• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Nilai dan Pembelajaran Berkua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan Nilai dan Pembelajaran Berkua"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PENDIDIKAN NILAI DAN PEMBELAJARAN BERKUALITAS

Diajukan untuk Memenuhi Salah satu Tugas Pendidikan Nilai dalam Kimia

Dosen : Dr. Wawan Wahyu, S.Pd, M.Si

KHOMSATUN ROKHYATI Nim. 1302181

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2014

(2)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Rumusan tujuan pendidikan nasional ini menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Dewasa ini, problem remaja terutama pelajar dan mahasiswa adalah mudah marah dan terprovokasi yang tidak terkendali sehingga berujung pada tawuran antar pelajar atau tawuran antar mahasiswa seperti yang sering diberitakan di media massa. Penyalahgunaan obat-obat terlarang dengan berbagai jenisnya, bahkan stigma pelajar saat ini diperparah oleh perilaku penyimpangan sosial yang mereka lakukan dalam bentuk pergaulan bebas (free sex, aborsi, homoseksual, lesbian dan sebagainya). Mereka juga terkesan kurang hormat kepada orangtuanya, guru (dosen), orang yang lebih tua dan tokoh masyarakat. Fenomena bangsa ini dapat diilustrasikan sebagai sosok anak bangsa yang berada dalam kondisi split personality (kepribadian yang pecah, tidak utuh).

Kasus akhir-akhir ini menjadi berita hangat adalah kasus Seorang Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Prof Musakkir yang ditangkap polisi di kamar hotel bersama seorang orang mahasiswi yang tengah berpesta sabu pada Jumat (14/11) dini hari. Penangkapan pria yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unhas ini tentulah mengejutkan banyak pihak. Hal ini semakin membuktikan bahwa hasil pendidikan hanya menghasilkan manusia yang mempunyai kemampuan akademik tinggi namun tidak berkarakter.

Berdasarkan hasil studi longitudinal Nasional terhadap kesehatan remaja tahun 1997, yang mewawancarai lebih dari 12.000 siswa kelas tujuh sekolah menengah atas lintas negeri dan sekolah-sekolah pemasoknya di Amerika, mengidentifikasi dua “faktor pelindung” yang cenderung mencegah para remaja terlibat dalam perilaku berisiko ini. Yang paling penting adalah keterikatan dengan keluarga, perasaan dekat dengan orang tua dan keterikatan dengan sekolah, perasaan dekat dengan orang-orang di sekolah (Resnick dkk dalam Lickona, 2014).

(3)

Anak-anak seperti itu, dalam menjelaskan bagaimana mereka mengatasi berbagai rintangan dalam kehidupan, sering mengutip seorang “guru istimewa” yang bukan hanya sekedar instruktur akademik tetapi juga seorang yang dipercaya dan model peran yang mengilhami.

Menurut Bill Rose dalam Ratnawangi (2004), guru yang galak, merupakan ciri umum guru-guru di Indonesia. Mereka jarang sekali memberi pujian kepada anak, tetapi lebih banyak mengkritik dan memarahi anak. Seringkali terjadi guru mempermalukan anak di depan kelas, memarahi atau bahkan menghukumnya. Selain itu, adanya sistem perangkingan sejak kecil, berhubung hanya segelintir anak yang masuk rangking, maka sebagian besar anak sudah divonis bodoh sejak kecil. Hal ini menyebabkan anak-anak Indonesia menjadi individu-individu yang tidak mempunyai percaya diri, minder, atau malas untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Inilah mungkin yang menjadi salah satu penyebab mengapa kualitas SDM Indonesia menjadi nomor 4 terburuk di Indonesia.

Sikap guru yang demikian juga dikarenakan kesalahan sistem pendidikan yang hanya semata-mata berorientasi mengejar keberhasilan akademik yaitu sistem yang mengejar target kurikulum. Selain itu banyak juga guru yang tidak peduli dengan pembentukan moral anak didiknya. Hal ini dikarenakan Indonesia belum mempunyai pendidikan karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakter (tercermin dari tingkah lakunya). Padahal ada beberapa mata pelajaran yang berisikan pesan-pesan moral, misalnya pelajaran agama, kewarganegaraan dan Pancasila. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran yang dilakukan adalah dengan pendekatan hafalan (kognitif), lebih ditekankan bagaimana memperoleh nilai yang bagus, sedangkan bagaimana dampak mata pelajaran terhadap perubahan perilaku tidak diperhatikan. Sehingga terdapat kesenjangan antara pengetahuan moral (cognition) dan perilaku (action). Misal, semua orang pasti tahu bahwa berbohong dan korupsi itu salah dan melanggar ketentuan agama, tetapi banyak sekali orang yang tetap melakukannya.

