• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan spesies dari Hibiskus alami dunia tropis yang memiliki tiga jenis warna kelopak yaitu hijau, merah dan merah tua. Kelopak berwarna merah dan merah tua diekstraksi dan diberi pemanis untuk menghasilkan minuman penyegar, sedangkan kelopak dan daun yang berwarna hijau digunakan untuk membuat sup sayuran.

Rosela merupakan tumbuhan tahunan, herba semak dengan struktur berkayu, tinggi 2-2,5 m; daunnya berjari tiga sampai lima, dengan panjang 8-15 cm. Bunganya berdiameter 8-10 cm, putih hingga kuning pucat dengan noda merah pada dasar di setiap lembaran bunga, memiliki kelopak dan kelopak palsu (epikaliks) berdaging gemuk pada dasarnya; 1,5-2 cm lebarnya; tumbuh hingga 3- 3,5 cm; berdaging dan merah terang seperti buah matang (Plotto, 2009).

2.1.1 Sistematika tumbuhan Sistematika tumbuhan rosela:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Malvales Suku : Malvaceae Marga : Hibiscus

Species : Hibiscus sabdariffa L.

(2)

2.1.2 Nama lain (Sinonim)

Sinonim : Abelmoschus cruentus Bertol, Hibiscus digitatus Cav., ..Hibiscus gossypiifolius Mill., Hibiscus sanguineus Griff., ..Sabdariffa rubra Kostel

Nama umum : Rosela

Nama daerah : Asam Paya, Asam Kumbang atau Asam Susur (Melayu);

Merambos Hijau (Jawa tengah); Kesew Jawed dan Asam Rejang (Sumatera Selatan); Asam Jarot (Padang).

2.1.3 Kandungan kimia

Kelopak bunga rosela mengandung protein, serat, dan asam askorbat.

Kandungan mineral dari kelopak rosela antara lain kalsium, magnesium, kalium, natrium, besi dan seng (Babalola, 2001). Kandungan kimia rosela yang lain antara lain: Asam hidroksisitrat, asam hibiskus, asam klorogenik, mirisetin-3- arabinogalaktosida, quersetin-3-sambubiosida, asam 5-O-kaffeoilshikimat, quersetin-3-rutinosida, quersetin-3-glukosida, kaempferol-3-O-rutinosida, N- feruloiltiramin, kaempferol-3-(p-koumarilglukosida), quersetin, delphinidin-3- sambubiosida, sianidin-3-sambubinosida, 7-hidroksikumarin (Rodriguez, et al., 2009).

2.1.4 Khasiat dan kegunaan

Kelopak bunga rosela dapat mengatasi berbagai macam penyakit, di antaranya: antioksidatif, antimutagenik, antikanker, hipolipidemik, protektif hati (Tzu, et al., 2007), antihipertensif, retensi garam pada urin (Hussaini, 2004), hipokolesterolemik (Habibullah, 2007), pengobatan terhadap infeksi saluran kencing (Anonim, 2010).

(3)

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair.

Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh matahari langsung (Ditjen POM, 1979).

2.2.1 Metode Ekstraksi

Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara:

a. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia yang paling sederhana, menggunakan pelarut yang cocok dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan atau (kamar) (Depkes, 2000). Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara merendam 10 bagian serbuk simplisia dalam 75 bagian cairan penyari (pelarut) (Depkes, 1986).

b. Perkolasi

Percolare berasal dari kata “colare”, artinya menyerkai dan “per” = through, artinya menembus (Syamsuni, 2006). Dengan demikian, perkolasi adalah suatu cara penarikan memakai alat yang disebut perkolator di mana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan (Syamsuni, 2006). Prosesnya terdiri dari tahapan

(4)

pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Depkes, 2000).

Keuntungan dari metode perkolasi ini adalah proses penarikan zat berkhasiat dari tumbuhan lebih sempurna (Agoes, 2007).

c. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000).

d. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontiniu) pada temperatur ruangan (kamar) yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40- 50o

e. Infudasi C.

Infudasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur pemanasan air (bejana infus diatas penangas air mendidih), temperatur terukur (96-98o

f. Dekoktasi

C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes, 2000).

