• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN PERILAKU PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PETUGAS INSTALASI SANITASI DAN K3 DI RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN TAHUN 2018 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAMBARAN PERILAKU PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PETUGAS INSTALASI SANITASI DAN K3 DI RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN TAHUN 2018 SKRIPSI"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH:

SISCA ARDINI NIM. 141000605

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(2)

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

SISCA ARDINI NIM. 141000605

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(3)

PERILAKU PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PETUGAS INSTALASI SANITASI DAN K3 DI RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN TAHUN 2018” ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Juli 2018 Yang membuat pernyataan

Sisca Ardini

(4)
(5)

bagian yang mengelola kebersihan rumah sakit, sampah rumah sakit (sampah medis dan sampah non medis), serta penanganan limbah rumah sakit yang tentunya mempunyai risiko untuk terpajan bahan biologi berbahaya (biohazard) yang membutuhkan alat pelindung diri (APD) pada saat bekerja untuk mengurangi risiko tertular penyakit.

Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku terhadap penggunaan alat pelindung diri dalam bertugas sebagai petugas instalasi sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan Tahun 2018.

Populasi adalah seluruh petugas instalasi sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan yang bertugas membersihkan ruangan rumah sakit. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling dan diperoleh jumlah sampel sebanyak 42 orang responden.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan petugas instalasi sanitasi dan K3 terhadap pemakaian alat pelindung diri dalam bekerja termasuk dalam kategori baik (71,4%), untuk sikap termasuk dalam kategori positif (62%), sedangkan untuk tindakan termasuk dalam kategori tidak lengkap memakai alat pelindung diri (57%).

Pihak rumah sakit disarankan untuk meningkatkan pengawasan dan pembinaan dalam penggunaan alat pelindung diri, memberikan informasi tentang manfaat alat pelindung diri guna menjaga keselamatan selama bekerja, menyediakan tempat khusus untuk penyimpanan alat pelindung diri agar dapat terjaga dengan baik, memberikan sanksi tegas bagi petugas yang tidak patuh dalam menggunakan alat pelindung diri serta peghargaan bagi petugas yang patuh dalam menggunakan alat pelindung diri. Petugas instalasi sanitasi dan K3 hendaknya memakai alat pelindung diri secara lengkap sesuai dengan alat pelindung diri yang telah disediakan pihak rumah sakit berupa sarung tangan, masker, dan sepatu serta petugas instalasi sanitasi dan K3 diharapkan dapat saling mengingatkan rekan kerjanya apabila tidak menggunakan pelindung diri saat bekerja.

Kata kunci: Pengetahuan, sikap, tindakan, alat pelindung diri (APD)

(6)

hospital waste (medical and non-medical waste), and hospital waste management which certainly has a risk for exposure to biological substances (biohazard) that require personal protective equipment (PPE) on while working to reduce the risk of contracting the disease.

The aims of this descriptive study is to describe the knowledge, attitudes and actions against the use of personal protective equipment in work as a sanitation and safety officers at the RSU Haji Medan in 2018. The population of this study was all sanitation and safety officers in RSU Haji Medan that clean the hospital room. The sampling was done by total sampling and obtained a total sample of 42 respondents.

The result showed that officers knowledge on the use of personal protective equipment of sanitation and safety departement was in a good category(71,4%), the category of positive attitude (62%), while for the actions included in the category of incomplete wear personal protective equipment (57%).

The hospital advised to improve supervision and guidance in the use of personal protective equipment, provide information on the benefits of personal protective equipment to maintain safety during work, provide a place for the storage of personal protective equipment in order to be properly maintained, to give strict sanctions for non- in the use of personal protective equipment as well as an appreciation for compliance officers in the use of personal protective equipment. Sanitation and safety personnel should wear complete personal protective equipment in accordance with personal protective equipment provided by the hospital in the form of gloves, masks, and shoes and sanitation and safety officers are expected to remind each other colleagues if they do not use personal protective equipment while working .

Keyword: Knowledge, attitude, action, personal protective equipment (PPE)

(7)

berkat, karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Gambaran Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Petugas Instalasi Sanitasi dan K3 di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2018” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Dalam penulisan ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes, selaku Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FKM USU sekaligus selaku dosen penguji II yang telah banyak memberi saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Arfah Mardiana Lubis, S.Psi.,M.Psi, selaku dosen pembimbing dan Ketua Penguji skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, tulus, dan sabar memberikan petunjuk, saran, dan nasihat bimbingan serta arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

(8)

telah banyak memberikan nasehat dan masukan kepada penulis selama kuliah di FKM USU.

7. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

8. Dr. Yulinda Elvi Nasution, M.Kes selaku Kepala Bidang Pendidikan dan Penelitian RSU Haji Medan dan Khairun Akbar, SP selaku Kepala Pelaksana Harian Instalasi Sanitasi dan K3 RSU Haji Medan yang telah memberikan izin dan bantuan bagi penulis dalam melaksanakan penelitian.

9. Teristimewa untuk orangtua tercinta, Ayahanda Yulisman Boer dan Ibunda Netti Irawati yang tiada hentinya mendukung baik secara moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

10. Saudara tercinta, Kakanda Edward Buryman, ST., Jerry Buryman, ST., Yulianti Irawati, ST., dan Adik penulis Andre Buryman, yang selalu membantu dan mendukung penulis selama penyelesaian Tugas Sarjana ini.

11. Sahabat-sahabat saya dari awal perkulihan serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat

(9)

Penulis

Sisca Ardini

(10)

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR ISTILAH ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.3.1 Tujuan Umum ... 11

1.3.2 Tujuan Khusus ... 11

1.4 Hipotesis Penelitian... 11

1.5 Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Perilaku ... 12

2.1.1 Pengetahuan ... 14

2.1.2 Sikap ... 18

2.1.3 Tindakan ... 20

2.2 Alat Pelindung Diri (APD) ... 21

2.2.1 Pengertian Alat Pelindung Diri (APD) ... 21

2.2.2 Landasan Hukum Tentang Alat Pelindung Diri (APD)... 22

2.2.3 Karakteristik Alat Pelindung Diri (APD) ... 27

2.2.4 Jenis Alat Pelindung Diri (APD) bagi Petugas Instalasi Sanitasi dan K3... 27

2.3 Rumah Sakit ... 31

2.3.1 Instalasi Sanitasi dan K3... 33

2.3.1.1 Sistem Kerja Petugas Instalasi Sanitasi dan K3 di Rumah Sakit Umum Haji Medan ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

3.1 Jenis Penelitian ... 36

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

(11)

