Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh:
Diah Wahyuningsih G0112032
Pembimbing :
Nugraha Arif Karyanta, S.Psi., M.Psi., Psikolog Pratista Arya Satwika, S.Psi., M.Psi., Psikolog
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
iv
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan pernah diterbitkan oleh orang lain, kecuali jika secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia untuk dicabut gelar kesarjanaan saya.
Surakarta, Juli 2016
v
(Ilmu tidaklah bisa diraih dengan badan yang bersantai-santai) (Abdurrahman bin Abu Hatim dalam Siyar A’lamin Nubala’)
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”
(HR. Ahmad, ath Thabrani ad Daruqudni)
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama
kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah
engkau berharap”
vi
Saya persembahkan skripsi ini untuk :
Ibu, Bapak dan Kakak yang senantiasa membersamai
langkahku dengan untaian doa, dukungan, semangat
dan
Almamater tercinta
vii
SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, karuniaNya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari, bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Hartono., M.Si. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Drs. Hardjono, M.Si., Psikolog selaku Kepala Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Nugraha Arif Karyanta, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Pratista Arya Satwika, S.Psi., M.Psi., Psikolog sebagai Pembimbing I dan Pembimbing II atas arahan, bimbingan, dukungan, masukan, nasihat, kesabaran serta diskusi-diskusi yang telah membuka pikiran selama proses pengerjaan skripsi ini. 4. Dra. Machmuroch, M.S., Psikolog dan Selly Astriana, S.Psi., M.A. atas
kesediaan waktu, masukan, saran, dan koreksi yang diberikan demi penyempurnaan skripsi ini.
5. Dra. Hj. E.P. Agustina, M.Pd selaku Kepala SMA Negeri 8 Surakarta yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian.
viii
8. Seluruh siswa kelas X dan XI SMA Negeri 8 Surakarta atas bantuannya yang telah bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini.
9. Bapak, Ibu, Kakak, dan seluruh keluarga besar atas cinta, kasih sayang, dan doa yang sangat berarti bagi penulis.
10. Sahabat-sahabat tercinta: Astri, Ayu Nur, Ayu Wulandari, Dara, Habibah, Inna, Andini, Krisanty, Mbak Melati, Kak Titis, Anny, Anindya, dan Adly atas ukuwah yang luar biasa, doa, dukungan, dan bantuan yang diberikan. 11. Jajaran dosen Psikologi UNS yang telah mendidik dan memberikan ilmu
yang berharga, serta seluruh staf Program Studi Psikologi UNS atas bantuan dan dukungan kepada penulis.
12. Teman-teman DIGNITY 2012 atas semangat, dukungan, kebersamaan, dan pengalaman berkesan selama empat tahun belajar di Psikologi UNS.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memperluas pengetahuan bagi kita semua.
Surakarta, 22 Juli 2016
ix G0112032
Program Studi Psikologi Fakultas Kedoketran Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRAK
Bullying di sekolah merupakan masalah serius yang berdampak negatif pada perkembangan sosioemosional siswa. Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja, berulang kali, dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban. Bullying dapat berbentuk fisik, verbal, dan psikologis.
Bullying dipengaruhi oleh berbagai variabel, diantaranya yaitu secure attachment
dengan orang tua dan kontrol diri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri terhadap bullying, hubungan antara
secure attachment dengan orang tua terhadap bullying, dan hubungan antara kontrol diri terhadap bullying pada siswa SMA Negeri 8 Surakarta.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X dan XI SMA Negeri 8 Surakarta. Sampel penelitian berjumlah 146 siswa yang diambil dengan teknik
stratified cluster random sampling. Instrumen yang digunakan adalah skala
bullying, skala secure attachment dengan orang tua, dan skala kontrol diri.
Hasil analisis regresi berganda menunjukkan nilai Fhitung sebesar 16,112 (>
Ftabel 3,06) dengan p = 0,000 (p < 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri terhadap bullying. Secara parsial, terdapat hubungan yang signifikan antara
secure attachment dengan orang tua terhadap bullying (rx1y = -0,182; p = 0,029 <
0,05), serta terdapat hubungan yang signifikan antara kontrol diri terhadap
bullying (rx2y = -0,320; p = 0,000 < 0,05). Nilai R2 sebesar 0,184 artinya secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri secara bersama-sama memberi sumbangan efektif sebesar 18,4% terhadap bullying.
x G0112032
Psychology Department-Faculty of Medicine Sebelas Maret University Surakarta
ABSTRACT
Bullying in schools is a serious problem that negatively affect the students socioemotional development. Bullying is aggressive behavior that committed intentionally, repeatedly, and there is an imbalance of power between the bully and the victim. Bullying can be physical, verbal, and psychological. Bullying is influenced by many variables, among which secure attachment with parents and self-control.
The purpose of this study was to determine the relationship between secure attachment with parents and self-control toward bullying, the relationship between secure attachment with parents toward bullying, and the relationship between self-control toward bullying on students of SMA Negeri 8 Surakarta.
The population of this research was students of class X and XI SMA Negeri 8 Surakarta. The sample was 146 students were taken by stratified cluster random sampling technique. This study used bullying scale, secure attachment with parents scale, and self-control scale.
Double regression analysis showed Fcount 16,112 (> Ftable 3,06) with p =
0,000 (p < 0,05). The result indicated that there was significant correlation between secure attachment with parents and self-control toward bullying. Partially, there is a significant relationship between secure attachment with parents toward bullying (rx1y = -0,182; p = 0,029 < 0,05), and there is a significant
relationship between self-control toward bullying (rx2y = -0,320; p = 0,000 > 0,05).
R-square value was 0,184, it means that secure attachment with parents and self-control simultaneously contribute 18,4% toward bullying.
xi
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERNYATAAN iv
HALAMAN MOTTO v
PERSEMBAHAN vi
KATA PENGANTAR vii
ABSTRAK ix
ABSTRACT x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvii
DAFTAR LAMPIRAN xviii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 10
C. Tujuan 10
D. Manfaat Penelitian 11
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Bullying 13
xii
B. Secure Attachment dengan Orang Tua 27
1. Pengertian Secure Attachment dengan Orang Tua 27 2. Aspek-Aspek Secure Attachment dengan Orang Tua 31
3. Tahap Perkembangan Attachment 33
4. Faktor-Faktor Secure Attachment dengan Orang Tua 35
C. Kontrol Diri 37
1. Pengertian Kontrol Diri 37
2. Aspek-Aspek Kontrol Diri 39
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri 40
D. Hubungan antarvariabel 41
1. Hubungan antara Secure Attachment denganOrang Tua dan
Kontrol Diri dengan Bullying 41
2. Hubungan antara Secure Attachment denganOrang Tua dengan
Bullying 45
3. Hubungan antara Kontrol Diri dengan Bullying 48
E. Kerangka Pemikiran 50
F. Hipotesis 50
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian 51
xiii
C. Populasi, Sampel, dan Sampling 53
1. Populasi 53
2. Sampel 53
3. Sampling 54
D. Metode Pengumpulan Data 55
1. Sumber Data 55
2. Metode Pengumpulan Data 55
E. Teknik Analisis Data 61
1. Uji Validitas 61
2. Uji Reliabilitas 61
3. Uji Hipotesis 62
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian 65
1. Orientasi Kancah Penelitian 65
2. Persiapan Penelitian 67
B. Pelaksanaan Penelitian 69
1. Penentuan Sampel Penelitian 69
2. Pelaksanaan Uji Coba 70
