• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pengolahan data Biomassa

Penelitian ini dilakukan di dua bagian hutan yaitu bagian Hutan Balo dan Tuder. Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan diperoleh dari 61 plot yang tersebar berdasarkan Kelas Umur (KU) tertentu, pada KU IV sampai KU XI rata- rata biomassa BEF (Biomass Expansion Factor) lebih besar dibandingkan biomassa Alometrik Hendri. Nilai rata-rata biomassa tertinggi didapatkan pada KU XI yaitu sebesar 328,695 ton/ha untuk biomassa alometrik Hendri dan 461,175 ton/ha untuk biomassa BEF. Pada Kelas Umur I didapatkan nilai biomassa terendah yaitu sebesar 44,743 ton/ha untuk biomassa alometrik Hendri dan 37,711 ton/ha untuk biomassa BEF.

Tabel 4 Rata-rata biomassa BEF dan alometrik di KPH Kebonharjo

Kelas Umur Jumlah Plot Biomassa (Ton/Ha)

Alometrik BEF

KU I 16 44,743 37,711

KU II 13 125,086 124,308

KU III 8 118,440 115,640

KU IV 5 139,168 155,914

KU V 5 125,784 144,978

KU VI 5 140,538 176,437

KU VII 3 191,743 245,830

KU VIII 4 211,218 288,682

KU IX 1 199,069 274,432

KU XI 1 328,695 461,174

Gambar 3 Grafik rata-rata biomassa alometrik Hendri dan BEF setiap KU.

0 100 200 300 400 500

KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII

KU IX KU XI

Biomassa (Ton/Ha)

Kelas Umur (KU)

Biomassa Alometrik dan BEF Pada Setiap Kelas Umur

ALO BEF

(2)

Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa perhitungan biomassa dengan persamaan alometrik lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan menggunakan koefisien BEF. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat dari koefisien BEF yang lebih umum dibandingkan dengan penggunaan persamaan Alometrik yang memang dikhususkan untuk daerah dengan topografi dan ketinggian yang kurang lebih sama dengan daerah penelitian. BEF yang digunakan dikembangkan oleh Kraenzel et al. (2003) berdasarkan data perhitungan biomassa tegakan Jati secara destruktif di daerah Panama. Selain itu perhitungan BEF ini dikonsentrasikan pada pohon Jati berusia 20 tahun (KU II), sedangkan pada daerah penelitian pohon Jati yang diambil sebagai sampel pengukuran memiliki umur yang bervariasi. Sehingga pada penelitian ini penggunaan BEF overestimate untuk digunakan. Selain itu uji t yang dilakukan menghasikan nilai biomassa Alometrik berbeda nyata dengan biomassa BEF dengani nilai signifikansi yang kurang dari 0,05 yaitu sebesar 0,01 dan nilai thitung 3,49 yang lebih besar dari t(α/2)

yaitu 2,00 pada taraf nyata 5%. Sehingga hasil dari uji t menyatakan bahwa biomassa BEF tidak dapat digunakan untuk menduga biomassa atas permukaan pada tempat penelitian ini.

5.2 Hasil Pengolahan Data Citra

Nilai digital setiap plot didapatkan dari ekstraksi nilai digital pada citra ALOS PALSAR yang telah dilakukan koreksi kelerengan, untuk kemudian dikonversikan menjadi nilai hamburan balik. Selain itu juga dilakukan pengekstraksian nilai digital per petak areal kerja KPH Kebonharjo untuk pembuatan peta sebaran biomassa per anak petak. Nilai digital yang digunakan merupakan nilai digital rata-rata per petak areal kerja KPH Kebonharjo.

Rentang nilai terkecil sampai terbesar dari backscatter citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m untuk polarisasi HH dan HV ditampilkan dalam Tabel 5 berikut ini.

(3)

Tabel 5 Nilai backscatter pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m.

Resolusi Backscatter Minimum Maksimum Rata-rata

50 m HH -10,87440 -4,10189 -6,09736

HV -18,51798 -10,02429 -12,23662

12,5 m HH -14,70008 -4,23721 -7,37397

HV -22,59728 -11,27508 -13,91586

Dari hasil yang diperoleh nilai backscatter rata-rata dari 61 plot pada citra ALOS PALSAR, nilai backscatter pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m memiliki pola yang sama dimana polarisasi HV lebih rendah dibandingkan polarisasi HH.

5.3 Penyusunan Model

Pada penelitian ini dilakukan empat jenis pemodelan dengan menggunakan dua variabel, tiga variabel, dan empat variabel. Pada tahap pertama dilakukan pemodelan dengan menggunakan dua variabel yaitu biomassa sebagai variabel respons (y) dan backscatter sebagai variabel prediktor (x). Pada tahap kedua dilakukan pemodelan untuk keperluan pembuatan peta sebaran biomassa dengan menggunakan tiga variabel dimana satu variabel yaitu biomassa digunakan sebagai variabel respons (y) atau sering dikenal dengan variabel dependen dan dua variabel lainya yaitu backscatter dan umur pohon, digunakan sebagai variabel prediktor (x) atau sering dikenal dengan variabel indipenden. Pada tahap ketiga juga dilakukan pemodelan dengan menggunakan tiga variabel yaitu biomassa sebagai varibel respons (y) dan dua variabel lainya sebagai variabel prediktor (x) yaitu backscatter dan tinggi pohon.

Pada tahap keempat digunakan empat variabel dimana satu variabel yaitu biomassa digunakan sebagai variabel respons (y) atau sering dikenal dengan variabel dependen dan tiga variabel lainya yaitu backscatter, umur pohon, dan tinggi pohon digunakan sebagai variabel prediktor (x) atau sering dikenal dengan variabel indipenden.

