7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Plastisitas Fenotipik
Plastisitas fenotip merupakan nama yang diberikan pada suatu fenomena terbentuknya beragam morfologis, fisiologis, atau perilaku berdasarkan lingkungan yang dihadapinya dari genotip yang sama dalam perkembangan suatu organisme (Avise, 2001). Plastisitas fenotip berhubungan dengan ekspresi gen.
Konsep plastisitas fenotipe mendefinisikan sejauh mana fenotipe organisme ditentukan oleh genotipenya. Tingkat plastisitas yang tinggi berarti faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap fenotipe tertentu yang berkembang. Jika terdapat sedikit plastisitas, fenotipe suatu organisme dapat diprediksi secara andal dari pengetahuan tentang genotipe tersebut, terlepas dari keanehan lingkungan selama perkembangannya. Berdasarkan cara suatu organisme mengatasi variasi lingkungan, plastisitas fenotip mencakup semua jenis perubahan yang disebabkan oleh lingkungan (contohnya morfologis, fisiologis, perilaku, fenologis) yang mungkin dapat bersifat permanen sepajang umur dari individu tersebut atau tidak (Price et al., 2003). Plastisitas karakter sayap diselidiki dalam garis yang dipilih untuk panjang sayap panjang dan pendek dan untuk panjang dada pendek di Drosophila melanogaster.
Plastisitas fenotipe adalah kemampuan suatu genotipe untuk menghasilkan
lebih dari satu fenotipe tergantung pada kondisi lingkungan, dan dapat menjamin
kelangsungan populasi di habitat yang heterogen atau dalam perubahan iklim. Oleh
karena itu, plastisitas fenotipik dapat memainkan peran penting dalam membedakan
populasi antar habitat (Fazlioğlu, 2018). Plastisitas dalam beberapa kasus tampak
beberapa hasil yang berbeda secara morfologis, dalam kasus lainnya menunjukkan
saling hubung antara jangkuan lingkungan dan jangkuan fenotipe. Plastisitas
fenotipik yang ditujukkan saat suatu organisme dipapar pada perubahan lingkungan
yang sama, makan akan menunjukkan organisme yang berbeda dalam derajat
plastisitasnya. Hal ini dikarenakan plastisitas fenotipik dapat berevolusi dan adaptif
jika ketangguhan meningkat dengan perubahan fenotipe (De Jong, 2005).
Mekanisme pertahanan suatu organisme disesuaikan dengan keadaan lingkungan dihadapi seperti: adaptasi, plastisitas hingga merubah gen. Perubahan masih berada dalam jangkauannya maka adaptasi dipilih organisme. Suatu organisme jika berada pada lingkungan yang mencekam dengan tarap suboptimal maka organisme melakukan yang namanya plastisitas yaitu dengan merubah fisiologis maupun morfologis organisme tersebut (Hadie, Hadie, Sularto, &
Waryanto, 2017). Perbedaan bentuk, intercept dan (atau) kemiringan reaksi merupakan bukti diferensiasi genetik, dan kemungkinan adaptasi. Guntrip & Sibly (1998) membuat pendekatan dalam menjelaskan karakterisasi plastisitas fenotipik berhubungan dengan perkembangan spesialisasi organisme pada lingkungannya.
Spesialisasi tidak dapat berkembang jika tidak ada interaksi genotipe-lingkungan ini merpakan hal yang utama, tetapi spesialisasi terus berjalan dengan adanya korelasi negatif terhadap lingkunganya.
Plastisitas fenotipe (yaitu ketergantungan fenotipe suatu genotipe pada kondisi lingkungan) baru-baru ini menarik banyak perhatian dari ahli ekologi evolusioner. Aspek penting pembahasan ini adalah signifikansi adaptif plastisitas fenotipik, evolusinya dan penentuan genetiknya. Subjek diskusi yang sangat panas adalah pertanyaan apakah plastisitas adalah karakter dengan sendirinya, yaitu bahwa gen atau genotipe tertentu menentukan plastisitas, atau apakah perubahan plastisitas selalu merupakan konsekuensi dari perubahan selektif dalam nilai rata- rata fenotipe (De Jong, 2005; Noach, Jong, & Scharloo, 1997).
2.2 Tinjauan Umum Tentang Timbal (Pb)
Gambar 2.1 Plumbum (Pb) (Sumber : Palar, 2004)
Timbal merupakan kelompok logam berat dan dengan istilah timah hitam.