3. Uji Validitas dan Reliabilitas 71
xiv
1. Uji Asumsi Dasar 80
2. Uji Asumsi Klasik 83
3. Uji Hipotesis 86
4. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif 92
5. Analisis Deskriptif 93
6. Analisis Tambahan 97
D. Pembahasan 100
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 111
B. Saran 112
xv
1. Tabel 1. Blueprint Skala Bullying 57
2. Tabel 2. Blueprint Skala Secure Attachment denganOrang Tua 59
3. Tabel 3. Blueprint Skala Kontrol Diri 60
4. Tabel 3. Daftar Sampel Uji Coba dan Penelitian 69 5. Tabel 5. Distribusi Aitem Bullying Valid dan Gugur 72
6. Tabel 6. Reliabilitas Skala Bullying 72
7. Tabel 7. Distribusi Aitem Secure Attachment denganOrang Tua Valid
dan Gugur 73
8. Tabel 8. Reliabilitas Skala Secure Attachment denganOrang Tua 74 9. Tabel 9. Distribusi Aitem Kontrol Diri Valid dan Gugur 75 10. Tabel 10. Reliabilitas Skala Kontrol Diri 75 11. Tabel 11. Blueprint Skala Bullying untuk Penelitian dengan
Penomoran Baru 76
12. Tabel 12. Blueprint Skala Secure Attachment dengan Orang Tua
untuk Penelitian dengan Penomoran Baru 77
13. Tabel 13. Blueprint Skala Kontrol diriuntuk Penelitian dengan
Penomoran Baru 78
14. Tabel 14. Hasil Uji Normalitas 80
15. Tabel 15. Hasil Uji Linearitas antara Bullying dengan Secure
Attachment denganOrang Tua 82
xvi
20. Tabel 20. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi 88 21. Tabel 21. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda 88 22. Tabel 22. Hasil Uji Korelasi Parsial Secure Attachment denganOrang
Tua dengan Bullying 90
23. Tabel 23. Hasil Uji Korelasi Parsial Kontrol Diri dengan Bullying 91
24. Tabel 24. Deskriptif Data Empirik 93
25. Tabel 25. Deskriptif Data Penelitian 94
26. Tabel 26. Hasil Kategorisasi Responden berdasarkan Skor Skala
Bullying 95
27. Tabel 27. Hasil Kategorisasi Responden berdasarkan Skor Skala Secure
Attachment denganOrang Tua 96
28. Tabel 28. Hasil Kategorisasi Responden berdasarkan Skor Skala
Kontrol Diri 97
29. Tabel. 29 Deskripsi Subjek Penelitian 97
30. Tabel. 30 Deskripsi Bullying Berdasarkan Jenis Kelamin 99 31. Tabel. 31 Deskripsi Jenis Bullying yang dilakukan Siswa
Berdasarkan Jenis Kelamin 99
xvii
1. Gambar 1. Kerangka Pemikiran Hubungan antara Secure Attachment
xviii
1. Lampiran A. Skala Uji Coba Penelitian 121
2. Lampiran B. Distribusi Nilai Skala Uji Coba 132 3. Lampiran C. Uji Validitas Aitem dan Reliabilitas Skala 143
4. Lampiran D. Skala Penelitian 150
5. Lampiran E. Distribusi Nilai Skala Penelitian 161
6. Lampiran F. Analisis Data Penelitian 180
7. Lampiran G. Dokumentasi Penelitian 205
8. Lampiran H. Jadwal Penelitian 206
1
A. LATAR BELAKANG
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Namun sangat disayangkan bahwa sekolah yang merupakan lembaga pendidikan tempat mencerdaskan siswa-siswinya harus diwarnai oleh tindak kekerasan. Kekerasan di sekolah yang terjadi saat ini semakin kompleks dan memprihatinkan. Mulai dari tindakan tawuran pelajar, perselisihan pribadi, diskriminasi dan bullying.
Bullying merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi Indonesia saat ini. Berdasarkan data dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) tahun 2012 hingga 2015, dari 2 ribu anak di seluruh Indonesia, 87% mengalami kasus kekerasan termasuk bullying (Setyawan, 2015). Lebih lanjut, jumlah kasus
menilai bahwa Indonesia sudah masuk kategori "darurat bullying di sekolah”
(Herman, 2014).
Tidak hanya di Indonesia, bullying juga terjadi di berbagai belahan dunia. Smith et al. (2002) menjelaskan bahwa fenomena bullying juga terjadi di berbagai bangsa di seluruh budaya dan mempengaruhi anak-anak dan remaja di seluruh dunia. Hasil survei yang dilakukan Smith dan rekan-rekannya (1990) pada 21 negara yang ada di benua Amerika, Eropa, Afrika, Asia, dan Australia menunjukkan bahwa fenomena bullying merupakan masalah yang harus segera ditangani secara serius.
Bullying dapat terjadi pada semua tingkat, baik pada masa SD, SMP, maupun SMA. Prevalensitertingginya terjadi pada masa SMA. Masa-masa SMA adalah masa dimana seorang anak berada dalam fase remaja, yaitu dalam usia 15-18 tahun. Hurlock (1980) berpendapat bahwa remaja merupakan masa pemberontakan atau masa melepaskan diri dari pengaruh orang tua. Seorang remaja seringkali menampilkan berbagai gejolak emosi, menarik diri dari keluarga, serta mengalami permasalahan baik di lingkungan keluarga, sekolah atau di lingkungan pergaulannya. Oleh karena itu pada masa SMA inilah banyak terjadi kasus bullying.
Beberapa kejadian bullying yang menimpa remaja di Sekolah Menengah Atas sempat menghebohkan pemberitaan di media masa. Pada bulan Juli 2014 terjadi kasus bullying menimpa 15 siswa kelas X SMA Negeri 70 Jakarta oleh seniornya yang berjumlah 13 orang (Harahap, 2014). Kasus bullying yang terjadi bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa korban. Dua orang siswa kelas XI SMA Negeri 3 Setiabudi Jakarta meninggal dunia karena tindakan bullying yang dilakukan lima orang senior. Kejadian tersebut terjadi saat kegiatan ekstrakurikuler pencinta alam di Gunung Tangkuban Perahu, Jawa Barat yang dilaksanakan selama dua hari. Menurut keterangan pihak dokter, tubuh korban dipenuhi luka lebam (Fahmi, 2014; Irwanto, 2014). Kasus bullying yang terbaru terjadi awal bulan Mei 2016, beredar sebuah video bullying yang dilakukan oleh siswa SMA Negeri 3 Setiabudi Jakarta (Siswanto, 2016). Bullying tersebut menimpa siswa kelas X berinisial A (15) yang dilakukan oleh empat seniornya kelas XII. Korban dimaki-maki serta disiram dengan air botol kemasan dan abu rokok pada bagian kepala. Berbagai kejadian bullying tersebut hanya sebagian dari kasus bullying yang terjadi dan berhasil diungkap oleh media.
Bullying di sekolah pertama kali diteliti secara ilmiah oleh Dan Olweus di Skandinavia pada tahun 1970. Olweus (1999) menyatakan bahwa bullying
merupakan tindakan agresif yang disengaja, dilakukan berulang-ulang dan dari waktu ke waktu, serta terdapat ketidakseimbangan kekuatan. Ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban bullying bisa bersifat real maupun perasaan (Wiyani, 2012). Contoh yang bersifat real berupa ukuran badan, kekuatan fisik,
perasaan lebih superior dan kepandaian berbicara atau pandai bersilat lidah. Lebih lanjut, Wiyani (2012) menyatakan, adanya unsur ketidakseimbangan kekuatan inilah yang membedakan bullying dengan konflik lainnya. Pada konflik antara dua orang yang memiliki kekuatan sama, masing-masing memiliki kemampuan untuk menawarkan solusi dan berkompromi dalam menyelesaikan masalah. Pada kasus
bullying, ketidakseimbangan kekuatan menghalangi pelaku dan korban untuk menyelesaikan konflik mereka sendiri sehingga diperlukan kehadiran pihak ketiga.
Coloroso (2007) membagi bullying kedalam tiga bentuk, yaitu bullying yang bersifat fisik, verbal, dan psikologis/relasional. Bullying fisik seperti memukul, menampar, dan menendang. Bullying verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Bullying psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasi. Kategori bullying psikologis yang berupa pengucilan menempati peringkat pertama dengan persentase 41,2% untuk tingkat SMP dan 43,7% untuk tingkat SMA. Peringkat kedua ditempati oleh kekerasan verbal (mengejek) dan yang terakhir oleh kekerasan fisik (memukul) (Yayasan SEJIWA dalam Wiyani, 2012).
Penulis melakukan penggalian data awal penelitian dengan menyebarkan skala kepada 40 siswa, serta melakukan wawancara terhadap beberapa orang siswa dan guru Bimbingan Konseling (BK) untuk mengetahui fenomena bullying
di SMA Negeri 8 Surakarta. Hasil penyebaran skala dan wawancara tersebut menunjukkan fakta bahwa terjadi bullying di SMA Negeri 8 Surakarta. Bentuk
relasional/psikologis. Seorang siswa juga pernah menerima bullying berupa ejekan secara terus menerus hingga menangis dan mengadu kepada guru BK.