Dekoktasi adalah ekstraksi dengan metode infus yang dilakukan selama 30 menit dengan temperatur titik didih air.

(5)

2.3 Glukosa Darah

2.3.1 Kadar glukosa darah

Kadar glukosa darah merupakan parameter utama untuk menilai metabolisme karbohidrat. Contoh khas adalah penyakit diabetes melitus di mana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat sehingga kadar glukosa meningkat melebihi ambang normal (Henry dan Howanitz, 1996).

2.3.2 Sumber glukosa darah

a) Karbohidrat dalam makanan (glukosa, galaktosa, fruktosa)

Karbohidrat dalam makanan terdapat dalam bentuk polisakarida, disakarida, dan monosakarida. Karbohidrat dipecah oleh ptyalin dalam saliva di dalam mulut. Enzim ini bekerja optimum pada pH 6,7 sehingga akan dihambat oleh getah lambung ketika makanan sudah sampai di lambung. Dalam usus halus, amilase pankreas yang kuat juga bekerja atas polisakarida yang dimakan. Ptyalin saliva dan amilase pankreas menghidrolisis polisakarida menjadi hasil akhir berupa disakarida, laktosa, maltosa, sukrosa.

Laktosa akan diubah menjadi glukosa dan galaktosa dengan bantuan enzim laktase. Glukosa dan fruktosa dihasilkan dari pemecahan sukrosa oleh enzim sukrase. Sedangkan enzim maltase akan mengubah maltosa menjadi 2 molekul glukosa. Monosakarida akan masuk melalui sel mukosa dan kapiler darah untuk diabsorbsi di intestinum. Masuknya glukosa ke dalam epitel usus tergantung konsentrasi tinggi Na+

Glukosa diangkut oleh mekanisme ko-transpor aktif natrium- glukosa di mana transpor aktif natrium menyediakan energi untuk mengabsorbsi glukosa melawan suatu perbedaan konsentrasi. Mekanisme di atas juga berlaku untuk

di atas permukaan mukosa sel.

(6)

galaktosa. Pengangkutan fruktosa menggunakan mekanisme yang berbeda yaitu dengan mekanisme difusi fasilitasi (Ganong, 2003). Unsur-unsur gizi tersebut diangkut ke dalam hepar lewat vena porta hati. Galaktosa dan fruktosa segera dikonversi menjadi glukosa di dalam hepar (Murray, et al., 2003).

b) Glukoneogenesis

Glukoneogenesis merupakan istilah yang digunakan untuk semua mekanisme dan lintasan yang bertanggung jawab atas perubahan senyawa non karbohidrat menjadi glukosa atau glikogen. Proses ini memenuhi kebutuhan tubuh atas glukosa pada saat karbohidrat tidak tersedia dengan jumlah yang cukup di dalam makanan. Substrat utama bagi glukoneogenesis adalah asam amino glukogenik, laktat, gliserol, dan propionat. Hepar dan ginjal merupakan jaringan utama yang terlibat karena kedua organ tersebut mengandung komplemen lengkap enzim-enzim yang diperlukan (Murray, et al., 2003).

c) Glikogenolisis

Mekanisme penguraian glikogen menjadi glukosa yang dikatalisasi oleh enzim fosforilase dikenal sebagai glikogenolisis. Glikogen yang mengalami glikogenolisis terutama simpanan di hati, sedang glikogen otot akan mengalami deplesi yang berarti setelah seseorang melakukan olahraga yang berat dan lama.

Di hepar dan ginjal (tetapi tidak di dalam otot) terdapat enzim glukosa 6-fosfatase, yang membuang gugus fosfat dari glukosa 6-fosfat sehingga memudahkan glukosa untuk dibentuk dan berdifusi dari sel ke dalam darah (Murray, et al., 2003).

(7)

2.4 Pengaturan Kadar Glukosa Darah

Pengaturan kadar glukosa darah yang stabil dalam darah adalah mekanisme homeostatik yang merupakan kesatuan proses metabolisme berupa produksi insulin dari sel ß pankreas dan kerja hepar dalam proses glikogenesis, glukoneogenesis, dan glikolisis (Guyton dan Hall, 1997).

