• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Meningkatnya aktivitas perdagangan kayu internasional menjadi faktor besar yang mempengaruhi peningkatan permasalahan illegal logging di negara – negara produsen kayu dan berdampak terhadap penggundulan hutan dunia. Hal tersebut karena permasalahan illegal logging di negara – negara produsen kayu akan semakin bertambah dengan meningkatnya permintaan kayu dalam perdagangan kayu internasional. Menurut data dari International Timber Trade Organization (ITTO), pada tahun 1990-1994 konsumsi kayu di dunia mencapai angka 210 juta m3 per tahun, dengan angka impor sebanyak 37 juta m3 per tahun.1 Sedangkan pada data tahun 1999, impor kayu mencapai angka 320 juta m3 dengan 98% pengimpor dari negara berkembang.2 Di sisi lain data dari Forest Resources Assessment 2010 of the Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan bahwa pada tahun 1990-2008 hutan dunia diperkirakan mengalami penggundulan hutan sebesar 239 juta ha atau sekitar 13 juta ha per tahun. Dalam data tersebut dikatakan bahwa Amerika Selatan (33%), Afrika (31%), dan Asia Tenggara (19%), sebagai daerah – daerah pemroduksi kayu, merupakan tiga daerah penyumbang utama penggundulan hutan dunia.3 Hal ini menunjukkan bahwa adanya aktivitas peningkatan konsumsi kayu di dunia dalam perdagangan kayu internasional sejak tahun 1990 hingga 1999 memberikan dampak yang besar terhadap penggundulan hutan dunia, terutama aktivitas dari negara – negara pemrodusen kayu.

European Union (EU) sebagai salah satu negara konsumen kayu yang terdaftar sebagai negara Annex B atau sebagai negara konsumen kayu dalam International Tropical Timber

1 International Tropical Timber Organization (ITTO), “Annual Review and Assessment of The World Tropical TImber Situation 1993-1994”, 1995, diakses pada Sabtu, 18 Januari 2014, hal.53-59 (pdf online)

2 Dr. Michael Adams dan Jeiro Castano, “World Timber Supply and Demand Scenario, Government Interventions, Issues, and Problems”, 2001, <http://www.fao.org/DOCREP/005/AC781E/AC781E00.HTM>, diakses pada Senin, 24 Maret 2014

3 European Commission (EC) Technical Report - 2013 – 063, “The impact of EU consumption on deforestation:

Comprehensive analysis of the impact of EU consumption on deforestation”, 2013, diakses pada Sabtu, 11 Januari 2014, hal.18 (pdf online)

(2)

2

Agreement (ITTA) pada tahun 1983, 1994, hingga 20064, juga merupakan pelaku utama dari perdagangan kayu internasional. EU secara aktif mengimpor kayu dari beberapa negara Annex A atau negara produsen kayu di ITTA, yang diindikasikan memiliki kasus illegal logging dengan jumlah yang besar dalam produksi logging-nya, seperti Brazil, Indonesia, Malaysia, Kamerun, Vietnam, Ghana, Central African Republic, Liberia, Congo, dan Gabon.5 Pada tahun 1990-1994 EU mengimpor 37 m3 atau sekitar 20% dari total impor kayu dunia, kemudian pada tahun 1999 dari 320 juta m3 jumlah impor kayu dunia EU merupakan salah satu pengimpor kayu terbesar di dunia dengan jumlah impor sebesar 37% (115 juta m3), dimana Britania Raya, Itali, France, dan Belgium sebagai negara – negara pengimpor utama.6 Data ini menunjukkan bahwa permintaan EU terhadap produk impor kayu dari dalam EU akan berpengaruh terhadap supply chain management dari negara – negara produsen kayu, yang berbanding lurus dengan laju isu illegal logging dan penggundulan hutan dalam negara – negara pengimpor kayu tersebut.

