• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL PESERTA DIDIK MELALUI TEKNIK PROBLEM SOLVING : Penelitian Deskriptif Terhadap Peserta didik Kelas VII SMP Negeri 43 Bandung Tahun Ajaran 2014-2015.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL PESERTA DIDIK MELALUI TEKNIK PROBLEM SOLVING : Penelitian Deskriptif Terhadap Peserta didik Kelas VII SMP Negeri 43 Bandung Tahun Ajaran 2014-2015."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL PESERTA DIDIK

MELALUI TEKNIK PROBLEM SOLVING

(Penelitian Deskriptif Terhadap Peserta didik Kelas VII SMP Negeri 43 Bandung

Tahun Ajaran 2014-2015)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan

Oleh

REMA EKA NOPIANI NIM 1000121

DEPARTEMEN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

(2)

PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL PESERTA DIDIK MELALUI

TEKNIK PROBLEM SOLVING

(Penelitian Deskriptif Terhadap Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 43 Bandung

Tahun Ajaran 2014-2015)

oleh

Rema Eka Nopiani

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan Departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan

Fakultas Ilmu Pendidikan

© Rema Eka Nopiani 2015

Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian

dengan dicetak ulang, difoto copy, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.

(3)
(4)

ABSTRAK

Rema Eka Nopiani. (2015). Peningkatan Interaksi Sosial Peserta Didik Melalui Teknik Problem Solving (Penelitian Deskriptif Terhadap Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 43 Bandung Tahun Ajaran 2014-2015).

Penelitian dilatarbelakangi oleh fenomena rendahnya interaksi sosial peserta didik yang cenderung menunjukan perilaku menarik diri dan kurangnya partisipasi dalam kegiatan yang sedang berlangsung dilingkungan sekolah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui profil interaksi sosial peserta didik dan dilanjutkan dengan mendeskripsikan rancangan intervensi melalui teknik problem solving. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian deskriptif. Instrumen dalam penelitian menggunakan angket interaksi sosial. Populsi dan sampel penelitian yaitu seluruh peserta didik kelas VII SMP Negeri 43 Bandung yang berjumlah 313 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik sampel jenuh.

Hasil penelitian yang menunjukan gambaran umum interaksi sosial peserta didik dijadikan landasan dalam penyusunan rancangan intervensi melalui teknik problem

solving untuk meningkatkan interaksi sosial peserta didik.

Strategi layanan konseling melalui teknik problem solving dilakukan dengan 6 tahapan yaitu: 1) Initial structuring, 2) Problem definition and formulation, 3) Generation of

alternatives, 4) Decision making, 5) Solution implementation and verification, 6) Guided practice.

(5)

ABSTRACK

Rema Eka Nopiani. (2015). The Social Interaction Lerners Improvment With Technic

Problem Solving (A Descriptive Research Through Learners At Seventh Grade In SMP Negeri 43 Bandung In Academic Year 2014-2015)

The research is based on low social interaction phenomena of learners that tend to show behavior withdraw and lack of participation in the ongoing activity taking place in the school environment. The research aims to know the profile of the social interaction of students, and this research is continued by describing the draft of hypothetical program of counseling service with problem solving. The research approach used is quantitative research approach with descriptive research method. The instrument used in this research is questionnaire social interaction. Population and sample are all the students at seventh grade in SMP 43 Bandung, amounting to 313 students. Sample technique was conducted by using saturated sample. The results showed the social adjustment skill of student are used as a basis in the preparation of problem solving training services to improve the social interaction.

The counseling service strategy with problem solving training is conducted with 6 stages. Those are: 1) Initial structuring, 2) Problem definition and formulation, 3) Generation of alternatives, 4) Decision making, 5) Solution implementation and verification, 6) Guided practice.

(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... . vi

DAFTAR TABEL... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Rumusan Masalah Penelitian... 9

1.3Tujuan Penelitian... 10

1.4Manfaat Penelitian... 11

1.5Struktur Organisasi Skripsi... 12

BAB II NTERAKSI SOSIAL DAN PROBLEM SOLVING TRAINING 2.1Konsep Interaksi Sosial... 14

2.2Konsep Teknik Problem Solving... 27

2.3Hasil-hasil Penelitian Terdahulu... 41

BAB III METODE PENELITIAN 3.1Desain Penelitian... 43

3.2Partisipan... 44

3.3Populasi dn Sampel... 44

3.4Instrumen Penelitian... 45

3.5Langkah-langkah Penelitian... 53

3.6Analisis Data... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1Deskripsi Hasil Penelitian... 57

4.2Pembahasan... 70

4.3Perancangan Teknik Problem Solving... 81

4.4Keterbatasan Penelitian... 93

(7)

5.1Kesimpulan... 95

5.2Implikasi... 96

5.3Saran... 96

DAFTAR PUSTAKA... x

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

Tabel 3.1 Jumlah Populasi... 44

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen (Sebelum Judgement)... 47

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen (Setelah Judgement)... 49

Tabel 3.4 Hasil Validasi Item Interaksi Sosial... 50

Tabel 3.5 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Interaksi Sosial... 52

Tabel 3.6 Kisi-kisi Instrumen Interaksi Sosial (Setelah Uji Coba)... 52

Tabel 3.7 Pola Skor Opsi Alternatif Respons... 54

Tabel 3.8 Kualifikasi Data Instrumen Interaksi Sosial... 56

Tabel 3.9 Interpretasi Skor Kategori Profil Interaksi Sosial... 56

Tabel 4.1 Profil Interaksi Sosial Peserta Dididk Kelas VII SMP Negeri Bandung... 57

Tabel 4.2 Aspek Interaksi sosial berdasarkan Role (peran) Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 4 Bandung... 58

Tabel 4.3 Aspek Interaksi sosial berdasarkan Purpose (tujuan) Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 43 Bandung... 59

Tabel 4.4 Aspek Topography (Keterlibatan/Partisipasi) Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 43 Bandung... 59