Insulin ialah suatu polipeptida dengan BM kira-kira 6000, terdiri 51 asam amino, dan tersusun dalam 2 rantai, rantai A dan rantai B yang dihubungkan jembatan disulfida (Tony dan Suharto, 2005). Insulin disintesis oleh sel ß- pankreas. Kontrol utama atas sekresi insulin adalah sistem umpan balik negatif langsung antara sel ß-pankreas dengan konsentrasi glukosa dalam darah.

Peningkatan kadar glukosa darah seperti yang terjadi setelah penyerapan makanan secara langsung merangsang sintesis dan pengeluaran insulin oleh sel ß pankreas (Sherwood, 1996).

Insulin akan menurunkan kadar gula darah dengan cara membantu uptake glukosa ke dalam otot dan jaringan lemak, penyimpanan glukosa sebagai glikogen dalam hati, dan menghambat sintesis glukosa (glukoneogenesis) di hati (Sheidel, 2001). Efek hormon insulin secara keseluruhan adalah mendorong penyimpanan energi dan meningkatkan pemakaian glukosa (Sacher dan Mc Phernon, 2004).

Fungsi hati dalam pengaturan kadar glukosa darah tidak lepas dari pengaruh insulin. Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat yaitu:

- Mengubah fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa

- Menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen pada saat tubuh mengalami kelebihan glukosa

(8)

- Mengubah glikogen menjadi glukosa untuk dibebaskan ke dalam darah pada saat tubuh mengalami kekurangan glukosa

- Melakukan proses glukoneogenesis (mengubah asam amino dan gliserol menjadi glukosa) pada saat glikogen yang tersimpan sudah habis dan kadar gula darah menurun

- Mengubah glukosa menjadi lemak untuk disimpan

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah - Enzim

Glukokinase penting dalam pengaturan glukosa darah setelah makan (Murray, et al., 2003).

- Hormon

Insulin bersifat menurunkan kadar glukosa darah. Glukagon, GH, ACTH, glukokortikoid, epinefrin, dan hormon tiroid cenderung menaikkan kadar gula darah, dengan demikian mengantagonis kerja insulin (Murray, et al., 2003).

- Sistem gastrointestinal

Gangguan pada sistem gastrointestinal dapat mengurangi absorbsi karbohidrat di usus dan menurunkan glukosa darah (Sherwood, 1996).

- Stres

Hampir semua jenis stres akan meningkatkan sekresi ACTH oleh kelenjar hipofise anterior. ACTH merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan kortisol. Kortisol ini yang akan meningkatkan pembentukan glukosa (Guyton dan Hall, 1997).

(9)

- Asupan karbohidrat

Penurunan dan peningkatan asupan karbohidrat (pati) mempengaruhi kadar gula dalam darah (Sherwood, 1996).

2.6 Pengukuran Kadar Glukosa Darah

Glukosa darah dapat ditentukan dengan berbagai cara, baik secara kimiawi maupun secara enzimatik. Prinsip penentuannya didasari pada kemampuan glukosa untuk mereduksi ion anorganik seperti Cu2+

1) Metode Kondensasi Gugus Amin

atau Fe(CN). Secara umum glukosa darah dapat ditentukan dengan beberapa cara, yaitu:

Prinsip: aldosa dikondensasi dengan orto toluidin dalam suasana asam akan menghasilkan larutan berwarna hijau setelah dipanaskan. Kadar glukosa darah ditentukan sesuai dengan intensitas warna yang terjadi, diukur secara spektrofotometri (Widowati, dkk., 1997).

2) Metode enzimatik

Glukosa dapat ditentukan secara enzimatik, misalnya dengan penambahan enzim glukosa oksidase (GOD). Dengan adanya oksigen atau udara, glukosa dioksidasi oleh enzim menjadi asam glukoronat disertai pembentukan H2O2. Dengan adanya enzim peroksidase (POD), H2O2 akan membebaskan O2

3) Metode Reduksi

yang mengoksidasi akseptor kromogen yang sesuai serta memberikan warna yang sesuai pula. Kadar glukosa darah ditentukan berdasarkan intensitas warna yang terjadi, diukur secara spektrofotometri (Lucie, dkk., 1997).