(4)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pendidikan Nilai

1. Hakikat Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter memiliki makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral, karena pendidikan tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan,sehingga anak/ peserta didik memiliki kesadaran, dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dapat dikatakan karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang diwujudkan dalam tindakan nyata melalui melalui perilaku baik, jujur, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia lainnya. Dalam konteks pemikiran Islam, karakter berkaitan dengan iman dan ikhsan. Hal ini sejalan dengan ungkapan Aristolteles, bahwa karakter erat kaitannya dengan

(5)

habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan atau diamalkan ( E. Mulyasa, 2011)

Secara etimologi, istilah karakter berasal dari bahasa latin “kharakteri”, “kharassein”, dan “kharax” yang bermakna “tools for marking”, ”to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa Perancis sebagai “caractere” pada abad ke 14. Ketika masuk ke bahasa Inggris , kata “caractere” ini berubah menjadi “character”. Selanjutnya, dalam bahasa Indonesia kata “character” ini menjadi karakter (Dani Setiawan dalam Agus Wibowo dan Hamrin, 2012).

Menurut Thomas Lickona (1992) karakter itu merupakan sifat alami sesorang dalam merespon situasi bermoral. Sifat alami itu dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati dan menghargai orang lain, dan karakter-karakter mulia lainnya.

Ki Hadjar Dewantara (dalam Agus Wibowo dan Hamrin, 2012) memandang karakter sebagai watak atau budi pekerti. Menurut Ki Hadjar Dewantara, budi pekerti adalah bersatunya antara gerak fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang kemudian menimbulkan tenaga. Karakter menjadi penanda sesorang. Misalnya apakah orang tersebut berkarakter baik, atau berkarakter buruk.

Karakter menurut Kemendiknas (2010) adalah tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertidak.

Sedangkan pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2011) adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.

Menurut Lickona (2012 ) ada tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus disampaikan :

a. merupakan cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya

(6)

c. sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain

d. mempersiapkan siswa untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat beragam

e. berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan problem moral-sosial, seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja (belajar) rendah

f. merupakan persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja; dan

g. mengajarkan nilai-nilai budaya merupakan bagian dari peradaban

Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi:

a. mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.

b. membangun bangsa yang berkarakter Pancasila

c. mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.

Sedangkan fungsi dari pendidikan karakter adalah :

a. membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural

b. membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan berperilaku baik

2. Pendidikan Nilai

Nilai menurut Patricia Craton (dalam Agus Z.F, 2012) adalah prinsip-prinsip sosial, tujuan-tujuan, atau standar yang dipakai atau diterima individu, kelas, masyarakat, dan lain-lain. Drijarkara (dalam Agus Z.F, 2012) mengungkapkan bahwa nilai merupakan hakikat sesuatu yang menyebabkan hal itu pantas dikerjakan oleh manusia.

(7)

Menurut Linckona (2012), nilai-nilai moral yang sebaiknya diajarkan di sekolah adalah kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong menolong, peduli sesama, kerja sama, keberanian, dan sikap demokratis.

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber (Kemendiknas, 2010):

1. Agama : masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

2. Pancasila : negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.

3. Budaya : sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu.

4. Tujuan Pendidikan Nasional: tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter.

Berdasarkan keempat sumber nilai ini, teridentifikasi 18 nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa, yaitu :

Nilai Deskripsi

1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam

(8)

Nilai Deskripsi melaksanakan

ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya

menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh

pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5. Kerja keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh

dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas,

serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya

6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk

menghasilkan cara

atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah

tergantung pada

orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama

hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu

yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10. Semangat kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas

kepentingan diri dan kelompoknya.

11. Cinta tanah air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan

kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi

terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,

ekonomi, dan politik bangsa.

12. Menghargai prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk

menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan

mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13. Bersahabat / komunikasi Tindakan yang memperlihatkan rasa senang

(9)

Nilai Deskripsi berbicara,

bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14. Cinta damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang

lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya

15. Gemar membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai

bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya

16. Peduli lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah

kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan

mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki

kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan

pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18. Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas

dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan,

terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,

sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

B. Pembelajaran Berkualitas

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreativitas pengajar. Pelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memadai, ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target belajar.

