• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATALAKSANA ANESTESIA-ANALGESIA PADA OPERASI TULANG KOLUMNA VERTEBRALIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TATALAKSANA ANESTESIA-ANALGESIA PADA OPERASI TULANG KOLUMNA VERTEBRALIS"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

i

TULANG KOLUMNA VERTEBRALIS

Disusun oleh:

Ni Putu Widya Nandasari

dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen,SpAn.KAR

BAGIAN/SMFANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH DENPASAR 2017

(2)

ii

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

I. Batasan ... 1

II. Masalah ... 2

III. Penatalaksanaan ... 4

3.1 Evaluasi ... 4

3.2 Persiapan Praoperatif ... 8

3.3 Premedikasi ... 10

3.4 Induksi ... 10

3.5 Pemeliharaan Selama Anestesia dan Reanimasi ... 10

3.6 Pemantauan Selama Anestesia ... 10

3.7 Terapi Cairan dan Transfusi Darah Selama Operasi ... 14

3.8 Pemulihan Anestesia ... 14

3.9 Pasca Anestesia ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 15

(3)

1

salah satu faktor keberhasilan tindakan anestesi. Secara anatomi kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu 7 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke depan, daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah terendah adalah L5. Tulang vertebra memiliki korpus yang terletak di anterior, yang membentuk bangunan utama sebagai tumpuan beban. Korpus vertebrae dipisahkan oleh diskus intervetebralis dan disangga disebelah anterior dan posterior oleh ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Disebelah posterolateral, dua pedikel membentuk pilar tempat atas kanalis vertebralis (lamina) berada. Cedera kolumna vertebralis dengan atau tanpa defisit neurologis harus tetap selalu dipikirkan.

Kurang lebih dari 5% pasien dengan cedera kepala juga mengalami cedera spinal, 25% pasien dengan cedera spinal mengalami setidaknya cedera kepala ringan.

Kurang lebih 55% trauma spinal terjadi pada regio servikal, 15% pada regio torakal, 15% di regio sendi torakalumbal dan 15% di area lumbosakral. Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam anestesi intratekal, karena sebagian besar penusukan pada anestesi intratekal dilakukan pada daerah ini. Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi terbuka kalumna vertebralis antara lain akibat dislokasi, fraktur atau hernia nukleus pulposus (HNP) dan abses “dingin”

akibat tuberkulosis.1,2

(4)

Gambar 1. Anatomi Collumna Vertebralis

II. MASALAH

a. Masalah pada sistem kardiovaskuler

Pada anestesi tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung dan penghantaran (supply) oksigen miokardium yang sejalan dengan penurunan tekanan arteri rata – rata. Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai dengan tinggi blok simpatis, makin banyak segmen simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan darah. Untuk menghindarkan terjadinya penurunan tekanan darah yang hebat, sebelum dilakukan anestesi spinal diberikan cairan elektrolit NaCl fisiologis atau ringer laktat 10-20 ml/kgbb.

Pada anestesi spinal yang mencapai T4 dapat terjadi penurunan frekuensi nadi dan penurunan tekanan darah dikarenakan terjadinya blok saraf simpatis yang bersifat akselerator jantung.3,4

(5)

b. Masalah pada sistem saraf pusat (SSP)

Sistem saraf pusat paling rentan mengalami toksisitas obat anestesi lokal.

Overdosis obat anestesi lokal jelas terlihat pada pasien yang sadar. Gejala awal seperti bibir kebas, lidah terasa seperti logam, parastesia lidah, bingung serta gangguan pada mulut dan penglihatan. Kejadian tersebut diikuti dengan tanda - tanda eksitatori (contoh: rasa lelah, agitasi, cemas, dan paranoid) yang dengan sangat cepat menjadi depresi pada SSP (contoh:

bicara pelo, tidak sadar, kejang, henti nafas, kolaps kardiovaskuler).