Ada tiga pihak yang terlibat dalam kejadian bullying, yaitu pelaku, korban, dan bystander. Pelaku merupakan siswa yang melakukan bullying terhadap siswa lain. Korban merupakan siswa yang menjadi target bullying. Bystander
merupakan orang yang menyaksikan kejadian bullying. Bystander dibagi kedalam tiga kategori, yaitu mendukung yang korban, hanya melihat dan tidak ikut terlibat, dan ikut bergabung melakukan bullying.
Bagi sebagian orang, bullying mungkin hanya dianggap sebagai sebuah candaan dan bersifat wajar. Padahal, bullying merupakan permasalahan yang dampaknya harus ditanggung oleh semua pihak, baik itu korban, pelaku, maupun
bystander. Penelitian terbaru dari Sigurdson et al., (2015) menunjukkan hasil bahwa keterlibatan dalam bullying pada masa remaja berhubungan dengan masalah kesehatan mental di kemudian hari dan berkemungkinan menghambat perkembangan menuju masa dewasa yang mandiri. Anak-anak yang terlibat dalam
bullying, baik menjadi korban maupun pelaku memiliki risiko lebih tinggi secara signifikan terhadap masalah psikosomatis dan psikososial daripada anak-anak yang tidak terlibat (Gini, 2008).
sebanyak 11 negara, menunjukkan hasil bahwa orang dewasa cenderung melakukan bunuh diri ketika mereka menjadi korban bullying di awal masa remaja (Copeland et al., 2013). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan bahwa sebanyak 40 % anak-anak di Indonesia meninggal karena bunuh diri akibat tidak kuat menahan bullying (Syah, 2015). Sedangkan bagi pelaku bullying gangguan sosial-psikologis yang sering muncul adalah depresi, kesepian, dan isolasi sosial (Crick & Grotpeter dalam Cowie & Jennifer, 2008). Bagi bystander, gangguan yang muncul adalah kecemasan dan penurunan kadar kortisol (Carney et al., 2010).
Berdasarkan penelitian di atas, maka disimpulkan bahwa bullying memang terjadi di sekolah dan berdampak negatif bagi perkembangan sosioemosional pelaku, korban, maupun bystander. Penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut namun lebih berfokus pada pelaku bullying.
Penyebab seseorang menjadi pelaku bullying tidak dapat dipisahkan dari faktor keluarga, terutama orang tua. Seorang anak memulai interaksi pertamanya dengan orang tua. Orang tua merupakan agen sosialisasi utama yang memainkan peran penting dalam perkembangan psikologis anak. Melalui sikap dan perilaku yang diperoleh dari orang tua, anak mendapatkan kesan pertama mengenai dunia.
Attachment (kelekatan) antara orang tua dan anak sangat diperlukan oleh seorang anak, bahkan ketika mereka telah tumbuh dewasa.
Istilah attachment mengacu pada hubungan emosional awal antara bayi dan pengasuh (biasanya satu atau kedua orang tua). Papalia (2013) menyatakan,
bayi dan pengasuh, yang masing-masing berkontribusi terhadap kualitas hubungan tersebut. Aattachment yang dibangun pada masa bayi tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan anak selanjutnya.
Ainswort (dalam Papalia, 2013) kemudian membagi attachment menjadi tiga bentuk, yaitu secure attachment (kelekatan aman), dan dua bentuk insecure attachment (kelekatan tidak aman) yaitu avoidant dan ambivalent attachment.
Setiap pola attachment memiliki konsekuensi masing-masing. Hubungan orang tua dan anak yang baik berfungsi sebagai secure base dimana anak dapat mengeksplorasi lingkungan mereka (Bowlby, 1988). Ketika pengasuh secara konsisten sensitif, mendukung, responsif, dan menerima perilaku anak mereka menghasilkan kualitas hubungan yang tinggi atau secure attachment (Weinfield et al., 1999).
konflik dengan keluarga maupun teman-temannya dibandingkan remaja dengan
insecure attachment.
Secure attachment terkait dengan sosialisasi masa depan yang positif, yaitu lebih rendah dalam permasalahan eksternal seperti agresi. Sebuah penelitian terbaru dilakukan oleh Bloodworth (2015) menunjukkan bahwa seorang remaja dengan secure attachment memiliki perilaku agresif yang lebih rendah. Siswa dengan secure attachment akan cenderung menjalin pertemanan yang baik dan menghindari dari terlibat perilaku agresi, termasuk bullying. Walden dan Beran (2010) menyatakan bahwa siswa dengan kualitas attachment yang rendah cenderung menjadi korban maupun pelaku bullying dibandingkan siswa dengan
secure attachment.
Terdapat faktor lain dari diri individu yang diduga mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan bullying, yaitu kontrol diri. Rendahnya kontrol diri dipandang sebagai bagian penting yang berhubungan dengan berbagai macam perilaku menyimpang, termasuk bullying.
Gottfredson dan Hirschi (dalam Gibson, 2010) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan blokade yang menjembatani individu dengan aktivitas yang menyimpang. Kontrol diri menunjukkan kemampuan untuk meninggalkan kesenangan jangka pendek yang berpotensi menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang negatif. Lebih lanjut, Gottfredson dan Hirsch (dalam Gibson, 2010) menyatakan bahwa kontrol diri yang rendah meningkatkan kemungkinan pada hampir semua jenis tindakan kejahatan dan penyimpangan yang membawa kesenangan, kepuasan, dan pemenuhan dalam jangka pendek. Seperti kenakalan remaja, tindakan kriminal, dan penyimpangan umum sepanjang kehidupan.
Kontrol diri yang baik sangat diperlukan oleh remaja. Individu dengan kontrol diri yang rendah akan bertindak tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang akibat dari perilaku mereka. Sedangkan kontrol diri yang tinggi akan mencegah individu untuk melakukan tindakan negatif, termasuk bullying
yang dapat berdampak negatif pada semua pihak.
Beberapa penelitian mencoba mengaitkan antara kontrol diri dan perilaku
bullying. Pada tahun 2013, Chui dan Chan melakukan penelitian terhadap 365 siswa di Macau yang berusia antara 10 dan 17 tahun. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa bullying berhubungan negatif dengan tingkat kontrol diri siswa (Chui & Chan, 2013). Penelitian terbaru dari Moon dan Alarid (2015) dengan partisipan 300 orang remaja mendapatkan hasil bahwa kontrol diri yang rendah kemungkinan besar akan terlibat bullying fisik dan psikologis. Dapat disimpulkan bahwa kontrol diri yang dimiliki seseorang berpengaruh terhadap
Berdasarkan berbagai pemaparan yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri memiliki peran terhadap terjadinya bullying. Secure attachment dengan orang tua dapat mempengaruhi perkembanagan perilaku agresi remaja, termasuk bullying. Begitu pula dengan kontol diri, remaja yang mampu mengendalikan diri dari berbagai emosi negatif dan impulsif menunjukkan bullying yang rendah. Oleh sebab itu, penulis melakukan penelitian dengan judul “Bullying Ditinjau dari Secure Attachment dengan Orang Tua dan Kontrol Diri pada Siswa SMA Negeri 8 Surakarta”
B. Rumusan Masalah Adapaun rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada hubungan antara secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri dengan bullying pada siswa SMA negeri 8 Surakarta?
2. Apakah ada hubungan antara secure attachment dengan orang tua dengan
bullying pada siswa SMA negeri 8 Surakarta?
3. Apakah ada hubungan antara kontrol diri dengan bullying pada siswa SMA negeri 8 Surakarta?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
2. Mengetahui hubungan antara secure attachment dengan orang tua dengan
bullying pada siswa SMA negeri 8 Surakarta.
3. Mengetahui hubungan antara kontrol diri dengan bullying pada siswa SMA negeri 8 Surakarta.
D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan di bidang psikologi, terutama psikologi pendidikan, perkembangan dan sosial yang berkaitan dengan bullying.
2. Hasil penelitian dapat dijadikan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya terutama yang berhubungan dengan secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri terhadap bullying.
b. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada orang tua akan pentingnya secure attachment terhadap anak dalam masa pertumbuhan mereka.
2. Penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada guru dan siswa mengenai pentingnya mengembangkan kemampuan kontrol diri siswa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat berperilaku sesuai norma-norma yang ada.
faktor bullying kepada pihak-pihak yang bergerak di bidang pencegahan
13 A. Bullying 1. Pengertian Bullying
Ada banyak definisi bullying dan beragam cara untuk memahaminya (Smith et al., 2002). Dalam bahasa Indonesia, bullying disebut "perisakan", yang berasal dari kata risak. Risak sendiri berarti mengusik, mengganggu secara terus menerus dengan berbagai olok-olokan (Depdiknas, 2008:1213). Namun, istilah tersebut masih belum familiar dan jarang digunakan masyarakat. Heinemann adalah orang yang pertama kali menulis tentang fenomena bullying (Smith et al., 2002). Heinemann menggunakan istilah “mobbning” yang mengacu pada kekerasan kelompok terhadap individu yang
menyimpang yang terjadi secara tiba-tiba dan mereda tiba-tiba. Sama halnya dengan istilah “mobbing” di Inggris dan Jerman, istilah ini sebatas untuk tindakan yang dilakukan oleh kelompok terhadap seseorang. Olweus (dalam Smith et al., 2002) pada awalnya juga menggunakan istilah tersebut, namun kemudian definisinya diperluas meliputi serangan antara satu orang terhadap orang lain secara sistematis dari anak yang lebih kuat terhadap yang lemah.
Olweus telah terlibat dalam penelitian dan intervensi dalam persoalan bullying
di kalangan anak-anak sekolah dan remaja (Flattau et.al., 2011). Olweus (1993) menyatakan bahwa bullying merupakan tindakan agresif yang disengaja, dilakukan berulang-ulang dan dari waktu ke waktu, dan terdapat ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuatan. Bullying merupakan tindakan negatif ketika seseorang dengan sengaja menimbulkan atau mencoba untuk melukai atau membuat pada pihak lain merasakan ketidaknyamanan. Tindakan negatif dapat dilakukan melalui kontak fisik, dengan kata-kata, atau dengan cara lain, seperti menunjukkan wajah meremehkan atau gerakan tidak senonoh, dan pengucilan disengaja dari kelompok (Olweus 1993). Dari definisi Olweus tersebut setidaknya bullying mencakup tiga kriteria sebagai berikut: (1) bullying adalah perilaku agresi yang disengaja untuk melukai korban; (2) bullying terjadi secara berulang-ulang; (3) terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara korban dan pelaku bullying, siswa yang menjadi korban mengalami kesulitan dalam membela drinya dan tidak berdaya melawan siswa yang melecehkan (dalam Harris & Petrie, 2003).
tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Adanya unsur ketidakseimbangan kekuatan merupakan pembeda antara bullying dengan konflik lainnya (Wiyani, 2012). Pada konflik antara dua orang yang memiliki kekuatan sama, masing-masing memiliki kemampuan untuk menawarkan solusi dan berkompromi untuk menyelesaikan masalah. Pada kasus bullying,
ketidakseimbangan kekuatan menhalangi pelaku dan korban untuk menyelesaikan konflik mereka sendiri sehingga diperlukan kehadiran pihak ketiga.
Dari berbagai definisi yang telah disampaikan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku yang ditujukan untuk menyakiti individu atau sekelompok individu dengan berbagai bentuk baik fisik, verbal ataupun psikologis yang dilakukan secara sengaja dan berulang kali oleh individu atau sekelompok individu yang lebih kuat.
2. Aspek-aspek bullying.
Coloroso (2007) membagi bullying menjadi tiga aspek, yaitu bullying
verbal, fisik, dan sosial. Aspek-aspek perilaku bullying tersebut diuraikan secara rinci sebagai berikut:
a. Bullying Verbal
Bullying verbal mudah dilakukan dihadapan teman sebaya tanpa terdeteksi. Dapat terjadi saat situasi keramaian dikelas sehingga dianggap hanya dialog yang biasa dan tidak ada teman sebaya yang simpatik. Terjadi secara cepat dan tidak menyakitkan pelaku, namun dapat sangat melukai target. Bullying verbal bisa berupa pemberian julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial), pernyataan-pernyataan berupa ajakan atau pelecehan seksual, perampasan uang saku atau barang-barang, telepon yang kasar, e-mail yang berisi intimidasi, surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, desas-desus keji yang tidak benar, serta gossip. Dari ketiga bentuk bullying
lainnya, bullying verbal adalah satu jenis penindasan yang paling mudah untuk dilakukan, merupakan awal menuju dua bentuk bullying
fisik dan sosial, serta merupakan langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih kejam dan merendahkan martabat.
b. Bullying Fisik
Bullying fisik merupakan bentuk bullying yang paling tampak dan dapat diidentifikasi dibandingkan kedua jenis bullying lain. Namun, meskipun mudah terdeteksi, kurang dari sepertiga kejadian bullying
milik korban. Semakin kuat dan semakin dewasa pelaku akan semakin berbahaya jenis bullying ini, bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk menciderai secara serius. Anak yang sering melakukan bullying
fisik merupakan penindas yang paling bermasalah diantara penindas lainnya, dan cenderung terlibat dalam tindakan kriminal yang lebih serius.
c. Bullying Psikologis/Relasional
Bullying psikologis merupakan bullying yang paling sulit untuk di deteksi dari luar. Merupakan pelemahan harga diri korban yang dilakukan secara sistematis melalui tindakan pengabaian, pengucilan, atau penghindaran. Penghindaran merupakan tindakan bullying
relasional yang paling kuat. Dapat dilakukan dengan cara menyebarkan gossip agar tidak ada yang mau berteman dengan korban. Bullying
relasional dapat digunakan untuk mengasingkan, menolak seseorang, atau sengaja merusak persahabatan. Dapat dilakukan melalui sikap yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, cibiran, tertawa mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar.
Sedangkan menurut Sullivan (2011), bentuk-bentuk bullying adalah sebagai berikut:
a. Bullying fisik (direct bullying)
mendorong, mencakar, meludahi, merusak barang korban atau bentuk lain dari penyerangan fisik.
b. Bullying psikologis (indirect bullying)
Merupakan serangan “dalam” yang ditujuka pada orang yang ditargetkan. Tujuannya adalah untuk merugikan individu yang diserang, akan tetapi karena tidak ada tanda fisik sering diasumsikan kurang berbahaya. Menurut Goldstein et al., (dalam Sullivan, 2011)
bullying psikologis bisa merusak sama seperti bullying fisik. Bullying
psikologis bisa berupa verbal dan non-verbal.
1) Bullying verbal : termasuk perilaku kasar melalui telepon, memeras uang, menggunakan bahasa berbau seksual atau kasar, komentar yang kejam, namecalling, mengirim pesan desas-desus yang jahat (seringkali anonim), ejekan, menyebarkan rumor palsu yang berbahaya.
2) Bullying non-verbal bisa bersifat direct maupun indirect.
a) Bullying non-verbal yang direct adalah menunjukkan gestur yang kasar dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan. b) Bullying non-verbal yang indirect adalah manipulasi hubungan
Penelitian ini menggunakan aspek-aspek bullying dari Coloroso (2007), yaitu bullying verbal, bullying fisik, dan bullying psikologis. Hal tersebut dikarenakan ketiga aspek menurut Coloroso (2007) lebih sesuai untuk mengukur variabel bullying dalam penelitian ini.
3. Faktor-Faktor Penyebab Bullying
Beane (2008), dalam bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan bullying, diantaranya yaitu:
1. Faktor Individu a. Biologis
Beberapa ahli percaya bahwa agresi adalah dasar karakteristik manusia yang melekat, tetapi faktor biologis tertentu dapat meningkatkan tingkat agresi diluar norma yang dapat diterima. Misalnya, tingginya tingkat testosteron endogen mendorong perilaku agresif pada pria yang dirancang untuk membahayakan orang lain, tetapi juga dapat membentuk perilaku antisosial. Misalnya, kadar testosteron telah ditemukan pada beberapa anak prasekolah pelaku bullying.
c. Tempramen
Temperamen anak adalah faktor yang signifikan terhadap
bullying. Tempramen dapat didefinisikan sebagai campuran unsur-unsur atau kualitas yang membentuk kepribadian seorang individu. Watak secara permanen mempengaruhi cara seseorang bertindak, merasa, dan berpikir. Misalnya, seorang anak dengan temperamen "pemarah", yang aktif dan impulsive lebih cenderung menjadi agresif dibandingkan anak yang memiliki temperamen tenang.