(10)

melontarkan gagasan yang akan diolah, diseleksi, dan dikritisi atau bahkan mungkin ditolak oleh pembelajar. Proses pembelajaran yang dirancang oleh siswa dan untuk siswa (student centered), dirancang, dikonstruksi, dan dikondisikan untuk siswa. Seperti bagan berikut :

Gambar 2.2 Proses pembelajaran dirancang, dikontruksi dan dikondisikan untuk siswa

(11)

analitis, sintesis, dan menilai informasi yang relevan untuk dijadikan nilai baru dalam kehidupannya, sehingga mereka terima, dijadikan bagian dari nilai yang diadopsi dalam hidup mereka, diimitasi, dibiasakan sampai mereka adaptasikan dalam kehidupannya. Belajar model ini biasa disebut sebagai self discovery learning yakni belajar melalui penemuan mereka sendiri, peran guru menjelaskan tugas apa yang harus siswa lakukan, apa tujuannya, kemana mereka harus mencari informasi dan bagaimnan mereka mengolah informasi tersebut, membahasnya dalam kelas, sampai mereka mempunyai kesimpulan yang sudah dibahas dalam kelompokknya masing-masing.

Sedangkan collaborative learning adalah proses pembelajaran yang dilakukan bersama-sama antara guru dan siswa, siswa dengan siswa lainnya (peer teaching). Guru menstranformasikan pengalaman belajarnya pada siswa, membantu berbagai kesulitan siswa. Sedangkan dalam peer teaching atau tutor sebaya siswa yang mengajari temannya akan semakin matang penguasaannya,sementara siswa yang diajari akan memperoleh bantuan teman sebayanya dalam proses pemahaman bahan ajar yang mereka pelajari.

Sebagaimana empat pilar pendidikan sebagai landasan pembelajaran berbasis kompetesi adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together yang dicanangkan UNESCO. Para siswa harus diberdayakan agar mau dan mampu beraktivitas untuk memperkaya pengalaman belajarnya (learning to know) dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungan fisik, sosial maupun budayanya sehingga siswa mampu membangun pemahaman dan pengetahuan terhadap dunia sekitarnya (learning to do). Interaksi siswa dengan dirinya sendiri, lingkungan fisik, sosial, dan budayanya akan membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya sebagai manusia yang hidup berkembang (learning to be). Keberadaan siswa sebagai makhluk sosial tidak dapat diingkari sehingga dia perlumendapatkan kesempatan untuk belajar berinteraksi, bekerja sama, dan hidup berdampingan bersama orang lain. Melalui interaksi individu dalam sebuah kelompok itulah pemahaman-pemahaman dan pengalaman seseorang untuk hidup dengan orang lain ditanamkan dan dipelajari (learning to live together). Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok yang bervariasi (learning to live together) akan membentuk kepribadiannya untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif serta toleransi terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.

(12)

sebagai fasilitator yang secara demokratis memberikan arahan akan peta proses pembelajaran yang akan berlangsung.

Proses pembelajaran adalah proses psikologis, merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar. Apa yang terjadi pada diri seseorang yang belajar tidak dapat diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang itu melakukan sesuatu yang menampakkan kemampuan yang telah diperolehnya dari belajar (Winkel, 1991 dalam Radno Harsanto, 2007).

Suatu sistem pendidikan dikatakan berkualitas jika proses pembelajaran berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang berkualitas akan membuahkan hasil pendidikan yang berkualitas pula. Proses pembelajaran yang berkualitas adalah proses pembelajaran yang memberi perubahan atas input menuju output (hasil) yang lebih baik dari sebelumnya (Radno Harsanto, 2007).

C. Hubungan antara Pendidikan Nilai dan Pembelajaran Berkualitas

Terry Lovat (2009) mengatakan bahwa penelitian pendidikan akhir-akhir ini telah menemukan beberapa kelemahan dalam penelitian terdahulu mengenai keterbatasan peran guru dan sekolah untuk melakukan perubahan yang efektif terhadap prestasi siswa. Penelitian terdahulu cenderung menempatkan pengajaran dan persekolahan hanya sedikit berperan (peran marginal) dibandingkan dengan peran yang dimainkan oleh rumah dan latar belakang subjek didik. Lovat mencontohkan hasil-hasil penelitian terdahulu seperti penelitian Talcott Parsons (1955) yang menyimpulkan bahwa keluargalah yang menghasilkan kepribadian manusia, Christopher Jencks (1972) menyimpulkan bahwa karakter dari luaran (output) sebuah sekolah sangat tergantung pada masukan (input) tunggal, yaitu karakteristik dari anak-anak yang masuk.