Neurotoksisitas seperti sindroma cauda equina pernah dilaporkan terjadi setelah penyuntikan lignokain 5% dan tetrakain 0,5% intratekal yang berulang-ulang.3,4

c. Masalah pada sistem pernafasan

Pada anestesi intratekal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah blok sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat terjadi apnoe.3.4

d. Masalah pada sistem pencernaan

Oleh karena terjadi blok serabut simpatis preganglionik yang kerjanya menghambat aktifitas saluran pencernaan maka aktifitas serabut saraf parasimpatis menjadi lebih dominan, tetapi walapun demikian pada umumnya peristaltik usus dan relaksasi spingter masih normal. Pada anestesi spinal bisa terjadi mual dan muntah yang disebabkan karena hipoksia serebri akibat dari hipotensi mendadak, atau tarikan pada pleksus terutama yang melalui saraf vagus.3,4

(6)

e. Posisi tengkurap (Prone)

Pada posisi ini sebaiknya jalan nafas diamankan karena dapat terjadinya ekstubasi yang tidak diinginkan. Mayoritas kontak kulit pada lutut, krista iliaka, dan pergelangan tangan dapat beresiko mengalami nekrosis jika pasien berada pada posisi ini dalam jangka waktu yang lama. Akses intravaskuler juga sebaiknya diperhatikan seperti kateter arteri dan vena sentral yang invasive untuk mencegah dislokasi dari kateter yang tidak diinginkan.2

f. Manipulasi kolumna vertebralis g. Perdarahan luka operasi

h. Operasi berlangsung lama

i. Ancaman gangguan fungsi respirasi dan sirkulasi berkaitan dengan ketinggian lesi (syok spinal)

j. Penderita dengan tirah baring yang lama1,

III. PENATALAKSANAAN ANESTESI DAN REANIMASI 3.1 Evaluasi

Evaluasi praanestesia dan reanimasi dalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan operatif. Dimana tujuannya dalah untuk mengetahui status fisik pasien praoperatif, menganalisis jenis operasi, menentukan jenis atau teknik anestesia yang sesuai, melihat penyulit apa yang mungkin terjadi selama operasi dan atau pasca bedah, dan mempersiapkan obat dan alat guna menanggulangi penyulit yang mungkin terjadi.1

(7)

3.1.1. Penilaian status presen

Status pasien prabedah dapat dinilai melalui anamnesis dengan pasien sendiri atau dengan orang lain (keluarga atau pengantarnya). Yang meliputi : a. Identitas pasien atau biodata

b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin menimbulkan gangguan fungsi sistem organ.

c. Anamnesis umum meliputi :

1. Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah yang diderita, yang bisa mempengaruhi anestesia atau dipengaruhi oleh anestesia.

2. Riwayat pemakaian obat yang telah atau sedang digunakan yang mungkin berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya ; kortikosteroid, obat antihipertensi, obat anti-diabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, digitalis, diuretika, transquilizer, obat penghambat enzim mono-amin oksidase dan bronkodilator.

3. Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya : apakah pasien mengalami komplikasi anestesia.

4. Kebiasaan buruk, antara lain ; perokok, peminum minuman keras (alkohol), pemakai obat-obatan terlarang (sedatif dan narkotik).

5. Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain.1

3.1.2 Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang yang lain sesuai dengan indikasi

a. Pemeriksaan fisik

(8)

1. Pemeriksaan/pengukuran status presen meliputi kesadaran, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat badan dan tinggi badan untuk menilai status gizi.1

2. Pemeriksaan fisik umum meliputi pemeriksaan status psikis (gelisah, takut atau kesakitan), saraf (otak, medula spinalis dan saraf tepi), respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, Otot rangka, dan integumen.1 b. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus- kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging merupakan alat

diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di medulla spinalis akibat cedera/trauma.3,4

1. Laboratorium Darah

Dilakukan pemeriksaan seperti Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan hitung jenis, trombosit, masa perdarahan dan masa pembekuan.1

2. Radiologik

Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi

(9)

mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.3,4

3. MRI

Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah servikal. MRI dapat mendeteksi kelainan ligament maupun diskus. Seluruh daerah medulla spinalis, radiks saraf dan tulang vertebra dapat divisualisasikan.3,4

c. Menentukan prognosis pasien perioperatif

Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif maka dapat disimpulkan status fisik pasien pra anestesia. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status fisik praanestesia menjadi 5 (lima) kelas, yaitu :

ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.

ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.

ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa secara langsung.

ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.

ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal.

(10)

Apabila pembedahannya dilakukan secara darurat, dicantumkan tanda E (emergency) di belakang angka.1

3.1.3 Evaluasi khusus

Perlu dilakukan evaluasi pada tulang untuk mengetahui struktur tulang yang terkena.