2. Faktor sosial
Manusia adalah makhluk sosial yang menjalin relasi dengan orang lain, maka dari itu kita dapat mempengaruhi orang lain dan dipengaruhi oleh orang lain. Seseorang dapat memperoleh dampak positif maupun negatif mulai dari orang tua, teman-teman, media, maupun dari guru dan pihak lain tempat mereka berinteraksi.
a. Media
menyajikan konflik. Banyak acara-acara yang secara terus menerus mnunjukkan ejekan, komentar kejam, dan penolakan. Jumlah kekerasan di televisi semakin meningkat, bahkan dalam film kartun. Anak-anak pada usia yang sangat muda melihat agresi dan kekerasan terhadap orang lain sebagai perilaku yang dapat diterima. Efek lainnya dari kekerasan di televisi adalah anak menjadi takut, khawatir, curiga, dan agresif.
Selain itu, video game dan siaran olahraga yang sering di tayangkan oleh media juga menjadi contoh yang mengajarkan kekerasan pada anak. Beberapa bentuk kekerasan oleh raga tim diantaranya seperti ice hockey, sepak bola, dan rugby. Seringkali media memperlihatkan pemain yang melakukan kekerasan, kontroversial dan agresif.
b. Prasangka
Anak-anak berprasangka dapat memutuskan mereka tidak menyukai siswa kulit hitam, siswa yang kelebihan berat badan, siswa penyandang cacat, siswa yang kesulitan dalam berbahasa, kemudian akan menggoda, melecehkan, dan menolak mereka. Mereka telah membentuk sikap tanpa mengetahui fakta-fakta. Menurut Sanford (dalam Beane, 2008), anak-anak kulit hitam lebih cenderung disalahkan oleh rekan-rekan dan orang dewasa untuk kesalahan daripada anak-anak kulit putih di kelas yang sama.
c. Kecemburuan
Kecemburuan merupakan pendorong yang kuat untuk bullying, terutama di kalangan anak-anak perempuan. Teman perempuan lainnya bisa menjadi sangat cemburu dan mencoba untuk menyakiti anak perempuan yang populer. Anak-anak sering menyerang orang-orang yang dianggap lebih baik daripada rata-rata: terlalu menarik, terlalu kaya, terlalu populer, dan sebagainya. Terkadang guru tidak sengaja mendatangkan kecemburuan dengan memuji beberapa anak lebih dari yang lain. Anak-anak sangat sensitif terhadap tindakan pilih kasih ini akan menjadi cemburu.
d. Lingkungan Keluarga
1) Kurangnya kehangatan dan keterlibatan.
2) Kegagalan untuk menetapkan batas yang jelas untuk perilaku.
3) Aresif terhadap teman sebaya, saudara, dan orang dewasa. 4) Terlalu sedikit cinta dan perhatian, serta terlalu banyak
kebebasan.
5) Penggunaan tenaga, terlalu tegas pada anak, metode membesarkan dengan hukuman fisik dan luapan emosi kekerasan.
Apakah nantinya mereka ingin menjadi seperti orangtuanya atau tidak, orang tua berperan sebagai model pertama anak-anak mereka. Orang tua yang mengekspresikan kemarahan secara fisik mungkin akan menghasilkan anak-anak yang cenderung mengekspresikan kemarahan secara fisik.
e. Kelompok Pertemanan
begitu bersemangat untuk bergabung di dalam kelompok bahkan ketika mereka tidak sama seperti orang yang ada di dalam.
Kebutuhan mereka untuk merasa bersatu dengan rekan-rekan adalah motif yang kuat. Meskipun anggota sebagai individu mungkin tidak ingin menyakiti orang lain, mereka merasa bahwa mereka harus agar tetap dalam kelompok. Imbalan yang mereka dapatkan adalah keamanan, kekuasaan, dan penghargaan telah menjadi bagian kelompok.
f. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat tempat tinggal seseorang juga sangat mempengaruhi. Anak-anak yang dikelilingi oleh orang-orang dengan moral yang baik akan kecil kemungkinannya untuk menjadi pelaku bullying.
g. Lingkungan Sekolah
Stephenson, Smith, dan Elliot (dalam Beane, 2008) menytakan beberapa faktor dari lingkungn sekolah antara lain: 1) Moral staf sekolah yang rendah.
2) Standar perilaku yang tidak jelas. 3) Metode disiplin yang tidak konsisten.
4) Pengawasan yang lemah (baik di taman bermain, ruang, toilet, kafetaria).
7) Tidak bertoleransi terhadap perbedaan.
8) Guru menunjuk dan berteriak kepada siswanya.
9) Tidak ada prosedur yang jelas untuk pelaporan yang berhubungan dengan tindakan bullying.
10)Bullying diabaikan oleh pihak sekolah.
11)Pihak sekolah yang mempermalukan siswa di depan teman-teman.
Iklim sosial sekolah dan kualitas pengawasan yang disediakan di sekolah merupakan hal yang penting. Iklim sekolah yang kurang kehangatan dan penerimaan terhadap semua siswa lebih mungkin untuk memiliki masalah bullying dan masalah disiplin. Bullying sering terjadi di tempat yang rendah akan pengawasan dari orang dewasa. Kualitas pengawasan di sekolah sangat penting. Sekolah dengan tingkat pengawasan rendah memiliki pengalaman bullying lebih banyak. Tempat-tempat lain di luar belajar resmi juga memungkinkan terjadinya bullying. Misalnya, waktu yang dihabiskan di taman bermain, lorong-lorong, halte bus, kafetaria, dan kamar mandi. Siswa relatif bebas untuk berperilaku seperti yang mereka inginkan.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
lingkungan keluarga, kelompok pertemanan, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah.
4. Dampak Bullying
Bullying merupakan permasalahan yang dampaknya harus ditanggung oleh semua pihak. Baik itu korban, pelaku, maupun bystander.
a. Dampak terhadap Pelaku
Bagi pelaku bullying gangguan sosial-psikologis yang sering muncul adalah depresi, kesepian, dan isolasi sosial (Crick & Grotpeter dalam Cowie & Jennifer, 2008).
b. Dampak terhadap Korban
Dalam meta-analisis yang dilakukan oleh Hawker dan Bulton (dalam Cowie & Jennifer, 2008) menemukan hasil bahwa menjadi korban bullying sangat berkaitan dengan depresi, kesepian, dan
c. Dampak sebagai pelaku maupun korban
Anak-anak yang terlibat dalam bullying baik menjadi korban maupun pelaku memiliki risiko lebih tinggi secara signifikan terhadap masalah psikosomatis dan psikososial daripada anak-anak yang tidak terlibat (Gini, 2008). Selanjutnya, penelitian dari Ozdemir & Stattin (2011) menunjukkan bahwa yang berperan sebagai pelaku sekaligus korban maupun korban mengalami permasalahan internal seperti tingkat gejala depresi yang lebih tinggi, rendah diri, dan berperilaku menyakiti diri sendiri.
d. Dampak terhadap bystander
Bagi bystander, gangguan yang muncul adalah kecemasan dan penurunan kadar kortisol (Carney et al., 2010).
B. Secure Attachment dengan Orang tua
1. Pengertian Secure Attachment dengan Orang Tua
Istilah attachment atau kelekatan antara orang tua dengan anak pertama kali diperkenalkan oleh John Bowlby pada tahun 1958.
