• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU

“ISLAM DAN PEMBENTUKAN TRADISI DI KAWASAN NUSANTARA”

Dosen Pengampu : Dr. Pauzi,M.Si. Ph.D

Oleh Kelompok 5

Ade Giffari Zaka Wali 170461201054 Al Nawaidil Aufa 170461201074 Yessy Meli Andriani 170461201075

PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG

2020

www.caridi.web.id

(2)

i

Kata Pengantar

Pertama-tama penulis ingin mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa) karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah makalah mata kuliah Tamadun dan Tunjuk Ajar Melayu mengenai “Islam dan Pembentukan Tradisi di Kawasan Nusantara ” dapat selesai dengan waktu yang telah di tetapkan.

Makalah ini dibuat dengan tujuan agar memberi manfaat bagi pembaca dan memahami mengenai bagaimana pembentukan tradisi dan kebudayaan di kawasan Nusantara, serta bagaimana hubungan antara Islam, Tradisi dan Kebudayaan

Akhir kata, kami menyadari bahwa makalah yang penyusun buat jauh dari kesempurnaan. Atas kekurangan-kekurangan yang ada di dalam makalah ini, penyusun menyampaikan permohonan maaf dan dengan terbuka kami menerima masukan dari para pembaca.

Tanjungpinang, 22 Maret 2020

Penulis

www.caridi.web.id

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... …………i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Kegunaan ... 3

BAB II PEMBAHASAN ... 4

2.1 Hubungan Islam dan Kebudayaan ... 4

2.2 Tradisi Keberagama Muslim Indonesia ... 5

2.3 Tradisi Keberagamaan di Indonesia ... 8

2.4 Pertemuan Islam dan Budaya Nusantara ... 10

BAB III PENUTUP ... 13

3.1 Kesimpulan ... 13

3.2 Daftar Pustaka ... 14

www.caridi.web.id

(4)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Istilah peradaban atau civilization (dalam bahasa Inggris) atau tamadun (bahasa Melayu) sudah sering kita dengar diberbagai diskusi baik resmi maupun tidak resmi. Berbicara tentang peradaban memang sangat menarik dan tidak akan ada habisnya, terkhusus peradaban Islam. Topik peradaban ini selalu relevan untuk diperbincangkan di sepanjang zaman. Hal ini karena manusia selalu bersinggungan dengan peradaban. Tak akan ada sebuah peradaban tanpa manusia, karena manusia merupakan pelaku utama peradaban itu sendiri.

Demikian halnya dengan topik peradaban Islam yang dianologikan seperti bagian dari roda yang berputar tadi, tidak akan pernah surut dari perbincangan manusia.

Peradaban manusia terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Perkembangan peradaban tersebut tidak saja terjadi dalam ranah fisiknya saja, namun juga terjadi dalam ranah substansi. Sebagai contoh, pemahaman akan istilah peradaban saja sampai mengalami fase-fase yang cukup signifikan.

Terlebih lagi jika terjadi persinggungan antara peradaban satu dengan yang lainnya.

Seiring dengan perjalanan hidup manusia yang sudah begitu panjang di muka bumi ini, maka berbagai macam peradaban pun telah terbentuk. Banyak peradaban yang telah mewarnai kehidupan manusia. Setiap peradaban tentu saja memiliki konsep tersendiri yang nantinya akan membedakan peradaban tersebut dengan peradaban lainnya dan akan tampil dengan keberbedaan satu-sama lain.

Begitu juga dengan peradaban Islam Melayu.

Untuk itulah artikel ini mencoba memaparkan tentang pengertian peradaban, Peradaban Islam. Dalam pembentukan dan pengembangan peradaban Islam tidak terlepas dari dasar-dasar petunjuk peradaban Islam, yakni: pertama:

Al-Qur’an dan Sunnah, kedua: masyarakat Islam dan ketiga: pembuka jalan kepada pihak lain. Setiap peradaban yang ada di dunia ini memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan peradaban yang lainnya.