3.2 Persiapan Praoperatif 3.2.1 Persiapan rutin

Persiapan praoperatif dan reanimasi dapat dilakukan di poliklinik dan di rumah pasien (pada pasien rawat jalan), ruang perawatan, ruang persiapan IBS, dan kamar operasi.

a. Persiapan di ruang perawatan

Persiapan pasien di ruang perawatan hampir sama dengan persiapan pasien rawat jalan, yang meliputi persiapan psikis dan persiapan fisik. Untuk persiapan psikis dapat dilakukan dengan pasien dan atau keluarganya akan diberikan penjelasan agar mengerti perihal rencana anestesi dan pembedahan yang direncanakan sehingga dengan demikian diharapkan pasien dan keluarganya bisa tenang. Pasien yang menderita stress berlebihan atau pasien yang tidak kooperatif akan diberikan obat sedatif. Pemberian obat sedatif dapat dilakukan secara oral pada malam hari menjelang tidur dan pada pagi hari, 60 sampai 90 menit sebelum ke IBS. Untuk persiapan fisik yang dapat dilakukan antara lain yaitu menghentikan kebiasaan seperti merokok, minum minuman keras dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di poliklinik. Tidak memakai protesis atau aksesoris, tidak mempergunakan cat kuku atau cat bibir, program puasa untuk pengosongan

(11)

lambung, dan pasien dimandikan pagi hari menjelang ke kamar operasi, pakaian diganti dengan pakaian khusus kamar operasi, dan kalau perlu pasien diisi label.

Selain persiapan psikis dan fisik, juga dilakukan persiapan lain seperti membuat surat persetujuan tindakan medis, dan apabila dipandang perlu dapat dilakukan koreksi terhadap kelainan sistemik yang dijumpai pada saat evaluasi prabedah seperti transfusi, dialisis, fisioterapi, dan lain-lainnya sesuai dengan prosedur tetap tatalaksana masing-masing penyakit yang diderita pasien.1

b. Persiapan di ruang persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS)

Hal-hal yang dilakukan di kamar persiapan IBS antara lain mengevaluasi ulang status presen dan catatan medik pasien serta kelengkapan lainnya, konsultasi di tempat apabila diperlukan, memberikan premedikasi, dan dilakukan pemasangan infus.

c. Persiapan di Kamar Operasi

Persiapan yang dilakukan di kamar operasi yaitu meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan, mesin anestesia dengan sistem aliran gasnya, alat-alat resusitasi (alat bantu nafas, laringoskop, pipa jalan nafas, alat hisap, defibrilator, dan lain-lain), obat-obat anestesia yang diperlukan, obat-obat resusitasi (adrenalin, atropin, aminofilin, natrium bikarbonat, dan lain-lain), tiang infus dan plester, alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, EKG, pulse oxymeter, kapnografi, kartu catatan medik anestesia, dan selimut penghangat.

3.2.2 Persiapan khusus

Bantuan nafas dan tunjangan sirkulasi (pada lesi di servikal-torakal), stabilisasi sementara dari kolumna vertebralis, dan persiapan donor untuk keperluan operasi

(12)

3.3 Premedikasi

Premedikasi diberikan secara intramuskular 30 – 45 menit sebelum induksi dengan obat-obat sebagai berikut midazolam 0,04 – 0,10 mg/kgBB, atropin 0,01 mg/kgBB, dan morfin 0,1 – 0,2 mg/kgBB.1

3.4 Induksi

Dilakukan prekurarisasi, induksi dengan pentothal dosis 3-5 mg/kgBB (intravena) atau dengan propofol dosis 2-3 mg/kgBB (intravena). Kemudian pada pasien dengan kadar kalium plasma normal berikan suksinil kholin dosis 1-2 mg/kgBB (intravena) untuk fasilitas intubasi, sedangkan pada pasien dengan kadar kalium plasma yang tinggi digunakan atrakurium. Laringoskopi dan dan semprot lidokain 4% sebanyak 3-5 kali semprot ke dalam laring-faring dan trakea untuk menekan refleks batuk pada saat intubasi. Hati-hati pada kasus dislokasi atau fraktur tulang servikal. Gunakan intubasi endotrakea dengan pipa yang sesuai dan posisi diatur tengkurap atau sesuai dengan kebutuhan operasi. Pada saat mengatur posisi tengkurap, perhatikan dada dan perut pasien harus bebeas agar ekspansinya pada saat ventilasi memadai.1

3.5 Pemeliharaan Selama Anestesia dan Reanimasi

pemeliharannya dengan N2O : O2 = 60% : 40% dan halotan atau enfluran atau isofluran dengan dosis 0,5 – 1,0 vol% disertai obat pelumpuh otot atau dengan anestesia imbang. Berikan nafas kendali sebaiknya dengan alat bantu nafas mekanik. Pada beberapa kasus diperlukan hipotensi kendali.1

