• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

III.1 Data Geokimia

Dengan menggunakan data geokimia yang terdiri dari data kimia manifestasi air panas, data kimia tanah dan data udara tanah berbagai paramater pengembangan paramater sumber daya panas bumi dapat ditentukan.

III.1.1 Kimia Air Panas

Pada daerah penelitian terdapat 5 mata air panas, yaitu: MAP Lombok 1 (APDR- 1), MAP Lombok 2 (APDR-2), MAP Lombok 3 (APDR-3), MAP Lombok 4 (APDR-4), dan MAP Talang Kedu (APDRTK).

III.1.1.1 Kesetimbangan Ion

Sebelum melakukan pengolahan data kimia yang ada, data yang ada harus diolah dengan menggunakan metoda kesetimbangan ion, yaitu metoda yang ditujukan untuk mengetahui tingkat keseimbangan antara ion kation dengan ion anion yang ada pada sampel air panas. Data dikatakan baik apabila nilai keseimbangan antara ion kation dengan ion aniondi bawah 5 %.

Dari perhitungan (terlampir pada tabel 3.2-3.4) yang dilakukan terhadap mata air

panas yang ada, hasil yang didapat adalah semua mata air panas memiliki kualitas

yang baik dikarenakan harga kesetimbangan ion dari air kelima air panas tersebut di

bawah 5%.

(2)

Tabel 3.1 Data Kimia Air Panas (Pusat Sumber Daya Geologi, 2004 b)

L O K A S I pH Na K Li Ca Mg Fe HCO 3 Cl SO 4 B F SiO 2

(25

o

C) (mg/kg)

APDR-1 6.90 191.97 16.67 0.34 34.80 9.40 0.01 649.91 8.00 40.00 0.36 0.00 113.66

APDR-2 7.40 191.97 28.34 0.36 76.70 33.40 0.04 501.40 103.44 175.30 2.26 0.00 149.59

APDR-3 7.50 156.26 20.00 0.27 68.40 25.20 0.02 409.07 103.45 135.80 1.67 0.00 128.03

APDR-4 7.00 282.07 43.34 0.44 94.02 34.06 0.22 521.85 187.06 266.65 2.86 0.50 176.95

APDRTK 7.10 340.61 10.60 0.59 124.30 52.70 0.01 610.59 407.73 220.56 5.29 0.00 169.85

(3)

Tabel 3.2 Data Analisis Kation Air Panas

Tabel 3.3 Data Analisis Anion Air Panas Tabel 3.4 Data Kesetimbangan Ion Kation

Kode Contoh

Fe

+2

(meq)

Ca

+2

(meq)

Mg

+2

(meq)

Na

+

(meq)

K

+

(meq)

Li

+

(meq)

Kation Total (meq) APDR-1 0.0004 1.74 0.78 8.35 0.43 0.05 11.35 APDR-2 0.0014 3.84 2.78 8.35 0.73 0.05 15.74 APDR-3 0.0007 3.42 2.10 6.79 0.51 0.04 12.87 APDR-4 0.0079 4.70 2.84 12.26 1.11 0.06 20.99 APDRTK 0.0004 6.22 4.39 14.81 0.27 0.08 25.77

Anion Kode Contoh

F

-

(meq)

Cl

-

(meq)

SO

4-2

(meq)

HCO

3-

(meq)

Anion Total (meq) APDR-1 0.00 0.23 0.83 10.65 11.71 APDR-2 0.00 2.91 3.65 8.22 14.79 APDR-3 0.00 2.91 2.83 6.71 12.45 APDR-4 0.03 5.27 5.56 8.55 19.41 APDRTK 0.00 11.49 4.60 10.01 26.09

Kode

Contoh Ion

Balance

APDR-1 1.60

APDR-2 3.14

APDR-3 1.66

APDR-4 3.91

APDRTK 0.62

(4)

III.1.1.2 Sifat Kimia

Dari data kimia air panas, dapat diinterpretasikan sifat kimia dari masing-masing mata air panas seperti asal reservoar, kemungkinan terjadinya pencampuran dengan air laut atau air tanah, aliran fluida geotermal, tipe batuan, pemanasan uap air (steam heating), daerah permeabel (zona upflow), bahkan mendelineasi daerah potensi panas bumi (Nicholson, 1993).

Schoeller plot

-2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5

Na K Li Ca Mg HCO3 Cl SO4 B SiO2

lo g m g /k g

APDR-1 APDR-2 APDR-3

APDR-4 APDRTK ADSG

Gambar 3.1 Schoeller plot Unsur Kimia Air Panas

Dari hasil pengeplotan gambar 3.1 menunjukkan bahwa pada umumnya

konsentrasi unsur kimia (Na, K, Li, Ca, Mg, HCO 3 , Cl, SO 4 , B, dan SiO 2 ) dari sampel

mata air panas lebih besar dari sampel air dingin. Nilai konsentrasi unsur kimia

terbesar umumnya dimiliki oleh mata air panas APDRTK dan nilai terkecil dimiliki

oleh air dingin ADSG.

(5)

Golongan Netral Silika (SiO 2 )

Menurut Nicholson (1993), pada umumnya konsentrasi SiO 2 dalam fluida geotermal adalah kurang dari 700 mg/kg dan di beberapa tempat 100 – 300 mg/kg.