Tabel 4.5 Aspek Role (peran) Indikator Memulai Interaksi... 60

Tabel 4.6 Aspek Role (peran) Indikator Merespon Percakapan... 61

Tabel 4.7 Aspek Purpose (tujuan) Indikator Melakukan Interaksi dengan Tujuan Sosial yang Berkenaan dengan Rekreasi atau Kesenangan... 62

Tabel 4.8 Aspek Purpose (tujuan) Indikator Melakukan Interaksi yang Berhubungan dengan Pemenuhan Tugas Sekolah... 63

Tabel 4.9 Aspek Topography (Keterlibatan/Partisipasi) Indikator Ikut Berpartisipasi dalam Kegiatan... 64

(9)

Tabel 4.11 Aspek Topography (Keterlibatan/Partisipasi) Indikator Menarik Diri

Dari Interaksi di Sekolah... 66

Tabel 4.12 Aspek Topography (Keterlibatan/Partisipasi) Indikator Bertindak

Kasar Terhadap Orang Lain... 67

Tabel 4.13 Aspek Topography (Keterlibatan/Partisipasi) Melakukan Kegiatan

yang Merusak Citra Diri... 68

Tabel 4.14 Aspek Topography (Keterlibatan/Partisipasi) Indikator Berperilaku

tidak pantas terhadap orang lain... 69

Tabel 4.15 Deskripsi Kebutuhan Teknik Problem Solving untuk Meningkatkan

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi individu

dituntut untuk merubah pola pikir ke arah yang lebih modern agar menciptakan

kehidupan yang berkualitas dan memiliki karakter sehingga mampu memiliki

pandangan yang luas dalam pencapaian cita-cita yang diinginkan serta menjadi

individu yang senantiasa mampu beradaptasi secara cepat di lingkungan sekitar.

Hal tersebut dapat di tempuh dengan melalui suatu proses berupa pendidikan yang

tidak hanya dianggap sebagai sebuah kewajiban tetapi merupakan sebuah

kebutuhan dimana individu mampu berkembang dengan adanya pendidikan.

Menurut Kartadinata (2012, hlm. 3) Pendidikan adalah upaya normatif yang

membawa individu dari kondisi apaadanya kepada kondisi bagaimana seharusnya.

Berbicara mengenai pendidikan selalu terkait dengan individu yang sedang berada

dalam proses berkembang dengan berbagai keunikan yang dimilikinya.

Kartadinata (2012, hlm. 3) juga mengungkapkan bahwa pendidikan perlu

memahami individu dalam hal aktualisasinya, kemungkinan (Possibilities), dan

pemikirannya bahkan memahami perubahan yang dapat di harapkan terjadi dalam

diri individu. Pendidikan berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan

Nasional No.20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 adalah:

Usaha sadar dan terencana dalam mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya dan masyarakat.

Berdasarkan berbagai pengertian tentang pendidikan yang telah

dikemukakan dapat di peroleh kesimpulan bahwa pendidikan merupakan proses

perubahan perilaku yang dilakukan secara normatif dalam keadaan sadar dan

terencana melalui proses pengajaran untuk mengubah pola pikir individu dari pola

pikir yang awam menjadi individu yang memiliki kreatifitas dan menjadi individu

(11)

Individu dalam proses peningkatan pengetahuan dan pola pikirnya perlu

adanya pendidikan yang bisa dilakukan di lingkungan sekolah. Lingkungan yang

dikenal sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peran sebagai tempat yang

sangat memungkinkan bagi individu dalam meningkatkan pengetahuan dan pola

pikirnya. Yusuf & Juntika (2010), hlm. 185) menjelaskan sekolah sebagai:

lembaga pendidikan formal yang dengan sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu mengembangkan potensinya baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional maupun sosial.

Agus Taufiq (2008, hlm. 297) menjelaskan bahwa pendidikan mempunyai

dua unsur pokok yang saling berkaitan yaitu lembaga yang mempunyai peran

serta harapan yang merupakan tujuan dari sistem tersebut; dan individu-individu

yang memiliki kebutuhan dan kepribadian yang saling berinteraksi satu sama lain.

Pendapat Havighurs (1961, hlm. 5) sekolah mempunyai peranan dan tanggung

jawab penting dalam membantu para peserta didik dalam mencapai tugas

perkembangannya. Maka dari itu sekolah hendaknya berupaya dalam menciptakan

suasana yang kondusif agar dapat memfasilitasi peserta didik untuk mencapai

tugas perkembangannya. Lingkungan sekolah yang memiliki iklim yang baik

dapat memperlancar serta memacu perkembangan hubungan sosial remaja.

Pada masa remaja merupakan masa berkembangnya social cognition yaitu

masa dimana kemampuan untuk dapat memahami perilaku yang di tampilkan oleh

orang lain baik menyangkut sifat pribadi, minat, nilai-nilai, kebiasaan, ataupun

hal-hal yang menyangkut kegemaran orang lain. Remaja memiliki tugas

perkembangan untuk mempererat tali persahabatan dengan orang lain. Kaitannya

dengan mempererat tali persahabatan dengan orang lain Havighurs (Yusuf, S,

2005, hlm.73) mengutarakan salah satu tugas perkembangan sosial yaitu

mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.

Menurut Santrock (2004, hlm. 26) remaja merupakan masa perkembangan

transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mencakup perubahan

biologis, kognitif dan sosial-emosional. Sementara Pikunas (Yusuf, 2008, hlm

184) menyatakan masa remaja dipandang sebagai masa “Storm and stres”,

frustrasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun

(12)

3

Berdasarkan pendapat di atas remaja yang berada dalam masa transisi tersebut

akan banyak mengalami perubahan pada dirinya sehingga dapat memungkinkan

mengalami permasalahan-permasalahan terutama dalam perkembangan sosialnya.

Pada masa perkembangan remaja seringkali dituntut agar mampu memenuhi

tugas-tugas perkembangannya. Namun tidak semua remaja dapat melewati setiap

tahap dari tugas-tugas perkembangannya dengan baik.

