23 BAB IV
KERJASAMA UNI EROPA DAN ASEAN DALAM MASA PANDEMI
Hadirnya virus covid-19 sejak akhir 2019 hingga saat ini masih menjadi tantangan bagi berbagai negara di dunia. Penyebaran virus yang tidak dapat diprediksi dan dikendalikan kemudian memberikan dampak serius bagi berbagai sektor dalam kehidupan manusia.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh virus covid-19, namun aktualnya hal tersebut belum cukup efisien untuk mengatasi krisis yang diakibatkan oleh virus tersebut. Peningkatkan jumlah kasus covid-19 di ASEAN pada akhirnya menyebabkan tantangan baru bagi intitusi kawasan yang mana dibutuhkan kerjasama dengan institusi kawasan lainnya untuk bersama-sama dalam mengahadapi pandemi covid-19 yang telah menjadi ancaman global. Agar tercapai hasil yang lebih efisien maka hubungan antar regional harus lebih bersatu dalam penciptaan kerjasama yang saling menguntungkan. Seperti kerjasama yang terjalin antara institusi kawasan Uni Eropa dan ASEAN yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Agar dapat memahami lebih lanjut mengenai peran kerjasama Uni Eropa dan ASEAN dalam mengatasi pandemi covid-19, pada tulisan ini akan di bahas terlebih dahulu berbagai aspek yakni penyebaran virus covid-19 di Asia Tenggara dan dampak yang diakibatkan oleh covid-19 serta peran kerjasama Uni Eropa dan ASEAN. Pemabahasan penyebaran dan dampak covid-19 di Asia Tenggara untuk melihat urgensi masalah yang dihadapi, sedangkan peran kerjasama Uni Eropa dan ASEAN dalam mengatasi pandemi covid-19 untuk menjawab rumusan masalah yang ada.
4.1 Penyebaran Virus Covid-19 di Asia Tenggara
Sebagai kawasan yang berbatasan langsung dengan Cina, negara-negara di Asia Tenggara menjadi rentan terhadap penyebaran covid-19. Pada perkembangan virus tersebut, kasus pertama terkonfirmasi ditemukan di Thailand pada 13 Januari 2020 dan pada bulan yang sama, Singapura, Vietnam, Malaysia, Kamboja serta Filipina juga melaporkan kasus terkonfirmasi covid-19 pertama dalam negaranya. Pada 2 Maret 2020, kemudian 2 kasus pertama terkonfirmasi covid-19 ditemukan di Indonesia. Pada bulan Maret, Brunei Darussalam, Myanmar, dan Laos kemudian melaporkan kasus pertama terkonfirmasi covid- 19 dalam negaranya. Adanya pelaporan kasus pertama terkonfirmasi covid-19 di negara- negara Asia Tenggara, kemudian menjadikan Asia Tenggara sebagai kawasan pertama di dunia yang terpapar virus covid-19 setelah Cina (Chryshna,2020).
24 Gambar 5
Angka Kumulatif Kasus Konfirmasi Covid-19 di Asia Tenggara
Sumber: ourworldindata.org
Data diatas menunjukkan bahwa sejak dilaporkannya kasus pertama terkonfirmasi covid-19, angka penyebaran virus di negara-negara Asia Tenggara terus meningkat. Lebih lanjut dalam webiste ourworldindata.org menjelaskan bahwa pada bulan Januari tahun 2020 telah ada enam negara pertama yang melaporkan kasus covid-19 dengan total 44 kasus. Pada bulan Febuari 2020, angka kasus terkonfirmasi bertambah menjadi 189 kasus, sedangkan pada bulan Maret 2020, seluruh negara di kawasan Asia Tenggara telah terpapar covid-19.
Penambahan jumlah kasus covid-19 di seluruh kawasan berdampak pada meningkatnya jumlah kasus terkonfirmasi di kawasan Asia Tenggara, menjadi 8.448 kasus pada Maret 2020. Peningkatan jumlah kasus terkonfirmasi covid-19 terus terjadi, hingga April 2020 yang telah mencapai 43.215 kasus.
Pada bulan Mei 2020, jumlah total kasus covid-19 telah bertambah sebanyak 91.180 dari 10 negara dan Singapura menjadi negara dengan angka kasus tertinggi diantara negara yang lain. Berbeda pada bulan Juni 2020, Indonesia telah menjadi negara dengan angka kasus tertinggi yakni sebanyak 56.385 kasus. Pada bulan Juli 2020, kawasan Asia Tenggara melaporkan angka terkonfirmasi covid-19 dengan total 267.532 kasus. Pada bulan Agustus 2020, untuk pertama kali negara Filipina mengalami penambahan jumlah covid-19 yakni sebanyak 217.396 kasus. Hal tersebut kemudian menjadikan Filipina sebagai negara dengan jumlah kasus covid-19 terbanyak di Asia Tenggara, yang menjadikan Indonesia turun ke
25
peringkat 2 dan Singapura berada di peringkat 3. Pada bulan September 2020, Filipina, Indonesia, dan Singapura masih menjadi negara dengan jumlah terkonfirmasi covid-19 tertinggi di Asia Tenggara. Hal tersebut terus terjadi di tiga negara tersebut, seperti pada Oktober 2020 Indonesia kembali naik ke peringkat 1 angka terkonfirmasi kasus paling tinggi di Asia Tenggara dengan 406.945 kasus dengan jumlah total 938.512 kasus. Pada bulan berikutnya, yakni November 2020, jumlah terkonfirmasi covid-19 telah mencapai total 1.191.011 kasus. Hal tersebut terus terjadi hingga pada Desember 2020, jumlah kasus covid- 19 telah mencapaii 1.509.354 kasus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sepanjang tahun 2020, Singapura, Indonesia, dan Filipina merupakan negara yang selalu berada pada peringkat 3 tertinggi kasus terkonfirmasi covid-19, sedangkan Laos menjadi negara dengan jumlah kasus terkonfirmasi paling sedikit di kawasan Asia Tenggara.
Memasuki tahun 2021, jumlah kasus terkonfirmasi covid-19 di negara-negara kawasan Asia Tenggara masih menunjukkan adanya peningkatan. Data dalam website ourworldindata.org menunjukkan sejak bulan Januari 2021, jumlah terkonfirmasi covid-19 dari 10 negara di kawasan Asia Tenggara telah mencapai total 2.042.383 kasus. Jumlah total tersebut menunjukkan adanya peningkatan hampir dua kali lipat dari bulan sebelumnya. Pada Febuari 2021, sebanyak 2.433.796 kasus, dan dari bulan Januari hingga pertengahan Juni 2021, jumlah terkonfirmasi covid-19 di Asia Tenggara selalu mengalami peningkatan. Seperti yang terjadi pada Maret 2021 kasus terkonfirmasi covid-19 telah mencapai 2.839.770, dan terus berlanjut pada April dengan total 3.420.428 kasus, Mei dengan total 4.027.509 kasus dan Juni dengan jumlah total 4.890.954 kasus di kawasan Asia Tenggara. Pada kurun waktu 6 bulan sejak Januari hinga Juni 2021, Indonesia menduduki peringkat pertama dengan jumlah kasus terkonfirmasi covid-19 terbanyak, kemudian Filipina dan Malaysia diperingkat dua dan tiga. Sedangkan Laos dan Brunei menjadi negara dengan jumlah kasus paling sedikit terkonfirmasi covid-19 di Asia Tenggara.