Semakin tinggi konsentrasi silikanya fluida diperkirakan berasal langsung dari reservoar. Konsentrasi silika pada kelima air panas di daerah Danau Ranau berkisar dari 113 – 177 mg/kg dengan kecenderungan nilai konsentrasi semakin tinggi dari APDR-1 ke APDRTK, hal ini menandakan bahwa semakin ke arah utara, fluida berasal langsung dari reservoar.

Boron (B)

Pada umumnya konsentrasi unsur ini di mata air panas ataupun sumur bor adalah sebesar 10 – 50 mg/kg, tetapi konsentrasi tinggi hingga 800 – 1000 mg/kg dapat terjadi oleh karena adanya asosiasi fluida dengan batuan sedimen yang kaya akan bahan-bahan organik. Bila batuan sampingnya berupa batuan beku, maka konsentrasi B akan lebih tinggi pada batuan yang berupa batuan andesitik ataupun riolitik dibandingkan dengan batuan basaltik (Nicholson, 1993). Rasio Cl/B sering digunakan sebagai indikasi kesamaan sumber reservoar (Nicholson, 1993). Perhitungan rasio- rasio yang ada menggunakan rumus atomic or molecular ratio (lihat lampiran).

Kode Contoh

Cl (mg/kg)

B (mg/kg)

Cl / B

APDR-1 8.00 0.36 6.78 APDR-2 103.44 2.26 13.96 APDR-3 103.45 1.67 18.89 APDR-4 187.06 2.86 19.94 APDRTK 407.73 5.29 23.50

Tabel 3.5 Data Ratio Atomik Cl / B

Dari hasil perhitungan di atas terlihat bahwa air panas Lombok 2 (APDR-2), air

panas Lombok 3 (APDR-3), air panas Lombok 4 (APDR-4) dan air panas Talang

Kedu (APDRTK) memiliki rasio yang hampir sama besar, sehingga dapat

disimpulkan bahwa keempat mata air panas tersebut merupakan fluida yang berasal

(6)

Bila dilihat pada diagram segitiga Cl-Li-B, semua mata air panas kecuali APDR-1 relatif mengelompok dengan tren yang sama sehingga dapat disimpulkan keempat mata air panas tersebut berasal dari reservoar yang sama. Untuk APDR-1 diperkirakan fluidanya berasal dari reservoar yang sama tetapi telah terjadi proses induksi akibat perubahan litologi ataupun adsorpsi B oleh mineral lempung selama aliran lateral (lihat gambar 3.4 dan tabel rasio 3.5).

Golongan Kation

Sodium dan Potasium (Na dan K)

Dalam fluida geotermal, pada umumnya Na merupakan kation utama dan K merupakan unsur kation utama setelah Na. Menurut Nicholson (1993), rasio Na/K berguna untuk mengetahui zona temperatur tinggi. Rasio dibawah 15 merupakan indikasi bahwa fluida yang berada di permukaan karena adanya proses transportasi dalam waktu yang relatif singkat, dimana hal ini dimungkinkan oleh adanya asosiasi dengan struktur / zona permeabel ataupun merupakan suatu upflow.

Kode Contoh

Na (mg/kg)

K (mg/kg)

Na / K

APDR-1 191.97 16.67 19.54 APDR-2 191.97 28.34 11.50 APDR-3 156.26 20.00 13.26 APDR-4 282.07 43.34 11.05 APDRTK 340.61 10.60 54.53

Tabel 3.6 Data Rasio Atomik Na / K

Dari perhitungan pada tabel di atas, terlihat bahwa mata air panas APDR-2,

APDR-3, dan APDR-4 memiliki rasio lebih rendah dari 15, yang berarti bahwa ketiga

mata air panas tersebut mengindikasikan bahwa fluida yang berada di permukaan

dipengaruhi oleh proses transportasi dalam waktu yang relatif singkat atau berasosiasi

dengan zona upflow. Sedangkan mata air panas APDRTK dan APDR-1 memiliki

rasio lebih tinggi dari 15 yang berarti mata air panas tersebut telah dipengaruhi oleh

proses transportasi yang lebih berarti.

(7)

Litium (Li)

Oleh Nicholson (1993), konsentrasi unsur ini memiliki hubungan terbalik dengan migrasi fluida menuju permukaan dan aliran lateral. Pada umumnya konsentrasi unsur ini di permukaan < 20 mg/kg. Bila batuan sekitarnya berupa batuan sedimen yang kaya akan unsur organik maka konsentrasi unsur ini di permukaan dapat mencapai 20 mg/kg, namun apabila batuan sekitarnya berupa batuan beku, maka akan memberikan konsentrasi yang berbeda pula dan tentu saja lebih rendah. Untuk batuan andesitik dan riolitik, akan diindikasikan dengan konsentrasi Li berkisar 1 – 10 mg/kg, sedangkan untuk batuan beku basaltik berkisar < 0.1 mg/kg (Ellis, 1979 op.cit. Nicholson, 1993).

Di dekat permukaan Li akan berasosiasi dengan klorida (Cl) dan kuarsa (SiO 2 ) dan mungkin dengan mineral lempung yang menyebabkan unsur litium akan berkurang sehingga rasio B/Li akan meningkat seiring dengan jauhnya transportasi fluida geotermal (Duchi, et al., 1987 op.cit. Nicholson, 1993).