Menurut Parson & Grinder (Yusuf, 2000, hlm. 188) meninjau bahwa masa

remaja dari perspektif belajar sosial yaitu masa remaja di artikan sebagai masa

senang bergaul dengan teman sebaya karena dipandang adanya sosial reward dan

peer status needs yang lebih menarik daripada keluarga. Berbagai tuntutan yang

harus di penuhi pada saat masa remaja dimulai dari bagaimana remaja mampu

untuk menerima keadaan fisiknya sampai pada bagaimana remaja mampu bergaul

dan berinteraksi dengan teman sebaya dan lingkungan sosialnya.

Menurut pemahaman Kartadinata (2012, hlm. 20) mengungkapkan bahwa

penting bagi pendidikan untuk menjelaskan dan memahami relasi, dan interaksi

manusia di dalam kelompok, masyarakat, ras, bangsa dan antar bangsa serta

seluruh unsur proses dan perubahan yang terjadi didalamnya. Hal ini menjelaskan

bahwa sebagai makhluk sosial individu mempunyai dorongan sosial yaitu untuk

melakukan hubungan dengan individu lain. Setiap individu didorong oleh motif

sosial untuk melakukan interaksi dengan individu lain. Dengan adanya motif

untuk menciptakan hubungan sosial maka individu akan mencari individu lain

untuk melakukan interaksi antara individu yang satu dengan individu yang

lainnya. Individu dalam melakukan interaksinya sangat membutuhkan individu

lainnya agar mampu menjalani kehidupannya. Trisnaningsih (2012, hlm. 1)

menjelaskan bahwa:

kehidupan individu sangat membutuhkan individu lain dimana setiap individu memiliki naluri untuk hidup bersama dan saling membutuhkan satu sama lain serta saling memberi dan menerima, saling menolong dalam mengatasi berbagai masalah baik permasalahan pribadi maupun permasalahan bersama.

Dengan adanya keinginan manusia untuk hidup bersama ini menimbulkan

(13)

selalu berusaha menjalin hubungan atau berinteraksi dengan orang lain (Dwi

Trisnaningsih, 2012, hlm. 1).

Adanya pemenuhan kebutuhan sosial tersebut merupakan hal penting untuk

mencapai kehidupan yang lebih sehat, nyaman, penuh semangat dan merasa

terhindar dari perasaan tersisihkan. Berbagai tuntutan yang dialami remaja dalam

pemenuhan kebutuhan sosialnya seringkali dihadapkan pada berbagai

permasalahan baik psikologis maupun sosiologis. Tidak sedikit remaja dalam

berinteraksi sosial merasa diterima bahkan ada juga yang merasa ditolak oleh

teman sebayanya. Hal tersebut dirasakan remaja karena hampir sebagian besar

waktu dalam kehidupannya digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain.

Menurut Siti dan Retno, (2011, hlm. 1 ) Interaksi sosial dengan teman sebaya

adalah:

unsur penting untuk pemenuhan kebutuhannya akan harga diri, aktualisasi diri di lingkungan mengadakan interaksi dengan lingkungan sesuai tujuannya. Apabila hal tersebut tidak tercapai maka individu akan mengalami permasalahan dalam kesehariannya.

Peserta didik yang berada pada usia remaja menghabiskan lebih banyak

waktu dalam berinteraksi dengan teman sebaya. Nisriyana (2007) menunjukkan

bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya mengakibatkan pengaruh yang besar

dalam perkembangan pemikiran peserta didik. Hasil analisis desriptif persentase

interaksi sosial menunjukkan bahwa 18,6% termasuk kriteria sangat tinggi, 74,4%

kriteria tinggi, 4,65% kriteria sedang dan 2,33% dalam kriteria rendah. Dalam

suatu penelitian yang dilakukan Barker & Wright (1951) individu berinteraksi

dengan teman sebayanya dalam satu hari sebanyak 10% pada usia 2 tahun, 20%

pada usia 4 tahun dan lebih dari 40% pada usia antara 7 dan 11 tahun. Penelitian

ini menyatakan bahwa intensitas interaksi individu dengan teman sebayanya

dalam satu hari sering dilakukan pada masa anak-anak dan remaja. Interaksi

remaja tersebut dapat mengakibatkan pengaruh positif dan negatif (Zimmer &

Gembeck, 2001, hlm. 82). Hal ini ditunjukan dalam penelitian Siti & Retno (2011,

hlm. 1) bahwa peserta didik yang mempunyai keterampilan bersosialisasi yang

baik akan memiliki banyak teman dan diterima di lingkungan sosialnya.

Diperkuat oleh penelitian Forgas tahun 2001 (Berge, M, 2002, hlm. 4) yang

(14)

5

shape lognitions and perceptions during the encounter” sehingga Forgas

menjelaskan bahwa “Dampak positif dan negatif dari interaksi sosial dapat

mempengaruhi serta membentuk kognisi dan persepsi selama pertemuan”.

Sedangkan penelitian Goodwin & Kyratzis (2012) menyatakan bahwa interaksi

sosial remaja memberikan sebuah ruang dalam keterlibatan individu tersebut

untuk mengarahkan, menilai dan mengkritik tindakan satu sama lain. Kemampuan

interaksi sosial yang dimiliki peserta didik yang satu dengan peserta didik yang

lain berbeda-beda. Peserta didik yang memiliki kemampuan interaksi yang baik

dapat terlihat melalui sikap senang dalam berhubungan dengan siapa saja baik itu

bersifat hubungan individu yang satu dengan individu yang lainnya maupun

hubungan yang bersifat kelompok sehingga akan mudah dalam menyesuaikan

diri dengan lingkungannya dan ia tidak akan mengalami hambatan dalam bergaul

dengan orang lain.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada saat di

lakukannya Program Latihan Profesi (PLP) melalui wawancara dengan beberapa

peserta didik di kelas VII dan guru BK SMPN 43 Bandung tentang fenomena

interaksi sosial peserta didik bahwa peserta didik tersebut memiliki kemampuan

interaksi sosial yang kurang baik yang ditunjukan oleh sering merasa malu jika

berbicara di depan orang, takut mengemukakan pendapat, merasa kesulitan untuk

memulai berbicara terutama dengan orang-orang yang baru dikenal, mereka

merasa canggung dan kurang dapat terlibat dalam proses pembicaraan yang

bersifat menyenangkan dengan sekelompok temannya. Hal ini juga terlihat ketika

proses bimbingan kelompok yang dilakukan pada Program Latihan Profesi (PLP)

ada beberapa peserta didik yang terlihat lebih diam dan menyendiri.

