• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. PENGGUNAAN REGRESI SPLINES ADAPTIF BERGANDA UNTUK STATISTICAL DOWNSCALING LUARAN GCM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6. PENGGUNAAN REGRESI SPLINES ADAPTIF BERGANDA UNTUK STATISTICAL DOWNSCALING LUARAN GCM"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

UNTUK STATISTICAL DOWNSCALING LUARAN GCM

6.1 Pendahuluan

Model regresi SD dinyatakan y = f(x) + ε dimana y adalah peubah respon (curah hujan observasi, beresolusi tinggi:titik/wilayah), x peubah penjelas (GCM dengan resolusi rendah) dan ε sisaan. Banyaknya peubah x yang saling ber- korelasi antar grid (korelasi spasial) dan berkorelasi antar peubah GCM seringkali melanggar asumsi dasar metode regresi baku. Di samping itu data pengamatan deret waktu menyebabkan kasus autokorelasi. Bentuk fungsi yang tidak diketahui juga merupakan permasalahan tersendiri dalam metode regresi.

Adanya kompleksitas permasalahan dalam model SD seringkali dilakukan penanganan satu per satu. Untuk mengatasi korelasi antar grid GCM dilakukan reduksi dimensi dengan analisis komponen utama, sehingga model regresinya y = f(z) + ε, dimana z adalah skor komponen utama. Demikian juga untuk mengatasi korelasi antar peubah GCM digunakan metode regresi komponen utama dan regresi bertatar (stepwise). Namun demikian peubah GCM tidak hanya berkorelasi, namun saling berinteraksi satu dengan yang lain. Sampai pada tahapan ini penggunaan metode regresi baku masih memungkinkan digunakan namun pada penanganan bentuk fungsi yang tidak diketahui, metode baku mengalami collapse. Metode regresi yang memungkinkan digunakan adalah regresi nonparametrik. Metode ini tidak terlalu ketat terhadap asumsi dasar (soft modelling) dan informasi model lebih berdasar pada data (data mining).

Beberapa metode nonparametrik yang digunakan dalam SD, khususnya model regresi diantaranya jaringan syaraf tiruan (Hewitson dan Crane 1996;

Cavazos dan Hewitson 2002; Cavazos dan Hewitson 2005; Sutikno dan Boer 2005), regresi projection pursuit (Chan dan Shi 1997; Wigena 2006). Metode nonparametrik lain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah regresi splines adaptif berganda (RSAB) atau seringkali disebut multivariate adaptive regression splines (MARS).

Metode RSAB telah berkembang sejak 1991 dan digunakan diberbagai bidang, terutama pemodelan lingkungan, iklim, kesehatan dan sebagainya.

(2)

Beberapa penelitian menggunakan RSAB, diantaranya: Leathwick et al. 2005;

Keppenne dan Lall 1996; Richard et al. 1993; Finizio dan Palmieri 1998. Khusus digunakan untuk pemodelan SD, diantaranya: Fischer et al. 2004; Corte-Real et al. 1995. Metode ini mempunyai daya kemampuan prediksi yang lebih baik dibandingkan metode kuadrat terkecil, generalized aditive mode : GAM (Sutikno et al. 2001; Sutikno dan Boer 2005; Sutikno et al. 2004; Jesús dan Angel 2004).

Regresi splines adaptif berganda (RSAB), yang dikenal dengan metode MARS (multivariate adaptive regression splines) merupakan metode yang dikembangkan oleh Friedman pada tahun 1991. Pembentukan model RSAB melalui proses bertatar (stepwise) berdasarkan recursive partitioning dengan splines (Friedman 1991). Metode ini mampu menganalisis data yang besar (50 ≤ N ≤ 10.000), dengan jumlah peubah penjelas yang banyak dan dapat menerangkan dengan baik pola-pola nonliner dinamik dan interaksinya (Finizio dan Palmieri 1998).

Regresi Splines Adaptif Berganda Konsep Dasar

Misalkan y menunjukkan peubah respon tunggal bergantung pada p peubah penjelas x, dimana x = (x1, x2, x3, ……., xp), maka dapat digambarkan model regresi sebagai berikut :

y= f(x1,x2.,...,xp)+ε (6.1) Diasumsikan model regresi f digambarkan sebagai kombinasi linear dari fungsi basis BBk(x), k=1, 2, ..., K.

) ( )

(

0 1a B x

a x

f k

K

k

k

=

+

= (6.2) dimana ao, a1, a2, ...aK adalah koefisien regresi yang diduga. Setiap fungsi basis adalah fungsi truncated power splines. Univariate truncated power basis dapat digambarkan sebagai fungsi step (indikator). Fungsi univariate splines basis dari kiri dan kanan:

bm+

( )

x,c =

[

+

(

xc

) ]

m+, bm+

( )

x,c =

[

(

xc

) ]

m+ (6.3a)

(3)

atau dinyatakan dalam satu notasi:

]

) ]

bm

(

x,s,c

)

=

[

s

(

xc

)

m+ (6.3b) Gambar 6.1 menunjukkan pasangan basis linear (m=1) truncated splines. m=0 menghasilkan step atau piecewise basis konstanta. Multivariate splines dapat dinyatakan dalam perkalian univariate basis (pers. 6.3), sehingga basis fungsi tunggal dinyatakan:

(6.4)

[

kl

(

kl kl m L

l

k x s x c

B

k

= +

=

( ,)

1

) (

dimana [x]+ bagian bernilai positif dari x, [x]+ = x jika x >0 dan [x]+ = 0 jika x ≤ 0, m adalah orde dari splines. Lk banyaknya interaksi pada fungsi basis K, Skl nilainya +1 atau –1 jika knotnya terletak di kanan atau kiri subregion. x(k,l) adalah peubah penjelas yang terdapat dalam fungsi basis, dan ckl posisi titik knot.