Permasalahan tersebut kemudian mulai menarik perhatian beberapa Non-Governmental Organization (NGO) lingkungan EU untuk mendorong pemerintah memberikan kebijakan guna menanggulangi hal tersebut. Dalam pelaksanaan tujuannya, NGO mengalami kesulitan untuk mendorong pemerintah EU dengan keterbatasan power yang mereka miliki sebagai kelompok penekan. Tertulis dalam EU white paper -dimana NGO didefinisikan EU sebagai civil society- akan muncul struktur yang dapat menyalurkan suara dari masyarakat mengenai kebijakan – kebijakan EU, namun struktur tersebut hanya memposisikan civil society sebagai katalis atau kelompok penekan.7

Meskipun begitu munculnya action plan Forest Law Enforcement, Governance and Trade - Voluntary Partnership Agreements (FLEGT-VPA) dari EU pada tahun 2003 yang digunakan oleh EU untuk menanggulangi permasalahan illegal logging di negara – negara produsen kayu, tidak dapat dilepaskan dari peran NGO sebagai kelompok penekan. NGO yang merupakan kelompok penekan dalam politik domestik EU memiliki keterlibatan yang besar dalam proses pembuatan kebijakan antara EU dengan negara – negara produsen kayu. NGO – NGO seperti World Wildlife Fund (WWF), Fern, Friends of the Earth (FoE), dan Greenpeace,

4 ITTO, “Annual Review and Assessment of The World Tropical TImber Situation 1993-1994

5 World Wildlife Fund (WWF), “Illegal Logging & The EU : An Analysis of The EU Export & Import Market of Illegal Wood and Related Products”, April 2008, diakses pada Minggu, 26 Januari 2014, hal.25 (pdf online)

6 Ibid

7 EC, “European Governance : A White Paper”, 2001, diakses pada Senin, 17 Januari 2014, hal.14-15 (pdf online)

(3)

3

banyak terlibat dalam proses pembuatan kebijakan FLEGT-VPA dengan keterbatasan yang mereka miliki sebagai kelompok penekan.

Kebijakan ini sendiri dimulai pada tahun 2003, dengan adanya action plan FLEGT-VPA dari EU untuk mengatur permasalahan perdagangan kayu di EU. Regulasi dari kebijakan tersebut kemudian baru muncul pada tahun 2005, dengan adanya penambahan detail pada tahun 2008.

FLEGT merupakan salah satu kebijakan komisi EU untuk mengatur regulasi produk kayu di dalam pasar EU, dengan adanya pemberian sertifikasi terhadap produk kayu yang diproduksi dengan memperhatikan lingkungan, hukum yang berlaku, perilaku seluruh stakeholders yang terlibat, serta berada di dalam hutan yang memiliki sustainable forest management. Komisi EU juga melengkapi kebijakan FLEGT ini dengan adanya kerjasama berupa fasilitasi EU melalui Voluntary Partnership Agreements (VAP) terhadap negara serta organisasi di dalam dan di luar kawasan, untuk mengimplementasikan proses pemberian lisensi tersebut.8 FLEGT-VPA juga digunakan oleh EU sebagai bentuk pemberantasan isu illegal logging yang menjadi salah satu faktor terbesar terjadinya penggundulan hutan, dengan adanya regulasi terhadap produk kayu dalam hubungan dagang EU.9

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana peran NGO sebagai kelompok penekan di pemerintahan domestik EU dalam proses pembuatan kebijakan FLEGT-VPA?”

1.3. LANDASAN KONSEPTUAL

Dalam menjawab rumusan masalah tersebut, peran dari NGO sebagai kelompok penekan di pemerintaha domestik EU dalam kebijakan FLEGT-VPA akan dikaji menggunakan

8 European Council, “Council Regulation (EC) No 2173/2005 of 20 December 2005 on the establishment of a FLEGT licensing scheme for imports of kayu into the European Community”, 2005, diakses pada Jumat, 10 Januari 2014.

(pdf online)

9 EC, “Communication from the Commission to The Council and The European Parliament on FLEGT : Proposal for an EU Action Plan”, 2003, diakses pada Jumat, 10 Januari 2014. (pdf online)

(4)

4

Transnational Advocacy Network dan Global Collective Action. Kedua konsep tersebut akan menggambarkan bahwa ide ataupun normative goal dari NGO dalam bidang lingkungan, terutama dalam isu perdagangan kayu internasional, akan menjadi alat NGO untuk mempengaruhi perilaku dari suatu negara, dalam kasus ini perilaku dari pemerintah EU.