Fenomena tentang interaksi sosial peserta didik yang dipaparkan

menunjukkan terdapat permasalahan dalam interaksi sosial pada peserta didik.

Interaksi sosial dalam perkembangan peserta didik dirasa penting terutama pada

perkembangan sosialnya karena setiap individu merupakan makhluk sosial yang

selalu berhubungan dengan satu sama lainnya.

Pada masa remaja permasalahan dalam perkembangan sosial menjadi topik

utama untuk dibahas. Masalah perkembangan sosial pada remaja sangat

(15)

sering terjadi pada remaja. Seperti halnya Willis, S (1986, hlm. 32) menjelaskan

bahwa masalah utama remaja adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan

adanya kebutuhan mereka dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungan

dimana remaja tersebut hidup dan berkembang. Sementara itu Darajat, D (1985,

hlm. 36) menjelaskan bahwa diantara masalah-masalah yang dihadapi oleh remaja

adalah masalah yang berhubungan dengan sekolah dan pelajaran serta

pertumbungan sosial. Masalah tersebut seringkali dialami oleh peserta didik

karena pada dasarnya suasana kelas lebih di posisikan sebagai situasi sosial

daripada situasi akademis. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Goleman

(Sunarya, S, 1995, hlm. 173) bahwa remaja yang canggung secara sosial

cenderung salah baca dan salah tangkap terhadap remaja lain dan gurunya karena

rasa takut, rasa cemas yang mengakibatkan terganggunya kemampuan untuk

belajar.

Interaksi sosial adalah suatu hubungan dua atau lebih manusia dimana

perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku

individu yang lain atau sebaliknya Gerungan (1996, hlm. 57). Interaksi

berdasarkan tujuan terciptanya interaksi dapat di kategorikan menjadi dua

interaksi. Hal ini sependapat dengan pernyataan Beckstread & Goetz (1990, hlm.

10) yang menyebutkan bahwa “an interaction purpose must be either social or

task related”, pendapat Beckstread & Goetz menyatakan “interaksi yang

bertujuan sosial yaitu interaksi yang bersifat rekreasional dan bersifat leisure serta

interaksi yang memiliki tujuan untuk melaksanakan tugas. Backstead & Goetz

(1990, hlm. 5) juga menyatakan aspek/dimensi interaksi sosial adalah role

(peran), purpose (tujuan) dan topography (partisipasi). Artinya interaksi sosial

dalam penelitian tidak terlepas dari bentuk perilaku yang dilakukan oleh peserta

didik dalam menjalin hubungannya dengan orang lain yaitu ditandai dengan

adanya aspek/dimensi role (peran), purpose (tujuan) dan Topography.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh kehidupan sosial remaja

dengan kehidupan lainnya. Sebagaimana yang diungkapkan dalam penelitian

Sunarya,Y (2000) bahwa masalah relasi sosial psikologis berkolerasi paling tinggi

(0,68). Hal ini menunjukkan bahwa kesulitan melakukan hubungan sosial akan di

(16)

7

tersebut seperti merasa kesulitan untuk memulai melakukan percakapan terutama

dengan orang-orang yang baru dikenal, merasa canggung dan tidak dapat terlibat

dalam pembicaraan yang menyenangkan, dan kurang mampu mengemukakan

pendapat.

Kesulitan hubungan pribadi yang diakibatkan oleh kesulitan dalam

melakukan hubungan sosial tersebut akan mengakibatkan remaja mengalami

keterisoliran. Keterisoliran ini diakibatkan oleh proses interaksi yang kurang

sesuai. Dalam studi terhadap peserta didik kelas sembilan (kelas tiga SMP),

Ullmann et al, (Tarsidi, 2010, hlm. 27-28) menemukan tingkat penyesuaian sosial

anak yang di peroleh melalui pengukuran sosiometri dari teman sebaya dan guru

dapat terlihat dengan baik bahwa peserta didik yang akhirnya putus sekolah yaitu

peserta didik yang memiliki tingkat penyesuaian sosialnya rendah dan individu

yang mampu lulus Sekolah Menengah Atas yaitu peserta didik yang memiliki

tingkat penyesuaian sosial yang tinggi.

Pada umumnya peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan

masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja awal. Remaja yang berada

pada tingkat Sekolah Menengah Pertama menganggap bahwa teman sebaya bagi

remaja merupakan sumber kesenangan dan kebahagiaan. Berdasarkan pernyataan

tersebut Hatip (Eliza, 2008, hlm. 3) mengidentifikasi fungsi hubungan teman

sebaya dalam kehidupan remaja sebagai berikut :

Hubungan teman sebaya dianggap sebagai sumber emosi (emotional

resources) baik untuk memperoleh rasa senang maupun beradaptasi terhadap

stress, hubungan teman sebaya sebagai sumber kognitif (cognitive resources) untuk pemecahan masalah dan memperoleh pengetahuan, hubungan teman sebaya sebagai konteks ketika keterampilan sosial dasar di peroleh atau di tingkatkan dan hubungan teman sebaya sebagai landasan untuk terjalinnya bentuk-bentuk hubungan lainnya yang lebih harmonis.

Hurlock (Mimbar, 2005, hlm. 1) Mengemukakan bahwa peserta didik dalam

kehidupannya di sekolah memiliki kebutuhan sosial yang harus di penuhi dalam

interaksinya di lingkungan sosial. Kesulitan dalam melakukan interaksi sosial

pada peserta didik tentu saja bukan permasalahan yang tidak harus mendapatkan

penanganan. Bimbingan dan konseling sangat berperan dalam membantu remaja

(17)

Kartadinata (2012, hlm. 57) mengartikan bimbingan sebagai upaya

pendidikan, sebagai proses bantuan kepada individu untuk mencapai tingkat

perkembangan diri secara optimum di dalam menavigasi hidupnya secara mandiri.

