• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat Ekonomi Asean dan Kesiapan Tenaga Kerja Bali Pada Sektor Pariwisata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Masyarakat Ekonomi Asean dan Kesiapan Tenaga Kerja Bali Pada Sektor Pariwisata"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Masyarakat Ekonomi Asean dan Kesiapan Tenaga Kerja Bali Pada Sektor Pariwisata

Gede Kamajaya

Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana

Kamajaya_1965@yahoo.com

Abstrak

Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah sebentuk kerjasama masyakat setingkat ASEAN pada bidang ekonomi yang menuntut kesiapan setiap negara menghadapi persaingan pasar bebas. MEA tidak hanya merupakan tantangan tetapi juga peluang bagi setiap negara yang tergabung di dalamnya. MEA yang dijiwai Liberalisme pasar berangkat dari asumsi bahwa kemakmuran setiap negara bisa dicapai melalui kerjasama ekonomi tanpa hambatan semisal pajak dan regulasi ketat dari sebuah negara. Di Indonesia Sektor pariwisata dianggap sebagai sektor yang paling siap bersaing dalam MEA. Bali sebagai salah satu parameter pariwisata unggulan di Indonesia harus mempersiapkan diri dari tantangan besar tersebut dalam rangka memenangkan setiap persaingan. Salah satu tantangan besar tersebut adalah kesiapan tenaga kerja.

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Menghadapi globalisasi ekonomi dan persaingan perdagangan ASEAN melalui AFTA (Asean Free Trade Area), ASEAN mempercepat pembentukan MEA yang awalnya akan diimplementasikan pada tahun 2020 kemudian dipercepat menjadi tahun 2015. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing antar negara ASEAN dalam menghadapi globalisasi ekonomi. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah sebentuk kerjasama masyarakat pada bidang ekomoni untuk membentuk pasar tunggal di Asia Tenggara dengan tujuan investasi asing dan terciptanya pemerataan capaian ekonomi dan pembangunan. Hal ini bisa dicapai melalui beberapa pendekatan strategis pembentukan pasar tunggal dengan kesatuan basis produksi , membentuk kawasan ekonomi dengan daya saing tangguh dan integrasi ekomoni untuk pemerataan. Untuk mewujudkan kesemua itu MEA membentuk kesepakatan agar tidak membatasi beberapa hal di antaranya Arus jasa, Arus modal, Arus investasi dan Arus tenaga kerja terlatih. Pendeknya negara yang tergabung dalam ASEAN dapat masuk dengan bebas dalam persaingan pasar. Masyarakat ekonomi ASEAN yang bebas dari berbagai hambatan, pengutamaan peningkatan konektivitas, dan pemanfaatan berbagai skema kerja sama.

Selama ini perdagangan internasional sering dihambat oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor-impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN semua hambatan ini hendak dihilangkan dengan harapan memperkuat daya saing ASEAN dalam menghadapi kompetisi global atau paling tidak kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil, sejahtera dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan dan kesenjangan sosio-ekonomi di antara negara-negara anggotanya untuk mewujudkan apa yang menjadi kesepakatan Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala Lumpur (Mantra, 2011).

(3)

Lebih jauh dijelaskan Mantra (2011), dalam konteks penciptaan perekonomian kawasan yang kompetitif, beragam langkah strategis telah ditetapkan dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, seperti pengembangan kebijakan persaingan, perlindungan konsumen, kerjasama regional dalam Hak Kekayaan Intelektual, dan langkah-langkah lainnya seperti kerjasama regional dalam pembangunan infrastruktur. Begitu juga halnya dalam upaya transformasi ASEAN menuju sebuah kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, kesepakatan negara-negara di kawasan ini mengupayakan percepatan pengembangan usaha kecil dan menengah serta perluasan Inisiatif Integrasi ASEAN (Initiative for ASEAN Integration) dalam rangka menjembatani jurang kesenjangan pembangunan di antara negara-negara anggotanya.