4.2 Dampak Pandemi Covid-19
Laju penyebaran dan peningkatan kasus covid-19 yang pesat, pada tahun 2020 Uni Eropa menjadi salah satu kawasan dengan kasus covid-19 tertinggi diantara kawasan yang lain. Untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19, banyak pemerintah negara kemudian menerapkan beberapa kebijakan baru mengenai protokol kesehatan, seperti karantina wilayah atau biasa disebut dengan lockdown dan physical distancing. Kebijakan tersebut dilakukan dengan pelarangan akses keluar masuk pada lalu lintas wilayah tertentu, penutupan fasilitas umum, serta pembatasan kegiatan sosial masyarakat. Tingginya angka kasus covid-19 di Uni
26
Eropa dan beberapa kebijakan yang diberlakukan tersebut, secara langsung berdampak pada ketidakstabilan ekonomi. Lebih lanjut lihat pada data berikut :
Gambar 6
Pertumbuhan GDP Uni Eropa Tahun 2016 hingga 2021
Sumber: EU Commission dalam ec.europa.eu
Data diatas menunjukkan pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) Uni Eropa yang berwarna biru dan Eurozone1 yang berwarna biru tua dari tahun 2016 hingga tahun 2021. Pada tahun 2016 hingga tahun 2019, angka GDP Uni Eropa menunjukkan kenaikan dan penurunan yang normal. Sedangkan pada tahun 2020, GDP Uni Eropa mengalami penurunan yang signifikan, bahkan sampai mencapai angka minus, yang belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Penyebaran covid-19 yang sangat cepat dan pemberlakuan pembatasan sosial atau lockdown di berbagai wilayah negara kemudian secara langsung berdampak pada berkurangnya produktivitas ekonomi. Tidak hanya kawasan Uni Eropa, dampak ekonomi akibat penyebaran covid-19 juga sangat dirasakan oleh seluruh negara di dunia, yang kemudian menyebabkan lemahnya pasar global, terutama pada kegiatan ekspor dan impor.
Secara global, kegiatan ekonomi terhubung melalui arus barang, jasa, ilmu pengetahuan, orang, investasi, penanaman modal, perbankan internasional, dan nilai tukar (Baldwin & Mauro,2020). Pada tahun 2020, angka ekspor di dunia mengalami penurunan
1 Eurozone dijelaskan sebagai istilah untuk merujuk 19 dari 28 negara anggota Uni Eropa yang mengadopsi Euro sebagai mata uang. Eurozone juga menjadi salah satu contoh dalam European Monetary Union yang merupakan integrasi ekonomi di Uni Eropa.
27
hingga mencapai angka -4,57%, sedangkan ekspor di kawasan Uni Eropa berada di angka -5,72% (World Bank,2020). Penurunan angka ekspor di dunia dan kawasan Uni Eropa tersebut dipengaruhi oleh terhambatnya perdagangan internasional. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kemudian menjadi salah satu usaha yang paling terkena dampak karena terganggunya persediaan bahan baku dari negara lain sebagai bahan utama produksi. Oleh karena itu, secara langsung memberikan dampak pada penjualan barang. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya perusahaan negara-negara di dunia yang membatasi atau bahkan menghentikan produksi barang dan jasa. Pembatasan produksi barang dan jasa tersebut kemudian berdampak pada berkurangnya pemasukan bagi perusahaan. Meskipun perusahaan masih mampu melakukan produksi, namun di sisi lain terjadi pemutusan hubungan kerja yang dirasakan oleh para pekerja, dan kemudian berdampak pada penurunan tingkat konsumsi yang akhirnya menyebabkan penurunan juga pada dinamika perekonomian (Kraus et al.,2020 dalam Abror dan Damayanti,2020).
Selain perdagangan internasional yang terhambat dan dampaknya bagi sektor UMKM, penurunan produktivitas ekonomi oleh Uni Eropa kemudian diperparah dengan ketergantungan kawasan Eropa pada kegiatan ekspor impor dari negara atau bahkan kawasan lain. Menurut survei yang dilakukan oleh Standard Chartered dalam laporan “Borderless Business: Koridor Eropa-ASEAN”, disebutkan bahwa 88% perusahaan di Eropa melihat beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Indonesia yang termasuk dalam negara anggota ASEAN menjadi pasar menjanjikan bagi pertumbuhan bisnis mereka. Lebih khusus lagi, sebanyak 43% responden yang terdiri dari perusahaan-perusahan Jerman, Perancis, dan Inggris menganggap Indonesia sebagai salah satu dari 4 negara teratas yang menawarkan peluang penjualan atau produksi yang besar. Hal tersebut kemudian menegaskan bahwa hubungan Uni Eropa dan ASEAN cukup erat dalam dinamika perekonomian.
Kondisi pandemi covid-19 yang diperparah dengan pemberlakuan beberapa kebijakan lockdown dan larangan akses perbatasan sebagai upaya untuk mencegah penyebaran covid-19 semakin luas yang diimplementasikan oleh beberapa negara anggota Uni Eropa kemudian membawa dampak pada penurunan sektor pariwisata. Selain menjadi pasar dalam pertumbuhan bisnis banyak perusahaan di Eropa, pada tahun 2019, negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga menjadi penyumbang jumlah wisatawan terbesar ketiga setelah Inggris dan Amerika Serikat dalam kaitannya dengan pertumbuhan sektor pariwisata (European Commission,2019).
28 Gambar 7
Kunjungan Pariwisata di Uni Eropa Tahun 2006-2020
Sumber: EU Commission dalam ec.europa.eu
Keterbatasan negara dan kawasan Asia Tenggara dalam mengatasi penyebaran virus covid-19 serta pemberlakuan kebijakan terkait protokol kesehatan yang diterapkan beberapa negara di Uni Eropa kemudian membawa dampak yang signifikan. Dari data diatas memperlihatkan bahwa sejak tahun 2006 hingga 2019, jumlah kunjungan pariwisata ke beberapa wilayah di Uni Eropa terus mengalami kenaikan. Namun, pada tahun 2020, jumlah kunjungan yang dilakukan para wisatawan asing ke Uni Eropa mengalami penurunan yang sangat drastis, bahkan belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan dalam laman resmi World Tourism Organization (unwto.org) disebutkan bahwa penurunan jumlah kunjungan wisatawan internasional ke Uni Eropa dalam kaitannya dengan sektor pariwisata mencapai angka -68%. Selain berdampak pada kegiatan ekspor, pandemi covid-19 juga berdampak pada sektor pariwisata Uni Eropa yang kemudian mempengaruhi dinamika dan produktivitas pada bidang ekonomi.
Hadirnya sebuah ancaman bersama bagi perekonomian global yang diakibatkan oleh pandemi covid-19, memungkinkan adanya kerjasama yang semakin kuat diantara berbagai negara serta intitusi kawasan. Melalui kerjasama yang dihadirkan untuk mengatasi ancaman bersama dapat menciptakan sebuah interdependensi dalam hubungan tersebut. Beberapa kawasan seperti ASEAN yang belum cukup kuat jika dibandingkan kawasan lain seperti Uni Eropa, membuat ASEAN kemudian membutuhkan Uni Eropa dengan harapan bahwa kerjasama yang dijalin dalam merespon permasalahan yang terjadi khususnya selama masa pandemi covid-19 dapat lebih efektif.
29 4.3 Kerjasama Uni Eropa dan ASEAN
Sebagai mitra yang sama-sama penting, dua institusi kawasan yakni Uni Eropa dan ASEAN telah lama menjalin kerjasama di mana pada tahun 2021 ini memasuki tahun ke-44.
Kerjasama yang terjalin antara Uni Eropa dan ASEAN mencakup beberapa pembahasan penting, seperti isu ekonomi, politik keamanan, sosial budaya, bahkan hingga lingkungan.