Kode Contoh

B (mg/kg)

Li (mg/kg)

B / Li

APDR-1 0.36 0.34 0.68 APDR-2 2.26 0.36 4.03 APDR-3 1.67 0.27 3.97 APDR-4 2.86 0.44 4.17 APDRTK 5.29 0.59 5.76

Tabel 3.7 Data Rasio Atomik B / Li

Dari perhitungan pada tabel di atas, terlihat bahwa nilai Li berkisar antara 0.1 dan 1 mg/kg yang menunjukkan litologi bawah permukaannya dapat berupa batuan beku andesitik atau basaltik, hal ini didukung oleh data geologi dimana litologi daerah penelitian memiliki litologi yang bervariasi dari lava basaltik hingga lava andesitik.

Dari nilai rasio B/Li terlihat bahwa nilainya semakin meningkat dari APDR-1 ke

APDRTK, hal ini menunjukkan bahwa semakin ke arah utara proses interaksi antara

fluida dengan batuan samping atau aliran lateral semakin berpengaruh.

(8)

Kalsium (Ca)

Menurut Nicholson (1993), konsentrasi Ca akan rendah (< 50 mg/kg) di temperatur tinggi, dan akan meningkat seiring dengan salinitas dan keasaman fluida.

Rasio Na/Ca dapat mengindikasikan zona upflow, dengan nilai rasio tinggi memberi arti bahwa fluida yang termanifestasikan di permukaan merupakan fluida langsung (direct fluid) yang berasal dari reservoar.

Kode Contoh

Na (mg/kg)

Ca (mg/kg)

Na / Ca

APDR-1 191.97 34.80 9.59 APDR-2 191.97 76.70 4.35 APDR-3 156.26 68.4 3.97 APDR-4 282.07 94.02 5.22 APDRTK 340.61 124.3 4.77

Tabel 3.8 Data Rasio Atomik Na / Ca

Dari perhitungan rasio Na/Ca, terlihat bahwa nilai memiliki kecenderungan semakin menurun dari APDR-1 ke APDRTK, hal ini mengindikasikan bahwa fluida yang terkena pengaruh aliran lateral ataupun interaksi dengan batuan samping semakin meningkat ke arah utara.

Magnesium (Mg)

Dalam fluida geotermal bertemperatur tinggi, Mg akan didapati dalam konsentrasi yang sangat rendah, yaitu berkisar 0.01 – 0.1 mg/kg (Nicholson,1993). Bila konsentrasi Mg tinggi maka hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi reaksi pencucian Mg dari batuan sekitar atau adanya pelarutan (dilution) dengan air tanah yang relatif memiliki konsentrasi Mg yang lebih tinggi. Rasio Cl / Mg yang mencapai 10 mg/kg dapat mengindikasikan adanya proses pencampuran (mixing) fluida geotermal dengan air laut. Sedangkan rendahnya rasio Mg / Ca atau tingginya rasio Na / Mg dapat menjadi indikasi zona upflow.

Kode Contoh

Cl (mg/kg)

Mg (mg/kg)

Na (mg/kg)

Ca

(mg/kg) Cl / Mg Mg / Ca Na / Mg APDR-1 8.00 9.40 34.8 34.8 0.58 0.44 3.92 APDR-2 103.44 33.4 76.7 76.7 2.12 0.72 2.43 APDR-3 103.45 25.2 68.4 68.4 2.82 0.61 2.87 APDR-4 187.06 34.06 94.02 94.02 3.77 0.60 2.92 APDRTK 407.73 52.7 124.3 124.3 5.31 0.70 2.50

Tabel 3.9 Data Rasio Atomik Cl / Mg, Mg / Ca, Na / Mg

(9)

Dari tabel data kimia air, didapat bahwa konsentrasi Mg pada kelima air panas lebih tinggi dari 0.1 mg/kg. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi dua kemungkinan proses pencucian dan pelarutan terhadap fluida geotermal. Dari rasio Cl / Mg, keseluruhan data di atas mengindikasikan tidak adanya kemungkinan terjadinya pencampuran dengan air laut. Dan untuk rasio Mg / Ca terlihat bahwa nilai cenderung meningkat dari APDR-1 ke APDRTK dan dari rasio Na / Mg terlihat bahwa nilai cenderung menurun dari APDR-1 ke APDRTK yang menandakan bahwa aliran lateral ataupun interaksi dengan batuan samping akibat proses transportasi semakin meningkat pengaruhnya ke arah utara.

Golongan Anion Fluor (F)

Kandungan F dalam fluida geotermal pada umumnya adalah kurang dari 10 mg/kg. Hal ini dipengaruhi oleh reaksi antara fluida dengan batuan. Konsentrasi F yang rendah biasanya menjadi indikasi temperatur tinggi, dan pada umumnya akan berasosiasi dengan konsentrasi kalsium (Ca) yang tinggi (Nicholson, 1993).

Konsentrasi F yang tinggi pada umumnya terletak di area batuan vulkanik, seperti pumice dan obsidian (Mahon, 1964 op.cit. Nicholson, 1993).

Dari tabel data kimia air, tertera bahwa konsentrasi F pada umumnya rendah, kurang dari 1 mg/kg sehingga dapat mengindikasikan sistem panas bumi daerah penelitian bertemperatur tinggi.

Klorida (Cl)

Konsentrasi yang tinggi dari Cl mengindikasikan bahwa air panas yang ada merupakan suatu manifestasi dengan proses pencampuran dan pendinginan konduktif yang minimal. Namun apabila konsentrasi Cl rendah, maka hal tersebut merupakan karakterisasi dari proses pencampuran (dilusi) dengan air tanah (Nicholson, 1993).