Pasar bebas atau liberalisme pasar yang dianut dalam MEA merupakan sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium, bahwa penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya (Anantara, 2012). Lebih jauh dijelaskan Mises ia menegaskan, bahwa liberalisme adalah doktrin tentang kebebasan yang merata dan kesempatan yang setara untuk setiap individu tanpa pengaturan, kontrol dan regulasi dari negara (berbeda dengan kolektivisme dan intervensionisme). Liberalisme juga berurusan dengan aktivitas manusia menyangkut soal kesejahteraan material (Mises, 2011: 10).

Sebuh buku yang ditulis Thomas Friedman yaitu „The Lexus and the Olive Tree‟ tahun 1999 bahkan dengan gamblang menjelaskan prinsip dasar dalam liberalisme pasar. Buku itu pada intinya menguraikan bahwa penduduk seluruh dunia akan makmur kalau semua negara di dunia ini mau saling membuka perbatasannya melakukan liberalisasi pasar. Barang-barang dapat keluar dan masuk dengan bebas, begitu juga investasi. Perdagangan dan investasi internasional juga akan membawa perdamaian dunia. Negara-negara memilih untuk tidak berperang karena ekonomi mereka terkait satu sama lain (Antara, 2012: 2).

(4)

Sebagaimana blue print tujuan awal digagasnya MEA, negara-negara yang tergabung didalamnya menghendaki kemajuan ekonomi secara merata melalui berbagai rancangan pengembangan kebijakan mulai dari kebijakan persaingan, perlindungan konsumen, kerjasama regional dalam Hak Kekayaan Intelektual, dan langkah-langkah lainnya seperti kerjasama regional dalam pembangunan infrastruktur. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk menghindari persaingan tidak sehat namun juga memastikan cita-cita kemakmuran setiap negara bisa terwujud sebagaimana tujuan awal digagasnya MEA.

Meskipun secara tegas kemakmuran melalui jalur liberalisme pasar bisa terwujud sebagaimana didengungkan penganut teori liberalisme yang paling getol menjadi penyokong kebebasan pasar namun kritikan terhadap sistem ekonomi ini juga tidak kalah deras. Banyak pihak mengganggap sistem ekonomi semacam ini justru menjadikan negara-negara berkembang semakin ketergantungan pada negara maju, pada gilirannya negara berkembang hanya menjadi penonton yang berujung pada masalah sosial lainnya semisal meningkatnya angka pengangguran karena ketidaksiapan sumber daya manusia untuk bersaing dalam liberalisme pasar tersebut. Wacana penolakan terhadap liberalisme pasar biasanya dimotori oleh NGO international, mereka menjadikan apa yang terjadi di negara-negara Amerika Latin sebagai contoh kasus bagaimana liberalisme pasar justru membawa masalah bagi negara-negara sedang berkembang.

Berangkat dari serentetan argumen di atas, menarik melihat kesiapan indonesia sebagai negara berkembang yang tergabung dalam MEA. Apa keunggulan yang bisa digunakan Indonesia untuk memenangkan sengitnya persaingan dalam liberalisme pasar tersebut, sektor apa saja yang menjadi unggulan, dan bagaimana kesiapannya tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi liberalisme pasar disegala sektor.

(5)

PEMBAHASAN Sektor Pariwisata sebagai Sektor Unggulan

Pariwisata adalah salah satu sektor yang disebut-sebut sebagai sektor yang paling siap bersaing dalam hingar bingar pasar bebas yang digagas negara-negara ASEAN melalui MEA. Bagaimana tidak sektor pariwisata pertumbuhannya selalu lebih tinggi di atas pertumbuhan ekonomi lainnya di Indonesia (Soebagyo, 2012: 154). Kekayaan budaya, alam dan keramahan masyarakatnya menjadi modal besar pariwisata di Indonesia layak dikembangkan dan dikunjungi wisatawan. Potensi alam semisal danau, laut, hutan tropis, gunung hingga taman nasional merupakan potensi alam yang potensial untuk menjadi daya tarik, kekayaan etnis berikut adat-istiadatnya yang tidak dijumpai di neraga manapun menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang diperhitungkan pada sektor pariwisata.