Karakteristik peradaban Islam tersebut yaitu: bersifat universalitas, tauhid,

www.caridi.web.id

(5)

seimbang dan moderat, serta adanya sentuhan akhlak, dan terakhir membahas tentang Peradaban Melayu dan Pengaruh Islam Terhadap Dunia Melayu.

www.caridi.web.id

(6)

3 B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Budaya dan Tradisi?

2. Bagaimana Pembentukan Budaya dan Tradisi?

3. Jelaskan Bagaimana Pembentukan Kebberagaman Tradisi di Indonesia!

4. Bagaimana Pola-pola Pertemuan Kebudayaan itu di Bentuk?

C. Tujuan Pembelajaran

1. Untuk mengetahui dan mempelajari mengenai Islam dan Pembentukan Tradisi

2. Untuk Mengetahui pola-pola pertemuan Kebudayaan

3. Mampu Menjelaskan serta memahami Perbedaan antara Kebudayaan dan Tradisi

www.caridi.web.id

(7)

BAB II PEMBAHASAN A. Hubungan Islam dan Kebudayaan

Masyarakat Indonesia sangat kaya dengan masalah budaya dan tradisi setempat.

Budaya maupun tradisi lokal pada masyarakat Indonesia tidak hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek- praktek keagamaan masyarakat.

Islam, sebagai sebuah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, memiliki hubungan erat dengan kebudayaan atau tradisi-tradisi lokal yang ada di nusantara. Hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal adalah kegairahan yang tak pernah usai. Hubungan intim antara keduanya dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang mengimani agamanya: shalihun li kulli zaman wa makan—selalu baik untuk setiap waktu dan tempat. Maka Islam akan senatiasa dihadirkan dan diajak bersentuhan dengan keanekaragaman konteks budaya setempat. Dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa Islam tidak datang ke sebuah tempat, dan di suatu masa yang hampa budaya. Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga gambaran pertautan yang terjadi antara Islam dengan muatan- muatan lokal di nusantara.

Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki adat-istiadat dan tradisi secara turun- temurun. Mau tidak mau dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah harus selalu mempertimbangkan segi-segi budaya masyarakat Arab waktu itu. Bahkan, sebagian ayat al-Qur’an turun melalui tahapan penyesuaian budaya setempat.

Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asbâb al-nuzûl. Asbâb al- nuzûl merupakan penjelasan tentang sebab atau kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial masyarakat.

www.caridi.web.id

(8)

5

Asbâb al-nuzûl juga merupakan bukti adanya negosiasi antara teks al-Qur’an dengan konteks masyarakat sebagai sasaran atau tujuan wahyu.

Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan budaya dan tradisi yang melekat erat pada masyarakat Indonesia. Sama seperti Islam di kawasan Arab, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (wama yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyun yuha1), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.

Dalam artikel ini penulis akan mencoba menguraikan sikap akomodatif ajaran Islam terhadap budaya lokal dalam konteks kehidupan keberagamaan pada sebagian besar masyarakat di nusantara ini, dengan salah satu contoh studi kasus pada tradisi Pelet Betteng(peringatan empat bulan dan tujuh bulan kehamilan) yang lazim dilakukan oleh masyarakat Madura, atau pada masyarakat Jawa dikenal dengan sebutan tingkeban yang teridiri dari ngupati dan mitoni.

A. Tradisi Keberagamaan Muslim Indonesia 1. Budaya dan Tradisi

Sebelum memulai pembahasan tentang tradisi Pelet Betteng yang terdiri dari acara pakbulenan dan petongbulenan yang lazim dilaksanakan di kalangan masyarakat Madura di Indonesia,atau masyarakat Jawa mengenalnya dengan istilah Tingkeban (ngupati dan mitoni) sebagai peringatan atau syukuran atas kehamilan seorang istri, penulis terlebih dahulu akan memaparkan mengenai ulasan tentangbudaya dan tradisi.

1 QS. An-Najm (53): 3-4

www.caridi.web.id

(9)

Secara epistimologi kata budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi berarti akal, kecerdikan, kepintaran dan kebijaksanaan, sedangkan Dayamemiliki arti ikhtiar, usaha atau muslihat. Dedi Supriyadi mengartikan bahwa budaya (culture) dapat dipahami sebagai pembangunan yang didasarkan atas kekuatan manusia, baik pembangunan jiwa, pikiran dan semangat melalui latihan dan pengalaman, bukti nyata pembangunan intelektual seperti seni dan pengetahuan. Dengan demikian secara singkat dan sederhana, sebagaimana dipahami secara umum, kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat2.

Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaedah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Sedangkan cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup bermasyarakat, antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan.3

Salah satu bagian dari budaya adalah tradisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tradisi diartikan sebagai adat kebiasaan turun-temurun(dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; atau juga penilaian atau anggapanbahwa cara- cara yangtelah ada merupakan yang paling baik dan benar4. Terminologi tradisi, yang berasal dari katabahasa Inggris tradition, sering juga disamakan dengan lafadz bahasa Arab ‘adah. Term ini dipergunakan untuk menunjuk desain atau pola perilakudan kegiatan tertentu menurut standar baku dalam bidangnya masing-masingyang sering dilakukan oleh masyarakat.

2Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),16

3 Ibid, 18

4Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1543

www.caridi.web.id

(10)

7

Manusia dalam kehidupannya akan senantiasa mengadakan proses interaksi dan proses sosial lainnya, sehingga tumbuh norma-norma kelompok dan akhirnya melembaga sehingga tampil struktur sosial dalam himpunan kelompok tersebut. Norma-norma yang dihasilkan dari hasil karya, cipta dan karsa manusia ini senantiasa dilakukan secara berulang-ulang dan cendrung untuk diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya, untuk kemudian menjadi sebuah tradisi yang melekat erat dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini, tradisi merupakan sub-sistem dari norma sosial masyarakat yang melahirkan kelompok tersebut.

Namun, perlu juga ditegaskan di sini bahwa agama bukanlah kebudayaan maupun tradisi, karena agama itu diciptakan Tuhan, bukan hasil olah pikir dan karya manusia.

Tetapi kelompok-kelompok orang beragama membentuk kebudayaan dan juga tradisi mereka masing-masing sebab mereka mempunyai budi daya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, menurut Siradjuddin Abbas (2012: 291) pada hakikatnya tidak ada kebudayaan Islam atau tradisi Islam, namun yang ada adalah kebudayaan dan tradisi orang Islam, karna Islam itu bukan kebudayaan dan tradisi melainkan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun oleh orang Islam sebagai kelompok masyarakat, dan berlanjut serta dilestarikan hingga saat ini kemudian melembaga di tengah masyarakat itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan kebudayaan atau tradisi Islam, yang berarti kebudayaan dan tradisi orang Islam.

Dalam konteks ini pula dapat dipahami mengenai makna terma Islam Nusantara.

Pelabelan “Nusantara” terhadap Islam bukan berarti mempersempit syumuliyah ajaran Islam atau mengkotak-kotakkan keluasan ajaran Islam dengan lingkup nusantara, namun ia lebih mengarah pada arti Islam atau keberagamaan orang Islam yang ada di bumi nusantara,yang berarti mengakui bahwa Islam juga terealisasi dalam praktik keseharian.

Artinya, selain unsur ilahiyah, Islam juga bersifat insaniyah (manusiawi). Hal ini merupakan pengakuan akan pentingnya pemahaman kontekstual terhadap teks suci dengan mempertimbangkan adat lokal (urf) demi kemaslahatan tak hanya dari segi ukhrawi tapi juga duniawi

www.caridi.web.id

(11)

2. Tradisi Keberagamaan di Indonesia

Terminologi keberagamaan perlu dibedakan dengan term agama atau keagamaan. Di satu sisi, keagamaan berasal dari akar kata agama yang menunjuk pada seperangkat wahyuketuhanan agar menjadi petunjuk kehidupan orang yang beriman untuk mewujudkan kebahagiaan dunia dan akherat. Di sisi lain, term keberagamaan merupakan kata benda dari akar kata beragama. Kata kerja beragama, menunjuk pada produk kegiatan berikut segala aktifitas melaksanakansubstansi ajaran agama oleh orang-orang yang beriman sesuai dengan materi ajaran tersebut5.

Dengan demikian, kandungan pengertian keberagamaan selalu berkaitan dengan kekhususan kelompok pemeluk agama, jika dibandingkan dengan himpunan manusia pada umumnya. Dalam posisi ini, himpunan orang beragama atau para pemeluk agama tersebut merupakan unitsosialyangmemilikikesadaran diri bertumpupada jati dirinya sendiri. Maka, pada fenomena ini lahirlah komunitaskeberagamaan yang memiliki karakterisitk atau ciri tertentu.