Selain itu Kartadinata (2012, hlm. 57) mengungkapkan esensi bimbingan dan

konseling terletak pada proses memfasilitasi perkembangan individu di dalam

lingkungannya dimana perkembangan terjadi melalui interaksi secara sehat antara

individu dengan lingkungannya. Maka dari itu dalam memfasilitasi individu untuk

mencapai perkembangan interaksi yang sehat perlu adanya layanan bimbingan

dan konseling. Layanan untuk membantu peserta didik yang mengalami kesulitan

berinteraksi sosial adalah dengan layanan responsif.

Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada konseli yang

mengahadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan

segera, sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam

proses pencapaian tugas-tugas perkembangan. Strategi yang digunakan dalam

layanan responsif yaitu: konseling individual, konseling krisis, konsultasi dengan

orang tua, guru, dan alih tangan kepada ahli lain (DEPDIKNAS, 2008, hlm. 209).

Layanan yang dilakukan dapat berupa konseling dengan pendekatan yang

dilakukan dalam konseling yaitu menggunakan Cognitive Behavioral Therapy

(CBT).

Matson & Ollendick (1988, hlm. 44) mengungkapkan definisi

cognitive-behavior therapy yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara

spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian utama konseling. Mahoney dan

Arnkoff (Dobson & Dozois, 2010, hlm. 11) menyatakan CBT dibagi menjadi tiga

bagian, yaitu: (1) Restrukturisasi Kognitif, (2) Coping Skills, (3) Problem Solving.

Salah satu teknik yang digunakan untuk mengatasi permasalahan interaksi sosial

peserta didik dari Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah Problem-solving

training.

Problem-solving merupakan teknik yang berasal dari pendekatan Cognitive

Behavioral Therapy (CBT). Problem-solving merupakan suatu teknik yang

mengubah cara berpikir dan melatih cara-cara pemecahan masalah agar mencapai

kualitas hidup yang optimal (D’zurilla & Nezu, 2010). Problem Solving berfokus

(18)

9

efektif dalam meningkatkan interaksi sosial peserta didik, mampu meningkatkan

performanya di sekolah, dan membuat alternatif kegiatan dari perilakunya

(Neenan, 2010, hlm. 363). Interaksi sosial peserta didik yang memiliki tujuan

untuk mengubah atau memperbaiki perilaku individu maka perlu adanya suatu

penanganan dengan teknik problem solving dimana teknik ini dapat di gunakan

sebagai upaya untuk membuat alternatif kegiatan dari perilakunya.

D’Zurilla & Golfried (Hecker & Thorpe, 2005, hlm. 397) mengatakan bahwa problem solving efektif untuk di aplikasikan dalam berbagai permasalahan

konseli karena problem solving mendorong konseli untuk bersifat aktif da dalam

permasalahan kehidupannya, sehingga dapat memikirkan permasalahannya,

mendefinisikan, memunculkan solusi yang telah dibangun. Sehingga perlu

dikembangkan penelitian dengan judul Peningkatan Interaksi Sosial Peserta

Didik Melalui Teknik Problem Solving (Penelitian Deskriptif Terhadap

Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 43 Bandung Tahun Ajaran 2014-2015).

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Setiap individu memiliki dorongan sosial yaitu berupa motif sosial untuk

melakukan interaksi dengan individu lain. Dengan adanya motif untuk

menciptakan hubungan sosial maka individu akan mencari individu lain untuk

melakukan interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lainnya.

Remaja yang juga merupakan makhluk sosial dituntut untuk memenuhi tugas

perkembangannya yaitu mampu bergaul dengan teman sebaya dan orang lain baik

secara individual maupun kelompok. Tugas perkembangan remaja akan dapat

tercapai dengan adanya proses interaksi. Interaksi sosial tersebut bisa terjadi

diberbagai lingkungan baik itu keluarga, sekolah, maupun lingkungan teman

sebaya. Maka dari itu pengaruh lingkungan sangat rentan terjadi pada perilaku

remaja. Di satu sisi interaksi sosial dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan

kepercayaan diri. Remaja dituntut untuk mampu berinteraksi dengan siapapun,

dengan lawan jenis dalam hubungan interpersonal dan juga mampu berinteraksi

dengan orang dewasa di dalam maupun di luar lingkungan keluarga dan sekolah.

Interaksi sosial adalah bagian yang penting dalam berlangsungnya

kehidupan individu, karena tidak dapat dipungkiri bahwa individu merupakan

(19)

dan Kelley (Ali & Asron, 2009, hlm. 87). Ketercapaian berinteraksi sosial sangat

penting bagi remaja, karena tanpa berinteraksi sosial remaja tidak akan dinyatakan

berhasil sebagai remaja karena tidak mampu memenuhi salah satu tugas

perkembangannya. Kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain dapat dimiliki

individu sampai akhir hayat.

Fenomena interaksi sosial merupakan tantangan perkembangan bagi remaja.

Layanan untuk membantu peserta didik yang mengalami kesulitan berinteraksi

sosial adalah berupa konseling kelompok melalui teknik Problem solving.

Problem solving merupakan bagian dari Cognitive Behavioral Therapy (CBT).

Problem Solving secara khusus berfokus pada mengajari bagaimana individu

mampu untuk mengidentifikasi serta menemukan solusi efektif untuk

meningkatkan interaksi peserta didik, mampu meningkatkan performanya di

sekolah, dan membuat alternatif kegiatan dari perilakunya (Neenan, 2010, hlm.

363). Problem solving efektif untuk digunakan dalam berbagai permasalahan

konseli karena problem solving mendorong konseli untuk bersifat aktif dalam

menghadapi permasalahan kehidupannya sehingga konseli dapat memikirkan

permasalahannya, mendefinisikan, menampilkan alternatif solusi, membuat

keputusan dan mengaplikasikan solusi yang telah dibangun D’Zurilla & Golfried

(Hecker & Thorpe, 2005, hlm. 397).