Dalam melaksanakan kerjasamanya, Uni Eropa dan ASEAN memiliki beberapa mekanisme, mulai dari memberikan bantuan teknis dalam pendanaan, melakukan dialog atau pertemuan, berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai isu yang menjadi pembahasan bersama, serta membuat beberapa kerangka program yang didasarkan pada nilai dan prinsip bersama. Tidak hanya itu, dalam menjalin hubungan kerjasama, Uni Eropa dan ASEAN juga didasarkan pada aturan terutama dalam tatanan global, sehingga dari kerjasama tersebut dapat efektif dan berkelanjutan (Blue Book,2021). Sebelum pandemi covid-19, Uni Eropa dan ASEAN telah mengesahkan lima rencana kerjasama, yakni Nuremberg Declaration on Enhanced Partnership pada tahun 2007, Bandar Seri Begawan Plan of Action 2013-2017 pada tahun 2012, EU Mission to ASEAN Established (ASEAN Community) pada tahun 2015, dan ASEAN- EU Plan of Action 2018-2022 pada tahun 2017. Dalam bagian ini kemudian akan dijelaskan lebih lanjut mengenai keberlanjutan kerjasama Uni Eropa dan ASEAN dalam EU-ASEAN Strategic Partnership pada tahun 2020.
4.3.1 Masa Pandemi
Rencana kerjasama Uni Eropa dan ASEAN dalam EU-ASEAN Strategic Partnership tahun 2020 berbeda dengan rencana kerjasama periode-periode sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan oleh kondisi darurat pandemi covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hadirnya pandemi global covid-19 pada awal tahun 2020, membawa perkembangan pada hubungan kerjasama antara Uni Eropa dan ASEAN yang semula berfokus pada bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial dan budaya kemudian berkembang pada bidang kesehatan. Penyebaran covid-19 yang cepat di negara-negara anggotanya kemudian membuat Uni Eropa dan ASEAN sebagai institusi kawasan berkomitmen untuk merespon pandemi dengan meningkatkan kapasitas keduanya yang dijelaskan dalam EU-ASEAN Strategic Partnership. Selain untuk merespon pandemi covid-19, kemitraan strategis EU- ASEAN Strategic Partnership juga merupakan pembuktian dari Uni Eropa dan ASEAN dalam memperdalam kerjasama yang sudah ada sebelumnya terutama dalam pencapaian poin-poin Sustainable Development Goals (SDGs). EU-ASEAN Strategic
30
Partners yang dijelaskan dalam Blue Book 2021 membahas mengenai 9 prioritas bidang kerjasama, yakni integrasi regional, lingkungan, pencegahan dan penanggulangan bencana alam, perdagangan, respon pandemi covid-19, konektivitas individu, pertumbuhan hijau dan keberlanjutan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, serta kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Pencapaian ke-9 prioritas tersebut akan dijelaskan secara berkesinambungan dalam ke-3 bidang kerjasama dibawah ini:
Kerjasama Politik dan Keamanan
Dalam kemitraan strategisnya di bidang politik dan keamanan antar kawasan, Uni Eropa dan ASEAN memiliki partisipasi aktif dalam ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM/ADMM-Plus) dan East Asia Summit (EAS).
Hal ini dibuktikan dengan upaya Uni Eropa dalam melakukan dialog pertemuan pada Desember 2020 dan Juni 2021. Meskipun tidak termasuk dalam 8 mitra ASEAN pada ADMM-Plus dan EAS, melalui Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Josep Borell, Uni Eropa menyampaikan keinginannya untuk mengembangkan kerjasama di bidang pertahanan. Dalam laman Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (kemhan.go.id) dijelaskan bahwa keinginan Uni Eropa untuk bergabung dengan ADMM/ADMM-Plus dan EAS yang dipimpin oleh ASEAN karena sejalan dengan pandangan Uni Eropa sebagai upaya peningkatan kerjasama pertahanan di kawasan yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi, keterbukaan, dan mempromosikan sikap saling percaya oleh masing-masing negara anggotanya.
Kerjasama bidang politik dan keamanan juga ditingkatkan terutama pada sektor cyber, maritim, serta kejahatan transnasional terutama tindak terorisme.
Peningkatan kerjasama keamanan pada ketiga sektor tersebut dilakukan oleh kedua institusi dengan pertukaran pengetahuan, kemampuan, pengalaman, informasi satu sama lain, serta melakukan pelatihan secara lebih mendalam.
Upaya tersebut dilakukan dengan memfasilitasi The EU Chemical, Biological, Radiological, and Nuclear (CBRN) dalam Risk Mitigation Centres of Excellence (CoE) serta mendukung upaya Preventing and Countering Violent Extremism (PCVE) melalui program The Strengthening Resilience Against Violent Extremism in Asia (STRIVE Asia).
CBRN CoE merupakan sebuah inisiatif yang dibentuk oleh Uni Eropa pada Mei 2010 dengan tujuan untuk menanggapi, mengantisipasi, dan
31
mengurangi kerentanan negara-negara terhadap risiko dari peristiwa, bencana dan kegiatan kriminal. Pembentukan CBRN CoE didasarkan pada Peraturan Parlemen Eropa dan Instrument for Stability (IFS) yang dibuat oleh Dewan Eropa tahun 2006 mengenai “Mitigasi Risiko dan Kesiapsiagaan terkait Kimia, Biologi, Radiologi, dan Nuklir”. Dasar hukum tersebut dirancang untuk menjadi alat strategis dan inovatif Uni Eropa untuk mengatasi tantangan keamanan global yang kemudian hal tersebut menjadi hambatan bagi pembangunan negara dan masyarakatnya (Mignone,2013). Tidak hanya menanggapi kebutuhan negara anggotanya, CBRN CoE oleh Uni Eropa juga kemudian digunakan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan negara-negara di luar Uni Eropa. Hal ini dibuktikan dalam laman resmi European Union (europa.eu) yang menjelaskan dimana hingga tahun 2021 ini terdapat 62 negara dan 8 kawasan yang bergabung menjadi mitra resmi Uni Eropa untuk CBRN CoE.
Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang termasuk dalam 8 kawasan mitra resmi Uni Eropa dalam CBRN CoE. Dari pembentukan pertamanya pada tahun 2010 hingga tahun 2020 ini, Uni Eropa telah menyediakan pendanaan lebih dari €32 juta. Aksi pendanaan tersebut digunakan untuk upaya penyediaan teknis dan fasilitas berbagi pengetahuan dalam mengurangi risiko bencana atau peristiwa yang berhubungan dengan bahan kimia, biologi, radiologi, dan nuklir di tingkat nasional, regional, dan bahkan internasional (Blue Book,2021). Dalam laman resmi European Union (europa.eu) disebutkan beberapa program kerjasama keamanan yang dilakukan Uni Eropa dan ASEAN melalui CBRN CoE, yakni pembuatan jaringan unggulan forensik nuklir; pengembangan sumber daya manusia regional untuk manajemen keselamatan, keamanan, dan pengamanan nuklir; pengembangan sistem keamanan nasional terpadu untuk bahan nuklir dan radioaktif; pengembangan dan pengelolaan pratik bahan kimia dan limbah; penjangkauan kerjasama mengenai pengendalian ekspor; peningkatan kapasitas CBRN CoE Asia Tenggara dalam menangani mitigasi risiko, keamanan hayati non hayati, peningkatan kesadaran dan kerangka hukum; serta berbagi pengalaman mengenai penguatan peraturan di bidang bio-safety dan bio-security.