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 37

3.4.1 Data Primer ... 37

3.4.1.1 Validitas ... 37

3.4.1.2 Reliabilitas ... 38

3.4.2 Data Sekunder... 38

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 38

3.6 Metode Pengukuran ... 39

3.6.1 Pengetahuan ... 39

3.6.2 Sikap ... 40

3.6.3 Tindakan ... 40

3.7 Pelaksanaan Perolehan Data ... 41

3.8 Metode Analisis Data ... 33

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 44

4.1 Gambaran Umum RSU Haji Medan ... 44

4.1.1 Sejarah RSU Haji Medan ... 44

4.1.2 Visi RSU Haji Medan ... 46

4.1.3 Misi RSU Haji Medan ... 46

4.1.4 Struktur RSU Haji Medan ... 47

4.2 Karakteristik Petugas Instalasi Sanitasi dan K3 dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri di RSU Haji Medan ... 49

4.2.1 Umur ... 49

4.2.2 Tingkat Pendidikan ... 50

4.2.3 Masa Kerja ... 51

4.3 Gambaran Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Petugas Instalasi Sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan Tahun 2018 ……….. 52

4.3.1 Pengetahuan Responden terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Petugas Instalasi Sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan .. 52

4.3.2 Sikap Responden terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Petugas Instalasi Sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan ... 55

4.3.3 Tindakan Responden terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Petugas Instalasi Sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan ... 58

BAB V PEMBAHASAN ... 64

5.1 Gambaran Karakteristik Petugas Instalasi Sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan... 64

5.1.1 Umur ... 64

5.1.2 Tingkat Pendidikan ... 65

5.1.3 Masa Kerja ... 66

(12)

Pelindung Diri di RSU Haji Medan ... 72

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 77

6.1 Kesimpulan ... 77

6.2 Saran... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN

(13)

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Kelompok Umur

di RSU Haji Medan Tahun 2018 ... 50

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan di RSU Haji Medan Tahun 2018 ... 50 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Masa Kerja di

RSU Haji Medan Tahun 2018 ... 51 Tabel 4.4 Distribusi Jawaban Pengetahuan Responden terhadap

Pemakaian Alat Pelindung Diri pada Petugas Instalasi Sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan Tahun 2018 ... 53 Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden di RSU Haji

Medan Tahun 2018 ... 54 Tabel 4.6 Distribusi Jawaban Sikap Responden terhadap Pemakaian Alat

Pelindung Diri Pada Petugas Instalasi Sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan Tahun 2018 ... 56 Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Sikap Responden di RSU Haji Medan

Tahun 2018 ... 57 Tabel 4.8 Distribusi Tindakan Responden terhadap Penggunaan Alat

Pelindung Diri pada Petugas Instalasi Sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan Tahun 2018 ... 59 Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Tindakan Responden di RSU Haji Medan

Tahun 2018 ... 59 Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Tabulasi Silang Pengetahuan dengan

Tindakan Responden Di RSU Haji Medan Tahun 2018 ... 60 Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Tabulasi Silang dengan Tindakan

Responden di RSU Haji Medan Tahun 2018 ... 61 Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Tabulasi Silang Pengetahuan, Sikap,

dengan Tindakan Responden Di RSU Haji Medan Tahun 2018 . 61

(14)

Gambar 4.1 Presentase Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan

Umur ... 50

Gambar 4.2 Presentase Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 51

Gambar 4.3 Presentase Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Masa Kerja ... 52

Gambar 4.4 Presentase Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden ... 55

Gambar 4.5 Presentase Distribusi Frekuensi Sikap Responden ... 58

Gambar 4.6 Presentase Distribusi Frekuensi Tindakan Responden ... 60

(15)

ANSI : American National Standard Intitute

APD : Alat Pelindung Diri

CDC : Centre Of Disease Control

DEPKES RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

GNP : Gross National Product

HBV : Hepatitis B Virus

HCV : Hepatitis C Virus

HIV : Human Immunodeficiency Virus

ILO : International Labour Organization

K3 : Kesehatan Dan Keselamatan Kerja

KMK : Keputusan Menteri Kesehatan

NSI : Needle Sick Injury

PAK : Penyakit Akibat Kerja

Pb : Timbal

PERMENAKERTRANS : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

PMK : Peraturan Menteri Kesehatan

PVC : Poli Vinyl Chlorida

RSU : Rumah Sakit Umum

SNI : Standar Nasional Indonesia

WHO : World Health Organization

(16)

Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 84

Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Penelitian ... 85

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian ... 86

Lampiran 4. Lembar Observasi Penelitian ... 89

Lampiran 5. Master Data ... 92

Lampiran 6. Output Hasil Pengolahan Data ... 99

Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian ... 110

(17)

Anak keempat dari 5 bersaudara pasangan Yulisman Boer dan Netti Irawati.

Peneliti menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 047 Duri - Riau pada tahun 2008. Peneliti melanjutkan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Cendana Mandau, Duri - Riau tahun 2008 dan tamat pada tahun 2011.

Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta Cendana Mandau, Duri - Riau pada tahun 2011 dan tamat pada tahun 2014. Pada tahun 2014 memulai kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Program Studi Iilmu Kesehatan Masyarakat.

(18)

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu upaya mencegah dan mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif apabila terjadi kecelakaan dan penyakit akibat kerja (UU No.

23 Tahun 2009 Pasal 23).

Secara global dan tingkat negara, masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dominan adalah masih tingginya kasus penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja dibandingkan dengan kejadian kebakaran, peledakan, dan pencemaran udara di lingkungan kerja. Data kecelakaan kerja secara global lebih lengkap tersedia dibanding data penyakit akibat kerja bedasarkan laporan yang diterima dari tiap negara. Keadaan ini termasuk di Indonesia disebabkan masih banyak perusahaan tidak melaksanakan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja sehingga kasus penyakit akibat kerja tidak tercatat dan terpantau (Silaban, 2012).

Menurut Takala yang dikutip oleh Silaban (2012), ILO melaporkan bahwa tahun 1998 terjadi 270 juta kasus kecelakaan kerja dan 160 juta kasus penyakit akibat kerja. Diperkirakan sebanyak 1,1 juta orang meninggal akibat penyakit akibat kerja, 335.000 orang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja dan kerugian

(19)

sebesar 4% dari total gross national product (GNP) dunia atau sebesar US$ 1.250 milyar.

Menurut Widayana dan Wiratmaja (2014) yang mengutip pendapat Suma’mur, keselamatan kerja merupakan suatu keadaan terhindar dari bahaya saat melakukan kerja. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan dengan mesin, pesawat pengangkat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Menurut Simanjuntak (1994) yang dikutip oleh Widayanan dan Wiratmaja (2014), keselamatan kerja dapat diartikan sebagai kondisi yang bebas dari risiko kecelakaan atau kerusakan atau dengan kata lain risiko yang relatif sangat kecil dibawah tingkat tertentu.