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, maka dijabarkan

kedalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran interaksi sosial peserta didik kelas VII SMP Negeri 43

Bandung tahun ajaran 2014/2015?

2. Bagaimana rancangan intervensi melalui teknik problem solving untuk

meningkatkan interaksi sosial peserta didik kelas VII SMP Negeri 43 Bandung

tahun ajaran 2014/2015?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka Tujuan umum

penelitian adalah untuk memperoleh data mengenai gambaran interaksi sosial

(20)

11

meningkatkan interaksi sosial peserta didik kelas VII SMP Negeri 43 Bandung

tahun ajaran 2014/2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui gambaran interaksi sosial peserta didik kelas VII SMP Negeri 43

Bandung tahun ajaran 2014/2015

b. Tersusunnya rancangan intervensi teknik problem solving untuk meningkatkan

interaksi sosial peserta didik kelas VII SMP Negeri 43 Bandung tahun ajaran

2014/2015.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

perkembangan dan pendalaman studi bidang bimbingan dan konseling bagi

peminat dalam mengembangkan teori khususnya teori Cognititive Behavioral

Therapy (CBT) dalam penggunaan teknik problem solving untuk meningkatkan

interaksi sosial peserta didik.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

pihak-pihak yang terkait diantaranya:

a. Bagi guru bimbingan dan konseling, hasil penelitian dapat di jadikan tambahan

alternatif rujukan untuk diimplementasikan kedalam program bimbingan dan

konseling di sekolah.

b. Bagi peserta didik, teknik problem solving diharapkan mampu meningkatkan

kemampuan interaksi sosial sebagai unsur penting untuk memenuhi kebutuhan

akan harga diri, mengembangkan potensinya dan aktualisasi diri di lingkungan

sekitarnya.

c. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengetahui gambaran interaksi

sosial peserta didik dan dapat mengembangkan proses penelitian sampai pada

proses pelaksanaan layanan konseling melalui teknik problem solving pada

populasi dan sampel yang berbeda sehingga dapat menghasilkan hasil yang

(21)

1.5 Struktur Organisasi Skripsi

Pada bab I di bahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, struktur organisasi skripsi. Pada

bab 2 di bahas mengenai konsep interaksi sosial dan konsep teknik problem

solving. Pada bab 3 di bahas mengenai metode penelitian. Pada bab 4 di bahas

mengenai deskripsi hasil penelitian, pembahasan, Rancangan Intervensi dan

keterbatasan penelitian. Pada bab 5 di bahas mengenai kesimpulan, implikasi dan

(22)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada Bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan metode

penelitian. Dalam penjelasannya mengenai Desain Penelitian, Lokasi Penelitian,

Metode Penelitian, Populasi dan Sampel Penelitian, Instrumen Penelitian,

Langkah-langkah penelitian dan Analisis data.

3.1 Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif yang

digunakan agar memperoleh data berupa angka-angka yang dilakukan

berdasarkan hasil analisis menggunakan statistik. seperti yang diungkapkan oleh

Creswell (2010, hlm. 5) bahwa:

penelitian kuantitatif merupakan metode-metode untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antarvariabel. Variabel-variabel ini di ukur dengan instrumen-instrumen penelitian sehingga dapat terdiri dari angka-angka dan dapat dianalisis berdasarkan prosedur-prosedur statistik

Pendekatan kuantitatif digunakan dengan tujuan agar mendapatkan data

numerikal berupa gambaran interaksi sosial peserta didik kelas VII SMP Negeri

43 Bandung tahun ajaran 2014/2015.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode

deskriptif. Metode penelitian deskriptif digunakan dalam penelitian karena

bertujuan untuk mendeskripsikan profil interaksi sosial peserta didik kelas VII

SMP Negeri 43 Bandung tahun ajaran 2014/2015 yang dilanjutkan dengan

mendeskripsikan rancangan strategi problem solving training untuk meningkatkan

interaksi sosial peserta didik. Data yang dihasilkan merupakan gambaran umum

kemampuan interaksi sosial peserta didik sebagai dasar pengembangan rancangan

intervensi. Pencapaian akhir pada penelitian adalah tersusunnya rancangan

layanan melalui teknik problem solving untuk meningkatkan interaksi sosial

(23)

3.2 Partisipan

Partisipan dalam penelitian merupakan peserta didik SMA Negeri 9

Bandung Tahun Ajaran 2014/2015. Partisipan penelitian dipilih karena adanya

fenomena yang menunjukan ketidakmampuan penyesuaian sosial dengan

ditandaiadanya pelanggaran tata tertib sekolah seperti terlambat datang ke

sekolah, keluar pada waktu jam pelajaran, ke kantin sebelum waktunya, adanya

peserta didik yang tidak mau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, dan kurang

memiliki rasa bertanggung jawab seperti mengabaikan tugas sekolah dan

mengabaikan piket kelas.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 43 Bandung, peserta didik yang di

berikan penanganan adalah peserta didik kelas VII SMP Negeri 43 Bandung tahun

ajaran 2014/2015 dengan sampel penelitian di fokuskan pada interaksi sosisal

peserta didik kelas VII. Hasil studi pendahuluan yang di lakukan pada peserta

didik kelas VII SMP Negeri 43 Bandung pada saat pelaksanaan PLP

menunjukkan adanya peserta didik yang rendah dalam proses interaksi sosial.

Populasi penelitian dilakukan pada seluruh peserta didik kelas VII SMP

Negeri 43 Bandung tahun ajaran 2014-2015. Pengumpulan sampel dalam

penelitian ini menggunakan teknik Sampel Jenuh.

Populasi dalam penelitian dilakukan pada seluruh peserta didik kelas VII

(24)

45

Penelitian ini di lakukan berdasarkan dari pertimbangan dalam penentuan

lokasi dan objek penelitian sebagai berikut:

1. Peserta didik kelas VII termasuk pada rentang usia remaja yang mana mulai

berkembangnya social cognition, yaitu kemampuan memahami orang lain

(Yusuf, 2008, hlm. 198). Kemampuan social cognition dapat digunakan remaja

untuk membentuk kemampuan interaksi sosial melalui pengalaman yang

diperoleh dari pengamatan secara sosial atau pengalaman orang lain.