Dari tabel 3.1, tertera bahwa konsentrasi klorida yang lebih dari 100 mg/kg

hampir semua (kecuali APDR-1) dan nilainya cenderung meningkat dari APDR-1 ke

APDRTK, sehingga dapat disimpulkan bahwa air panas tersebut merupakan suatu

manifestasi dengan proses pencampuran dan pendinginan konduktif yang minimal.

(10)

Bikarbonat (HCO 3 )

Reaksi dari fluida reservoar dengan batuan samping menyebabkan terbentuknya HCO 3 , dimana konsentrasinya dipengaruhi oleh permeabilitas dan aliran lateral. Oleh karena itu manifestasi upflow akan cenderung memiliki konsentrasi HCO 3 yang rendah. Aliran yang jauh dari zona upflow akan memiliki kesempatan yang lebih untuk berinteraksi dengan batuan samping dan oleh karenanya dapat menyebabkan konsentrasi HCO 3 akan meningkat dan akan kehilangan H 2 S, sehingga rasio HCO 3 / SO 4 yang tinggi akan jadi indikasi aliran lateral yang menjauhi zona upflow, atau dengan kata lain indikasi manifestasi outflow. Sedangkan untuk rasio Cl / HCO 3 yang semakin tinggi menunjukkan indikasi aliran lateral semakin berkurang pengaruhnya (Nicholson, 1993).

Kode Contoh

HCO

3

(mg/kg)

SO

4

(mg/kg)

Cl (mg/kg)

HCO

3

/ SO

4

Cl / HCO

3

APDR-1 649.91 40.00 8.00 25.57 0.02 APDR-2 501.4 175.30 103.44 4.50 0.35 APDR-3 409.07 135.80 103.45 4.74 0.44 APDR-4 521.85 266.65 187.06 3.08 0.62 APDRTK 610.59 220.56 407.73 4.36 1.15

Tabel 3.10 Data Rasio Molekular HCO

3

/ SO

4

dan Cl / HCO

3

Dari tabel perhitungan di atas, jelas terlihat bahwa nilai rasio HCO 3 / SO 4

cenderung menurun dari APDR-1 ke APDRTK dan nilai rasio Cl / HCO 3 cenderung meningkat dari APDR-1 ke APDRTK yang menandakan bahwa semakin ke arah utara pengaruh proses aliran lateral ataupun interaksi dengan batuan samping semakin meningkat.

Sulfat (SO 4 )

Konsentrasi SO 4 biasanya rendah untuk fluida geotermal yang berada di reservoar (< 50 mg/kg) dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya proses oksidasi H 2 S.

Bila konsentrasi SO 4 tinggi pada manifestasi permukaan, maka hal tersebut merupakan hasil dari kondensasi uap air di permukaan (Nicholson, 1993).

Dari tabel 3.1, terlihat bahwa nilai konsentrasi SO 4 cenderung meningkat dari

APDR-1 ke APDRTK yang menandakan bahwa proses kondensasi uap air semakin

dominan terjadi ke arah utara yang berarti bahwa semakin ke utara semakin

mendekati zona upflow.

(11)

Dari sifat kimia dan perhitungan rasio terlihat kesimpulan yang berbeda dimana dari perhitungan SiO 2 dan SO 4 semakin ke arah utara air panas berasal dari reservoar langsung atau berasosiasi dengan zona upflow, sementara dari perhitungan rasio B/Li, Na/Ca, Na/Mg, Mg/Ca dan HCO 3 /SO 4 semakin ke arah utara proses interaksi atau pengaruh aliran lateral semakin dominan, hal ini dapat saja terjadi karena fluida yang berasal dari reservoar muncul sebagai mata air panas tersebut naik ke permukaan dan mengalami proses interaksi baik dengan air meteorik ataupun dengan batuan yang berbeda-beda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar proses arah aliran outflow yang terjadi ialah berdasarkan konsentrasi SiO 2 dan diaram Cl-Li-B yang menyatakan bahwa arah aliran berarah relatif dari utara ke selatan.

III.1.1.3 Tipe Air Panas

Data kimia yang diperlukan dalam penentuan tipe air panas adalah kandungan relatif klorida (Cl), bikarbonat (HCO 3 ), dan sulfat (SO 4 ).

Kode Contoh

Cl (mg/kg)

SO

4

(mg/kg)

HCO

3

(mg/kg)

Total

(Cl + SO

4

+ HCO

3

)

% Cl

(Cl/Total x 100%)

% SO

4

(SO

4

/Total

x 100%)

% HCO

3

(HCO

3

/Total

x 100%)

APDR-1 8.00 40.00 649.91 697.91 1.15 5.73 93.12 APDR-2 103.44 175.30 501.40 780.14 13.26 22.47 64.27 APDR-3 103.45 135.80 409.07 648.32 15.96 20.95 63.10 APDR-4 187.06 266.65 521.85 975.56 19.17 27.33 53.49 APDRTK 407.73 220.56 610.59 1238.88 32.91 17.80 49.29

Tabel 3.11 Tabel Persentase Cl-SO

4

-HCO

3

Dari hasil pengolahan data di atas didapat bahwa semua mata air panas memiliki anion utama berupa HCO 3 dan kandungan Cl lebih rendah dibandingkan SO 4

sehingga semua mata air panas tersebut digolongkan bertipe air bikarbonat.