Menurut WHO/ILO (1995) kesehatan kerja bertujuan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan fisik, mental, dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi dan psikologisnya, secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia kepada pekerjaan atau jabatannya. Program kesehatan pada sebuah bidang usaha bertujuan untuk mewujudkan lingkungan usaha yang aman, nyaman dan sehat bagi seluruh pekerja, dan pengunjung.

Menurut American Hospital Association yang dikutip oleh Adisasmito (2007), rumah sakit adalah suatu organisasi tenaga medis profesional yang

(20)

terorganisasi serta sarana kedokteran yang permanen dalam menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis, serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien. Sementara itu, menurut Wolper dan Pena yang dikutip oleh Adisasmito (2007), rumah sakit adalah tempat di mana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat di mana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat, dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan.

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelaynaan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan (Depkes RI, 2009). Rumah sakit merupakan tempat kerja yang memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan dan kesehatan sumber daya manusia rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit. Dalam rangka pengelolaan dan pengendalian risiko yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit perlu diselenggarakan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit agar terciptanya kondisi rumah sakit yang sehat, selamat, dan aman (Permenkes, 2016). Bahaya potensial di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor biologi (virus, bakteri, jamur, parasit); faktor kimia (antiseptic, reagen, gas anestesi); faktor ergonomi (lingkungan kerja, cara kerja, dan posisi kerja yang salah); faktor fisik (suhu, cahaya, bising, listrik, getaran dan radiasi); faktor psikososial (kerja bergilir, beban kerja, hubungan sesama pekerja/atasan) dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja (Kepmenkes, 2010).

(21)

Menurut CDC (Centre Of Disease Control) pekerja kesehatan berisiko terpapar darah dan cairan tubuh yang terinfeksi (bloodborne pathogen) yang dapat menimbulkan infeksi HBV (Hepatitis B Virus), HCV (Hepatitis C Virus), dan HIV (Human Immunodeficiency Virus) melalui berbagai cara, salah satunya melalui luka tusuk jarum atau yang dikenal dengan istilah Needle Stick Injury atau NSI. Dari survei yang diperoleh CDC sebanyak 77% kecelakaan kerja di rumah sakit adalah tertusuk jarum suntik. Diperkirakan setiap tahun terjadi 385.000 kejadian luka akibat benda tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga kesehatan di rumah sakit di Amerika. Menurut Kepmenkes RI nomor 1087 (2010) menjelaskan bahwa 65.4 % petugas pembersih suatu rumah sakit di Jakarta menderita dermatitis kontak iritan kronik tangan pada tahun 2004. Penelitian dari dr. Joseph tahun 2005-2007 mencatat bahwa angka kecelakaan kerja NSI mencapai 38-73% dari total petugas kesehatan (Melandari dan Afifah, 2014).

Rumah sakit sebagaimana tempat kerja pada umumnya mempunyai bahaya potensial yang cukup beragam dalam proses kerjanya. Bahaya potensial tersebut, apabila tidak dikendalikan dengan sebaik mungkin akan berpotensi untuk terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK). Oleh sebab itu, bahaya potensial sebisa mungkin harus diminimalisir kemungkinan terjadinya, salah satunya melalui upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) (Harlan dan Paskarini, 2014).

Cara terbaik untuk pencegahan terhadap bahaya kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilakukan dengan menghilangkan risikonya atau mengendalikan sumber bahaya dengan pendekatan pengendalian teknis

(22)

(engineering control). Bila cara ini tidak memungkinkan untuk diupayakan mengingat pertimbangan teknologi dan biaya, maka cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan pengendalian secara administratif (administrative control), kecuali pencegahan terhadap bahaya kecelakaan kerja.

Bila hal ini tidak dapat dilakukan, maka alternatif pengendalian terakhir adalah dengan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD). Dengan kata lain bahwa Alat Pelindung Diri (APD) merupakan keputusan terakhir yang diambil dalam pengendalian bahaya di tempat kerja (Silaban, 2012).

Alat Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari bahaya di tempat kerja. Pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja/buruh di tempat kerja, yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar yang berlaku dan wajib diberikan oleh pengusaha secara cuma-suma (Permenakertrans, 2010). Masih banyaknya pekerja yang tidak menggunakan APD saat bekerja didasari oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kurangnya kebijakan dan supervisi perusahaan dan aspek pekerja itu sendiri. Sebuah survei menunjukkan bahwa alasan para pekerja enggan menggunakan APD adalah karena perasaan tidak nyaman saat digunakan. Alasan kedua adalah bahwa pekerja merasa tidak membutuhkan APD tersebut saat bekerja, mereka telah bertahun-tahun bekerja tetapi tidak pernah mengalami kecelakaan kerja. Alasan ketiga adalah APD yang digunakan terlihat tidak menarik dan tidak fit saat digunakan. Alasan lainnya adalah mereka tidak

(23)

mempunyai cukup waktu untuk menggunakan APD atau mereka tidak mengetahui bahwa APD tersebut harus digunakan (Matela, 2010).

Penggunaan APD merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan dan memegang peran penting bagi keselamatan pekerja. Perilaku penggunaan dan kepatuhan penggunaan APD yang tepat serta kebijakan pihak perusahaan merupakan hal yang saling mendukung dalam kesuksesan keselamatan kerja (Agustine, 2015). Hasil penelitian Tombili dan Mardewi (2010) menunjukkan petugas pengumpul sampah dinas kebersihan kota kendari yang diteliti pengetahuannya tentang alat pelindung diri kurang berjumlah 12 orang (11,7%), cukup berjumlah 59 orang (57,3%) dan sikap baik berjumlah 32 orang (31,1%).

Petugas pengumpul sampah yang sikapnya tentang alat pelindung diri kurang berjumlah 13 orang (12,6%), cukup berjumlah 66 orang (64,1%) dan sikapnya baik berjumlah 24 orang (23,3%). Tindakannya tentang alat pelindung diri kurang berjumlah 50 orang (48,5%), cukup berjumlah 40 orang (38,8%) dan sikapnya baik berjumlah 13 orang (12,6%).

Hasil penelitian Veronika (2015) menunjukkan bahwa pengetahuan petugas cleaning service Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan terhadap pemakaian alat pelindung diri dalam penanganan sampah medis termasuk dalam kategori baik (63,6%), untuk sikap termasuk dalam kategori positif (63,6%), sedangkan untuk tindakan termasuk dalam kategori tidak lengkap memakai alat pelindung diri (90,9%).

Hasil penelitian Harlan dan Paskarini (2014) menunjukkan bahwa sebagian besar (60%) responden mempunyai perilaku penggunaan APD yang

(24)

kurang baik, sedangkan 40% responden lainnya mempunyai perilaku penggunaan APD yang baik. Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa semakin muda usia, semakin sedikit masa kerja, semakin lengkap APD yang tersedia, maka semakin baik perilaku penggunaan APD.