Penentuan lokasi titik knot dan jumlah peubah ditentukan berdasarkan pada data dengan menggunakan kriteria lack- of- fit (LOF).

b1+(x,c) b1(x,c)

c x c x Gambar 6.1 Truncated linear fungsi basis.

Dalam algoritma RSAB terdapat dua tahapan, yaitu tahap forward digunakan untuk mendapatkan subregion – subregion agar dapat menentukan fungsi basis. Tahap backward, mengeluarkan suku model (basis fungsi) yang kontribusinya terhadap nilai dugaan respon kecil (Friedman 1991).

Tahap forward:

Inisialisasi, untuk menduga koefisien konstanta, B0=1

Misalkan terdapat K+1 fungsi basis BB0, B1(x), . . ., Bk(x). Ditambahkan dua fungsi basis baru:

BK+1(x)=Bk(x)

[

+(x(k,l) ckl)

]

m+

[

kl kl

]

m

k

K x B x x c

B +2( )= ( )( ( ,) )+

(4)

Dimana BBk(x) adalah fungsi basis awal (parent), x(k,l) adalah peubah yang tidak terdapat dalam fungsi basis BkB (x) dan ckl adalah posisi titik knot

{ }

1,2,... )

(ckl xi(k,l) i= n .

Semua penentuannya berdasarkan meminimumkan kriteria lack-of-fit.

Penambahan fungsi basis dilanjutkan hingga K fungsi basis maksimum.

Tahap backward:

Memilih satu fungsi basis (kecuali B0) dan mengeluarkan (pruning) jika kontribusinya kecil.

Proses ini dilanjutkan hingga tidak ada fungsi basis yang dapat di- keluarkan.

Ukuran kontribusi yang digunakan tahap backward adalah modifikasi kriteria validasi silang (generalized cross validation: GCV) Craven dan Wahba (1979), diacu dalam Lewis (1991) yakni :

[ ]

( )

[ 1 ]2

2

*

/

* ) ( 1

) ˆ ( )

/ 1 ) (

( C K N

x f y K N

GCV

N

i i s i

=

= (6.5)

Pembilang persamaan 6.5 tersebut adalah rataan jumlah kuadrat galat (average sum square of residual: ASR), s jumlah subregion yang ditentukan pada tahap forward, dan penyebutnya merupakan penalti fungsi model kompleks. C(K)*

adalah nilai kompleksitas model yang terdiri atas K basis fungsi. Model terbaik jika nilai GCV* minimum.

Level 0B0(x) =1

B1 (x) = B0(x).+(x1-c1)+

B2(x) = B0(x).-(x1-c1)+

B3(x) = B0(x).+(x2-c2)+

B4(x) = B0(x).-(x2-c2)+

Level 2 B5(x) =

B2(x).+(x3-c3)+

B6(x) = B2(x).-(x3-c3)+

Level 1

Gambar 6.2. Ilustrasi tahapan pembentukan fungsi basis.

(5)

Gambar 6.2 di atas memberikan contoh tahapan dalam pembentukan fungsi basis metode RSAB. Hasil dugaan model RSAB adalah:

ˆ( ) 6 ( ) (6.6)

1

x B a X

f k

k

k

=

=

Kedalaman dari pohon menunjukkan tingkat interaksi. Pohon pada level pertama menunjukkan model aditif (tanpa interaksi), level 2 menunjukkan model dengan interaksi 2, dan seterusnya.

Misalkan fungsi basis BBk(x), k =0, 1, 2, . . ., K, untuk menduga koefisien regresi (ak) dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (ordinary least square),

(

a a aK

)

T,

a= 0, 1,..., aˆMKT =

(

BKTBK

)

1BKTY, dimana Y =

(

y1,y2,...,yn

)

T dan BKB

matriks komponen BBk(xi).

Banyak peubah penjelas yang digunakan memungkinkan terjadinya kasus multikolinearitas pada matriks BBK. Untuk mengatasi masalah ini Friedman (1991) menyarankan pembentukan model secara bertahap, yaitu model aditif (mak- simum interaksi, mi=1), kemudian dilanjutkan dengan model interaksi (mi=2) dan seterusnya. Di samping itu, Friedman (1991) menambahkan suatu faktor penalty (γ) pada algoritma tahap forward.

{ }

⎥⎦

⎢⎣

⎛ ∉ +

=

Kl

L l

l k x x I f

LOF f

LOF 1

1

1 ( , )

1 ) ( )

( γ U (6.7) Pada iterasi ke – L terdapat L-1 fungsi basis yang ada dalam model dan fungsi indikator (I) bernilai nol jika paling sedikit satu peubah penjelas masuk, dan lainnya bernilai satu. Besarnya nilai γ (bernilai > 0) menunjukkan kekuatan penalty yang digunakan sebagai kontrol dari peubah penjelas yang akan dimasukan. Besarnya nilai γ yang optimum bergantung pada kondisi tertentu (tingkat kolinearitas) dan besarnya goodness -of- fit yang digunakan oleh peng- guna dalam membentuk model yang sederhana (parsimony models). Hal ini dapat dilakukan dengan simulasi beberapa γ (secara meningkat), kemudian dilakukan evaluasi melalui nilai GCV akhir.

Interpretasi model RSAB seringkali melalui dekomposisi analisis ragam (ANOVA), asalkan maksimum interaksinya tidak terlalu tinggi (banyak).