Dari tahun 2010 hingga tahun 2020, melalui program dalam CBRN CoE yang telah disepakati oleh Uni Eropa dan ASEAN kemudian memperlihatkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang saling mengikat. Hal tersebut
32
didasarkan pada pemikiran keduanya mengenai pertumbuhan ekonomi dan sosial tidak dapat terwujud jika negara masih dihadapkan pada tantangan dan risiko mengenai bencana alami, seperti virus covid-19 yang sedang terjadi sekarang dan kegiatan yang merugikan, seperti tindak kejahatan terorisme. Oleh karena itu, melalui CBRN CoE, Uni Eropa dan ASEAN memiliki harapan besar terhadap perkembangan berkelanjutan negara anggota dan masyarakatnya melalui perwujudan keamanan yang abadi.
Selain kerjasama CBRN CoE, Uni Eropa dan ASEAN juga ikut berpartisipasi aktif dalam mendukung upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Preventing and Countering Violent Extremism (PCVE) melalui program The Strengthening Resilience Against Violent Extremism in Asia (STRIVE Asia).
Dalam laman resmi PBB (un.org) dijelaskan bahwa pembentukan PCVE melalui program STRIVE Asia didasarkan pada kekhawatiran karena kemunculan kelompok-kelompok ekstremis yang kejam dan penyebaran pesan-pesan intoleransi. Oleh sebab itu, pada tahun 2006, Majelis Umum PBB mengadopsi strategi global kontra terorisme yang kemudian menjadi instrumen untuk melawan tindakan terorisme pada tingkat nasional, regional, dan internasional.
Peristiwa 9/11 yang pernah terjadi di Amerika Serikat kemudian menambah kekhawatiran banyak negara dan kawasan di dunia, sehingga menjadikan tindak terorisme menjadi ancaman besar terhadap keamanan global.
Dalam kaitannya dengan kerjasama keamanan antara Uni Eropa dan ASEAN, kedua institusi kawasan tersebut juga kemudian menganggap kelompok ekstremis dan terorisme menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap stabilitas kawasan serta merusak upaya global dalam mempromosikan perdamaian. Meskipun tidak mempunyai program kerjasama khusus antara Uni Eropa dan ASEAN, namun kedua institusi kawasan ini ikut aktif dalam kontribusinya mendukung program STRIVE Asia yang dilakukan melalui upaya pendekatan mulai dari pemerintah, aktor-aktor keamanan, sektor swasta, dan bahkan masyarakat sipil. Lebih jelas lagi, kedua institusi kawasan ini banyak memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kelompok ekstremisme dan pentingnya mencegah serta melawan kelompok tersebut (Blue Book,2021).
Untuk mendukung upaya kerjasama bidang politik dan keamanan dalam CBRN CoE dan STRIVE Asia yang sudah dijelaskan sebelumnya, Uni Eropa dan ASEAN kemudian mempromosikan kerjasama regional dan internasional dalam
33
sektor maritim. Kerjasama tersebut dilakukan dengan berbagi informasi, pengembangan kemampuan, manajemen risiko, dan pemberian pelatihan dalam upayanya memastikan sektor perairan laut dan samudera yang aman. Pembahasan mengenai kerjasama maritim tersebut masih rutin diselenggarakan oleh Uni Eropa dan ASEAN, hal tersebut dibuktikan dengan program ASEAN-EU High Level Dialog on Maritime Security Cooperation (HLD-MS) yang pada tahun 2020 memasuki tahun ke-lima (asean.org). Kerjasama keamanan maritim kemudian menjadi sektor penting dalam pelaksanaan kerjasama Uni Eropa dan ASEAN pada bidang politik dan keamanan. Dalam Blue Book tahun 2021 yang dirilis Uni Eropa dijelaskan bahwa pada sektor lingkungan, keamanan maritim dapat membangun ketahanan dalam melawan dan memitigasi dampak perubahan iklim serta risiko bencana terhadap lingkungan laut dan pesisir; pada sektor pertahanan, maritim difokuskan untuk merespon ancaman kejahatan transnasional, seperti pembajakan dan penyelundupan ilegal; sedangkan hubungannya dengan ekonomi, maritim digunakan sebagai kunci dalam memastikan arus barang dan menjamin stabilitas global serta perdagangan yang lancar antar negara dan kawasan.
Kemunculan pandemi covid-19 membuat Uni Eropa dan ASEAN kemudian menambahkan pembahasan baru dalam kemitraan strategisnya, yakni pada kesehatan terutama untuk melawan virus covid-19 di kedua kawasan tersebut. Untuk membantu ASEAN dalam menanggapi pandemi covid-19, Uni Eropa telah menyiapkan dana sebanyak lebih dari €800 juta yang digunakan untuk mendukung fasilitas kesehatan dan pendampingan kelembagaan (Blue Book,2021). Bantuan teknis dalam bentuk dana tersebut diberikan Uni Eropa untuk ASEAN melalui Tim Eropa. Dalam laman resmi Pusat Manajemen Kebijakan Pembangunan Eropa (ecdpm.org) menjelaskan mengenai Tim Eropa yang merupakan istilah merujuk pada suatu kelompok yang dibuat Uni Eropa untuk merespon dan mengatasi penyebaran virus covid-19 dengan melaksanakan program kerjasama dengan mitranya yang dipimpin oleh Uni Eropa. Meskipun pembentukan Tim Eropa yang semula dikhususkan untuk mengatasi penyebaran covid-19, dalam perkembangannya, Komisi Eropa kemudian berencana meningkatkan kapasitas dan kinerja Tim Eropa tersebut menjadi suatu inisiatif politik jangka panjang dan memperluas cakupannya yakni diluar respon pandemi covid-19.
34
Tidak hanya itu, Uni Eropa dan ASEAN kemudian melakukan dialog ahli pertama yang membahas mengenai vaksin covid-19. Pembahasan tersebut menjadi upaya tegas dari kedua institusi kawasan tersebut untuk memfasilitasi akses yang adil dan merata pada upaya vaksinasi covid-19 dengan aman serta efektif. Uni Eropa dan ASEAN juga sepakat untuk melakukan pertukaran praktik kebijakan dengan praktisi dan ahli medis mengenai otorisasi serta proses produksi vaksin. Dalam laman resmi Uni Eropa (european.eu), pada Februari 2021, kembali melalui Tim Eropa, Uni Eropa kemudian menyediakan dana lebih dari
€2,2 miliar sebagai kontribusi dalam pembiayaan vaksin melalui Covid-19 Vaccines Global Access (COVAX) yang merupakan program WHO untuk memastikan akses vaksin yang adil dan merata untuk semua orang termasuk warga negara anggota ASEAN.
Pemberian bantuan dana untuk pendampingan kelembagaan dan fasilitas kesehatan dalam upaya mendukung akses vaksin yang merata melalui COVAX kemudian menegaskan mengenai upaya Uni Eropa dan ASEAN sebagai kawasan mitra untuk program yang tidak pernah ada sebelumnya, yakni responding to coronavirus dalam kerangka kerjasama EU-ASEAN Strategic Partnership tahun 2020. Kerjasama bantuan yang diberikan Uni Eropa untuk mengatasi penyebaran virus covid-19 di negara kawasan Asia Tenggara melalui ASEAN kemudian digolongkan kedalam kerjasama bidang politik dan keamanan. Hal tersebut dikarenakan oleh dampak dari penyebaran virus covid-19 yang kemudian menjadi salah satu ancaman baru terhadap keamanan baik itu ditingkat nasional, regional, dan bahkan internasional.
