1 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian
Perebutan suatu kepulauan oleh beberapa negara memang menjadi
masalah yang rumit. Perebutan suatu negara terhadap suatu wilayah negara lain
sering kali menimbulkan konflik yang berujung pada memburuknya hubungan
antara negara yang sama-sama memiliki klaim atas wilayah yang sama.
Sebagaimana disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga
(2002, 1073), negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau
daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang
efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan
tujuan nasionalnya.
. Status Pulau Takeshima di antara Korea Selatan dan Jepang yang
dipersengketakan kedua negara adalah status kepemilikannya. Kedua negara
saling melakukan klaim atas kepemilikan pulau tersebut berdasarkan nilai
geografis dan historis.
Takeshima merupakan gugusan pulau. Kepulauan ini terdiri dari dua pulau
utama, yaitu Higashijima dan Nishijima1
Takeshima memiliki ekosistem yang unik. Kepulauan ini menghasilkan
sejumlah kecil air tawar, permukaan gunung berapi, menjadi habitat dari 70-80
jenis tanaman, 22 jenis burung, dan 37 jenis serangga. Di sekitar pulau, arus
dingin dan hangat memenuhi arus laut, yang juga merupakan tempat bagi berbagai
macam komunitas dan organisme laut, termasuk anjing laut dan terdapat 100 lebih
jenis ikan
. Kawasan Higashijima seluas 73,297 m²,
dan Nishijima memiliki luas 88,639m sehingga total luas kawasan Takeshima
adalah 187,453 m².
Kepulauan Takeshima ini merupakan suatu kawah yang berasal dari
ledakan vulkanis yang berbentuk karang yang dijadikan sebagai tempat
perlindungan burung laut jenis petrel, burung camar dan terdapat beberapa
tumbuhan endemik. Kepulauan Takeshima juga terkenal akan kekayaan biota laut
dan sumber daya gas alam yang terdapat di sekitarnya.
2
Kondisi geografis dan biologis atas pulau ini sangat mengesankan kedua .
1 Higashijima berarti Pulau Timur dan sering juga disebut Onnajima, dan Nishijima berarti Pulau Barat yang sering juga disebut Otokojima.
2 http://dokdo-takeshima.com/liancourtrocks/dok/190708.htm diakses pada 28 November 2013.
negara dan dianggap mencerminkan karakteristik biota alam baik Jepang maupun
Korea Selatan. Hal ini dapat dilihat dari keanekaragaman biota dan kandungan
alam yang terdapat di Takeshima sehingga memunculkan perdebatan kepemilikan
atas pulau Takeshima yang mencakup batas-batas wilayah secara maritim,
termasuk penggunaan dan pemanfaatan sumber daya laut yang ada di dalamnya.
Semenanjung Korea meliputi wilayah yang berada dalam teritorial Korea Utara
maupun Selatan. Wilayah Korea Selatan memiliki pulau terluar yaitu Ulengdo dan
Takeshima. Pada tahun 1618 warga Jepang sudah memulai perburuan singa laut
dan pemanfaatan kayu serta bambu di wilayah Ulengdo dan Takeshima. Bahkan
pada tahun 1661, pemerintah Jepang telah memberikan izin kepada warganya
untuk melakukan perjalanan ke Takeshima.
Dalam kepemilikan pulau Takeshima, klaim atas kepemilikan pulau
Takeshima atau Dokdo juga ditunjukkan oleh Korea Selatan. Korea Selatan
menganggap ulau tersebut merupakan bagian dari wilayahnya. Korea Selatan
mengklaim bahwa pulau Takeshima berada di bawah kedaulatannya berdasar pada
acuan historis yang dikutip dalam beberapa dokumentasi pemerintah Korea
Selatan, yang menyatakan bahwa Takeshima pada awalnya merupakan suatu
independent island yang dinamakan Ussankuk dan telah bersatu dengan Korea
Selatan pada masa Dinasti Shilla pada tahun 512 SM. Berdasarkan dokumentasi
tersebut diketahui bahwa Takeshima ditemukan setelah adanya ekspedisi yang
dilakukan oleh Perancis di bawah komando F.G. Jean yang menyatakan bahwa
Takeshima berada di wilayah Semenanjung Korea di bawah teritorial Korea
Selatan.