Lovet menyebut guru-guru yang berkualitas sebagai “especially teachers” untuk menunjukkan optimisme bahwa tanpa melihat pada konteks sekolah, tetap ada guru-guru yang merasa bahwa perannya mulia. Tanggung jawab akhir untuk keberhasilan siswa terletak pada sekolah dan terutama pada guru-guru yang dapat melakukan perubahan. Tanpa mengesampingkan perkembangan intelektualitas sebagai sasaran mendasar dari pengajaran dan persekolahan, penelitian Carnegie Corporation menyatakan secara jelas bahwa pembelajaran yang luas dihubungkan dengan keahlian komunikasi, empati, refleksi dan manajemen diri.

(13)

Pembelajaran berkualitas bukan sekedar pembelajaran di permukaan yang bersifat faktual sebagaimana karakteristik pendidikan pada masa lalu, tetapi pembelajaran dalam arti sekarang adalah sebuah pembelajaran yang melibatkan pribadi keseluruhan dalam aspek kognisi, kematangan sosial dan emosional, juga pengetahuan diri sendiri.

Pembelajaran berkualitas telah memberi sinyal pada komunitas pendidikan akan potensi besar dari pengajaran, termasuk di dalamnya implikasi terhadap dimensi pembelajaran berkaitan dengan penanaman nilai-nilai personal dan sosial. Kelompok pengajaran bermutu memiliki relevansi yang luas terhadap dunia dalam mengusahakan Pendidikan Nilai yang tidak akan pernah usang. Bila dipahami secara benar dan komprehensif, Pendidikan Nilai mempunyai potensi untuk menggantikan dan melengkapi tujuan implisit dalam Pengajaran Bermutu (Lovet, 2009).

Dari uraian Lovet tersebut dapat disimpulkan bahwa pengajaran nilai pada masa sekarang telah menjadi bagian penting dalam pendidikan nilai. Pengajaran nilai mempunyai makna yang lebih luas daripada sekedar mengajarkan nilai-nilai yang bersifat kognitif, tetapi mencakup pengembangan berbagai dimensi dalam diri peserta didik mulai dari kecakapan berkomunikasi, manajemen diri, kesadaran sosial, dan kematangan emosional yang bersifat integratif.

(14)

Gambar 2.3

Pembelajaran berkualitas merupakan pembelajaran yang bersifat holistik karena dimensi nilai-nilai menjadi perhatian dan merupakan bagian penting dalam prosesnya. Pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas adalah seperti dua sisi koin yang tidak terpisahkan.

Pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas memiliki potensi untuk menyatu dalam menghasilkan kedalaman intelektual, kompetensi komunikatif, empati, refleksi dan manajeman diri, yang merupakan dimensi pembelajaran berkualitas. Hubungan pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas juga digambarkan sebagai “double heliks”. Pendekatan ini diambil karena mengajar, selain diaspek manajerial dan strategis,

sebagian besar

yang pasti guru lakukan di ruang kelas dapat membantu untuk menghasilkan hasil yang baik. Dari penelitian efektivitas guru (misalnya, Raja-Beras, 2003; Hill & Crevola,2000;

(15)

Kemp & Hall, 1992; Taylor, Pearson, & Walpole, 1999 dalam Terry Lovat, 2009) bahwa guru sangat efektif ketika mereka: menggunakan prosedur pengajaran yang sistematis; menghabiskan lebih banyak waktu bekerja dengan kelompok-kelompok kecil sepanjang hari; menggunakan umpan balik yang sistematis dengan siswa tentang kinerja mereka; menjalankan kelas lebih teratur; menyesuaikan kesulitan tingkat bahan untuk kemampuan siswa; melibatkan siswa pada tugas; dan, sejumlah fitur operasional lainnya yang membuat keakraban siswa dengan guru. Studi kasus ini menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk:

o Membentuk hubungan interpersonal yang positif tidak hanya antara mahasiswa tetapi juga, yang paling penting, antara siswa dan guru di kelas;

o Memproduksi tenang, lebih bijaksana dan pemikiran lingkungan di kelas;

o Memberikan orang ruang emosional dan spiritual mereka; dan, impor pusat,

o Membuat disposisi positif terhadap pembelajaran dan memungkinkan potensi untuk cinta belajar untuk mengembangkan.