Hasil terbaik dari keempat jenis pemodelan tersebut tidak seluruhnya akan digunakan dalam pembuatan peta sebaran biomassa, hal tersebut dikarenakan

(4)

salah satu variabel prediktor yaitu tinggi pohon tidak tersedia secara merata di seluruh areal pengamatan. Teknologi untuk menyediakan data tinggi pohon tersebut dapat diperoleh yaitu dengan bantuan LIDAR, namum pada penelitian ini lebih difokuskan pada pemetaan sebaran biomassa dengan variabel-variabel prediktor yang tersedia yaitu umur dan backscatter.

Besarnya nilai koefisien determinasi dapat menjamin keterandalan model apabila variabel bebasnya memiliki korelasi. Dari seluruh variabel yang digunakan dalam regresi memiliki korelasi yang positif terhadap biomassa atas permukaan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 6 Matriks korelasi biomassa dengan seluruh variabel bebas pada citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m

Korelasi Biomassa dengan BS HH, Umur, Tinggi

Korelasi Biomassa dengan BS HV, Umur, Tinggi

Biomassa HH Umur Biomassa HV Umur

HH 0,383 HV 0,503

0,002 0

Umur 0,723 0,365 Umur 0,723 0,456

0 0,004 0 0

Tinggi 0,82 0,471 0,881 Tinggi 0,856 0,537 0,881

0 0 0 0 0 0

Keterangan: Korelasi Pearson P value

Tabel 7 Matriks korelasi biomassa dengan seluruh variabel bebas pada citra ALOS PALSAR resolusi spasial 12,5 m

Korelasi Biomassa dengan BS HH, Umur, Tinggi

Korelasi Biomassa dengan BS HV, Umur, Tinggi

Biomassa HH Umur Biomassa HV Umur

HH 0,43 HV 0,522

0,001 0

Umur 0,723 0,416 Umur 0,723 0,432

0 0,001 0 0,001

Tinggi 0,82 0,511 0,881 Tinggi 0,82 0,524 0,881

0 0 0 0 0 0

Keterangan: Korelasi Pearson P value

Dari Tabel 6 dan 7 dapat terlihat bahwa seluruh variabel prediktor (x) memiliki hubungan yang positf dengan variabel respons (y). Hal tersebut berarti

(5)

bahwa analisis regresi dapat dilakukan karena variabel independen berupa backscatter, umur, dan tinggi pohon. memiliki hubungan yang nyata terhadap variabel dependen berupa biomassa. Keterkaitan dari hubungan ini kemudian dianalisis dengan menggunakan regresi sederhana, regresi linear berganda, regresi kuadratik dan regresi eksponensial.

5.3.1 Penyusunan Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Backscatter Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa nilai backscatter baik HH maupun HV memiiki korelasi dengan biomassa walaupun besarnya nilai korelasi tidak sebesar variabel prediktor lainya yaitu umur dan tinggi pohon. Analisis hubungan antara backscatter dan biomassa di tunjukan pada tabel penyusunan model regresi berikut ini.

Tabel 8 Model regresi antara biomassa dengan variabel backscatter, pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

Polarisasi No Model R² (%) adj (%) RMSE

HH

1 Y = 306,408 + 30,881X₁ 36,6 34,7 55,2

2 Y = EXP( 6,45 + 0,287X₁ ) 54,2 53,4 41,6

3 Y = 199,438 - 2,105X₁² 34,7 32,8 56,1

HV

4 Y = 441,120 + 28,679X₁ 46,3 44,7 50,9

5 Y = EXP( 9,291 + 0,38X₁ ) 75,3 74,9 29,7

6 Y = 255,974 - 1,070X₁² 42,7 41,0 52,5

Keterangan: Y = biomassa; X₁= backscatter

Tabel 9 Model regresi antara biomassa dengan variabel bacscatter, pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m

Polarisasi No Model R² (%) adj (%) RMSE

HH

1 Y = 264,713 + 19,899X₁ 37,8 36,0 54,7

2 Y = EXP( 6,676 + 0,274X₁ ) 63,1 62,2 37,5

3 Y = 175,195 - 0,99X₁² 34,4 32,5 56,2

HV

4 Y = 358,331 + 17,264X₁ 40,2 38,4 53,7

5 Y = EXP( 8,811 + 0,302X₁ ) 72,5 71,7 32,4

6 Y = 218,358 - 0,505X₁² 37,9 36,1 52,5

Keterangan: Y = biomassa; X₁= backscatter

Analisis pemilihan model terbaik didasarkan kepada nilai R² dan R²adj tertinggi serta nilai RMSE yang terendah. Kelebihan dari R²adj adalah dapat

(6)

dipakai untuk membandingkan keterandalan model-model dari beberapa model yang memiliki banyak variabel bebas yang berbeda (Draper dan Smith 1981).

Pada tebel 8 dan 9 tersebut dapat dilihat bahwa model dengan nilai R² dan R²adj tertinggi serta nilai RMSE yang terendah didapatkan pada model eksponensial nomor 5, dengan hubungan antara biomassa dengan backscatter HV baik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun 12,5 m. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang umumnya menyimpulkan bahwa polarisasi HV mampu menjelaskan dengan baik pendugaan-pendugaan biomassa di lapangan (Rauste et al. 2007; Awaya 2009).

Setelah dilakukan pemilihan model maka pada tahap selanjutnya dilakukan validasi model pada model terbaik dengan menggunakan uji t berpasangan untuk menguji keterandalan model tersebut. Validasi model bertujuan untuk mengetahui apakah model yang telah terpilih dapat digunakan untuk menduga biomassa di lapangan. Berikut ini merupakan tabel hasil validasi pada model terpilih.