Kerjasama Ekonomi
Uni Eropa dan ASEAN memiliki hubungan ekonomi yang erat terutama dalam sektor perdagangan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa Uni Eropa yang menjadi mitra dagang terbesar kedua ASEAN, sedangkan ASEAN merupakan mitra dagang terbesar ketiga bagi Uni Eropa (asean.org). Dalam Blue Book (2021) yang menjelaskan mengenai EU-ASEAN Strategic Partners, pada bidang ekonomi Uni Eropa dan ASEAN memiliki fokus pembahasan penting, yaitu menangani dampak dan tantangan sebagai akibat dari pandemi covid-19.
Keduanya sepakat untuk mempererat hubungan ekonomi dengan meningkatkan implementasi dari Enhanced ASEAN Regional Integration Support from the EU
35
(ARISE+) dan Enhanced Regional EU-ASEAN Dialogue Instrument (E-READI).
ARISE+ dan E-READI merupakan program inisiatif yang dibuat pada tahun 2017. Pembentukan dan pelaksanaan program ARISE+ dan E-READI dikatakan sebagai program unggulan dan mencerminkan komitmen Uni Eropa dalam upaya mendukung integrasi ekonomi regional ASEAN secara keseluruhan.
Dalam laman resmi ASEAN yang membahas mengeni ARISE+
(ariseplus.asean.org) menjelaskan Enhanced ASEAN Regional Integration Support from the EU (ARISE+) sebagai salah satu dukungan teknis yang diberikan oleh Uni Eropa untuk ASEAN pada bidang ekonomi yang membahas mengenai pasar tunggal, perdagangan, pengurangan hambatan non tarif, hak kekayaan intelektual, penerbangan sipil, dan statistik. ARISE+ dibentuk pada tahun 2017 dan dirancang untuk periode waktu hingga tahun 2023 dengan anggaran sebanyak €41 juta. ARISE+ sendiri merupakan program lanjutan dari ARISE yang berlaku sebelumnya untuk tahun 2013 hingga 2016. Program ARISE mencakup 3 pembahasan utama, yakni peningkatan kapasitas tingkat tinggi, dukungan realisasi pasar tunggal, dan peningkatan kapasitas sekretariat ASEAN. Pembentukan pertama ARISE tahun 2013, Uni Eropa memberikan kontribusi dana sebesar €22 juta. Keberhasilan ARISE 2013-2016 kemudian membawa Uni Eropa dan ASEAN melanjutkan dukungan kerjasama dalam ARISE+ 2017-2022. ARISE+ dirancang untuk memperluas komitmen Uni Eropa dalam mendukung ASEAN melalui fasilitas sektor perdagangan. ARISE+
mencakup 4 pembahasan, yakni transparansi fasilitasi perdagangan, standar dan penilaian kesesuaian khususnya produk kesehatan berbasis kesehatan, bea cukai dan transportasi, serta pemantauan statistik integrasi ekonomi ASEAN.
Dalam EU-ASEAN Strategic Partnership yang dimuat Blue Book (2021) dijelaskan mengenai tiga program yang diimplementasikan melalui dukungan teknis ARISE+, yakni:
The ASEAN Customs Transit System (ACTS) merupakan sistem kepabeanan online terintegrasi yang memungkinkan penggunaan sektor digital untuk memastikan arus perdagangan terutama pergerakan barang. Selain sebagai fasilitasi sektor perdagangan, ACTS juga memiliki tujuan untuk meningkatkan kemampuan otoritas lembaga dalam penggunaan sistem terhadap beberapa kasus, seperti penyelundupan dan penipuan yang dapat memberikan dampak buruk.
Melalui ACTS, otoritas yang berwenang kemudian dapat bertukar informasi
36
mengenai perjalanan arus barang dan perdagangan pada setiap negara anggota kawasan. Dalam program ini, Uni Eropa menyediakan pendanaan sebesar €10 juta, sedangkan ASEAN menyediakan €5 juta. ACTS diadopsi dari program New Computerized Transit System (NCTS) milik Uni Eropa yang dikatakan berhasil meningkatkan perdagangan sebanyak 3%.
Uni Eropa melalui ARISE+ juga kemudian membantu ASEAN dalam upaya penciptaan merk dagang daerah. Hal tersebut disebabkan oleh struktur ekonomi ASEAN yang semakin didominasi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Penyediaan barang dan jasa oleh UKM berkontribusi pada ekspor nasional ASEAN sebesar 30%. ARISE+ juga mendukung ASEAN dalam mengembangkan Pedoman Umum ASEAN untuk Pemeriksaan Substantif Merk Dagang dan Pemeriksaan Desain Industri. Pedoman tersebut akan menjadi dasar pembentukan integrasi ekonomi kawasan ASEAN dengan sistem kepemilikan merk dagang daerah dalam menurunkan hambatan masuk untuk perusahaan asing yang ingin berkolaborasi. Oleh sebab itu, selain berkontribusi besar untuk ekspor ASEAN, penciptaan merk dagang daerah oleh UKM diharapkan dapat membantu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sebagai akibat dari pandemi covid-19.
Berkaitan dengan fasilitasi sektor perdagangan, melalui ARISE+, Uni Eropa membantu ASEAN untuk membuat pedoman operasional sebagai respon dari dunia penerbangan terhadap dampak covid-19. Kehadiran covid-19 membuat negara-negara di dunia termasuk negara anggota Uni Eropa dan ASEAN kemudian berupaya mengambil langkah tegas untuk mengurangi angka kasus terkonfirmasi covid-19 dengan memberlakukan pembatasan perjalanan yang mengganggu pergerakan masyarakatnya. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap sektor transportasi terutama penerbangan. Oleh karena itu, Uni Eropa dan ASEAN kemudian berupaya untuk membuat pedoman operasional umum yang dilakukan dengan memfasilitasi kegiatan diskusi. Pada September 2020 telah dilakukan kegiatan diskusi dan lokakarya dengan tujuan sebagai sarana untuk berbagi pengetahuan, pemahaman, serta pengalaman yang dimiliki.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh pemangku kepentingan dari kedua institusi kawasan, seperti European Union Aviation Safety Agency (EASA), International Civil Aviation Organization (ICAO) Asia and Pasific (APAC), International Air Transport Association (IATA), Airport Council International (ACI) dan ASEAN Air Transport Working Group. Dari kegiatan ini diharapkan dapat diciptakan
37
pedoman operasional yang dapat digunakan untuk mencegah penularan covid-19 dan mengurangi dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Dalam kerjasama bidang ekonomi, selain pemberian dukungan teknis melalui ARISE+, Uni Eropa dan ASEAN juga kemudian memberlakukan Enhanced Regional EU-ASEAN Dialogue Instrument (E-READI). Dalam laman resmi European Commission yang membahas mengenai E-READI (euraxess.org) menjelaskan bahwa E-READI merupakan suatu program kerjasama pembangunan yang didanai oleh Uni Eropa yang dilaksanakan dengan memberikan fasilitas forum dialog antara Uni Eropa dan ASEAN. Dalam pelaksanaan dialognya, E-READI membahas mengenai mengenai tiga pilar dalam Komunitas ASEAN, yaitu Politik dan Keamanan, Ekonomi, serta Sosial Budaya. Sama dengan program ARISE+ yang dijelaskan sebelumnya, E-READI dibentuk untuk periode tahun 2016 hingga tahun 2023 dengan anggaran sebesar
€20 juta.
