• Tidak ada hasil yang ditemukan

Background Study RPJMN Sektor Energi dan Pertambangan Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Background Study RPJMN Sektor Energi dan Pertambangan Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan"

Copied!
223
0
0

Teks penuh

(1)

J l . T a m a n S u r o p a t i N o . 2 M e n t e n g , J a k a r t a P u s a t 1 0 3 1 0

2013

Background Study

RPJMN 2015-2019

Sektor Energi dan Pertambangan

Direktorat Sumber Daya Energi,

Mineral dan Pertambangan

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

(2)

i

Daftar Isi

1 Energi ... 1

1.1 Pendahuluan ... 1

1.2 Kondisi Kebutuhan dan Penyediaan Energi ... 1

1.2.1 Kondisi Kebutuhan Energi Final ... 1

1.2.2 Kondisi Penyediaan Energi ... 10

1.3 Permasalahan dan Isu Strategis pada RPJMN 2010 - 2014 ... 13

1.3.1 Produksi dan Cadangan Minyak dan Gas Bumi ... 13

1.3.2 Penganekaragaman Sumber Daya Energi Primer (Diversifikasi) ... 17

1.3.2.1 Pemanfaatan Panas Bumi ... 17

1.3.2.2 Pemanfaatan LPG dan Gas Bumi ... 18

1.3.2.3 Pemanfaatan Batubara ... 20

1.3.3 Peningkatan Produktivitas dan Pemerataan Pemanfaatan Energi ... 21

1.4 Tantangan ... 22

1.5 Profil Kebutuhan Energi Nasional ... 23

1.5.1 Struktur dan Karakteristik Umum Model LEAP ... 23

1.5.1.1 Model Permintaan Energi Final ... 25

1.5.1.2 Model Pemasokan Energi ... 26

1.5.1.3 Data yang Dibutuhkan ... 27

1.5.1.4 Penghitungan Kebutuhan Energi (Modul Demand) ... 28

1.5.1.5 Penghitungan Proses Konversi Energi (Modul Transformasi) ... 29

1.5.2 Skenario BAU Kebutuhan Energi Final dan Primer ... 32

1.5.2.1 Skenario Dasar (Berdasarkan Data Historis) ... 33

1.5.2.2 Hasil Proyeksi Kebutuhan Energi – Skenario DASAR ... 34

1.5.3 Skenario RPJMN 2015-2019 Kebutuhan Energi Final dan Primer ... 46

1.5.3.1 Skenario RPJMN 2015-2019 ... 46

1.5.3.2 Hasil Proyeksi Kebutuhan Energi – Skenario RPJMN 2015-2019.. 51

1.6 Isu-isu Strategis Pembangunan Sektor Sumber Daya Energi dan Pertambangan di Daerah ... 64

1.6.1 Wilayah Sumatera ... 64

1.6.2 Wilayah Jawa ... 69

1.6.3 Wilayah Kalimantan ... 75

1.6.4 Wilayah Sulawesi ... 79

1.6.5 Wilayah Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua ... 86

1.7 Ketahanan Energi dan Energi Bersih ... 94

1.7.1 Ketahanan Energi ... 94

1.7.1.1 Indikator dan Indeks Ketahanan Energi ... 94

1.7.1.2 Ketahanan Energi Indonesia ... 98

1.7.2 Energi Bersih ... 99

1.7.2.1 Indikator Energi Bersih ... 99

1.7.2.2 Energi Bersih Indonesia ... 102

1.8 Penyiapan dan Pasokan Energi ... 103

1.8.1 Kebijakan Harga Energi ... 103

1.8.1.1 Harga BBM ... 103

1.8.1.2 Harga Gas ... 106

1.8.1.3 Harga Panas Bumi ... 111

1.8.1.4 Harga Listrik ... 113

1.8.1.5 Harga Batubara ... 117

1.8.1.6 Harga Energi Baru Terbarukan ... 124

1.8.2 Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Energi ... 124

1.8.2.1 Infrastruktur BBM ... 125

(3)

ii

1.8.2.3 Infrastruktur Listrik ... 143

2 Pertambangan ... 146

2.1 Pendahuluan ... 146

2.2 Review RPJMN 2010-2014 ... 147

2.2.1 Perkembangan Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara ... 147

2.2.2 Pertumbuhan PDB dan Industri Pengolahan ... 153

2.3 Permasalahan dan Isu Strategis ... 156

2.4 Kebijakan Bidang Mineral dan Pertambangan ... 158

2.5 Tantangan ... 160

2.6 Pengkajian dan Pemikiran ke Depan ... 161

2.6.1 Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah ... 161

2.6.1.1 Dampak Pembatasan Ekspor Pajak ... 163

2.6.1.2 Komoditas Unggulan Indonesia ... 165

2.6.2 Rencana Pengembangan Industri Manufaktur ... 177

2.6.2.1 Industri Baja ... 177

2.6.2.2 Industri Semen ... 182

2.6.2.3 Industri Keramik ... 185

2.6.3 Kontribusi Sektor Energi dan Pertambangan terhadap PDB ... 190

3 Energi Hijau ... 196

3.1 Pembangunan Berkelanjutan ... 196

3.1.1 Konsep dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan ... 196

3.1.2 Ekonomi Hijau (Green Economy) ... 197

3.1.3 Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca ... 199

3.2 Energi Hijau ... 201

3.2.1 “Kehijauan” Sektor Energi di Indonesia... 201

3.2.2 Insentif Harga dan Pengelolaan Permintaan ... 206

(4)

iii

Daftar Tabel

Tabel 1 Perkembangan Rasio Harga Komoditas Energi ... 3

Tabel 2 Konsumsi Energi per Kapita ... 4

Tabel 3 Intensitas Penggunaan Energi per Kendaraan... 7

Tabel 4 Pencapaian Tahun 2010 – 2012 dan Perkiraan Tahun 2013 – 2014 ... 14

Tabel 5 Pemanfaatan BBG untuk Sektor Transportasi ... 20

Tabel 6 Perbandingan Parameter Penentu dari Skenario BAU dan RPJMN 2014-2019 ... 32

Tabel 7 Proyeksi Total Primary Energy Supply Sampai Tahun 2025... 38

Tabel 8 Proyeksi Jumlah Impor Energi Sampai Tahun 2025 ... 39

Tabel 9 Proyeksi Jumlah Ekspor Energi Sampai Tahun 2025 ... 39

Tabel 10 Perkembangan Kebutuhan dan Beban Puncak Listrik Sampai Tahun 2025 42 Tabel 11 Perkembangan Kapasitas Listrik Berdasarkan Jenis Pembangkit Sampai Tahun 2025 ... 44

Tabel 12 Perkembangan Produksi Listrik Berdasarkan Jenis Pembangkit Sampai Tahun 2025 ... 45

Tabel 13 Proyeksi Pengembangan Panas Bumi ... 46

Tabel 14 Roadmap Mandatori BBN sampai Tahun 2025 (Permen ESDM No 25 Tahun 2013) ... 47

Tabel 15 Proyeksi Pengembangan Kapasitas Produksi Bioenergi 2011 – 2025 ... 48

Tabel 16 Proyeksi Pengembangan Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Air dan Tenaga Surya 2011 – 2025 ... 49

Tabel 17 Tahapan Pencapaian Target Penghematan Energi Pada Sektor Pengguna . 49 Tabel 18 Tahapan Pencapaian Target Penghematan Energi Pada Proses Transformasi Energi ... 50

Tabel 19 Tahapan Pencapaian Target Penghematan Energi Pada Proses Penyediaan Energi ... 50

Tabel 20 Proyeksi Total Primary Energy Supply Sampai Tahun 2025... 55

Tabel 21 Proyeksi Jumlah Impor Energi Sampai Tahun 2025 ... 56

Tabel 22 Proyeksi Jumlah Ekspor Energi Sampai Tahun 2025 ... 57

Tabel 23 Perkembangan Kebutuhan dan Beban Puncak Listrik Sampai Tahun 2025 60 Tabel 24 Perkembangan Kapasitas Listrik Berdasarkan Jenis Pembangkit Sampai Tahun 2025 ... 61

Tabel 25 Perkembangan Produksi Listrik Berdasarkan Jenis Pembangkit Sampai Tahun 2025 ... 63

Tabel 26 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Sumatera ... 66

Tabel 27 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Jawa ... 72

Tabel 28 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Kalimantan ... 77

Tabel 29 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Sulawesi ... 82

Tabel 30 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Bali, NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara Dan Papua Barat ... 89

Tabel 31 Faktor Kesetaraan GWP ... 101

Tabel 32 Faktor Kesetaraan POCP ... 101

Tabel 33 Faktor Kesetaraan AP ... 102

Tabel 34 Perubahan Harga BBM Bersubsidi Sejak Tahun 2006 ... 104

Tabel 35 Kebijakan Kenaikan Tarif Dasar Listrik di Indonesia Tahun 2001-2013 .... 115

Tabel 36 Perkembangan Subsidi Listrik dari Tahun 2000 – 2013 ... 117

(5)

iv

Tabel 38 Produksi Kilang dan Permintaan Minyak Pertamina ... 125

Tabel 39 Rencana Penambahan Kapasitas Pembangkit Hingga Tahun 2021 ... 143

Tabel 40 Rencana Pengembangan Sistem Penyaluran Listrik Hingga Tahun 2021 . 144 Tabel 41 Rencana Pengembangan Sistem Distribusi Listrik Hingga Tahun 2021 ... 144

Tabel 42 Kapasitas Sewa Pembangkit Listrik Tahun 2011 ... 145

Tabel 43 Pertumbuhan Penerimaan Negara dan Investasi Tahun 2009-2013 ... 148

Tabel 44 Realisasi dan Rencana Produksi Mineral dan Batubara Tahun 2009-2013 149 Tabel 45 Ekspor Mineral dan Batubara Tahun 2009-2013... 150

Tabel 46 Potensi Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Mineral ... 151