Tabel 10 Validasi model terbaik dengan hubungan antara biomassa dengan backscatter citra ALOS PALSAR

Resolusi Polarisasi Model t hit t(α/2) sig

50 m HV Y = EXP( 9,291 + 0,38X₁ ) 0,444 2,064 0,857 12,5 m HV Y = EXP( 8,811 + 0,302X₁ ) 0,745 2,064 0,463 Keterangan: Y = biomassa; X₁= backscatter

Pada Tabel 10 tersebut dapat dijelaskan bahwa model terbaik pada kedua citra tidak berbeda nyata antara hasil pengukuran di lapangan dengan hasil model terpilih. Hal tersebut dapat di lihat dari nilai thitung yang lebih kecil dari t(α/2). Dan signifikansi lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian model terbaik yang telah terpilih bisa digunakan untuk pendugaan nilai biomassa atas pendugaan tegakan jati di lapangan.

5.3.2 Penyusunan Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Backscatter dan Umur

Pada tahap kedua disusun model dengan menggunakan tiga variabel yaitu biomassa sebagai variabel respon (y) serta backscatter dan umur sebagai variabel prediktor (x). Model terbaik pada jenis regresi ini nantinya akan digunakan

(7)

sebagai model untuk penyusunan peta sebaran biomassa mengingat data variabel umur pohon tersedia pada seluruh areal pengamatan. Berikut merupakan tabel penyusunan model dengan menggunakan variabel prediktor backscatter dan umur pohon.

Tabel 11 Model regresi antara biomassa dengan variabel bacscatter dan umur pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

Polarisasi No Model R² (%) adj (%) RMSE

HH

1 Y = 143 + 13,6X₁ + 1,75X₂ 78,1 76,8 32,9

2 Y = EXP( 4,964 + 0,122X₁ + 0,013X₂) 76,2 74,7 34,3 3 Y = 134 - 1,32X₁² + 0,0189X₂² 79,0 77,7 32,2

HV

4 Y = 216 + 13,5X₁ + 1,65X₂ 79,9 78,7 31,5

5 Y = EXP( 5,882 + 0,14X₁ + 0,013X₂) 78,8 77,5 32,4 6 Y = 173 - 0,686X₁² + 0,0181X₂² 82,1 81,0 29,7 Keterangan: Y = biomassa; X₁ = backscatter; X₂ = umur

Tabel 12 Model regresi antara biomassa dengan variabel bacscatter dan umur pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m

Polarisasi No Model R² (%) adj (%) RMSE

HH

1 Y = 129 + 9,25X₁ + 1,74X₂ 79,0 77,8 32,2

2 Y = EXP( 5,087 + 0,117X₁ + 0,013X₂) 79,4 78,1 31,9 3 Y = 120 - 0,637X₁² + 0,019X₂² 79,6 78,4 31,8

HV

4 Y = 178 + 8,35X₁ + 1,71X₂ 80,0 78,7 31,5

5 Y = EXP( 6,108 + 0,136X₁ + 0,013X₂) 82,1 81,0 29,8 6 Y = 150 - 0,333X₁² + 0,0187X₂² 81,7 80,6 30,2 Keterangan Y = biomassa; X₁= backscatter; X₂= umur

Tabel di atas menjelaskan bahwa model terbaik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m didapatkan pada model kuadratik nomor 6. Pada model nomor 6 didapatkan nilai R², R²adj yang lebih tinggi, dan RMSE yang lebih rendah dari model lainya. Nilai R² dan R²adj pada model ini yaitu 82,1% dan 81% serta nilai RMSE sebesar 29,7. Pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m didapatkan model terbaik pada nomer nomor 5 dengan jenis model eksponensial. Dengan nilai R² 82,1%, R²adj 81,02% dan RMSE 29,8.

Dari hasil yang didapatkan kembali dapat dilihat bahwa variabel citra yang diguanakan memiliki hubungan paling erat pada backscatter HV. Hal tersebut

(8)

didukung karena seluruh model pendugaan dengan menggunakan backscatter HV sebagai variabel bebas menunjukkan pola hubungan yang lebih baik jika dibandingkan dengan hubungan biomassa dengan backscatter HH. Hal ini dikarenakan polarisasi HV memiliki sensitifitas lebih baik terhadap komponen penyusun biomassa yaitu batang dan tutupan tajuk. Selain itu juga variabel lapangan berupa umur pohon turut memberi pengaruh yang cukup besar mengingat korelasi yang cukup besar antara biomassa dan umur pohon, yaitu berkisar antara 0,7–0,8. Variabel ini juga merupakan salah satu variabel yang mudah diketahui dilapangan.

Penyusunan model dengan lebih dari satu variabel prediktor rentan terhadap terjadinya multikolinearitas. Multikoliniearitas rentan terjadi antar variabel prediktor yang memiliki korelasi lebih besar dari 0,7. Dalam pemodelan ini variabel prediktor backscatter dan umur pohon memiliki nilai koefisien korelasi berkisar antara 0,3–0,4 sehingga dapat diduga bahwa multikolinearitas pada model ini tidak terjadi.

Kemudian pada model terpilih tersebut dilakukan validasi model untuk mengetahui kelayakan dari model tersebut sebagai model penduga biomassa lapangan. Validasi model dilakukan dengan menggunakan uji-t berpasangan.

Hasil dari validasi model ditampilkan pada Tabel 13 di bawah ini.

