih sibuk mengurus rumah dan keluarganya.

Banyak persoalan penting yang dialami dan dirasakan oleh pelaku atau pekerja sektor informal di tengah situasi dan kondisi mewabahnya virus Covid-19 ini. Seperti mereka kesulitan atau berharap cemas keluar beraktivitas, khususnya bekerja sebagaimana hari-hari sebelumnya saat situasi dan kondisi normal. Artinya, mereka khawatir keluar bekerja untuk mencari nafkah kebutuhan hidup sehari hari buat anggota keluarganya, oleh karena mereka dihantui akan terkena virus.

Dengan kondisi seperti diutarakan sebelumnya, tentunya berakibat di mana setiap orang yang berada pada posisi penanggungjawab rumah tangga merasakan terbebani. Sebab umumnya pekerja sektor informal yang dijadikan sasaran

(11)

kajian, jika tidak bekerja dalam sehari, maka yang bersangkutan tidak mendapat biaya hidup. Persoalan inilah yang dirasakan para pekerja harian, di mana pada satu sisi minim atau bahkan tidak ada pemasukan karena tidak bekerja, padahal satu sisi lainnya kenutuhan akan makan minum bagi anggota keluarga harus terpenuhi.

Sedangkan pada pemikiran lain mereka juga harus berada pada posisi menyiapkan makan minum bagi keluarganya, di samping kebutuhan ekstra lainnya, seperti biaya sekolah, biaya jajan bagi anak-anaknya, bayar angsuran atau cicilan barang yang dibeli atau diadakan dengan cara diangsur/dicicil perhari, perminggu ataupun perbulan, termasuk biaya kontrakan rumah. Karena menurut informasi tidak jarang pekerja sektor informal, dalam melakoni hidupnya sehari, terutama yang beraktivitas di daerah perkotaan, seperti yang ditemui di daerah Maros, khususnya yang bermukim di kecamatan yang dijadikan setting penelitian, dalam hal ini di Kecamatan Turikale, menggunakan rumah kontrakan sebagai tempat tinggal. Sebab umumnya mereka adalah pemduduk pendatang yang mencari hidup di Kota, (Wauran, 2012: 2).

Semua beban yang disebutkan sebelumnya, adalah menjadi sebuah dilemma hidup yang dialami dan dirasakan sebagai pekerja sektor informal selama mewabahnya virus corona yang sudah berlangsung cukup lama, dan tanpa terlihat akan adanya tanda-tanda akan berhenti atau menghilang. Artinya, walaupun para pekerja sektor informal di masa new normal hidupnya pas-pasan atau bahkan kekurangan, tetapi setidaknya mereka masih leluasa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, oleh karena tidak ada alasan untuk tidak mencari nafkah. Tetapi mewabahnya virus corona ini, mereka tetap diperhadapkan dua persoalan besar dalam mencari nafkah. Yang pertama persoalan terkait dengan tidak adanya kebebasan beraktivitas, artinya hampir semua usaha yang mereka lakukan dalam mendapatkan

uang sebagai penghasilan dalam setiap item pekerjaan yang dilakoni boleh dikatakan tidak berjalan secara maksimal.

Tidak tersedianya sumber daya bagi mereka, sehingga tidak berkesempatan beralih mencari usaha lain yang dianggap mempuni menutupi kebutuhan sehari-hari bersama anggota keluarganya. Bahkan mereka ada yang mengatakan selalu terbenak kegelisahan dengan tidak adanya tanda-tanda wabah penyakit ini akan hilang atau berlalu. Sebab mereka mengatakan ketika kondisi seperti ini tidak berakhir, maka satu-satunya cara yang mesti dilkukan para pekerja sektor informal yang berdampak paling besar dengan mewabahnya Covid-19 ini, adalah meminjam uang, baik bersumber dari teman, tetangga, keluarga, dan kerabat. Pinjaman yang mereka lakukan umumnya dibayar perhari atau perminggu.

