ISOLASI, KARAKTERISASI DAN PENGUJIAN KEEFEKTIVAN CENDAWAN
MIKORIZA ARBUSKULAR TERHADAP BIBIT KELAPA SAWIT PADA
TANAH GAMBUT BEKAS HUTAN
[ISOLATION, CHARACTERIZATION AND EVALUATION ON THE
EFFECTIVENESS OF ARBUSCULAR MICORRHIZAL FUNGI FOR OIL
PALM SEEDLING ON PEAT OF USED FOREST SOIL]
Elis Kartika
Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361
Abstract
Every rhizosphere of a plant within any ecosystem has various kinds of microorganism, including Arbuscular Mycorrhyzal Fungi (AMF). Each kind of AMF possesses different levels of effectiveness on oil palm seedlings growing in various types of soil. Also, various kinds of AMF could act synergistically and antagonistically to each other in influencing the growth of oil palm seedlings. The objective of this study was to isolate, characterize, and evaluate AMF effectiveness to oil palm seedling on peat of used forest soil. Evaluation on the effectiveness was conducted toward the AMF isolates produced from a single spore culture on that soil type. The study had identified that on this soil type two AMF genera was found i.e. Glomus and Acaulospora. On oil palm rhizosphere, 12 strains of AMF were found (7 strains of Glomus and 5 strains of Acaulospora) on peat of used forest. The rhizosphere of oil palms planted in peat of used forest soil was dominated by Glomus. Highest effectiveness of AMF on peat of used forest soil was a mixed inoculums of 3 AMF isolates Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, and Acaulospora sp-5c.
Key words: mycorrhizae, characterization, oil palm, Elaeis guineensis, peat soil.
PENDAHULUAN
Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) meru-pakan salah satu mikroorganisme bermanfaat yang dapat ditemukan dalam berbagai ekosistem, baik ekosistem alami maupun ekosistem yang telah ter-ganggu. CMA mempunyai selang ekologis yang luas dan dapat dijumpai dalam sebagian ekosistem yang meliputi semak, sabana, arid, semi arid, da-erah temperate, tropika, di dada-erah antartika, eko-sistem gambut alami dan gambut yang sudah ter-buka, hutan hujan tropika, serta padang rumput.
Asosiasi antara CMA dan tanaman inangnya merupakan mekanisme yang sangat penting dalam rangka untuk mengatasi keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan. CMA dapat menguntung-kan tanaman dalam hal penyediaan hara, antago-nisme bagi orgaantago-nisme parasit akar, sinergisme de-ngan mikroba tanah lainnya. Selain itu terlibat da-lam siklus hara, perbaikan struktur tanah (agregasi tanah), alat transpor karbon dari akar tanaman bagi organisme tanah lainnya (Brundrett et al., 1996; Smith dan Read, 1997).
CMA dapat meningkatkan pertumbuhan ta-naman, khususnya berhubungan dengan kemampu-annya dalam menyediakan hara mineral bagi
ta-naman, baik berupa unsur hara makro maupun un-sur hara mikro. Menurut Marschner (197), tanam-an ytanam-ang bermikoriza mempunyai laju penyeraptanam-an unsur P per unit panjang akar yang meningkat 2 - 3 kali dibandingkan tanaman tanpa mikoriza. Hal ini karena pada akar tanaman yang bermikoriza dite-mukan hifa yang memberikan kontribusi sebesar 70 - 80% dari total penyerapan P. Beberapa pene-litian menunjukkan bahwa CMA mampu mening-katkan pertumbuhan dan serapan hara tanaman (Ortas et al., 1996; Schreiner et al., 1997; Graham dan Eissentat, 1998; Fidelibus et al., 2000).
Keefektivan setiap jenis CMA selain tergan-tung pada jenis CMA itu sendiri juga sangat ter-gantung pada jenis tanaman dan jenis tanah serta interaksi antara ketiganya (Brundrett et al., 1996). Setiap jenis tanaman memberikan tanggap yang berbeda terhadap CMA, demikian juga dengan jenis tanah, berkaitan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Setiap CMA mempunyai perbe-daan dalam kemampuannya meningkatkan penye-rapan unsur hara dari dalam tanah dan pertumbuh-an tpertumbuh-anampertumbuh-an (Dpertumbuh-aniels dpertumbuh-an Menge, 1981), sehingga akan keefektivannya dalam meningkatkan pertum-buhan tanaman di lapangan dapat dipastikan akan berbeda pula.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa setiap jenis CMA memiliki efisiensi dan keefek-tivan yang berbeda, tergantung pada jenis CMA, jenis tanaman inang dan jenis tanah (lingkungan) serta interaksi ketiganya (Heijne et al., 1996; Clark, 1997; Hanapiah, 1997).
Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan meng-karakterisasi CMA dari tanah gambut bekas hutan pada perkebunan kelapa sawit serta menguji ke-efektivan CMA tersebut pada bibit kelapa sawit di media tanah gambut bekas hutan.
BAHAN DAN METODA Isolasi dan karakterisasi spora
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca dan Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB dan di Laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI) Fakultas Pertanian IPB.