Selain itu, terlihat juga bahwa mata air panas tersebut memiliki tren tertentu (garis

panah pada gambar 3.2) yang menandakan bahwa telah terjadi proses-proses tertentu

yang semakin dominan dari APDRTK ke APDR-1 seperti proses pencucian, pelarutan

ataupun transportasi pada air panas tersebut sehingga menyebabkan perubahan

konsentrasi dari Cl, SO 4 dan HCO 3 .

(12)

Gambar 3.2 Diagram segitiga Cl-SO

4

-HCO

3

III.1.1.4 Temperatur Reservoar

Untuk perhitungan temperatur reservoar metoda yang digunakan adalah geotermometer Na-K-Mg, Na-K-Ca, Na-K (Fournier), Na-K (Giggenbach) serta K- Mg, kuarsa adiabatik dan kuarsa konduktif.

Digunakannya metoda Na-K-Mg oleh karena merupakan penggabungan dua persamaan geotermometer yang berbeda, yaitu Na-K dan K-Mg, dimana Na-K mewakili proses kesetimbangan reaksi di dalam reservoar yang lambat, sedangkan K- Mg untuk proses kesetimbangan reaksi yang cepat pada daerah yang mendekati permukaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa geotermometer ini sangat ideal untuk mengevaluasi kondisi reservoar maupun di dekat permukaan (Lawless, 1996).

Untuk perhitungan geotermometer Na-K-Mg, data kimia yang diperlukan adalah komposisi kimia dari natrium (Na), kalium (K) dan magnesium (Mg) untuk tiap mata air panas, kemudian data tersebut akan diplot pada diagram segitiga.

Proses-proses

kondensasi uap

semakin dominan

(13)

Tabel 3.12 Tabel Persentase Na/400-K/10-√Mg Kode

Contoh

Na (mg/kg)

K (mg/kg)

Mg (mg/kg)

Na / 400 (mg/kg)

K / 10

(mg/kg) √Mg (mg/kg)

Total (Na/400 + K/100 +√Mg)

%Na/400 (Na/400 / Total x

100%)

%K/10 (K/10 / Total x 100%)

%√Mg (√Mg / Total x 100%)

APDR-1 191.97 16.67 9.40 0.48 1.67 3.07 5.22 9.21 31.98 58.81

APDR-2 191.97 28.34 33.40 0.48 2.83 5.78 9.09 5.28 31.17 63.55

APDR-3 156.26 20.00 25.20 0.39 2.00 5.02 7.41 5.27 26.99 67.74

APDR-4 282.07 43.34 34.06 0.71 4.33 5.84 10.88 6.48 39.85 53.67

APDRTK 340.61 10.60 52.70 0.85 1.06 7.26 9.17 9.28 11.56 79.16

(14)

Gambar 3.3 Geotermometer K-Na-Mg

Dari pengolahan di atas (gambar 3.3), didapat bahwa semua mata air panas tergolong dalam immature waters, yang artinya air dari sistem geotermal yang tidak mengalami kesetimbangan. Dikarenakan hasil pengeplotan kelima mata air panas terletak berada di daerah immature sehingga cukup sulit untuk mengetahui temperatur reservoar dari tiap manifestasi air panas yang ada, maka dilakukan perhitungan terpisah dengan menggunakan geotermometer K-Na dan K-Mg.

T ( 0 C) Fournier(1979) = (1217 / (log (Na/K) + 1.483)) – 273

T ( 0 C) Giggenbach(1988) = (1390 / (log (Na/K) + 1.75)) – 273

(15)

Kode Contoh

Na (mg/kg)

K (mg/kg)

Na / K Log Na/K

T Na-K

(Giggenbach) (

0

C)

T Na-K

(Fournier) (

0

C) APDR-1 191.97 16.67 11.52 1.06 221 205 APDR-2 191.97 28.34 6.77 0.83 266 253 APDR-3 156.26 20.00 7.81 0.89 253 239 APDR-4 282.07 43.34 6.51 0.81 269 257 APDRTK 340.61 10.60 32.13 1.51 154 134

Tabel 3.13 Tabel Geotermometer Na-K

Selain perhitungan dengan menggunakan geotermometer K-Na, temperatur reservoar juga dapat dihitung dengan menggunakan geotermometer K-Mg. Berikut ini adalah rumus yang digunakan dalam perhitungan :

Kode Contoh

K (mg/kg)

Mg (mg/kg)

K

2

/Mg log

K

2

/Mg

T K-Mg (

0

C) APDR-1 16.67 9.40 29.56 1.47 79 APDR-2 28.34 33.40 24.05 1.38 76 APDR-3 20.00 25.20 15.87 1.20 72 APDR-4 43.34 34.06 55.15 1.74 87 APDRTK 10.60 52.70 2.13 0.33 50

Tabel 3.14 Tabel Geotermometer K-Mg

Sebagai pembanding digunakan metoda Na-K-Ca. Pengukuran temperatur reservoar dengan metoda Na-K-Ca yang dihitung menggunakan rumus dibawah ini :

Keterangan:

Na, K dan Ca = konsentrasi Na, K, Ca dalam mg/kg β=4/3 apabila T°C < 100°C

β=1/3 apabila T°C > 100°C

T Na-K-Ca ( 0 C) Fournier = 1647 / {(log (Na/K) + β [log (√Ca/Na)+2.06] + 2.47)} – 273.15

T ( 0 C) = (4410 / (14 - log (K 2 /Mg))) – 273

(16)