2. Peserta didik yang mengalami masa transisi sekolah dari tingkat sekolah dasar

ke sekolah menengah pertama yang menimbulkan banyak perubahan pada diri

remaja baik dari sistem pembelajaran maupun lingkungan sekolah serta teman

sebaya yang berlangsung secara serentak.

3. Belum pernah terdapat penelitian mengenai gambaran interaksi sosial peserta

didik kelas VII SMP Negeri 43 Bandung

4. Data tersebut dapat di peroleh dari pemberian angket interaksi sosial peserta

didik untuk mengetahui tingkat interaksi sosial terhadap peserta didik kelas VII

SMP Negeri 43 Bandung dengan variabel dan indikator yang akan di teliti dan

di ujikan terlebih dahulu.

3.4 Instrumen Penelitian

3.4.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel yang akan diteliti dan menjadi fokus perhatian dalam penelitian

yaitu interaksi sosial yang didefinisikan Beckstead & Goetz (1990, hlm. 10)

bahwa interaksi sosial merupakan kegiatan yang memiliki tujuan sosial yang

bersifat rekreasional dan bersifat leisure serta interaksi yang memiliki tujuan

untuk melaksanakan tugas. Beckstead & Goetz (1990, hlm. 5) mengungkapkan

interaksi sosial ditandai dengan adanya aspek/dimensi interaksi sosial yaitu role

(peran), purpose (tujuan) dan topography (keterlibatan/partisipasi).

Interaksi sosial secara operasional dimaknai sebagai situasi perilaku sosial

yang dilakukan oleh peserta didik dalam menjalin hubungan dengan orang lain di

lingkungan sekolah untuk memenuhi tujuan sosialnya yang bersifat rekreasional,

leisure serta untuk melaksanakan tugas. Menurut Beckstead & Goetz (1990, hlm.

10) Interaksi sosial tersebut ditandai dengan adanya aspek/dimensi interaksi sosial

(25)

1. role (peran), terdiri dari initiation (memulai), acknowledgement (merespon).

2. purpose (tujuan) merupakan tujuan seseorang berinteraksi dengan orang lain

yang terdiri dari social (sosial) dan task related interactions (interaksi yang

berhubungan dengan tugas).

3. topography (keterlibatan/partisipasi) merupakan kategori perilaku yang

memperhatikan apakah individu ikut berpartisipasi dalam interaksi sosial.

Topography (keterlibatan/partisipasi) terdiri dari on task participation

(berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang berlangsung), no task participation

(tidak berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang berlangsung, tetapi juga tidak

memperlihatkan perilaku yang tepat), voluntary isolation (menarik diri dari

lingkungan), aggresive to other (perilaku kasar terhadap orang lain),

inappropriate to self (perilaku menjatuhkan citra diri), mild inappropriate

(perilaku tidak pantas terhadap orang lain).

3.4.2 Penyusunan Instrumen

Instrumen atau alat pengumpul data dalam penelitian yang akan dilakukan

menggunakan data berupa angket atau kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah

pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden

dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto,

2006, hlm. 151). Angket atau kuesioner yang digunakan adalah angket tentang

interaksi sosial. Angket yang digunakan didasarkan pada tiga dimensi interaksi

sosil menurut Beckstead & Goetz yang dikembangkan dari Wulan Saripah (2013).

Kisi-kisi instrumen yang digunakan untuk mengungkap tingkat interaksi sosial

peserta didik dikembangkan dari definisi operasional variabel penelitian.

Instrumen yang digunakan pada penelitian ialah angket tertutup (angket

berstruktur) tentang interaksi sosial, yang digunakan sebagai alat pengumpul data

dan juga alat ukur agar mencapai tujuan penelitian. Butir-butir pernyataan yang

disusun merupakan gambaran tentang interaksi sosial peserta didik. Angket dalam

penelitian ini menggunakan format rating scale (skala bertingkat) model skala

likert yang terdiri atas lima alternatif jawaban Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S),

Kurang Sesuai (KS), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS) dengan

(26)

47

Dalam penelitian ini, responden hanya perlu menjawab pernyataan dengan

cara memilih alternatif respon yang telah disediakan berdasarkan pada

pendapatnya sendiri atau suatu yang dialami.

Angket atau kuesioner yang digunakan dalam penelitian bertujuan untuk

memperoleh gambaran tentang interaksi sosial peserta didik. Kisi-kisi dalam

instrumen penelitian ini dikembangkan kedalam tiga aspek dan masing-masing

aspek terdiri atas satu indikator.

Tabel 3.2

Kisi-kisi Instrumen Interaksi sosial peserta didik (Sebelum Judgement)

Aspek/ Dimensi Indikator tujuan sosial yang berkenaan dengan interaksi atau berlangsung tetapi juga tidak memperlihatkan perilaku yang tepat

34, 35, 36 37, 38, 39

Menarik diri dari interaksi di

sekolah 40, 41, 42 43, 44, 45 Bertindak kasar terhadap orang

(27)

3.4.3 Uji Kelayakan Instrumen

Instrumen interaksi sosial peserta didik yang telah disusun dilakukan uji

kelayakan (judgement) oleh dosen ahli. Uji validitas rasional memiliki tujuan

untuk mengetahui tingkat kelayakan instrumen yang telah dibuat dari segi bahasa,

konstruk, dan isi, yakni kesesuaian item pernyataan yang telah disusun dengan

landasan teoritis dan ketepatan bahasa yang digunakan dilihat berdasarkan bahasa

baku dan subjek penelitian.

Uji kelayakan instrumen dilakukan oleh dosen ahli jurusan PPB FIP UPI

yaitu Dr. Mubiar Agustin, M.pd, Nandang Budiman, S.Pd, M.Si dan Sudaryat

Nurdin Akhmad, M.Pd. Uji kelayakan instrumen dilakukan dengan meminta

masukan dari dosen ahli untuk memberikan penilaian pada setiap item dengan

kualifikasi Memadai (M), dan Tidak Memadai (TM). Item yang memperoleh

kualifikasi nilai M berarti item tersebut dapat digunakan sedangkan item yang

memperoleh kualifikasi nilai TM dapat memiliki dua kemungkinan yaitu item

tersebut tidak bisa digunakan atau masih bisa digunakan dengan cara revisi

terlebih dahulu.