(6)

Dekomposisi analisis ragam merupakan penjumlahan (regrouping) dari fungsi aditif:

=

+

= K

k k

kB x

a a

x f

1

0 ( )

) ˆ(

=

∑ ∑

(6.8)

=

=

+ +

+ d

j i

j i ij d

i i

i x f x x

f a

1 , 1

0 ( ) ( , ) ...

Jumlah fungsi pertama (fi) adalah jumlah fungsi basis yang hanya satu peubah penjelas, jumlah fungsi kedua (fij) menunjukkan jumlah fungsi basis yang terdiri atas dua peubah penjelas (interaksi dua), dan seterusnya.

Adaptive Splines Threshold Autoregression

Adaptive Splines Threshold Autoregression (ASTAR) adalah metode runtun waktu nonlinear yang menggunakan algoritma metode RSAB dengan peubah penjelas nilai lag data deret waktu. Salah satu model ASTAR dinyatakan:

Zt =c+φ1

(

Ztd1 t1

)

+ +φ2

(

Ztd2 t2

)

+ +φ3

(

Ztd1 t1

)(

Ztd2 t2

)

+ +εt (6.9) dimana c adalah konstanta, t1, t2 masing-masing nilai knot peubah Zt-d1 dan Zt-d2, d1 dan d2 merupakan lag 1 dan 2.

6.2 Bahan dan Metode Bahan

Data GCM dan data curah hujan yang digunakan sama seperti penelitian sebelumnya yang disajikan pada Bab 4 (lihat Tabel 4.1).

Metode Analisis

Peubah-peubah penjelas (parameter GCM) dilakukan pereduksian dimensi dengan mengunakan analisis komponen utama. Banyaknya komponen utama didasarkan pada nilai akar ciri (eigen value:λ) ≥ 1 dan melalui scree plot.

Prosedur ini dilakukan untuk mengatasi kasus multikolinearitas. Selanjutnya, skor komponen yang terbentuk digunakan sebagai peubah penjelas pada pemodelan dengan metode RSAB dan regresi komponen utama (RKU).

(7)

Pada tahap awal, pembentukan model dilakukan dengan metode RSAB.

Pada proses pembentukan dimulai dari model yang paling sederhana (tanpa interaksi) hingga model kompleks (interaksi dua dan tiga). Pemilihan model terbaik dilakukan dengan simulasi melalui pemasukan (input): jumlah fungsi basis, banyaknya interaksi, minimal pengamatan di setiap subregion. Penentuan jumlah fungsi basis berdasarkan banyaknya peubah penjelas yang digunakan. Dan Stenberg (2001) menyarankan jumlah fungsi basis paling sedikit dua sampai empat kali jumlah peubah penjelas. Jumlah basis fungsi yang digunakan adalah 80, 120, dan 160, karena jumlah peubah penjelasnya sebanyak 40. Jumlah minimal pengamatan di setiap subregion sampai saat ini masih belum jelas, karena terbatasnya penelitian mengenai permasalahan tersebut. Sutikno dan Boer (2005) menggunakan minimal 5 pada setiap subregion. Semakin kecil banyaknya pengamatan (misal n=1) maka model semakin bergerigi, sehingga akan menghasilkan model yang baik pada saat verifikasi, namun pada validasi model menurun tingkat ketepatannya. Penentuan jumlah minimal pengamatan dilakukan simulai, n=5, 10, dan 20. Untuk mengatasi atau mengurangi terjadinya kasus multikolinearitas dilakukan penambahan penalty (γ). Penentuan besarnya nilai γ dilakukan disimulasi, yaitu: γ = 0.00 (tidak korelasi), 0.05 (moderat) dan 0.1 (berat). Pemilihan besarnya γ mengikuti metode yang dilakukan oleh Friedman (1991), karena penelitian untuk kasus iklim (terutama pemodelan SD) sangat terbatas.

Dalam proses pemodelan, data dibagi menjadi 2 bagian yaitu untuk verifikasi model (1967 – 1998) dan validasi model (1999-2000). Kriteria pemilih- an model terbaik digunakan R2, dan R2-terkoreksi. Model terbaik jika memiliki R2, dan R2-terkoreksi terbesar. Di samping itu pemilihan model terbaik digunakan data bebas (data validasi), dengan kriteria RMSEP, MAEP, dan korelasi antara data aktual (observasi) dan nilai dugaan. Semakin kecil nilai RMSEP dan MAEP semakin baik model yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin besar nilai korelasi semakin baik model tersebut.

Langkah berikutnya adalah pemodelan dengan menggunakan regresi berganda komponen utama (RKU). Untuk mengetahui tingkat ketepatan model

(8)

dari kedua metode digunakan kriteria RMSEP, MAEP, dan analisis korelasi antara data aktual (observasi) dan nilai dugaan.

6.3 Hasil dan Pembahasan Pendugaan model dengan RSAB

Untuk mendapatkan model optimum, yaitu model yang mampu menje- laskan keragaman data dan mempunyai ketepatan tinggi saat validasi model, dilakukan simulasi masukan model RSAB. Hasil simulasi mununjukkan bahwa sebagian besar basis fungsi berjumlah 80, maksimum interaksinya=2-3, dan minimal observasi pada setiap subregion adalah 5 - 10. Besarnya penalty (γ) sebagian besar 0.10 untuk musim hujan (MH) dan 0.05 untuk musim kemarau (MK). Hasil validasi model dengan berbagai penalty selengkapnya disajikan pada Lampiran 7. Perbedaan nilai γ menunjukkan bahwa hubungan antar peubah penjelas pada musim hujan lebih erat daripada musim kemarau.