Tabel 13 Hasil validasi model terpilih pada citra ALOS PALSAR dengan variabel backscatter dan umur

Resolusi Polarisasi Model t hit t(α/2) sig

50 m HV Y = 173 - ( 0,686X₁²) + (0,0181X₂²) -1,128 2,064 0,271 12,5 m HV Y = EXP( 6,108 + (0,136X₁ )+ (0,013X₂)) -1,228 2,064 0,231 Keterangan: Y = biomassa; X₁ = backscatter; X ₂= umur

Berdasarkan hasil dari validasi model terpilih didapatkan bahwa seluruh model terpilih valid untuk digunakan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai thitung yang lebih kecil dari t(α/2) dan nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05. Dengan demikian model terbaik yang telah terpilih bisa digunakan untuk pendugaan dan pemetaan nilai sebaran biomassa atas pendugaan tegakan jati di lapangan.

(9)

5.3.3 Penyusunan Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Backscatter dan Tinggi Pohon

Pada tahap ketiga dilakukan analisis regresi dengan menggunakan variabel lapangan berupa tinggi pohon dan variabel citra berupa backscatter. Tinggi pohon memiliki nilai korelasi yang lebih erat dengan biomassa dibandingkan dengan umur pohon yaitu berkisar antara 0,82-0,85. Selain itu korelasi antara sesama variabel prediktor berupa backscatter dan tinggi pohon dalam model regresi ini dibawah 0,7 hal tersebut menunjukan bahwa multikolinearitas juga tidak terjadi dalam model regresi ini. Nilai korelasi antara backscatter dan tinggi pohon berkisar antara 0,5 - 0,53. Berikut ini merupakan Tabel hasil Penyusunan model regresi menggunakan hubungan antara biomassa dengan backscatter dan tinggi pohon.

Tabel 14 Model regresi antara biomassa dengan variabel bacscatter dan tinggi pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

Polarisasi No Model

(%)

adj

(%) RMSE

HH 1 Y = 14,609 + 4,775X₁ + 7,758X₂ 85,8 84,9 26,6

2 Y = EXP( 4,224 + 0,099X₁ + 0,060X₂) 84,4 83,5 27,8 3 Y = 82,926 - 0,829X₁² + 0,194X₂² 85,4 84,5 26,9

HV 4 Y = 59,265 + 6,036X₁ + 7,423X₂ 86,4 85,6 26,0

5 Y = EXP( 4,936 + 0,112X₁ + 0,057X₂) 85,5 84,6 26,8 6 Y = 111,507 - 0,449 X₁² + 0,186X₂² 86,8 86,0 25,6 Keterangan: Y = biomassa; X₁ = backscatter; X ₂= tinggi pohon

Tabel 15 Model regresi antara biomassa dengan variabel bacscatter dan tinggi pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m

Polarisasi No Model

(%)

adj

(%) RMSE

HH

1 Y = 3,251 + 2,559X₁ + 7,817X₂ 85,6 84,7 26,7 2 Y = EXP( 3,99 + 0,045X₁ + 0,058X₂) 82,3 81,3 29,6 3 Y = 70,892 - 0,357X₁² + 0,195X₂² 84,6 83,6 27,7

HV

4 Y = 35,389 + 3,369X₁ + 7,589X₂ 86,2 85,3 26,2 5 Y = EXP( 4,775 + 0,077X₁ - 0,055X₂) 84,2 83,3 28,0 6 Y = 92,123 - 0,203X₁² + 0,191X₂² 85,8 85,0 26,5 Keterangan: Y = biomassa; X₁ = backscatter; X₂ = tinggi pohon

(10)

Pada tabel tersebut dipilih masing-masing satu model terbaik pada masing- masing citra, model terbaik di dapatkan pada model kuadratik nomor 6 pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan model linear berganda nomor 4 pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. Dengan nilai R²adj secara berturut turut sebesar 86,0% dan 85,3 %.

Pada model terpilih kemudian dilakukan validasi model dengan menggunakan uji t berpasangan untuk menunjukan apakah model bisa digunakan untuk menduga biomassa atas permukaan atau tidak. Tabel berikut merupakan hasil validasi pada model terpilih.

Tabel 16 Hasil validasi model terpilih pada cita ALOS PALSAR dengan variabel backscatter dan tinggi pohon

Resolusi Polarisasi Model t hit t(α/2) sig

50 m HV Y = 111,507 - 0,449 X₁² + 0,186X₂² 0,106 2,064 0,916 12,5 m HV Y = 35,389 + 3,369X₁ + 7,589X₂ 0,106 2,064 0,917 Keterangan: Y = biomassa; X₁ = backscatter; X ₂= tinggi pohon

Dari hasil validasi tersebut didapatkan nilai thitung pada model resolusi 12,5 m dan 50 m yaitu sebesar 0,106 nilai tersebut lebih kecil dari nilai t(α/2)sebesar 2,064. Kemudian nilai signifikansi pada model tersebut lebih besar dari 0,05 yaitu sebesar 0,917 dan 0,916. Nilai nilai tersebut menunjukan bahwa model terbaik dapat digunakan untuk menduga biomassa atas permukaan di daerah penelitian.

5.3.4 Penyusunan Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Backscatter Umur dan Tinggi Pohon

Pendugaan kandungan biomassa atas permukaan selain dengan menggunakan variabel yang berasal dari citra, variabel umur dan tinggi pohon dapat ditambahkan secara bersamaan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya variabel umur dan tinggi memiliki korelasi yang positif terhadap biomassa.

Sehingga penambahan dua variabel ini diharapkan dapat meningkatkan akurasi dari model regresi berganda yang akan disusun. Model regresi yang disusun disajikan pada Tabel 17 dan Tabel 18.