Pemerintah melalui TAP MPR No. IV/MPR/1978 telah menyusun berbagai strategi untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor yang bisa di anadalakan. Lewat regulasi tersebut di atas, pemerintah hendak meningkatkan penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja, memperkenalkan kebudayaan, pembinaan serta pengembangan pariwisata dilakukan dengan tetap memperhatikan terpeliharanya kebudayaan dan kepribadian nasional. Seturut dengan itu, Pendit (1990) menjelaskan bahwa pariwisata mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena mampu menyediakan lapangan kerja. Sebagai anggota G20, perekonomian Indonesia sedang beralih untuk menjadi salah satu dari 10 negara ekonomi terkuat di tahun 2020. Sektor pariwisata dapat tumbuh sebagai penyumbang yang lebih signifikan terhadap kemajuan ekonomi Indonesia (Gunawan, Ortis, 2012: 18).

Data statistik menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada Juli 2015 mencapai 814,2 ribu kunjungan atau naik 4,76 persen dibandingkan jumlah kunjungan wisman Juli 2014 yang tercatat sebanyak 777,2 ribu kunjungan (bps.go.id). Data ini menunjukkan semakin kuatnya alasan bagi banyak pihak yang menyebutkan bahwa sektor pariwisata adalah sektor yang handal dan mampu bersaing dalam gegap gempita pasar bebas yang digagas melalui MEA.

(6)

Terlebih situasi belakangan ini menunjukkan semakin berkurangnya minyak bumi sebagai penghasil devisa bagi negara. Spilane (1987) menjelaskan bahwa selain makin berkurangnya devisa negara dari sektor migas, kecendrungan peningkatan pariwisata dan kunjungan pariwisata secara konsisten adalah salah satu pendorong pariwisata dapat dijadikan alternatif yang tidak kalah potensial jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Besarnya prospek pada sektor pariwisata tentu juga mampu menjadi daya serap tenaga kerja yang juga cukup besar. Bagi negara-negara berkembang dengan masalah klasik semacam pengangguran, tersedianya lapangan kerja merupakan solusi yang diharapkan sebagaimana di Indonesia.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, Gunawan, Ortis (2012) menjelaskan Lebih dari sekedar penghasil devisa yang penting, pariwisata, jika diperlakukan dengan cara yang berkelanjutan, dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan dan tujuan pembangunan milenium yang terpenting melalui pengadaan pekerjaan dan lapangan kerja di wilayah perkotaan maupun perdesaan, menyebarkan pembangunan ke daerah daerah perdesaan yang lebih miskin dan terasing, memperbaiki transportasi dan koridor telekomunikasi, menciptakan pekerjaan ramah lingkungan dengan kerja yang layak dan pelatihan keterampilan untuk perempuan dan angkatan muda yang mungkin dengan cara lain tidak mempunyai peluang tersebut.

Meningkatnya perekonomian diberbagai belahan dunia menjadi penggerak banyak orang melakukan perjalanan ke berbagai negara dan menjadikan hal tersebut sebagai kebutuhan. United Nation of World Tourism Organization (UNWTO), juga berpendapat bahwa pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Bagaikan gayung bersambut, kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan wisata terfavorit dan wajib dikunjungi bagi wisatawan. Hal ini tentu makin membuka peluang makin tumbuh suburnya industri ekonomi kreatif untuk kebutuhan wisatawan. Sebut saja industri kerajinan kemudian terdongkarak atas berkembangnya industri pariwisata yang sudah barang tentu juga menjadi arena penyerapan tenaga kerja yang menjanjikan.

(7)

Pada akhirnya banyak pihak meyakini sektor pariwisata terbukti telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada perolehan devisa negara pada tahun 2011, pariwisata menempati posisi ke ketiga sebagai penyumbang devisa terbesar setelah migas dan tekstil dengan total 4.785,1 juta dollar AS (Kompas, 12 Desembar 2011 dalam Soebagyo, 2012). Data ini menunjukkan legitimasi beberapa pihak yang menyatakan bahwa sektor pariwisata adalah sektor yang dianggap paling siap dalam menghadpi ketatnya persaingan pasar bebas sebagaimana prinsip dasar dibentuknya MEA.