Rumah Sakit Umum Haji Medan didirikan dengan landasan hasrat untuk menciptakan sarana pelayanan kesehatan bernuansa islami yang mengutamakan mutu dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh kebutuhan pelanggan. Setelah diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 4 Juni 1992, Rumah Sakit Haji Medan saat ini telah mempunyai 250 tempat tidur untuk rawat inap, hampir dua kali lipat sewaktu diresmikan (Profil RSU Haji Medan, 2016).

Proses kerja yang terjadi di RSU Haji Medan juga tidak jauh dari risiko seperti cidera, gangguan psikososial, ergonomi, terkontaminasi bahan kimia berbahaya, radiasi, virus, bakteri, dan lainnya. Untuk itu RSU Haji Medan memerlukan program keselamatan kerja guna meningkatkan produktivitas pekerja untuk mendapatkan mutu dan kualitas hasil pelayanan yang baik, sehingga masyarakat merasa puas dengan pelayanan yang diberikan.

Instalasi sanitasi dan K3 merupakan bagian dari RSU Haji Medan yang mengelola kebersihan rumah sakit, sampah rumah sakit (sampah medis maupun sampah non medis), serta penanganan limbah rumah sakit yang tentunya mempunyai risiko untuk terpajan bahan biologi berbahaya (biohazard).

Melakukan kontak langsung dengan alat medis sekali pakai seperti jarum suntik bekas maupun selang infus bekas, membersihkan seluruh ruangan di rumah sakit,

(25)

serta mengelola limbah rumah sakit yang dapat meningkatkan risiko untuk terkena penyakit infeksi.

Melakukan pekerjaan yang aman agar selamat merupakan harapan semua karyawan RSU Haji Medan. Terjadinya kecelakaan akibat faktor perilaku keselamatan dan kesehatan kerja (K3) meliputi nilai pengetahuan, persepsi, sikap, pendidikan, jenis pekerjaan, dan tempat kerja yang kurang baik dapat menimbulkan terjadinya kecelakaan kerja.

Petugas instalasi sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan keseluruhan berjumlah 54 orang. Secara khusus yang menangani sanitasi dan kebersihan lingkungan dalam rumah sakit berjumlah 42 orang yang terbagi kedalam ruangan diantaranya ruangan IGD, ruangan ICU, ruangan OK, ruangan rawat inap Hijir Ismail, ruangan rawat inap Al-Ikhsan, ruangan rawat inap An-Nisa, ruangan rawat inap Safa, ruangan rawat inap Marwa, ruang tunggu, ruang rawat inap Jabal Nur, ruang rawat inap Ar-Rijal, dan ruang poli klinik. Pendidikan rata-rata petugas ini adalah Sekolah Menengah Atas (SMA). Setiap harinya petugas sanitasi dan K3 memulai pekerjaannya pada pukul 07:00-14:30 WIB untuk shift pagi, dan pukul 13:00-20:30 WIB untuk shift sore. Karena begitu besarnya risiko yang dihadapi oleh petugas instalasi sanitasi dan K3 ini, maka perlu perlindungan bagi tenaga kerja terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3) agar tidak terjadi risiko penyakit akibat kerja (PAK) dan kecelakaan akibat kerja.

Menurut KepMenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit bahwa petugas pengelola sampah/sanitasi harus menggunakan alat pelindung diri diantaranya topi/helm, masker, pelindung mata,

(26)

pakaian panjang (coverall), apron untuk industri, pelindung kaki/sepatu boot, dan sarung tangan khusus (disposable gloves atau heavy duty gloves).

Dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari, pihak manajemen RSU Haji Medan telah menyediakan alat pelindung diri bagi petugas sanitasi dan K3 yaitu berupa sarung tangan/handscoon, masker, dan sepatu yang bertujuan untuk melindungi pekerja saat melakukan pekerjaannya. Penyimpanan APD yang diberikan itu sendiri disimpan petugas di ruangan Cleaning Service. Pemakaian APD yang dianjurkan adalah dipakai secara lengkap seluruh APD tersebut guna meminimalkan risiko petugas terkena infeksi silang ataupun mendapat penyakit akibat tertular dari zat-zat buangan rumah sakit, pasien, ataupun dari lingkungan kerja.

Dari hasil observasi awal, terlihat bahwa petugas sanitasi dan K3 yang langsung menangani kebersihan lingkungan rumah sakit (baik sampah medis maupun sampah non medis) jarang menggunakan alat pelindung diri lengkap berupa masker, dan sarung tangan pada saat bekerja. Petugas cenderung menggunakaan APD hanya pada saat-saat di rasa perlu, dan mengabaikan peraturan penggunaan APD saat bekerja yang telah di tetapkan.

Dari hasil wawancara singkat dengan beberapa petugas, salah satu petugas menuturkan bahwa ia pernah mengalami kecelakaan akibat kerja berupa tertusuk jarum suntik bekas, dan terkena tumpahan cairan buangan. Hal ini terjadi disebabkan oleh kurang maksimalnya pemanfaatan APD yang telah diberikan. Ia juga menuturkan bahwa pihak manajemen rumah sakit setiap harinya telah melakukan briefing tentang APD yang wajib mereka gunakan ketika bekerja,

(27)

kegunaan dari APD tersebut, dan cara pakai APD. Briefing ini dilakukan sesaat sebelum mereka melakukan pekerjaan setiap harinya. Baik untuk petugas shift pagi, dan shift sore. Namun dalam penerapannya masih sering mereka melakukan pelanggaran dengan tidak memakai APD yang telah di wajibkan tersebut. Seorang petugas kebersihan ruang rawat inap menuturkan bahwa ia jarang menggunakan APD berupa masker, hal ini dikarenakan ia merasa sesak nafas dan tidak nyaman dalam menggunakannya. Ia juga menuturkan bahwa ia lebih memaksimalkan penggunaan masker saat perawat memperingatkan adanya pasien dengan penyakit-penyakit tertentu di dalam ruangan rawat inap tersebut.

Menurut hasil wawancara singkat dengan pengawas tim petugas kebersihan, dan sanitasi ia menuturkan bahwa tidak ada sanksi tegas untuk petugas yang tidak menggunakan APD secara lengkap dalam bekerja. Ia menuturakan bahwa jika petugas tidak menggunakan APD lengkap yang dianjurkan, maka mereka yang akan menerima akibatnya dikemudian hari.

Berdasarkan uraian tersebut penulis ingin mengetahui gambaran perilaku penggunaan alat pelindung diri pada instalasi sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan tahun 2018.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis ingin mengetahui bagaimana gambaran perilaku penggunaan alat pelindung diri (APD) pada instalasi sanitasi dan K3 di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2018.