Agama Islam yang bersumber dari al-Qur_an dan Sunnah dan diyakini sebagai kebenaran tunggal oleh pemeluknya. Akan tetapi, pada saat ajaran yang bersifat transenden ini mulai bersentuhan dengan kehidupan manusia, serta aspek sosio-kultural yang melingkupinya,maka terjadilah berbagai penafsiran yang cendrung berbeda dan berubah-ubah. Hal ini akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus berubah. Dari perbedaan penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran-pemikiran dalam bidang fiqh dan teologi yang berbeda. Selain itu, realitas ini pula yang pada akhirnya melahirkan tradisi keberagamaan kaum muslimin, yang masing- masing menampakkan cirri khas dari kehidupannya.

Hal tersebut di atas menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan tetapi setelah “terlempar” dalam konteks

5 Muslim A. Kadir, Dasar-Dasar KeberagamaanDalam Islam, (Yoyakarta: PustakaPelajar,2011),56

www.caridi.web.id

(12)

9

sosiokultural-politik tertentu pada tingkat perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda. Maka, jika dilihat dari perbedaan persepsi keberagamaan yang biasanya terjadi di kalangan muslimin, maka sejatinya perbedaan itu bukan tentang pokok- pokok ajaran Islam itu sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial, antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for reality, sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara folk variant dan scholarly veriant, yang dalam konteks keindonesiaan terwujud dalam bentuk komunitas atau kelompok tradisionalis, dan kelompok modernis6.

Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang masih mempraktekkan beberapa praktek tahayyul, bid’ah, khurafat, dan beberapa budaya animisme, atau sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, sementara kelompok modernis adalah mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan beberapa hal di atas. Akan tetapi kategorisasi dan polarisasi ini menjadi kurang tepat ketika ditemukan adanya praktek budaya animisme yang dilakukan oleh kalangan muslim modernis. Selain itu, klaim Islam tradisional sebagai pelaku tahayul, bid`ah dan khurafat dewasa ini kurang menemukan pijakannya. Sebab kalangan muslim tradisional bukanlah pelaku perbuatan itu, karna memang dalam ajaran Islam perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada Tahayyul, bid`ah dan khurafat sangat dilarang. Melainkan Islam tradisionalis lebih menekankan kepada kesadaran untuk menghargai tradisi dan budaya yang sudah ada di tengah masyarakat.

Tradisi keberagamaan yang berkembang di kalangan Islam tradisionalis tampak lebeih toleran terhadap nilai-nilai tradisi dan budaya lokal setempat. Kalangan ini meyakini, ajaran Islam datang dan tersebar ke penjuru dunia, bukan untuk mengganti budaya dan tradisi yang ada dengan tradisi dan budaya Arab sebagai tempat awal diutusnya nabi Muhammad saw sang pembawa risalah Islam.

6 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, (Jakarta: LP3S, 1996), 11.

www.caridi.web.id

(13)

Ajaran Islam juga tidak mengharamkan orang-orang Islam untuk berbudaya dan beradat istiadat sesuai dengan kulturnya, karna budaya merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan, selama ia hidup di dunia ini. Selama tradisi dan budaya itu tidak bertentangan dengan syari`at Islam yang telah ditetapkan, maka menurutnya sah-sah saja untuk tetap dilaksanakan dan dilestarikan

B. Pertemuan Islam dan Budaya Nusantara

Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.

Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).

Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan- kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.

Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya.

Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar;

www.caridi.web.id

(14)

11

memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.

Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya- budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam.

Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.

Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari).

Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa.

Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.

Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya,

“wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.

Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja,

www.caridi.web.id

(15)

Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.

Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.

Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra- Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional.

Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangi

www.caridi.web.id

(16)

13 BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan

Sebagai catatan penutup perlu ditegaskan bahwa Islam tidak sama sekali menolak tradisi atau budaya yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Dalam penetapan hukum Islam dikenal salah satu cara melakukan ijtihad yang disebut‘urf, yakni penetapan hukum dengan mendasarkan pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Dengan cara ini berarti tradisi dapat dijadikan dasar penetapan hukum Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Di Indonesia banyak berkembang tradisi dikalangan umat Islam yang terus berlaku hingga sekarang, seperti tradisi lamaran, tingkeban, sumbangan mantenan, peringatanhari-hari besar keagamaan, dan lain sebagainya. Selama ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam maka tradisi-tradisi seperti itu dapat dilakukan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka tradisi-tradisi itu harus ditinggalkan dan tidak boleh di kembangkan.