Pariwisata Bali

Berbicara tentang Bali memang tak pernah ada habisnya dilihat dari konteks apapun, pulau kecil dengan pesona budaya dan alam yang menakjubkan ini selalu menarik dikaji. Keunikannnya menjadikan Bali bak surga kecil yang jatuh ke bumi. Kondisi inilah yang menjadikan Bali begitu masyur di mata dunia. H.van Kol seorang parlemen Belanda adalah wisatawan yang dianggap pertama kali menginjakkan kakinya di Bali pada tahun 1902. Derasnya informasi tentang “keanehan” Bali makin menjadi ketika perusahaan pelayaran Belanda KPM (Knonniklijk Paketvarrt Maatscapij) tahun 1920 mempopulerkan Bali sebagai daerah tujuan wisata bagi pejabat tinggi Belanda. Bali kemudian di kenal dengan sebutan “Mutiara Kepulauan Nusa Tenggara” (Kabar Bangsa.com). Baru-baru ini Bali bahkan didaulat sebagai Island Destination Of The Year sebagai pengghargaan dalam ajang China Travel & Meeting Industry Awards 2013.

Secara yuridis pengembangan pariwisata Bali mengacu pada Perda No: 3 tahun 1974 juncto Perda Nomor 3 tahun 1991 yang menyatakan bahwa konsep pengembangan pariwisata di Bali adalah pariwisata budaya. Pariwisata budaya merupakan jenis kepariwisataan yang dalam pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali sebagai nafasnya. Legitimasi hukum atas nafas pariwisata Bali berangkat dari kondisi bahwa hampir dalam setiap aktivitas masyarakat Bali selalu kental dengan nuansa budaya yang tidak dapat dijumpai didaerah lain atau paling tidak segala tindak-tanduk manusia Bali selalu dijiwai local genius sebagai nilai budaya yang mengejewantah dalam keseharian masyarakatnya. Tidak hanya

(8)

budaya, wisata alam semisal pantai, pemandangan alam, danau hingga taman nasional yang ada di Bali juga tidak kalah memukau wisatawan.

Dinas Pariwisata Provinsi Bali mencatat wisatawan mancanegara dengan menumpang pesawat yang terbang dari negerinya maupun lewat laut ke Pulau Dewata sebanyak 2.992.925 orang selama Januari-September 2015 atau naik 7,63 persen, jika dibandingkan periode sama 2014 hanya 2.780.741 orang (bali.tribunnews.com). Bagaimana Bali sebagai destinasi utama yang wajib dikunjungi wisatawan dapat dilihat melalui data statistik tingkat kunjungan wisatawan pada periode Januari – Juli tahun 2016, secara kumulatif wisman yang datang ke Bali sebanyak 2.755.839 kunjungan. Untuk periode tersebut asal wisman yang paling banyak datang ke Bali berkebangsaan Australia, Tiongkok, Jepang, Inggris, dan India dengan persentase masing-masing sebesar 23,43 persen, 20,48 persen, 4,62 persen, 4,37 persen, dan 3,88 persen (bps.go.id).

Sektor pariwisata menempati posisi sentral dalam perekonomian Bali dan menjadi penyerap tenaga kerja paling banyak dibandingkan sektor lainnya. PHRI Bali mencatat Pekerja di bidang pariwisata di Bali berjumlah sekitar 300.000 orang. Lalu seperti apa kesiapan pekerja Bali pada sektor pariwisata untuk menghadapi MEA?

(9)

Kesiapan Tenaga Kerja Bali pada Sektor Pariwisata dalam Menghadapi MEA

Merujuk pada survei Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 144 negara yang disurvei. Tahun ini Indonesia mengalami penurunan indeks daya saing global, dari posisi ke 46 (2011) menjadi ke 50 (2012). Peringkat terbaik Indonesia adalah pada tahun 2010 (ke 44), yang meloncat dari posisi ke 54 dari tahun sebelumnya. Jika diranking pada level ASEAN, Indonesia berada pada peringkat kelima. Indonesia masih kalah dari Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand. Negara tetangga Timor- Leste menempati urutan terakhir (ke 136) di ASEAN. Negara-negara ASEAN yang mengalami kenaikan indeks daya saing terbesar sejak 2008 adalah Kamboja (24 tingkat), Brunei Darussalam (11), Filipina (6), Indonesia (5) dan Singapura (3). Sedangkan Malaysia, Thailand, Vietnam dan Timor Leste mengalami penurunan peringkat daya saing selama 2008-2012 (Rahman, 2015).