(11)

Tabel 17 Model regresi antara biomassa dengan variabel bacscatter, umur, dan tinggi pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

Polarisasi No Model

(%)

adj

(%) RMSE

HH

1 Y = 31,6 + 5,6X₁ + 0,449X₂ + 6,2X₃ 86,5 85,2 26,3 2 Y = EXP( 4,134 + 0,102X₁ + 0,004X₂ + 0,045X₃) 86,1 84,7 26,7 3 Y = 91,8 - 0,901X₁² + 0,00711X₂² + 0,138X₃² 87,4 86,3 25,3

HV

4 Y = 78,6 + 6,67X₁ + 0,461X₂ + 5,82X₃ 87,2 86,0 25,2 5 Y = EXP( 5,066 + 0,115X₁ + 0,004X₂ + 0,042X₃) 87,4 86,2 25,4 6 Y = 123 - 0,488X₁² + 0,00745X₂² + 0,127X₃² 89,0 88,0 25,5 Keterangan: Y = biomassa; X₁= backscatter; X₂= umur; X₃= tinggi pohon

Tabel 18 Model regresi antara biomassa dengan variabel bacscatter, umur, dan tinggi pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m

Polarisasi No Model

(%)

adj

(%) RMSE

HH

1 Y = 23,8 + 3,46X₁ + 0,484X₂ + 6,07X₃ 86,4 85,1 26,5 2 Y = EXP( 4,319 + 0,067X₁ + 0,006X₂ + 0,037X₃) 85,0 83,6 27,7 3 Y = 81,6 - 0,415X₁² + 0,00779X₂² + 0,132X₃² 87,0 85,8 25,8

HV

4 Y = 58 + 4X₁ + 0,498X₂ + 5,82X₃ 87,1 85,9 25,7 5 Y = EXP( 5,213 + 0,098X₁ + 0,006X₂ + 0,034X₃) 87,2 86,0 25,6 6 Y = 105 - 0,231X₁² + 0,00802X₂² + 0,216X₃² 88,4 87,3 24,3 Keterangan: Y = biomassa; X₁= backscatter; X₂= umur; X₃= tinggi pohon

Dari hasil penyusunan model pada kedua citra didapatkan model terbaik yaitu model kuadratik nomor 6. Pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m didapatkan kisaran nilai R²adj yaitu sebesar 86,2% - 88,0%. Hal tersebut berati bahwa kandungan biomassa dapat dijelaskan dengan baik oleh variabel-variabel penduganya sebesar 86,2% - 88,0%. Pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m didapatkan kisaran nilai R²adj yaitu sebesar 83,6% - 87,3%. Hal tersebut berati bahwa kandungan biomassa dapat dijelaskan dengan baik oleh variabel-variabel penduganya sebesar 83,6% - 87,3%.

Kemudian perlu analisis lebih lanjut terhadap adanya multikolinearitas pada model terpilih tersebut mengingat korelasi yang cukup erat antara umur dan tinggi pohon, yaitu sebesar 0,881. Selain menggunakan nilai korelasi, multikolinearitas juga dapat dilihat dari besaran nilai VIF. Hines dan Montgomery (1990) mengatakan bahwa meskipun suatu model memiliki R² yang besar, tidak berarti model tersebut model yang terbaik. Model regresi yang dibuat tersebut memiliki

(12)

kemungkinan terdapatnya kolinearitas diantara dua atau lebih variabel bebasnya.

Ada atau tidaknya kolinearitas dalam suatu model dapat dilihat dari besaran nilai VIF (Variance Inflation Factor). Jika suatu model memiliki VIF lebih besar dari 5 maka model tersebut memiliki multikolinearitas. Tabel 19 berikut merupakan hasil analisis nilai VIF pada model model terpilih.

Tabel 19 Analisis VIF (Variance Inflation Factor) pada model terbaik pendugaan biomassa dengan penambahan variabel umur dan tinggi pohon

Resolusi Polarisasi Model VIF

BS Umur Tinggi 50 m HV Y = 123 - 0,488X₁² + 0,00745X₂² + 0,127X₃² 1,3 3,4 3,8 12,5 m HV Y = 105 - 0,231X₁² + 0,00802X₂² + 0,126X₃² 1,3 3,4 4,0 Keterangan: Y = biomassa; X₁ = backscatter; X₂ = umur; X₃ = tinggi pohon; BS = backscatter

Berdasarkan Tabel tersebut diperoleh informasi bahwa seluruh model terpilih tidak memiliki nilai VIF kurang dari 5. Hal tersebut menandakan bahwa multikolinearitas tidak terjadi dalam model terpilih tersebut. Pada model-model terpilih tersebut kemudian dilakukan validasi model. Validasi model dilakukan dengan menggunakan uji-t berpasangan. Hasil dari validasi model disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20 Hasil validasi model terbaik pendugaan biomassa dengan penambahan variabel umur dan tinggi pohon

Resolusi Polarisasi Model t hit t(α/2) sig

50 m HV Y = 123 - 0,488X₁² + 0,00745X₂² + 0,127X₃² -0,592 2,064 0,559 12,5 m HV Y = 105 - 0,231X₁² + 0,00802X₂² + 0,126X₃² -0,7 2,064 0,493 Keterangan Y = biomassa; X₁ = backscatter; X₂ = umur; X₃ = tinggi pohon

Pada tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa model terbaik pada kedua citra tidak berbeda nyata antara hasil pengukuran di lapangan dengan hasil model terpilih. Hal tersebut berati bahwa pada uji t dengan taraf nyata sebesar 5%, koefisien dari variabel bebas (variabel prediktor) dapat menjelaskan biomassa secara signifikan. Dengan demikian model terbaik yang telah terpilih bisa di gunakan untuk pendugaan nilai biomassa atas permukaan tegakan jati di lapangan.