3.6 Pemantauan Selama Anestesia

Dalam pemantauan pasien yang menjalani anestesia dan reanimasi, disepakati dua standar yang berlaku untuk setiap pemberian anestesia dan atau analgesia yang

(13)

dilakukan di dalam ruangan yang telah disediakan, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas penatalaksanaan pasien.1

• Standar I

Tenaga anestesia yang berkualifikasi harus berada di dalam kamar bedah selama pemberian anastesia/analgesia. Hal ini bertujuan agar tenaga anestesia yang berkualifikasi harus selalu ada untuk memantau pasien dan memberi antisipasi segera terhadap perubahan abnormal yang terjadi. Pada keadaan khusus (adanya bahaya langsung terhadap tenaga anestesi misalnya radiasi) dan pasien perlu diawasi dari darak jauh, maka beberapa cara/teknik pemantauan tertentu tetap harus dilakukan. Pada keadaan-keadaan darurat di tempat lain, yang memerlukan kehadiran ahli anestesi yang bertanggung jawab, maka keputusan untuk meninggalkan pasien didasarkan pada tingkat kedaruratan tersebut, keadaan pasien yang ditinggalkan dan kualifikasi tenaga anestesia yang tinggal.

• Standar II

Selama pemberian anestesia/analgesia, jalan nafas, oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi pasien harus dievaluasi secara teratur dan sering bahkan pada kasus- kasus tertentu dilakukan secara kontinyu.

1. Jalan Nafas

Pemantauan jalan nafas ini bertujuan untuk mempertahankan keutuhan jalan nafas. Dilakukan dengan cara memantau jalan nafas selama anestesia baik dengan teknik sungkup maupun intubasi trakea secara lengkap dan kontinyu. Pada pola nafas spontan, pemantauan dilakukan melalui gejala/tanda sebagai berikut:

terdengar suara nafas patologis, gerakan kantong reservoir terhenti atau menurun,

(14)

tampak gerakan dada paradoksal. Pada nafas kendali: tekanan inflasi terasa berat, dan tekanan positif inspirasi meningkat.

2. Oksigenasi

Bertujuan untuk memastikan kadar zat asam di dalam udara/ gas inspirasi dan di dalam darah. Hal ini dilakukan pada anestesia umum inhalasi.

Oksigenasi dilakukan dengan cara:

a. Memeriksa kadar oksigen gas inspirasi, dilakukan dengan menggunakan alat “pulse oxymeter” yang mempunyai alam batas yang minimum dan maksimum.

b. Oksigenasi darah, diperiksa secara klinis dengan cara melihat warna darah luka operasi dan pemukaan mukosa, secara kualitatif dengan alat oksimeter denyut dan pemeriksaan analisis gas darah.

3. Ventilasi

Bertujuan untuk memantau keadekuatan ventilasi. Ventilasi dapat dilakukan dengan cara :

a. Diagnostik fisik, dilakukan secara kualitatif dengan mengawasi gerak naik turunya dada, gerak kembang kempisnya kantong reservoar atau auskultasi suara nafas.

b. Memantau “end tidal CO2” terutama pada operasi lama.

c. Sistem alarm, jika ventilasi dilakukan dengan alat bantu nafas mekanik, dianjurkan dilengkapi alat pengaman ( sistem alarm) yang mampu mengeluarkan sinyal/tanda yang terdengar jika nilai ambang tekanan dilampaui.

(15)

d. Analisis gas darah, untuk menilai tekanan parsial CO2. Pemantauan ini dilakukan terutama pada kasus-kasus bedah torak-kardiovaskular dan kasus-kasus/pasien lain yang berisiko tinggi.

4. Sirkulasi

Bertujuan untuk memastikan fungsi sirkulasi pasien adekuat. Pemantauan terhadap sirkulasi dapat dilakukan dengan cara:

a. Menghitung denyut nadi secara teratur dan sering dengan stetoskop prekordial (pada bayi dan anak) atau secara manual pada orang dewasa.

b. Mengukur tekanan darah secara non invansif mempergunakan tensimeter air raksa, diukur secara teratur dan sering.

c. Mengukur tekanan darah secara invansif, EKG dan disertai dengan oksimeter denyut. Pemantauan ini dilakukan pada pasien risiko tinggi anestesia atau bedah ekstensif dan dilakukan secara kontinyu selama tindakan berlangsung.

d. Produksi urin, ditampung dan diukur volumenya setiap jam terutama pada operasi besar dan lama.

e. Mengukur tekanan vena sentral dengan kanulasi vena sentral untuk menilai aliran darah balik ke jantung, hal ini dikerjakan pada kasus risiko tinggi.