Strategi yang di lakukan oleh Pedagang Sek- tor Informal Selama Masa Pandemi Covid-19 Bennet dan Helmi (dalam Utami, 2017:

22) menyatakan, bahwa strategi adaptasi merupakan perilaku responsif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi, yang memungkinkan manusia untuk menata kehidupannya agar sesuai dengan kondisi yang ada. Misalnya perilaku hidup dan kebutuhan hidup yang dilakukan sebelumnya, kemudian melakukan perencanaan-perencanaan untuk kehidupan selanjunya. Hal inilah yang dilakukan oleh pedagang bakso keliling yang ada di kota Maros di masa pandemi.

a. Strategi Pedagang Bakso Keliling

Masa pandemi Covid-19 melemahkan perekonomian masayarakat, baik berskala besar maupun berskala kecil. Pedagang bakso keliling merupakan salah satu jenis usaha sektor informal yang terkena dampak pandemi Covid-19. Berbagai macam cara yang dilakukan oleh pedagang bakso keliling guna mempertahankan usaha dan perekonomian

(12)

keluarga, agar mereka bisa survive. Pedagang bakso keliling juga mengalami dampak di masa pandemi Covid-19, khususnya penghasilan yang setiap harinya mampu memenuhi kebutuhan keluarga dan bisa menabung, namun pada masa pandemi, jangankan untuk menabung, untuk modal usaha saja harus mengocek dari tabungan mereka. Oleh sebab itu maka para pedagang bakso keliling mensiasatinya dengan beberapa cara, yakni:

1. Mengurangi Jumlah Porsi Jualan

Sebelum masa pandemi Covid-19, pedagang bakso memiliki omset yang cukup lumayan, sehingga mereka mampu memperoleh hasil penjualan sekitar Rp700.000-Rp800.000/

hari, dengan penghasilan demikian, mereka mempu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung dan dikirim ke kampung halamannya. Namun setelah masa pandemi jumlah pemasukan sangat berkurang, bahkan pernah sama sekali tidak ada, ketika diberlakuannya PSBB di Kota Maros sekitar bulan Maret dan April, dimana mereka tidak boleh keiliking berjualan di sembarang tempat, sehingga mereka harus istirahat beberapa hari, Ada juga yang nekad berjualan, namun hanya di sekitar rumahnya saja. Mereka takut untuk berkeliaran, apalagi bila pemeriksaan identitas.

Para pedagang bakso sangat ketakutan, sebab pada umumnya mereka adalah penduduk yang tidak menetap, sehingga ada sebagaian yang memiliki KTP di tempat lain dan bahkan ada yang sudah kadaluarsa. Bagi mereka yang memiliki KTP bermasalah masih enggan untuk keluar berjualan, namun bagi mereka yang memiliki identitas lengkap ada yang berhenti sejenak yakni sekitar empat hari, namun hari berikutnya mereka pergi berjulan dengan membatasi daerah operasi dan jumlah porsi. Selain mereka enggan keluar berjualan, para konsumen juga sebagian sangat enggan membeli bakso, karena takut tertular virus corona, sehingga walaupun penjual bakso tetap berjualan, tetap saja dagangnnya tersebut tidak akan laku terjual,

hanya sebagain kecil masyarakat yang mau membeli, itupun karena terpaksa, karena sudah tidak tahan keinginannya, namun bagi mereka yang masih bisa menahan keinginannya untuk mengkonsumsi bakso, maka ia tidak membeli.

Setelah pemerintah berhenti memberla- kukan PSBB, maka perlahan-lahan pedagang bakso mulai kembali berjualan, namun mereka mengurangi porsi jualannya sekitar Rp300.000- 400.000. Hal tersebut disesuikan dengan jumlah pembeli setiap hari, sebab apabila menyiapkan jumlah yang banyak, sementara pembeli berkurang, maka bakso akan tersisa dan menyebabkan kerugian bagi mereka, sebab bakso tidak dapat tinggal lama, apa lagi bila mereka menjual mi bakso atau bakso yang berkuah.

Selama masa pendemi, omset penjualan bakso sangat berkurang, hal in terkait dengan daya beli masayarakat yang sangat kurang, sebab masyarakat susah memperoleh uang, banyak masyarakat yang berhenti bekerja maupun diberhentikan, sehingga penghasilan mereka tidak ada, oleh sebab itu masyarakat membelanjakan uangnya pada hal-hal yang urgen saja, sehingga membeli bakso tidak menjadi hal utama.