(13)

5.3.5 Pengaruh Penambahan Tinggi dan Umur Pohon pada Model Pendugaan Biomassa

Penambahan variabel umur dan tinggi pohon bisa dikatakan telah terbukti meningkatkan akurasi dalam pendugaan model biomassa, hal tersebut dapat di lihat dari hubungan biomassa dan backscatter HV citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dengan model terbaiknya yaitu model eksponensial, didapatkan nilai R²adj sebesar 79,4%. Sedangkan pada hubungan biomassa dan backscatter HV citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dengan model terbaik yaitu model eksponensial didapatkan nilai R²adj sebesar 71,7%.

Peningkatan nilai R²adj pada penambahan variabel umur dan tinggi pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ialah sebesar 16,3% dan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ialah sebesar 7,9 %. Peningkatan nilai R²adj pada penambahan variabel umur pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ialah sebesar 9,3 % dan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ialah sebesar 2%. Sedangkan peningkatan nilai R²adj pada penambahan variabel tinggi pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ialah sebesar 14,3 % dan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ialah sebesar 5,9%. Tabel berikut merupakan tabel perbandingan nilai pada pendugaan nilai biomassa dengan mengunakan dua variabel,tiga variabel, dan empat variabel.

Tabel 21 Perbandingan nilai R2adj pada tiga jenis model pendugaan biomassa

Variabel

Resolusi BS BS dan Umur BS dan Tinggi BS,Umur, dan tinggi

R2adj R2adj R2adj R2adj

50 m 71,7% 81,0% 86,0% 88,0%

12,5 m 79,4% 81,0% 85,3% 87,3%

Keterangan : BS=Backscatter

Dari tabel tersebut dapat di lihat bahwa akurasi akan meningkat seiring penambahan peubah yang di gunakan dalam pemodelan. Hal tersebut menunjukan bahwa peubah peubah prediktor yang ditambahkan mampu menjelaskan dengan baik peubah responnya dalam hal ini ialah biomassa atas permukaan.

(14)

5.4 Peta Sebaran Biomassa

Peta sebaran biomassa berisi informasi tentang sebaran biomassa pada wilayah pengamatan. Peta sebaran biomassa dibuat berdasarkan model terpilih menggunakan hubungan antara biomassa dengan backscatter dan umur pohon yang telah dilakukan pada kegiatan pemodelan sebelumya. Pada penelitian ini dilakukan pengkelasan biomassa untuk memudahkan dilakukannya pemetaan sebaran biomassa. Pada penelitian ini kelas terbaik didapatkan pada sebaran nilai biomassa di lapangan dengan pembagian tiga kelas. Berikut merupakan gambar grafik distribusi kelas biomassa.

Gambar 4 Grafik distribusi kelas biomassa.

Berdasarkan grafik distribusi biomassa tersebut nilai biomassa dibagi menjadi tiga kelas. Pada kelas pertama sebaran biomassa mulai dari 7,52 ̶ 82,59 ton/ha, kelas kedua 82,59 – 149,52 ton/ha, dan kelas ketiga berkisar antara 149,52 – 346,34 ton/ha. Kemudian peta biomassa dibangun berdasarkan kelas biomassa tersebut. Pemetaan yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan basis piksel dan anak petak. Setelah itu dilakukan perhitungan nilai Overall accuracy (OA) dan kappa accuracy (KA) untuk mengetahui akurasi dari masing-masing peta sebaran biomassa. Tabel 26 dan 27 dibawah ini merupakan hasil dari perhitungan nilai OA dan KA pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5m.

0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00

Biomassa (ton/Ha)

Grafik Distribusi Biomassa

Kelas I Kelas II Kelas III

(15)

Tabel 22 Hasil perhitungan Overall accuracy (OA) dan kappa accuracy (KA) pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

ALOS PASAR Resolusi 50m

Variabel Anak Petak (%) Non Filtering (%) Filtering (%)

3x3 4x4

OA KA OA KA OA KA OA KA

HV+umur 60,65 39,85 67,21 50,06 70,49 55,05 70,49 54,85

Tabel 23 Hasil perhitungan Overall accuracy (OA) dan kappa accuracy (KA) pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m

ALOS PASAR Resolusi 12,5 m

Variabel Anak Petak (%) Non Filtering (%) Filtering (%)

5x5 7x7

OA KA OA KA OA KA OA KA

HV+umur 61,90 42,87 59,01 37,34 65,57 47,25 67,21 49,89

Berdasarkan Tabel tersebut citra hasil filtering memiliki hasil akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan biomassa yang dipetakan berdasarkan anak petak dan berdasarkan piksel non filtering. Berdasarkan Tabel 22 dan 23, didapatkan nilai Overall accuracy (OA) dan kappa accuracy (KA) terbesar diperoleh pada hasil filtering kernel 7x7 pada ALOS PALSAR resolusi 12,5m dan kernel 3x3 pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Filtering merupakan suatu prosedur atau fungsi matematis yang menggunakan matriks bujur sangkar (kernel) sebagai alat utama yang biasanya akan dikenakan terhadap citra.

Pemetaan biomassa berdasarkan anak petak cendrung memiliki nilai Overall accuracy (OA) dan kappa accuracy (KA) yang lebih rendah dibandingkan dengan pemetaan biomassa berbasis piksel. Hal tersebut dikarenakan data petak yang dirisalah cenderung homogen pada saat perisalahan sehingga pemetaan dengan cara ini lebih global dibandingkan dengan pemetaan dengan menggunakan basis piksel. Seiring berjalanya waktu banyak hal yang terjadi pada petak tersebut.