5. Suhu Tubuh

Bertujuan untuk mempertahankan suhu tubuh. Apabila dicurigai atau diperkirakan akan atau terjadi perubahan suhu tubuh, maka suhu tubuh harus diukur secara kontinyu pada daerah sentral tubuh melalui esofagus atau rektum dengan

(16)

termometer khusus yang dihubungkan dengan alat pantau yang mampu menayangkan secara kontinyu.1

3.7 Terapi Cairan dan Transfusi Darah Selama Operasi

Pada perdarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume darah pasien berikan cairan pengganti kristaloid atau koloid, tetapi apabila terjadi perdarahan

>20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan transfusi darah.1 3.8 Pemulihan Anestesia

segera setelah selesai operasi hentikan aliran obat anestesia dan berikan oksigen 100%, berikan obat penawar pelumpuh otot . bersihkan juga jalan nafas pasien.

Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan adekuat. Apabila pemulihan nafas spontan memanjang akibat lesi servikal atau torakal, paisen dirawat di Ruang Terapi Intensif.1

3.9 Pasca Anestesia

Pasien dirawat diruang pemulihan. Pasien yang mengalami pemanjangan pemulihan nafas spontan atau pada fraktur servikal, pasca anestesia langsung dikirim ke Ruang Terapi Intensif untuk perawatan lebih lanjut. Maslah dini pasca anestesia adalah rasa nyeri yang hebat dan harus segera diatasi dengan teknik analgesia imbang yang diberikan secara infus tetes kontinyu. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria pemulihan.1

(17)

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku, G., Senapathi, T.G.A. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : PT Macanan Jaya Cemerlang, 2017 : 191 – 193.

2. Morgan GE., Mikhail MS. Anesthesia for Thoracic Surgery, In : Clinical Anesthesiology, 1st ed., Connecticut : Applenton & Lange. 1992 : 940-45 3. Drasner K, Chapter 11: Local Anesthetics. Miller MD eds. Basic of

Anesthesia, 6th ed, Philadelphia, Elsevier. 2011. p.130-142.

4. toelting RK, Hillier SC. Local Anesthetics. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th edition. United State: Lippincott William &

Wilkins, Philadelphia. 2006. p.177-207.

5. Johnson GE. Spine Injury. Dalam: Hall JB, Schimdt GA, Wood LH. eds.

Principles of Critical Care. 2nd ed. USA: McGraw-Hill; 1998, 1375 – 85.

6. Komisi Trauma IKABI. Cedera Tulang Belakang dan Medula Spinalis.

Dalam: Advance Trauma Life Support Program Untuk Dokter (terjemahan).

Edisi ke-6. American College of Surgeons; 1997, 237-66.

Gambar

Gambar 1. Anatomi Collumna Vertebralis

Referensi

Dokumen terkait

Soal ujian semester diserahkan ke bagian pengajaran paling lambat minggu terakhir penutupan kuliah. Mengetahui, Langsa,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa p lebih besar dari 0,05 (0,641 &gt; 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara komunikasi terapeutik

Dalam kaitannya dengan besarnya biaya dan mutu pelayanan, maka terdapat berbagai hal penting yang perlu diperhatikan dalam etika bisnis rumah sakit: pelayanan

!.. -ames #ais memiliki bisnis proider penyediaan internet. Baru baru ini beberapa pelanggan mengeluhkan mengenai tagihan yang lebih tinggi dan kedatangan customer serice

Selanjutnya ilustrasi penggunaan regresi spline dilakukan pada data pengukuran kerapatan relatif tulang belakang manusia dari 485 orang di Amerika Utara, tahun 1999 (Hastie et

Para ahli dibidang kejahatan seksual terhadap remaja juga menyatakan bahwa aktifitasseksual pada remaja yang belum dewasa selalu dipicu oleh 2 (dua) kemungkinan yaitu

Hasil penelitian yang penulis dapatkan adalah dengan perkembangan zaman yang pesat, tidak membuat tradisi membaca al-Qur’an untuk ibu hamil menghilang atau

terhadap kamu di Mahkamah Tinggi Malaya di Kuala Lumpur oleh ...-nama pemiutang-...beralamat...dan Mahkamah telah memerintahkan bahawa Petisyen Pemiutang ini