Tabel 47 Sumber Daya dan Cadangan Batubara (Juta Ton) Tahun 2009-2012 ... 152

Tabel 48 Izin Usaha Pertambangan Minerba ... 153

Tabel 49 Ekspor Komoditi Berbasis Sumber Daya Alam... 155

Tabel 50 Nilai Ekspor Komoditi Tambang (2013) ... 155

Tabel 51 Volume Ekspor Komoditi Tambang (2013) ... 156

Tabel 52 Ringkasan Dampak Pajak Ekspor Bagi Negara Pengekspor - Kasus ... 165

Tabel 53 Produksi Tahunan Perusahaan Kabel yang Telah Go Public ... 166

Tabel 54 Volume Ekspor Produk Tembaga... 168

Tabel 55 Nilai Ekspor Produk Tembaga ... 169

Tabel 56 Volume Impor Produk Tembaga ... 170

Tabel 57 Nilai Neraca Perdagangan Produk Tembaga Indonesia ... 171

Tabel 58 Volume Neraca Perdagangan Produk Tembaga Indonesia ... 172

Tabel 59 Volume Ekspor dan Impor Nikel Berdasarkan Kode SITC, 2001-2011... 175

Tabel 60 Nilai Ekspor dan Impor Nikel, 2000-2011 ... 176

Tabel 61 Neraca Perdagangan Kelompok Produk Nikel (Juta USD) ... 176

Tabel 62 Neraca Asal Impor Beberapa Kelompok Produk Nikel ... 177

Tabel 63 Pengelompokan Industri Baja Nasional ... 179

Tabel 64 Rencana Aksi Pengembangan Industri Baja Nasional ... 182

Tabel 65 Tarif Bea Masuk Produk Semen Berdasarkan HS Tahun 2008 ... 183

Tabel 66 Kerangka Pengembangan Industri Semen ... 185

Tabel 67 Sumber Deposit Bahan Baku ... 186

Tabel 68 Pengelompokan Produk Keramik ... 187

Tabel 69 Kerangka Pengembangan Industri Keramik ... 189

Tabel 70 Nilai PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010-2012, ... 191

Tabel 71 Alokasi Penurunan Emisi di 5 sektor utama pada tahun 2020 ... 200

Tabel 72 Simulasi Trade-off antara CNG dan Gasoline ... 211

Tabel 73 Simulasi Perbandingan antar Pembangkit Listrik... 211

Tabel 74 Rangkuman Hasil Simulasi Trade-off Penggunaan Gas untuk Transportasi dan Pembangkit Listrik... 212

(6)

v

Daftar Gambar

Gambar 1 Proporsi Penggunaan Energi Industri Berdasarkan Kelompok Industri ... 5

Gambar 2 Proporsi Penggunaan Energi Industri Berdasarkan Sumber Energi ... 6

Gambar 3 Konsumsi Energi Final Berdasarkan Pengguna Akhir atau End-user Consumers (1990-2011) ... 8

Gambar 4 Konsumsi BBM (2000-2011)... 9

Gambar 5 Konsumsi Gas untuk Sektor Industri Pupuk dan Pengolahan (2010-2012) ... 10

Gambar 6 Produksi Energi Primer: Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Batubara (1990-2012) ... 11

Gambar 7 Konsumsi dan Produksi Batubara (1990-2012) ... 12

Gambar 8 Pemanfaatan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan minyak (BP Migas, 2012) ... 15

Gambar 9 Perbandingan Penggunaan Minyak Tanah dan LPG ... 19

Gambar 10 Referrence Energy System (RES) ... 25

Gambar 11 Struktur Pengguna Energi Final (LEAP) ... 26

Gambar 12 Struktur Pasokan Energi ... 27

Gambar 13 Proses Penghitungan Modul Transformasi ... 30

Gambar 14 Kurva Beban pada Sistem Kelistrikan ... 31

Gambar 15 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Sektor Pengguna Sampai Tahun 2025 (Skenario DASAR) ... 35

Gambar 16 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Jenis Energi Sampai Tahun 2025 (Skenario DASAR) ... 36

Gambar 17 Proyeksi Bauran Energi (dengan Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario DASAR ... 40

Gambar 18 Proyeksi Bauran Energi (Tanpa Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario DASAR ... 41

Gambar 19 Proyeksi Perkembangan Kapasitas Listrik Sampai Tahun 2025 ... 42

Gambar 20 Proyeksi Produksi Listrik Sampai Tahun 2025 ... 43

Gambar 21 Rencana Pengembangan Lapangan Migas ... 51

Gambar 22 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Sektor Pengguna Sampai Tahun 2025 (Skenario RPJMN) ... 53

Gambar 23 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Jenis Energi Sampai Tahun 2025 (Skenario RPJMN) ... 54

Gambar 24 Proyeksi Bauran Energi (Dengan Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario RPJMN ... 58

Gambar 25 Proyeksi Bauran Energi (Tanpa Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario RPJMN ... 59

Gambar 26 Proyeksi Perkembangan Kapasitas Listrik Sampai Tahun 2025 ... 60

Gambar 27 Proyeksi Produksi Listrik Sampai Tahun 2025 ... 62

Gambar 28 Keterkaitan antara dimensi ketahanan energi dan indikator elemen dari Energy Security Index (ESI) ... 95

Gambar 29 Skor ESI Indonesia dan Grafik Nilai Indikator Relatifnya Tahun 2007-2011 ... 98

Gambar 30 Skor CEI Indonesia dan Grafik Nilai Indikator Relatifnya Tahun 2007-2011 ... 102

Gambar 31 Volume BBM Bersubsidi (2008-2013)... 105

Gambar 32 Besaran Subsidi BBM dan Listrik (2008-2013)... 105

Gambar 33 Harga Jual Gas Konsumen dari PGN dan Harga Energi Lainnya yang Merupakan Kompetitor Gas (2013) ... 107

Gambar 34 Harga Rata-rata Gas Domestik dan Ekspor (2012) ... 107

(7)

vi

Gambar 36 Harga Patokan Gas Dalam Negeri (2000-2013) ... 110

Gambar 37 Harga Listrik Panas Bumi dengan Skema Feed-In Tariff ... 111

Gambar 38 Harga Listrik Panas Bumi untuk Beberapa Lapangan Panas Bumi yang Saat Ini Sedang Dikembangkan: Sumatra, Jawa, dan NTT/Maluku... 112

Gambar 39 Perkembangan Harga Batubara (2009-2013) ... 122

Gambar 40 Kilang Pertamina dan Kapasitas Produksinya ... 125

Gambar 41 Penyediaan dan Permintaan Gasoline ... 126

Gambar 42 Penyediaan dan Permintaan Diesel ... 127

Gambar 43 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario BAU ... 128

Gambar 44 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario Berorientasi Ekspor ... 129

Gambar 45 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario Produksi Tinggi ... 129

Gambar 46 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario Berorientasi Domestik ... 130

Gambar 47 Proyeksi Permintaan Domestik Belum Terpenuhi ... 131

Gambar 48 Proyeksi Neraca Permintaan dan Suplai Hingga 2070 (Skenario BAU) 131 Gambar 49 Proyeksi Neraca Suplai-Permintaan Regional Berdasarkan BAU ... 133

Gambar 50 Proyeksi Neraca Suplai-Permintaan Regional Berdasarkan Skenario Berorientasi Ekspor ... 134

Gambar 51 Proyeksi Neraca Suplai-Permintaan Regional Berdasarkan Skenario Produksi Tinggi ... 135

Gambar 52 Proyeksi Neraca Suplai-Permintaan Regional Berdasarkan Skenario Berorientasi Domestik ... 137

Gambar 53 Neraca Suplai-Permintaan di Seluruh Wilayah berdasarkan Skenario BAU ... ... 138

Gambar 54 Neraca Suplai-Permintaan di Seluruh Wilayah Berdasarkan Skenario Produksi Tinggi ... 139

Gambar 55 Neraca Suplai-Permintaan di Seluruh Wilayah Berdasarkan Skenario Domestik ... 140

Gambar 56 Produksi Batubara 2009-2013 ... 149

Gambar 57 Pertumbuhan Industri Pengolahan dibandingkan dengan Pertumbuhan PDB (2001-2013) ... 153

Gambar 58 Kontribusi Sektor Industri Pengolahan terhadap Pertumbuhan PDB (2001-2013) ... 154

Gambar 59 Ekspor Komoditi Baerbasis Sumber Daya Alam (Pertanian, Indsutri, dan Tambang) ... 154

Gambar 60 Dampak Pajak Ekspor Bagi Negara Pengekspor - Kasus Negara Kecil 163 Gambar 61 Dampak Pajak Ekspor Bagi Negara Pengekspor – Kasus Negara Besar ... 164

Gambar 62 Sumber daya, Cadangan, Produksi, Smelter, dan Rencana Pembangunan Smelter Tembaga di Indonesia ... 166

Gambar 63 Nilai Total Ekspor dan Impor Produk Tembaga dan Turunannya (Ribu USD) ... 170

Gambar 64 Sumber Daya, Cadangan, Smelter dan Rencana Pengembangan Nikel Indonesia ... 173

Gambar 65 Produksi Ore Laterite dan Nickel Matte Indonesia, 2006-2009 ... 174

Gambar 66 Volume Ekspor Total Bijih Nikel (Ton) ... 175

Gambar 67 Pohon Industri Baja ... 178

Gambar 68 Road Map Industri Baja ... 181

Gambar 69 Konsumsi Energi Final Berdasarkan Sektor Tahun 2006-2010 (BOE) . 192 Gambar 70 Sebelas Sektor Fokus Pengembangan Transisi Ekonomi Hijau ... 198

(8)

vii

Gambar 71 Perbandingan PDB Konvensional dan PDB Hijau Indonesia ... 199

Gambar 72 Perbandingan Pola Hubungan Konsumsi Energi dan Emisi CO2 untuk Lima Negara Berkembang ... 201

Gambar 73 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Cina ... 202

Gambar 74 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Thailand ... 203

Gambar 75 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Turki ... 203

Gambar 76 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Brazil ... 204

Gambar 77 Target Bauran Energi 2025 dan Potensi Emisi Relatif Sumber Energi. 204 Gambar 78 Proyeksi Emisi CO2 dari Penggunaan Bahan Bakar Fosil di Indonesia 205 Gambar 79 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Indonesia .... 205

Gambar 80 Klasifikasi Harga Eceran Aktual Energi dalam Interval Dua Tahun .... 206

Gambar 81 Perbandingan Harga Eceran Gasoline dan Diesel di Beberapa Negara Tahun 2000-2012 ... 206

Gambar 82 Kebijakan Harga Listrik Tahun 2011 per Kategori Tarif ... 207

Gambar 83 Konsumsi Gasoline per Kapita pada Tingkat PDB per Kapita yang Berbeda-beda untuk Beberapa Negara Tahun 1986-2010 ... 208

Gambar 84 Trade-off antara CNG dan Gasoline di Indonesia pada Harga Tahun 2012 ... 210

(9)
(10)

1

1 Energi

1.1 Pendahuluan

1. Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,23 persen dan laju pertumbuhan penduduk

sekitar 1,39 persen pada tahun 2012 mengindikasikan bahwa kebutuhan energi juga akan meningkat karena energi merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi dan mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Saat ini, pertumbuhan konsumsi energi rata-rata per tahun mencapai 7 persen.