Tabel 6.1 Nilai basis fungsi (BF), maksimum interaksi (MI), minimal observasi di setiap subregion (Min.obs), dan besarnya nilai penalty (γ) yang menghasilkan nilai R2, dan R2 terkoreksi tinggi (model optimum) menurut musim dan stasiun

Musim Stasiun Penalty BF MI Min. Obs. R2 R2 terkoreksi

Hujan Yuntinyuat 0.10 80 2 5 35.20% 33.10%

Tulangkacang 0.10 80 3 10 49.40% 47.10%

Sumurwatu 0.10 120 2 10 28.00% 26.00%

Losarang 0.00 80 3 5 67.80% 65.00%

Indramayu 0.10 80 3 10 62.80% 59.70%

Kemarau Yuntinyuat 0.05 80 2 5 60.30% 56.60%

Tulangkacang 0.05 80 3 5 74.10% 70.70%

Sumurwatu 0.05 80 3 10 61.90% 56.80%

Losarang 0.10 80 3 20 32.90% 30.70%

Indramayu 0.05 80 3 5 75.80% 72.40%

Model RSAB menghasilkan R2 berkisar 28.00%-75.80% dan R2 terkoreksi berkisar 26.00% - 72.40%. Lebih lanjut, nilai R2 musim hujan berkisar 28.00%- 67.80% dan R2 terkoreksi berkisar 26.00%-65.00%, sedangkan musim kemarau R2 berkisar 32.90%-75.80% dan R2 terkoreksi berkisar 30.70%-72.40%. Nilai R2 dan R2 terkoreksi musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan (Tabel 6.1).

(9)

Hal ini menunjukkan bahwa model RSAB musim kemarau mempunyai potensi tingkat ketepatan dugaan yang tinggi daripada model musim hujan.

Berikut disajikan contoh model RSAB stasiun Indramayu untuk musim hujan (pers. 6.10) dan musim kemarau (pers. 6.11). Model musim hujan terdiri atas 22 basis fungsi meliputi: 4 pengaruh utama (tanpa interaksi), 8 interaksi level dua dan 10 interaksi tiga. Model musim kemarau terdiri atas 30 basis fungsi, meliputi: 6 pengaruh utama, 17 interaksi level dua, dan 7 interaksi level tiga. Hasil pengujian masing-masing parameter basis fungsi menunjukkan nyata pada α=5%

untuk semua parameter baik musim hujan maupun musim kemarau (lihat Tabel 6.2).

Model musim hujan:

Y = 129.348 + 12.734 BF5 - 1.296 BF6 - 1.773 BF7 - 1.825 BF8 - 0.776 BF9 + 1.294 BF11 - 0.439 BF14 - 1.363 BF18-1.544 BF35 + 0.079 BF37 + 0.095 BF42 + 0.953 BF45 - 6.181 BF60

dimana:

BF1 = max(0, UA1_1 + 38.105) BF2 = max(0, UA1_1 + 9.417) BF4 = max(0, PRW1_5 - 0.513) BF2 BF5 = max(0, 0.513 - PRW1_5 ) BF2 BF6 = max(0, HUS1_6 - 1.140) BF5 BF7 = max(0, 1.140 - HUS1_6 ) BF5 BF8 = max(0, PRW1_2 - 4.831) BF5 BF9 = max(0, 4.831 - PRW1_2 ) BF5 BF11 = max(0, 4.715 - HUS1_2 ) BF4 BF12 = max(0, PRW1_5 + 3.736) BF1 BF14 = max(0, - 4.965 - HUS1_6 ) BF12 BF16 = max(0, HUS1_6 + 1.616) BF2 BF18 = max(0, PRW1_3 - 1.615) BF16 BF24 = max(0, 4.096 - HUS1_6 ) BF1 BF35 = max(0, 0.326 - PRW1_3 ) BF5 BF37 = max(0, 2.409 - PRW1_3 ) BF24 BF38 = max(0, PRW1_3 + 2.123)

BF40 = max(0, UA1_1 + 9.562) BF38 BF42 = max(0, PRW1_2 + 13.838) BF40 BF43 = max(0, VA1_4 + 3.839)

BF45 = max(0, HUS1_6 + 9.277) BF43

BF60 = max(0, PRW1_5 + 0.389) BF43 (6.10) Model musim kemarau:

Y = 56.945 - 11.676 BF1 + 8.379 BF3 + 5.952 BF6- 0.373BF7 + 9.159 BF12 - 0.919 BF14 + 2.984 BF15 + 1.902 BF19 - 0.209 BF20 - 0.616 BF22 + 0.426 BF23 + 0.598 BF26 - 1.111 BF28 - 5.691 BF29 + 0.142 BF31- 0.106 BF32 - 1.506 BF40 + 0.108 BF42 + 0.171 BF44 + 0.092 BF50 + 0.017 BF55

dimana:

BF1 = max(0, HUS2_3 - 8.295)

(10)

BF2 = max(0, 8.295 - HUS2_3 ) BF3 = max(0, HUS2_3 - 0.288) BF4 = max(0, 0.288 - HUS2_3 )

BF6 = max(0, - 11.385 - PRW2_1 ) BF3 BF7 = max(0, PRW2_1 + 10.511) BF3 BF8 = max(0, - 10.511 - PRW2_1 ) BF3 BF10 = max(0, 4.176 - HUS2_9 )

