• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi parasit pada saluran cerna dapat disebabkan oleh protozoa usus dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Infeksi parasit pada saluran cerna dapat disebabkan oleh protozoa usus dan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

Infeksi parasit pada saluran cerna dapat disebabkan oleh protozoa usus dan cacing usus. Penyakit yang disebabkan oleh cacing usus termasuk kedalam kelompok penyakit neglected diseases (penyakit yang sering terabaikan dan kurang mendapat perhatian). Hal ini diakibatkan karena penyakit cacing usus jarang menimbulkan kematian namun demikian dapat mempengaruhi status kesehatan termasuk gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak (Waris dan Rahayu, 2008).

Definisi kecacingan menurut WHO, (2011) adalah sebagai infeksi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus. Saat ini World Health Organisation (WHO) sedang memfokuskan pada pencegahan dan pengendalian 17 penyakit yang termasuk dalam neglected tropical diseases (NTDs) : Buruli ulcus, Chagas diseases, dengue, dracunculiasis, echinococcosis, foodborne trematode infections, human African trypanosomiasis, leishmaniasis, leprosy, lymphatic filariasis, onchocerciasis, rabies, schistosomiasis, Soil Transmitted Helminth (STH), taeniasis, trachoma dan yaws (WHO, 2015). Ada 11 jenis penyakit di Indonesia yang termasuk neglected tropical diseases (NTD) salah satunya adalah kecacingan yang termasuk ke dalam kelompok Soil Transmitted Helminth (STH) (Kementrian Kesehatan RI, 2013).

1

(2)

Cacing usus yang sering menginfeksi manusia adalah kelompok cacing yang termasuk dalam soil transmitted helminth (STH), yakni Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan hookworm (cacing kait). Infeksi yang disebabkan kelompok cacing ini dapat menimbulkan gejala klinis bila infeksinya berat atau asimptomatik (tanpa gejala) bila infeksinya ringan. Manusia dapat terinfeksi oleh salah satu spesies (single infection) maupun ketiga spesies (multiple infection) kelompok cacing ini (Bethony et al., 2006).

Soil transmitted helminth (STH) masih menjadi masalah yang menyebabkan tingginya angka kesakitan pada negara-negara berkembang terutama yang beriklim tropis. Infeksi STH tersebar luas di negara tropis maupun subtropis, dapat ditemukan baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan dan dapat menginfeksi semua golongan umur dan jenis kelamin. Lebih dari 1,5 juta orang atau sekitar 24 % orang di dunia terinfeksi STH dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah di dunia terinfeksi STH (WHO, 2014).

Prevalensi kecacingan di Indonesia pada beberapa daerah masih cukup

tinggi terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dengan sanitasi

yang buruk. Hasil pemeriksaan tinja yang dilakukan oleh Sub Dit Diare,

Kecacingan dan Infeksi Saluran Pencernaan Lain tahun 2002-2009 di 398 SD/MI

yang tersebar di 33 propinsi pada anak Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah

menunjukkan rata-rata prevalensi kecacingan adalah 31,8 %. Hal ini disebabkan

karena Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dengan kelembaban

tinggi serta masyarakat dengan kondisi higiene dan sanitasi lingkungan yang

buruk sehingga mendukung perkembangan cacing (Depkes RI, 2006)

(3)

Berdasarkan hasil survei kecacingan yang dilakukan sejak tahun 2009- 2011 di Propinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan beberapa kabupaten antara lain Kabupaten Lebak, Pandeglang, Sleman, Karangasem, Sumba barat, Lombok Barat dan Kota Mataram menunjukkan prevalensinya berada pada rentang 8 – 62

%. Menurut WHO, angka prevalensi menjadi sangat penting karena menjadi dasar untuk memberikan intervensi pengobatan, sedangkan masih banyak wilayah di Indonesia yang belum memiliki data tentang angka prevalensi kecacingan (Depkes RI, 2006) Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di propinsi Sulawesi Tengah oleh Chadijah et al. (2013) di Kota Palu dan Kabupaten Donggala tentang prevalensi kecacingan pada semua kelompok umur menunjukkan proporsi jenis cacing yang paling banyak ditemukan adalah Trichuris trichiura (43,01%) diikuti A. lumbricoides (27,96%) selain itu juga ditemukan adanya infeksi campuran dan menurut Chadijah et al. (2014) angka prevalensi kecacingan pada anak SD di Kota Palu sebesar 31,6%.

Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya infeksi kecacingan antara

lain rendahnya tingkat sanitasi/kebersihan pribadi (kebiasaan cuci tangan setelah

buang air besar (BAB) dan sebelum makan), kebersihan kuku, perilaku jajan di

sembarang tempat yang kebersihannya sulit dikontrol, kebiasaan BAB tidak di

jamban yang menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh feses yang

mengandung telur cacing dan kurangnya ketersediaan sumber air bersih (Winita et

al., 2012). Tingginya angka infeksi kecacingan di suatu daerah sangat berkaitan

erat dengan kemiskinan, pendidikan, sosio-ekonomi yang rendah serta sanitasi

lingkungan yang buruk (Hotez et al., 2007).

(4)

Dalam melakukan program pengendalian kecacingan WHO merekomendasikan pemberian obat cacing secara periodik (deworming) tanpa harus mendiagnosis terlebih dahulu pada kelompok orang yang beresiko tinggi di daerah endemis. Pengobatan dilakukan satu kali dalam setahun jika prevalensi infeksi soil transmitted helminth (STH) lebih dari 20% dan dua kali dalam setahun jika prevalensinya lebih dari 50% (WHO, 2014). Hal tersebut dapat menurunkan angka kesakitan dengan cara menurunkan intensitas infeksinya selain itu perlu dilakukan edukasi kesehatan dan kebersihan pribadi untuk menurunkan transmisi dan mencegah reinfeksi. Perbaikan sanitasi lingkungan termasuk hal penting yang harus diperhatikan namun menjadi kendala pada daerah dengan tingkat sosioekonomi rendah (WHO, 2014).

Prevalensi infeksi STH dapat berbeda-beda antara satu wilayah dengan

wilayah yang lain (Odinaka et al., 2015) oleh karena itu, untuk

mengimplementasikan program pengendalian kecacingan di suatu wilayah

dibutuhkan informasi mengenai situasi epidemiologi infeksi STH di wilayah

tersebut. Hal ini bertujuan untuk menentukan strategi yang tepat dalam

melaksanakan pengendalian terhadap infeksi STH (WHO, 2015). Selain infeksi

kecacingan, pemerintah Indonesia masih menghadapi masalah penyakit

filariasis/kaki gajah/elephantiasis. Penyakit ini tersebar luas di wilayah pedesaan

dan perkotaan dan menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin. Hampir

seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis terutama wilayah

Indonesia Timur sehingga prioritas program Pemberian Obat Massal Pencegahan

(POMP) filariasis ini adalah di wilayah Indonesia Timur. Kabupaten/kota endemis

(5)

daerah Indonesia Barat dan Tengah juga diharapkan akan melaksanakan POMP filariasis secara bertahap. Program ini dilakukan setiap 1 tahun dan dilakukan minimal selama 5 tahun (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Salah satu wilayah di Indonesia Tengah yang telah melaksanakan program POMP filariasis putaran pertama adalah Propinsi Sulawesi Tengah dan beberapa kabupatennya termasuk Kabupaten Buol. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buol, pada bulan Oktober 2015 Kabupaten Buol telah melaksanakan program POMP putaran pertama. Semua penduduk yang berusia 2 – 60 tahun mendapat pengobatan berupa kombinasi obat diethylcarbamazine citrate (DEC) 6 mg/kg berat badan dan albendazole 400 mg. Diethylcarbamazine citrate ditujukan untuk membunuh mikrofilaria sedangkan albendazole pada dosis tunggal 400 mg untuk membunuh filaria dewasa dan sekaligus juga dapat membunuh cacing usus lainnya termasuk cacing tambang. Ini merupakan keuntungan tambahan mengingat masih tingginya angka kecacingan di Indonesia (Purwantyastuti, 2010).