Pengambilan contoh tanah dilakukan di lokasi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi yang berupa jenis tanah gambut bekas hutan yang ter-letak di PT Era Sakti Parastama, Desa Sakean, Ke-camatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi. Contoh tanah diambil dari zona perakaran kelapa sawit dengan kedalaman 0 - 20 cm. Contoh tanah merupakan komposit dari 20 titik pengambilan, di mana masing-masing titik banyaknya 500 g.
Pengamatan jumlah spora dilakukan terhadap spora dari rizosfir kelapa sawit dan spora hasil trapping yang dilakukan dengan metode Brundrett et al. (1994) menggunakan Pueraria javanica se-bagai tanaman inang. Pemeliharan kultur meliputi penyiraman, pemberian hara dan pengendalian ha-ma. Larutan hara yang digunakan adalah Hyponex merah (25-5-20) dengan konsentrasi 0,5 g L-1 air. Jumlah propagul infektif dihitung dengan teknik Most Probable Number (MPN). Isolasi spora dila-kukan dengan teknik tuang-saring dilanjutkan de-ngan sentrifugasi (Brundrett et al., 1996).
Pemanenan hasil trapping dilakukan setelah kultur berumur lebih-kurang 4 bulan. Peubah yang diamati adalah jumlah spora dan propagul infektif per 50 g media tanam serta tipe spora. Identifikasi dilakukan berdasarkan respon spora terhadap PVLG dan pewarna Melzer’s serta karakter morfo-logi. Pembuatan kultur spora tunggal mengacu pada metode yang dilakukan oleh Mansur (2000), yaitu Petridish Observation Chamber (PDOC).
Pengujian keefektivan CMA pada bibit sawit
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan La-boratorium Bioteknologi Tanaman Fakultas Perta-nian UNJA.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu faktor yaitu faktor jenis isolat CMA dengan 3 ulangan. Jenis isolat merupakan hasil isolasi dari rhizosfir kelapa sawit yang ditanam di tanah gambut bekas hutan dan isolat (Mycofer) yang ada di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Bioteknologi IPB. Isolat yang diuji adalah isolat yang berhasil diper-banyak dari hasil kultur spora tunggal.
Contoh tanah gambut bekas hutan dari perke-bunan kelapa sawit terlebih dahulu disterilisasi de-ngan cara pengukusan (pemanasan), kemudian contoh tanah diisikan ke dalam polybag sesuai de-ngan jenis tanahnya.
Penanaman dan inokulasi CMA dilakukan ter-hadap kecambah kelapa sawit varietas D x P (Te-nera), dan setiap polybag ditanami satu kecambah. Jumlah inokulan (terdiri atas media tanam, spora, potongan hifa dan potongan akar) yang diberikan dari setiap isolat tidak sama, tergantung pada kepa-datan spora per gram inokulan. Setiap inokulum mempunyai kepadatan spora yang berbeda sehing-ga dilakukan standarisasi asehing-gar inokulan dari setiap isolat yang diberikan mempunyai kepadatan spora yang relatif sama, yaitu 60 spora.
Inokulasi dilakukan bersamaan dengan pena-naman kecambah. Selanjutnya dilakukan pemeli-haraan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan dan pemupukan. Pupuk yang diberikan berupa pu-puk urea, rock phosphate, KCl dan kisserite de-ngan dosis sesuai anjuran dan rekomendasi dari PT Era Sakti Parastama (Tabel 1).
Tabel 1. Rekomendasi pemupukan bibit kelapa sa-wit di tanah gambut yang dilaksanakan oleh PT Era Sakti Parastama di Desa Sa-kean, Provinsi Jambi.
Umur (minggu)
Jenis dan dosis pupuk Urea (45 %) (g/bibit) Rock Phosphate (28,39%) (g/bibit) KCl (50%) (g/bibit) Kisserite (27%) (g/bibit) 1 - 3 - 5,000 - - 4 - 12 - 5,000 - - 14 5,000 - - - 16 3,333 5,284 1,200 1,481 24,28,32 5,333 8,454 6,800 1,481
Untuk bibit umur 4 - 12 minggu pemupukan ditambah dengan :
a. Urea 8,333 g + Rock Phosphate 13,209 g + KCl 3,000 g + Kisserite 3,704 g, yang dilarutkan dalam 10 L air untuk 200 bibit..
b. Urea 10 g per 10 L air untuk 200 bibit.
Pengamatan dilakukan setelah bibit berumur 5 bulan terhadap peubah tinggi bibit, jumlah daun,
luas daun, diameter batang, bobot kering tajuk, bo-bot kering akar, nisbah tajuk akar, kadar P dan ko-lonisasi CMA. Pengamatan koko-lonisasi CMA pada akar tanaman contoh dilakukan melalui teknik pe-warnaan akar menggunakan metode dari Kormanik dan McGraw (1982). Analisis data dilakukan seca-ra statistik menggunakan uji kontseca-ras ortogonal.
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan karakterisasi spora
Kepadatan spora alami sebelum trapping pada setiap jenis tanah hanya ditemukan 1 - 10 spora per 50 g tanah. Hasil ini lebih rendah dibandingkan ha-sil penelitian Nadarajah dan Nawawi (1997) yang menemukan 33 - 63 spora per 50 g tanah, Nadara-jah (1999) yang menjumpai jumlah spora 109 - 114 spora per 100 g tanah serta Widiastuti (2004) yang mendapatkan 3 - 103 spora per 100 g tanah pada rizosfir kelapa sawit. Rendahnya kepadatan spora alami pada rizosfir kelapa sawit ini kemung-kinan disebabkan CMA belum bersporulasi, jadi pada contoh tanah tersebut lebih banyak mengan-dung propagul yang lain seperti hifa.