Pembentukan E-READI didasarkan pada pengalaman integrasi kawasan telah yang dilakukan oleh Uni Eropa. Pengalaman integrasi oleh Uni Eropa tersebut kemudian diharapkan dapat menjadi pembelajaran untuk ASEAN dalam upaya integrasi kawasan. E-READI memberikan dukungan untuk terselenggaranya pertemuan, lokakarya, atau kunjungan studi terkait dialog kebijakan. E-READI juga bertujuan untuk meningkatkan interaksi antar masyarakat, sektor swasta, dan pemangku kepentingan dari kedua institusi kawasan dalam membahas isu yang menjadi fokus utama. Terdapat 4 fokus yang dibahas dalam E-READI, yakni konektivitas ekonomi, perdagangan dan lingkungan penunjang bisnis yang didalamnya meliputi ekonomi digital, perdagangan, transportasi dan kontruksi; lingkungan dan perubahan iklim yang meliputi ekonomi sirkular, alam dan perubahan iklim, energi bersih berkelanjutan, dan perikanan; hak asasi manusia dan kesetaraan gender yang meliputi dialog HAM, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan serta anak, migrasi dan mobilitas tenaga kerja yang aman; serta ilmu dan penelitian yang meliputi penyediaan platform pertukaran kebijakan riset dan inovasi.
Dalam EU-ASEAN Strategic Partnership yang dimuat Blue Book (2021) dijelaskan mengenai dua program yang diimplementasikan melalui dukungan dialog E-READI, yakni:
38
Dampak yang ditimbulkan oleh pemberlakuan kebijakan lockdown dalam mengurangi penyebaran covid-19 yang mengganggu pergerakan masyarakat dalam suatu kawasan pada faktanya juga mengganggu perekonomian terutama sektor kegiatan jual beli di pasar tradisional. Hal tersebut kemudian membuat banyak masyarakat yang beralih ke pasar online untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Peralihan ke pasar online membuat ASEAN mengalami peningkatan tajam pada penggunaan layanan digital, seperti jasa pengiriman makanan dan e-commerce. Fenomena tersebut sesuai dengan pembahasan mengenai penciptaan dan pengembangan ekonomi digital yang diusulkan ASEAN. Sehingga, melalui E-READI, kedua institusi kawasan memfasilitasi kegiatan lokakarya yang berfokus pada penelitian dan pelatihan untuk mempromosikan perkembangan ASEAN Digital Benchmarking Index sebagai alat yang relevan dalam memantau kemajuan ekonomi pada sektor digital.
Selain ekonomi digital, Uni Eropa dan ASEAN melalui E-READI kemudian bergabung dengan pasukan untuk mengatasi penangkapan ikan illegal di perairan ASEAN. Uni Eropa memfasilitasi dialog dengan ASEAN dalam pembahasannya mengenai upaya mengatasi penangkapan ikan illegal. Dialog pertama dilakukan pada akhir tahun 2019, lalu ditindak lanjuti pada Oktober 2020. Dialog yang difasilitasi Uni Eropa tersebut menghasilkan perkembangan penting bagi hubungan Uni Eropa dan ASEAN. Keduanya kemudian sepakat untuk mengadopsi kerangka kerjasama dalam ASEAN Network for Combating Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (AN-IUU). Kerjasama AN-IUU diharapkan dapat menjadi alat untuk lebih meningkatkan koordinasi antar negara anggota ASEAN. Pengadopsian kerangka kerjasama AN-IUU didasarkan pada prakik kebijakan tanpa toleransi yang telah dilakukan Uni Eropa sebelumnya mengenai pengawasan kasus penangkapan ikan illegal.
Kerjasama Sosial dan Budaya
Kemitraan strategis yang terjalin antara Uni Eropa dan ASEAN tidak hanya terbatas pada bidang politik, keamanan, serta ekonomi, namun juga ditingkatkan pada bidang sosial dan budaya. Peningkatan hubungan kerjasama kedua institusi kawasan pada bidang sosial budaya didasarkan kepada konektivitas orang ke orang serta mobilitas masing-masing warga negara anggotanya. Melalui EU-SHARE, sektor pendidikan menjadi salah satu
39
pembahasan penting dan bahkan menjadi program unggulan dalam kerjasama Uni Eropa dan ASEAN pada bidang sosial budaya. European Union Support to Higher Education in the ASEAN Region (EU-SHARE) merupakan program kerjasama yang dibentuk pada tahun 2014 dengan tujuan memfasilitasi penciptaan pendidikan tinggi untuk ASEAN dan sebagai dukungan bagi integrasi kawasan yang berpusat pada masyarakat. Program EU-SHARE dilakukan dengan pertukaran mahasiswa dan tenaga profesional dalam mekanisme beasiswa, salah satunya adalah Erasmus+.
Erasmus+ adalah program yang dibentuk oleh Uni Eropa sebagai tindak lanjut dari program sebelumnya, yakni European Region Action Scheme for the Mobility of University Student (Eramus) yang berhasil diimplementasikan selama 30 tahun sejak 1987. Pada awal perkembangannya, program Erasmus hanya berlaku bagi negara anggota Uni Eropa, namun semakin berkembangnya waktu dan keberhasilannya, kemudian membuat program Erasmus+ juga berlaku bagi negara anggota institusi kawasan lain yang memiliki hubungan kerjasama dengan Uni Eropa, seperti ASEAN. Tidak hanya pertukaran mahasiswa, Erasmus+ juga dilakukan dengan memberikan pelatihan yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan pengalaman serta memperlancar hubungan masyarakat antar masing-masing negara anggotanya (European Commission,2017).
Selain pada politik, keamanan, dan ekonomi, pandemi covid-19 juga memberikan dampak pada bidang sosial budaya, terutama pada sektor pendidikan. Pemberlakuan kebijakan lockdown oleh pemerintah negara anggota Uni Eropa kemudian menghambat pelaksanaan program Erasmus+ dalam EU- SHARE. Untuk merespon keadaan pandemi covid-19, dalam Blue Book (2021) dijelaskan bahwa pada Agustus 2020, Uni Eropa menciptakan dua inisiatif baru, yakni mempersiapkan pendidikan melalui pembelajaran jarak jauh atau online dan membangun kemitraan untuk kreativitas karya pemuda yang masing-masing didanai dengan €100 juta. Melalui dua inisiatif baru dalam program Erasmus+
menegaskan komitmen kuat Uni Eropa dalam mendukung mobilitas warga negaranya terutama mahasiswa serta meningkatkan kualitas institusi pendidikan tinggi di ASEAN yang semakin penting di masa pandemi covid-19. Program Erasmus+ dilaksanakan dengan lima instrumen, yakni International Credit Mobility, Capacity Building in Higher Education, Erasmus Mundus Joint Master
40
Degress, Jean Monnet Activities, dan Capacity Building Project in the Field of Youth.
Dalam laman resmi European Commission (ec.europa.eu) dijelaskan bahwa dari 2014 hingga tahun 2020, sudah ada 8.500 mahasiswa dan tenaga profesional dari masing-masing negara anggota Uni Eropa dan ASEAN yang berpartisipasi dalam program EU-SHARE. Vietnam, Malaysia, Indonesia, Kamboja, dan Thailand menjadi negara anggota ASEAN yang paling banyak mengirimkan mahasiwa untuk mengikuti program EU-SHARE ke negara-negara anggota Uni Eropa. Perjuangan Uni Eropa dan ASEAN dalam upaya kerjasama sektor pendidikan, bahkan ketika dihadapkan pada kondisi pandemi covid-19, kemudian membawa EU-SHARE kepada keberhasilannya. Hal tersebut dibuktikan dengan rencana perpanjangan program EU-SHARE hingga akhir tahun 2022 mendatang.