Pemberian albendazole dosis tunggal yang dikombinasikan dengan DEC

untuk menurunkan infeksi filariasis juga dapat mempengaruhi angka kejadian

infeksi STH. Pemberian albendazole dosis tunggal efektif terhadap Ascaris

lumbricoides dan Trichuris trichiura namun kurang efektif terhadap hookworm

(Saathoff et al., 2004; Fox et al., 2005; Mani et al., 2002). Berdasarkan penelitian

yang pernah dilakukan Supali et al. (2013) di Pulau Alor, prevalensi mikrofilaria

dan antibodi IgG4 spesifik mikrofilaria pre massal drug administration (MDA)

sebesar 26 % dan 80 %. Pada tahun 2010 setelah 6 putaran MDA prevalensi

(6)

mikrofilaria dan antibodi IgG4 spesifik filaria menurun menjadi 0,17% dan 6,4%

selain itu program ini berdampak pula pada infeksi STH. Prevalensi Ascaris, hookworm dan Trichuris pre MDA sebesar 34%, 28% dan 11% sedangkan satu tahun setelah putaran ke lima MDA menurun menjadi 27%, 4% dan 2%.

Paparan yang terus berlangsung dengan sumber infeksi walaupun telah

diberikan pengobatan menyebabkan tetap tingginya angka prevalensi kecacingan

di suatu wilayah maupun di negara-negara lain di dunia. Reinfeksi dapat terjadi

minimal 2 bulan setelah pemberian antihelminthic. Sanitasi lingkungan yang

buruk menjadi faktor utama penyebab tingginya penyebaran dan transmisi infeksi

STH (Mekhlafi et al., 2008; Saathof et al., 2004). Penelitian yang dilakukan

Hairani dan Annida, (2012) menunjukkan prevalensi kecacingan di daerah

pedesaan pada umumnya lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan, hal ini

disebabkan karena lingkungan di daerah pedesaan sangat mendukung terjadinya

penularan selain faktor kebersihan perorangan yang masih rendah. Menurut

Sayono, (2003) kondisi halaman rumah, lantai rumah dan tempat BAB

masyarakat perkotaan sangat berbeda dengan masyarakat pedesaan. Tempat BAB

di pedesaan pada umumnya kakus gali bahkan kadang-kadang di pinggiran

ladang, di sungai atau pekarangan sedangkan di perkotaan sebagian besar

masyarakat BAB di WC permanen keluarga. Di samping itu, masyarakat pedesaan

memiliki ciri khas pertanian yang memungkinkan penduduk (anak-anak dan orang

dewasa) untuk kontak langsung dengan tanah. Beberapa hal tersebut diatas dapat

menyebabkan kejadian infeksi cacing usus di pedesaan lebih tinggi daripada di

perkotaan.

(7)

Berdasarkan penelurusan peneliti belum ada data prevalensi kecacingan dan kejadian kecacingan pada anak usia sekolah di Kabupaten Buol. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilihat apakah ada perbedaan prevalensi dan intensitas infeksi STH pada siswa di SDN 08 Biau (kota) dan SDN 20 Momunu (desa) sesudah dilakukan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) filariasis karena menurut WHO, (2011) reinfeksi dapat terjadi paling cepat 3 minggu setelah pemberian antihelminthic selain itu akan dilihat pula apakah ada hubungan antara beberapa faktor risiko berupa higiene perorangan, pekerjaan orang tua sebagai petani dan faktor lingkungan dengan prevalensi infeksi STH pada siswa di SDN 08 Biau (kota) dan SDN 20 Momunu (desa) sesudah Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) filariasis.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi pemerintah

setempat untuk melakukan evaluasi terhadap infeksi STH selama dilakukan

program POMP filariasis pada putaran selanjutnya. Penelitian ini akan dilakukan

di Sekolah Dasar Negeri 08 Biau yang merupakan salah satu sekolah di wilayah

kota dan Sekolah Dasar Negeri 20 Momunu yang merupakan salah satu sekolah di

wilayah desa di Kabupaten Buol. Berdasarkan informasi dari petugas kesehatan

setempat baik siswa di SDN 08 Biau dan SDN 20 Momunu masih banyak yang

memiliki kebiasaan buang air besar (BAB) tidak pada tempatnya, sehingga

menarik untuk dilakukan penelitian terkait prevalensi dan faktor-faktor risiko

yang berhubungan dengan kejadian infeksi STH.