Berdasarkan hasil percobaan didapatkan jum-lah spora hasil trapping per 50 g contoh tanah un-tuk ekosistem tanah gambut bekas hutan adalah 162 spora. Hasil ini juga lebih rendah dibanding-kan hasil trapping Widiastuti (2004) yang mene-mukan 1 - 474 spora per 100 g tanah.
Berdasarkan Teknik Most Probable Number (MPN), Jumlah propagul infektif di rizosfir kelapa sawit pada tanah gambut bekas hutan pada perco-baan ini mencapai 1100 per gram tanah. Kepadatan spora dan jumlah propagul pada tanah gambut be-kas hutan tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan jenis tanah PMK bekas kebun karet tetapi lebih tinggi daripada tanah PMK bekas hutan hasil penelitian Kartika (2006). Perbedaan di antara con-toh jenis tanah tersebut kemungkinan karena per-bedaan lingkungan asal (jenis tanah, hara tanaman, pemupukan, cahaya, dan lain-lain), tanaman inang itu sendiri (umur tanaman inang), dan keberadaan vegetasi lain di bawah tanaman kelapa sawit mau-pun cara pengelolaan.
Jumlah CMA di tanah pertanian bervariasi ter-gantung musim setiap tahun dan faktor-faktor perti pertumbuhan tanaman, edafik, pola cuaca se-tiap musim dan pengelolaan (pemupukan, cara pe-mupukan dan pengolahan tanah). Seperti halnya hasil penelitian Giovannetti (1985) dan Sturmer dan Bellei (1994) yang mendapatkan bahwa jum-lah spora atau frekuensi sporulasi CMA bervariasi sesuai musim.
Identifikasi tipe spora hasil isolasi atas dasar karakteristik morfologi dan responnya terhadap la-rutan Melzer’s diperoleh 12 tipe spora yaitu Glo-mus (tujuh tipe) dan Acaulospora (lima tipe). Ke-ragaman spesies yang didapatkan pada penelitian ini ternyata lebih tinggi daripada hasil penelitian Puspa dan Suwandi (1990) yang menemukan enam spesies dan Nadarajah (1999) yang hanya memper-oleh tujuh spesies pada rizosfir kelapa sawit. Kera-gaman yang berbeda ini disebabkan karena perbe-daan lingkungan, jenis vegetasi yang ada di bawah kelapa sawit dan cara pengelolaan.
Pada jenis tanah ini hanya ditemukan dua ge-nus CMA yaitu Glomus dan Acaulospora. Hal ini berhubungan dengan waktu pengambilan sampel tanah dan pada saat pengambilan sampel untuk ka-rakterisasi. Kemungkinan pada saat pengambilan sampel tanah untuk trapping hanya ada propagul Glomus dan Acaulospora, demikian juga saat pengambilan sampel tanah dari hasil trapping, se-bab keberadaan dan keanekaragaman CMA dipe-ngaruhi oleh faktor lingkungan dan tanaman inang seperti hasil penelitian Johnson-Green dan Booth (1995) dan Siguenza et al. (1996). Selain itu me-nurut Ocampo et al. (1986), setiap individu CMA dipengaruhi oleh faktor intrinsik terhadap peru-bahan lingkungan seperti halnya musim. Kemung-kinan lain adalah ada beberapa genus CMA memi-liki penyebaran yang terbatas, sehingga kemung-kinan genus spora yang ditemukan pada suatu jenis tanah pada suatu wilayah dan pada suatu waktu tertentu dapat saja tidak mewakili seluruh spora yang ada dari genus CMA yang terdapat di daerah tersebut.
Pada tanah gambut hasil percobaan ini terungkap bahwa rizosfir kelapa sawit didominasi oleh genus Glomus. Hasil penelitian Ragupathy dan Mahadevan (1991) dan Purwanto (1999) me-nunjukkan bahwa jenis Glomus lebih beradaptasi dibandingkan genus yang lain terhadap kisaran ke-adaan lingkungan yang luas.
Berdasarkan kultur spora tunggal didapatkan bahwa tidak semua tipe spora yang dikulturkan mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Da-ri 12 jenis CMA (tujuh tipe Glomus dan lima tipe Acaulospora) yang diperoleh, hanya tiga tipe spora yang tumbuh dan berkembang dengan baik yaitu Glomus sp-1c (G-1), Glomus sp-5c (G-5), dan Acaulospora sp-5c (G-12). Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan daya adaptasi dari setiap ti-pe tersebut, di mana tidak semua titi-pe spora yang ditemukan mampu beradaptasi pada keadaan ling-kungan yang baru. Oleh sebab itu, hanya spora de-ngan daya adaptasi tinggi saja yang mampu hidup dan berkembang di lingkungan yang baru.