Prinsip: kadar glukosa darah ditentukan secara reduksi dengan menggunakan suatu oksidan ferisianida yang direduksi menjadi ferosianida oleh

(10)

glukosa dalam suasana basa dengan pemanasan. Kemudian kelebihan garam feri dititrasi secara indometri (Widowati, dkk., 1997).

Penentuan glukosa secara reaksi reduksi kurang spesifik dibanding cara enzimatik, terutama bila dalam darah terdapat bahan yang dapat mereduksi misalnya kreatinin, asam urat, dan gula-gula lain selain glukosa (manosa, galaktosa, dan laktosa) yang akan memberikan hasil pemeriksaan yang lebih tinggi daripada kadar glukosa yang sebenarnya. Sebagai pedoman dpat diperkirakan bahwa hasil penentuan glukosa secara reduksi akan memberikan hasil 3,6-10,8 mg% lebih tinggi daripada cara enzimatik. Perbedaan ini akan lebih besar lagi bila terdapat peningkatan kreatinin dan asam urat (Suharmiati, 2003).

4) Metode Pemisahan Glukosa

Glukosa dipisahkan dalam keadaan panas dengan antron atau timol dalam suasana asam sulfat pekat. Glukosa juga dapat dipisahkan secara kromatografi, tetapi pemisahan glukosa dengan cara ini jarang dilakukan (Widowati, dkk., 1997).

2.7 Diabetes Melitus 2.7.1 Definisi

Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme kronik yang manifestasinya berupa hiperglikemik, glukosuria dan meningkatnya pemecahan protein yang sering timbul ketosis dan asidosis (Santoso, 1993). Diabetes melitus adalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh poliuri, polidipsi, dan polifagi, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa = 126 mg/dl atau postprandial = 200 mg/dl atau glukosa sewaktu = 200 mg/dl). Bila DM tidak segera diatasi akan terjadi gangguan metabolisme lemak dan protein, dan

(11)

resiko timbulnya gangguan mikrovaskuler atau makrovaskuler meningkat (Tony dan Suharto, 2005).

2.7.2 Etiologi

Dari beberapa penelitian terbukti bahwa diabetes melitus mempunyai etiologi yang heterogen, di mana berbagai lesi akhirnya dapat mengakibatkan insufisiensi insulin. Jenis-jenis gangguan yang dianggap sebagai etiologi diabetes melitus:

a. Kelainan fungsi atau jumlah sel-sel beta yang bersifat genetik

Determinan genetik dianggap sebagai faktor penting pada kebanyakan penderita diabetes. Pada pasien-pasien yang menderita diabetes melitus insulin dependen, determinan genetik ini dinyatakan oleh peningkatan atau penurunan frekuensi antigen histokompabilitas tertentu (HLA) dan respon imunitas abnormal yang akan mengakibatkan pembentukan auto-antibodi sel pulau Langerhans. Pada penderita diabetes melitus insulin dependen, penyakit mempunyai kecenderungan familial yang kuat. Penyakit ini sering menyerang anak-anak, remaja, dan dewasa dari keluarga yang sama secara autosom dominan. Kelainan yang diturunkan ini dapat langsung mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali dan menyebarkan rangsangan sekretoris atau serangkaian langkah kompleks yang merupakan bagian dari sintesis atau pelepasan insulin. Besar kemungkinan keadaan ini meningkatkan kerentanan individu yang terserang penyakit tersebut terhadap kegiatan faktor-faktor lingkungan di sekitarnya, termasuk virus atau diet tertentu.

(12)

b. Faktor-faktor lingkungan yang mengubah fungsi dan integritas sel ß

Beberapa faktor lingkungan dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pada individu yang rentan. Faktor-faktor tersebut ialah:

- Agen yang dapat menimbulkan infeksi, seperti virus cocksackie B dan virus penyakit gondok.

- Diet pemasukan kalori, karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan.

- Obesitas - Kehamilan

c. Gangguan sistem imunitas

- Autoimunitas disertai pembentukan sel-sel antibodi antipankreatis dan akhirnya akan menyebabkan kerusakan sel-sel pankreas insulin.