Kode

Contoh Na (mg/kg)

K (mg/kg)

Ca

(mg/kg) Na / K Log

Na / K

√(Ca √Ca/Na Log

√Ca/Na T (

0

C)

Na-K-Ca

APDR-1 191.97 16.67 34.80 11.52 1.06 5.90 0.03073 -1.51 170 APDR-2 191.97 28.34 76.70 6.77 0.83 8.76 0.045621 -1.34 192 APDR-3 156.26 20.00 68.40 7.81 0.89 8.27 0.052927 -1.28 181 APDR-4 282.07 43.34 94.02 6.51 0.81 9.70 0.034376 -1.46 200 APDRTK 340.61 10.60 124.30 32.13 1.51 11.15 0.032732 -1.49 122

Tabel 3.15 Tabel Geotermometer Na-K-Ca

Dari hasil perhitungan terlihat temperatur berkisar 120 hingga 200 o C. Namun metoda ini tidak dapat digunakan bila komposisi fluidanya telah jauh berubah atau bertipe air bikarbonat (Fournier, 1989 op.cit. Nicholson, 1993).

Selain metoda K-Na dan K-Mg sebagai pembanding dalam mengetahui suhu reservoar, metoda geotermometer kuarsa perlu dilakukan oleh karena dalam pengukuran temperatur metoda ini sudah mempertimbangkan adanya proses pelarutan (dilution) dan pendidihan (boiling) yang pada umumnya merupakan proses yang sering dialami oleh fluida selama perjalanannya menuju permukaan.

Metoda kuarsa yang digunakan adalah kalsedon, adiabatik (Qad) dan konduktif (Qc). Syarat penggunaan metoda ini ialah sampel air panas bertipe air klorida dengan debit air lebih dari 2 kg/s, bila temperatur air panas >80 o C (boiling) digunakan metoda adiabatik, bila sub-boiling digunakan metoda konduktif. Dalam perhitungannya metoda ini menggunakan rumus berikut :

Kode Contoh

SiO

2

(mg/L) Log SiO2 T Qad (

0

C)

T Qc (

0

C)

T Kalsedon (

0

C) APDR-1 113.66 2.06 139 145 119 APDR-2 149.59 2.17 153 161 137 APDR-3 128.03 2.11 145 152 127 APDR-4 176.95 2.25 162 172 150 APDRTK 169.85 2.23 159 169 147

Tabel 3.16 Tabel Geotermometer Kuarsa

T Qad( 0 C) = (1522 / (5.75 – log SiO 2 )) – 273

T Qc ( 0 C) = (1309 / (5.19 – log SiO 2 )) – 273

T Qkals ( 0 C) = (1032 / (4.69 – log SiO 2 )) – 273

(17)

Namun data temperatur yang didapat dari perhitungan metoda geotermometer kuatsa di atas tidak dapat digunakan oleh karena semua air panas yang ada bukan bertipe air klorida, debit air yang rendah (kurang dari 2 kg/s) dan bersifat immature, hal ini terlihat dari kandungan Mg relatif lebih tinggi dibandingkan kandungan relatif K dan Na.

Kode Contoh

T (

0

C)

Na-K-Ca

T Na-K (Giggenbach)

(

0

C)

Na-K (Fournier)

(

0

C)

T K-Mg

(

0

C)

T Qad (

0

C)

T Qc (

0

C)

APDR-1 170 221 205 79 139 145

APDR-2 192 266 253 76 153 161

APDR-3 181 253 239 72 145 152

APDR-4 200 269 257 87 162 172

APDRTK 122 154 134 50 159 169

Tabel 3.17 Tabel Perhitungan Geotermometer

Dari kelima metoda yang digunakan untuk menghitung temperatur reservoar maka temperatur yang dijadikan acuan adalah temperatur yang digunakan oleh metoda K- Na, karena metoda tersebut tidak dipengaruhi oleh proses pelarutan, pencucian dan sebagainya.

Kemunculan mineral alterasi berupa haloisit, paragonit, ilit dan smektit yang merupakan mineral dari zona alterasi argilik menunjukkan nilai fluida panas bumi antara 120-250 o C (lihat lampiran). Dari hasil tabel perhitungan geotermometer (tabel 3.17), nilai temperatur yang dapat digunakan ialah nilai temperatur dari mata air panas APDR-4, karena mata air panas tersebut memiliki nilai temperatur air panas dan debit air yang lebih besar dibandingkan mata air panas lainnya, serta dijumpainya endapan sinter travertin sehingga diasumsikan mata air panas APDR-4 dapat mewakili keadaan reservoar. Nilai temperatur reservoar sistem panas bumi daerah Danau Ranau diperkirakan sekitar 250 o C.

II.1.1.6 Asal Air Panas

Data kimia yang diperlukan dalam penentuan asal fluida reservoar adalah

kandungan klorida (Cl), litium (Li), dan boron (B). Kemudian dari data kandungan

kimia tersebut untuk setiap mata air panas yang ada diplot dalam diagram segitiga.