Pengujian keefektivan CMA pada bibit kelapa sawit di media tanah gambut bekas hutan
Jenis CMA Glomus sp-1c (G-1), Glomus sp-5c (G-5), dan Acaulospora sp-5c (G-12) hasil perco-baan di atas, selanjutnya diuji keefektivannya pada bibit kelapa sawit. Perlakuan jenis isolat yang di-berikan terdiri dari tanpa isolat (G-0), isolat tung-gal [Glomus sp-1c (G-1); Glomus sp-5c (G-5) dan Acaulospora sp-5c (G-12)] dan isolat campuran kombinasi dari isolat tunggal tersebut [Glomus sp-1c dan Glomus sp-5c (G-1,5); Glomus sp-sp-1c dan Acaulospora sp-5c (G-1,12); Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-5c (G-5,12); serta Glomus sp-1c, Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-5c (G-1,5,12)]; isolat gabungan dari 12 isolat yang ditemukan (G-gab.) dan isolat mycofer (G-myc.).
Hasil uji kontras ortogonal terhadap pertum-buhan tanaman, kadar P dan serapan P, serta infek-si akar akibat perlakuan pemberian berbagai inoku-lum CMA di tanah gambut bekas hutan disajikan pada Lampiran 1 dan 2. Berdasarkan Lampiranl 1 dan 2 tersebut ternyata bibit yang diinokulasi CMA memberikan pertumbuhan, serapan P dan infeksi akar lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA seperti yang ditunjukkan oleh semua peubah yang diukur kecuali peubah nisbah tajuk akar. Hal ini disebabkan kemampuan CMA memperbaiki dan meningkatkan pertumbuhan tanaman berkaitan dengan peranannya dalam penyerapan P (Ortas et al., 1996). Pada gambut, P tersedia yang dapat di-serap tanaman sangat rendah, tetapi dengan adanya CMA, P yang dapat diserap tanaman menjadi lebih tinggi. Adanya peningkatan serapan P ternyata di-akibatkan meningkatnya kadar P dan juga ditun-jang dengan meningkatnya pertumbuhan bibit. Jadi dengan semakin meningkatnya kadar P tajuk dan bobot kering tajuk, maka serapan P bibit tersebut semakin meningkat. Menurut Kramadibrata (1993) peningkatan serapan P oleh tanaman ber-CMA se-bagian besar karena hifa eksternal dari CMA yang berperan sebagai sistem perakaran di mana hifa eksternalnya menyediakan permukaan yang lebih efektif dalam menyerap unsur hara dari tanah yang kemudian dipindahkan ke akar inang.
CMA juga dapat menyerap fosfat organik dan mengubahnya menjadi P anorganik yang dapat di-serap tanaman dengan adanya bantuan enzim fos-fatase asam yang juga dihasilkan oleh CMA dan sel-sel tanaman. Gunawan (1993) menjelaskan bahwa fosfatase asam yang dihasilkan oleh hifa CMA yang sedang aktif tumbuh dan peningkatan aktivitas fosfatase pada permukaan akar akibat in-feksi CMA menyebabkan P dibebaskan dari fosfat organik pada daerah dekat permukaan sel sehingga dapat diserap melalui mekanisme serapan hara.
Fosfor merupakan salah satu unsur hara makro yang penting dalam pertumbuhan dan perkem-bangan tanaman. Unsur tersebut berfungsi sebagai penyusun metabolit dalam senyawa kompleks, se-bagai aktivator, kofaktor atau penyatu enzim serat dan berperan dalam proses fisiologi dan juga me-rupakan komponen struktural dari sejumlah senya-wa penting, molekul pentransfer energi ADP dan ATP (Gardner et al., 1985; Marschner, 1997). Me-nurut Prawiranata, et al. (1992), ATP merupakan senyawa penting bagi reaksi metabolit pertumbuh-an termasuk protein dpertumbuh-an asam nukleat. Selain itu ATP diperlukan untuk sintesis cadangan makanan seperti lemak dan polisakarida serta diperlukan da-lam proses transpor aktif dan aliran protoplasma. Fosfor juga merupakan unsur yang sangat kritis bagi pertumbuhan tanaman, selain itu kekurangan P mengakibatkan tanaman tidak mampu menyerap unsur-unsur lain. Sebagai unsur yang penting da-lam pembentukan energi bagi pertumbuhan tanam-an maka ketersediatanam-an P ytanam-ang cukup aktanam-an memper-baiki pertumbuhan tanaman. Jika energi tersedia dalam jumlah yang cukup maka semua proses me-tabolisme dapat berlangsung dengan baik, sehing-ga tanaman akan lebih mampu menghadapi keada-an lingkungkeada-an ykeada-ang beragam dkeada-an mampu tumbuh dengan baik.
Selanjutnya, dari Lampiran 1 dan 2 terlihat bahwa bibit yang diinokulasi isolat tunggal CMA tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diban-dingkan inokulum campurannya dan campuran dua isolat CMA untuk semua peubah kecuali peubah infeksi akar. Inokulum campuran isolat tunggal dan campuran dua isolat CMA memiliki infeksi akar lebih tinggi daripada isolat tunggal. Selanjut-nya dapat dilihat bahwa bibit yang diinokulasi ino-kulum campuran tiga isolat CMA ternyata membe-rikan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan isolat tunggal (peubah luas daun, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering bibit, serap-an P dserap-an infeksi akar,) maupun inokulum campur-an dua isolat CMA (peubah diameter batcampur-ang, luas daun, bobot kering akar, serapan P dan infeksi akar).