(28)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 TujuanUmum

Mengetahui gambaran perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada instalasi sanitasi dan K3 di Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2018.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik umur, tingkat pendidikan, dan masa kerja petugas instalasi sanitasi dan K3 di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2018.

2. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan petugas instalasi sanitasi dan K3 dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat bekerja.

3. Untuk mengetahui gambaran sikap petugas instalasi sanitasi dan K3 dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat bekerja.

4. Untuk mengetahui gambaran tindakan petugas instalasi sanitasi dan K3 dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat bekerja

1.4 Manfaat penelitian

1. Sebagai masukan bagi pihak RSU Haji Medan tentang gambaran perilaku penggunaan APD pada petugas instalasi sanitasi dan K3 agar dapat meningkatkan pengawasan terhadap pemakaian APD pada petugas.

2. Sebagai bahan masukan untuk lebih memperhatikan kepatuhan penggunaan APD pada petugas instalasi sanitasi dan K3 di RSU Haji Medan.

3. Menambah pengetahuan penulis dalam melakukan penelitian.

4. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

(29)

Perilaku diterjemahkan dari kata bahasa inggris “behavior” dan kata tersebut sering dipergunakan dalam bahasa sehari-hari, namun sering kali pengertian perilaku ditafsirkan secara berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Perilaku juga sering diartikan sebagai tindakan atau kegiatan yang ditampilkan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya, atau bagaimana manusia beradaptasi terhadap lingkungannya.

Perilaku, pada hakekatnya adalah aktifitas atau kegiatan nyata yang ditampilkan seseorang yang dapat teramati secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku keselamatan adalah tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan faktor – faktor keselamatan kerja (Fitriani, 2011).

Dilihat dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Dari sudut pandang biologis, semua makluk hidup mulai dari tumbuhan, hewan, dan manusia berperilaku, karena punya aktivitas masing-masing. Perilaku (manusia) adalah semua tindakan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati langsung. Maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Ensiklopedia Amerika yang dikutip oleh Kholid (2012), perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya.

Menurut Kholid (2012) yang mengutip pendapat Robert Kwick, perilaku adalah

(30)

tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dipelajari.

Menurut Skiner (1938) yang dikutip oleh Maulana (2014), perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

Menurut Lewit yang dikutip oleh Maulana (2014), perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan. Perilaku dapat berubah jika terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan di dalam diri seseorang.

Menurut Green yang dikutip oleh Suyono dan Nawawinetu (2013), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perilaku individu, yaitu:

1. Faktor dasar (Predisposing factors), mencakup pengetahuan, sikap, kebiasaan, norma sosial, keterlibatan pekerja, komunikasi dan unsur lainnya yang terdapat dalam diri individu di dalam masyarakat yang terwujud dalam motivasi.

2. Faktor pendukung (Enabling factors), mencakup sumber daya atau potensi masyarakat, terwujud dalam pelatihan, tersedianya fasilitas atau sarana keselamatan kerja, lingkungan fisik, dan lingkungan kerja.

3. Faktor penguat (Reinforcing Factors) mencakup sikap dan perilaku dari orang lain yang terwujud dalam dukungan sosial.

(31)

2.1.1 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuaman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

(Notoatmodjo, 2012).

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Rogers (1974) yang dikutip oleh Fitriani (2011), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:

1. Awarness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.

3. Evaluation (menimbang-nimbang baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. Trial, orang telah mencoba perilaku baru.

5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Menurut Notoatmodjo (2012) Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu:

1. Tahu (know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan mengingat kembali (recall) sesuatu

(32)

yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakanya.

2. Memahami (comprehension), memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut sacara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (aplication), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum- hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistic dalam perhitungan- perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (Problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4. Analisis (analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat

(33)

menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan.

5. Sintesis (synthesis), menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Menurut Azwar (2000), yang dikutip oleh Rahmah (2012), faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah:

a. Umur,

b. Jenis kelamin, c. Pendidikan, d. Lama kerja.

Menurut Erfandi yang dikutip oleh Siburian (2012), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu:

a. Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam maupun di luar sekolah

(34)

dan berlangsung sepanjang hidup. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah orang tersebut untum menerima informasi maka semakin luas pula pengetahuannya.

b. Media massa/informasi

Teknologi yang maju akan menyediakan bermacam-macam media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lainnya yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru.

c. Sosial budaya dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi dilakukan tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan adanya kebiasaan dan tradisi seseorang akan bertambah pengetahuannya sekalipun ia tidak melakukannya. Status ekenomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk memperoleh informasi. Status ekonomi dan sosial budaya akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

d. Lingkungan

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

e. Pengalaman

Pengalaman merupakan sumber pengetahuan dimana seseorang dapat memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

(35)

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu (Notoatmodjo, 2010). Namun, tidak semua pengalaman dapat menuntun seseorang untuk menarik kesimpulan dengan benar sehingga diperlukan berfikir kritis dan logis.

f. Usia

Usia sangat mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin baik.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2012).

2.1.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Koentjaraningrat yang dikutip oleh Maulana (2014), sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan pola-pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut.

(36)

Menurut Allport yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yakni:

1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek, artinya bagaimana keyakinan, pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (tent to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah merupakan ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan).

Ketiga komponen tersebut di atas secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam membentuk sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan-tingkatan berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut:

1. Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah. Adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.

(37)

3. Menghargai (valuing), diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain, bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespon.

4. Bertanggung jawab (responsible), merupakan sikap yang paling tinggi tingkatnya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinanya, maka dia harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya risiko lain.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.

2.1.3 Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan

faktor pendukung atau suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Empat tingkatan tindakan menurut Notoatmodjo (2012):

1. Respons terpimpin (guided response), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.

2. Mekanisme (mecanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.

(38)

3. Adopsi (adoption), adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasi sikapnya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

2.2 Alat Pelindung Diri (APD)

2.2.1 Pengertian Alat Pelindung Diri (APD)

Alat Pelindung Diri (APD) merupakan kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan orang-orang disekelilingnya. Kewajiban itu sudah disepakati oleh pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (Widayana dan Wiratmaja, 2014).

Alat Pelindung Diri atau (APD) dapat didefinisikan sebagai alat yang mempunyai kemampuan melindungi seseorang dalam pekerjaannya, yang fungsinya mengisolasi pekerja dari bahaya tempat kerja. Alat Pelindung Diri (APD) meliputi penggunaan respirator, pakaian khusus, kacamata pelindung, topi pengaman, atau perangkat sejenis yang bila dipakai dengan benar akan mengurangi risiko cedera atau sakit diakibatkan oleh bahaya. Alat pelindung diri adalah merupakan metoda terakhir yang digunakan setelah upaya melakukan metoda yang lainnya (Rijanto, 2011).