Timbal memiliki simbol Pb atau sering disebut Plumbum. Titik lebur sebesar 327,5
0C, didih sebesar 1744
C, leleh sebesar 1740C (Fardiaz, 1992). Karakteristik dari timbal yaitu larut dalam HNO
3encer dan dalam larutan HNO
3pekat, Pb sedikit larut dilarutan HCL dan H
2SO
4. Pb mampu menghantarkan listrik dengan baik sehingga menyebabkan pemanfaatan Pb di dunia industri semakin tinggi. Pb juga sering digunakan dalam industri baterai, campuran bahan bakar, industri cat, pelapis kabel, dan amunisi.
Pencemaran timbal juga berasal dari penguapan batubara di mana timbal dapat dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil, juga dapat dijumpai pada tangki air yang menggunakan pipa yang mengandung timbal. Timbal juga dapat dijumpai pada baterai, insektisida, tinta koran, serta cat yang mengandung timbal.
Penggunaan timbal yang paling umum saat ini berasal dari baterai yang didaur ulang. Kandungan logam berat Pb yang sering kali berada di lingkungan air merupakan sumbangsih dari segala aktivitas industri yang menghasilkan limbah pencemar yang mengandung logam berat berupa Pb tersebut. Hal ini dapat terjadi karena pembuangan limbah dibuang ke perairan (sungai atau laut). Sumber lain timbal di perairan juga sebagian besar berasak dari aktivitas manusia melalui kegiatan ekstraksi atau eksploitasi logam Pb. Pb juga banyak digunakan dalam berbagai bidang industri, contohnya seperti industri kimia, industri percetakan, dan industri pengolahan logam. Pb yang masuk ke dalam tubuh organisme bersifat akumulatif, hal ini mengakibatkan terjadinya penumpukan dalam jaringan dan organ tubuh yang sudah terkontamitasi logam berat (Muliari, Zulfahmi, & Akmal, 2019).
2.3 Pengaruh Pb Terhadap Kesehatan Manusia
Pb merupakan salah satu bahan pencemar sering dipermasalahkan dalam
lingkungan perairan, hal ini dikarenakan timbal memiliki sifat toksik dan berbahaya
terutama bagi biota perairan (Muliari et al., 2019). Timbal adalah logam berat yang
kebermanfaatannya belum diketahui untuk organisme. Pb termasuk pencemar
berbahaya dan kumulatif yang berada di lingkungan yang mempengaruhi sistem
biologis termasuk paparan udara, yang sering terjadi contohnya dalam proses industri-industri, proses penambangan, proses peleburan, bahkan berasal dari air maupunn dari sumber makanan (Patra, Rautray, & Swarup, 2011). Pb yang masuk melewati rantai makanan jika tertelan ataupun terhirup dan masuk ke dalam tubuh akan mengikuri aliran darah dalam tubuh, yang mana kemudian dapat diserap kembali oleh ginjal dan otak.
Peneliti telah banyak melakukan penelitian terkait dampak buruk timbal terhadap kesehatan manusia. Berbagai dampak buruk bagi sistem yang ada pada tubuh manusia antara lain sistem kardiovaskular, kontaminasi Pbsecara akut dan kronis dapat menjadi penyebab penyakit kardiovaskular dan penyakit hipertensi (Navas-Acien et al., 2007). Sistem saraf merupakan sistem yang paling sensitif terhadap daya racun. Kontaminasi Pb dapat menyebabkan kerusakan otak sehingga menimbulkan berbagai penyakit seperti, kerusakan pada otak besar dan delirium, yaitu sejenis penyakit gula (Carmignani et al., 2000).
2.4 Pengaruh Timbal (Pb) Pada Hewan
Berdasarkan sifat toksik yang ditemukan pada bahan kimia salah satunya adalah Pb. Timbal tidak hanya menimbulkan dampak buruk pada lingkungan saja tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan manusia hingga hewan, karena timbal (Pb) termasuk bahan kimia polutan. Hewan yang ditemukan keracunan Pb di temukan dari berbagai sumber pencemaran lingkungkan yang disebabkan oleh timbal berasal dari asap kendaraan bermotor, pembuangan limbah pabrik, baterai, cat, tekstil dan buruknya sanitasi makanan hewan tersebut yang tercena oleh hewan.
Hewan yang terkontaminasi timbal yang melebihi kapasitas dalam tubuhnya, maka dapat memberikan kinerja yang buruk, tubuh mengalami keracunan, hingga kematian menjadi dampak buruk yang fatal pada hewan tersebut (McDowell, 2003).