Tidak hanya pada sektor pendidikan, Uni Eropa dan ASEAN juga melakukan peningkatan kinerja pada sektor sains, penelitian, dan teknologi, dalam High Performance Computing (HPC). Melalui E-READI, Uni Eropa dan ASEAN yang diwakilkan oleh para pakar ahlinya menyelenggarakan dialog secara online untuk bertukar pengetahuan serta pengalaman dalam penelitiannya terkait solusi covid-19. Dialog pertama diselenggarakan pada Juli tahun 2020 dan ditindak lanjuti pada Maret tahun 2021. Selain peningkatan kinerja pada HPC, dalam sektor penelitian, Uni Eropa dan ASEAN membentuk kerangka program kerjasama baru, yakni Horizon Europe pada awal tahun 2021. Pembentukan Horizon Europe didasarkan pada kepentingan Uni Eropa dan ASEAN untuk berbagi pengalaman pada isu yang menjadi perhatian bersama. Tidak hanya itu, pembentukan kerangka program baru ini juga bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Horizon Europe dirancang untuk periode waktu tahun 2021 hingga 2027 dengan pendanaan sebanyak €95 juta (Blue Book,2021). Terdapat lima pembahasan yang diangkat dalam program baru tersebut, yakni perubahan iklim, penyakit kanker, kota pintar, perairan daerah, serta kesehatan tanah dan makanan. Sesuai dengan tujuan awal pembentukannya, Uni Eropa dan ASEAN berharap melalui Horizon Europe dapat meningkatkan konektivitas keduanya dalam hal penelitian dan berbagi pengalaman, serta membantu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sebagai dampak dari pandemi covid-19.
41
Masih berhubungan dengan konektivitas dan mobilitas masyarakat sebagai inti dari kerjasama bidang sosial budaya, Uni Eropa dan ASEAN memasukkan pembahasan mengenai perwujudan hak yang harus diterima oleh buruh migran terutama perempuan. Melalui program Safe & Fair, Uni Eropa dan ASEAN berupaya memberikan perlindungan kepada buruh migran perempuan yang menjadi korban kekerasan akibat covid-19. Safe & Fair merupakan program regional yang dilaksanakan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Badan PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dengan pendanaan oleh Uni Eropa sebanyak €25 juta (Blue Book,2021). Dana tersebut digunakan untuk menyediakan layanan daerah dan merevisi undang-undang yang relevan, sehingga hak-hak perlindungan dapat diterima oleh para buruh migran perempuan.
Kehadiran pandemi covid-19 menjadi tantangan dalam hubungan kerjasama kemitraan strategis antara Uni Eropa dan ASEAN. Ditambah dengan kebijakan pembatasan sosial dan karantina wilayah (lockdown) yang diterapkan oleh sebagian besar negara anggota Uni Eropa untuk menekan penyebaran covid-19 kemudian menyebabkan tertundanya beberapa pertemuan dan program. Sehingga pada perkembangannya, dalam EU-ASEAN Strategic Partnership, banyak program kerjasama dari bidang politik, keamanan, ekonomi, dan bahkan sosial budaya yang ditingkatkan sebagai respon dari kondisi darurat yang disebabkan oleh penyebaran covid-19. Mulai dari penyelenggaraan kegiatan secara online atau virtual, hingga penciptaan dan peningkatan beberapa kerangka program kerjasama baru yang didasarkan pada kondisi pandemi covid-19.
4.4 Kerjasama Uni Eropa dengan ASEAN dalam Mengatasi Virus Covid-19 di Asia Tenggara
Uni Eropa dan ASEAN merupakan dua institusi kawasan yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang berbeda. Perbedaan tersebut kemudian tidak menjadi penghalang bagi keduanya untuk menjalin hubungan melalui terciptanya kerjasama. Uni Eropa merupakan institusi kawasan yang memiliki struktur lebih kompleks di mana di dalamnya terdapat berbagai lembaga yang berfungsi untuk membantu dan memperlancar segala tindakan serta kebijakan yang akan diambil. Dalam keanggotaannya Uni Eropa juga memiliki berbagai negara maju yang memiliki peran penting dalam kemajuan kawasan tersebut. Sedangkan, jika dibandingkan dengan keanggotaan ASEAN, di dalamnya merupakan negara-negara yang masih dalam kondisi negara berkembang selain Singapura.
42
Sehingga ketika terjadi sebuah permasalahan, ASEAN memiliki keterbatasan dalam penyelesaian masalah, seperti contohnya ketika pandemi covid-19 terjadi. Dalam hubungan internasional, seperti yang dijelaskan dalam teori liberalisme institusional, Robert Keohane menjelaskan bahwa negara bukan menjadi satu-satunya aktor yang berperan penting dalam hubungan internasional, melainkan ada aktor lain, yakni organisasi internasional. Melihat keterbatasan negara dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi, Asia Tenggara melalui ASEAN membutuhkan kerjasama dengan pihak lain untuk mengurangi ketakutan atau kerentanan tersebut. Seperti pada masa pandemi covid-19, ASEAN melakukan berbagai kerjasama dengan Uni Eropa yang bertujuan sebagai pertukaran informasi melalui dialog dan konsultasi, meningkatkan kemampuan dalam mengatasi permasalahan yang telah disepakati bersama serta meningkatkan kepercayaan dan harapan yang muncul dari adanya kerjasama dalam kesepakatan internasional antara Uni Eropa dan ASEAN. Hal tersebut kemudian menunjukkan bahwa bukan hanya negara yang menjadi aktor, melainkan ada organisasi internasional dalam hubungan internasional.
Lebih lanjut Robert Keohane juga menjelaskan dalam teorinya bahwa kerjasama yang dilakukan berdasarkan pada kepentingan untuk melihat sebuah permasalahan yang sama.
Hadirnya pandemi covid-19 kemudian mengakibatkan kerjasama yang dilakukan telah meluas yang awalnya hanya dalam bidang ekonomi dan politik sekarang mencakup pada bidang kesehatan. Uni Eropa dan ASEAN melihat covid-19 sebagai ancaman bersama sehingga dalam mengatasinya dibutuhkan kerjasama. Hal tersebut dibuktikan dengan hadirnya kerangka kerjasama EU-ASEAN Strategic Partnership 2020 terutama pada program responding to coronavirus antara Uni Eropa dan ASEAN. Dalam kerjasama tersebut, Uni Eropa dan ASEAN melakukan peningkatan berbagai bidang kerjasama yang disesuaikan pada kondisi pandemi covid-19. Lebih khusus, dalam program tersebut, Uni Eropa melalui WHO kemudian memberikan komitmen untuk melakukan kontribusi dengan bantuan teknis kepada ASEAN dan pihak penyelenggara vaksin COVAX sebagai upaya untuk mendukung negara anggota ASEAN dalam mengatasi pandemi sekaligus sebagai bentuk solidaritas serta komitmen yang berkelanjutan terhadap kerjasama yang telah disepakati sebelumnya.
Hubungan ASEAN dan Uni Eropa tersebut kemudian dapat menggambarkan bahwa ketika negara tidak mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi secara individu, maka kerjasama perlu dilakukan.
Dalam merespon pandemi covid-19, Uni Eropa dan ASEAN melalui para menterinya melakukan pertemuan konferensi video pada Maret 2020 untuk membahas kerja sama dalam
43
menjaga rantai pasokan tetap terbuka dan memajukan penelitian ilmiah terkait covid-19.
Kemudian pada Desember 2020, sejalan dengan program Southeast Asia Health Pandemic Response and Preparedness dari WHO untuk Asia Tenggara, Uni Eropa melalui Tim Eropa memberikan bantuan teknis sebesar €20 juta kepada ASEAN untuk merespon pandemi.