Bibit yang diinokulasi inokulum campuran 2 isolat CMA yang mengandung isolat tunggal G-1 (Glomus sp-1c) yaitu G-1,5 (Glomus sp-1c dan Glomus sp-5c) serta G-1,12 (Glomus sp-1c dan Acaulospora sp-5c) memiliki pertumbuhan dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan isolat tungggal G-1 seperti ditunjukkan oleh peubah luas daun, tinggi bibit, bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan in-feksi akar kecuali diameter batang (isolat tunggal lebih tinggi).
Demikian juga dengan inokulum campuran dua isolat yang mengandung G-5 (Glomus sp-5c) yaitu 1,5 (Glomus sp-1c dan Glomus sp-5c) dan G-5,12 (Glomus sp-5c dan Acaulopsora sp-5c) yang diinokulasikan pada bibit kelapa sawit ternyata memberikan pertumbuhan yang lebih baik diban-dingkan isolat tunggal G-5 (Glomus sp-5c) seperti ditunjukkan oleh peubah luas daun, bobot kering tajuk dan infeksi akar. Isolat G-5 hanya memberi-kan bobot kering bibit yang lebih tinggi dibanding-kan campuran dua isolat tersebut.
Kemudian, bibit yang diinokulasi inokulum campuran dua isolat yang mengandung G-12 (Acaulospora 5-c) yaitu G-1, 12 (Glomus sp-1c dan Acaulospora 5c) dan G-5, 12 (Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-sp-5c) memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan isolat tungggal G-12 (diameter batang, bobot kering bibit, kadar P dan infeksi akar. Isolat tunggal G-12 hanya mem-berikan bobot akar lebih tinggi dibandingkan cam-purannya.
Sementara itu, bibit yang diinokulasi inokulum campuran tiga isolat yaitu G-1,5,12 (Glomus sp-1c, Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-5c) juga mem-berikan pertumbuhan tertinggi dibandingkan isolat tunggal G-1, G-5 dan G-12 pada peubah luas daun, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering bibit nisbah tajuk akar dan infeksi akar. Peubah diameter batang, kadar P dan serapan P menunjuk-kan nilai lebih tinggi pada inokulum campuran tiga isolat tersebut dibandingkan G-12.
Bibit yang diinokulasi inokulum campuran dua isolat dari kombinasi isolat tunggal (G-1 vs G-1,5 dan 1,12; 5 vs 1,5 dan 5,12; 12 vs G-1,12 dan G-5,12) memiliki pertumbuhan dan se-rapan P yang lebih tinggi dibandingkan isolat tung-galnya. Jadi masing-masing isolat tunggal mem-perlihatkan peran yang lebih tinggi jika berada ber-sama-sama dengan isolat lainnya. Demikian juga bibit yang diinokulasi inokulum campuran tiga iso-lat CMA (G-1,5,12) menunjukkan pertumbuhan dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan ma-sing-masing isolat tunggalnya (1, 5 dan G-12). Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa inoku-lum campuran tiga isolat lebih baik daripada ino-kulum campuran dua isolat atau kelompok isolat tunggalnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bah-wa inokulum campuran paling efektif dalam me-ningkatkan pertumbuhan dan serapan P bibit kela-pa sawit di tanah gambut bekas hutan.
Perbedaan keefektivan yang terjadi pada ma-sing-masing jenis isolat tersebut disebabkan ada-nya perbedaan kemampuan dari masing-masing isolat dalam bersimbiosis dengan bibit kelapa sa-wit tersebut. Kemungkinan setiap isolat juga
me-miliki preferensi yang berbeda terhadap eksudat yang dikeluarkan bibit tersebut.
Hasil penelitian Hanapiah (1997) menunjukkan bahwa peningkatan tinggi tanaman kopi arabika cenderung lebih tinggi bila diinokulasi dengan Gigaspora margarita dibandingkan Glomus mani-hotis, tetapi kombinasi keduanya saling kuat mem-pengaruhi pertumbuhan tanaman kopi arabika. Se-lanjutnya hasil penelitian Delvian (2003) menun-jukkan bahwa inokulum campuran 2 isolat (Glo-mus sp-2 dan Acaulospora sp-1; Glo(Glo-mus sp-2 dan Gigaspora sp.; Acaulospora sp-1 dan Gigaspora sp.) dan inokulum campuran tiga isolat (Glomus sp-2, Acaulospora sp-1 dan Gigaspora sp.) cende-rung lebih efektif dibandingkan isolat tunggal da-lam meningkatkan pertumbuhan tanaman da- lamtoro-gung (Leucaena leucocephala).