Selain Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink yang menggunakan konsep transnational advocacy network dan Todd Sandler yang menggunakan global collective action, penelitian mengenai aktivitas NGO dalam transnational network juga dilakukan oleh Southern Political Science Association melalui Robert Rochrschneider dan Russell J. Dalton dalam “A Global Network? Transnational Cooperation among Environmental Groups”.10 Dalam penelitiannya, mereka mengatakan bahwa dibutuhkan adanya peningkatan aktivitas internasional di bidang lingkungan menggunakan transnational network yang dimiliki oleh kelompok kepentingan untuk dapat meningkatkan integrasi dari NGO ke dalam sistem perekonomian dan politik global. Hal ini juga didukung dengan adanya globalisasi yang akan mendukung pergerakan global dari kelompok kepentingan tersebut.11 Dalam penelitian lainnya, Srilatha Batliwala dengan

“Grassroots Movements as Transnational Actors : Implications for Global Civil Society”12 menyatakan bahwa adanya pergerakan transnational memunculkan gerakan global dari individu, kelompok, organisasi, jaringan, dan federasi dari lokal ke global dalam bentuk beragam, mulai dari melakukan lobby, advokasi, penelitian, maupun dokumentasi, yang dapat menggerakkan masyarakat dengan isu yang dibawa.13

Sedangkan Transnational Advocacy Network menurut Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink merupakan jaringan aktor – aktor internasional yang bekerja dalam sebuah isu, dengan adanya keterikatan kepada shared values dan common discourse, serta memiliki intensitas yang

10 Robert Rochrschneider dan Russell J. Dalton, “A Global Network? Transnational Cooperation among

Environmental Groups”, Southern Political Science Association, The Journal of Politics, Vol. 64, No. 2 (May, 2002), pp. 510-533, diakses pada Sabtu, 8 Februari 2014 (pdf online)

11 Ibid, hal.514-515

12 Srilatha Batliwala, “Grassroots Movements as Transnational Actors: Implications for Global Civil Society”, Voluntas: International Journal of Voluntary and Nonprofit Organizations, Vol. 13,No. 4, Global Civil Society (December 2002), pp. 393-409 , diakses pada Sabtu, 8 Februari 2014 (pdf online)

13 Ibid, hal. 395

(5)

5

padat dalam pertukaran informasi serta jasa.14 Transnational advocacy network akan muncul dengan adanya kondisi dimana15 :

1. Struktur penghubung antara kelompok lokal dan pemerintah terhambat atau terputus, dimana beberapa struktur penghubung tersebut tidak efektif untuk menyelesaikan permasalahan, sehingga memunculkan situasi “boomerang pattern” yang mempengaruhi karakteristik dari jaringan tersebut.

2. Aktivis atau political entrepreneur percaya bahwa jaringan tersebut akan memajukan misi – misi dan kampanye – kampanye mereka, serta secara aktif mempromosikan mereka

3. Konferensi internasional dan berbagai bentuk interaksi internasional lainnya memberikan wadah untuk membentuk dan menguatkan jaringan.

Boomerang Pattern merupakan suatu bentuk strategi yang dilakukan dalam

transnational advocacy network, dimana keterbatasan kemampuan kelompok lokal dalam level nasional diatasi dengan membentuk transnational network untuk mendapatkan dukungan dari internasional. Dukungan internasional terhadap kelompok lokal tersebut kemudian digunakan untuk mewujudkan tujuan atau kepentingan mereka dengan cara mencoba menekan negaranya dari luar, terkait kebijakan ataupun perilaku dari negara tersebut dalam suatu isu tertentu.16

Dalam pelaksanaannya, transnational advocacy network memiliki beberapa strategi yang digunakan untuk melakukan advokasi, yaitu17 :

1. Information politics, kemampuan untuk mentransfer dengan cepat informasi politik yang berguna dan memiliki kredibilitas atau dapat dipercaya, ke tempat yang akan mendapatkan pengaruh yang paling kuat.

2. Symbolic politics, kemampuan dalam memberikan kesan yang kuat melalui simbol, aksi, ataupun cerita yang akan menggambarkan situasi ataupun tuntutan, meskipun sasaran individu tersebut berada di jarak yang jauh.