Demikian halnya pedagang sayur mayur, pedagang buah, penjual makanan di malam hari, umumnya mereka mengurangi porsi jualannya, oleh karena waktu yang diberikan untuk menjual dibatasi, bahkan kadang buka tutup, artinya kadang hari ini menjual dan esok harinya tidak.

Hal ini terjadi karena memang masyarakat sebagai mitranya dibatasi pergerakannya.

Seperti halnya pekerja jasa penjahitan sepatu/

sendal dan penarik becak/bentor, kendalanya sehingga tidak bisa berpenghasilan maksimal karena sektor usahanya bergantung pada mobilisasi masyarakat, artinya makin banyak pergerakan masyarakat, makin banyak yang menggunakan sarana angkutan (jasa becak dan bentor)

(13)

2. Mengubah Lokasi Operasi

Terkait dengan adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar selama masa pandemi Covid-19, yakni sekitar bulan Maret hingga bulan Juni 2020, para pedagang bakso keliling merasa sangat terkungkung, sebab mereka yang biasanya setiap hari pergi berjualan dan bebas mencari tempat-tempat strategis yang diperkirakan bakso dagangannya habis terjual, namun dimasa pandemi Covid-19 mereka tidak bisa lagi melakukannya. Dengan demikian mereka mengubah lokasi berjualan, seperti menjadikan Alfamart atau Alfamidi sebagai tempat berjualan yang cukup strategis, sebab sering dikunjungi oleh banyak orang. Selain itu, di pintu gerbang masuk perumahan, sebagai tempat lalu lalang penghuni perumahan, sehingga sangat memungkin mereka yang melewati tempat tersebut tergoda untuk singgah memebli bakso. Selain ngetem di depan pintu gerbang perumahan, ada juga yang masuk ke dalam perumahan menjajakan bakso dagangannya, kecuali ada larangan untuk masuk berjualan maka mereka tidak melakukan hal itu, namun bagi mereka yang sudah sering masuk ke perumahan tersebut, maka mereka bisa masuk berjulan selama masa pandemi untuk memenuhi permintaan para langganannya.

Alfamart atau Indomart merupakan tempat berjualan yang paling strategis selama masa pandemi Covid-19, sebab setiap hari tempat tersebut ramai dikunjungi pembeli, dari berbagai kalangan, baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa, sehingga memungkinkan para pengunjung Alfamart berkeinginan untuk membeli bakso jualannya mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Walaupun demikian, ada juga yang melarang adanya penjual bakso di depan Alfamart, sehingga para pedagang bakso pun harus pandai-pandai ketika berjualan di tempat itu agar mereka tidak dianggap mengganggu berada di lokasi tersebut.

Selain depan Alfamart, pedagang bakso pun mengambil lokasi di depan kompleks

perumahan, tepatya di pintu gerbang, sebagai tempat lalu-lalang atau keluar masuknya penghuni maupun tamu penghuni perumahan.

Lokasi tersebut dianggap sangat strategis, sebab apabila jualan baksonya tidak habis terjual selama berada di depan pintu gerbang, sementara waktunya sudah mau pulang, maka pedagang bakso masuk berkeliling perumahan untuk menghabiskan jualannya. Setelah habis terjual barulah mereka pulang. Semangat kewirausahaan memang sangat penting dimiliki oleh mereka agar usaha mereka bisa bertahan (Ahimsa dalam Ayu, 2016: 16)

b. Upaya yang Dilakukan oleh Pedagang Sayur-Mayur

Klasifikasi pedagang sayur mayur yang dijadikan sasaran kajian dalam penelitian ini, adalah pedagang sayur mayur, bukan yang sistem kerjanya menjajahkan jualannya dengan berkeliling menesuri kampung dan perumahan yang dapat dijangkau sepeerti pedagang sayur mayur pada umumnya, baik yang menggunakan sepeda motor maupun mobil. Tetapi yang bersangkutan adalah pedagang sayur mayur yang setiap harinya menempati area pelataran parkiran depan pasar sentral Maros.