(18)

Kode Contoh

Cl (mg/kg)

Li (mg/kg)

B (mg/kg)

Cl / 100 (mg/kg)

2Li (mg/kg)

B / 5 (mg/kg)

Total

(Cl/100+2 Li+B/5)

% Cl/100

% 2Li

% B/5

APDR-1 8.00 0.34 0.36 0.08 0.68 0.07 0.83 9.62 81.73 8.65 APDR-2 103.44 0.36 2.26 1.03 0.72 0.45 2.21 46.88 32.63 20.49 APDR-3 103.45 0.27 1.67 1.03 0.54 0.33 1.91 54.20 28.29 17.50 APDR-4 187.06 0.44 2.86 1.87 0.88 0.57 3.32 56.30 26.49 17.22 APDRTK 407.73 0.59 5.29 4.08 1.18 1.06 6.32 64.56 18.68 16.75

Tabel 3.18 Tabel Persentase Cl-Li-B

Gambar 3.4 Diagram segitiga Cl/100-2Li-B/5

Dari hasil pengeplotan gambar 3.4 kandungan relatif Cl, Li, dan B di atas dari mata air panas yang ada pada daerah penelitian menunjukkan bahwa kandungan Cl relatif lebih tinggi dibandingkan kandungan Li dan B, yang mengindikasikan bahwa air panas yang ada berasal dari aktivitas vulkano magmatik yang mengalami proses pencucian batuan samping yang berupa batuan beku dan batuan piroklastik dan bukan dari pengaruh akibat batuan samping yang berupa batuan sedimen. Pengaruh proses tersebut terlihat semakin tinggi dari APDRTK ke APDR-1.

Proses interaksi air-batuan

semakin dominan

(19)

III.1.2 Kimia Merkuri Tanah dan CO 2 Udara Tanah

Dalam pengukuran tanah dan udara tanah oleh Pusat Sumber Daya Geologi (2004 b) dilakukan pengukuran kandungan pada unsur merkuri dalam tanah dan pada senyawa karbon dioksida (CO 2 ) dalam udara tanah. Selain itu dilakukan juga pengukuran temperatur tanah dan pH tanah untuk mengetahui distribusi dari temperatur dan pH pada permukaan.

III.1.3.1 Sebaran Temperatur Tanah

Oleh Pusat Sumber Daya Geologi (2004 b) temperatur tanah diukur pada horison B, dan didapat temperatur tanah berkisar antara 23.0 hingga 34.6 0 C (gambar 3.5).

III.1.3.2 Sebaran pH

Oleh Pusat Sumber Daya Geologi (2004 b) pH tanah diukur pada horison B dengan menggunakan pHmeter digital, dan dari hasil pengukuran langsung menunjukkan bahwa sebagian besar daerah penelitian memiliki pH netral antara 7.10 – 7.90 (gambar 3.6).

III.1.3.3 Sebaran CO 2

Penyebaran CO 2 dimaksudkan untuk mengetahui daerah permeabel yang menunjukkan keterdapatan rembesan fluida panas di permukaan. Oleh Pusat Sumber Daya Geologi (2004 b) sampel udara tanah berupa CO 2 ini diambil dari kedalaman ± 1 meter kemudian nilainya ditentukan dengan kromatograf gas. Kandungan CO 2 pada daerah penelitian berkisar antara 0.03 – 1.95 %, dengan harga ambang 0.70 % (perhitungan menggunakan metoda statistik lihat lampiran). Kandungan gas CO 2

terbesar terkonsentrasi di daerah bagian Pesisir Tengah (gambar 3.7) sehingga diinterpretasikan daerah ini merupakan zona permeabel.

III.1.3.4 Sebaran Hg

Unsur merkuri dalam fasa uap akan tertransportasi ke permukaan (Nicholson,

1993). Penyebaran Hg ini dimaksudkan untuk mengetahui struktur atau zona aktif

yang terhubung dengan sumber panas. Oleh Pusat Sumber Daya Geologi (2004 b)

(20)

sampel kimia tanah berupa uap merkuri (Hg) ini diambil pada horison B kemudian

dianalisa menggunakan larutan teroksidasi dan didapat nilai kandungan berkisar 10

hingga 802 ppb, dengan harga ambang 450 ppb (perhitungan menggunakan metoda

statistik lihat lampiran). Kandungan Hg terbesar terkonsentrasi di daerah Lombok

hingga Henlarong (gambar 3.8) sehingga diinterpretasikan daerah tersebut merupakan

zona permeabel. Hal ini sesuai karena keterdapatan sesar yaitu sesar Lombok dan

sesar Talang Kedu yang berada pada daerah tersebut yang memungkinkan

membentuk suatu zona yang relatif permeabel.

(21)

Gambar 3.5 Peta Distribusi Temperatur Tanah daerah Danau Ranau

(22)

Gambar 3.6 Peta Distribusi pH daerah Danau Ranau

(23)

Gambar 3.7 Peta Distribusi CO

2

Udara Tanah daerah Danau Ranau

Permeabel

(24)

Gambar 3.8 Peta Distribusi Hg daerah Danau Ranau

250

Permeabel

(25)

III.2 Data Geofisika

Dalam membantu penginterpretasian potensi panas bumi daerah penelitian, maka data geofisika sangat membantu dalam menentukan hal-hal berikut (Gupta & Roy, 2007):

ƒ Keberadaan sumber panas

ƒ Keberadaan zona reservoar

ƒ Zona permeabel dan upflow

Dalam penelitiannya di daerah Danau Ranau, Pusat Sumber Daya Geologi (2004 b) melakukan 3 metoda penelitian geofisika, yaitu : metoda geomagnet, gravitasi, dan geolistrik.