BF11 = max(0, HUS2_10 + 4.686) BF10 BF12 = max(0, - 4.686 - HUS2_10 ) BF10 BF14 = max(0, 5.269 - HUS2_3 ) BF10 BF15 = max(0, VA2_7 - 7.713) BF10 BF18 = max(0, UA2_2 + 12.170) BF2 BF19 = max(0, - 12.170 - UA2_2 ) BF2 BF20 = max(0, UA2_2 + 37.067) BF8 BF21 = max(0, UA2_2 + 37.067) BF22 = max(0, HUS2_9 - 0.961) BF21 BF23 = max(0, 0.961 - HUS2_9 ) BF21 BF24 = max(0, UA2_3 - 2.012) BF4 BF26 = max(0, HUS2_9 + 0.386) BF24 BF28 = max(0, UA2_6 + 8.418) BF10 BF29 = max(0, - 8.418 - UA2_6 ) BF10 BF31 = max(0, - 2.538 - HUS2_3 ) BF28 BF32 = max(0, UA2_2 - 3.966) BF11 BF37 = max(0, 4.537 - VA2_7 ) BF21 BF40 = max(0, UA2_4 + 6.373) BF3 BF42 = max(0, UA2_6 + 13.371) BF40 BF44 = max(0, - 10.268 - VA2_3 ) BF37 BF50 = max(0, HUS2_3 + 13.294) BF21

BF55 = max(0, - 2.906 - VA2_1 ) BF18 (6.11)

Tabel 6.2 Sidik ragam model RSAB musim hujan (A) dan musim kemarau (B) Stasiun Indramayu

Parameter Koefisien Simp. baku koef.

T-ratio P-value

--- Musim hujan (A) ---

Constant 129.348 16.594 7.795 8.75 10-13 Basis Function 5 12.734 1.441 8.839 2.00 10-15 Basis Function 6 -1.296 0.289 -4.48 1.44 10-5 Basis Function 7 -1.773 0.326 -5.435 2.09 10-7 Basis Function 8 -1.825 0.308 -5.92 2.00 10-8 Basis Function 9 -0.776 0.122 -6.352 2.25 10-9 Basis Function 11 1.294 0.142 9.133 9.99 10-16 Basis Function 14 -0.439 0.11 -4.004 9.63 10-5 Basis Function 18 -1.363 0.287 -4.747 4.66 10-6 Basis Function 35 -1.544 0.327 -4.718 5.28 10-6 Basis Function 37 0.079 0.015 5.219 5.70 10-7 Basis Function 42 0.095 0.018 5.435 2.08 10-7 Basis Function 45 0.953 0.218 4.368 2.28 10-5 Basis Function 60 -6.181 2.044 -3.024 0.003 F-Statistic = 20.139 S.E. of regression = 118.654 P-Value = .99 10-15 Residual sum of squares = 2182203.018 [MDF,NDF] = [ 13,155 ] Regression sum of squares = 3685878.982

(11)

Tabel 6.2 Sidik ragam model RSAB musim hujan (A) dan musim kemarau (B) Stasiun Indramayu (lanjutan)

Parameter Koefisien Simp. baku koef.

T-ratio P-value

--- Musim kemarau (B) ---

Constant 56.945 15.475 3.68 3.26 10-4 Basis Function 1 -11.676 3.218 -3.628 3.92 10-4 Basis Function 3 8.379 1.995 4.199 4.59 10-5 Basis Function 6 5.952 1.063 5.598 1.01 10-7 Basis Function 7 -0.373 0.07 -5.306 3.98 10-7 Basis Function 12 9.159 2.054 4.458 1.62 10-5 Basis Function 14 -0.919 0.239 -3.85 1.75 10-4 Basis Function 15 2.984 0.583 5.122 9.22 10-7 Basis Function 19 1.902 0.421 4.519 1.26 10-5 Basis Function 20 -0.209 0.052 -4.047 8.29 10-5 Basis Function 22 -0.616 0.085 -7.266 1.92 10-11 Basis Function 23 0.426 0.091 4.699 5.90 10-6 Basis Function 26 0.598 0.099 6.057 1.08 10-8 Basis Function 28 -1.111 0.175 -6.359 2.36 10-9 Basis Function 29 -5.691 1.224 -4.651 7.23 10-6 Basis Function 31 0.142 0.036 3.996 1.01 10-4 Basis Function 32 -0.106 0.033 -3.209 0.002 Basis Function 40 -1.506 0.295 -5.112 9.66 10-7 Basis Function 42 0.108 0.019 5.836 3.22 10-8 Basis Function 44 0.171 0.036 4.753 4.68 10-6 Basis Function 50 0.092 0.024 3.811 2.02 10-4 Basis Function 55 0.017 0.004 4.242 3.88 10-5 F-Statistic = 22.266 S.E. of regression = 36.612 P-Value = .99 10-15 Residual sum of squares = 199722.032 [MDF,NDF] = [ 21,149 ] Regression sum of squares = 626751.383

Validasi Model dan Pembandingan Metode

Untuk melakukan validasi model digunakan data bebas 12 bulan (dua musim yang sama) dan 6 bulan (satu musim) tahun 1999-2000. Hasil validasi model RSAB menunjukkan bahwa model musim kemarau mempunyai tingkat ketepatan yang lebih tinggi jika dibandingkan model musim hujan. Ini ditunjukkan dengan nilai RMSEP dan MAEP musim kemarau yang lebih kecil daripada musim hujan. Demikian juga dengan nilai korelasi antara data observasi dan dugaan, nilai korelasi musim kemarau lebih besar dari musim hujan (Gambar 6.3). Salah satu contoh di stasiun Tulangkacang, model RSAB dengan n=12 pada musim hujan, diperoleh nilai RMSEP=122.86, MAEP=86.34, dan r=-0.26, sedangkan pada musim kemarau, nilai RMSEP= 42.83, MAEP=26.47, dan r=

(12)

0.80. Selanjutnya pada n=6, diperoleh nilai RMSEP=111.54, MAEP=98.78, dan r=-0.45, sedangkan pada musim kemarau, nilai RMSEP=52.03, MAEP=27.12, dan r=0.93. Hasil yang sama ditunjukkan dengan menggunakan metode RKU.