Perbedaan keefektivan dari setiap isolat CMA juga kemungkinan diduga karena adanya peran da-ri mikroorganisme lain selain CMA, misalnya ada-nya bakteri yang berinteraksi dengan CMA terse-but. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bak-teri dapat membantu mikoriza dalam meningkat-kan kolonisasi pada tanaman Pseudotsuga menzie-sii (Garbaye, 1992), Pinus strobus L. (Schelkle dan Peterson, 1996) dan wortel (Bianciotto, 2001). Smith dan Read (1997) mengemukakan bahwa simbiosis antara mikoriza dengan tanaman juga di-pengaruhi oleh adanya mikroorganisme lain yang ada di rizosfir, terutama bakteri. Selanjutnya Mi-nerdi et al. (2002) menyimpulkan bahwa kolonisa-si sel, fiksakolonisa-si nitrogen dan kemampuan menyerap unsur hara oleh CMA dan tanaman dipengaruhi oleh adanya bakteri pada rizosfir tanaman tersebut. G-gab menunjukkan pengaruh yang lebih ren-dah dibandingkan isolat lainnya seperti terlihat pa-da diameter batang, luas pa-daun, bobot kering akar, bobot kering tajuk, kadar P, serapan P dan infeksi akar. Demikian juga dengan Gmyc memperlihat-kan pengaruh yang lebih rendah dibanding isolat lainnya terhadap diameter batang, bobot kering akar, bobot kering bibit, nisbah tajuk:akar, dan in-feksi akar. Hal ini menunjukkan bahwa inokulum campuran CMA alami (G-gab) dan inokulum my-cofer memiliki keefektivan yang lebih rendah di-bandingkan isolat hasil isolasi dan kombinasinya. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh peran dari isolat-isolat yang saling bersaing dalam mem-pengaruhi pertumbuhan bibit kelapa sawit.
KESIMPULAN
1. Jenis CMA yang terdapat di rizosfir kelapa sa-wit yang ditanam pada tanah gambut bekas
hu-tan hanya ditemukan dua genus CMA yaitu Glomus dan Acaulospora.
2. Jenis CMA di rizosfir kelapa sawit yang dita-nam pada tanah gambut bekas hutan diperoleh 12 jenis CMA (tujuh tipe Glomus dan lima tipe Acaulospora) yang didominasi oleh Glomus. 3. Jenis CMA yang berhasil diisolasi dan
diperba-nyak dari kultur spora tunggal di rizosfir kelapa sawit yang ditanam pada tanah gambut bekas hutan tiga tipe spora yaitu Glomus sp-1c, Glo-mus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c.
4. Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA menunjukkan tanggap pertumbuhan dan serapan P lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa inokulasi CMA.
5. Setiap jenis CMA memiliki keefektivan yang berbeda dengan bibit kelapa sawit. CMA yang memiliki keefektivan tertinggi di media tanah gambut bekas hutan adalah inokulum campur-an 3 isolat CMA Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c.
DAFTAR PUSTAKA
Bianciotto, V., S. Andreotti, R. Balestrini, P. Bonfante, and S. Perotto. 2001. Mucoid mutants of the biocontrol strain Pseudomonas fluorescens CHAO show increased ability in biofilm formation on mycorrhizal and nonmycorrhizal carrot roots. Mol. Plant Microbe Interact. 14 : 255-260. 2001. Mucoid mutants of the biocontrol strain Pseudomonas fluorescens CHAO show increased ability in biofilm formation on mycorrhizal and nonmycorrhizal carrot roots. Molecular Plant Microbe Interaction 14: 255-260.
Brundrett, M. C., N. Bougherr, B. Dells, T. Grove dan N. Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Prairie Printers, Canberra, Australia.
Brundrett, M. C., L. Melville dan L. Peterson. 1994.
Practical Methods in Mycorrhizal Research.
Mycologie Publications, Ontario, Canada.
Clark, R. B. 1997. Arbuscular mycorrhizal adaptation, spore germination, root colonization and host plant growth and mineral acquisition at low pH. Plant and Soil 192: 15-22.
Daniels, B. A. dan J. A. Menge. 1981. Evaluation of the commercial potential of the VAM fungus, Glomus epigaeus. New Phytology 87: 345-353.
Delvian. 2003. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai dan Potensi Pemanfaatannya: Studi Kasus di Hutan Cagar Alam Leuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fidelibus, M. W., C. A. Martin, G. C. Wright dan J. C.
Stutz. 2000. Effect of arbuscular mycorrhizal (AM)
fungal communities on growth of Volkamer lemon in continually moist or periodically dry soil. Scientia Horticulturae 84: 127-140.
Garbaye, J. a. R. D. S. a. f. o. M. H. B. M. a. w. t. P. m.-L. l. s. S.-. 1992. Specificity and function of Mycorrhizal Helper Bacteria (MHB) associated with
the Pseudotsuga menziesii-Laccaria laccata
symbiosis. Symbiosis 14: 335-344.
Gardner, F. D., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1985. Physiology of Crops Plants. Iowa State University Press, Ames, USA.
Giovannetti, M. 1985. Seasonal variation of vesicular-arbuscular mycorrhizas and endo gonaceous spores in a maritime sand dune. British Mycology Society 84: 679-684.
Graham, J. H. dan D. M. Eissentat. 1998. Field evidence for the carbon cost of citrus mycorrhizas. New Phytology 140: 103-110.
Gunawan, A. W. 1993. Mikoriza Abuskula. PAU Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hanapiah, T. 1997. Pengaruh Inokulasi Mikoriza
Arbuskula dan Pemupukan Fosfor terhadap
Pertumbuhan Bibit Kopi Arabika (Coffea arabica L.). Skripsi Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heijne, B., D. van Dam, G. W. Heil dan R. Bobbink. 1996. Acidification effects on vesicular-arbuscular mycorrhizal (VAM) infection, growth and nutrient uptake of established heathland herb species. Plant and Soil 179: 197-206.