Misalnya saja pencurian dan hama yang menyebabkan pertumbuhan dan jumlah pohon per petaknya terganggu. Hal-hal tersebut bisa diminimalisir berdasarkan pemetaan dengan basis piksel. Selain itu juga filtering berguna untuk

(16)

menghilangkan speckle dan nois pada citra radar sehingga hasil ketelitian yang dihasilkan lebih akurat.

Proses filtering membantu menstabilkan nilai backscatter disekitar titik pengamatan. Hal ini bisa untuk meminimalisir bias yang dapat ditimbulkan akibat adanya pergeseran pixel titik pengamatan pada citra karena banyaknya speckle noise. Pada pendugaan pemetaan secara spasial hal ini penting dilakukan karena sekelompok pixel memiliki faktor lokal yang bisa mempengaruhi nilai backscatter. Berikut ini merupakan Peta Sebaran Biomassa biomassa yang merupakan hasil terbaik berdasarkan nilai OA dan KA.

Gambar 5 Peta sebaran biomassa di KPH Kebonharjo resolusi 50 m berdasarkan anak petak.

(17)

Gambar 6 Peta sebaran biomassa di KPH Kebonharjo resolusi 50 m berdasarkan piksel dengan filtering 3x3.

Berdasarkan Gambar 5 dan Gambar 6 nilai Kappa Accuracy yang didapatkan pada pemetaan dengan basis piksel lebih tinggi dari pada pemetaan dengan anak petak. Kedua jenis pemetan pada resolusi 50 m ini memiliki penampakan yang hampir serupa, namun apabila dilihat dengan seksama terdapat perbedaan pada sebaran spasial kelas biomassa tersebut. Biomassa yang seharusnya dikelaskan menjadi kelas tiga cenderung dikelaskan menjadi biomassa kelas dua pada pemetaan dengan menggunakan anak petak. Peta biomassa pada resolusi 50 m tersebut juga menunjukan bahwa sebagian besar biomassa di KPH Kebonharjo didominasi oleh biomassa kelas satu yang digambarkan dengan warna ungu dan kelas dua yang digambarkan dengan warna biru. Selain menggunakan resolusi 50 m dilakukan juga pemetaan dengan kedua metode tersebut pada resolusi 12,5 m. Gambar berikut merupakan peta sebaran biomassa dengan menggunakan anak petak dan basis piksel pada resolusi 12,5 m.

(18)

Gambar 7 Peta sebaran biomassa di KPH Kebonharjo resolusi 12,5 m berdasarkan anak petak.

Gambar 8 Peta sebaran biomassa di KPH Kebonharjo resolusi 12,5 m berdasarkan piksel dengan filtering 7x7.

(19)

Dari hasil yang diperoleh pada Gambar 7 dan Gambar 8 nilai Kappa Accuracy yang didapatkan pada pemetaan dengan basis piksel filtering 7x7 lebih tinggi dari pada pemetaan dengan anak petak pada resolusi 12,5 m. Peta biomassa dengan basis piksel memiliki penampakan biomassa yang lebih detail dibandingkan dengan peta sebaran biomassa dengan menggunakan anak petak.

Hal tersebut dapat dilihat dari sebaran biomassa secara spasial yang dapat digambarkan dengan baik khususnya pada biomassa kelas tiga.

Kesalahan yang sering terjadi ialah biomassa kelas tiga cenderung dipetakan menjadi biomassa kelas dua dan biomassa kelas dua cenderung dikelaskan menjadi kelas satu pada pemetaan dengan menggunakan anak petak. Hal tersebut terjadi karena satuan areal yang digunakan oleh pemetaan dengan menggunakan anak petak lebih luas dibandingkan dengan menggunakan basis piksel, sehingga informasi yang digunakan untuk pembangunan peta tersebut juga akan lebih general pada pemetaan dengan menggunakan anak petak. Pada pemetaan dengan basis piksel biomassa diduga berdasarkan areal seluas piksel itu sendiri, yaitu 12,5m x 12,5 m sehingga penampakanya akan lebih detail. Peta biomassa pada resolusi 12,5 m tersebut juga menunjukan bahwa sebagian besar biomassa di KPH Kebonharjo didominasi oleh biomassa kelas satu dan kelas dua, namun terdapat pula sebaran biomassa kelas tiga khususnya pada bagian tengah areal KPH Kebonharjo.

Peta sebaran biomassa dengan nilai akurasi yang tinggi didapatkan pada pemetaan biomassa dengan basis piksel dibandingkan dengan anak petak, baik pada resolusi 50 m maupun resolusi 12,5 m. Tentu saja terdapat perbedaan sebaran biomassa antara kedua jenis resolusi tersebut karena perbedaan resolusi spasial akan mempengaruhi suatu peta. Peta sebaran biomassa pada Gambar 6 dan 8 merupakan peta sebaran biomassa dengan nilai akurasi yang terbaik pada resolusi 50 m dan 12,5 m. Pada peta tersebut dapat dilihat bahwa sebaran biomassa di KPH Kebonharjo didominasi oleh kelas satu dan kelas dua. Peta sebaran biomassa resolusi 12,5 m memiliki penampakan yang lebih detail daripada 50 m. Hal tersebut dipengaruhi oleh resolusi citra. Karena resolusinya lebih tinggi, citra resolusi 12,5 m dapat menduga biomassa dalam satuan luasan yang lebih kecil dibanding dengan citra resolusi 50 m. Selain itu pula kandungan