(39)

Alat Pelindung Diri (APD) yang disediakan oleh pengusaha dan dipakai oleh tenaga kerja harus memenuhi syarat pembuatan, pengujian dan sertifikat.

Tenaga kerja berhak menolak untuk memakainya jika Alat Pelindung Diri (APD) yang disediakan tidak memenuhi syarat (Anizar, 2012). Maka faktor-faktor yang harus di pertimbangkan di mana Alat Pelindung Diri (APD) harus:

1. Enak dan nyaman dipakai.

2. Tidak mengganggu ketenangan kerja dan tidak membatasi ruang gerak pekerja.

3. Memberikan perlindungan yang efektif terhadap segala jenis bahaya/potensi bahaya.

4. Memenuhi syarat estetika.

5. Memperhatikan efek samping penggunaan APD.

6. Mudah dalam pemeliharaan, tepat ukuran, tepat penyediaan dan harga terjangkau.

2.2.2 Landasan Hukum Tentang Alat Pelindung Diri (APD)

1. Undang- undang No.1 Tahun 1970, tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja:

a. Bab VIII, Pasal 12, ayat b: Tenaga kerja berkewajiban untuk memakai alat pelindung diri.

b. Bab VIII, pasal 12, ayat c: Tenaga kerja berhak menyatakan keberatan kerja dimana syarat kesehatan dan keselamatan kerja serta alat-alat pelindung diri yang diwajibkan diragukan olehnya, kecuali dalam hal-hal

(40)

khusus yang ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung jawabkan.

c. Bab IX, Pasal 13: Barang siapa yang akan memasuki suatu tempat kerja, diwajibkan menaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat- alat pelindung diri yang diwajibkan.

d. Bab X, Pasal 14, ayat c: Pengurus diwajibkan menyediakan secara cuma- cuma semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan (Rijanto, 2011).

2. Permenakertranskop RI No.: Per.01/Men/1981 tentang Kewajiban Melaporkan Penyakit Akibat Kerja pada:

a. Pasal 4 ayat 3, yaitu: Pengurus wajib menyediakan secara cuma-cuma APD yang diwajibkan penggunaannya untuk tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya untuk pencegahan penyakit akibat kerja.

b. Pasal 5 ayat 2, yaitu: Tenaga kerja harus memakai alat-alat perlindungan yang diwajibkan untuk pencegahan penyakit akibat kerja (Silaban, 2012).

3. Permenakertrans RI No.: Per.08/Men/2010 tentang Alat Pelindung Diri pada:

a. Pasal 2:

1. Pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja/buruh di tempat kerja.

2. APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standard yang berlaku.

(41)

3. APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh pengusaha secara cuma-cuma

b. Pasal 4:

1. APD wajib digunakan di tempat kerja di mana:

a. Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan.

b. Dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, korosif, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi atau bersuhu rendah.

c. Dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan perairan, saluran atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau dimana dilakukan pekerjaan persiapan.

d. Dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, perternakan, perikanan dan lapangan kesehatan.

e. Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan batu-batuan, gas, minyak panas bumi, atau mineral lainnya. Baik di permukaan, di dalam bumi maupun di dasar perairan.

(42)

f. Dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan, melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun udara.

g. Dikerjakan bongkar muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun, bandar udara dan gudang.

h. Dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam perairan.

i. Dilakukan pekerjaan pada ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan.

j. Dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah.

k. Dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, jatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting.

l. Dilakukan pekerjaan dalam ruang terbatas tangki, sumur, atau lubang.

m. Terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran.

n. Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah.

o. Dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan telekomunikasi radio, radar, televisi, atau telepon.

p. Dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset yang menggunakan alat teknis.

(43)

q. Dibangkitkan, dirubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air, dan

r. Diselenggarakan rekreasi yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik.

2. Pegawai pengawas ketenagakerjaan atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja dapat mewajibkan penggunaan APD di tempat kerja selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

c. Pasal 5: Pengusaha atau pengurus wajib menggumumkan secara tertulis dan memasang rambu-rambu mengenai kewajiban penggunaan APD di tempat kerja.

d. Pasal 6:

1. Pekerja/buruh dan orang lain yang memasuki tempat kerja wajib memakai atau menggunakan APD sesuai dengan potensi bahaya dan risiko.

2. Pekerja/buruh berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan apabila APD yang disediakan tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan.

e. Pasal 7:

1. Pengusaha atau pengurus wajib melaksanakan manajemen APD di tempat kerja.

2. Manajemen APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. Identifikasi kebutuhan dan syarat APD

(44)

b. Pemilihan APD yang sesuai dengan jenis bahaya dan kebutuhan/kenyamanan pekerja/buruh.

c. Pelatihan.

d. Penggunaan, perawatan, dan penyimpanan.

e. Penatalaksanaan pembuangan atau pemusnahan.

f. Pembinaan.

g. Inspeksi, dan

h. Evaluasi dan pelaporan.

2.2.3 Karakteristik Alat Pelindung Diri (APD)

Berikut adalah karakteristik dari Alat Pelindung Diri (APD) (Rijanto, 2011):

1. Alat pelindung diri mempunyai keterbatasan yang umum yaitu tidak dapat menghilangkan bahaya pada sumbernya.

2. Apabila alat pelindung diri tidak berfungsi dan kelemahannya tidak diketahui maka risiko bahaya yang timbul dapat menjadi lebih besar.

3. Saat digunakan, alat pelindung diri harus sudah dipilih dengan tepat dan harus selalu dimonitor.

4. Pekerja yang menggunakannya harus sudah terlatih.

2.2.4 Jenis Alat Pelindung Diri (APD) bagi Petugas Isntalasi Sanitasi dan K3 Menurut KepMekes 1204/Mekes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan rumah sakit bahwa petugas pengelola sampah harus menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang terdiri dari:

(45)

1. Topi/helm

Menurut Rijanto (2011) yang mengutip pendapat American National Standard Institute (ANSI) Z89.1-1986 bahwa topi/helm pengaman adalah sebagai

suatu alat yang dipakai untuk memberikan perlindungan untuk kepala, atau bagian-bagiannya, terhadap benturan, benda-benda kecil/partikel-partikel berterbangan, sengatan listrik, atau kombinasi diantaranya. Topi atau helm pengaman yang digunakan adalah topi/helm Kelas C. Topi/helm pengaman yang dimaksudkan untuk melindungi kepala dari kekuatan benturan benda-benda yang jatuh, tanpa pengaman terhadap listrik.