Johson-Green, P. C. dan T. Booth. 1995. The
distribution and phenology of arbuscular
mycorrhizas along an inland salinity gradient. Canadian Journal of Botany 73: 1318-1327.
Kartika, E. 2006. Tanggap Pertumbuhan, Serapan Hara, dan Karakter Morfofisiologi terhadap Cekaman
Kekeringan pada Bibit Kelapa Sawit yang
Bersimbiosis dengan CMA. Disertasi Doktor. Kormanik, P. P. dan A. C. McGraw. 1982.
Quantification of vesicular-arbuscular mycorrhizae in plant root: methods and principles of mycorrhizae research. The American Phytopathology Society 46: 37-45.
Mansur, I. 2000. Diversity of Rhizobia Nodulating The Tree Legumes Acacia Mangium and Paraserianthes falcataria and Their Interaction with Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Young Seedling. Ph.D. Dissertation. University of Kent, Canterbury, UK. Marschner, H. 197. Mineral Nutrition of Higher Plant.
Academic Press Inc, San Diego.
Marschner, H. 1997. Mineral Nutrition of Higher Plant. Academic Press Inc, San Diego.
Minerdi, D., V. Bianciotto dan P. Bonfante. 2002. Endosymbiotic bacteria in mycorrhizal fungi : from their morphology to genomic sequences. Plant and Soil 244: 211-219.
Nadarajah, P. 1999. Vesicular arbuscular mycorrhizal fungi in two Malaysia oil palm and cocoa
plantations and adjacent grassland. Makalah dalam The International Conference on Mycorrhizas. Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem. Research and Development Centre for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor.
Nadarajah, P. dan A. Nawawi. 1997.
Vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi in Malaysian
Plantations and grasslands. Makalah dalam The
International Conference on Mycorrhizas.
Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem. Research and Development Centre for Biology, Indonesian Institute of Sciences, Bogor.
Ocampo, J. A., F. L. Cardona dan F. El-Atrach. 1986. Effect of Root Extracts of Non Host Plants on VA Mycorrhizal Infection and Spore Germination, pp. 721-724. Dalam V. Gianinazzi-Pearson dan S. Gianinazzi [eds.]. Physiological and Genetical Aspect of Mycorrhizae. Proceedings of the 1st European Symposium on Mycorrhizae.
Ortas, I., P. J. Harris dan D. L. Rowell. 1996. Enhance uptake of phosphorus by mycorrhizal sorghum plants as influenced by forms of nitrogen. Plant and Soil 184: 255-264.
Prawiranata, W. S., S. Harran dan P. Tjondronegoro. 1992. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan (Jilid I). Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan IPA, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purwanto, A. 1999. Studi Hubungan Salinitas dengan Kelimpahan CMA pada Lahan Hutan Pantai dan Hutan Mangrove di Cagar Alam Leuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat. Skripsi Sarjana. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Puspa, W. dan Suwandi. 1990. Pemanfaatan mikoriza vesikula-arbuskula pada perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis). Buletin Pusat Penelitian Perkebunan Marihat 10: 5-13.
Ragupathy, S. dan A. Mahadevan. 1991. VAM Distribution Influenced by Salinity Gradient in A Coastal Tropical Forest, pp. Soerianegara dan Supriyanto [eds.]. Proceedings of Second Asian Conference on Mycorrhiza. Seameo Biotrop, Bogor. Schelkle, M. dan R. L. Peterson. 1996. Suppression of common root pathogens by helper bacteria and ectomycorrhizal fungi in vitro. Mycorrhiza 6: 481-485.
Schreiner, R. P., K. L. Mihara, H. McDaniel dan G. J. Bethlenfalvay. 1997. Mycorrhizal fungi influence plant and soil functions and interactions. Plant and Soil 188: 199-209.
Siguenza, C., I. Espejel dan E. B. Allen. 1996. Seasonality of mycorrhizae in coastal and dunes of Baja, California. Mycorrhiza 6: 151-157.
Smith, S. E. dan D. J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis (2nd Ed.). Harcourt Brace & Company Publisher, London.
Sturmer, S. L. dan M. M. Bellei. 1994. Composition and seasonal variation of spore population of arbuscular mycorrhizal fungi in dune soils on the island of Santa Catarina, Brazil. Mycology Research: 453-457.
Widiastuti, H. 2004. Biologi Interaksi Cendawan Mikoriza Arbuskula Kelapa Sawit pada Tanah Masam sebagai Dasar Pengembangan Teknologi
Aplikasi Dini. Disertasi Doktor. Sekolah
tanah gambut bekas hutan.