Kasus keracunan timbal yang diakibatkan oleh pencemaran lingkungan
akibat penggunaan timbal yang terus meningkat membuat penelitian-penelitian
mengungkapkan dampak buruk Pb. Paparan timbal secara terus-menerus pada
hewan akan mengakibatkan perubahan fungsi dari testis pada satwa-satwa liar (Assi
et al., 2016). Hewan lain yang terkontaminasi timbal yaitu bebek. Menurut Osmer (2014) membahas apabila timbal terlarut dalam air d i m a n a air tersebut sebagai tempat mencari makan dan minum, hal ini tubuh bebek akan mengalami keracunan hingga berujung pada kematian. Sifat beracun Pb lainnya diungkapkan oleh Fauzi et al., (2020) dimana pada Drosophila melanogaster yang terpapar Pb selama sembilan generasi mengakibatkan kerusakan pada morfologi sayapnya dari segi bentuk, ukuran dan posisi. Informasi dari penelitian semacam ini essensial sebagai dasar kajian efek jangka panjang parapan Pb terhadap kesehatan manusia dan keturunannya.
2.5 D. melanogaster Sebagai Organisme Model
Gambar 2.2 Lalat Buah (Drosophila melanogaster) (Sumber : Adams et al., 2000)
D. melanogaster merupakan spesies serangga dalam ordo Diptera dan termasuk dalam famili Drosophilidae. D. melanogaster merupakan salah satu jenis lalat buah yang telah menjadi model hewan coba untuk banyak jenis penelitian.
Ukuran tubuh yang relatih kecil, sehingga tidak perlu tempat pemeliharaan yang besar, ditambah dengan penanganannya yang relatif mudah dan murah, menjadikan serangga yang satu ini telah menarik perhatian banyak peneliti untuk menggunakannya dalam riset genetika (Markow et al., 2015). Penggunaan D.
melanogaster sudah banyak diaplikasikan di berbagai bidang biologi untuk menggungkapkan fenomena-fenomena biologis yang terjadi pada manusia (Mackay, 2010; Pandey & Nichols, 2011).
D. melanogaster masuk golongan hewan yang tidak memiliki tulang
belakang serta ukuran tubuh yang kecil sebesar yaitu 3 mm. Ukuran genom yang
dimiliki lalat sebesar 180 MB (Megabasa) dan tersebar pada empat kromosom D.
melanogaster (Adams et al., 2000). Fakta menarik lainnya dari Drosophila melanogaster yaitu menunjukkan kesamaan dalam aspek genetik dengan yang terdapat pada manusia. Secara luas D. melanogaster memiliki kemiripan genom yang cukup besar dengan manusia (sekitar 75 %), memberikan hasil yang cepat dan reproduksibel serta secara ekonomi tidak membebani peneliti (Chien et al., 2002;
Panchal & Tiwari, 2017; Reiter et al., 2001). Keuntungan lain yaitu periode hidup yang relatif cepat (kurang lebih sekitar 2 hingga 3 bulan), hal ini yang dimanfaatkan para peneliti dalam penelitian terkait penuaan (aging) aikbat proses biologis tubuh (He & Jasper, 2014).
2.6 Morfologi Drosophila melanogaster
Mahkluk hidup pada umumnya D. melanogaster memiliki morfologi sayap, dimana dapat diukur dari panjang sayap dan jumlah sayap mengalami kerusakan setelah diberi perlakuan. Plastisitas karakter sayap diselidiki dalam garis yang dipilih untuk panjang sayap panjang dan pendek dan untuk panjang dada pendek di Drosophila melanogaster (Noach et al., 1997). Sayap Drosophila adalah model yang sangat baik untuk mempelajari evolusi morfologi karena beberapa dan alasan yang saling melengkapi: homologi berlaku untuk banyak landmark di sejumlah besar spesies (Debat, Alibert, David, Paradis, & Auffray, 2000); perkembangan sayap dipahami dengan baik (ditinjau dalam De Celis (2003)) dan ukuran sayap secara keseluruhan adalah sifat yang sangat plastis dan norma reaksi telah dijelaskan pada beberapa spesies yang terpapar pada sumber variasi lingkungan yang berbeda (David et al., 1994; Morin, Moreteau, Pe´tavy, & David, 1999).
Telah dikemukakan bahwa sayap di Drosophila dapat dianggap sebagai struktur modular ontogenetik, terutama dibagi menjadi kompartemen anterior dan posterior (Birdsall, Zimmerman, Teeter, & Gibson, 2000; Zimmerman, Palsson, &
Gibson, 2000). Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa berbagai aspek morfologi sayap (baik ukuran maupun bentuk) merupakan sasaran seleksi alam.