Data statistik lain menunjukkan hal serupa, di sektor perdagangan jasa, laporan World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2008-2009 yang mengelompokkan perekonomian Indonesia dalam fase pertama, menunjukkan bagaimana sektor jasa Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia dan Thailand yang telah mengukuhkan diri dalam fase kedua pembangunan (Mantra, 2011:10). Data ini memunculkan pertanyaan besar apakah Indonesia siap bersaing dalam menghadapi pasar bebas yang digagas MEA?

Liberalisasi pasar yang dianut dalam MEA menjadi peluang sekaligus ancaman bagi negara-negara sedang berkembang yang belum siap bersaing didalamnya. Sebagaimana dijelaskan secara apik oleh Antara (2012) bahwa pasar bebas adalah proses menuju pasar besar, di mana setiap orang, pengusaha, lembaga pemasar atau negara boleh memasarkan produk barang dan jasa yang dihasilkan dari satu negara ke negara lain tanpa ada hambatan, baik berupa hambatan tarif atau non tarif sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian dagang antara dua negara. Hal ini tentu membutuhkan kesiapan setiap negara untuk terlibat di dalamnya, tanpa kesiapan yang memadai setiap negara bukan justru mencapai peningkatan perekonomian nasional namun yang terjadi

(10)

justru kebalikannya. Pada gilirannya negara yang tidak siap hanya akan menjadi penonton dan semakin mengukuhkan ketergantungannya pada negara-negara maju.

Secara sederhana keuntungan yang bisa dicapai melalui MEA diantaranya MEA akan menjadi kesempatan yang baik buat Indonesia karena hambatan perdagangan akan berkurang bahkan mungkin tidak ada. Kondisi ini akan berdampak pada peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian nasional. Namun disis lain ancaman juga perlu mendapatkan perhatian lebih dalam semisal kesiapan tenaga kerja Indonesia pada segala sektor mengingat pasar bebas yang digagas melalui MEA menjadikan persaingan pencari kerja makin terbuka bagi tenaga asing dengan keahlian yang memadai. Pertanyaan yang muncul kemudian lalu bagaimana kesiapan tenaga kerja Indonesia menyambut ketatnya persaingan MEA?

Daya saing tenaga kerja Indonesia dari sisi pendidikan tenaga kerja Indonesia dan negara-negara utama ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand) diukur dengan membandingkan rasio angkatan kerja yang memiliki pendidikan level Diploma/Universitas dengan total angkatan kerja dari hasil perhitungan, rata-rata (selama tahun 2007-2012) rasio angkatan kerja berpendidikan tinggi di Indonesia adalah sebesar 7,02 %. Sementara negara seperti Singapura dan Malaysia memiliki rasio masing-masing sebesar 26,92 % dan 23 %. Thailand sendiri memiliki 13,38 %. (Rahman, 2015:6). Data ini menunjukkan bahwa daya saing tenaga kerja Indonesia masih lemah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya di ASEAN. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi Indonesia yang dapat memunculkan potensi penggangguran makin meningkat karena tenaga kerja asing dengan keterampilan siap membanjiri Indonesia.

Data dari tahun 2008 hingga 2013 menunjukkan terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pariwisata secara nasional. Pada tahun 2008 jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata sebesar 7,02 juta orang dan pada tahun 2013 sebesar10,18 juta orang. Pada tahun 2013 kontribusi sektor pariwisata terhadap tenaga kerja nasional mencapai 8,89% dari seluruh tenaga kerja nasional. Apabila dibandingkan dengan tahun 2008, dimana pada saat itu tenaga kerja

(11)

sektor ini berada pada angka 7,02 juta tenaga kerja, maka tercatat pertumbuhan yang telah dicapai oleh tenaga kerja sektor ini adalah 45,01% di tahun 2013 (Adrian, 2014: 3).