Sumber Keragaman Tinggi bibit (cm) Diameter (mm) Jumlah daun Luas daun (cm2) BK akar (g)
kontrol vs isolat lainnya 41,63 vs 47,67 * 14,23 vs 23,59 ** 5,67 vs 6,93 * 376,00 vs 890,77 ** 1,78 vs 4,63 **
isolat tunggal vs campurannya 43,96 vs 51,88 tn 26,23 vs 24,25 tn 6,44 vs 7,33 tn 701,27 vs 1057,84 tn 5,75 vs 4,83 tn isolat tunggal vs campuran 2 isolat 43,96 vs 49,98 tn 26,23 vs 23,48 tn 6,44 vs 7,22 tn 701,27 vs 996,66 tn 5,75 vs 4,12 tn isolat tunggal vs campuran 3 isolat 43,96 vs 57,60 tn 26,23 vs 26,57 tn 6,44 vs 7,67 tn 701,27 vs 1241,39 ** 5,75 vs 6,96 * campuran 2 isolat vs campuran 3 isolat 49,98 vs 57,60 tn 23,48 vs 26,57 * 7,20 vs 7,67 tn 996,66 vs 1241,39 * 4,12 vs 6,96 *
G1 vs G1,5 dan G 1,12 42,70 vs 48,80 ** 28,43 vs 21,82 ** 7,00 vs 7,33 tn 903,80 vs 993,76 ** 4,24 vs 4,43 tn G5 vs G1,5 dan G 5,12 39,37 vs 51,20 tn 24,77 vs 24,15 tn 5,00 vs 7,33 tn 442,67 vs 1022,48 tn 6,75 vs 4,25 tn G12 vs G1,12 dan G 5,12 49,80 vs 49,93 tn 25,50 vs 24,47 ** 7,33 vs 7,00 tn 757,34 vs 973,75 tn 6,25 vs 3,68 * G1 vs G1,5,12 42,70 vs 57,60 * 28,43 vs 26,57 tn 7,00 vs 7,67 tn 903,80 vs 1241,39 ** 4,24 vs 6,96 ** G5 vs G1,5,12 39,37 vs 57,60 tn 24,77 vs 26,57 tn 5,00 vs 7,67 tn 442,67 vs 1241,39 ** 6,75 vs 6,96 * G12 vs G1,5,12 49,80 vs 57,60 tn 25,50 vs 26,57 ** 7,33 vs 7,67 tn 757,34 vs 1241,39 ** 6,25 vs 6,96 *
Ggab vs isolat lainnya (tanpa Gmyc.) 46,00 vs 48,49 tn 21,47 vs 25,10 ** 6,67 vs 6,95 tn 787,27 vs 905,03 * 2,96 vs 5,22 *
Gmyc vs isolat lainnya 43,60 vs 48,18 tn 15,17 vs 24,65 ** 7,00 vs 6,92 tn 894,47 vs 890,31 tn 2,16 vs 4,94 **
Lampiran 2. Uji kontras ortogonal terhadap bobot kering tajuk, bobot kering bibit, nisbah tajuk akar, kadar P, serapan P dan infeksi akar bibit kelapa sawit umur 5 bulan di media tanah gambut bekas hutan.
Sumber Keragaman BK tajuk (g) BK bibit (g) Nisbah tajuk:akar Kadar P (%) Serapan P (g/tan.) Infeksi akar (%)
kontrol vs isolat lainnya 6,07 vs 9,64 ** 7,84 vs 14,27** 3,82 vs 2,58 tn 0,16 vs 0,27 ** 0,95 vs 2,70 ** 0,00 vs 64,81 ** isolat tunggal vs campurannya 8,93 vs 10,57 tn 14,68 vs 15,40 tn 1,54 vs 2,82 tn 0,23 vs 0,33 tn 1,99 vs 3,58 tn 56,67 vs 80,00 ** isolat tunggal vs campuran 2 isolat 8,93 vs 9,40 tn 14,68 vs 13,52 tn 1,54 vs 2,56 tn 0,23 vs 0,31 tn 1,99 vs 2,98 tn 56,67 vs 75,22 ** isolat tunggal vs campuran 3 isolat 8,93 vs 14,08 * 14,68 vs 21,04 * 1,54 vs 3,60 tn 0,23 vs 0,38 tn 1,99 vs 5,38 ** 56,67 vs 94,33 ** campuran 2 isolat vs campuran 3 isolat 9,40 vs 14,08 tn 13,52 vs 21,04 tn 2,56 vs 3,60 tn 0,31 vs 0,38 tn 2,98 vs 5,38 * 75,22 vs 94,33 * G1 vs G1,5 dan G 1,12 8,27 vs 9,23 ** 12,51 vs 13,66** 1,19 vs 2,30 * 0,21 vs 0,34 * 1,77 vs 3,22 ** 42,33 vs 74,67 ** G5 vs G1,5 dan G 5,12 7,49 vs 9,13 ** 14,24 vs 13,38 * 1,18 vs 2,41 tn 0,24 vs 0,25 tn 1,74 vs 2,33 tn 77,33 vs 77,17 ** G12 vs G1,12 dan G 5,12 11,03 vs 9,83 tn 17,28 vs 13,51 * 2,26 vs 2,99 tn 0,22 vs 0,35 ** 2,45 vs 3,40 tn 50,33 vs 73,83 * G1 vs G1,5,12 8,27 vs 14,08 ** 12,51 vs 21,04 * 1,19 vs 3,60 * 0,21 vs 0,38 tn 1,77 vs 5,38 tn 42,33 vs 94,33 ** G5 vs G1,5,12 7,49 vs 14,08 ** 14,24 vs 21,04 * 1,18 vs 3,60 * 0,24 vs 0,38 tn 1,74 vs 5,38 tn 77,33 vs 94,33 ** G12 vs G1,5,12 11,03 vs 14,08 * 17,28 vs 21,04 * 2,26 vs 3,60 * 0,22 vs 0,38 ** 2,45 vs 5,38 ** 50,33 vs 94,33 **