Mereka juga menunjukkannya dalam lingkungan dimana semua orang, guru dan siswa,

tumbuh dalam kedalaman intelektual, kompetensi komunikatif, empatik karakter, kapasitas untuk refleksi, manajemen diri dan pengetahuan diri.

Penggunakan metafora dari genetika merupakan upaya untuk menangkap sifat hubungan antara nilai-nilai pendidikan dan kualitas pengajaran bahwa hubungan antara nilai-nilai dan ajaran kualitas agak seperti double helix. Ketika kita mengidentifikasi praktik nilai-nilai yang baik kita juga mengidentifikasi praktik pembelajaran yang berkualitas.

Gambar 2.4 “Double Heliks” Pendidikan Nilai dan Pembelajaran Berkualitas

(16)

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pendidikan nilai adalah usaha menanamkan prinsip-prinsip sosial, tujuan-tujuan atau standar yang dipakai atau diterima individu, kelas, masyarakat dan lain-lain, pada siswa sehingga menjadi pedoman hidup siswa serta dapat dilihat dalam pola tingkah laku, pola berpikir dan sikap-sikap individu atau kelompok.

2. Pembelajaran berkualitas adalah pembelajaran yang melibatkan aspek kognitif, psikomor dan afektif peserta didik, sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui pembelajaran berkelanjutan.

3. Hubungan antara pendidikan nilai dan pembelajaran berkualitas bagaikan dua sisi koin yang tidak terpisahkan dan bagaikan “double heliks”, karena ketika kita mengidentifikasi praktik nilai-nilai yang baik, kita juga mengidentifikasi praktik pembelajaran yang berkualitas.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Fitri, A. Z. (2012). Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Jakarta: Ar-Ruzz Media

Harsanto, R.(2007). Pengelolaan Kelas yang Dinamis. Jakarta: Kanisius

Kemendiknas.(2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter.Jakarta: Balitbang Puskur.

Kemendiknas. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Balitbang Puskurbuk

Linckona, Thomas diterjemahkan oleh Saffana Intani. (2014). Pendidikan Karakter dalam Pengelolaan Kelas Sekolah. Bantul: Kreasi Kencana

Lickona, Thomas 2012. Educating for Character: Mendidik untk Membentuk Karakter, diterjemahkan oleh Juma Wadu Wamaungu. Jakarta: Bumi Aksara

Lovat, T and Ron, T. (2009). Values Education and Quality TeachingThe Double Helix Effect. Australia: Springer.

Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: BPMIGAS

Mulyasa. E.(2012). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara

(18)

Rosyada, D. (2007). Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana

Wibowo, A dan Hamrin. (2012). Menjadi Guru Berkarakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Gambar

Gambar  2.2  Proses pembelajaran dirancang, dikontruksi dan dikondisikan untuk siswa
Gambar 2.3 Pembelajaran  berkualitas  merupakan  pembelajaran  yang  bersifat  holistik  karena

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Oemi Abdurrachman (1993), di dalam penyampaian sesuatu pesan seringkali timbul salah pengertian, sehingga dengan demikian terjadi hal-hal yang tidak

Pada variabel intellectual capital ternyata tidak mempunyai pengaruh signifikan yang menguatkan hubungan antara kepercayaan, partisipasi dan relevansi strategis

Produsen maupun perusahaan biasanya menciptakan kemudahan dalam memperoleh produk dengan cara mengirimkan suatu produk ataupun barang yang dipesan oleh pelanggan melalui Tiki

Dari perbandingan yang telh dilakukan, didapat kan hasil (1) jumlah variabel yang diubah pada kedua fase yaitu sebanyak 1 variabel; (2) perubahan arah kedua fase

Persoalan lain, adalah bagaimana mengelola pengetahuan yang cukup rumit dan kompleks, serta dalam gejolak lingkungan dan semakin cepatnya siklus kejadian

Penambahan jerami dan kapur sebagai amelioran pada tanaman padi belum dapat meningkatkan komponen hasil diduga karena perlakuan tersebut juga tidak memberikan pengaruh

Bagi Ki Ageng Suryomentaram puncak kedirian manusai adalah manusia tanpa ciri, yaitu manusia yang sudah tidak bergantung atribut keduniawian yang bersumber dari keninginan

diketahui bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara lama waktu stimulasi listrik dengan jenis otot sapi Pesisir (P>0,05) terhadap nilai. cooking loss daging sapi