Dalam aksinya memberikan bantuan, Uni Eropa berharap agar dana tersebut dapat digunakan untuk empat poin: 1. Memobilisasi semua sektor dan masyarakat dalam pertisipasinya merespon pandemi; 2. Mengendalikan rantai penularan; 3. Menekan penyebaran covid-19 yang semakin luas dalam masyarakat; dan 4. Menekan angka kematian yang disebabkan oleh covid-19. Dari Desember 2020 hingga Juni 2021, Uni Eropa telah menyediakan lebih dari
€800 juta untuk membantu ASEAN dalam menanggapi pandemi covid-19 yang mencakup dukungan untuk fasilitas kesehatan dan petugas kesehatan, penyediaan alat pelindung diri serta bantuan teknis dan dukungan kelembagaan.
Gambar 8
Fasilitas COVAX: Vaksin Covid-19 untuk ASEAN
Sumber: Blue Book 2021
Tidak berhenti pada pemberian bantuan teknis, pada Desember 2020, Uni Eropa dan ASEAN melakukan Dialog Ahli Uni Eropa-ASEAN ke-1 yang membahas mengenai vaksin covid-19. Pada dialog vaksin covid-19 tersebut, Uni Eropa dan ASEAN menegaskan
44
mengenai kepentingan bersama dalam upayanya memberikan fasilitas akses yang adil dan merata sehingga proses vaksinasi dapat terjadi dengan aman dan efektif. Uni dan ASEAN juga telah menyetujui adanya pertukaran antara praktisi kebijakan dan pakar medis tentang produksi vaksin. Uni Eropa juga berkontribusi pada pembiayaan fasilitas Covid-19 Vaccines Global Access (COVAX), yakni sebuah inisiatif global untuk memastikan akses yang adil terhadap vaksin covid-19 kepada semua orang termasuk warga negara anggota ASEAN. Uni Eropa telah berkontribusi lebih dari €2,2 miliar yang kemudian menjadikan Uni Eropa sebagai salah satu pendonor utama COVAX bagi ASEAN.
Pemberian bantuan teknis dan kontribusi pada pembiayaan fasilitas vaksin melalui COVAX dikatakan dapat mengatasi penyebaran virus covid-19. Meskipun hingga saat ini, masih belum ditemukan pengobatan yang efektif untuk menyembuhkan covid-19, pemberian beberapa model vaksin kepada masyarakat menjadi salah satu upaya yang baik dalam mengatasi penyebaran covid-19, terutama di negara-negara kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut dibuktikan dengan gambar diatas, dimana sebagian besar negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang juga menjadi negara anggota ASEAN mendapatkan akses vaksin kesehatan covid-19 melalui fasilitas COVAX yang banyak didanai oleh Uni Eropa. Dampak pandemi covid-19 yang dirasakan oleh Uni Eropa terutama pada bidang ekonomi yang kemudian menjadi alasan mengapa Uni Eropa mau memberikan kerjasama bantuan untuk ASEAN. Melalui pemberian bantuan teknis dan kontribusinya dalam fasilitasi vaksin tersebut, Uni Eropa berharap agar ASEAN dapat membantu Uni Eropa untuk meningkatkan kembali pertumbuhan ekonomi yang banyak mengalami penurunan dratis akibat pandemi covid-19, mulai dari penurunan GDP, kegiatan ekspor, dan kunjungan wisatawan ke Uni Eropa. Dengan kerangka kerjasama tersebut, kedua institusi kawasan ini membuktikan adanya hubungan yang saling menguntungkan. Untuk ASEAN, kerangka kerjasama bantuan tersebut dapat digunakan untuk mengatasi penyebaran covid-19 di negara anggotanya, sedangkan untuk Uni Eropa, kerangka kerjasama bantuan tersebut secara tidak langsung dapat mengembalikan atau bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sempat mengalami banyak pernurunan pada tahun 2020 hingga pertengahan 2021 ini.
Dalam kaitannya dengan teori liberalisme institusional yang digunakan pada penelitian ini, Robert Keohane dan Joseph Nye dalam bukunya yang berjudul Power and Interdependence (1997) menjelaskan mengenai gagasan interdependensi. Interdependensi sendiri merupakan sikap ketergantungan yang disebabkan oleh adanya hubungan kerjasama yang tercipta antara dua aktor atau lebih. Terciptanya sikap ketergantungan tersebut juga
45
dikarenakan oleh adanya rasa saling membutuhkan satu sama lain. Dari penjelasan tersebut, interdependensi atau sikap saling ketergantungan dalam pembahasan ini dapat dilihat dari hubungan kerjasama yang terjalin antara Uni Eropa dan ASEAN. Kedua institusi kawasan tersebut telah sepakat menjalin hubungan sejak tahun 1977 bahkan masih berlangsung hingga tahun 2021 ini. Hubungan keduanya dilakukan dengan pelaksanaan dan peningkatan kerjasama yang dilakukan dari periode tahun ke tahun. Mulai dari Nuremberg Declaration on Enhanced Partnership pada tahun 2007, Bandar Seri Begawan Plan of Action 2013-2017 pada tahun 2012, EU Mission to ASEAN Established (ASEAN Community) pada tahun 2015, ASEAN-EU Plan of Action 2018-2022 pada tahun 2017, hingga EU-ASEAN Strategic Partnership pada tahun 2020. Interdependensi dari pelaksanaan kerjasama yang telah terjalin sejak lama, dan terus mengalami keberlanjutan dari periode ke periode tersebut menjadi tanda bahwa hubungan yang terjadi antara Uni Eropa dan ASEAN saling menguntungkan.
Keberlanjutan hubungan kerjasama yang terjalin antara Uni Eropa dan ASEAN tersebut didasarkan pada nilai dan prinsip yang telah disepakati bersama dalam menanggapi isu tertentu dan upayanya untuk menyelesaikan permasalahan yang menjadi tujuan bersama.
Dalam kaitannya dengan upaya merespon pandemi covid-19 antara Uni Eropa dan ASEAN melalui pemberian bantuan, hal tersebut mendorong adanya adaptasi kebijakan yang telah mempengaruhi wacana internal ASEAN. Dibuktikan dengan adanya proyek-proyek yang didanai oleh Uni Eropa telah memengaruhi atau bahkan mengubah standar dan praktik serta menyelaraskan ASEAN dengan norma-norma Uni Eropa dalam hal-hal seperti hak kekayaan intelektual khususnya di bidang ekonomi. Kunjungan studi ASEAN ke Brussel juga menunjukkan bahwa melalui interaksi yang terjadi, Uni Eropa mencoba untuk mempromosikan nilai-nilai yang ada dalam institusinya dan mengharapkan Uni Eropa sebagai gambaran bagi ASEAN agar dapat menjadi institusi yang lebih terstruktur dan lebih terbuka. Uni Eropa mempromosikan bahwa dalam kerjasama regional, kepercayaan adalah unsur penting dari keberhasilan regionalisme. ASEAN harus melihat pada Uni Eropa ketika covid-19 terjadi di mana ASEAN perlu untuk mengambil segala tindakan secara bersama- sama dan kooperatif di semua sektor yang didasarkan pada koordinasi. Meskipun kondisi nasional berbeda, tindakan harus dikoordinasikan antara negara-negara anggota untuk menghindari adanya perselisihan, dan upaya untuk saling menghormati serta solidaritas menjadi poin penting yang dipromosikan oleh Uni Eropa kepada ASEAN.