- Peningkatan kepekaan terhadap kerusakan sel beta oleh virus.

d. Kelainan aktivitas insulin

Pengurangan kepekaan terhadap insulin endogen juga dapat menyebabkan diabetes. Mekanisme ini terjadi pada pasien penderita kegemukan dan diabetes.

Alasan akan gangguan kepekaan jaringan terhadap insulin mungkin pengurangan jumlah tempat-tempat reseptor insulin yang terdapat dalam membran sel yang responsif terhadap insulin atau gangguan glikolisis intrasel (Santoso, 1993).

2.7.3 Diagnosis

Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan dengan adanya gejala khas berupa polifagia, poliuria, polidipsia, lemas, dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita (Mansjoer, 2000).

(13)

Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa = 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) diperlukan untuk memastikan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau TTGO yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat (Mansjoer, 2000).

2.7.4 Klasifikasi etiologis DM

American Diabetic Association (1997) sesuai anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah:

1. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 disebut juga diabetes melitus tergantung insulin (insulin-dependent diabetes mellitus/IDDM), adalah diabetes yang disebabkan oleh gangguan autoimun di mana terjadi penghancuran sel-sel ß-pankreas penghasil insulin. Pasien biasanya berusia dibawah 30 tahun, mengalami onset akut. Penyakit ini tergantung pada terapi insulin, dan cenderung lebih mudah mengalami ketosis (Rubenstein, 2007).

2. Diabetes melitus tipe 2

Bentuk yang lebih sering dijumpai, meliputi sekitar 90% pasien yang menyandang diabetes. Pasien diabetes khasnya menderita obesitas, dewasa dengan usia lebih tua dengan gejala ringan sehingga penegakan diagnosis bisa saja

(14)

baru dilakukan pada stadium penyakit yang sudah lanjut, seringkali setelah ditemukannya komplikasi seperti retinopati atau penyakit kardiovaskuler.

Insensitivitas jaringan terhadap insulin (resistensi insulin) dan tidak adekuatnya respon sel ß pankreas terhadap glukosa plasma yang khas, menyebabkan produksi glukosa hati berlebihan dan penggunaannya yang terlalu rendah oleh jaringan.

Ketosis tidak sering terjadi karena pasien memiliki jumlah insulin yang cukup untuk mencegah lipolisis. Walaupun pada awalnya bisa dikendalikan dengan diet dan obat hipoglikemik oral, banyak pasien yang akhirnya memerlukan insulin tambahan, sehingga menjadi penyandang diabetes tipe 2 yang membutuhkan insulin (Rubenstein, 2007).

3. Diabetes tipe lain

A. Defek genetik fungsi sel beta:

- Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1, 2, 3 - DNA mitokondria

B. Defek genetik kerja insulin C. Penyakit eksokrin pancreas

- Pankreatitis

- Tumor/ pankreatektomi - Pankreatopati fibrokalkulus

D..Endokrinopati: akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma, dan hipertiroidisme

E. Karena obat/ zat kimia

- Vacor, pentamidin, asam nikotinat - Glukokortikoid, hormon tiroid

(15)

- Tiazid, dilantin, interferon a, dan lain-lain F. Infeksi: rubela kongenital, sitomegalovirus

G. Penyebab imunologi yang jarang: antibodi antiinsulin

H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, dan lain- lain (Mansjoer, 2000).

4. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)

Sebagian besar wanita yang mengalami diabetes saat hamil memiliki homeostasis glukosa yang normal pada paruh pertama kehamilan dan berkembang menjadi defisiensi insulin relatif selama paruh kedua, sehingga terjadi hiperglikemia. Hiperglikemia menghilang pada sebagian besar wanita setelah melahirkan, namun mereka memiliki peningkatan risiko menyandang diabetes tipe 2 (Rubenstein, 2007).