Sistem kerja yang bersangkutan lakukan, adalah setiap harinya menebar barang dagangan/

jualannya, baik di atas terpal maupun di atas balai-balai. Jenis barang jualan mereka, sayur mayur, seperti kol, buncis, kacang panjang, kacang merah, labu kuning, labu siang, dan sebagainya, termsuk beragam beragam jenis buah juga ikut dipasarkan, seperti tomat, lombok, nangka, pepaya, alpukat dan lain sejenisnya.

Saat situasi dan kondisi normal, mereka diizinkan menjual mulai sekitar pukul 3.00 atau pukul 4.00 subuh hari, dan berakhir pada pukul 9.00 pagi. Pada pukul 4.00 umumnya digunakan para pedagang eceran yang datang belanja. Artinya mereka datang membeli dalam jumlah banyak, lalu kemudian mereka atur

(14)

sedemikian rupa sebelum dijajakan langsung ke pengguna atau masyarakat yang membutuhkan.

Sedangkan dipagi hari, umumnya yang belanja adalah ibu rumah tanggga yang akan mengkonsumsi langsung. Alasan mereka menggunakan jam kerja seperti disebutkan sebelumnya, karena pembeli, khususnya pedagang sayur mayur yang akan menjajakan langsung ke masyarakat pengguna umumnya berdatangan setelah salat subuh, yaitu sekitar jam 5.00-sampai setengah 6.00. Dengan alasan pagi hari mereka sudah menjajakan jualannya ke pemukiman-pemukiman penduduk yang ada sekitar Kota Maros. Sedangkan pembeli yang bersatus pengguna langsung, umumnya datang di pagi hari, baik setelah beraktivitas di rumah tangga maupun sebelum melakukan aktivitas di rumah. Alasan inu rumah tangga langsung membeli sayur di pasar, yng pertama mereka diperhadapkan banyak pilihan, dan alasan lain adalah masalah harga terbilang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan menunggu pedagang eceran datang, termasuk juga kondisi sayur mayur masih terbilang segar (baru) .

Bagi pedagang sayur mayur, menurut penuturan mereka, sistem pengadaan barang jualannya, ada yang dibeli langsung ditempat atau di lokasi produsen (Enrekang dan Malino), ada juga yang diterima ditempat dan menurut mereka selisih harga boleh dibilang tidak jauh berbeda. Hanya saja mereka ketika membeli langsung di area produsen, ada rasa kepuasan tersendiri, oleh karena bebas memilih apa yang mereka mau jual, artinya berpatokan pada apa yang dicari konsumen.

Umumnya sistem pembelian barang dagangan dari produsen dilakukan dengan pembelian tunai atau cash, kalaupun mereka membayar ke produsen secara utuh atau lunas, minimal mereka lunasi antara 70-80 persen.

Pengambilan barang yang merek lakukan adalah rata-rata tiga kali dalam seminggu, ini hitungan normal, artinya bisa tepat bisa juga tidak, tergantung situasi keseharian. Tetapi saat negeri kita dilanda wabah penyakit

yang terbilang sudah berkepanjangan, maka hampir semua sistem kerja mereka mengalami perubahan, artinya berubah sesuai dengan aturan dari pihak pengelolah pasar, mulai dari waktu penjualan, waktu penutupan aktivitas, hingga pada sistem transaksi pengadaan barang. Jadi dengan berlakunya beragam aturan terutama waktu jul, maka para pedagang sayur mayur mengalami penurunan omset penjualan, maka berakibat mempengaruhi tingkat pendapatan.

Perubahan yang cukup berarti dirasakan pedagang sayur mayur yang disebutkan tadi menempati pelataran parkiran pasar sentral selama masa pandemi covid-19, adalah berubahnya jam kerja, sehingga mempengaruhi berkurangnya volume penjualan, maka berefek pada mempengaruhi jumlah pendapatan yang menurutnya sebelum corona diiyakan penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, bahkan mereka mengatakan masih bisa menyimpan setiap hari. Tetapi dengan mewabahnya virus corona, penghasilan mereka dikatakannya berkurang sekitar 60-70 persen.