Namun demikian, yang dibutuhkan tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi MEA tidak hanya jumlah tenaga kerja yang memadai namun yang lebih penting adalah tenaga kerja yang sudah tersertifikasi handal dan memiliki keahlian. Tanpa sertifikasi maka yang terjadi adalah tenaga kerja Indonesia akan kalah bersaing dengan tenaga-tenaga kerja asing yang lebih murah, tersertifikasi dan memiliki keahlian. Data pusat kompetensi SDM Pariwisata-Kemenparekraf 2014 menunjukkan dari tahun 2007 sampai tahun 2014 jumlah tenaga kerja bidang pariwisata yang bersertifikat berjumlah 58.627 orang. (Andrian, 2014: 4). Lalau bagaimana dengan tenaga kerja pariwisata di Bali?

Antara (2012: 5) menjelaskan dengan sangat apik dan teratur tentang angakatan kerja di Bali, Total penduduk Bali yang berumur 15 tahun ke atas selama empat tahun terakhir (2007-2011) cenderung meningkat, yaitu pada tahun 2007 sebanyak 2.661.913 jiwa, dan pada tahun 2010 sebanyak 2.748.117 jiwa, atau selama empat tahun meningkat sebanyak 115.156 jiwa, atau setiap tahun meningkat sebanyak 28.789 jiwa. Total penduduk berumur 15 tahun ke atas terdiri atas angkatan kerja dan bukan angkatan kerja, dengan proporsi pada tahun 2007 yaitu 77 % : 23 %, dan tahun 2010 yaitu 77 % : 23 %. Jadi proporsinya relatif tetap selama empat tahun terakhir. Angkatan kerja di Provinsi Bali selama empat tahun terakhir (2007-1010) berdasarkan Sarkenas, cenderung meningkat, yaitu pada tahun 2007 sebanyak 2.059.711 jiwa, dan pada tahun 2010 sebanyak 2.116.972 jiwa, atau selama empat tahun terakhir meningkat sebanyak 59.203 jiwa, atau setiap tahun meningkat sebanyak 14.801 jiwa.

Lebih jauh Antara menjelaskan (2012: 5) Di luar jumlah tenaga kerja yang diminta oleh sektor -sektor perekonomian Provinsi Bali, masih ada sebanyak 75.635 jiwa pengganggur tahun 2010. Belum lagi terhitung bukan angkatan kerja yang masuk menjadi angkatan kerja, terutama para lulusan SMK, sehingga memperpanjang barisan pengangguran di Bali. Dari catatan Bidang Penempatan Disnakertran Provinsi Bali, sampai Februari 2011 tercatat 30.044 jiwa yang

(12)

mencari pekerjaan, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 15.402 jiwa (51 %) dan perempuan sebanyak 14.642 jiwa (49,00 %). Kondisi ini menunjukkan bahwa walau tampak dari luar bahwa sektor jasa pariwisata mampu menyerap tenaga kerja relatif banyak, tetapi pengangguran dan pencari kerja di Bali masih banyak.

Berdasarkan data Disnakertran Provinsi Bali (Antara, 2012: 6), ada sekitar 400-an jenis profesi yang harus disertifikasi komptensinya. Akan tetapi, profesi yang baru disertifikasi di Provinsi Bali adalah hanya profesi pariwisata, yang dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Pariwisata Indonesia yang disingkat dengan LSP Parindo. Berdasarkan laporan LSP Parindo Provinsi Bali, jenis dan jumlah jiwa di profesi pariwisata yang telah tersertifikasi sampai akhir tahun 2010 dalah sejumlah 1426 jiwa dengan berbagai bidang mulai dari front officer hingga spa terapist.