2.7.5 Komplikasi diabetes melitus

Komplikasi diabetes melitus (DM) secara bermakna mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, demikian juga dihubungkan dengan kerusakan ataupun kegagalan fungsi beberapa organ vital tubuh seperti pada mata maupun ginjal serta sistim saraf. Penderita DM juga berisiko tinggi mengalami percepatan timbulnya aterosklerosis, yang selanjutnya akan menderita penyakit jantung koroner, penyakit vaskuler perifer dan stroke, serta kemungkinan besar menderita hipertensi ataupun dislipidemia maupun obesitas. Banyak faktor risiko yang berperan dalam mekanisme terjadinya komplikasi kardiovaskuler ini, diantaranya hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia, dan hiperinsulinemia.

Hiperglikemia merupakan salah satu faktor terpenting dalam patogenesis komplikasi kronik, khususnya vaskuler diabetik. Hiperglikemia memperantarai

(16)

efek merugikan melalui banyak mekanisme, karena glukosa dan metabolitnya banyak digunakan dalam sejumlah jalur metabolisme (Hardiman, 2006).

2.8 Insulin

Insulin merupakan protein kecil yang mengandung dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Disintesis sebagai protein perkusor yang mengalami pemisahan proteolik untuk membentuk insulin dan peptide C keduanya disekresi oleh sel β-pankreas. Sekresi insulin diatur tidak hanya oleh kadar glukosa darah tetapi juga oleh hormon lain dan mediator autonomik. Sekresi insulin dipacu karena kadar glukosa dalam darah meningkat dan difosfolirasi dalam sel β-pankreas.

Gejala hipoglikemia merupakan reaksi samping yang paling serius dan umum dari kelebihan dosis insulin. Diabetes jangka lama sering tidak memproduksi sejumlah hormon yang menghalangi pengaturan insulin (glukagon, epinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan) yang secara normal memberikan pertahanan efektif terhadap hipoglikemia reaksi samping lainya berupa klipodistrofi dan reaksi alergi (Price dan Wilson, 2006).

2.9 Streptozotocin

Gambar 2.1. Rumus bangun streptozotocin

Streptozotocin (STZ; N-nitro turunan glukosamin) merupakan antibiotik spektrum luas dan bahan kimia sitotoksik yang khususnya toksik pada sel-sel beta pankreas penghasil insulin pada mamalia. Induksi pada percobaan diabetes dalam

(17)

mencit menggunakan streptozotocin sangatlah umum dan mudah digunakan.

Injeksi streptozotocin mengacu pada pengrusakan sel-sel beta Langerhans. Secara klinis, gejala-gejala diabetes terlihat jelas pada mencit dalam 2-4 hari dengan injeksi intravena tunggal atau injeksi intraperitoneal 40-60 mg/kg BB STZ.

memahami perbedaan strain dalam aktivitas diabetogenik STZ sangatlah penting untuk penggunaan zat diabetik ini dalam model-model hewan yang berbeda (Abeeleh, et al., 2009).

2.10 Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi meliputi pengobatan dengan insulin atau dengan obat- obat hipoglikemia oral. Obat hanya perlu diberikan jika pengaturan diet secara maksimal tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah. Penurunan berat badan merupakan tindakan yang sangat penting dalam pengendalian diabetes dan harus dilakukan secara intensif terlepas dari obat yang diberikan (Handoko dan Suharto, 1995).

2.10.1 Terapi insulin

Penderita DM tipe 1 sering kali memerlukan insulin eksogen untuk mengatasi keadaan hiperglikemia. Kebanyakan penderita tipe 2 tidak memerlukan insulin eksogen untuk kelangsungan hidupnya tetapi insulin eksogen hanya digunakan untuk mencapai kesehatan optimum. Pada beberapa pasien, insulin digunakan sebagai alternatif dari terapi hipoglikemik oral. Diperkirakan sebanyak 20% dari jumlah penderita diabetes tipe 2 di Amerika Serikat diobati dengan menggunakan insulin (Katzung, 2001).

(18)

2.10.2 Terapi dengan obat-obat hipoglikemik oral

Obat-obat ini berguna dalam pengobatan pasien diabetes tidak tergantung insulin (NIDDM) yang tidak dapat diperbaiki hanya dengan diet. Pasien yang sudah lama menderita diabetes mungkin memerlukan suatu kombinasi obat hipoglikemik dan insulin untuk mengontrol hipoglikemiknya.