Beberapa penyebab tingkat ketepatan model musim hujan kurang memuaskan diantarannya: (1) peningkatan proses pada grid, seperti konveksi yang tidak tertangkap (captured) oleh peubah penjelas (dalam skala rendah), dan (2) ketidaksempurnaan GCM (CSIRO Mk3) dalam menyimulasikan peubah penjelas, khususnya untuk wilayah tropis (Cavazos dan Hewitson 2005). Demikian juga, Busuioc et al. (2001) menyatakan bahwa SD akan berhasil jika peubah penjelas (GCM) disimulasikan dengan baik oleh GCM tersebut.

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00

Indramayu Losarang Sumurwatu Tulangkacang Yuntinyuat Indramayu Losarang Sumurwatu Tulangkacang Yuntinyuat Indramayu Losarang Sumurwatu Tulangkacang Yuntinyuat Indramayu Losarang Sumurwatu Tulangkacang Yuntinyuat

MH MK MH MK

RSAB RKU

RMSEP, MAEP

-0,60 -0,40 -0,20 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00

Korelasi

RMSEP MAEP r

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00 200,00

Indramayu Losarang Sumurwatu Tulangkacang Yuntinyuat Indramayu Losarang Sumurwatu Tulangkacang Yuntinyuat Indramayu Losarang Sumurwatu Tulangkacang Yuntinyuat Indramayu Losarang Sumurwatu Tulangkacang Yuntinyuat

MH MK MH MK

RSAB RKU

RMSEP, MAEP

-0,40 -0,20 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00

Korelasi

RMSEP MAEP r

(a)

(b)

Gambar 6.3 Nilai RMSEP, MAEP, dan korelasi (r) dengan panjang data untuk validasi model : 6 bulan (a) dan 12 bulan (b).

(13)

Bila ditinjau dari panjang periode validasi model, periode dugaan 6 bulan (satu musim) menghasilkan nilai dugaan dengan ketepatan yang relatif tinggi jika dibandingkan periode dua musim yang sama atau 12 bulan, baik musim hujan maupun musin kemarau. Seperti di stasiun Indramayu, khususnya model RSAB, pada musim hujan dengan n=12, nilai RMSEP=125.65, MAEP= 94.00, dan r=

0.56, sedangkan n=6, nilai RMSEP=103.67, MAEP=79.63, dan r=0.73. Demikian juga pada musim kemarau dengan n=12, diperoleh nilai RMSEP=85.57, MAEP=

50.13, dan r=0.39, sedangkan n=6, diperoleh nilai RMSEP= 6.97, MAEP=38.49, dan r=0.72. Hasil yang sama diperoleh dengan metode RKU, dimana periode panjang validasi antara 12 bulan dan 6 bulan menunjukkan perbedaan tingkat ketepatan yang nyata (Gambar 6.3).

Indramayu

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Curah hujan (mm)

Observasi RSAB RKU

Losarang

0 50 100 150 200 250 300 350

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Curah hujan (mm)

Observasi RSAB RKU

Gambar 6.4a Plot antara nilai observasi dan nilai dugaan metode RSAB dan RKU (Catatan: Nilai dugaan metode RKU Stasiun Indramayu ada yang bernilai negatif).

(14)

Sumurwatu

0 50 100 150 200 250 300 350 400

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Curah hujan (mm)

Observasi RSAB RKU

Tulangkacang

0 50 100 150 200 250 300 350

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Curah hujan (mm)

Observasi RSAB RKU

Yuntinyuat

0 50 100 150 200 250 300 350 400

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Curah hujan (mm)

Observasi RSAB RKU

Gambar 6.4b Plot antara nilai observasi dan nilai dugaan metode RSAB dan RKU. (Catatan: Nilai dugaan metode RKU Stasiun Yuntinyuat ada

yang bernilai negatif).

(15)

Gambar 6.3 juga menunjukkan bahwa secara umum tingkat ketepatan model RSAB lebih tinggi daripada model metode RKU baik musim hujan maupun musim kemarau. Nilai RMSEP dan MAEP metode RSAB lebih kecil daripada metode RKU. Demikian juga nilai korelasi (r) antara data observasi dan data dugaan metode RSAB lebih besar daripada metode RKU. Selain itu ditunjukkan melalui plot antara observasi dan nilai dugaan, dimana pola dugaan metode RSAB lebih mengikuti pola data observasi, khususnya pada musim kemarau (Gambar 6.4).

Hasil yang sama diperoleh, bila dilakukan penggabungan antara musim hujan dan kemarau dalam satu tahun. Nilai RMSEP dan MAEP metode RSAB lebih kecil daripada metode RKU. Demikian juga nilai korelasi (r) antara data observasi dan data dugaan metode RSAB lebih besar daripada metode RKU (Gambar 6.5).