(8)

I.2. Perumusan masalah

Beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah ada perbedaan prevalensi infeksi STH antara siswa di SDN 08 Biau (kota) dan SDN 20 Momunu (desa) 6 bulan sesudah pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis ?

2. Apakah ada perbedaan intensitas infeksi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan hookworm antara siswa di SDN 08 Biau (kota) dan SDN 20 Momunu (desa) 6 bulan sesudah pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis?

3. Apakah ada hubungan antara higiene perorangan (kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan BAB, kebiasaan bermain, kebiasaan memakai alas kaki dan kebersihan kuku), pekerjaan orang tua sebagai petani dan kondisi lingkungan rumah (sumber air, ketersediaan jamban dan lantai rumah) siswa di SDN 08 Biau (kota) dan SDN 20 Momunu (desa) dengan prevalensi infeksi STH ?

I.3. Tujuan penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dalam penelitian ini dibedakan menjadi :

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui perbedaan prevalensi infeksi STH dan intensitas

infeksi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan hookworm antara

(9)

siswa di SDN 08 Biau (kota) dan SDN 20 Momunu (desa) 6 bulan sesudah pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis.

2. Tujuan khusus

1. Mengetahui adanya perbedaan prevalensi infeksi STH pada siswa di SDN 08 Biau (kota) dan SDN 20 Momunu (desa) 6 bulan sesudah pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis.

2. Mengetahui adanya perbedaan intensitas infeksi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan hookworm pada siswa di SDN 08 Biau (kota) dan SDN 20 Momunu (desa) 6 bulan sesudah pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis.

3. Mengetahui hubungan antara higiene perorangan (kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan BAB, kebiasaan bermain, kebiasaan memakai alas kaki dan kebersihan kuku), pekerjaan orang tua sebagai petani dan kondisi lingkungan rumah (sumber air, ketersediaan jamban dan lantai rumah) siswa di SDN 08 Biau (kota) dan SDN 20 Momunu (desa) dengan prevalensi infeksi STH.

I.4. Keaslian penelitian

Penelitian tentang perbandingan prevalensi infeksi STH dan intensitas

infeksi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan hookworm pada siswa di

SDN 08 Biau (kota) dan SDN 20 Momunu (desa) di Kabupaten Buol 6 bulan

sesudah pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis belum pernah

dilakukan. Ada beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti

(10)

sebelumnya di lokasi dan konsep yang berbeda dengan menggunakan variabel, metode dan sasaran subjek yang juga berbeda. Namun perbedaan yang paling utama dari penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada waktu penelitian yaitu dilakukan 6 bulan setelah program POMP filariasis. Penelitian-penelitian sebelumnya menjadi pertimbangan bagi penelitian yang dilakukan.

Rochars et al. (2004) melihat prevalensi dan intensitas infeksi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan hookworm setelah 2 putaran program eliminasi filariasis di Leogane, Haiti. Prevalensi sebelum program yaitu 20,9%, 34,0% dan 11,2% sedangkan prevalensi setelah program dapat mencapai level lebih rendah yakni 14,1%, 14,6% dan 2,0%. Begitu pula dengan intensitas infeksi dari ketiga parasit tersebut mencapai intensitas lebih rendah dibanding sebelum program.