Untuk itu Korea Selatan mengklaim bahwa pengakuan kedaulatan
Takeshima dilakukan lebih awal dibandingkan dengan pengakuan Jepang atas
Takeshima. Sebagai penegasan atas klaim Korea Selatan terhadap Takeshima,
maka telah dilakukan berbagai aktivitas yang dapat menunjang proses
pengakuannya dengan melaksanakan survei daratan dan dikonsepkan dalam
sebuah hasil pemetaan (topografi) yang dilakukan berdasarkan pada posisi ilmu
bumi secara akurat. Sebagian dari dokumentasi yang telah terkumpul diterbitkan
oleh Jepang seperti yang diterbitkan oleh Dabuchi Tomohiko pada tahun 1905
yang mengutip bahwa Takeshima sebagai bagian dari wilayah Korea dalam
“Kankoku Shinchishi” atau “Geografi Negara Korea Baru”3
Pada tahun 1904, Korea menandatangani sebuah perjanjian dengan Jepang.
Pada perjanjian itu, Korea mutlak dalam kendali Jepang. Segala urusan diplomatik .
3 http://www.forthenextgeneration.com/dokdo/dokdo_01.htm diakses pada 20 November 2013
dan pemerintahan berada di bawah kekuasaan Jepang dan Korea menjamin untuk
memberikan wilayahnya kepada Jepang jika diperlukan untuk perang Jepang4
Wilayah Takeshima merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh .
Sebagai konsekuensi dari perang antara Jepang dan Rusia pada tahun 1905,
Jepang memiliki hak untuk mengambil alih wilayah yang semula menjadi bagian
dari wilayah jajahan Rusia. Hal ini berarti bahwa wilayah semenanjung Korea
termasuk dalam wilayah yang menjadi bagian dari hasil perang tersebut. Hal
tersebut dikarenakan wilayah semenanjung Korea merupakan bagian dari wilayah
jajahan Jepang.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, secara otomatis
wilayah jajahan Jepang dikembalikan kepada negara/wilayah yang berkuasa
sebelumnya. Hal ini tertuang dalam perjanjian damai Jepang atau yang lebih
dikenal dengan perjanjian San Fransisco tanggal 8 September 1951, yang di
dalamnya memuat pasal-pasal yang menunjukkan tanggung-jawab Jepang sebagai
negara yang harus menanggung beban biaya yang ditimbulkan selama masa
penjajahan. Dalam perjanjian San Fransisco juga tertuang pasal tentang wilayah
yang harus dikembalikan kepada negara asal.
4 Yang Seung Yoon & Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea Sejak Awal Abad hingga Masa Kontemporer. Hal 137
Korea Selatan karena kepemilikannya. Berdasarkan pada perjanjian San Fransisco,
kepulauan Takeshima tidak termasuk ke dalam wilayah yang harus dikembalikan
oleh Jepang. Pada pasal 2 perjanjian San Fransisco hanya dibicarakan
pengembalian wilayah Pulau Kuril dan Senkaku pada Rusia. Hal ini dapat
diartikan sebagai legalitas Jepang untuk memiliki pulau itu. Dengan dasar hukum
berupa perjanjian San Fransico, Jepang memasukkan wilayah Takeshima ke
dalam kedaulatannya melalui Prefektur Shimane pada tanggal 22 Februari 1905
dalam putusan dewan Prefektur Shimane no 40. Kebijakan Jepang ini diambil
setelah adanya sekelompok nelayan di Prefektur Oki pada tanggal 17 Mei 1905
yang menginginkan legalitas pulau Takeshima dalam wilyah Jepang. Hal ini
dilakukan karena nelayan tersebut mulai melakukan aktivitas perburuan singa laut
di pulau Takeshima5
Dalih lain yang diberikan Jepang untuk menantang klaim Korea Selatan
atas Kepemilikan Takeshima berupa bukti akan perjanjian pendudukan Jepang
atas Korea. Pada saat penandatanganan perjanjian pendudukan Jepang atas Korea,
secara otomatis wilayah Korea merupakan bagian dari wilayah jajahan Jepang.