14 Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink, “Transnational Advocacy Network in International and Regional Politics”, UNESCO, Blackwell Publisher, Oxford, 1999, hal. 89

15 Ibid, hal. 92-93

16 Ibid, hal. 93

17 Ibid, hal. 95-98

(6)

6

3. Leverage politics, kemampuan untuk menggambarkan situasi dimana aktor yang memiliki power dapat mengendalikan situasi dan berpengaruh, sedangkan aktor yang tidak memiliki power terlihat tidak memiliki pengaruh.

4. Accountability politics, usaha yang digunakan dengan membantu aktor – aktor berpower untuk bertindak atau beraksi dalam kebijakan atau prinsip yang mereka sokong.

Global Collective Action menurut Todd Sandler18 merupakan suatu bentuk aksi kolektif yang dilakukan oleh aktor internasional dalam menanggapi suatu isu global berdasarkan pada kepentingan dari aktor yang terlibat serta kepada interpedensi antar pelaku, baik untuk beraksi (global action) ataupun sebaliknya (global inaction), yang mengarah kepada tercapainya kepentingan bersama. Global collective action membutuhkan adanya dukungan aksi dari dua atau lebih aktor internasional (individual, kelompok, perusahaan, institusi, atau negara) untuk mencapai tujuan dari aksi tersebut. Dalam global collective action adanya situasi atau keadaan tertentu yang mempengaruhi kepentingan aktor – aktor internasional secara global, akan mendorong tercapai dan berjalannya global collective action. Sedangkan terjadinya global inaction dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah keterlibatan aktor internasional dalam aksi tersebut akan memperkecil keuntungan akhir yang seharusnya diperolehnya, tidak adanya pemberian informasi untuk mencegah ketidakpastian terutama ketika aksi tersebut membutuhkan adanya pengeluaran yang tidak diperlukan dari resolusi yang belum pasti, adanya aktor internasional yang menjadi pemimpin, diperlukannya jumlah yang besar dari aktor – aktor yang berkontribusi untuk mencapai solusi efektif, dan hilangnya otonomi dari asosiasi yang ada. Dengan begitu global collective action akan terbentuk ketika kerjasama tersebut menyediakan alternatif global dengan agenda yang jelas dan pasti bagi para aktor, serta dengan keuntungan yang besar.19

18 Todd Sandler, Global Collective Action, University of Southern California, Cambridge University Press, UK, 2004

19 Ibid, hal. 4-7

(7)

7 1.4. ARGUMEN UTAMA

Peran NGO sebagai kelompok penekan di dalam pemerintahan domestik EU dalam proses pembuatan kebijakan FLEGT-VPA dapat dilihat melalui aktivitas transnationalnya terkait dengan isu tersebut. Global networking yang dimiliki oleh NGO terdiri dari cabang – cabang NGO tersebut di negara – negara lain serta hubungan yang dimiliki oleh NGO tersebut dengan NGO yang berbeda maupun dengan aktor internasional lainnya. Menggunakan global networking yang dimiliki, NGO berhasil menekan pemerintahan domestik EU dengan adanya dukungan dari internasional melalui global collective action yang muncul dalam usaha advokasi tersebut. Global collective action yang terbentuk merupakan hasil dari usaha advokasi NGO dengan masyarakat internasional dalam menanggulangi permasalahan illegal logging yang mempengaruhi kelestarian hutan dunia. Sebagai sebuah civil society yang memiliki kemampuan lebih besar untuk dapat berhubungan langsung dengan masyarakat, NGO menggunakan jaringan transnational-nya untuk mempengaruhi masyarakat serta aktor internasional lainnya dalam permasalahan ini. NGO mendorong masyarakat untuk melakukan global collective action dengan menggunakan strategi – strategi dari transnational advocacy network yang kemudian menimbulkan boomerang effect pada pemerintahan EU. Tekanan dari masyarakat internasional serta aktor – aktor internasional lainnya kemudian mendorong EU untuk membuat dan melaksanakan kebijakan yaitu FLEGT-VPA dengan tujuan untuk memerangi permasalahan illegal logging dalam perdagangan kayu di EU demi kelestarian hutan dunia.

1.5. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam struktur penulisannya, skripsi ini akan terbagi menjadi lima bab, yang antara lain adalah : BAB I. PENDAHULUAN

Dalam bab ini, penulisan akan difokuskan terhadap penjelasan mengenai latar belakang permasalahan yaitu peran NGO sebagai kelompok penekan yang membatasi peran NGO dalam proses pembuatan kebijakan dalam pemerintahan EU terkait regulasi perdagangan timber EU.

Padahal NGO - NGO tersebut meyakini bahwa perdagangan kayu internasional mempengaruhi laju isu illegal logging dalam negara – negara produsen kayu di dunia. Terkait hal ini NGO

(8)

8

sebagai civil society yang berstatus sebagai kelompok penekan dalam EU, memiliki kepentingan untuk memerangi isu illegal logging dengan mengadvokasi EU untuk membuat kebijakan dalam regulasi perdagangan timber. Selain itu juga terdapat teori – teori yang akan digunakan dalam pembahasan masalah, argumen utama dari permasalahan, metode penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II. NGO DALAM PEMERINTAHAN EUROPEAN UNION

Dalam bab ini, penulisan akan berisikan penjelasan mengenai hubungan antara NGO dengan pemerintah EU yang dikaitkan dengan posisi dan peran NGO secara nasional, regional, maupun internasional. Selain itu bab ini juga akan menjelaskan mengenai pengaruh NGO dalam pemerintahan EU yang juga dikaitkan dengan proses pembuatan kebijakan tersebut baik dalam pemerintahan EU maupun internasional di bidang sosial dan lingkungan. Dengan begitu juga akan dituliskan mengenai usaha dan peran NGO dalam berbagai kebijakan regional dan internasional dari EU, menggunakan kasus – kasus dalam bidang sosial dan lingkungan.

BAB III. PERAN NGO DALAM KEBIJAKAN FLEGT-VPA

Dalam bab ini, penulisan akan berisikan mengenai definisi, sejarah, serta perkembangan dari FLEGT dalam EU, dengan mengaitkannya dengan situasi dan posisi masyarakat internasional mengenai kebijakan tersebut. Selain itu juga akan dituliskan mengenai posisi dari NGO dalam kebijakan FLEGT dan FLEGT-VPA dalam EU dalam lingkup regional maupun internasional, serta usaha – usaha yang dilakukan oleh NGO dalam mendukung terciptanya kebijakan mengenai regulasi perdagangan kayu internasional tersebut. Bab ini juga berisikan mengenai analisa dari peran NGO dalam proses pembuatan kebijakan FLEGT-VPA antara EU dengan negara – negara produsen kayu dengan data – data yang telah tercantum pada bab – bab sebelumnya. Analisa akan dilakukan menggunakan teori Transnational Advocacy Network dan Global Colletive Action sebagai strategi yang digunakan oleh NGO untuk mengadvokasi pemerintah EU mengeluarkan kebijakan FLEGT-VPA.

BAB IV. KESIMPULAN

Dalam bab ini, penulisan akan berisikan kesimpulan dari analisa terhadap rumusan masalah yang ada, berdasarkan hasil analisa dalam bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

untuk liabilitas keuangan non-derivatif dengan periode pembayaran yang disepakati Grup. Tabel telah dibuat berdasarkan arus kas yang didiskontokan dari liabilitas

Suku bunga efektif adalah suku bunga yang secara tepat mendiskontokan estimasi penerimaan atau pembayaran kas di masa datang (mencakup seluruh komisi dan bentuk

Proses pemberian layanan bimbingan kelompok terhadap interaksi sosial dilakukan selama lima kali pertemuan.Siswa awalnya malu, kaku, dan belum berani menyampaikan

Saat ini proses pengolahan data pemberangkatan kedatangan dan pembongkaran kapal cargo di PT. Jasa Sarana Bandar Banjarmasin ini masih menggunakan cara semi komputer yaitu

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana

Audit, Bonus Audit, Pengalaman Audit, Kualitas Audit. Persaingan dalam bisnis jasa akuntan publik yang semakin ketat, keinginan menghimpun klien sebanyak mungkin dan harapan agar

Perbandingan distribusi severitas antara yang menggunakan KDE dengan yang menggunakan suatu model distribusi tertentu dilakukan untuk melihat secara visual, manakah dari