Data terbaru dari BPS Provinsi Bali menunjukkan dari total Jumlah angkatan kerja di Provinsi Bali pada Agustus 2015 mencapai 2.372.015 orang, bertambah sebanyak 55.257 orang dibanding angkatan kerja Agustus 2014 (2.316.758 orang), atau berkurang sebanyak 86.769 orang dibanding angkatan kerja Februari 2015 sejumlah 2.458.784 orang (BPS.go.id). Dari jumlah angkatan kerja keseluruhan sebagaimana data tersebut di atas, PHRI Bali mencatat Pekerja di bidang pariwisata di Bali tahun 2015 berjumlah sekitar 300.000 orang. Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Bali menyampaikan bahwa dari jumlah tersebut hanya 20 % saja atau hanya sejumlah 60.000 orang yang sudah mengantongi sertifikasi (nationalgeographic.co.id). Sejalan dengan itu, Berdasarkan laporan LSP Parindo Provinsi Bali, menjelaskan jenis dan jumlah jiwa di profesi pariwisata yang telah tersertifikasi sampai akhir tahun 2010 adalah sejumlah 1426 jiwa atau 0,5 % dengan berbagai bidang mulai dari front officer hingga spa terapist. Dari jumlah pekerja yang dicatat PHRI tahun 2015 sebanyak 300.000 orang pekerja, artinya selama lima tahun terjadi peningkatan pekerja yang sudah bersertifikasi sebesar 19,5 % sejak tahun 2010. Jumlah ini tidak cukup membuktikan bahwa pekerja Bali pada sektor pariwisata belum siap menghadapi pasar bebas yang digagas dalam MEA atau dengan kata lain pekerja Bali pada sektor pariwisata belum siap menghadapi ketatnya persaingan pasar bebas yang

(13)

digagas melalaui MEA karena yang dibutuhkan dalam persaingan pasar bebas adalah pekerja yang tersertifikasi yang sudah barang tentu memiliki keahlian. Pekerja asing yang bersertifikasi bisa membanjiri sektor pariwisata Bali kapan saja maka yang terjadi adalah pekerja Bali akan makin tertingalal dan pada gilirannya tingkat pengangguran di Balipun akan makin meningkat.

(14)

KESIMPULAN

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah sebentuk kerjasama masyarakat pada bidang ekomoni untuk membentuk pasar tunggal di Asia Tenggara dengan tujuan investasi asing dan terciptanya pemerataan capaian ekonomi. Selama ini perdagangan internasional sering dihambat oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor-impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor hingga berbagai hambatan lainnya pada bidang ketenagakerjaan. Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN semua hambatan ini hendak dihilangkan.

Selain makin berkurangnya devisa negara dari sektor migas, kecendrungan peningkatan pariwisata dan kunjungan pariwisata secara konsisten adalah salah satu pendorong pariwisata dapat dijadikan alternatif yang tidak kalah potensial jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Lebih dari sekedar penghasil devisa yang penting, pariwisata, jika diperlakukan dengan cara yang berkelanjutan, dapat memberikan berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan pada akhirnya pariwisata mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena mampu menyediakan lapangan kerja.

Sektor pariwisata menempati posisi sentral dalam perekonomian Bali dan menjadi penyerap tenaga kerja paling banyak dibandingkan sektor lainnya. PHRI Bali mencatat Pekerja di bidang pariwisata di Bali tahun 2015 berjumlah sekitar 300.000 orang namun hanya 20 % dari total jumlah tersebut yang sudah bersertifikasi. Artinya pekerja Bali pada sektor pariwisata belum siap menghadapi ketatnya persaingan pasar bebas yang digagas melalaui MEA karena yang dibutuhkan dalam persaingan pasar bebas adalah pekerja yang tersertifikasi yang sudah barang tentu memiliki keahlian. Jika dilihat dari data rasio angkatan kerja yang berpendidikan tinggi di Indonesia angkatan kerja yang memiliki pendidikan level Diploma/Universitas dengan total angkatan kerja dari hasil perhitungan, rata-rata (selama tahun 2007-2012) rasio angkatan kerja berpendidikan tinggi di Indonesia adalah sebesar 7,02 %. Sementara negara seperti Singapura dan Malaysia memiliki rasio masing-masing sebesar 26,92 % dan 23 %. Thailand

(15)

sendiri memiliki 13,38 %. Data ini semakin menguatkan bahwa pekerja Indonesia semakin tidak siap bersaing dalam MEA.