Namun, ada satu poin yang dianggap Jepang penting untuk mengklaim pulau .
5 http://dokdo-takeshima.com/liancourtrocks/dok/190708.htm. diakses tanggal 27 Januari 2013
Takeshima tidak termasuk dalam wilayah Korea dan dapat dianggap sebagai
daerah tidak bertuan (Terra Nulius).
Pada tahun 2008, Jepang kembali mempertegas klaimnya dengan cara
memasukkan kepulauan Takeshima ke dalam buku kurikulum pendidikan sekolah
menengah Jepang. Hal ini bertujuan untuk pengenalan kepada anak-anak sekolah
menengah. Selain bertujuan untuk pengenalan anak sekolah menengah,
memasukkan wilayah Takeshima ke dalam buku pelajaran sekolah menengah
Jepang juga memiliki makna bahwa Jepang adalah pemilik legalitas atas
kepulauan Takeshima, bukan Korea Selatan atau negara manapun.
Berdasarkan klaim kedua negara tersebut di atas, maka penulis tertarik
untuk mengkaji, mencermati, dan mempelajari fenomena tersebut sebagai bahan
penelitian dengan mendeskripsikannya melalui judul: “Upaya Diplomatik Jepang
dan Korea Selatan dalam Penyelesaian Sengketa Pulau Takeshima”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dijelaskan di atas, maka penulis
mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana latar-belakang sejarah konflik atas klaim Kepulauan Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan?
2. Bagaimana upaya diplomatik Jepang – Korea Selatan dalam menyelesaikan sengketa Pulau Takeshima?
Karena luasnya permasalahan, maka dipandang perlu untuk membatasi ruang
lingkup penelitian. Pembatasan mengacu pada pasang-surut hubungan diplomatik
Jepang dan Korea Selatan, membahas mengenai latar belakang sejarah konflik
Jepang-Korea Selatan atas klaim Pulau Takeshima serta upaya diplomatik yang
ditempuh kedua negara dalam menyelesaikan sengketa itu. Permasalahan
Takeshima mengalami puncak perdebatan pada masa pemerintahan Perdana
Menteri Taro Aso. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk mengambil periode
pemerintahan Jepang hingga tahun 2012.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari usulan penelitian adalah:
a. Untuk mengetahui latar belakang sejarah konflik atas klaim Pulau Takeshima
antara Jepang dan Korea Selatan.
b. Untuk mengetahui upaya diplomatik Jepang dan Korea Selatan dalam
menyelesaikan sengketa Pulau Takeshima.
1.4. Landasan Teori
Dalam interaksi sesama manusia, konflik atau sengketa merupakan hal
yang lumrah terjadi. Berbagai metode penyelesaian sengketa internasional telah
berkembang pesat sesuai dengan tuntutan zaman. Namun, hal tersebut belum
juga dapat membuat sengketa yang terjadi antar negara atau bangsa usai bahkan
sengketa yang terjadi semakin banyak.
Tidak dapat disangkal, salah satu persoalan yang dapat memicu
persengketaan antar negara adalah masalah perbatasan. Jepang dan Korea Selatan
juga menghadapi masalah ini, terutama mengenai garis perbatasan di wilayah
perairan laut dengan negara-negara tetangga.
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat
didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subjek mengenai sebuah fakta,
hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya
ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik
mengenai penafsiran atau kepentingan antara dua bangsa yang berbeda6
6Ion Diaconu, Peaceful Settlement of Disputes Beteen States: History and Prospects, dalam Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, 2004, hlm. 1.
.