2. Kebutuhan energi dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri maupun dari

impor. Produksi dalam negeri sebagian besar berasal dari jenis energi fosil yaitu minyak bumi, gas alam, dan batubara. Hanya sebagian kecil saja yang berasal dari jenis energi baru dan terbarukan. Produksi dalam negeri tidak sepenuhnya dapat dikonsumsi di dalam negeri, sebagian di antaranya diekspor ke luar negeri dan menghasilkan penerimaan negara, terutama gas alam dan batubara.

3. Pemanfaatan jenis energi fosil perlu dikelola dengan lebih efisien dan

berkesinambungan. Energi fosil merupakan energi yang tidak terbarukan, untuk itu penggunaannya harus dilakukan seefisien mungkin dan dapat dimanfaatkan dalam kurun waktu sepanjang mungkin serta memberikan nilai tambah. Peralihan pemanfaatan energi fosil ke energi baru dan terbarukan harus didorong dan terus dilakukan. Keberpihakan pada energi baru dan terbarukan baik dalam bentuk insentif maupun dukungan riset dan teknologi menjadi kewajiban pemerintah untuk mewujudkannya.

4. Akses masyarakat dan industri untuk mendapatkan jaminan suplai energi

masih perlu ditingkatkan. Produksi gas dan batubara belum secara optimal dapat dimanfaatkan di dalam negeri. Ketersediaan infrastruktur energi sebuah keniscayaan, tanpa infrastruktur maka distribusi energi tidak akan dapat berjalan lancar. Pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar gas, batubara, dan energi baru dan terbarukan harus diperluas untuk menggantikan pembangkit berbahan bakar minyak. Infrastruktur jaringan pipa gas, stasion bahan bakar gas, dan receiving gas terminal perlu dipercepat untuk memanfaatkan gas di dalam negeri.

1.2 Kondisi Kebutuhan dan Penyediaan Energi

5. Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi dan mendukung pertumbuhan

ekonomi, pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan kapasitas energi, pemanfaatan energi alternatif terutama panas bumi, dan melakukan konversi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG).

1.2.1 Kondisi Kebutuhan Energi Final

6. Konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi selalu memiliki hubungan,

meskipun arah dari hubungan kausal ini masih diperdebatkan, apakah pertumbuhan ekonomi mendorong konsumsi energi atau sebaliknya bahwa konsumsi energi merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Untuk

(11)

2

Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang tinggi umumnya selalu dibarengi dengan pertumbuhan konsumsi energi yang tinggi juga sehingga untuk perkiraan kebutuhan energi final perlu memperhatikan tingkat output nasional pada pendapatan domestik bruto.

7. Secara makro, selama satu dekade terakhir indonesia termasuk ke dalam

negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang stabil. Walaupun secara global ekonomi dunia mengalami beberapa konstraksi di tahun 2008 – 2010 namun sejak tahun 2000, indonesia secara umum mengalami akselerasi pertumbuhan ekonomi dari 3,83 persen menjadi 6,29 persen di tahun 2012.

8. Faktor pendorong kebutuhan energi lainnya adalah kondisi demografi

Indonesia. Hasil sensus penduduk yang dilaksanakan oleh BPS tahun 2010 menunjukkan laju pertumbuhan penduduk rata-rata dari tahun 2000 sampai 2010 sebesar 1,46 persen. Berdasarkan Buku Proyeksi Penduduk Indonesia yang disusun Bappenas bersama BPS penduduk Indonesia diperkirakan akan mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 1,29 persen di tahun 2011-2015 yang kemudian melambat menjadi 1,1 persen di tahun 2015-2020, 0,95 persen di tahun 2020 – 2025 dan menjadi 0,78 di tahun 2025-2030.

9. Faktor eksternal yang berpengaruh pada konsumsi energi nasional adalah

kondisi ekonomi global dan perkembangan harga komodistas energi. Pertumbuhan ekonomi global cenderung melemah sebagai dampak dari resesi di negara-negara Zona Euro paska krisis utang dan lambatnya pemulihan ekonomi Amerika Serikat paska krisis finansial. Ekonomi AS secara perlahan mulai membaik meski masih

rentan dan dibayangi isu keterbatasan stimulus fiskal (fiscal cliff) serta krisis

lapangan pekerjaan. Resesi di Eropa dan Amerika Serikat tersebut mempengaruhi hampir seluruh negara di dunia akibat ekonomi dunia yang makin terintegrasi. Negara-negara Asia yang diharapkan mampu menjadi mesin pendorong pertumbuhan global justru pertumbuhan ekonominya terhambat.

10. Pertumbuhan ekonomi global yang melambat juga diikuti dengan penurunan harga komoditas yang cukup tajam sehingga menyebabkan penurunan ekspor dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Khusus komoditas energi, sampai tahun 2008 harga minyak dunia naik secara signifikan. Di Indonesia harga minyak Indonesian Crude Price (ICP) dari tahun 2001 sampai 2008 mengalami kenaikan rata-rata 23,5 persen dari 21,94 USD per barel menjadi 96,13 USD per barel dengan kenaikan tertinggi di tahun 2005 dan 2008 yang mencapai hampir 20 USD per barel. Pada tahun 2009 seiring dengan puncak krisis global ICP terjun bebas ke angka 61,58 USD per barel yang kemudian setelah itu sampai 2011 terjadi kenaikan ICP pesat sebesar 34,5 persen per tahun yang mencapai 111,5 USD per barel.

11. Harga gas internasional LNG untuk pengiriman Jepang CIF dari tahun 2000 – 2011 mengalami kenaikan rata-rata 10,94 persen dari 4,72 USD/mBTU menjadi 14,73 USD/mmBtu. Perkembangan terakhir keberhasilan penemuan cadangan di beberapa proyek unconvensional gas sejak tahun 2008 di Amerika dan Kanada mendorong penurunan harga gas. Harga gas Indeks Hub di tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 56,05 persen dari 8,85 USD/mmBtu menjadi 3,89 USD/mmBtu yang kemudian stabil sampai tahun 2011 di angka 4,01 USD/mmBTU. Demikian juga dengan indeks alberta kanada yang turun 57,7 persen dari 7,99 USD/mmBTU

(12)

3

menjadi 3,38 USD/mmBTU dan stabil di angka tahun 3,47 di tahun 2011. Dengan adanya perbedaan gap antara harga gas domestik Amerika dengan harga gas ekspor regional, di tahun mendatang ada kemungkinan ekspor gas dari Amerika ke wilayah Asia Pasifik sehingga harga ekspor gas regional akan berpotensi turun. Untuk komoditas batubara, terjadi peningkatan harga batubara ekspor secara signifikan dari tahun 2003 sampai 2011 dengan kenaikan rata-rata 15,95 persen per tahun dari 28,63 USD/Ton menjadi 93,56 USD/ton. Seiring dengan perlambatan ekonomi India dan China sebagai konsumen batubara terbesar di tahun 2012 dan 2013, harga batubara secara global mengalami koreksi yang cukup dalam.

Tabel 1 Perkembangan Rasio Harga Komoditas Energi

Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Batubara (FOB) 6,92 7,50 7,01 6,70 10,06 8,53 9,59 12,81 12,81 16,26 20,42 21,88 LNG (FOB) 24,00 24,78 26,95 33,41 40,03 47,27 50,33 66,65 66,65 38,70 43,49 65,70 ICP 113,63 112,47 114,38 110,50 107,57 110,55 114,14 109,02 114,78 109,02 114,38 111,55 Rasio Batubara 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 Rasio LNG 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,03 Rasio ICP 0,06 0,06 0,06 0,06 0,05 0,06 0,06 0,05 0,06 0,05 0,06 0,06

12. Dari tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa secara regional batubara masih menjadi energi fosil termurah dengan rasio harga 1 sampai 3 sampai 5 di tahun 2011. Rasio ini semakin berkurang dari tahun 2000. Hal ini disebabkan

banyaknya peralihan dari minyak ke batubara sehingga mengakibatkan excess

demand yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan harga batubara secara signifikan. Tren ini diperkirakan akan terus terjadi dengan sedikit penurunan harga gas sehingga rasio harga akan berkisar di harga gas akan semakin kompetitif dengan harga batubara. Memperhatikan kondisi ini perlu adanya

percepatan pembangunan infrastruktur gas untuk memaksimalkan

pemanfaatannya.

13. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah saat ini sedang gencar melakukan upaya untuk mengurangi penggunaan BBM dan beralih ke penggunaan bahan bakar gas terutama di sektor rumah tangga dan transportasi. Penggunaan BBG untuk rumah tangga melalui program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg dan pembangunan jaringan gas kota. Sedangkan di sektor transportasi melalui percepatan pembangunan stasiun pengisian BBG (SPBG) serta penyediaan dan pendistribusian konverter kit.

14. Secara umum, sektor pengguna energi Indonesia digolongkan menjadi 5 yaitu:

- Rumah Tangga yaitu sektor pengguna yang memanfaatkan energi untuk keperluan di rumah tangga seperti memasak, penerangan dan lainnya, tetapi tidak termasuk penggunaan untuk mobil pribadi.

- Industri yaitu sektor pengguna yang memanfaatkan energi untuk keperluan proses industri seperti pemanasan langsung, penerangan dan peralatan mesin tetapi tidak termasuk energi yang digunakan untuk pembangkitan listrik. Golongan dalam industri ini disesuaikan dengan penggolongan industri pengolahan non migas dalam PDB seperti kelompok industri makanan, tekstil,

(13)

4

kayu, kimia, non logam, logam, mesin dan lainnya.

- Komersial yaitu sektor pengguna yang memanfaatkan energi untuk penerangan, AC, peralatan mesin, peralatan memasak dan pemanasan air tetapi tidak termasuk konsumsi untuk transportasi. Termasuk ke dalam golongan ini adalah kelompok komesial dan bisnis umum seperti perdagangan, hotel, restoran, jasa keuangan, pemerintahan, sekolah dan lainnya.

- Transportasi yaitu sektor pengguna yang memanfaatkan energi untuk keperluan transportasi di semua sektor ekonomi. Subsektor transportsi meliputi transportasi darat (mobil penumpang, sepeda motor, truk dan bis), transportsi udara, transportasi laut, transportasi penyebrangan, dan kereta api.

- Sektor lainnya.yaitu sektor pengguna yang memanfaatkan energi untuk keperluan perikanan, konstruksi dan pertambangan.

- Sektor non energi yaitu sektor pengguna yang memenafaatkan komoditas energi untuk keperluan energi meliputi minyak pelumas, bahan baku untuk industri petrokimia (naphta, gas bumi dan kokas), bahan baku gas untuk methanol dan pupuk.

15. Kebutuhan energi sektor rumah tangga erat kaitannya dengan perubahan kesejahteraan. Semakin sejahtera, penggunaan energi semakin meningkat. Dari tahun 2000, penduduk miskin cenderung turun rata-rata 2,45 persen dari 39 juta orang (19,41 persen penduduk) menjadi 30,12 juta orang (12,49 persen penduduk) di tahun 2011. Pemanfaatan energi di sektor rumah tangga meningkat rata-rata 1,45 persen dari 297 juta SBM di tahun 2000 ke 319 juta SBM di tahun 2007 yang kemudian menurun sampai tahun 2010 di angka 310 juta SBM. Pada tahun 2011, terjadi peningkatan yang cukup tinggi ke angka 320 juta SBM. (Tabel 2). Walaupun demikian, secara keseluruhan terjadi penurunan intensitas konsumsi energi di sektor rumah tangga dari tahun 2000 sampai 2011 sebesar 0,8 persen per tahun dari 1,43 SBM per kapita menjadi 1,31 SBM per kapita. Mulai tahun 2007, program konversi minyak tanah ke gas dijalankan. Dengan program tersebut sampai tahun 2011, telah terjadi penurunan rata-rata intensitas konsumsi minyak tanah per kapita sebesar 34 persen yang disubstitusi oleh LPG yang mengalami peningkatan sebesar 41 persen.

Tabel 2 Konsumsi Energi per Kapita

Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Total Konsumsi Energi (juta SBM) 296,57 301,35 303,03 309,05 314,12 313,77 312,72 319,33 316,80 314,09 310,52 320,37 Jumlah Penduduk (juta orang) 205,84 208,65 212,00 215,28 217,85 218,87 222,19 225,64 228,52 234,43 237,64 241,13 Konsumsi Energi Per Kapita (SBM/orang) 1,44 1,44 1,43 1,44 1,44 1,43 1,41 1,42 1,39 1,34 1,31 1,33

16. Pemanfaatan energi di rumah tangga masih didominasi oleh penggunaan kayu bakar secara tradisional terutama di daerah pedesaan dengan porsi sampai 70 persen. Bila penggunaan kayubakar di rumah tangga ini dikecualikan, jenis

(14)

5

energi terbesar yang dikonsumsi rumah tangga adalah listrik dan LPG yang masing-masing meliputi 46 dan 41 persen di tahun 2011. Peningkatan porsi LPG ini sangat signifikan mengingat di tahun 2007 porsinya hanya 9 persen. LPG berpotensi terus meningkat dan menjadi jenis energi utama dalam rumah tangga seiring dengan berlanjutnya program konversi minyak tanah dan potensi peralihan dari energi biomassa tradisional (kayu bakar). Akibatnya impor LPG akan semakin membengkak dan berpotensi membebani anggaran negara melalui kebijakan subsidinya. Perlu dikaji mengenai percepatan program gas kota atau program kompor listrik di beberapa tahun mendatang.

0% 20% 40% 60% 80% 100% 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Lainnya Mesin Logam Non Logam Kimia

Kertas Kayu Tekstil Makanan

Gambar 1 Proporsi Penggunaan Energi Industri Berdasarkan Kelompok Industri 17. Sementara itu, pemanfaatan sektor industri dan sektor komersil sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi Indonesia yang dinamis. Sektor komersil (perdagangan, jasa dan keuangan) mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 6,15 persen dari 470 triliun di tahun 2000 menjadi 970 triliun (nilai konstan 2000) di tahun 2012. Oleh karenanya porsi sektor ini terhadap PDB konstan 2000 meningkat dari 33,69 persen di tahun 2000 menjadi 37,06 persen di tahun 2012. Sementara sektor industri pengolahan non migas mengalami kenaikan rata-rata 5,34 persen dari 367 triliun di tahun 2000 menjadi 625 triliun di tahun 2012. Walaupun begitu, porsi industri terhadap PDB mengalami fluktuasi. Porsi sektor industri naik dari 23,84 persen di tahun 2000 menjadi 25,30 persen di tahun 2005 yang kemudian terus menurun sampai tahun 2010 menjadi 23,76 persen seiring dengan lesunya perlambatan ekonomi global. Sampai tahun 2012, porsi industri mengalami kenaikan menjadi 23,86 persen. Subsektor industri yang mengalami peningkatan porsi secara signifikan dari tahun 2000 sampai 2011 adalah sub sektor industri permesinan dan alat transportasi yang merupakan industri hilir. Konsumsi energinya tidak sebesar pada industri hulu. Pada tahun 2000, porsi subsektor ini masih 20,7 persen sementara pada tahun 2011 porsinya menjadi 34,6 persen. Subsektor lainnya yang cukup dominan adalah subsektor industri makanan. Tren data dari tahun 2000 sampai 2011 menunjukkan subsektor industri makanan mengalami penurunan porsi dari 33 persen menjadi 30 persen. Demikian juga dengan industri tekstil yang mengalami penurunan porsi dari 14 persen di tahun 2000 menjadi 10 persen di tahun 2011 sebagai pengaruh gempuran produk tekstil Cina. Dari gambar di atas terlihat kelompok industri hulu seperti industri logam dasar, semen, keramik dan non logam, serta kertas dan kayu yang memerlukan konsumsi energi yang besar umumnya mengalami penurunan

(15)

6

sementara industri hilir seperti mesin dan lainnya relatif konstan dan bahkan meningkat.

18. Pemanfaatan energi untuk sektor industri tahun 2000 sampai 2011 meningkat rata-rata 3,06 persen dari 258,18 juta SBM menjadi 359,62 juta SBM. Walau demikian terjadi penurunan intensitas pemanfaatan energi sebesar 2,16 persen dari dari 0,78 SBM per juta rupiah output di tahun 2000 menjadi 0,61 SBM per juta rupiah di tahun 2011. Penurunan ini disebabkan oleh salah satu atau ketiga faktor berikut:

- Terjadinya pergeseran jenis industri, dari industri padat energi menjadi

industri yang lebih padat modal, dan/atau

- Terjadinya pergeseran dari industri hulu yang membutuhkan energi besar

menjadi industri hilir yang memerlukan energi lebih sedikit, dan/atau

- Proses produksi dan mesin industri yang baru mengkonsumsi lebih sedikit

energi atau hemat energi.

19. Pemanfaatan energi di sektor industri mengalami pergeseran dari dominasi bahan bakar minyak ke batubara. Pada periode ini penggunaan batubara meningkat rata-rata 7,7 persen dari 0,11 SBM per juta rupiah menjadi 0,25 SBM per juta rupiah. Sementara rata-rata penurunan intensitas bahan bakar minyak (FO, diesel, dan kerosen) tahun 2000 – 2011 mencapai 30 persen per tahun dari 0,23 SBM per juta rupiah menjadi 0,08 SBM per juta rupiah.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Biomass Coal Briquette Gas Kerosene ADO IDO FO LPG Electricity

Gambar 2 Proporsi Penggunaan Energi Industri Berdasarkan Sumber Energi 20. Pangsa batubara meningkat dari hanya 13,97 persen di tahun 2000 menjadi 40,2 persen di tahun 2011. Sementara pangsa bahan bakar minyak mengalami penurunan dari 29,75 persen menjadi 12,78 persen. Sementara penggunaan gas untuk industri mulai naik sejak kenaikan minyak yang cukup signifikan di tahun 2008 dari 29 persen di tahun 2007 menjadi 30 persen di tahun 2009 dan sedikit menurun di tahun 2011 di angka 25 persen. Tingginya dominasi penggunaan batubara ini tentunya akan berdampak buruk terhadap kondisi lingkungan. Optimalisasi pemanfaatan gas seringkali terkendala masalah jaminan pasokan dan kondisi infrastruktur distribusi yang kurang.

(16)

7

21. Untuk sektor komersil, porsi yang dominan adalah subsektor perdagangan dan hotel yang mencakup 47 persen dari keseluruhan sektor komersil. Pada periode 2000 sampai 2011, konsumsi sektor komersil mengalami peningkatan 20 juta SBM menjadi 32,96 juta SBM. Secara intensitas terjadi penurunan rata-rata 1,76 persen dari 40 SBM per triliun rupiah ke 36 SBM per triliun rupiah. Penurunan terbesar ada pada penggunaan kerosene sebesar 18 persen. Diesel dan LPG mengalami penurunan yang hampir sama di kisaran 5 persen. Energi yang meningkat secara signifikan adalah gas alam sebesar 15 persen.

22. Pertumbuhan konsumsi energi di sektor transportasi tahun 2000 - 2011 meningkat rata-rata sebesar 6,44 persen dari 139 juta SBM menjadi 277 juta SBM. Berdasarkan kajian Pertamina, sebanyak 88 persen BBM sektor transportasi dikonsumsi transportasi darat dengan perkiraan bensin untuk transportasi darat dikonsumsi oleh mobil penumpang sebanyak 60 persen dan sepeda motor sebanyak 40 persen. Sementara untuk solar, konsumsi terbesar oleh truk sebanyak 43 persen, bis 40 persen dan mobil penumpang sebanyak 17 persen.

23. Penggunaan gas (bahan bakar gas) untuk sektor transportasi masih terbatas, Harga jual BBG rendah, sehingga tidak menjamin pasokan gas, Infrastruktur BBG (SPBG dan jaringan gas) terbatas/belum terbangun. Sampai dengan 2013, telah dibangun 16 SPBG, 22 km jaringan pipa gas, dan pendistribusian konverter kit 7.500 unit. Tahun 2014 akan dibangun 13 SPBG, jaringan pipa sepanjang 153,8 km, dan penyediaan konverter kit 13.000 unit. Pada tahun 2015, diharapkan badan usaha mulai terlibat didalam penyediaan BBG untuk kendaraan umum, baik dalam membangun jaringan pipa BBG maupun SPBG (60-70 unit), termasuk dalam penyediaan konverter kit (80-85 ribu unit), serta penyediaan BBG di kota-kota lain.

Tabel 3 Intensitas Penggunaan Energi per Kendaraan

Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Total Konsumsi Energi (juta SBM) 122,5 130,5 133,3 137,5 157,0 157,0 149,7 157,6 173,3 197,9 224,9 244,1 Jumlah Kendaraan (juta) 19,0 20,9 23,0 26,6 30,5 37,6 43,3 54,8 61,7 67,3 76,9 85,6 Konsumsi Energi Per Kendaraan (SBM/ kendaraan) 6,4 6,2 5,8 5,2 5,1 4,2 3,5 2,9 2,8 2,9 2,9 2,9

24. Meskipun tren pertumbuhan kendaraan bermotor menunjukkan angka yang sangat besar, namun secara intensitas penggunaan energi per kendaraan mengalami penurunan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena peningkatan teknologi kendaraan baru dan/atau penurunan tingkat aktifitas dari masing-masing kendaraan yang disebabkan faktor kejenuhan kemacetan terutama di kota-kota besar.

25. Melihat tren pertumbuhan rata-rata kendaraan moda angkutan darat tahun 2000 sampai 2011 yang mencapai lebih 10 persen, permintaan energi untuk sektor transportasi ini di masa depan akan tetap emnjadi sektor yang dominan selain

(17)

8

sektor industri. Kondisi sebagian besar bahan bakar untuk transportasi yang masih disubsidi akan membebani kondisi keuangan negara sehingga perlu segera diambil lankah diversifikasi energi ke energi yang lebih murah seperti gas. Untuk sektor lainnya, dari tahun 2000 sampai 2011 terjadi penurunan rata-rata sebesar 1,42 persen dari 29,05 juta SBM menjadi 24,82 juta SBM.

26. Selain untuk bahan bakar, komoditas energi juga digunakan untuk keperluan

non energi di antaranya sebagai bahan baku untuk pabrik pupuk, baja dan by

product proses pengolahan minyak seperti oli dan sebagainya. Konsumsi untuk penggunanan non energi di tahun 2011 ini meningkat dari tahun 2000 sampai 2011 sebesar 8.43 persen per tahun. Peningkatan paling tinggi pada penggunaan Oil product yaitu sebesar 16,19 persen per tahun. Sementara pemanfaatan gas sebagai bahan baku untuk industri pupuk dan baja hanya mencapai 0,49 persen per tahun. 27. Secara umum, konsumsi energi periode 2000 sampai 2011 masih didominasi oleh sektor industri dengan porsi di kisaran 30 sampai 22 persen. Di waktu yang sama porsi sektor rumah tangga mengalami penurunan dari 38 persen di tahun 2000 menjadi 29 persen di tahun 2011. Peningkatan yang cukup signifikan dari konsumsi energi adalah di sektor transportasi dari hanya 18 persen di tahun 2000 menjadi 25 persen di tahun 2011.

*tidak termasuk biomasa

Gambar 3 Konsumsi Energi Final Berdasarkan Pengguna Akhir atau End-user

Consumers (1990-2011)

28. Sementara bila energi tradisional biomassa tidak disertakan, porsi sektor industri dalam konsumsi energi berkisar 35 sampai 40 persen. Konsumsi energi rumah tangga hanya berkisar 17 persen di tahun 2000 dan semakin menurun menjadi 10 persen di tahun 2011. Sementara untuk sektor transportasi meningkat dari 27 persen menjadi 33 persen.

29. Untuk memenuhi kebutuhan energi terutama sektor transportasi, penyediaan BBM dilakukan melalui dua mekanisme, yakni penyediaan BBM subsidi dan BBM non-subsidi. Selama periode waktu tahun 2000-2011 menunjukkan tingginya konsumsi BBM. Pada tahun 2000 konsumsi BBM sebesar 315.272 juta SBM dan tahun 2011 sebesar 363.827 juta SBM. Dari tampilan Gambar menunjukkan konsumsi BBM yang cukup fluktuatif namun memiliki

(18)

9

tren yang meningkat sebesar 1,41 persen selama 11 tahun. Tingginya konsumsi bahan bakar minyak disebabkan oleh disubsidinya beberapa jenis bahan bakar minyak, khususnya bensin (premium) dan solar untuk umum (sektor transportasi dan rumah tangga) dan usaha skala kecil, serta terbatasnya akses energi non-fosil.

Sumber: Buku Statistik Ekonomi dan Energi Indonesia, 2012

Gambar 4 Konsumsi BBM (2000-2011)

30. Konsumsi batubara selama kurun waktu 21 tahun (1990-2011) menunjukkan

pertumbuhan yang signifikan yakni sebesar 9,72 persen pertahun. Pada kurun

waktu 10 tahun pertama (tahun 1990 sampai dengan tahun 2000) pertumbuhan konsumsi batubara yang cukup berarti dengan rata-rata per tahun sebesar 14,22 persen. Konsumsi batubara pada tahun 1990 adalah sebesar 24,51 juta SBM dan tahun 2000 sebesar 101,6 juta SBM. Sedangkan periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2012 mengalami kenaikan pertumbuhan yaitu sebesar 5 persen. Konsumsi batubara pada tahun 2001 dan 2012 adalah sebesar119,98 SBM dan 208,20 juta SBM.

31. Konsumsi gas terutama didorong oleh sektor industri (pupuk dan industri pengolahan) serta pembangkit listrik. Konsumsi gas untuk industri pupuk dan pengolahan mencapai sekitar 34 persen dari total pangsa gas, listrik sekitar 15 persen, serta selebihnya, sekitar 51 persen, untuk ekspor (2011). Penggunaan gas di industri meningkat seiring dengan telah dihilangkannya subsidi solar industri, dan kecenderungan kenaikan ini akan terus terjadi untuk tahun-tahun yang akan datang. Gambar menunjukkan konsumsi gas untuk sektor industri pupuk dan pengolahan untuk beberapa tahun terakhir.

(19)

10

oil

Gas Development Master Plan

25 October 2013 18

Figure 6 Breakdown of Gas Demand in 2010 and 2011

Source: BP MIGAS Natural Gas Balance 2010 and 2011

The consumption of natural gas by industries (fertiliser and other industries)

has increased from 27% in 2010 to 34% of available supply in 2011. This is

partially driven by the removal of government subsidy on diesel fuel (HSD) for

industrial sectors, which encourages a significant shift from diesel to natural

gas in all industrial sectors.

Figure 7

shows the breakdown of industrial gas

demand in 2010, 2011 and 2012.

Figure 7 Breakdown of Industrial Gas Demand in 2010-2012

Source: Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB)

Fertilisers are very significant for Indonesian agriculture and for the

production of fertilisers natural gas is a crucial resource. There is no

alternative feedstock available. The demand for fertilisers is growing and the

Total industrial demand (mmsfcd)

2010 2011 2012

1,096

2,000 2,136

Sumber: Forum Industri Pengguna Gas Bumi - FIPGB

Gambar 5 Konsumsi Gas untuk Sektor Industri Pupuk dan Pengolahan (2010-2012)

1.2.2 Kondisi Penyediaan Energi

32. Peningkatan konsumsi energi final tentu dibarengi dengan peningkatan produksi energi primer, yakni minyak dan gas bumi, batubara. Penggunaan energi final untuk ketiga jenis energi primer (migas dan batubara) diperlihatkan dalam Gambar 6. Terlihat bahwa produksi batubara meningkat dengan laju pertumbuhan yang sangat tinggi, yakni 14,22 persen per tahun (1990-2000), dan 5 persen per tahun (2001-2012). Pada tahun 2002, produksi batubara secara nasional bahkan sudah melewati penggunaan minyak mentah, dan juga gas. Produksi batubara hanya mencapai jauh kurang dari 200 juta SBM pada tahun 1990, meningkat mencapai 400 juta SBM dalam sepuluh tahun kemudian, dan pada tahun 2011, produksi batubara mencapai 1,2 milyar SBM.

33. Produksi minyak bumi terus mengalami tren penurunan. Penyebab utamanya adalah produksi minyak bumi/mentah yang tidak bergerak dari 1 juta barel per hari, bahkan dalam lima tahun terakhir ini produksinya berada di bawah 1 juta barel per hari. Sejak tahun 2005, penggunaan minyak bumi secara nasional terus berada di bawah 400 juta SBM.

34. Pencapaian produksi minyak bumi masih belum cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya produksi minyak bumi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bila pada tahun 2010 produksi minyak bumi mencapai 945 ribu barel per hari, pada tahun 2011 turun menjadi 902 ribu barel per hari, dan hanya sebesar 860 ribu barel per hari pada tahun 2012 atau selama kurun waktu tersebut produksi minyak bumi mengalami penurunan rata-rata sekitar 4,5 persen. Untuk tahun 2013, produksi minyak bumi diperkirakan mencapai 840 ribu barel per hari.

(20)

11

Gambar 6 Produksi Energi Primer: Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Batubara (1990-2012)

35. Tidak seperti halnya minyak bumi, penggunaan gas bumi terus mengalami kenaikan, dengan laju pertumbuhan sebesar 8,18 persen per tahun (tahun 2001-2012). Laju pertumbuhan penggunaan gas bumi memang jauh berada di bawah pertumbuhan penggunaan batubara, namun kenaikan penggunaan gas terlihat stabil di tingkat laju pertumbuhan tersebut.

36. Mulai tahun 2013, asumsi makro Rencana Kerja Pemerintah tidak hanya dari produksi minyak bumi namun juga telah memasukkan produksi gas bumi. Sebagai gambaran, produksi gas bumi juga mengalami penurunan dari tahun 2010 ke 2012. Pada tahun 2010, produksi gas bumi dapat mencapai 1.582 ribu barel setara minyak per hari, turun menjadi 1.508 dan 1.464 ribu barel setara minyak per hari pada tahun 2011 dan 2012. Pada tahun 2013 diperkirakan produksi gas bumi turun kembali menjadi sebesar 1.240 ribu setara barel minyak per hari.

37. Sementara untuk produksi batubara, terjadi peningkatan selama 20 (dua puluh) tahun terakhir sejalan dengan peningkatan permintaan domestik dan ekspor. Dari tahun 1990 sampai 2000, pertumbuhan produksi energi final untuk sektor ini cukup pesat yakni sebesar 19,67 persen per tahun. Pada tahun 1990 diproduksi sebesar 14,28 juta SBM sedangkan tahun 2000 sebesar 323,57 juta SBM. Sedangkan periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2012 mengalami kenaikan pertumbuhan yaitu sebesar 5 persen. Produksi batubara pada tahun 2001 dan 2012 adalah sebesar 388,67 juta SBM dan 1217,28 juta SBM. Produksi batubara Indonesia sebagian besar (80 persen) dihasilkan oleh perusahaan tambang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B) dan sisanya berasal dari BUMN (PTBA) dan KP (Kuasa Penambangan).

(21)

12

Gambar 7 Konsumsi dan Produksi Batubara (1990-2012)

38. Di sektor ketenagalistrikan, adanya partisipasi swasta baik itu melalui program percepatan 10.000 MW maupun IPP sangat mendukung tercapainya sasaran tambahan kapasitas pembangkit listrik 3.000 MW per tahun dan peningkatan rasio elektrifikasi. Selama kurun waktu 2010 – 2012 terdapat penambahan kapasitas pembangkit listrik rata-rata 4.035 MW per tahun. Pada tahun 2012, kapasitas pembangkit listrik telah mencapai 44.064 MW atau meningkat sekitar 10,5 persen bila dibandingkan dengan kapasitas pembangkit listrik tahun 2011 sebesar 39.885 MW. Demikian halnya juga dengan rasio elektrifikasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Rasio elektrifikasi pada tahun 2010 mencapai 67,15 persen, meningkat menjadi 72,95 persen pada tahun 2011 dan 76,56 persen pada tahun 2012. Pada tahun 2013, kapasitas pembangkit listrik diperkirakan bertambah sebesar 4.097 MW atau menjadi 48.161 MW dan rasio elektrifikasi diperkirakan dapat mencapai 79,30 persen.

39. Untuk mengurangi ketergantungan penggunaan BBM pada pembangkit listrik, pemerintah telah berupaya mengembangkan penggunaan energi alternatif terutama panas bumi. Namun demikian, pencapaian pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit listrik belum sesuai dengan harapan. Pemerintah telah menargetkan pada tahun 2014, kapasitas terpasang pembangkit listrik yang bersumber dari panas bumi (PLTP) sebesar 5.000 MW. Jika melihat kapasitas terpasang yang saat ini terbangun, rasanya akan sulit untuk mencapai sasaran tersebut. Pada tahun 2010, kapasitas terpasang PLTP adalah sebesar 1.189 MW dan dapat ditingkatkan menjadi 1.226 MW dan 1.341 MW pada tahun 2011 dan 2012. Artinya, peningkatannya tidak cukup siginifikan. Pada tahun 2013, kapasitas terpasang PLTP diperkirakan juga akan meningkat namun tidak cukup signifikan yaitu sebesar 1.346 MW.

40. Pemanfaatan panas bumi baru 4 persen dari total potensi panas bumi dan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) baru mencapai 1.341 MW, dari total potensi 28.000 MW. Lapangan yang sudah menghasilkan listrik adalah lapangan Pertamina, sedangkan yang telah diserahkan ke Pemda

(22)

13

(Green Fields) belum ada yang berproduksi – masih dalam proses lelang/tender dan

negosiasi (Power Purchase Agreement – PPA) dengan pihak pembeli listrik (PLN)

Dari total potensi 28.000 MW, sebanyak 6.000 MW (21 persen) diidentifikasi berada di hutan konservasi dan 6.600 MW (23 persen) berada di hutan lindung.

1.3 Permasalahan dan Isu Strategis pada RPJMN 2010 - 2014

41. Dalam lima tahun mendatang, isu-isu strategis di sektor energi akan berkaitan dengan ‘gap’ yang semain lebar antara kebutuhan energi dengan pasokan energi. Konsumsi BBM, misalnya, akan terus meningkat dengan pertumbuhan diperkirakan mencapai 4,33 persen per tahun. Demikian juga dengan kebutuhan listrik yang semakin tinggi seiring dengan semakin berkembangnya industri manufaktur dan industri pengolahan komoditi. Dilain pihak, produksi minyak bumi tidak akan beranjak banyak dari tingkat produksi dalam dua-tiga tahun terakhir ini. Produksi gas akan meningkat, namun pemanfaatannya akan terkendala oleh infrastruktur gas yang masih terbatas. Secara ringkas pencapaian sampai tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 4.

1.3.1 Produksi dan Cadangan Minyak dan Gas Bumi

42. Sepanjang lima tahun terakhir ini, produksi rata-rata minyak bumi dibawah 1 juta barel per hari. Tingkat produksi yang cukup rendah ini terutama disebabkan oleh sebagian besar produksi minyak bumi berasal dari ladang minyak tua (mature), di mana tingkat produksinya terus mengalami penurunan (natural depletion). Ladang atau sumur minyak yang sudah lama berproduksi terutama yang berlokasi di Sumatera (Minas dan Duri) dan Kalimantan. Jumlah lapangan

mature ini sekitar 60 persen dari total lapangan minyak yang saat ini ada, yakni sekitar 670 lapangan minyak. Sumur-sumur yang masih penuh berproduksi (undepleted wells) terletak di sekitar laut Jawa dan Sulawesi (12 persen),

sedangkan sumur-sumur baru yang masih dalam early production (20 persen)

ataupun dalam tahap eksplorasi atau undeveloped wells (6 persen), umumnya

(23)

14

Tabel 4 Pencapaian Tahun 2010 – 2012 dan Perkiraan Tahun 2013 – 2014

Sasaran Indikator Satuan Baseline (2009) Target (2014) Perkembangan Pencapaian

Perkiraan Capaian 2010 2011 2012 2013 2014 Meningkatnya Kapasitas Energi Produksi

Minyak Bumi Ribu Barrel/Hari 949 1.010*) 945 902 860 840 870

Produksi Gas

Bumi Ribu Barrel setara Minyak/Hari 1.420 1.633 1.582 1.508 1.464 1.240 1.240

Kapasitas Pembangkit Tambahan (MW) 31.959 3.000 MW/ Tahun 2.024 5.902 4.179 4.097 3.807 Terpasang (Kumulatif MW) 33.983 39.885 44.064 48.161 51.968 Rasio Elektrifikasi Persen 65,79 80 67,15 72,95 76,56 79,30 81,4 Meningkatnya Pemanfaatan

Panas Bumi Kapasitas PLTP

Terpasang (Kumulatif MW) 1.179 5.000 1.189 1.226 1.341 1.346 1.403,6 Meningkatnya Konversi Penggunaan Gas Pembangunan Jaringan Gas Kota Kota/Sambungan Rumah (Kumulatif) 2/ 6.210 19/ 80.000 19.376 6/ 45.576 9/ 57.000 13/ 73.000 17/ 89.000 21/ Pembangunan

(24)

15

43. Peningkatan produksi selanjutnya dari lapangan yang sudah mature, yakni

produksi dari secondary/tertiary recovery, dibutuhkan teknologi baru dan mahal

(Enhanced Oil Recovery - EOR)1. Pemanfaatan teknologi EOR ini masih terbatas di

beberapa sumur, seperti teknologi steam-flooding (injeksi uap) di lapangan minyak

Duri (Chevron Pacific Indonesia – CPI), sejak tahun 19852, dan teknologi Water

Flooding (injeksi air) di lapangan minyak Intan, Vita, Aryani, Widuri, Krisna, dan Widuri West (CNOOC); lapangan NE Air Serdang, dan Guruh (JOB Pertamina-Talisman); lapangan Kaji-Semoga (Medco); lapangan Pungut, dan Balam South (CPI); Sabak (BOB); lapangan Kenali Asam, dan Tempino (PT Pertamina). Sedangkan penggunaan teknologi ini di sumur-sumur lainnya masih

dalam taraf feasibility study atau penelitian.

Gambar 8 Pemanfaatan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan

minyak (BP Migas, 2012)

1Enhanced Oil Recovery adalah metoda untuk menambah jumlah minyak yang bisa diambil

setelah melalui tahap primary dan secondary recovery. EOR biasa juga disebut tertiary

recovery yang prinsipnya adalah meng-introduce material lain yang dapat mengubah sifat

fisik batuan dan/atau fluida sehingga memudahkan minyak mengalir ke sumur-sumur produksi (BP Migas, 2012).

2Lapangan minyak Duri, yang terletak di Sumatera, ditemukan pada tahun 1941. Lapangan ini mulai berproduksi (primary) pada tahun 1958, dan mencapai puncaknya pada sekitar tahun 1964 dengan produksi mencapai 50 ribu per barel. Pada tahun 1975 pertama ali dilakukan tes uji coba EOR (Thermal Testing), dan diperlukan sekitar 10 tahun sebelum

Steam-Flooding EOR dapat diterapkan untuk meningkatkan produksi (secondary/tertiary).

Mulai tahun 1985, sumur-sumur di lapangan ini menerapkan Steam-Flooding EOR. Produksi awal EOR mencapai 30 ribu barel/hari dan mencapai puncaknya dengan tingkat produksi 296 ribu barel/hari (1994). Produksi minyak rata-rata dari lapangan Duri dengan EOR ini mencapai 200 ribu barel/hari.

©2012 BPMIGAS. All rights reserved. The information consist in this document is exclusively designed and prepared for BPMIGAS’  purposes only. No part of this publication can be reproduced, stored in an information access system, used in a spreadsheet, or distributed in any format or media – electronic, mechanical, photocopy, recording, or any other form – without the written permission from BPMIGAS

20 11 © B P M IG A S – A ll r ig ht s re se rv ed 8 8

(25)

16

44. Pemanfaatan teknologi EOR ini juga akan dilakukan di beberapa sumur

lainnya dalam tahun-tahun mendatang, seperti teknologi Water Flooding di

lapangan minyak Pedada dan Beruk (BOB); teknologi CO2 Flooding di lapangan

minyak Jati Barang dan N. Gerai (PT Pertamina), teknologi Chemical/surfactant

Injection di Minas (CPI), Kaji-Semoga (Medco), Tanjung dan Limau (PT Pertamina),

Zamrud (BOB), Handil (Total); teknologi Steam Flooding di lapangan N. Duri,

Batang, dan Kulin (CPI), serta teknologi Microbialdi lapangan minyak KS/TMP/LS (PT Pertamina). Gambar 8 memperlihatkan sebaran dan jenis teknologi EOR yang sudah/akan diterapkan di beberapa lapangan minyak.

45. Di samping diperlukan waktu yang lama untuk melakukan kelayakan teknologi EOR, ada beberapa tantangan yang diidentifikasi dapat menghambat

penggunaan tekbologi EOR guna melakukan produksi dari secondary/tertiary

recovery, antara lain: i) keterbatasan informasi subsurface disekitar sumur, terutama yang berkaitan dengan karakteristik reservoir dan pengelolaan reservoir; ii) ketersediaan teknologi EOR yang sesuai dengan kondisi sumur, sehingga

diperlukan uji coba teknologi (Research and Development – R&D) yang sesuai; iii)

diperlukan biaya yang besar, terutama untuk R&D, sehingga ada potensi

mengurangi cash flow secara signifikan; iv) keterbatasan sumber daya manusia

yang menguasai teknologi EOR; v) keterbatasan supplier chemical/steam dalam

jumlah banyak yang digunakan sebagi surfactant guna mengurangi kerekatan

antara minyak dan batuan; vi) keterbatasan aturan mengenai intellectual property

rights dari teknologi EOR yang dikembangkan,; dan vii) keterbatasan/kesulitan dalam memitigasi dampak negatif lingkungan, terutama apabila lapangan/sumur minyak berada di daerah dengan padat penduduk.

46. Guna mendorong peningkatan produksi minyak, langkah-langkah antisipasi

untuk melakukan tahapan Secondary/Tertiary Recovery, termasuk panerapan EOR,

perlu dirancang sejak persetujuan Plan of Development (POD) I untuk

kontrak-kontrak PSC yang baru. Insentif untuk secondary/tertiary recover ini

dapat diberikan melalui beberapa cara, antara lain adalah melalui mekanisme ‘split’ yang memungkinkan adanya penambahan bagian KKKS untuk

memperhitngkan tambahan pengeluaran untuk R&D dan Feasibility Study EOR

yang akan diterapkan. Di samping itu, insentif dapat juga diberikan melalui

mekanisme investment credit, dan Domestic Market Obligation (DMO).

Mekanisme-mekanisme ini dapat secara langsung dan jelas diatur di dalam kontrak kerja sama, PSC. Di samping itu, ada juga insentif yang secara tidak langsung di atur melalui PSC, antara lain adalah melalui peyempurnaan split namun tidak secara eksplisit dituliskan didalam PSC, dan/atau melalui kerjasama

antara KKKS dengan Pemerintah dalam melakukan pilot project bersama di dalam

penerapan EOR.

47. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Production Sharing Contract – PSC), baik

perusahaan swasta internasional/nasional maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN (Pertamina EP) menyumbang sekitar 14-15 persen dari produksi minyak bumi nasional. Sekitar 35-40 persen (350-400 ribu barel/hari) berasal dari lapangan minyak yang dikelola oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Sumatera, yakni lapangan Duri dan Minas (SLC - Sumatran Light Crude). Produksi minyak dari lapangan Duri dan Minas sudah mulai menurun.

(26)

17

48. Dalam 10-20 tahun mendatang, produksi minyak diperkirakan hanya mencapai 700 ribu barel/hari, dan tambahan produksi baru terbesar berasal dari lapangan Banyu Urip di Cepu (130 ribu barel/hari) Pertamina EP. Belum lengkapnya regulasi mengenai pengawasan dan enforcement dalam penyediaan energi karena belum diterapkannya punishment bagi KKS yang tidak memenuhi target POD lifting migas.

49. Kontrak unconventional gas – PSC (shale gas, coal bed methane/CBM) masih

sangat terbatas. Meskipun umlah cadangan unconventional gas sangat besar,

kegiatan eksplorasi gas tersebut masih terbatas dan belum menjadi perhatian perusahaan migas besar.

50. Potensi cadangan CBM mencapai 453 TCF (trillioncubic feet) dan shale gas

mencapai 574 TCF. Pilot project untuk eksplorasi CBM di lapangan gas Rambutan

(2004) di Provinsi Sumatera Selatan, dan saat ini telah ditandatangani beberapa kontrak eksplorasi CBM di Sumatera dan Kalimantan. Pemanfaatan CBM untuk pembangkit listrik telah dilakukan dalam skala kecil, sejak tahun 2011. Saat ini telah teridentifikasi beberapa cekungan (basin) dari shale gas, seperti di Sumatera (2), Jawa (3), Kalimantan (2) dan Papua (1). Insentif telah diberikan untuk

mempercepat kegiatan eksplorasi gas unconventional, antara lain: split yang

fleksibel tergantung dari kondisi lapangan, cost recovery 100%, dengan kontrak 30

tahun. Pengembangan lapangan CBM terkendala oleh rezim perizinan yang belum lengkap (hak eksploitasi dan penguasaan lapangan dikeluarkan oleh dua lembaga/ditjen berbeda). Pengembangan shale gas terkendala oleh belum

terakuisisinya teknologi hydraulic fracture/cracking oleh pelaku industri migas

dalam negeri, serta penanganan dampak lingkungan/water waste yang banyak.

1.3.2 Penganekaragaman Sumber Daya Energi Primer (Diversifikasi)

51. Harga energi belum dapat mendorong diversifikasi energi yang sehat. Harga BBM bersubsidi menyebabkan energi lainnya tidak kompetitif. Pemanfaatan energi terbarukan, terutama panas bumi, untuk pembangkit listrik masih terbatas. Hal ini disebabkan adanya konflik pemanfaatan lahan, di mana sebagian besar lapangan panas bumi terletak di hutan lindung/konservasi, serta harga produksi listrik yang relatif tinggi. Pemanfaatan gas juga terhambat, karena harga yang relatif rendah, sehingga pasokan gas tidak dapat trjamin dan infrastruktur gas tidak dapat terbangun.

1.3.2.1 Pemanfaatan Panas Bumi

52. Pengembangan lapangan panas bumi untuk pembangkit listrik terhambat. Potensi panas bumi untuk pembangkit listrik mencapai 29.000 MW, namun sampai saat ini (2013) baru 1.343,5 MW (4,7 persen) yang dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik. Untuk penyediaan pasokan energi panas bumi jangka menengah dan panjang perlu segera diaktifkan lapangan panas bumi yang telah ditetapkan sebanyak 58 Wilayah Kerja Pengusahaan (WKP). Dalam lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) hanya mencapai 157 MW. Lapangan panas bumi umumnya terletak di kawasan hutan lindung dan konservasi, sehingga pengembangannya memerlukan persiapan yang matang dan waktu yang lama. Konflik lahan seperti ini membutuhkan solusi, baik dalam hal mekanisme pengambilan keputusan maupun metoda/alat/analisa yang

(27)

18

menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Saat ini, insentif dan instrumen fiskal telah diterapkan, baik berupa penyiapan dana eksplorasi terbatas guna memitigasi sebagian resiko eksplorasi, maupun feed-in tarif, namun belum mampu mempercepat pengembangan lapangan secara sistematis. Untuk wilayah kerja pengusahaan (WKP) lapangan panas bumi yang telah diserahkan kepada pemerintah derah untuk dikembangkan, mekanisme lelang belum memberikan

kenyamanan (comfortibility) bagi pengembang panas bumi yang berkualitas untuk

ikut-serta dalam proses pelelangan WKP.

53. Harga jual listrik panas bumi berkisar di antara US$ 9-16 sen per kilo watt hour (kwh), relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual listrik dari batubara, sebesar US$ 7-9 sen/kwh yang menjadi basis bagi pembelian listrik dari

off-taker listrik nasional, yakni Perusahaan Lisrtik Negara (PLN). Feed-in tariff

untuk memasukkan faktor eksternalitas dari panas bumi, sebagai sumber energi bersih – mengurangi emisi gas rumah kaca — belum melembaga dan pendanaannya belum dimasukkan sebagai bagian dari APBN. Di samping itu, dengan aturan perundangan yang saat ini berlaku, harga jual listrik yang mejadi

basis dari kontrak jual-beli listrik (Power Purchase Agreement – PPA) dengan PLN

umumnya belum mendasarkan informasi yang akurat mengenai kualitas reservoir

panas bumi. Ketidakpastian ini menjadikan biaya feed-in tariff dari panas bumi

masih mengalami kesulitan untuk dibebankan ke dalam APBN. 1.3.2.2 Pemanfaatan LPG dan Gas Bumi

54. Produksi gas cukup stabil, namun penggunaannya di dalam negeri masih belum maksimal. Pemanfaatan gas untuk kebutuhan industri di dalam negeri, seperti untuk bahan baku di industri pupuk dan bahan bakar untuk pembangkit listrik dan industri manufaktur, cukup meningkat, namun masih belum dapat memenuhi kebutuhan gas secara nasional. Pada tahun 2013, pasokan gas ke dalam negeri mencapai 3.774 MMSCFD, atau sekitar 52,1 persen dari total produksi gas nasional. Pasokan gas untuk tiga pengguna strategis, pembangkit listrik, pupuk, dan industri manufaktur, masing-masing mencapai 912,42; 735,84; dan 1.345,05 BBTUD, namun angka ini jauh lebih rendah dari angka kebutuhan gas nasional

yang mencapai 7.937,09 BBTUD. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO)

serta harga gas yang relatif rendah, dibandingkan dengan BBM, telah memicu konsumsi gas secara signifikan. Gas sebagai bahan baku untuk industri pupuk sangat penting, karena masih langkanya bahan baku pangganti. Permintaan pupuk meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir ini, dan memicu peningkatan permintaan gas bumi. Laju pertumbuhan rata-rata permintaan gas dalam lima tahun terakhir untuk industri pupuk ini mencapai 12 persen per tahun. Demikian juga permintaan gas untuk sektor industri manufaktur, yang terus meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 8 persen per tahun. Walaupun pemanfaatan gas untuk pembangkit tenaga listrik dalam beberapa terakhir mengalami penurunan, dari 948,6 BBTUD (2012) dan 912,4 BBTUD (2013) karena adanya peralihan ke pembangkit dengan bahan bakar batubara (PLTU) namun dalam lima tahun kedepan permintaan gas akan kembali meningkat, seiring dengan laju pertumbuhan kebutuhan listrik nasional.

(28)

19

Sumber: Kementerian ESDM, 2012

Gambar 9 Perbandingan Penggunaan Minyak Tanah dan LPG

55. Di samping ketiga pengguna strategis, gas juga dialokasikan untuk sektor rumah tangga. Konversi BBM jenis minyak tanah ke LPG sudah berhasil menaikkan konsumsi LPG dan menurunkan konsumsi minyak tanah. Bila pada tahun 2007, persentase penggunaan minyak tanah (98,86 persen) lebih tinggi dari LPG (1,14 persen), hal ini berbanding terbalik pada tahun 2012 (12,80 persen vs 87,20 persen) sebagaimana Gambar 9. Saat ini konsumsi minyak tanah mencapai 1,11 juta KL, jauh menurun dibandingkan dengan konsumsi minyak tanah pada tahun 2010, sebesar 2,35 juta KL. Pada tahun 2013, konsumi LPG rumah tangga mencapai 4,40 juta ton, dengan laju pertumbuhan rata-rata 2 persen per tahun. Karena kapasitas kilang LPG nasional terbatas, kebutuhan LPG ini sebagian besar dipenuhi melalui impor.

56. Pasokan gas ke industri dalam negeri terkendala oleh keterbatasan kapasitas infrastruktur gas, yakni pipa transmisi dan distribusi gas, serta fasilitas/terminal regasifikasi. Saat ini pipa transmisi yang ada sepanjang 3.773,82 km, menghubungkan lapangan-lapangan gas di Sumatera ke pusat permintaan gas di Jawa Barat. Namun demikian, kapasitasnya masih terbatas, dan pusat-pusat permintaan gas di Jawa, sepanjang pantai utara Jawa Barat, Tengah, dan Timur, belum terhubung oleh pipa transmisi secara terpadu. Demikian juga jaringan gas distribusi baru dibangun di beberapa kota besar dengan kapasitas terbatas, dengan sebanyak 73 ribu sambungan rumah tangga di 13 kota. Fasilitas atau terminal penerima dan regasifikasi LNG masih belum terbangun sesuai degan kebutuhan,

sehingga pasokan gas dalam bentuk LNG masih terbatas. Floating

Storage/Receiving Unit (FSRU) yang terletak di Teluk Jakarta baru selesai dibangun (2012), dan saat ini baru dapat menerima pasokan LNG sebesar 3 MMTPA. 98.86% 79.66% 32.04% 22.44% 12.80% 1.14% 20.34% 67.96% 77.56% 87.20% 51.90% 48.10% 0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00% 120.00% 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun

Pe

rs

en

ta

se

Vo

lu

m

e

(%

)

(29)

20

Tabel 5 Pemanfaatan BBG untuk Sektor Transportasi

Wilayah Kendaraan Jumlah Umum

SPBG yang

dibutuhkan Alokasi Gas (MMSCFD)

Pembangunan Oleh Pemerintah sd 2014 Partisipasi Badan Usaha Membangun SPBG Mulai 2015 SPBG Jaringan Pipa (km) Konventer KIT Jabodetabek 77.983 68 23,1 9*) 109,2 20.500**) 59 Jawa Timur (Surabaya, Gresik, Sidoarjo) 10.774 13 10,2 4 - 9 Sumsel (Palembang) 3.101 5 2,2 4 - 1 Kaltim (Balikpapan) 5.775 4 1 4 - - Jawa Tengah (Semarang) 4.762 4 1 4 35,0 - Kepri (Batam) 2.976 4 1 4 31,8 - Total 105.371 98 38,5 29 176,0 69

57. Fasilitas penyaluran bahan bakar gas untuk sektor transportasi juga masih sangat terbatas, dan masih terpusat di beberapa kota besar, serta masih melayani sebagian kecil dari kendaraan umum. Sampai saat ini (2013), jumlah SPBG yang dibangun pemerintah baru mencapai 16 unit yang tersebar di di Jabodetabek, Palembang, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Balikpapan, dan yang dibangun Badan Usaha sebanyak 25 unit, juga tersebar di Jabodetabek, Surabaya, dan Pekanbaru, serta 22 km jaringan pipa gas, dan konverter kit 7.500 unit. Harga jual BBG rendah sehingga tidak menjamin pasokan gas dan infrastruktur gas (SPBG dan jaringan gas) yang diperlukan.

1.3.2.3 Pemanfaatan Batubara

58. Produksi batubara meningkat namun pemanfaatannya di dalam negeri masih terbatas dan menghadapi tantangan isu lingkungan. Produksi batubara meningkat cukup pesat sejalan dengan peningkatan permintaan domestik dan ekspor. Pada tahun 2013, produksi batubara mencapai 421 juta ton, meningkat dibandingkan dengan produksi pada tahun 2012, yang mencapai 386 juta ton. Namun sebagian besar produksi batubara, terutama yang berkalori tinggi (kandungan kalori diatas 7.100 kalori/gr), diserap oleh pasar ekspor. Pada tahun 2013, ekspor batubara mencapai 83 persen dari total produksi nasional. Jenis batubara yang di konsumsi di dalam negeri umumnya berkalori sedang (dengan kandungan 5100-6100 kalori/gr) dan rendah (lignite) dengan kandungan dibawah 5.100 kalori/gr, atau

disebut dengan low rank coal. Penggunaan batubara kalori rendah untuk

pembangkit listrik, pada tahun 2013 mencapai sekitar 59 juta ton, atau sekitar 14 persen dari total produksi batubara.

59. Jumlah cadangan batubara dengan jenis low rank coal mencapai 8,7 miliar

ton, atau sekitar 41 persen dari total cadangan batubara nasional. Pemanfaatan

batubara jenis ini memerlukan teknologi khusus melalui proses upgrading brown

coal, sehingga kadar airnya dapat diturunkan, dan pengangkutannya akan lebih

Gambar

Gambar 3 Konsumsi Energi Final Berdasarkan Pengguna Akhir atau  End-user  Consumers  (1990-2011)
Gambar 6 Produksi Energi Primer: Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Batubara  (1990-2012)
Gambar 15 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Sektor  Pengguna Sampai Tahun 2025 (Skenario DASAR)
Gambar 16 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Jenis Energi  Sampai Tahun 2025 (Skenario DASAR)
+7

Referensi

Dokumen terkait

&ntuk memindahkan 2nsertion %oint dapat menggunakan pasilitas yang ada di perintah o o dari menu 0dit. Anak panah atas, anak panah bawah %age &p %age #own atau

K EMENTERIAN Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan apresiasi kepada Badan Usaha Pertambangan dan Badan Usaha Jasa Pertambangan yang telah

(2) Yang dimaksud dengan Keadaan Kahar dalam Peijanjian ini, termasuk namun tidak terbatas pada pelaksanaan Undang-Undang, Peraturan- Peraturan atau

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, perbaikan pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas tentang passing atas bola voli mini melalui metode

➢ Membuat resume (CREATIVITY) dengan bimbingan guru tentang point-point penting yang muncul dalam kegiatan pembelajaran tentang materi yang baru dilakukan..

Maka dengan adanya penambahan teknologi baru yaitu Automatic Dependent Surveillance Broadcast (ADS-B) diharapkan dapat menunjang kegiatan operasional di Bandar Udara

Hasil penelitian tentang berat badan bayi baru lahir pada ibu hamil yang berpantang makanan di Desa Prajekan Kecamatan Prajekan Kabupaten Bondowoso menunjukkan bahwa sebagian

Pada tahap pertama, Hilmi menyampaikan, pihak Medco menargetkan untuk dapat membangun pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 20 megawatt (MW) dengan alokasi dana