2. Masker

Menurut Tarwaka yang dikutip oleh Veronica (2015), alat pelindung pernafasan digunakan untuk melindungi pernafasan dari risiko paparan gas, uap, debu, atau udara terkontaminasi atau beracun, korosi atau yang bersifat rangsangan. Sebelum melakukan pemilihan terhadap suatu alat pelindung pernafasan yang tepat, maka perlu mengetahui informasi tentang potensi bahaya atau kadar kontaminan yang ada di lingkungan kerja. Hal-hal yang perlu diketahui antara lain:

a. Bentuk kontaminan di udara, apakah gas, uap, kabut, fume, debu, atau kombinasi dari berbagai bentuk kontaminan tersebut.

b. Kadar kontaminan di udara lingkungan kerja.

c. Nilai ambang batas yang diperkenankan untuk masing-masing kontaminan.

d. Reaksi fisiologis terhadap pekerja, seperti dapat menyebabkan iritasi mata dan kulit.

(46)

e. Kadar oksigen di udara tempat kerja cukup tidak, dan lain-lain.

Masker digunakan untuk mengurangi paparan debu atau partikel-partikel yang lebih besar masuk kedalam saluran pernafasan dan mencegah percikan yang bersifat infeksius masuk ke dalam mulut.

3. Pelindung mata

Menurut Tarwaka yang dikutip oleh Veronica (2015), alat pelindung mata digunakan untuk melindungi mata dari percikan bahan kimia korosif, debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di udara, gas atau uap yang dapat menyebabkan iritasi mata, radiasi gelombang elegtromagnetik, panas radiasi sinar matahari, pukulan atau benturan benda keras dan lain-lain. Jenis alat pelindung mata antara lain:

a. Kaca mata biasa (Spectacle Goggles), alat ini berfungsi untuk melindungi mata dari partikel-partikel kecil, debu dan radiasi gelombang elektromagnetik.

b. Goggles, alat ini berfungsi untuk melindungi mata dari gas, debu, uap, dan percikan larutan bahan kimia. Goggles biasanya terbuat dari plastik transparan dengan lensa berlapis kobalt untuk melindungi bahaya radiasi gelombang elektromagnetik mangion.

4. Pakaian panjang (coverall)

Merupakan pakaian pelindung yang memiliki kemampuan melindungi seluruh tubuh pekerja, mulai dari pergelangan tangan sampai pergelangan kaki.

(47)

5. Apron untuk industri

Apron ataupun pakaian pelindung yang terbuat dari bahan timbal yang dapat menyerap radiasi pengion.

6. Pelindung kaki

Menurut Tarwaka yang dikutip oleh Veronica (2015), alat pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dan bagian lainnya dari benda-benda keras, benda tajam, logam/kaca, larutan kimia, benda panas, kontak dengan arus listrik.

a. Sepatu kulit, yaitu sepatu khusus yang digunakan oleh petugas pada pekerjaan yang membutuhkan keamanan oleh benda-benda keras, panas dan berat, serta kemungkinan tersandung, tergelincir, terjepit, panas, dingin.

b. Sepatu boot, yaitu sepatu khusus yang digunakan oleh petugas pada pekerjaan yang membutuhkan keamanan oleh zat kimia korosif, bahan-bahan yang dapat menimbulkan dermatitis, dan listrik.

7. Sarung tangan khusus (disposable gloves atau heavy duty gloves).

Pelindung tangan (sarung tangan) adalah alat pelindung diri yang berfungsi untuk melindungi tangan dan jari-jari tangan dari pajanan api, suhu panas, suhu dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, arus listrik, bahan kimia, benturan, pukulan dan tergores, terinfeksi zat patogen (virus, bakteri) dan jasad renik (Permenakertrans, 2010).

Menurut Tarwaka yang dikutip oleh Veronica (2015), sarung tangan rumah tangga (gloves), sarung tangan jenis ini bergantung pada bahan-bahan yang digunakan diantaranya:

(48)

a. Sarung tangan yang terbuat dari bahan asbes, katun, wool untuk melindungi tangan dari api, panas, dan dingin.

b. Sarung tangan yang terbuat dari bahan kulit untuk melindungi tangan dari listrik, panas, luka, dan lecet.

c. Sarung tangan yang terbuat dari bahan yang dilapisi timbal (Pb) untuk melindungi tangan dari radiasi elektomagnetik dan radiasi pengion.

d. Sarung tangan yang terbuat dari bahan karet alami (sintetik) untuk melindungi tangan dari kelembaban air, zat kimia.

e. Sarung tangan yang terbuat dari bahan Poli Vinyl Chlorida (PVC) untuk melindungi tangan dari zat kimia, asam kuat, dan dapat sebagai oksidator.

2.3 Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Rumah sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit (PMK RI, 2014).

Pasal 4 Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menjelaskan bahwa Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang memiliki fungsi diantaranya:

1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

(49)

2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

4. Penyelenggaraan penelitian dan pembangunan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Menurut Pasal 10 Undang-undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bangunan Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas ruang:

1. Rawat jalan.

2. Ruang rawat inap.

3. Ruang gawat darurat.

4. Ruang operasi.

5. Ruang tenaga kesehatan.

6. Ruang radiologi.

7. Ruang laboratorium.

8. Ruang sterilisasi.

9. Ruang farmasi.

10. Ruang pendidikan dan latihan.

11. Ruang kantor dan administrasi.

12. Ruang ibadah.

13. Ruang tunggu.

14. Ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit.

(50)

15. Ruang menyusui.

16. Ruang mekanik.

17. Ruang dapur.

18. Laundry.

19. Kamar jenazah.

20. Taman.

21. Pengolahan sampah.

22. Pelantar parkir yang mencukupi.

Prasarana Rumah Sakit menurut Undang-Undang No 44 Tahun 2009 dapat meliputi:

1. Instalasi air,

2. Instalasi mekanikal dan elektrikal.

3. Instalasi gas medik.

4. Instalasi uap.

5. Instalasi pengelolaan limbah.

6. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran.

7. Petunjuk, standard dan sarana evakuasi saat terjadi keadaan darurat.

8. Instalasi tata udara.

9. Sistem informasi dan komunikasi.

10. Ambulan.

Prasarana tersebut harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggaraan rumah sakit.

(51)

2.3.1 Instalasi Sanitasi dan K3

Menurut Arifin yang dikutip oleh Kuning (2012), Sanitasi adalah suatu cara untuk mencegah berjangkitnya suatu penyakit menular dengan jalan memutuskan mata rantai dari sumber. Sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada penguasaan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan.

Persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit berdasarkan Permenkes No.

1204/Menkes/SK/X/2004 adalah meliputi: Sanitasi pengendalian berbagai faktor lingkungan fisik, kimia, biologi, dan sosial psikologi di rumah sakit. Program sanitasi di rumah sakit terdiri dari penyehatan bangunan dan ruangan, penyehatan makanan dan minuman, penyehatan air, penyehatan temmpat pencucian umum termasuk tempat pencucian linen, pengendalian serangga dan tikus, sterilisasi/desinfeksi, perlindungan radiasi, penyuluhan kesehatan lingkungan, pengendalian infeksi nosokomial, dan pengelolaan sampah/limbah.

2.3.1.1 Sistem kerja petugas instalasi sanitasi dan K3 di Rumah Sakit Umum Haji Medan

Jam kerja petugas instalasi sanitasi dan K3 di Rumah Sakit Umum Haji Medan dimulai pada pukul 07:00 WIB – 20:30 WIB yang terbagi kedalam 2 shift, yaitu:

1. Shift pertama pada pukul 07:00 WIB – 14:30 WIB 2. Shift kedua pada pukul 13:00 WIB – 20:30 WIB

Dalam melaksanakan tugas setiap harinya petugas instalasi sanitasi dan K3 dibagi menjadi 4 tim, yaitu:

(52)

1. Tim ruangan, bertanggung jawab untuk membersihkan setiap ruangan yang ada di Rumah Sakit Umum Haji Medan seperti kantor, kamar pasien, kamar mandi/WC, koridor, serta pengangkutan sampah (baik sampah medis maupun sampah non medis). Bahaya yang dapat mengancam petugas kebersihan disini antara lain adalah terpapar debu yang dibersihkan, terpeleset saat mengepel lantai, terpapar bahaya biologi saat membersihkan laboratorium atau ruangan yang mengandung virus dan bakteri, tertusuk benda tajam seperti jarum suntik saat pengangkutan, dapat tertular penyakit seperti hepatitis dan HIV/AIDS, dermatitis kontak, serta musculoskeletal.

2. Tim taman/gardener, bertanggung jawab untuk membersihkan taman, menata taman, dan keindahan lingkungan di Rumah Sakit Umum Haji Medan.

Bahaya yang dapat mengancam petugas kebersihan disini adalah tertusuk duri, musculoskeletal, dan terpapar debu.

3. Tim Pest Control, bertanggung jawab untuk membasmi/menangkap hama seperti kucing, tikus, lalat, dan hewan pengerat lainnya. Bahaya yang dapat mengancam petugas disini adalah musculoskeletal.

4. Sanitasi limbah, bertanggung jawab untuk mengelola limbah rumah sakit.

Bahaya yang mengancam petugas disini adalah musculoskeletal dan terpapar bahaya biologi, bahan kimia, dan virus dari limbah yang dihasilkan rumah sakit.

(53)

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku penggunaan alat pelindung diri pada petugas instalasi sanitasi dan K3 di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2018.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSU Haji Medan, dengan alasan bahwa belum pernah dilakukan penelitian sejenis ditempat tersebut dan ditempat penelitian masalah perilaku penggunaan APD perlu mendapat perhatian.

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada Januari – Mei 2018.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh petugas instalasi sanitasi dan K3 yang menangani kebersihan (Tim Ruangan) di RSU Haji Medan, yaitu sebanyak 42 orang.

3.3.2 Sampel

Adapun sampel pada penelitian ini adalah seluruh petugas instalasi sanitasi dan K3 yang menangani kebersihan (Tim Ruangan) di RSU Haji Medan, yaitu sebanyak 42 orang.

(54)

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara dengan kuesioner yang telah dimodifikasi dari penelitian sebelumnya yaitu Theresia Veronika tentang Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan terhadap Pemakaian Alat Pelindung Diri dalam Penanganan Sampah Medis pada Petugas Cleaning Service di RSUD Dr. Pirngadi di Medan Tahun 2015. Berikut adalah hasil uji validitas dan reliabilitas dari kuesioner tersebut:

3.4.1.1 Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Notoadmodjo, 2005). Pada tabel Product moment, nilai r untuk 30 responden yaitu 0,361 dengan taraf signifikansi 5% atau taraf kepercayaan 95%. Hasil perhitungan validitas didapatkan dari jumlah 12 pertanyaan dalam kuesioner tentang pengetahuan, terdapat 3 pertanyaan yang dinyatakan tidak valid yaitu pertanyaan nomor 4 (- 0,101 < 0,361), pertanyaan nomor 5 (0,244 < 0,361) dan pertanyaan nomor 7 (0,106 < 0,361). Kemudian didapatkan dari jumlah 10 pertanyaan dalam kuesioner tentang sikap, terdapat 2 pertanyaan yang dinyatakan tidak valid yaitu pertanyaan nomor 6 (0,067 < 0,361) dan pertanyaan nomor 7 (0,025 < 0,361). Pertanyaan yang tidak valid dikendalikan dengan cara dihilangkan dikarenakan pertanyaan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil penelitian.

Gambar

Tabel 3.1 Pelaksanaan Kegiatan Perolehan Data
Tabel  4.1  Distribusi  Frekuensi  Responden  berdasarkan  Kelompok  Umur  di           RSU Haji Medan Tahun 2018
Gambar 4.2 Persentase Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat  Pendidikan
Gambar 4.3 Persentase Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Masa Kerja  Berdasarkan  tabel  4.3  dan  gambar  4.3  dapat  diketahui  bahwa  masa  kerja  responden  adalah  &lt;=4  bulan  berjumlah  22  orang  (52,4%),  dan  masa  kerja  &gt;4  bulan b
+7

Referensi

Dokumen terkait

Az ammóniaemisszió 2009 óta tapasztalható növekedésének másik oka a műtrágya-felhasználás növekedése. A műtrágya nitrogéntartalmának nö- vekedésén túl a

Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan disiplin guru dalam kehadiran dikelas pada kegiatan belajar mengajar dapat dilakukan dengan penerapan Reward

Proses Pembentukan Parameter Karateristik Citra bertujuan untuk menentukan parameter-parameter karateristik citra darah tersebut dan merupakan tahap yang paling

  Therefore,  technology  development  for  this  industry  must  consider  environmental  aspects,   efficiency,  and  energy  conservation...  Kehilangan  aliran

BPR Anugrah Dharma Yuwana (ADY) Jember, dapat dilihat untuk Account Officer Landing dan Account Officer Funding (Deposito) tidak mengalami masalah karena real

 Pada penguat kelas B dengan umpan balik penguat operasional memiliki linieritas yang lebih baik dari penguat pushpull kelas B biasa karena distorsi. cross-over

Namun demikian, bila terpapar Rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan Rhodamin B (Yuliarti, 2007). Berdasarkan

Kalau tidak salah saya ingat pada tahun 2002 Dewan Komisaris mempunyai pendapat, bahwa anggaran mengenai Roll Out CIS RISI pada RKAP 2002, ada diberi ear mark namanya, diberi