Banyak hal yang membuat pendapatan mereka berkurang, mulai dari berkurangnya jam berjualan, dahulu sebelum mewabah corona, aktivitas dimulai jam 3.00-9.00, setelah corona berubah dari jam 3.00-7.00. Perubahan lain adalah dibatasinya ruang gerak atau aktivitas masyarakat, sehingga dengan sendirinya pembeli berkurang, otomatis reziko yang diterima para pedagang, adalah barang dagangannya tinggal, maka efeknya banyak jualan yang rusak, karena memang barang dagangan mereka adalah barang yang mudah rusak. Dengan kejadian seperti ini otomatis mereka mengalami kerugian yang cukup berarti.

Cara pedagang sayur mayur mengantisipasi sehingga mereka tetap bertahan dengan usahanya, adalah membuat aturan intern antara pedagang dengan produsen.

Seperti pedagang yang sebelum mewabahnya virus corona ini sistem transaksi pembelian hampir seratus persen membeli barang dari

(15)

produsen dengan bayar kontan. Kalupun ada tersisa tidak dilunasi paling banter tertinggal 5-10 persen, dan pelunasan kemudia saat kembali mengambil barang. Tetapi saat virus corona ini sudah memasuki tahapan yang disebut pandemi, selain pengambilan volume barang dikurangi, juga pembayaran paling besar hanya dibayar sebagian dan bahkan terkadang semuanya diutang, tergantung persetujuan.

Pembayaran sisa berupa utang dilakukan pada waktu mengambil barang berikutnya.

Cara lain yang dilakukan pedagang sayur mayur mengatasi agar kebutuhan rumah tangga tetap terpenuhi. Seperti belanja konsumsi sehari-hari bukan dikurangi, tetapi dibatasi, Artinya yang tidak menjadi kebutuhan utama diabaikan. Seperti belanja kebutuhan pulsa bagi anak-anaknya sedikit dibatasi. Hal lain yang masih diperhitungkan adalah meminta keringanan membayar beragam cicilan, termasuk belanja kebutuhan sehari-hari bagi anaknya dikurangi, bahkan kebutuhan yang tidak dianggap penting pembeliannya ditunda sampai mereka mempunyai kemampuan kembali mengadakan.

PENUTUP

Pelaku sektor informal merupakan salah satu sektor yang sangat merasakan dampak masa pandemi Covid-19, banyak persoalan penting yang dialami dan dirasakan oleh pelaku atau pekerja sektor informal di tengah situasi dan kondisi mewabahnya Covid-19 ini, seperti sangat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga karena terbatasnya ruang aktivitas, keterbatasan modal kerja untuk melakukan diversifikasi pekerjaan. Pedagang bakso dan pedagang kelontong turut merasakan himpitan beban yang selama ini tidak pernah dirasakan sebelumnya. Sementara kebutuhan keluarga semakin membutuhkan biaya. Selain himpitan ekonomi, rasa ketakutan akan terpapar Covid-19 pun turut menghantui hidup mereka selama masa pandemi ini.

Pedagang bakso keliling dan pedagang sayur memerlukan stretegi pemasaran menghadapai masa pendemi Covid-19 agar tujuan usaha mereka tercapai. Adapun yang mereka lakukan dengan mencermati fokus pemesaran barang-barang dagangannya agar bisa sampai ke pelanggan. Bagi pedagang bakso maupun pedagang kelontong fokus tempat penjualan dan konsumen merupakan faktor yang sangat penting untuk keberlangsungan usaha dan hidup mereka, sebab dengan demikian barang yang akan dipasarkanpun akan berpengaruh, baik jumlah maupun jenisnya.

Bagi pedagang bakso tentu akan berpengaruh dengan jumlah bakso dan jenis bakso yang akan di produksi setiap hari.