Bayi mengalami attachment dengan orang tua di awal kehidupannya. Akan tetapi kualitas attachment tersebut berbeda-beda sesuai tingkat respon orang tua terhadap kebutuhan mereka. Ainsworth (dalam Santrock, 2012) mendeskripsikan bayi memiliki secure attachment atau insecure attachment (dalam tiga jenis insecure attachment) terhadap pengasuh:
a. Secure attachment (kelekatan aman)
Bayi memanfaatkan pengasuh sebagai basis aman untuk mengeksplorasi lingkungannya. Ketika pengasuhnya hadir, bayi dengan secure attachment mengeksplorasi lingkungan. Ketika pengasuh meninggalkannya, bayi dengan secure attachment akan sedikit protes. Ketika pengasuh hadir kembali maka bayi ini akan menjalin interaksi yang positif lain dengannya, seperti dengan tersenyum atau memanjat ke pangkuannya.
b. Insecure avoidant attachment (kelekatan tidak aman dan menghindar) Bayi memperlihatkan kelekatan tidak aman melalui tindakan menghindar dari pengasuh. Dalam situasi asing, bayi ini tidak banyak berinteraksi dengan pengasuh, tidak merasa tertekan ketika pengasuh meninggalkannya. Bayi biasanya tidak menjalin kontak kembali ketika pegasuh hadir kembali di hadapannya, dan bahkan mungkin membelakangi pengasuh tersebut.
asing, bayi-bayi ini sering kali bersandar dengan cemas ke pengasuhnya dan tidak mengeksplorasi ruangan. Ketika pengasuh pergi, mereka sering kali menangis dengan keras. Ketika pengasuh kembali untuk menenangkannya, bayi itu justru mendorongnya pergi. d. Insecure disorganized attachment (kelekatan tidak aman dan tidak
teratur)
Memiliki karakteristik tidak teratur dan disorientasi. Dalam situasi asing, bayi–bayi ini mungkin terlihat linglung, bingung, dan takut. Untuk dapat diklarifikasikan sebagai bayi tidak teratur harus terdapat pola menghindar atau menolak yang kuat atau memperlihatkan perilaku spesifik tertentu, seperti merasa sangat kuat ketika berada di dekat pengasuhannya.
Attachment diperlukan seseorang sepanjang masa kehidupannya, bahkan saat remaja yang ditandai dengan mencari otonomi, attachment
dengan orang tua tetap menjadi sesuatu yang penting (Santrock, 2014). Menurut Morrison (2002) secure attachment adalah keterikatan yang aman berupa kasih sayang yang diberikan orangtua pada anak secara konsisten dan responsif sehingga menumbuhkan rasa aman dan kasih sayang. Secure attachment tersebut menjadi landasan penting bagi perkembangan selanjutnya di masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa (Santrock, 2014).
menciptakan secure attachment. Kemudian anak menjadikan orang tua sebagai tempat bergantung dan mereka menggunakan strategi yang konsisten untuk memperoleh pengasuhan.
Menurut Ainsworth dan Bowlby, pengalaman awal dengan pengasuh akan membentuk model kerja internal (internal working model) atau seperangkat harapan mengenai keberadaan figur kelekatan dan kemungkinan mereka memberikan dukungan selama masa-masa tertekan (Berk, 2012). Selama ibu memberikan respon yang sama, model kerja tersebut bertahan. Model kerja internal ini kemudian menjadi bagian penting dari kepribadian, berfungsi sebagai panduan bagi semua hubungan dekat di masa depan.
Model kerja bayi tentang kelekatan ini berhubungan dengan basic trust Erickson (Papalia, 2013). Elemen kritis dalam mengembangkan trust
adalah perawatan yang sensitif, responsif, dan konsisten. Secure attachment mencerminkan rasa percaya dan insecure attachment
Kenyamanan fisik dan perawatan yang peka merupakan hal yang esensial untuk mencapai kepercayaan dasar pada bayi (Santrock, 2012). Selanjutnya, kepercayaan pada masa bayi merupakan basis seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat yang baik dan menyenangkan untuk dihuni (Santrock, 2012). Anak-anak dengan orang tua yang sensitif dan responsif tersebut mengembangkan secure attachment dengan model kerja yang positif dari diri mereka sendiri dan orang lain. Anak-anak dengan
secure attachment mampu berpisah dari sosok attachment dengan keyakinan dan memperoleh bantuan dan kenyamanan saat mereka merasa terancam. Hubungan orang tua dengan anak yang gagal memberikan
secure attachment memiliki efek yang merugikan pada cara anak melihat diri mereka dan menanggapi orang lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secure attachment
dengan orang tua adalah keterikatan yang aman berupa kasih sayang yang diberikan orangtua pada anak secara konsisten dan responsif sehingga menumbuhkan rasa aman dan kasih sayang.
2. Aspek-aspek Secure Attachment dengan Orang Tua
Armsden dan Greenberg (1987) menyatakan bahwa secure attachment anak kepada orang tua memiliki tiga aspek, yaitu:
a. Kepercayaan (trust)
Secure attachment dengan orang tua akan membuat anak merasa percaya bahwa orang tua akan selalu ada apabila dibutuhkan.
b. Komunikasi (communication)
Komunikasi (communication) merujuk pada kualitas dan tingkat komunikasi verbal yang dilakukan antara orang tua dan anak. Orang tua yang menerapkan secure attachment akan menunjukkan sikap hangat dan sensitif, menggunakan gaya komunikasi yang santai dan fleksibel, sehingga membuat anak merasa nyaman dalam menerima dan memperbaiki masalah emosional yang dihadapinya.
c. Keterasingan (alienation)
Keterasingan (alienation) menggambarkan perasaan disingkan, kemarahan dan isolasi interpersonal. Orang tua dengan secure attachment pada anak tidak akan melakukan pengasingan terhadap anak, mereka akan menerima keadaan anak sehingga anak merasa dicintai, dihargai, dan diperhatikan.
3. Tahap Perkembangan Attachment
Menurut Bowlby (dalam Berk, 2012), hubungan antara bayi dan orang tua bermula sebagai rangkaian sinyal bawaan yang memanggil orang dewasa untuk mendekat pada bayi. Seiring waktu, ikatan kasih sayang sejati berkembang, dengan dukungan kemampuan kognitif dan emosional baru serta riwayat pengasuhan yang hangat dan peka.
Attachment berkembang dalam empat tahap (Berk, 2012), yaitu: 1. Fase Prakemelekatan
Fase prakemelekatan dimulai sejak bayi lahir hingga usia 6 minggu. Bayi memiliki kemampuan bawaan untuk memegang, tersenyum, menangis, dan menatap mata orang dewasa. Melalui cara tersebut bayi melakukan kontak dengan orang lain yang menghibur mereka. Bayi di usia ini mengenali bau dan suara ibu mereka. Akan tetapi bayi belum mengalami kelekatan dengan ibu karena masih tidak masalah apabila ditinggal bersama orang dewasa yang tidak dikenal.
2. Fase Pembentukan Kelekatan
Fase pembentukan kelekatan terjadi pada usia 6 minggu hingga 6-8 bulan. Bayi memberikan respon yang berbeda pada seorang pengasuh akrab dibandingkan orang asing. Ketika bayi belajar bahwa tindakan mereka mempengaruhi perilaku orang-orang di sekitar mereka, mereka mulai mengembangkan rasa percaya (sense of trust). Sense of trust
sinyal. Akan tetapi mereka masih belum memprotes saat terpisah dari pengasuhnya.
3. Fase Kelekatan Tegas
Fase kelekatan tegas terjadi pada usia 6 - 8 bulan hingga 18 bulan - 2 tahun. Pada fase ini, kelekatan pada pengasuh akrab sudah terlihat. Bayi memperlihatkan kecemasan untuk berpisah (separation anxiety), marah apabila ditinggalkan oleh pengasuh terpercaya mereka. Selain memprotes kepergian orang tua mereka, bayi usia lebih tua dan balita berupaya keras agar orang tua mereka tidak pergi. Mereka mendekati, mengikuti, dan naik ke pangkuan orang tua saat orang lain hadir. Mereka menggunakan pengasuh akrabnya sebagai titik tolak aman bagi eksplorasi.