Klin lintang paralel pada spesies simpatrik dan klin paralel dan bolak-balik di benua
berbeda dalam spesies yang sama memberikan bukti sifat adaptif variasi dalam
bentuk sayap (Soto et al., 2008). Menariknya, pada setiap variasi panjang sayap cline melibatkan vena yang berbeda (Gilchrist, Huey, Balanya`, Pascual, & Serra, 2004).
2.7 Pemanfaatan hasil penelitian sebagai Sumber Belajar Biologi
Sumber Belajar adalah sesuatu yang dapat mengandung pesan untuk disajikan melalui penggunaan alat ataupun oleh dirinya sendiri dapat pula merupakan sesuatu yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan di dalam bahan pembelajaran yang akan diberikan (Hafid, 2011). Fidiastuti &
Rozhana (2016) membahas bawasannya untuk mewujudkan pemebalajaran yang kotekstual ini dapat diwujudkan pembelajaran yang didasarkan pada hasil penelitian sehingga menanamkan hakikat sains pada peserta didik bersarkan fakta dan data. Dilihat dari perancangannya Setiyani (2010) menyampaikan sumber belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design) yakni sumber- sumber yang secara khusus dirancang atau dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.
2. Sumber belajar yang dimanfaatkan (learning resources by utilization) yakni sumber belajar yang tidak didesain khusus untuk keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.
Pemilihan sumber belajar dan media belajar haruslah tepat dan sesuai sasaran. Maka ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan sumber belajar. Menurut Abdullah, (2012) kriteria dasar pemilihan sumber belajar diantaranya:
1. Tujuan, sumber belajar yang akan digunakan dipilih sesuai dengan kebutuhan pemakai yang disesuaikan dengan kententuan pendidikan.
2. Peserta didik, sumber dan media pembelajaran yang dipilih harus benar-benar sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik.
3. Ketepatgunaan, sumber belajar dan media pembelajaran perlu didasarkan atas
azas manfaat untuk mengembangkan kemampuan tertentu, untuk apa dan mengapa perlu didampingi sumber belajar.
4. Kepentingan, pemilihan sumber belajar hendaknya memiliki porsi ganda baik berada pada sudut pandang pemakai (guru dan peserta didik) maupun kepentingan lembaga.
5. Edukatif, pemilihan sumber belajar harus didasarkan pada kajian edukatif dengan memperhatikan kurikulum atau program pembelajaran yang berlaku, karakteristik peserta didik serta aspek-aspek pengembangan pendidikan yang lebih luas.
6. Kwalitas teknis, bahan yang dipilih hendaknya memenuhi syarat berdasarkan tujuan, merangsang pertanyaan dan memperjelas masalah yang harus diselesaikan.
7. Keseimbangan fungsi, dalam pemilihan sumber belajar hendaknya memperhatikan pula keseimbangan koleksi (well rounded collection) termasuk sumber belajar pokok dan bahan penunjang sesuai dengan program pendidikan.
8. Jaringan, perlu kiranya menyertakan alat bantu penelusuran informasi seperti catalog, kajian buku dan review.
9. Biaya, biaya yang dikeluarkan harus seimbang dengan hasil yang akan dicapai.
10. Ketersediaan, sumber belajar dikatakan baik apabila mencapai tujuan belajar dan tersedia untuk jangka waktu yang lama.
Menurut Djohar yang dikutip oleh Aprisiwi & Sasongko (2014) syarat sumber belajar yang yaitu:
1. Kejelasan potensi 2. Kejelasan tujuan
3. Kejelasan sasaran materi
4. Kejelasan informasi yang diungkapkan 5. Kejelasan pedoman eksplorasi
6. Kejelasan perolehan yang diharapakan.
2.8 Kerangka Konseptual
Kontaminasi Pb melalui rantai makanan membuat tubuh keracunan sehingga dapat mempengaruhi morfologi sayap D. melanogaster. Sayap D.
melanogaster yang telah terpapar Pb selama 10 generasi mengalami kerusakan sayap dari segi bentuk, ukuran dan posisinya. Penelitian ini untuk mengatasi pengamatan perubahan morfologi sayap pada generasi berikutnya dengan menghilangkan perlakuan Pb, apakah terjadi Plastisitas fenotip pada perubahan sayap D. melanogaster.
Adapun bagan kerangka konseptual terkait ulasan yang telah disampaiakan disajikan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Skema kerangka konseptual