III.2.1 Geomagnet

Dalam ekplorasi geotermal metoda magnetik digunakan untuk mengidentifikasi dan melokalisasi aliran panas yang dapat menurunkan daya kemagnetan batuan. Nilai magnet yang rendah tersebut dapat menginterpretasikan zona-zona potensial sebagai reservoar dan sumber panas.

Hasil dari pengukuran yang dilakukan oleh Pusat Sumber Daya Geologi (2004 b) menghasilkan bahwa zona anomali rendah (-400 gamma) tersebar di daerah Tanjung Rapih dan di daerah barat Gunung Seminung yaitu Talang Kedu (gambar 3.9). Daerah tersebut disusun oleh litologi berupa batuan piroklastik yang terdiri dari tuf dan pumis, dan dilalui oleh Sesar Talang Kedu dan Sesar Lombok.

Dari hasil pengukuran (gambar 3.9) juga terlihat bahwa zona anomali tinggi (>800 gamma) berada di bagian utara Bukit Kawat Kerambal, sehingga untuk sementara dari data geomagnet ini daerah tersebut diperkirakan sebagai suatu tubuh intrusi yang dapat menjadi sumber panas dalam sistem geotermal daerah Danau Ranau.

III.2.2 Gravitasi

Survei gravitasi untuk ekplorasi geotermal digunakan untuk menganalisa variasi

densitas batuan arah lateral yang berkolerasi dengan tubuh magmatik, yang dapat

berupa sumber panas. Densitas batuan pada umumnya akan meningkat oleh karena

adanya aliran hidrotermal yang melalui pori batuan, bila diendapkan mineral-mineral

alterasi yang memiliki densitas lebih besar dari mineral primernya di pori batuan

tersebut.

(26)

Nilai gravitasi tinggi (>0 mgal) hampir tersebar di seluruh daerah penelitian (gambar 3.10) hal ini dikarenakan oleh litologi Danau Ranau yang bagian bawahnya merupakan batuan vulkanik tua yang berumur Tersier.

Nilai gravitasi yang rendah (<-10 mgal) berada disekitar Bukit Kawat Kerambal hal ini dapat menunjukkan bahwa pada daerah tersebut terjadi proses alterasi hidrotermal yang membentuk mineral ubahan sehingga densitas batuan yang ada menjadi rendah.

III.2.3 Resistivitas

Metoda resistivitas atau yang dikenal juga dengan tahanan jenis digunakan untuk memperkirakan kondisi geologi bawah permukaan yang didasarkan pada distribusi resistivitas mediumnya baik secara lateral maupun vertikal. Dalam ekplorasi geotermal yang dicari adalah nilai tahanan jenis yang relatif rendah, yang menandakan adanya porositas dan saturasi fluida yang tinggi.

Dalam penelitian ini, Pusat Sumber Daya Geologi (2004 b) hanya melakukan metoda ini di barat Gunung Seminung, dikarenakan dianggap sebagai daerah yang memiliki potensi panas bumi.

Dari peta yang ada didapat bahwa daerah bernilai resistivitas rendah (<20 Ωm) dengan warna merah berada di sekitar daerah Lombok (gambar 3.11 - 3.14). Nilai resistivitas yang rendah ini dapat terbentuk karena adanya pengaruh struktur berkembang pada daerah tersebut sehingga memungkinkan fluida mengalir, selain itu litologi yang berupa tuf yang dikenal memiliki porositas baik juga menjadi faktor penentu dalam proses alterasi yang terjadi. Nilai resistivitas sedang (50-200 Ωm) dengan warna hijau diperkirakan menjadi zona reservoar dan berada di bagian barat Gunung Seminung.

Pada penampang resistivitas sebenarnya (gambar 3.15) terlihat adanya warna biru pada penampang yang menunjukkan nilai resistivitas yang rendah (<20 Ωm) yang berpotensi menjadi zona penudung, dimana zona tersebut dijumpai pada kedalaman <

400 m.

(27)

Gambar 3.9 Peta Magnet Total daerah Danau Ranau (Pusat Sumber Daya Geologi, 2004 b)

Sumber

Panas

(28)

Gambar 3.10 Peta Anomali Gaya Berat Sisa daerah Danau Ranau (Pusat Sumber Daya Geologi, 2004 b)

Zona Alterasi

Referensi

Dokumen terkait

tersebut memungkinkan pula pada penggunanya untuk memberi tanda bintang (rating) pada artikel- artikel ilmiah yang paling

Pendidikan laksana jalan yang harus dilalui, sekaligus sebagai interaksi yang komunikatif dan bernilai Ibadah, sehingga perbuatan mendidik dalam pandangan Islam

Metode yang digunakan adalah metode survei dengan mengumpulkan data di lapangan tentang tingkat pelayanan lalu lintas (LOS) jalan Diponegoro Kota Tegal sebelum dan

ara pemekai laporan keuangan ara pemekai laporan keuangan sekto sektor r publi publik k untuk mena&#34;sir untuk mena&#34;sirkan kan in&#34;or in&#34;ormassi yang massi yang

Apabila, selama Periode Pertanggungan, pada saat Tertanggung melakukan suatu Perjalanan, Tertanggung mendapat Cidera Badan atau Penyakit di luar negeri, maka Perusahaan akan

Pelayanan Informasi (Badan Publik) membuat laporan bulanan hasil pelaksanaan tugas pelayanan informasi publik untuk disampaikan kepada Pejabat Pengelola Informasi

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah yang sangat luar biasa sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan baik yang