4. Pembentukan Hubungan Timbal-Balik
Pembentukan hubungan timbal-balik terjadi pada usia 18 bulan – 2 tahun dan seterusnya. Di akhir tahun kedua, terjadi pertumbuhan pesat dalam representasi dan bahasa. Hal tersebut membantu balita memahami sejumlah faktor yang mempengaruhi datang dan perginya orang tua serta memprediksikan kedatangannya kembali. Akibatnya, protes pada keterpisahan menjadi berkurang. Dalam fase ini, anak bernegosiasi dengan pengasuhnya dengan menggunakan permintaan dan rayuan untuk mengubah tujuannya.
memberikan bayi basis aman dimana eksplorasi dapat terjadi. Fungsi kedua adalah untuk memberikan pedoman bagi internal working model
atau model kerja internal. Tanggapan yang sensitif dan konsisten dari pengasuh membentuk suatu hubungan dimana bayi merasa aman dan percaya diri untuk menjelajahi dunia. Pengalaman-pengalaman awal membentuk pola dalam pikiran bayi dan diinternalisasi sebagai model kerja internal tersebut. Pengalaman mendapatkan perlindungan, kenyamanan dan kesempatan untuk melakukan eksplorasi akan membentuk model kerja internal sebagai diri yang independen, dicintai, layak, dan mandiri. Sebaliknya, ketika bayi memiliki pengalaman penolakan dari kebutuhan akan kenyamanan dan eksplorasi, bayi kemungkinan mengembangkan model kerja internal diri sebagai kurang layak, kurang dicintai, dan kurang mandiri. Dengan cara ini, eksplorasi yang dilakukan sehari-hari oleh anak memiliki fungsi pengujian hipotesis tentang dirinya dan dunianya. Anak belajar menghubungkan masa lalu, sekarang, dan interaksi masa depan yang merupakan dasar bagi pengembangan model kerja internal. Oleh karena itu, model ini dapat digambarkan sebagai sekelompok harapan diri dan orang lain yang dihasilkan oleh relasi kelekatan.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Secure Attachment
a. Peluang Kelekatan
Beberapa anak tidak memiliki kesempatan untuk menjalani kelekatan dengan pengasuhnya. Misalnya seperti bayi di panti asuhan yang hanya diletakkan di bangsal dan mendapatkan pengasuhan yang tidak konsisten. O‟Connor et.al., (dalam berk 2012) anak-anak yang demikian memiliki potensi untuk mengalami gangguan kognitif, penolakan rekan sebaya, kurang perhatian, hiperaktif, serta perilaku menganggu.
b. Kualitas Pengasuhan
Pengasuhan peka (sensitive caregiver) atau merespon dengan cepat, konsisten, dan tepat pada bayi berkaitan dengan secure attachment. Rasa aman yang didapatkan seorang anak tergantung pada pengasuhan yang penuh perhatian. Sedangkan pengasuhan yang tidak memadai merupakan prediksi yang kuat bagi gangguan kelekatan.
c. Karakteristik Bayi
Kelekatan merupkan hasil dari hubungan antara dua belah pihak, karakter bayi berdampak pada seberapa mudah kelekatan itu bisa terbentuk. Bayi dengan tempramen emosional reaktif dan sulit lebih berpeluang besar mengembangkan kelekatan tidak aman di kemudian hari.
d. Kondisi Keluarga
keuangan dapat merusak kelekatan dan mengganggu kepekaan mereka terhadap anak.
C. Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol diri
Kontrol diri didefinisikan sebagai kemampuan untuk memonitor, menghambat, bertahan dan beradaptasi terhadap perilaku, emosi, pikiran dan keinginan untuk mencapai sasaran tertentu (Moffitt, 2011). Seseorang yang memiliki kontrol diri yang baik akan mampu menahan diri dari emosi yang dimiliki. Hal ini didukung oleh pendapat dari Sarafino (2012) yang menyatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan untuk menahan diri dari emosi yang kita miliki, impuls, dan keinginan. Sedangkan Chaplin (2004) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi tingkah laku impulsif.
mengontrol atau mengubah respon dari dalam dirinya untuk menghindarkan diri dari perilaku yang tidak diharapkan. Berdasarkan perspektif ini, kontrol diri berkontribusi dalam menghasilkan berbagai hasil positif dalam kehidupan.
Gottfredson dan Hirschi (dalam Gibson, 2010) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan blokade yang menjembatani individu dengan aktivitas yang menyimpang. Kontrol diri menunjukkan kemampuan untuk meninggalkan kesenangan jangka pendek yang berpotensi menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang negatif. Gottfredson dan Hirsch (dalam Gibson, 2010) menyatakan bahwa kontrol diri yang rendah meningkatkan kemungkinan pada hampir semua jenis tindakan kejahatan dan penyimpangan yang membawa kesenangan, kepuasan, dan pemenuhan dalam jangka pendek. Seperti kenakalan remaja, tindakan kriminal, dan penyimpangan umum sepanjang kehidupan.
Gottfredson dan Hirschi menambahkan bahwa orang dengan pengendalian diri yang rendah diduga menunjukkan enam karakteristik: Mereka impulsif, egois, dan cepat marah, dan mereka lebih memilih tugas-tugas sederhana daripada yang kompleks, suka mengambil risiko, dan lebih memilih kegiatan fisik dari pada aktivitas yang melibatkan pemikiran (dalam Gibson, 2010).
impuls, dorongan, keinginan melalui pertimbangan-pertimbangan sehingga mampu membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif.
2. Aspek-Aspek Kontrol Diri
Tangney, Baumeister, dan Boone (2004) menyatakan bahwa terdapat 5 aspek kontrol diri, yaitu:
a. Self-discipline
Self-discipline yaitu mengacu pada kemampuan individu dalam melakukan disiplin diri. Hal ini berarti individu mampu memfokuskan diri saat melakukan tugas. Individu dengan self-discipline mampu menahan dirinya dari hal-hal lain yang dapat mengganggu konsentrasinya.
b. Deliberate/nonimpulsive
Deliberate/nonimpulsive yaitu kecenderungan individu untuk melakukan sesuatu dengan pertimbangan tertentu, bersifat hati-hati, dan tidak tergesa-gesa. Individu yang tergolong nonimpulsive mampu bersifat tenang dalam mengambil keputusan dan bertindak.
c. Healthy habits
dampak positif bagi dirinya meski dampak tersebut tidak diterima secara langsung.
d. Work Ethic
Work Ethic menilai tentang regulasi diri dari etika individu dalam melakukan suatu aktivitas sehari-hari. Individu yang memili work ethics
akan mampu menyelesaikan tugasnya tanpa dipengaruhi hal-hal yang ada diluar tugasnya. Individu dengan work ethic mampu memberikan perhatiannya pada pekerjaan yang sedang dilakukan.
e. Reliability
Reliability terkait dengan penilaian individu terhadap kemampuan dirinya dalam pelaksanaan rancangan jangka panjang untuk pencapaian tertentu. Individu ini secara konsisten akan mengatur perilakunya untuk mewujudkan setiap perencanaannya.
Penelitian ini menggunakan aspek-aspek yang diutarakan oleh Tangney, Baumeister, dan Boone (2004) untuk mengukur kontrol diri. Aspek-aspek tersebut yaitu self-discipline, deliberated/nonimpulsive, healthy habits, work ethic, dan reliability.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri
a. Faktor internal.
Faktor internal yang turut berperan dalam kontrol diri adalah usia. Semakin bertambahnya usia individu maka akan semakin baik memampuan dalam mengontrol dirinya.
b. Faktor eksternal.
Faktor eksternal yang mempengaruhi adalah lingkungan keluarga. Kontrol diri individu dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, terutama orang tua. Apabila orang tua menerapkan kepada anaknya sikap disiplin secara intens sejak dini, dan orang tua bersikap konsisten terhadap semua konsekuensi yang dilakukan anak apabila tindakannnya menyimpang dari peraturan, maka sikap konsisten ini akan diinternalisasi oleh anak dan kemudian akan menjadi kontrol diri baginya.
D. Hubungan antara Secure Attachment dengan Orang Tua dan Kontrol Diri dengan Bullying
1. Hubungan antara Secure Attachment dengan Orang Tua dan Kontrol Diri dengan Bullying
psikologis. Bullying fisik seperti memukul, menampar, dan memalak.
Bullying verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Bullying
psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasi. Dalam kejadian bullying biasanya terdapat pelaku, korban, dan penonton (bystander).
Bagi sebagian orang bullying mungkin hanya dianggap sebagai sebuah candaan dan bersifat wajar. Padahal bullying merupakan masalah yang dampaknya harus ditanggung oleh semua pihak, pelaku, korban, maupun penonton (bystander). Anak-anak yang terlibat dalam bullying
baik menjadi korban maupun pelaku memiliki risiko lebih tinggi secara signifikan terhadap masalah psikosomatis dan psikososial daripada anak-anak yang tidak terlibat (Gini, 2008). Sedangkan bagi bystander, gangguan yang muncul adalah kecemasan dan penurunan kadar kortisol (Carney et al., 2010).
Penyebab seseorang menjadi pelaku bullying tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan, salah satunya orang tua. Orang tua menjadi sosok utama dalam interaksi sosial anak. Dari orang tua seorang anak pertama kali merasakan kasih sayang. Adanya attachment antara anak dengan orang tua akan membawa dampak jangka panjang pada kehidupan.