(16)

Daftar Pustaka Buku;

Goenawan, Artis Oliver, 2012, Rencana Strategis Pariwisat berkelanjutan dan Green Jobs untuk Indonesia, ILO Country Office, Jakarta

Mantra, Dodi, 2011, Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme, Mantra Press, Bekasi

Mises, Ludwig von, 2011, Menemukan Kembali Liberalisme, Freedom Institute, Jakarta

Pendit, Nyoman S, 1990, Ilmu Pariwisata sebuah Pengantar Perdana, PT Pandya Pratama, Jakarta

Spilane, JJ, 1987, Pariwisata Indonesia Sejarah dan Prospeknya, Kanisius, Yoyakarta

Jurnal;

Andrian, Geraldus G, 2014, Kesiapan Sumberdaya Manusia Bidang Pariwisata Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, JDP Vol 1 No 1, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Jakarta Antara, Made, 2012, Kesiapan Tenaga Kerja Bali dalam Menghadapi

Perdagangan Bebas, Piramida Jurnal Kependudukan dan

Pengembangan Sumber Daya Manusia, Vol III No 1

Rahman, M Ari Sabila, 2015, Daya Saing Tenaga Kerja Indonesia dalam Menghadapi MEA, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 117-130, ejournal.hi.fisip-unmul.org

Soebagyo, 2012, Strategi Pengembangan Pariwisata di Indonesia, Jurnal Liquidity, Vol 1 No 2 Juli-Desember 2012, hal 153-158

Internet;

Sri Lestaro, 2015 http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/02/jelang-mea-2015-pekerja-pariwisata-bali-mengkhawatirkan ()diunduh pada tanggal 21 September 2016

http://bali.bps.go.id/webbeta/website/brs_ind/brsInd-20151105115312.pdf (diunduh pada tanggal 21 September 2016)

https://bps.go.id/Brs/view/id/1178 (diunduh pada tanggal 22 September 2014)

Anonim, 27 Septem 2016 http://bali.tribunnews.com/2015/10/31/jumlah-kunjungan-wisman-ke-bali-naik-76-persen (diunduh pada tanggal 27 September 2016)

(17)

Kamajaya, Gede, 2015, Pergulatan Identitas Manusia Bali,

http://www.kabarbangsa.com/2015/06/pergulatan-identitas-manusia-bali.html(diakses pada tanggal 19 Septemtember 2016).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, Daya Saing Destinasi yang ada di Goa Kreo baik karena sebesar 49% dari responden menyatakan bahwa kondisi alam, keunikan, keragaman

Adapun hasil penelitian ini adalah praktik akad ija>rah agrowisata kebun stroberi di Desa Serang Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga telah sesuai menurut hukum

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh kesimpulan bahwa (1) Model pembelajaran inkuiri menghasilkan prestasi belajar matematika lebih baik dibandingkan model

DSA merupakan suatu tanda tangan elektronik yang dapat digunakan untuk membuktikan keaslian identitas pengirim atau penandatangan dari suatu pesan atau dokumen

Beberapa tokoh masyarakat memperkuat dari pernyataan Lurah Sungai Jingah , seperti yang disampaikan oleh Ibu Jamiah ketua Rt.14 Kelurahan Sungai Jingah,

Hasil penelitian menunjukan bahwa kepuasan dapat memediasi lingkungan kerja dan motivasi kerja terhadap kinerja profesional polisi. Oleh karena itu,

Komponen-komponen laporan keuangan tersebut disajikan oleh setiap entitas pelaporan dimana entitas pelaporan yang dimaksud adalah masing-masing unit Satuan Kerja Perangkat

4.4 Latih Tubi Persediaan UPPM 2 dan Peperiksaan Pertengahan Tahun 4.4.1 Semua murid Tahap 2 akan diberikan set soalan latih tubi sebagai Persediaan untuk UPPM 2