DAFTAR PUSTAKA

Aulia, Reski, 2018. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi tingkat pendapat Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus Pantai Losari di Kota Makassar). Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Alauddin Makassar

Ayu, 2016. Ayam Kentucky: Studi Antropologi Tentang Usaha Ayam Goreng Kaki Lima di Kota Makassar. Makassar: Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Bhinnekaswathi, Deyanggi, 2019. Strategi adaptasi Pengrajin Kulit Rumahan di Kawasan Sukaregang Kabupaten Garut, Skripsi. Program Pendidikan Sosiologi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Fadilla, Imam, 20118. Sektor Informal Sebagai Bagian Rasional dalam Mengatasi Kemiskinan (Kasus Pedagang Kaki Lima di Trotoar Jalan Pasar Ciputat). Program Studi Sosiologi, Universitas Syarif Hidayatullah.

Moleong, 1992. Metode Penelitian Kualitatif.

Bandung:PT. Remaja

(16)

Mathew, Milles dan Huberman, Michael, 1992.

Analisis Data Kualitatif. Jakarta:UI

Rangkuti, 2013. Teknik Membedah Ksusu Bisnis Analisis SWOT. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama

Samosir, Rini Asmiati, 2015. Analisis Pendapatan Pedagang Kaki Lima Sektor Infromal di Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Diponegoro.

Muthi Nadhirah, Sarah, 2021. Kondisi Sosial Ekonomi di Masa Pandemi Pada Pedagang Kaki Lima, di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung.

Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara.

Nadra, Ira, 2020. Analisis Pengaruh Strategi Pemasaran di Masa PandemiCovid 19 Terhadap Peningkatan Kinerja UMKM Kota Medan di Moderasi oleh Teknologi.

Program MagisterManajemen Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiya Sumatera Utara Medan.

Nola, Afrida, Luh Putu Sandra Tari, I Gusti Madya Arya, Suta Wurawan, 2020.

Strategi Adaptasi Mahasiswa Undhiksa Asal Jakarta dalam Kehidupan Sosial di Kota Singaraja.Universitas Pendidikan Ganesha.Vo. 2, No.3.2020.

Putra, Andika, 2016. Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Masyarakat Buruh Tani dalam Memenuhi Kebutuhan Pokok di desa Sunggumanai, Kecamatan Patalassang, Kabupaten Gowa. Skripsi. Program Sosialogi Agama, Fakultas Ususluddin dan Politik Universitas Alauddin Makassar.

Utami Zamri, Rahmi, 2017. Strategi Adaptasi Pedagang Pasar Tradisional (Studi Pada Pedagang Pasar Cisalak Kota Depok).

Jakarta: Program Studi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Syarif Hidayatullah.

Wulandari Sania, 2021. Tinjauan Kondisi Sosial Ekonomi Penarik Becak di Kelurahan Banten. Kecamatan Medan Tambung di Masa Covid 19. Program Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan.

Wauran, Patrick. C, 2012. Strategi Pemberdayaan Sektor informal Perkotaan di Kota Manado. Jurnal ekonomi dan Keuangan Daerah. Vol. 7. No. 3 . Edisi Oktober 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Bukti PT-249 : Fotokopi Berita acara pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara dalam pemilihan bupati dan wakil bupati tahun 2015, Model C-KWK, TPS 74, Desa

Proses analisis ini jika dikembalikan pada penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka kegiatan yang penulis lakukan adalah aktif untuk mengumpulkan data yang diperoleh

Oleh karena itu, sasaran utama pembangunan urusan keluarga berencana dan keluarga sejahtera adalah terkendalinya angka kelahiran melalui peningkatan peserta KB

Seperti hasil penelitian dari Roymeke dan Stummer (2012) bahwa untuk manajemen bisnis dari rumah sakit, clinical pathway menyajikan instrumen manajemen strategis

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan desain penyisihan piutang tidak tertagih yang ideal pada DJMB sehingga nilai piutang yang tercatat dalam laporan

yang menetapkan apa yang baik atau buruk bagi komunitas, cara-cara yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya, dan menyediakan sarana yang diperlukan untuk

Smua jenis tanaman yang dipilih merupakan tanaman yang aman bagi anak-anak, memiliki aroma tertentu untuk mendukung kegiatan terapi dan meredam efek negatif kegiatan terapi,

Upaya peningkatan mutu di bidang pelayanan radiologi harus dilakukan dengan baik dan benar, agar dapat memberikan mutu pelayanan yang tepat dan teliti, dan