Sengketa juga dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu
subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah
oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau
fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa
yang berbeda7
Kriteria sengketa yang ditetapkan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) adalah:
.
Sengketa internasional disebut dengan perselisihan yang terjadi antara
negara dengan negara, negara dengan individu atau negara dengan badan-badan /
lembaga yang menjadi subjek internasional atau suatu konflik antar negara dalam
memperebutkan suatu wilayah, maupun wilayahnya yang terletak di perbatasan.
1) Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. dengan melihat fakta-fakta yang ada.
Contoh: Kasus penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak
2) Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Contoh: USA vs. Iran 1979 (Iran Case). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional dalam mengambil
putusan tidak hanya berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat, tetapi juga
Iran.
3) Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak
tentang adanya sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak
7Ibid.
ada sengketa. Contoh: Case Concerning the Nothern Cameroons 1967
(Cameroons vs. United Kingdom). Dalam kasus ini Inggris menyatakan
bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris
mengatakan bahwa sengketa tersebut terjadi antara Kamerun dan PBB. Dari
kasus antara Inggris dan Kamerun ini dapat disimpulkan bahwa bukan para
pihak yang bersengketa yang memutuskan ada tidaknya sengketa, tetapi harus
diselesaikan/diputuskan oleh pihak ketiga.
4) Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang bersengketa. Contoh: Case Concerning the Applicability of the
Obligation to Arbitrate under section 21 of the United Nations Headquarters
agreement of 26 June 1947.
Phillip Bobbitt dalam bukunya The Shield of Achilles: War, Peace, and the
Course of History (2003) menyatakan sengketa dapat terjadi karena berbagai
sebab, antara lain:
1) Salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian Internasional.
2) Perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian Internasional.
3) Perebutan sumber-sumber ekonomi.
4) Perebutan pengaruh ekonomi.
5) Adanya intervensi terhadap kedaulatan negara lain.
6) Perluasan pengaruh politik& ideologi terhadap negara lain.
7) Adanya perbedaan kepentingan.
8) Penghinaan terhadap harga diri bangsa.
9) Ketidaksepahaman mengenai garis perbatasan antar negara yang belum terselesaikan melalui mekanisme perundingan.
10) Peningkatan persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara- negara yang ada di kawasan ini, maupun dari luar kawasan.
11) Eskalasi aksi terorisme lintas negara, dan gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman antar negara bertetangga.
Sebab-sebab lain yang dapat menimbulkan sengketa internasional yaitu:
1) Segi Politis (Adanya Pakta Pertahanan atau Pakta Perdamaian)
Pasca perang dunia kedua (1945) muncul dua blok kekuatan besar, Barat
(liberal membentuk pakta pertahanan NATO) di bawah pimpinan Amerika dan
Timur (komunis membentuk pakta pertahanan Warsawa) dipimpin Uni Soviet.
Kedua blok tersebut, saling berebut pengaruh di bidang ideologi dan ekonomi
serta saling berlomba memperkuat senjata. Akibatnya sering terjadi sengketa di
berbagai negara yang menjadi korban. Misalnya, krisis Kuba, Korea yang terbagi
menjadi Korea Utara (komunis) dan Korea Selatan (liberal), Kamboja, Vietnam,
dan sebagainya.
2) Segi Batas Wilayah Laut (Laut Teritorial dan Alam Daratan)
Adanya ketidakjelasan batas laut teritorial antara Indonesia dengan
Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan (di Kalimantan). Sengketa tersebut
diserahkan ke Mahkamah Internasional, hingga akhirnya pada tahun 2003
sengketa tersebut dimenangkan oleh Malaysia. Demikian juga masalah perbatasan
di Kasmir yang hingga kini masih diperdebatkan antara India dan Pakistan.
Masalah kepulauan Spratly dan Paracel di laut Cina Selatan, sampai sekarang
masih diperebutkan oleh negara Filipina, Malaysia, Thailand, RRC, dan Vietnam.