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00

Korelasi

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 0.00 120.00

Indramayu Losarang Sumurwatu Tulangkacang Yuntinyuat Indramayu Losarang Sumurwatu Tulangkacang Yuntinyuat

10

PRMSEP, MAE

RSAB RKU

RMSEP MAEP

RSAB RKU Stasiun

RMSEP MAEP r RMSEP MAEP r

Indramayu 74.13 59.06 0.87 95.80 78.68 0.82 Losarang 61.10 46.17 0.70 84.68 59.75 0.61 Sumurwatu 90.71 70.70 0.68 93.96 69.84 0.64 Tulangkacang 87.03 62.95 0.51 105.06 69.43 0.25 Yuntinyuat 75.97 65.45 0.61 67.86 55.09 0.76 Rataan 77.79 60.87 0.67 89.47 66.56 0.62 Simp. baku 11.70 9.24 0.13 14.08 9.27 0.22 Gambar 6.5 Nilai RMSEP, MAEP, dan korelasi (r) menurut stasiun dan metode.

r

(16)

Seperti disajikan pada Tabel 6.3, ternyata untuk model RSAB dan RKU di Stasiun Indramayu, dugaan model RKU lebih overestimated daripada model RSAB.

Tabel 6.3 Nilai observasi dan hasil dugaan model RSAB dan RKU di stasiun Indramayu (tahun 1999)

RSAB RKU Bulan Observasi

Dugaan Sisaan Dugaan Sisaan

Januari 170 365.84 -195.84 373.53 -203.53

Februari 348 371.03 -23.03 417.38 -69.38

Maret 67 181.44 -114.44 211.33 -144.33

April 162 188.83 -26.83 188.89 -26.89

Mei 35 118.22 -83.22 170.77 -135.77

Juni 9 67.14 -58.14 67.38 -58.38

Juli 8 40.39 -32.39 65.45 -57.45

Agustus 0 39.72 -39.72 76.90 -76.90

September 0 0.00 0.00 31.16 -31.16

Oktober 36 53.45 -17.45 59.21 -23.21

Nopember 43 151.17 -108.17 -53.76 96.76

Desember 176 166.55 9.45 155.62 20.38

Modifikasi model (Model hybrid)

Modifikasi model yang akan dilakukan adalah memodelkan sisaan dari model yang terbangun. Didefinisikan bahwa: Data = komponen sistematik + komponen acak (sisaan), dimana komponen sistematik adalah model yang terbangun: yˆ = f(z), z skor komponen utama. Sehingga model yang dihasilkan adalah model gabungan (hybrid) antara model awal (komponen sistematik) dan model sisaan (error).

Identifikasi awal dilakukan dengan pengujian sisaan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi serial (autokorelasi). Pendeteksian autokorelasi dilakukan melalui dua cara yaitu secara visual (plot antara residual dan urutan observasi) dan pengujian statistik Ljung –Box Q (LBQ).

Sisaan model yang dilakukan pengujian autokorelasi adalah model RSAB.

Gambar 6.6 menunjukkan bahwa sebaran sisaan model musim kemarau (MK) lebih berfluktuasi di sekitar garis nol jika dibandingkan model musim hujan (MH). Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya titik sisaan yang melampaui batas atas

(17)

dan membentuk pola tertentu. Dengan demikian sisaan model MK lebih berpeluang untuk berautokorelasi daripada sisaan model MH. Adanya autokorelasi ditunjukkan dengan penggujian statistik LBQ. Berdasarkan hasil pengujian ini, sisaan model MK stasiun Tulangkacang dan Yuntinyuat menunjukkan autokorelasi pada α =5%, sedangkan Stasiun Indramayu dan Sumurwatu ber-autokorelasi pada α =10%. Untuk sisaan model MH autoko- relasi terjadi pada Stasiun Sumurwatu dan Yuntinyuat, sedangkan di Stasiun Losarang, Tulangkacang, dan Indramayu tidak terjadi kasus autokorelasi (lihat Tabel 6.4).

Tabel 6.4 Nilai autokorelasi (ACF)#, Ljung Box Q (LBQ), dan p-value pada masing-masing lag menurut musim dan stasiun

Stasiun Lag Nilai korelasi LBQ p-value --- MH ---

Indramayu 6 0.10 5.31 0.5047

8 -0.16 10.36 0.2466

Losarang 1 -0.12 2.82 0.0931b

Sumurwatu 2 0.18 7.58 0.0226a

4 0.13 11.23 0.0241a

Tulangkacang 3 -0.11 3.51 0.3190

6 0.10 6.28 0.3926

Yuntinyuat 1 0.17 4.87 0.0273a

3 -0.13 8.3 0.0400a

4 -0.12 10.83 0.0285a

5 -0.14 13.94 0.0160a

--- MK ---

Indramayu 2 0.18 5.99 0.0500b

11 .-0.17 16.53 0.1226

Losarang 3 0.11 2.61 0.4557

5 0.12 6.06 0.3000

10 -0.15 14.35 0.1576

Sumurwatu 4 -0.18 7.26 0.1228

7 -0.15 12.45 0.0867b

Tulangkacang 1 0.17 4.97 0.1371

3 0.11 7.22 0.0652b

4 0.15 10.77 0.0293a

Yuntinyuat 1 0.16 4.28 0.0386a

2 0.10 6.06 0.0483b

a nyata pada α=5%, b nyata pada α=10%,

# nilai ACF tertinggi pada masing-masing lag dan dipilih untuk pendeteksian autokorelasi

(18)

Gambar 6.6 Plot antara residual dan urutan observasi untuk pendeteksian autokorelasi.

(19)

Pemodelan sisaan dengan ASTAR

Seperti halnya metode RSAB, langkah awal pemodelan dengan metode ASTAR dilakukan simulasi masukan agar mendapatkan model yang optimun, yaitu model dengan RMSE (untuk data validasi) yang terkecil. Masukan model ASTAR adalah maksimum jumlah interaksi (MI), maksimum jumlah basis fungsi (BF), minimal observasi pada subregion (Min Obs.) dan kriteria penyeleksian model. Kriteria penyeleksian model digunakan validasi silang umum (general cross validation: GCV). Lampiran 8 menyajikan masukan model untuk mendapat- kan model optimum pada masing-masing stasiun, dimana model MK sebagian besar mempunyai MI=2, BF=10-15, dan Min Obs.= 5-10, sedangkan model MH mempunyai MI=1-3, BF=15-30, dan Min Obs.= 5-10.