Secure attachment (kelekatan aman) menghasilkan dampak jangka panjang yang positif pada kognitif, sosial, dan perilaku, sementara
anak-anak merupakan pusat pengembangan kompetensi sosial (Santrock, 2014). Semakin secure attachment seorang anak terhadap orang dewasa yang bersifat mengasuh akan membuat anak semakin mudah untuk mengembangkan hubungan yang baik dengan orang lain (Papalia, 2013).
Anak dengan secure attachment yang mendapatkan pengasuhan hangat, konsisten, dan keterikatan secara emosional, kemungkinan akan mengembangkan hubungan sosial menjadi positif dan produktif (Weinfield et al., 1999). Salah satu hasil paling konsisten dari penelitian
attachment pada masa remaja adalah temuan bahwa secure attachment
dengan orang tua terkait dengan hubungan pertemanan yang positif (Allen & Miga, 2010). Dengan demikian, mereka tidak mungkin untuk melakukan bullying terhadap orang lain karena pelecehan memiliki dampak negatif dan kontraproduktif pada hubungan dengan orang lain (Troy & Sroufe, 1987). Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bisa cenderung untuk membela korban bullying (Nickerson et al., 2008). Selain itu, karena orang tua mereka telah menunjukkan model empati, kebaikan, dan kasih sayang, anak-anak dengan secure attachment
cenderung menampilkan perilaku serupa dalam interaksi mereka dengan teman sebaya.
Anak-anak yang tidak mendapatkan secure attachment akan mengalami insecure attachment. Anak dengan insecure attachment
Bias negatif tentang interaksi sosial ini cenderung mengakibatkan interpretasi bermusuhan terhadap perilaku orang lain dan melakukan reaksi agresif terhadap teman-temannya. Dampak negatif dari tidak diperolehnya secure attachment inilah yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif seperti bullying.
Selain faktor eksternal, terdapat faktor internal dari diri remaja yang diduga turut berperan dalam bullying, yaitu kontrol diri. Tangney et.al.,
(2004) menyatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk mengontrol atau mengubah respon dari dalam dirinya untuk menghindarkan diri dari perilaku yang tidak diharapkan.
Gottfredson dan Hirschi (dalam Gibson, 2010) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan blokade yang menjembatani individu dengan aktivitas yang menyimpang. Kontrol diri menunjukkan kemampuan untuk meninggalkan kesenangan jangka pendek yang berpotensi menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang negatif. Gottfredson dan Hirsch (dalam Gibson, 2010) menyatakan bahwa kontrol diri yang rendah meningkatkan kemungkinan pada hampir semua jenis tindakan kejahatan dan penyimpangan yang membawa kesenangan, kepuasan, dan pemenuhan dalam jangka pendek. Seperti kenakalan remaja, tindakan kriminal, dan penyimpangan umum sepanjang kehidupan.
kontrol diri yang baik pada diri seseorang akan berpengaruh negatif pada
bullying.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, bahwa bullying yang dilakukan remaja dimungkinkan terkait dengan secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri. Remaja yang memiliki secure attachment
dengan orang tua dan kontrol diri yang baik akan memiliki interaksi sosial yang baik dengan teman-temannya dan mampu mengendalikan diri dari perilaku negatif. Dengan demikian, secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri akan mengurangi kemungkinan terjadinya bullying.
2. Hubungan antara Secure Attachment dengan Orang Tua dengan Bullying
Ainsworth, Klaus & Klaus (dalam Zanden et al., 2007) menyatakan,
attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Attachment dengan orang tua tidak hanya terbatas pada masa bayi, namun berlangsung sepanjang masa. Bagi remaja, orang tua biasanya tetap menjadi sumber kelekatan primer. Greenberg (1987) menyatakan bahwa attachment dengan orang tua tetap menjadi sumber utama dalam memberikan rasa aman pada remaja.
Menurut Bowlby, pada pengalaman awal seorang bayi akan membentuk „internal working model‟ tentang diri dan dunianya. Ketika
perilaku anak mereka menghasilkan secure attachment (Weinfield et al.,
1999). Anak dengan secure attachment akan mengembangkan internal working model sebagai diri yang independen, dicintai, layak, dan mandiri.
Secure attachment dengan orang tua tersebut kemudian akan mempengaruhi perkembangan hubungan interaksi sosial dengan orang lain. Anak dengan secure attachment dikaitkan dengan kompetensi sosial, penerimaan teman sebaya, dan popularitas yang tinggi.
Anak-anak yang agresif memiliki representasi kognitif bahwa perilaku agresif merupakan cara yang efektif dan disetujui secara sosial dalam berhadapan dengan teman-temannya. Anak tersebut kemudian mengembangkan sikap dan persepsi bermusuhan yang mengakibatkan interaksi agresif terhadap teman-temannya.
Siswa dengan secure attachment lebih sedikit mengalami masalah, baik itu masalah kenakalan dan agresi (Morreti & Pelled, 2004). Lebih lanjut, sebuah penelitian dilakukan oleh Bloodworth (2015) untuk menguji hubungan attachment dan perilaku agresif. Hasilnya menunjukkan bahwa seseorang yang dengan secure attachment memiliki perilaku agresif yang lebih rendah. Penelitian dari Walden dan Beran (2010), bahwa siswa dengan attachment yang rendah cenderung menjadi korban maupun pelaku
bullying dibandingkan siswa dengan secure attachment. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa siswa dengan insecure attachment dilaporkan lebih terlibat dalam bullying (Kokkinos, 2013).
Siswa dengan secure attachment mengembangkan hubungan sosial menjadi positif dan produktif terhadap orang lain (Weinfield et al., 1999). Mereka akan cenderung menjalin pertemanan yang baik dan menghindari dari terlibat perilaku bullying. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bisa cenderung untuk membela korban bullying
(Nickerson et al., 2008).
anaknya. Anak-anak dengan yang tidak memperoleh secure attachment
lebih mungkin untuk melakukan bullying terhadap orang lain. Semakin tinggi secure attachment yang dimiliki remaja maka mereka akan cenderung tidak terlibat sebagai pelaku bullying.
3.Hubungan antara Kontrol Diri dengan Bullying
Kontrol diri merupakan kemampuan yang sangat diperlukan oleh remaja dalam menjalani kehidupan hari. Dalam kehidupan sehari-hari remaja tidak dapat dipisahkan dari berbagai permasalahan yang muncul, mulai dari masalah pribadi, masalah di lingkungan keluarga hingga sekolah. Di sekolah terjadi berbagai permasalahan yang timbul, seperti bullying. Bullying dapat dihindari apabila seseorang memiliki kontrol diri yang baik.
Kontrol diri merupakan pengendalian tingkah laku dimana seseorang melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk bertindak sesuatu. Semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki seseorang, maka akan semakin intens pula orang tersebut mengadakan pengendalian terhadap tingkah laku. Sedangkan menurut Sarafino (2012) kontrol diri adalah kemampuan untuk menahan diri dari emosi yang kita miliki, impuls, dan keinginan.
kenakalan remaja, tindakan kriminal, dan penyimpangan umum sepanjang kehidupan. Kontrol diri yang rendah seringkali dikaitkan dengan berbagai tindakan menyimpang, seperti perilaku delikuen (Permono, 2014), bahkan tindak kriminal.
Remaja yang melakukan kontrol diri yang baik akan cenderung melakukan perimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum bertindak. Mereka akan memikirkan dampak dari perbuatannya terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Sehingga remaja dengan kontrol diri yang baik akan memilih untuk tidak terlibat dalam berbagai perilaku negatif seperti
bullying.
Beberapa penelitian mencoba mengaitkan antara kontrol diri dan perilaku bullying. Chui dan Chan (2013) melakukan penelitian terhadap 365 siswa di Macau yang berusia antara 10 dan 17 tahun. Dari penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa bullying berhubungan negatif dengan tingkat kontrol diri siswa. Penelitian terbaru dari Moon dan Alarid (2015) dengan partisipan 300 orang pemuda, mendapatkan hasil bahwa pemuda dengan kontrol diri yang rendah kemungkinan besar akan terlibat bullying
fisik dan psikologis.
Kontrol diri yang baik akan menjembatani dari berbagai dorongan-dorongan dan tingkah laku negatif, termasuk bullying. Dengan demikian, kontrol diri dimungkinkan menjadi salah satu penyebab timbulnya