(Opini) Majalah MATAN, edisi Juli 2017
Menjadi Hamba yang Bersabar dan Bersyukur
Oleh: Ahmad Fatoni, Lc., M.Ag.
Kaprodi PBA Universitas Muhammadiyah Malang, Wakil Ketua Majelis Tabligh PDM Kabupaten Malang
َﻼَﺘ ْـﺑاﺎ َﻣ اَذِإ ﺂﱠﻣَأ َو ِﻦَﻣَﺮْﻛَأ ﻲﱢﺑ َر ُلﻮُﻘ َـﻴَـﻓ ُﻪ َﻤﱠﻌَـﻧَو ُﻪ َﻣَﺮْﻛَﺄَﻓ ُﻪﱡﺑ َر ُﻩَﻼَﺘ ْـﺑاﺎ َ ﻣ اَذِإ ُنﺎ َﺴﻧِﻹْا ﺎﱠﻣَأ َ◌
ِﻪْﻴَﻠَﻋ َرَﺪَﻘَـﻓ ُﻩ
ِﻦَﻧﺎ َﻫَأ ﻲﱢﺑ َر ُلﻮُﻘ َـﻴَـﻓ ُﻪَﻗْزِر
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata:
“Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16)
KEHIDUPAN ini tidak terlepas dari cobaan dan ujian. Tak seorang pun yang terlahir ke dunia tanpa mengalami ujian sedikit pun. Allah menguji orang kaya dengan kekayaannya, apakah ia bersyukur atau malah kufur. Allah juga akan menguji orang miskin dengan kemiskinannya, apakah ia bersabar atau malah menempuh cara- cara yang diharamkan demi terbebas dari kemiskinan.
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dari kalangan manusia, agar kita sesama manusia bisa mencontoh rekam jejak perjalanan Nabi Muhammad SAW. Siapa di antara kita yang mengalami kemiskinan? Beliau pun pernah merasakan kemiskinan. Istri beliau, Aisyah radhiallahu ‘anha menuturkan “Dapur Rasulullah pernah tidak menyala (apinya) tiga hari berturut-turut.” Siapa di antara kita yang menikmati kekayaan? Beliau pun seseorang yang merasakan kekayaan,
“Beliau berikan seluruh domba beliau yang banyaknya memenuhi antara dua bukit kepada seseorang, agar orang tersebut dan kaumnya menerima hidayah Islam.”
Siapa yang bersedih mencela takdir karena kehilangan anggota keluarganya?
Beliau kehilangan seorang ayah ketika di dalam kandungan ibunya, ditinggal wafat ibunya ketika beliau berusia 6 tahun, kemudian kakek dan pamannya pun wafat meninggalkan Muhammad kecil. Beliau juga ditinggal wafat dua orang istri beliau di masa hidupnya, beliau menyaksikan anak-anaknya wafat terlebih dahulu meninggalkan beliau, namun beliau adalah hamba Allah yang bersabar.
Oleh karena lemahnya iman, sering kali kita mendengar ada orang yang mengatakan “Ah, beliau kan Nabi dan Rasul Allah yang dibimbing oleh wahyu, jadi wajar beliau bersabar.” Kalimat ini hakikatnya tidak patut diucapkan seorang yang beriman. Terbukti orang-orang shalih terdahulu yang mereka bukan Rasul dan bukan pula Nabi, namun mereka bersabar saat ditimpa musibah.
Jamak dimaklumi, sebagian manusia terkadang tak tahan dengan ujian. Ada yang berputus asa lantas ingin cepat mati, bahkan bunuh diri. Ada pula yang menganggap Allah tidak adil. Sebagian orang lainnya bersabar menjalani takdir dan kian dekat dengan Sang Pencipta.
Alkisah, ada seorang nenek berusia sekitar 70 tahun mengalami patah tulang dan terpaksa menginap di rumah sakit. Ia ditemani seorang anaknya dan seorang cucu di ruang VIP. Seorang dokter lalu menyapanya dan memberikan bimbingan sebagaimana mestinya hingga pada perkataan, “alhamdulillah ibu masih patah tulang”. Si Nenek terkaget-kaget mendengar ucapan sang dokter, “kok alhamdulillah, sih?!”
Sikap nenek tersebut menggugah nurani kita, betapa banyak ujian mendera kita yang acapkali dianggap malapetaka terbesar. Nenek tadi mungkin lupa atau justru bisa jadi terfokus dengan penyakitnya saja, lantas ia mengesampingkan berbagai nikmat Tuhan yang telah mengalir selama hidupnya. Orang semacam itu adakalanya membutuhkan bantuan orang lain untuk disadarkan bahwa alhamdulillah hanya kaki kirinya yang patah, bukan kaki kanan apalagi kedua-duanya atau mungkin seluruh tubuhnya, dan alhamdulillah masih fisiknya yang sakit bukan hatinya.
Ucapan “alhamdulillah” rupanya dalam sangkaan si nenek, sang dokter sedang mensyukuri penyakitnya. Begitulah, banyak di antara kita salah kaprah memaknai hakikat syukur. Rasa syukur terkadang menghilang di kala seseorang sedang dilanda cobaan atau ditimpa musibah. Padahal, bersyukur di saat gundah gulanah bisa mengurangi beratnya penderitaan. Akan tetapi, perasaan syukur hanya berlabuh di hati orang yang benar-benar membutuhkan rasa syukur atau menunggu ada sebuah teguran terlebih dahulu, barulah ia bersyukur.