Model sisaan MK dan MH lebih banyak dipengaruhi oleh lag 4, artinya nilai dugaan saat t (Xt) dipengaruhi oleh nilai pengamatan pada t-4 (Xt-4). (Tabel 6.5).

Tabel 6.5 Model sisaan (ASTAR) menurut musim dan stasiun Stasiun Musim Model

Tulangkacang MH -

MK Xt = -7.74 + 0.01 (Xt-1 + 4.23)+ (Xt-6 + 59.1)+ (12.22 - Xt-3)+ + 0.02 (Xt-4 + 4.26)+ (Xt-3 - 12.22)+ (Xt-4 + 4.26)+ - 0.03 (Xt-4 + 4.26)+ (Xt-6 - 2.85)+

Yuntinyuat MH Xt = -10.1 + 0.02 (Xt-1 - 19.02)+ (-40.23 - Xt-7)+ (Xt-1 - 19.02)+ - 0.01 (Xt-8 - 19.02)+ (87.02 - Xt-1)+ (-37 - Xt-3)+

+ 0 (Xt-12 - 6.98)+

MK Xt = 15.72 - 0.28 (65.67 - Xt-2)+ - 1.16 (Xt-2 - 65.67)+ + 0.75 (Xt-4 - 51.25)+ + 1.02 (-60.68 - Xt-6)+

Sumurwatu MH Xt = -2.1 + 0.87 (Xt-4 - 136.71)+

MK -

Catatan: model dibangun hanya pada stasiun yang ada autokorelasi sisaannya

Validasi model hybrid antara RSAB dan ASTAR

Model hybrid yang dimaksud adalah gabungan antara model RSAB dan model ASTAR. Sisaan dari model RSAB dilakukan pemodelan ASTAR. Hasil validasi model hybrid menunjukkan adanya perbaikan tingkat ketepatan per musim maupun gabungan musim. Seperti di Stasiun Yuntinyuat, model hybrid mempunyai RMSEP=70.65, MAEP=60.29, dan korelasi antara nilai aktual dan dugaan (r)=0.67, sedangkan model non hybrid mempunyai RMSEP=75.97,

(20)

MAEP=65.45, dan r=0.61 (Tabel 6.7 dan 6.8). Demikian juga di Tulangkacang terjadi kenaikan tingkat ketepatan meskipun tidak sebesar di Yuntinyuat.

Untuk Stasiun Sumurwatu tidak terjadi perubahan tingkat ketepatan antara model hybrid dan non hybrid (Tabel 6.6 dan 6.7). Salah satu penyebabnya adalah tidak semua musim terjadi autokorelasi sisaannya, seperti Indramayu hanya musim hujan saja yang terjadi autokorelasi sisaan. Di samping itu sisaannya tidak terlalu kuat kasus autokorelasinya.

Tabel 6.6 Nilai RMSEP, MAEP, korelasi (r) menurut model non hybrid dan model hybrid

Model non hybrid Model hybrid Stasiun

RMSEP MAEP r RMSEP MAEP r

Indramayu 74.13 59.06 0.87 - - -

Losarang 61.10 46.17 0.70 - - -

Sumurwatu 90.71 70.70 0.68 91.39 71.40 0.67

Tulangkacang 87.03 62.95 0.51 85.96 61.84 0.52

Yuntinyuat 75.97 65.45 0.61 70.65 60.29 0.67

- tidak dilakukan pemodelan sisaan karena tidak nyata pada pengujian sisaan dengan Ljung-Box Q

6.4 Simpulan

1. Model untuk musim kemarau mempunyai tingkat ketepatan lebih tinggi daripada musim hujan, baik model RSAB maupun RKU.

2. Nilai RMSEP dan MAEP metode RSAB lebih kecil daripada metode RKU, khususnya dalam jangka waktu 6 bulan (satu musim). Demikian juga nilai korelasi (r) antara data observasi dan data dugaan metode RSAB lebih besar daripada metode RKU.

3. Model hybrid antara RSAB dan ASTAR akan meningkatkan ketepatan dugaan, pada kondisi autokorelasi.

Referensi

Dokumen terkait

Bapak Sri Winarso Martyas Edi, S.Kom, M.Cs sebagai Ketua Program Studi Teknik Informatika dan Dosen Pembimbing, Diploma Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen

Setiap unsur kimia terdiri aatas partikel kecil yang tidak dapat dibagi.. lagi, yang

Simulasi dilakukan dengan menggunakan alternatif-alternatif menggunakan rumus di perusahaan pada saat ini dan rumus periodic review policy sehingga dapat diputuskan

On the other hand, during the study period COS showed significant differences between management systems for both depth levels, standing out the increase of COS contents

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan internet menarik minat belajar matematika siswa karena, selain tampilan website yang

Tanjung Pandan Tanjung Pandan BKP Kelas II Pangkal Pinang 26.. Panjang Bandar Lampung BKP Kelas I Bandar

Dilakukan dengan cara membicarakan suatu topik apa pun yang sudah disepakati secara bersama sebelumnya atau membingkai sesuatu hal dengan kata-kata tertentu yang membuat pihak

kadýnlarda âdetleri kolaylaþtýrýcý etkilere sâhiptir. Onlardan surup ve ekstraktlari hazýrlanýr. Yapraklarýnýn % 5’lik çayi þeker hastalýðýna karþý kan þekerini