Timothy et al. (2014) melakukan studi perbandingan prevalensi infeksi intestinal helminth pada anak-anak di daerah pedesaan dan pinggiran kota Gwarda Nigeria. Peneliti menghitung prevalensi lima intestinal helminth yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, hookworm, Taenia sp dan Schistosoma mansoni. Tidak ada hubungan yang signifikan antara prevalensi dengan lokasi.

Odu et al. (2013) juga melakukan penelitian tentang prevalensi infeksi

intestinal helminth pada anak sekolah dasar di daerah pedesaan dan pinggiran kota

Nigeria. Peneliti menghubungkan lokasi wilayah, sumber air bersih, jenis jamban

dan pekerjaan orang tua terhadap prevalensi infeksi STH. Terdapat perbedaan

yang signifikan antara lokasi, jenis sumber air bersih, jenis jamban dan pekerjaan

orang tua terhadap prevalensi infeksi STH.

(11)

Ngonjo et al. (2012) melakukan penelitian tentang prevalensi dan intensitas Ascaris lumbricoides, hookworm, Trichuris trichiura, Schistosoma mansoni dan Entamoeba histolytica pada anak usia sekolah di Desa Thika, Kenya.

Peneliti melakukan penelitian di wilayah pinggiran kota, perkotaan, tempat kumuh dan pedesaan. Infeksi Ascaris lumbricoides dan Entamoeba histolytica lebih tinggi di wilayah kumuh dan pedesaan dibandingkan wilayah pinggiran kotadan perkotaan sedangkan infeksi hookworm lebih tinggi di wilayah pedesaan dan pinggiran kota dibandingkan wilayah kumuh dan perkotaan.

Kamalu et al. (2013) melakukan studi cross-sectional pada anak usia kurang dari 10 tahun hingga dewasa usia 26 tahun di wilayah pedesaan dan perkotaan Nigeria. Parasit usus yang dievaluasi antara lain Ascaris lumbricoides, hookworm, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, Schistosoma mansoni, Taenia sp dan Hymenolepis nana. Anak yang tinggal di wilayah pedesaan lebih banyak yang terinfeksi dibandingkan anak yang tinggal di wilayah perkotaan (46,0% dan 40,0%).

I.5. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian adalah sebagai berikut :

1. Dapat menjadi sumber informasi epidemiologi terkait prevalensi dan intensitas infeksi STH pada anak usia sekolah dasar yang berguna untuk menentukan kebijakan pengendalian infeksi STH.

2. Dapat menjadi acuan dalam menentukan program pemberantasan kecacingan

sehingga prevalensi kecacingan dapat diturunkan.

(12)

3. Dapat menjadi salah satu pertimbangan penanganan infeksi STH dengan cara

mengintegrasikan program pengendalian kecacingan dengan program

pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis.

Referensi

Dokumen terkait

 Ketosis adalah kondisi yang disebabkan oleh ketidakseimbangan metabolik.Dalam istilah ilmiah itu didefinisikan sebagai akumulasi berlebihan dari badan keton dalam jaringan tubuh

Model ini lolos dari uji asumsi klasik (autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas), dan mempunyai koefisien determinasi yang cukup.. Model

mitra sebagai bagian dari pembekjalan empat kompe- tensi guru professional. 3) melatih mahasiswa dalam menerapkan ilmu penge- tahuan, teknologi, seni, dan budaya untuk

Pada umur 63 Hst pemberian inokulum rhizobium 10 g/kg benih dan jenis pupuk kandang ayam memberikan hasil jumlah bintil akar lebih tinggi dan berbeda nyata

Penjualan produk jasa konsultan pajak Indoran,, selain dipasarkan melalui personal selling, promosi yang dilakukan yaitu dengan

Berdasarkan hal tersebut maka pertanyaan penelitian yang akan di jawab pada penelitian ini adalah: “Bagaimanakah hubungan antara komunikasi terapeutik

Uji Toksisitas Sub-kronik Ekstrak Etanol Tali Putri ( Cassytha filiformis L.) terhadap Tikus Putih Jantan. Padang:

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk menganalisis pengelolaan modal kerja, struktur modal dan profitabilitas pada industri pulp & paper yang terdaftar di