Islam sangat memperhatikan sekali masalah adat istiadat suatu masyarakat, karena ia dapat mempengaruhi pembentukan hukum. Para imam mazhab saja, banyak sekali memperhatikan kepada adat istiadat setempat. Fatwa-fatwa Imam Abu Hanifah misalnya, berbeda dengan fatwa-fatwa dari murid-muridnya lantaran perbedaan kebiasaan mereka masing-masing; Imam Syafi`i setelah pindah ke negeri Mesir mengganti fatwanya sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan dipraktekkannya di negara baru, hingga fatwa- fatwa beliau itu dapat dibedakan sewaktu masih berada di Bagdad dengan fatwa beliau sesudah pindah ke Mesir.

Setiap perbuatan yang diterima oleh mayoritas ummat Islam, dikategorikan sebagai perbuatan yang baik di sisi Allah SWT, sebab tidak mungkin orang banyak bersepakat dalam masalah kejelekan. Setiap adat kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat serta tidak melanggar ketentuan syariat, harus tetap dipelihara dan diamalkan. Sebaliknya, adat kebiasaan yang menyimpang dari ketentuan syariat, walaupun banyak dikerjakan orang, tetap tidak boleh diamalkan, lantaran di dalam hadist di atas diberi predikat hasanan (baik), yang sudah barang tentu menurut ukuran syari`at dan logika.

www.caridi.web.id

(17)

2. Daftar Pustaka Al-Qur`an dan Terjemahan.

1. Abu Bakar Ahmad Bin Husin al-Baihaqi, Dalail an-Nubuwah wa Ma`rifati Ahwal Sohibi as-Syari`ah, (Bairut: Darul Kutub al-`Ilmiyyah, TT).

2. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pusat Bahasa, 2008)

3. Muslim A. Kadir, Dasar-Dasar KeberagamaanDalam Islam, (Yoyakarta:

PustakaPelajar,2011).

4. Riyadh bin Mansur al-Akholifi, al-Mihhaj fi `ilmil Qowa`id al-Fiqhiyyah, Juz 1 (Maktabah Syamilah, Isdor Tsnai).

5. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama 3, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2012). Soleiman Fadeli & M.Subhan, Antologi Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU, Buku I, (Surabaya: Khalista, 2010)

6. Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abul Qosim Al-Tobroni, Al-Mu`jam al-Kabir, Juz 9 (Maktabah Syamilah, Isdor Tsnai).

7. Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, (Jakarta: LP3S, 1996).

8. http://arsip budaya nusantara.blogspot.co.id/2014/11/ upacara pelet kandhung pada masyarakat.html.

www.caridi.web.id

Referensi

Dokumen terkait

Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan

Dalam uraian yang lain Mereka juga menegaskan bahwa yang paling mengerti tentang agama dan keberagamaan, khususnya dalam konteks penilaian agama sesuai dengan ajaran yang datangnya dari

tertentu, yang mana di dalam konteks lokal itu juga terdapat budaya

Contoh-contoh tersebut tidak saja menggambarkan bahwa keberagamaan sebagian masyarakat Madura “berseberangan” dengan ajaran normatif, moral, dan

Penelitian ini secara umum bertujuan menjelaskan pola hubungan antara konteks sosial budaya masyarakat Bali (baik pada lingkup kehidupan masyarakat lokal, nasional, maupun

Mewujudkan kehidupan keberagamaan dalam keluarga, dari segi keimanannya kepada Allah murni (tidak melakukan kesyirikan), taat kepada ajaran Allah dan RasulNya, cinta kepada

DAMPAK POSITIF DARI IMPLEMENTASI BUDAYA LOKAL DALAM KEHIDUPAN GENERASI MUDA Dalam menghadapi tantangan yang muncul dalam proses pembelajaran, guru atau pendidik perlu menyiapkan

Berdasarkan hasil penelitian, skor angket rata-rata berbagai aspek pembelajaran berbasis kepariwisataan dan kearifan lokal sebagai berikut: pekuliahan dimulai dengan konteks lokal