Ada beberapa cara yang biasa digunakan untuk menyelesaikan sengketa
internasional baik secara diplomatik yang damai maupun secara paksa :
1) Penyelesaian Diplomatik secara damai:
Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian
sengketa secara diplomatik adalah negosiasi, enquiry atau penyelidikan, mediasi,
konsiliasi, dan good offices atau jasa-jasa baik8
8 Malcolm N. Shaw, International Law, Fourth Edition, Cambridge University Press, 1997, hlm. 717
. Dalam praktiknya, metode ini
mengandung 7 prinsip yang memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan
masing-masing. Ketujuh prinsip itu adalah:
a) Prinsip itikad baik (good faith).
b) Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa.
c) Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa.
d) Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa.
e) Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus).
f) Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies)
g) Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.
2) Penyelesaian sengketa internasional secara paksa:
Negara-negara bila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan
sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin
digunakan adalah cara-cara kekerasan9. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian
melalui kekerasan antara lain:
9Ibid.
a) Perang :
Tujuan perang adalah menaklukkan negara lawan dan membebankan syarat-
syarat penyelesaian. Perang merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan untuk
menaklukkan negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian
secara paksa.
b) Retorsi (Retortion):
Retorsi adalah pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-
tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain.
c) Pembalasan (Repraisals):
Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai oleh negara-negara
untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan
melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara
tindakan pembalasan dan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang
pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan illegal sedangkan retorsi
meliputi tindakan sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum.
Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya suatu pemboikotan
barang-barang terhadap suatu negara tertentu.
d) Blokade secara damai (Pacific Blockade):
Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat
perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Blokade secara damai adalah
suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan
sebagai pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa
negara yang pelabuhannya diblokade mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian
yang diderita oleh negara yang memblokade.
e) Intervensi (Intervention):
Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan
dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini berarti suatu
tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari pada
mediasi atau usulan diplomatik.
Menurut Mahkamah, intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila:
(1) campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara
dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas, dan (2) campur tangan itu
meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa,
khususnya kekerasan.
1.5. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskritif
analitis.
a. Metode Pengumpulan Data.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, di
mana penulis melakukan teknik pengumpulan data dengan mencari data-data dari
kepustakaan buku, informasi-informasi berdasarkan literatur atau referensi baik
yang bersumber dari artikel-artikel, majalah, surat kabar, jurnal, buletin-buletin,
internet maupun catatan-catatan penting mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
permasalahan sengketa kepulauan Takeshima.
b. Metode Analisis Data.
Metode analisis yang digunakan adalah Historis Analisis yakni cara
pemecahan suatu masalah dengan cara pengumpulan data dan fakta-fakta khusus
mengenai kejadian masa lampau dalam hubungannya dengan masa kini sebagai
rangkaian yang tidak terputus dan saling berhubungan satu sama lain. Dengan
menggunakan metode ini sebagai acuan, penulis mengumpulkan berbagai macam
data yang didapat dari dokumen-dokumen sejarah melalui surat kabar seperti
TIMES, dan Yomiuri Shimbun, media internet, majalah seperti BBC, dan buku-
buku sejarah dan politik Luar Negeri seperti International Law, Fourth Edition,
dan Pengantar Ilmu Sejarah. Data-data tersebut kemudian diolah untuk
kemudian dikomparasikan dan dicocokkan dengan kondisi yang tengah terjadi
pada saat ini, agar dapat dijadikan dasar untuk melakukan prediksi di masa yang
akan datang.
1.7 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam membaca dan memahami isi dari skripsi ini,
sistematika penulisannya dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
BAB I Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, metode penulisan, tujuan penulisan,
dan sistematika penulisan
BAB II Bab ini membahas tentang Sejarah Hubungan Diplomatik
Jepang-Korea Selatan dan Latar Belakang timbulnya sengketa
Kepulauan Takeshima.
BAB III Bab ini berisi tentang Upaya Diplomatik Jepang- Korea Selatan
dalam menyelesaikan Sengketa Pulau Takeshima.
BAB IV Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan.