1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 2995 K/Pdt/20121 terdapat dugaan wanprestasi (breach of contract) yang dilakukan oleh PT.
Telekomunikasi Sellular –selanjutnya Penulis singkat dengan PT. Telkomsel saja— terhadap satu dari jutaan pelanggan perusahaan telekomunikasi tersebut. Pelanggan tersebut adalah Prof. Dr. Farauk Muhhamad. Hampir dapat
dipastikan bahwa dugaan wanprestasi atau dugaan adanya breach of contract
yang mungkin sudah dilakukan PT. Telkomsel terhadap Perjanjiannya dengan
Prof. Dr. Farauk Muhhamad dimaksud muncul mengingat di mata si pihak
penggugat, dalam hal ini Prof. Dr. Farauk Muhhamad itu sendiri atau bisa jadi menurut kuasa hukumnya; tidak dilaksanakannya suatu hal tertentu di pihak
operator telekomunikasi PT. Telkomsel itu. Bisa jadi, ingkar janji (breach of
contract) itu mungkin dituduhkan karena ada hubungan hukum perjanjian bernama (nominate contract) antara si pihak operator telepon (PT. Telkomsel)
dan pelanggannya (Prof. Dr. Farauk Muhhamad). Bukan kah di dalam hukum
1
2
itu tidak mungkin ada ingkar janji apabila tidak ada hubungan hukum (perikatan)? Perlu dikemukakan di sini bahwa hubungan hukum yang disebut di dalam Ilmu Hukum sebagai perjanjian bernama (nominate contra ct) dimaksud
adalah hubungan hukum keperdataan sewa-menyewa. Hubungan hukum yang termasuk dalam kategori hubungan hukum atau perjanjian bernama
sewa-menyewa itu dalam kategori klasifikasi menurut ilmu hukum; berdasarkan kepentingan yang diatur disebut dengan hukum perdata (hukum privat2 Sebagai hubungan hukum perdata, maka kepentingan yang diurusi oleh hukum di sana,
di dalam hubungan hukum antara PT. Telkom dan pelanggannya tersebut adalah kepentingan perseorangan. Hukum mengatur hak dan kewajiban
perorangan, mengatur hak dan kewajiban kedua pihak itu saja. Dalam hal ini kepentingan yang diatur adalah kepentingan pihak yang satu terhadap kepentingan pihak yang lainnya secara timbal-balik (bilateral). Hubungan
hukum yang bertimbal-balik itu terjadi baik di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat dan Negara. Pelaksanaan atas hak-hak dan kewajiban yang tercipta dalam hubungan hukum seperti itu diserahkan kepada
kehendak (consent) masing-masing pihak atau merupakan urusan privat; alias hubungan hukum keperdataan; Negara tidak berkepentingan untuk masuk
mencampuri urusan itu, kecuali Negara juga merupakan pihak di dalam Perikatan tersebut.
2Mengenai cara menentukan klasifikasi hukum, ada yang menempuh cara penentuan klasifikasi
3
Untuk lebih mempertajam pengertian hubungan hukum privat tersebut, ada kalanya orang yang mempelajari dan mendalami hukum; akan membedakan antara hukum privat dengan hukum publik. Tujuan hukum publik adalah
melindungi kepentingan umum sedangkan tujuan hukum perdata adalah melindungi kepentingan perseorangan atau individu.3 Dalam kategori klasifikasi hubungan hukum seperti itu, maka hubungan hukum yang bersifat bilateral yaitu dalam konteks penulisan Skripsi ini hubungan hukum yang dilakukan antara pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr. Farauk Muhhamadsebagaimana dikemukakan di atas menjadi ―trigger point‖ di balik permasalahan hukum yang
diangkat ke dalam karya tulis ini haruslah dipahami sebagai hubungan hukum
yang tunduk kepada kaedah-kaedah hukum privat. Tujuan yang dilindungi hukum di dalam hubungan hukum antara pihak PT. Telkomseldengan pihak
Prof. Dr. Farauk Muhhamad adalah tujuan-tujuan perseorangan. Maksud
tujuan perseorangan yang dilindungi itu adalah tujuan yang murni merupakan tujuan yang telah disepakati bersama (mutual consent). Hal seperti itu dimungkinkan, sebab dalam hubungan hukum privat, segala sesuatu diserahkan
kepada kehendak antara kedua pihak tersebut (consensus in idem); dalam hal ini segala sesuatu yang telah disepakati oleh pihak atau subyek hukum berbentuk
badan PT. Telkomseldengan pihak atau subyek hukum manusia biologis, dalam hal ini Prof. Dr. Farauk Muhhamad berlaku sebagai undang-undang yang mengikat mereka itu (pacta sunt servanda), sama seperti mengikatnya
3
4
undang yang dibuat oleh Legislator atau Parliament yang tidak boleh diganggu gugat.
Hanya saja, disamping pacta sunt servanda yang bersifat privat di atas,
Hukum, dalam hal ini Undang-undang juga mengatur dan memberikan pedoman yang dapat dirujuk dalam pembuatan kesepakatan di antara para pihak,
pembatasan-pembatasan yang tidak boleh dilanggar dalam penyusunan kesepakatan itu disertai dengan ancaman sanksi yang diberikan oleh hakim atas ketidakpatuhan pihak-pihak. Penulis mendalilkan bahwa di Indonesia, hubungan
hukum seperti yang terjadi antara pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr
Farauk Muhhamad memedomani dan mematuhi batasan-batasan yang sudah
ditentukan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan beberapa ketentuan khusus mengenai perjanjian bernama yang disebut dengan sewa-menyewa telekomunikasi dapat ditransposisikan dengan hubungan hukum
Landlord and Tenant. Berbagai macam ketentuan yang menjadi pedoman hubungan hukum swa-menyewa di Indonesia diatur di dalam Buku Ke-III Bab Ketujuh, dimulai dari Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600. Pengaturan di
dalam undang-undang hasil Kodifikasi sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdatayang pernah berlaku di Kerajaan Belanda tempo duluitu meskipun
sudah banyak perkembangan di negara asalnya namun masih menjadi rujukan di Indonesia sebagai Buku Hukum. Bahkan ada masih banyak kalangan yang memandang Buku hukum (BW) itu sebagai Undang-undang dengan sistem
5
Tidak terlalu berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, di Inggris, terutama di Skotlandia yang tidak pernah dijajah Roma, asas-asas dan kaedah hukum yang melingkupi hubungan hukum sewa-menyewa sebagaimana yang
terjadi antara pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr. Farauk
Muhhamad itu sudah jauh berkembang meskipun nama aslinya masih tetap
dipakai untuk menandai pola hubungan hukum seperti itu. Nama asli yang masih dipertahankan itu adalah nama (nomenclature) tradisional ketika institusi hukum itu dipakai dalam zaman feodal.Institusi Landlord and Tenantmemang harus
diakui sebagai pola hubungan hukum feodal tidak feodalistis namun tidak tertinggal oleh tuntutan zaman. Sekali lagi perlu dikemukakan di sini bahwa
hubungan hukum sewa-menyewa yang sudah mengalami perkembangan dan yang menurut Penulis dapat dijadikan rujukan dalam memahami persoalan apakah ada wanprestasi yang murni bersifat keperdataan atau privat ataukah
justru hal dan sifat hukum yang lain di balik hubungan hukum para pihak yaitu
PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr. Farauk Muhhamad dikenal dengan
hubungan hukum antara Landlord dan Tenant.4
Itulah sebabnya, atau itulah alasan mengapa, dalam Skripsi ini, pola hubungan hukum sewa-menyewa dalam bidang Telekomunikasi, semisal yang
kebetulan menjadi fokus analisis penelitian dan penulisan karya tulis ini yaitu pola hubungan hukum antara pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr.
4Studi yang mendetail mengenai hal ini dapat dilihat dalam suatu apa yang di Indonesia disebut
6
Farauk Muhhamad itu dipotret dalam ―terang‖ (perspektif) pola hubungan
hukum Landlord dan Tenant. Pola hubungan hukum seperti itu, terutama pertanggungjawabannya, seperti telah dikemukakan di atas, untuk hal-hal
tertentu harus tunduk kepada hukum positif Indonesia yaitu Buku III KUHPerdata Indonesia sebagaimana telah dikemukakan di atas. Namun, dalam
perpektif Ilmu Hukum, tidak ada salahnya apabila metoda perbandingan hukum (comparative law) dipergunakan, dan pola hubungan hukum Landlord dan
Tenant itu kemudian dipakai oleh Penulis sebagai model.Atas dasar bangunan argumentasi dan perspektif perbandingan hukum yang dikonstruksikan Penulis di atas tersebut, tindakan yang dilakukan PT. Telkomseldapat dilihat atau
ditransposisikan sebagai tindakan Landlord.Tindakan atau perbuatan hukum itu bisa jaditelah menyebabkan pelanggaran atas hak-hak penyewa sebagai
tenant.Sebagai penyewa (Tenant),Prof. Dr. Farauk Muhhamad, merasa bahwa dia mengalami kerugian sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh si
Landlord.5Perasaan seperti itu adalah suatu persoalan hukum wanprestasi karena dalam hubungan hukum antara para pihak tersebut telah terdapat hak dan
kewajiban atau prestasi masing-masing yang sudah disepakati masing-masing pihak dan telah diatur dan dilindungi oleh perjanjian sewa-menyewa. Dari sisi
atau pihak Prof. Dr. Farauk Muhhamad, seharusnya operator sellular memperhatikan dan menghargai apa yang sudah menjadi hak dari dirinya sebagai pelanggan. Sebaliknya, dari sisi pihak Landlord (PT. Telkomsel)
5
7
seharusnya pihak pelanggan juga memperhatikan dan menghargai apa yang sudah menjadi hak pihaknya sebagai operator telekomunikasi.
Apabila suatu gambaran awal tentang persoalan di balik Putusan MARI
2995itu harus dikemukakan di sini, menurut pelanggan, dalam hubungan hukum itu sepertinya tidak ada pertanggungjawaban atas hak-hak pelanggan yang harus dilakukan oleh pihak operator sellular. Pelanggan Prof. Dr. Farauk
Muhhamad merasa bahwa ada ketidak-terbukaan informasi mengenai biaya
roaming internasional yang dikenakan PT. Telkomsel kepada dirinya oleh si operator selluar tersebut. Pelanggan juga merasa bahwa tindakan pemblokiran kartu hallo milik pelanggan yang dilakukan secara sepihak oleh operator sellular
menyebabkan pelanggan menduga Landlord menyimpangi formulir layanan pelanggan yang menjadi perjanjian mengangsur (instalments) biaya roaming
yang dikenakan kepada diri si pelanggan dan mengakibatkan kerugian harus
dialami oleh pelanggan. Adapun kerugian tersebut, menurut pelanggan, berbentuk kerugian materiil maupun kerugian immaterial6 Padahal, menurut pihak Tenant, jelas bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan memberikan jaminan yang jelas atas hak-hak konsumen. Hanya saja, di pihak lain, Landlord, dalam hal ini PT. Telkomsel tidak sependapat dengan apa yang
dikemukakan oleh si pihak Tenant tersebut. Terjadilah sengketa yang berujung kepada Putusan MARI 2995.
8
Perselisihan atau sengketa di antara kedua belah pihak sebagaimana mengenai aspek-aspek telah dikemukakan di atas adalah merupakan suatu bukti bahwa ada perkembangan dalam hubungan hukum sewa-menyewa yang dalam
Skripsi ini obyeknya adalah suatu kenikmatan atas benda atau hak untuk menikmati layanan bernama jasa atas penyelenggaraan jaringan telekomunikasi.
Dengan perkataan lain, di balik aspek-aspek perselisihan yang dapat dilihat di dalam Putusan MARI 2995 di atas, ada perkembangan hubungan hukum sewa-menyewa. Perkembangan hubungan hukum dimaksud adalah mulai dimasukkan
ke dalam obyek sewa-menyewa makna baru atas suatu kenikmatan. Obyek yang bernama kenikmatan itu sudah mencakup pula jasa dalam bidang telekomunikasi
(baca: bisa juga perkembangan dalam bidang teknologi informasi) telah berdampak besar bagi perekonomian nasional.
Khusus perkembangan hubungan hukum dalam bidang penyelenggaraan
jasa telekomunikasi ini (baca: perkembangan hubungan hukum
sewa-menyewa dengan obyek telekomunikasi ini), jasa telekomunikasi selluler di
Indonesia memiliki pasar yang sangat besar. Orang tidak lagi melihat jasa telekomunikasi sebagai semata-mata kacang goreng atau kacang rebus yang ―dijual‖ di pasar tradisional, namun orang melihat jasa telekomunikasi sudah
menjadi ibarat kacang dengan merek Garuda yang dipajang untuk ―dijual‖ di
etalase supermarket. Kenyataan normatif yang ada, dalam perspektif hubungan
9
yang semula memanifestasikan diri dalam perdagangan sehari-jari sebagai suatu jual-beli itu ternyata hakikatnya adalah sewa-menyewa.
Di Indonesia, pasar jasa telekomunikasi yang sangat besar dalam industri
jasa telekomunikasi tentu wajib juga diikuti dengan sistem perlindungan hukum. Tujuan perlindungan hukum itu adalah untuk melindungi jutaan warga masyarakat, dalam hal ini idividu per individu yang menggunakan jasa jaringan
telekomunikasi. Singkat kata perlindungan hukum wajib diberikan kepada individu-individu yang menggunakan atau yang mempunyai hak kenikmatan
atas jasa telekomunikasi. Seperti dikatakan Undang-undang, telekomunikasi Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, adil, merata, kepastian
hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.7 Undang-undang yang melingkupi hubungan hukum sewa-menyewa antara operator telekomunikasi sebagai Landlord dengan pengguna atau pelanggan jasa
telekomunikasi sebagai Tenant dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat.8 Perlindungan hukum bagi pelanggan jasa telekomunikasi selluler diatur melalui pengaturan tentang kewajiban pelaku
usaha, hak dan kewajiban pelanggan, dan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, serta pengawasan pemerintah terhadap pelaku usaha.
7Lihat Pasal 2 UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
10
Apabila dilihat dalam perspektif Undang-undang atau hukum perlindungan konsumen, maka dalam mengkonsumsi produk (barang/jasa), atau di dalam menikmati manfaat jasa telekomunikasi yang diberikan oleh Landlord
maka konsumen sebagai Tenant di satu sisi selalu menginginkan adanya kepuasan terhadap produk (baca: jasa telekomunikasi yang diberikan pihak
Landlord dalam bentuk kenikmatan atas penggunaan telekomunikasi oleh
si Tenant) tersebut. Sedangkan pelaku usaha sebagai Landlord di sisi yang lain cenderung menginginkan untuk memperoleh keuntungan ekonomis yang
sebesar-besarnya dari hubungan tersebut. Kenyataan yang muncul adalah, dalam perspektif hubungan hukum antara produsen dan konsumen, seringkali
konsumen merasa bahwa mereka tidak mendapatkan apa yang mereka harapkanya secara maksimal, akibatnya para konsumen atau dalam konteks ini yaitu para tenants dari hubungan hukum Landlord-Tenant Telekomunikasi
merasa dirugikan.9
Dalam penelitian ini, Penulis hendak menyampaikan bahwa hubungan
hukum yang terjadi antara penyelenggara operator telekomunikasi dan pelanggan10nya merupakan hubungan hukum sewa-menyewa yang sama dengan
9 Dikdik&Elisatris, Cyber Law “Aspek Hukum Teknologi Informasi”, PT Refika Aditama,
Bandung, 2005, hal., 155.
10
11
hubungan hukum Landlord dan Tenant.Penyelenggara operator seluler sebagai
landlord yang menyewakan jasa telekomunikasinya kepada pelangggan yang kemudian dalam hal ini sebagai penyewa (tenant) sehingga dalam hubungan
hukum ini melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.
Dalam KUHPerdata sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas telah dijelaskan dan diartikan bahwa sewa-menyewa adalah: ―Suatu perjanjian,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada
pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan
pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak tesebut belakangan itu disanggupi
pembayarannya‖. 11 Dari pengertian perjanjian sewa-menyewa menurut KUHPerdata tersebut di atas, dapat ditarik empat (4) unsur dari perjanjian sewa menyewa, yaitu: pertama , sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian atau suatu kontrak (a contra ct). Kedua, dalam sewa-menyewa ada unsur kenikmatan dari
suatu barang sebagai obyek perjanjian sewa-menyewa tersebut.Ketiga,terdapat unsur jangka waktu sewa dan keempat,ada unsur harga sewa dalam perjanjian
bernama sewa-menyewa.12
perjanjian sewa-menyewa itu adalah kegunaan atau manfaat, yang oleh KUHPerdata disebut dengan kenikmatan. Itulah sebabnya Penulis berpendapatbahwa pelanggan dapat juga disebut dengan penyewa. Selanjutnya, tidak ada dalam UU itu istilah tenant. Istilah tenant itu hanya dapat ditemukan apabila hubungan hukum sewa-menyewa itu ditransposisikan terhadap hubungan hukum Landlord and Tenant.
11
Lihat Pasal 1548 KUHPerdata.
12
Caesar Fortunus Wauran SH, Hubungan Hukum Sewa Menyewa Antara Penyelenggara
12
Sementara itu, dalam UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi ditentukan bahwa penyelenggara telekomunikasi 13 bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kelalaian dan kesalahannya yang menimbulkan
kerugian kepada pelanggannya. 14 Sebaliknya, apabila penyelenggara jasa telekomuniksai dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian yang terjadi itu
justru diakibatkan oleh kelalain pelanggan dan bukan karena kesalahan penyelenggara telekomunikasi maka penyelenggara telekomunikasi dapat dikecualikan dari pertanggungjawaban yang langsung (strict liability) tersebut.
Selain UU Telekomunikasi sebagaimana baru saja Penulis kemukakan di atas, telah diatur pula dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) mengenai tanggungjawab penyelenggara elektronik.15 Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 15 UU ITE yang dapat dibaca: ―setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik
secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya 16 dan bertanggung jawab terhadap
13
Dalam Pasal 1 huruf (c), Jasa Telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunasi. Kemudian huruf d, didefinisikan penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMD), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan dan keamanan negara.
14Dalam Pasal 1 huruf (e), Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah
yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak.
15Dalam UU ITE, definisi dari Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan sistem
elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat. Perbedaan istilah yang digunakan dalam UU Telekonikasi dan UU ITE namun tetap memberikan pengertian yang sama antara Penyelenggara Telekomunikasi dan Penyelenggala Sistem Elektronik yakni sama-sama merupakan pihak yang menyelenggarakan / menyediakan sistem sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
13
Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.17 Ketentuan sebagaimana dimaksud diatas tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik.18
Menyusul UU Telekomunikasi dan UU ITE, ada pula pengaruran dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Pasal 7) bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban untuk bertindak secara beritikad baik (in good faith)
dalam melakukan kegiatan usahanya.19 Perincian iktikad baik itu adalah bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.20 Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.21 Pelaku usaha, dalam hal ini Landlord, juga wajib menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang
berlaku.22 Selaku pelaku usaha, penyelenggara telekomunikasi sebagai Landlord
juga wajib untuk memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.23 Pelaku usaha
17Lihat pasal 15 ayat (2) UU ITE.
18Lihat pasal 15 ayat (3) UU ITE.
19Lihat pasal 7 huruf (a) UU Perlindungan Konsumen.
20Lihat pasal 7 huruf (b) UU Perlindungan Konsumen.
21Lihat pasal 7 huruf (c) UU Perlindungan Konsumen.
22
Lihat pasal 7 huruf (d) UU Perlindungan Konsumen.
14
wajib pula beriktikat baik dengan memanifestasikan hal itu melalui pemberian kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.24 Undang-undang mencantumkan penegasan yang dikehendaki hukum bahwa dalam beriktikad baik itu, pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.25
Selain mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha, UU Perlindungan
Konsumen juga mengatur mengenai tanggungjawab pelaku usaha dalam Pasal 19. Dikatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 26Ganti rugi sebagaimana dimaksud dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
24Lihat Pasal 7 huruf (e) UU Perlindungan Konsumen.
25
Lihat Pasal 7huruf (g) UU Perlindungan Konsumen. Dalam Ketentuan sebagaimana dikemukakan di atas itu, orang kemudian menghadapi kesulitan dalam memahami perjanjian sewa-menyewa konvensional yang dalam banyak hal membedakan secara tegas antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Dalam ketentuan di atas seolah-olah sudah tidak dapat dibedakan lagi antara apa yang dimaksud dengan wanprestasi dan perbuaan melawan hukum. Padahal, dalam sistem hukum acara di Indonesia, kesalahan untuk membedakan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dapat berakibat fatal bagi suatu gugatan yang diajukan ke pengadilan. Hakim dapat mengatakan bahwa gugatan obscure libel. Inilah nampaknya, satu soal yang menjadi isu dalam skripsi ini, yang dapat dilihat dari uraian-uraian awal yang diberikan oleh Penulis di atas, bahwa sepertinya pihak pelanggan merasa ada wanprestasi tetapi pihak penyelenggara telekomunikasi justru memandang bukan wanprestasi tetapi perbuatan melawan hukum.
15
perundangundangan yang berlaku.27 Pemberian ganti rugi tersebut dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.28 Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.29 Dan ketentuan sebagaimana dimaksud mengenai ganti kerugian tersebut tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi bukan akibat kesalahannya. 30 Berkaitan dengan pasal-pasal yang telahdisampaikan di atas, Penulis hendak mengatakan bahwa perlindungan
terhadap hak-hak konsumen maupun tanggungjawab pelaku usaha dalam menjalankan usahanya menjadi hal-hal yang sangat substansi sehingga telah
diakomodir dan diatur secara jelas dalam ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.Hanya saja, bagaimana secara keilmuan hal itu dikategorisasikan?Skripsi ini berusaha untuk menjelaskan mengenai hal itu
dalam perspektif hubungan hukum Landlord and Tenant.
Telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, maka pengawasannya dilakukan oleh negara
yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU
27Lihat pasal 19 angka (2) UU Perlindungan Konsumen.
28Lihat pasal 19 angka (3) UU Perlindungan Konsumen.
29
Lihat pasal 19 angka (4) UU Perlindungan Konsumen.
16
Telekomunikasi yang menyatakan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah.
Salah satu bentuk perlindungan Negara yang dipersonifikasi oleh Pemerintah melalui Menteri terhadap hak-hak konsumen adalah dengan
merumuskan aturan-aturan hukum yang berlaku (regulator) dalam bentuk Peraturan perundang-undangan.Di sinilah muncul lagi aspek lain dalam
hubungan hukum sewa-menyewa yang konvensional, yaitu tidak semata-mata urusan privat atau perseorangan sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas,
namun justru menjadi urusan Negara dan Pemerintah pula atau berdimensi hukum publik. Dalam hal ini, lahir undang-undang perlindungan konsumen sebagai bentuk campur tangan negara dalam melindungi hak-hak konsumen.
Dalam Pasal 1 Angka (1) UU Perlindungan Konsumen disebutkan:
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.Sementara itu Az Nasution menyebutkan pengertian hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam
hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk
(barang/jasa ) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam
kehidupan bermasyarakat”.31
Selanjutnya Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen di dalamnya mengandung perintah hukum bahwa apa yang disebut dengan hak-hak
31
17
konsumen itu diartikan sebagai hak konsumen, dalam hal ini harus dibaca dalam konteks Skripsi ini yaitu termasuk para Tenants dalam hubungan hukum Telekomunikasi dengan Landlord-nya untuk mendapatkan jaminan kenyamanan
dan keamanan mengkonsumsi barang dan/atau jasa. 32 Kemudian hak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa.33 Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan34 dan hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.35 Bahkan PBB dalam Resolusinya No. 39/248 tahun 1985 memberikan rumusan tentang hak-hak konsumen yang harus dilindungi oleh produsen/pengusaha. Hak-hak-hak
tersebut dirumuskan sebagai berikut: (1) Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya kesehatan dan keamanan; (2) Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial, ekonomi konsumen; (3) Tersedianya informasi yang
memadai bagi konsumen; (4) Pendidikan Konsumen; (5) Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.36
Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia saat ini, tidak hanya
pada soal cara memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks, yaitu mengenai kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, maupun konsumen sendiri
32
Lihat pasal 4 angka (1) UU Perlindungan Konsumen.
33Lihat pasal 4 angka (2) UU Perlindungan Konsumen.
34
Lihat pasal 4 angka (3) UU Perlindungan Konsumen.
35Lihat Pasal 4 angka (4) UU Perlindungan Konsumen.
36
18
tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen dengan memproduksi barang dan/atau jasa yang berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar
baku yang berlaku, serta harga yang sesuai (reasonable).
Pada kenyataannya, dalam suatu peristiwa hukum termasuk perbuatan
melawan hukum tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dan perlanggaran hukum tersebut mungkin saja dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum
(Onrechtmatigedaad) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: ―Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.‖
Berdasarkan definisi tersebut di atas, suatu perbuatan dapat dianggap perbuatan
melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsur yaitu:37 (1) Ada perbuatan melawan hukumnya; (2) Ada kesalahannya; (3) Ada kerugiannya; (4) Ada hubungan sebab akibat/kausalitas.
Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum dapat berupa kerugian materiil dan dapat berupa kerugian immaterial.38 Kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata diderita keuntungan yang
37
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur Bandung, Bandung, 1967, hal.,16.
38
19
diharapkan, sementara kerugian immaterial adalah kerugian berupa pengurangan kesenangan hidup.39
Menurut Johanes Gunawan, perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre
purchase) dan/atau pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post
purchase).40 Perlindungan hukum terhadap konsumen yang dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dapat dilakukan dengan cara antara lain: legislation yang dimaksud adalah
perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Sehingga dengan adanya
peraturan perundang tersebut diharapkan konsumen memperoleh perlindungan sebelum terjadinya transaksi, karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha.Voluntary Self
Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku usaha
diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya.41 Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi
(conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN)
39
Ibid.,hal.,266-267.
40
Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1999, hal.,3.
20
atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa, dan setelah itu menempuh jalur pengadilan lagi manakala para pihak tidak mendapatkan kepuasan.
Edmon Makarim dalam bukunya pengantar Hukum Telematika
mengemukakan beberapa prinsip tanggung jawab pelaku usaha dalam hukum yang dibedakan sebagai berikut: Pertama adalah prinsip tanggung jawab
berdasarkan unsur kesalahan (fault liablity/liability based on fault). Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintai pertanggung jawabannya
secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip ini tergambar dalam ketentuan Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata. Pasal 1365 KUH Perdata mengharuskan adanya 4 (empat) unsur pokok untuk dapat
dimintai pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan melawan hukum, yaitu adanya perbuatan, unsur kesalahan, kerugian yang diderita, dan hubungan kausalita antara kesalahan dan kerugian. Kedua, prinsip praduga untuk selalu
bertanggung jawab (presumptionof liability principle). Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat
membuktikan ia tidak bersalah (pembuktian terbalik). Pasal 22 UU Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa beban pembuktian (ada tidaknya kesalahan) berada pada pelaku usaha dalam perkara pidana pelanggaran Pasal 19 ayat (4),
Pasal 20, dan Pasal 21 UU Perlindungan Konsumen. Dalam UU Telekomunikasi maupun UU ITE juga menganut beban pembuktian yang sama, dimana pelaku
21
prinsip kedua dan hanya dikenal dalam lingkup transaksi yang sangat terbatas yang secara common sense dapat dibenarkan.Misalnya seseorang yang minum air di kali tanpa dimasak terlebih dahulu, apabila sakit tidak dapat menuntut
pabrik yang terletak disekitar sungai tersebut. Seharusnya ia memasak air itu terlebih dahulu.
Keempat adalah prinsip tanggung jawab mutlak (strict liablity).Prinsip
ini menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas dasar perilaku berbahaya yang merugikan (harmful conduct) tanpa mempersoalkan ada
tidaknya kesengajaan (intention) atau kelalaian (negligence).Prinsip ini negaskan hubungan kausalitas antara subyek yang bertanggung jawab dan kesalahan dibuatnya, dengan memperhatikan adanya force majeur sebagai faktor yang
dapat melepaskan diri dari tanggung jawab.Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlidungan konsumen diterapkan pada produsen yang memasarkan produk cacat sehingga dapat merugikan konsumen (product
liability).Dan yang kelima adalah prinsip tanggung jawab dengan pembatasan.Prinsip ini sering dipakai pelaku usaha untuk membatasi beban
tanggung jawab yang seharusnya ditanggung oleh mereka, yang umumnya dikenal dengan pencantuman klausla ekonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.42
Dengan demikian, dapat disimpulkan bentuk-bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha yang terdapat dalam UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai
42Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika , Badan Penerbit FH UI, Rajawali Pers,
22
berikut: Pertama, contractual liability yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau memanfaatkan
jasa yang diberikannya. Kedua Product liabilityyaitu tanggung jawab perdata secara langsung (strict liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami
konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkannya. Pertanggung jawaban ini diterapkan dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity
of contract) antara pelaku usaha dan konsumen. Dan yang ketiga adalah
Professional liability yang dimaksud dalam hal hubungan perjanjian merupakan
prestasi yang terukur sehingga merupakan perjanjian hasil, tanggung jawab
pelaku usaha didasarkan pada pertanggung jawaban profesional yang menggunakan tanggung jawab perdata atas perjanjian/kontrak.43
Mengenai aspek orisinalitas Skripsi ini, dapat dijelaskan dengan jalan
memeriksa studi dan penelitian ini diperbadingkan dengan studi dan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga. Berbeda dengan apa yang sebelumnya telah dilakukan oleh Firmin Wijaya, SH dalam skripsinya yang berjudul ”Penyelesaian
Sengketa Telekomunikasi Dalam Kasus Hilangnya Pulsa Telepon Seluler”.
Perbedaan dimaksud adalah bahw Firmin Wijaya lebih banyak menitikberatkan pada aspek penyelesaian sengketa sedangkan. Sedangkan Penulis dalam
penelitian ini, lebih fokus kepada mencari hakikat dari tanggungjawab dalam
43
23
hubungan hukum Landlord-Tenant operator seluler dengan pelanggannya.Di samping itu berbeda pula dengan penelitian Caesar Fortunus Wauran, SH dalam skripsinya yang berjudul “Hubungan Hukum Sewa Menyewa Antara
Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan Penyelenggara Jasa
Telekomunikasi”.Caesar dalam skripsinya itu lebih banyak membahas
mengenai hubungan hukum yang lebih abstrak, sedangkan dalam penelitian ini, Penulis hendak melihat apakah abstraksi tersebut diuji oleh lembaga peradilan melalui kasus-kasus yang menjadi satuan amatan penelitian ini.Berbeda pula
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Arinatasya Siahaan, SH dalam skripsinya yang berjudul “Beban Pembuktian Dalam Sengketa Telekomunikasi”.
Arinatasya lebih menitikberatkan pada aspek formal dari hubungan hukum sedangkan Penulis berfokus pada cara mempertahankan hak dan
kewajiban oleh operator seluler dengan lembaga peradilan. Selain itu berbeda juga dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Novita Putri, SH dalam
skripsinya yang berjudul “Unjust Enrich Interkoneksi Jaringan
Telekomunikasi Di Indonesia” Dalam skripsinya, Novita Putri lebih
memfokuskan pada dimensi unjust enrichment aspek unsur esensialia dalam
hubungan hukum operator telpon dan pelanggan, yakni aspek sewa/royalty.Sedangkan dalam penelitian Penulis ini lebih fokus kepada aspek
24
Berdasarkan latarbelakang yang telah penulis jelaskan di atas, penulis tertarik untuk membuat penelitian dengan judul: TANGGUNGJAWAB
OPERATOR SELULER SEBAGAI LANDLORD TERHADAP
KERUGIAN PELANGGAN SEBAGAI PENYEWA (TENANT).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang yang telah Penulis paparkan diatas, maka
rumusan masalah yang hendak Penulis jawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimana tanggungjawab hukum operator sellular sebagai Landlord, pihak
penyelenggara44 telekomunikasi dalam hubungan hukum dengan pelanggan sebagai penyewa (tenant)?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menegetahui (1) dapatkan operator telepon sellular disebut sebagai pihak (the party to contract) dalam hubungan hukum
sewa-menyewa atau hubungan hukum Landlord and Tenant?; (2) apakah rasionalisasi atau alasan pembenar yuridis bahwa operator telepon sellular itu sejatinya adalah pihak Landlord dalam hubungan hukum Landlord and Tenant
(3) Apa sajakah kewajiban atau tanggung jawab yang harus si operator telepon selluar sebagai Landlord itu pikul dalam suatu hubungan hukum sewa-menyewa
telekomunikasi?; (4) kapankah tanggung jawab operator telepon sellular sebagai pihak Landlord itu dimulai dan kapankah tanggung jawab seperti itu berakhir?
44UU Telekomunikasi, Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan penyelenggara telekomunikasi sebagai
25
(5) bagaimanakah cara hukum menyediakan jalan penyelesaian kepada pihak
Tenant untuk meminta pertanggungjawaban si pihak Landlord manakala si pihak Landlord itu diduga merugikan kepentingan atau hak-hak si pihak
Tenant?; (6) apakah sifat dari pertanggungjawaban pihak Landlordkepada pihak
tenant.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat secara substansi dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami secara hukum bagaimana tanggungjawab penyelenggara operator
seluler jika terjadi kerugian yang dialami oleh pelanggannya sebagai tenant.Sedangkan manfaat lainnya adalah dapat menambah dan melengkapi
kritik atas tulisan-tulisan/kajian-kajian masalah hukum yang sudah ada sebelumnya mengenai masalah atau isu hukum ini sebagai bahan referensi.
1.5. Metodologi Penelitian
Metode Penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian
hukum (legal research). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Bahan hukum primer dari penelitian ini adalah Putusan MA RI2995,UU No. 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU No. 8 tahun 1999
26
Unit amatan dalam penelitian ini adalah Putusan MARI 2995, UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Sedangkan unit analisis dalam penelitian ini adalah pertanggungjawaban operator sellular sebagai penyelenggara telekomunikasi
kepada pelanggannya yang mengalami kerugian.
Dalam Penilitian ini, langkah-langkah yang akan penulis lakukan adalah.Pertama,Penulis akanmendeskripsikan mengenai prinsip-prinsip hukum
umum hubungan antara penyewa dan penerima sewa selajutnya hubungan sewa-menyewa itu Penulis transposisisebagai hubungan hukum landlord dan tenant
dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Setelah itu,Penulis akanmenganalisis bagaimana aspek pertanggungjawaban pelaku usaha penyelenggara jasa telekomunikasi sebagai landlord terhadap pelanggan dalam hal ini sebagai