(20)

biomassa yang terdapat pada peta sebaran biomassa resolusi 12,5 m dapat digambarkan dengan baik dibandingkan dengan peta sebaran biomassa resolusi 50 m, hal tersebut dapat dilihat dari biomassa kelas tiga yang mampu digambarkan dengan lebih detail dan menyebar terutama pada bagian tengah areal KPH tersebut. Selain itu pula pada bagian kiri atas areal dapat dilihat bahwa biomassa kelas dua mampu diidentifikasi pada peta sebaran biomassa resolusi 12,5 m.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syarif (2011) di tempat yang sama dengan pemetaan menggunakan hubungan biomassa dan backscatter saja, nilai KA dan OA terbesar didapatkan pada peta sebaran biomassa berdasarkan anak petak. Nilai KA 30,06% dan nilai OA 55,56% pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Sedangkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m nilai KA dan OA terbaiknya yaitu sebesar 37,15% dan 60,32%. Dengan demikian penambahan variabel lapangan berupa umur pohon terhadap peta sebaran biomassa terbukti dapat meningkatkan nilai KA dan OA.

Apabila dibandingkan dengan nilai KA pada peta sebaran biomassa berdasarkan anak petak dengan menambahkan variabel umur. Maka nilai KA dengan penambahan variabel umur pohon akan meningkat sebesar 9,79% pada resolusi 50 m dan 5,72% pada resolusi 12,5 m. Sedangakan nilai OA akan meningkati 5,09% pada 50 m dan 1,58% pada 12,5 m. Tabel 24 dan 25 berikut ini merupakan Tabel perbandingan nilai KA dan OA sebelum ditambahkan variabel umur dan setelah ditambahkan variabel umur.

Tabel 24 Perbandingan nilai KA dan OA sebelum dan sesudah di tambahkan variabel umur pada peta sebaran biomassa berdasarkan anak petak

Variabel

Resolusi Polarisasi BS BS + Umur

OA(%) KA(%) OA(%) KA(%)

50 m HV 55,56 30,06 60,65 39,85

12,5 m HV 60,32 37,15 61,90 42,87

Keterangan : OA=Overall accuracy; KA=kappa accuracy;BS=Backscattter,

(21)

Tabel 25 Perbandingan nilai KA dan OA sebelum dan sesudah di tambahkan variabel umur pada peta sebaran biomassa berdasarkan piksel

Variabel

Resolusi Polarisasi BS BS + Umur

OA(%) KA(%) OA(%) KA(%)

50 m HV 53,97 27,3 70,49 55,05

12,5 m HV 55,56 29,75 67,21 49,89

Keterangan : OA=Overall accuracy; KA=kappa accuracy;BS=Backscattter,

Pada tabel tersebut dapat dilihat juga peningkatan nilai KA dan OA pada peta sebaran biomassa dengan basis piksel, Penambahan variabel umur akan menambah nilai KA sebesar 27,75% pada resolusi 50 m dan 20,41% pada resolusi 12,5 m, Sedangakan nilai OA akan meningkati 16,52% pada 50 m dan 11,65% pada 12,5 m, Dari dua jenis pemetaan sebaran biomassa tersebut dapat di lihat bahwa nilai KA dan OA akan meningkat apabila ditambahkan dengan variabel umur baik pada pemetaan dengan basis piksel maupun dengan pemetaan berdasarkan anak petak, Peningkatan yang signifikan terjadi pada jenis pemetaan berdasarkan piksel, Sementara itu resolusi spasial juga mempengaruhi nilai akurasi pemetaan, Dari hasil yang didapat pada jenis pemetaan berdasarkan anak petak ALOS PALSAR dengan resolusi 12,5 m memiliki nilai akurasi yang lebih baik di bandingkan resolusi 50 m, Selain itu juga ALOS PALSAR resolusi 12,5 m terbukti dapat menggambarkan kelas biomassa 3 lebih baik dari citra ALOS PALSAR resolusi 50 m.

Gambar

Tabel 4 Rata-rata biomassa BEF dan alometrik di KPH Kebonharjo
Tabel 5 Nilai backscatter pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m.
Tabel  9  Model  regresi  antara  biomassa  dengan  variabel  bacscatter,  pada  citra  ALOS PALSAR resolusi 12,5 m
Tabel  11  Model  regresi  antara  biomassa  dengan  variabel  bacscatter  dan    umur  pohon pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jotta liiketoimintasiirto olisi veroneutraali, se tulee tehdä kansallisissa tilanteissa EVL 52 d §:n ja kansainvälisissä tilanteissa EVL 52 e §:n sääntelyn mukaisesti. EVL

Jenis pekerjaan sampingan atau pekerjaan lain yang dimiliki oleh wanita pekerja industri batu bata selain sebagai buruh di industri batu bata dan anggota rumah

Masih banyak masalah pada industri batik terkait dengan masalah pengelolaan limbah industri batik dan belum efisien dalam manajemen pengelolaan usaha, mulai

Meski membaik dari triwulan sebelumnya, defisit transaksi berjalan triwulan IV-2014 tercatat lebih besar dibandingkan dengan defisit sebesar US$4,3 miliar (2,05% PDB)

Dalam kredit bermasalah dapat dikatakan bahwa pihak debitur melakukan wanprestasi, karena pembayaran atau pelunasan kredit yang bermasalah berarti tidak sesuai atau sejalan

Dari permasalahan tersebut maka pada penelitian ini digunakan Static Intersection Node untuk meningkatkan performa protokol AODV dalam melakukan pencarian jalur

Penilaian ditujukan dan menjadi masukan bagi sumber (source) agar berusaha memperbaiki kualitas data profil desa dan kelurahannya. Berdasarkan uraian di atas, dapat

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas hal yang melatar belakangi masalah pada pembuatan tugas akhir ini adalah bagaimana membuat suatu sistem pendukung keputusan yang