Sekadar permisalan. Seseorang yang memiliki uang tiga juta lebih tiga ratus ribu, lalu karena suatu hal ia kehilangan tiga ratus ribu dan masih tersisa tiga juta.
Perhatian orang yang bersyukur akan tertuju pada jumlah yang tersisa, sehingga ia akan bersyukur, “alhamdulillah, cuma tiga ratus ribu yang hilang, bukan yang tiga juta.” Hatinya terhibur, lisan pun berucap syukur.
Bisa jadi orang yang sabar di dunia itu terlihat menderita di mata orang lain, namun ia tetap mulia di sisi Allah dalam kehidupannya. Jangan sampai kita bersyukur kepada Allah tatkala lapang dan mencela serta protes tatkala ditimpakan kesempitan.
Allah berfirman:
ِﻦَﻣَﺮْﻛَأ ﻲﱢﺑ َر ُلﻮُﻘَـﻴَـﻓ ُﻪ َﻤﱠﻌَـﻧَو ُﻪَﻣَﺮْﻛَﺄَﻓ ُﻪﱡﺑ َر ُﻩَﻼَﺘ ْـﺑاﺎ َﻣ اَذِإ ُنﺎ َﺴﻧِﻹْا ﺎﱠﻣَﺄَﻓ ُﻪَﻗْزِر ِﻪْﻴَﻠَﻋ َرَﺪَﻘَـﻓ ُﻩَﻼَﺘ ْـﺑاﺎ َﻣ اَذِإ ﺂﱠﻣَأ َو
ُلﻮُﻘ َـﻴَـﻓ ِﻦَﻧﺎ َﻫَأ ﻲﱢﺑ َر
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata:
“Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16)
Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia ketika ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku dengan karunia ini. Adapun manusia jika ia ditimpa musibah oleh Rabbnya dengan disempitkan rizki, yaitu rizkinya tidak begitu banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga ia
pun tidak bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan dan rizki berupa nikmat sehat pada jasadnya.”(Tafsir Ath-Thabari, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama, 1420 H, 24/412).
Ibnu Katsir rahimahullah menafsir ayat di atas, “Dalam ayat tersebut, Allah mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki.
Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian.” Sebagaimana firman Allah,
َنﻮُﺒ َﺴْﺤَﻳَأ ﺎ َﻤﱠﻧَأ
ْﻢُﻫﱡﺪِﻤُﻧ ِﻪِﺑ ْﻦِﻣ ٍلﺎ َﻣ َﻦﻴِﻨَﺑ َو ُعِرﺎ َﺴُﻧ ْﻢُﻬَﻟ
ﻲِﻓ ِتا َﺮْـﻴَﺨْﻟا ﻞَﺑ ﻻ َنوُﺮُﻌْﺸَﻳ
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al-Mu’minun: 55-56).
Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah menghinakannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Allah memberi rizki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak.
Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”
(Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 14/347).
Kita dalam hidup ini sering menerima dua hal, yaitu anugerah dan musibah.
Biasanya kita akan sangat mengharapkan selalu mendapatkan anugerah, lalu dengan mudah kita mensyukuri atas anugerah itu. Bagaimana tatkala kita menerima suatu musibah, apakah kita masih bisa beryukur? Umumnya kita kita lebih banyak mengeluh. Mungkin kita sempat berpikir Tuhan tidak adil ketika kita menerima musibah. Tak jarang pula kita menyalahkan hidup, menyalahkan Tuhan, dan seterusnya.
Sifat yang disebutkan dalam surat ini (Al-Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir. Maka sudah patut untuk dijauhi oleh seorang muslim. Al- Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Sifat yang disebutkan dalam (Al-Fajr ayat 15- 16) adalah sifat orang kafir yang tidak beriman pada hari berbangkit. Sesungguhnya kemuliaan yang dianggap orang kafir adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta. Sedangkan orang mukmin, kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan pada Allah dan bagaimana ia menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah memberi rizki baginya di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur pada- Nya.”(Al-Jaami’ li Ahkam Al-Qur’an, Al-Qurthubi, Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin Al Hasan At Turki, Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama, 1427 H, 22).
Kita dilapangkan rizki, itu adalah ujian. Kita disempitkan rizki, itu pula ujian.
Dilapangkan rizki agar kita diuji apakah termasuk orang yang bersyukur atau tidak.
Disempitkan rizki agar kita diuji termasuk orang yang bersabar atau tidak. Maka tergantung kita dalam menyikapi rizki yang Allah berikan.
Hidup kita akan senang atau susah, berpulang pada cara pandang dan pikiran kita. Melalui cara bersyukur kita akan menemukan apa yang kita cari. Jika pikiran kita selalu mencari apa yang indah dari setiap musibah lalu mensyukurinya, maka keindahan yang akan kita dapati. Itu sebabnya, rasa syukur dibutuhkan untuk menerima dan memandang indah setiap peristiwa dalam perjalanan hidup kita.
Syukur-syukur, dengan bersyukur kita dapat mengubah musibah menjadi anugerah.
Wallahu a’lam.