2.10.2.1 Golongan Sulfonilurea

Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk: (a) merangsang pelepasan insulin dari sel-β pankreas, (b) mengurangi kadar glukagon dalam serum, dan (c) meningkatkan peningkatan insulin pada jaringan target dan reseptor. Obat-obat ini terikat pada protein serum, dimetabolisme oleh hati dan di ekskresikan oleh hati atau ginjal. Kontra indikasi pemakain obat-obat ini adalah pada pasien insufiensi hati atau ginjal karena ekskresi obat tersebut terlambat, mengakibatkan akumulasi dan dapat menimbulkan hipoglikemia (Mycek, 2001).

Obat-obat utama yang sering digunakan adalah:

a. Tolbutamid

Diserap secara cepat dalam saluran cerna, kadar obat dalam darah minimum dicapai setelah 5-8 jam pemberian oral masa kerja relative pendek.

b. Klorpropamid

Diserap secara cepat dalam saluran cerna, kadar maksimum obat didalam darah dicapai dalam 2-4 jam setelah pemberian oral dan efeknya hilang setelah 24 jam. Aktivitasnya 6 kali lebih besar dari tolbutamid.

c. Gliklazid

Diserap secara cepat dalam saluran cerna, kadar maksimum obat dalam darah dicapai dalam 2-4 jam setelah pemberian oral

(19)

d. Glibenklamid

Khasiat hipoglikemiknya kira-kira 100 kali lebih kuat daripada tolbutamida.

Kerjanya dapat bertahan sampai 24 jam. Pengobatan jangka pendek meningkatkan sekresi insulin dari sel-β pankreas. Pengobatan jangka panjang meningkatkan efek insulin terhadap jaringan perifer dan penurunan glukosa darah dari hati.

e. Glipizid

Merupakan turunan dari sulfonylurea dengan efek antidiabetes yang kuat.

Mempunyai waktu paruh yang lebih pendek sehingga kurang menyebabkan hipoglikemia yang serius dibandingkan glibenklamid (Katzung, 2001).

2.10.2.2 Biguanida

Biguanida berbeda dari sulfonilurea karena tidak merangsang sekresi insulin. Resiko hipoglikemia lebih kecil daripada obat-obat sulfonilurea. Contoh golongan ini adalah metformin. Obat ini bekerja terutama dengan jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati, sebagian besar dengan menghambat glukoneogenesis. Penggunaan jangka panjang dapat mempengaruhi absorbsi vitamin B12. Kontra indikasi obat ini pada insufisiensi ginjal dan hati (Mycek, 2001).

2.10.2.3 Golongan penghambat α-glukosidase

Contoh dari golongan obat ini adalah akarbosa telah disetujui pemakainya per-oral sebagai obat aktif pada pengobatan penderita NIDDM dan sebagai tambahan memungkinkan dengan insulin pada IDDM. Akarbosa menghambat α glukosidase pada vili-vili usus sehingga menurunkan absorbsi glukosa. Tidak

(20)

seperti obat oral hipoglikemik lainya, akarbosa tidak merangsang pelepasan insulin dari pankreas (Mycek, 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya penelitian ini dapat terselesaikan dengan judul ”Pengaruh Likuiditas, Profitabilitas dan Solvabilitas

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor predisposisi yaitu pengetahuan tentang ASI eksklusif, pendidikan, intensitas menyusui pada ibu bekerja

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa perkembangan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pola perubahan dan pergeseran sektor perekonomian, serta sektor basis di Provinsi

Sedangkan hasil penelitian (Mehboob & Niaz, 2012) mengenai OCB masih menunjukkan beberapa research gap seperti hasil penelitian mengatakan bahwa “kepuasan kerja

Tiangsa Sembiring, MKed (Ped), SpA(K), yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis

kelapa fermentasi terhadap rataan nilai pH daging kelinci dapat dilihat pada tabel. 7

Kepuasan Nasabah adalah skor penilaian yang diperoleh dari jawaban responden yang mengukur dimensi kepuasan terhadap pelayanan (dengan indikator : pelayanan