Hasil penilaian menunjukkan secara konstruk hampir seluruh item pada

angket interaksi sosial berada dalam kategori memadai. Terdapat item-item yang

perlu mendapat perbaikan dari segi bahasa dan isi. Berdasarkan hasil penimbang

yang dilakukan dosen ahli dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya item-item

pernyataan layak digunakan dengan beberapa perbaikan agar mudah dipahami

peserta didik sebagai subjek.

Hasil penimbangan instrumen yang dilakukan oleh ketiga dosen ahli dan

revisi dari dosen pembimbing, dapat disimpulkan bahwa terdapat 65 item yang

dapat digunakan dan 9 item yang harus dibuang. Adapun kisi-kisi instrumen

(28)

49

Tabel 3.3

Kisi-kisi Instrumen Interaksi sosial peserta didik (Setelah Judgement)

Aspek/ Dimensi Indikator

Pernyataan

(+) (-)

Role (peran) Memulai interaksi 1,2, 3, 4, 5, 6, 7

Merespon percakapan 8, 9 10,11

Purpose (tujuan)

Berpartisipasi dalam kegiatan 25,26,27 28, 29,30 Tidak berpartisipasi dalam

Sebelum instrumen interaksi sosial diujikan kepada semua sampel

penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji keterbacaan kepada tujuh orang peserta

didik kelas VII SMP Negeri 43 Bandung. Hasilnya, item pernyataan yang telah

diuji keterbacaan tersebut dapat dinyatakan layak diujikan kepada peserta didik

yang menjadi sampel dalam penelitian.

3.4.5Uji Validitas Butir Item

Uji validitas digunakan untuk mengetahui ketepatan instrumen pada yang

seharusnya diukur (Sugiyono, 2012, hlm. 168). Uji validitas butir item dilakukan

terhadap seluruh item yang ada dalam angket interaksi sosial pada peserta didik.

Secara spesifik, semakin tinggi nilai validasi soal menunjukan semakin valid

(29)

untuk mengetahui apakah instrumen yang digunakan mampu mengukur apa yang

diinginkan.

Uji validitas butir item dilakukan dengan menggunakan program SPSS for

Windows Versi 16.0. Uji validitas item dilakukan dengan menganalisis daya

pembeda menggunakan prosedur pengujian Spearman’s rho atau rank difference

correlation coefficient dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana

(Siegel, 1994; Mutmainah, 2009)

Keterangan:

rs = Koefisien korelasi tata jenjang

d = Beda urutan skor pada variabel I dan II 2 = Bilangan konstan (tidak boleh diubah)

Tx = Faktor koreksi x

Ty = Faktor koreksi y

Berdasarkan pengolahan data (lihat lampiran 4), hasil uji validitas item

menunjukkan bahwa dari 56 butir item pernyataan dalam angket interaksi sosial

peserta didik terdapat 50 item pernyataan valid dan 6 item tidak valid.

Tabel 3.4

HasiL Validasi Item Interaksi Sosial

Signifikansi No. Item Jumlah

Jumlah Awal

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51,

52, 53, 54, 55, 56

56

Valid

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56

50 Item

(30)

51

3.3.7 Uji Reliabilitas Instrumen

Uji realibilitas bertujuan agar dapat melihat kemantapan sebuah instrumen

atau mengukur sejauh mana suatu instrumen mampu menghasilkan skor-skor

secara konsisten. Reliabilitas instrumen menunjukkan pengertian bahwa alat ukur

yang digunakan apabila digunakan beberapa kali untuk objek yang sama akan

menghasilkan data yang sama (Sugiyono, 2012, hlm. 168). Instrumen yang baik

adalah instrumen yang dapat dengan ajeg memberikan data sesuai dengan

kenyataan. Instrumen penelitian yang memiliki nilai reliabilitas tinggi apabila tes

yang dibuat memiliki hasil yang konsisten dalam mengukur data yang hendak

diukur.

Perhitungan dalam uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus

Alpha Cronbach dengan memanfaatkan program SPSS for windows versi 16.0.

adapun rumus dengan metode Alpha yang digunakan sebagao berikut:

Keterangan

r11 = Reliabilitas instrumen

k = Banyaknya butir soal

∑S1 = Jumlah varians butir

St = Varians skor total

(Arikunto, 2013, hlm. 239)

Klasifikasi yang dapat dijadikan tolak ukur, digunakan klasifikasi koefisien

reliabilitas (sugiyono, 2010, hlm. 257) sebagai berikut:

0,00 – 0,199 derajat keterandalan sangat rendah

0,20 – 0,399 derajat keterandalan rendah

0,40 – 0,599 derajat keterandalan cukup

0,60 – 0,799 derajat keterandalan tinggi

(31)

Hasil pengujian relibilitas instrumen dilakukan terhadap item terpakai 50

item yang valid pada angket interaksi sosial. Hasil pengujian menggunakan SPSS

for windows versi 16.0 adalah sebagai berikut.

Tabel 3.5

Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Interaksi Sosial

Cronbach's

Alpha N of Items

0,759 50

Pengujian reliabilitas instrumen kemampuan interaksi sosial diperoleh hasil

sebesar 0,759 artinya tingkat korelasi atau derajat keterandalannya termasuk

kedalam kategori tinggi dengn tingkat kepercayaan 95%. Konsistensi Instrumen

yang digunakan dapat dipercaya untuk dijadikan alat pengumpul data.

Tabel 3.6

Merespon percakapan 8, 9 10,11

Purpose (tujuan)

Melakukan interaksi dengan tujuan sosial yang berkenaan dengan interaksi atau kesenangan

Berpartisipasi dalam kegiatan 26 28,30 Tidak berpartisipasi dalam

kegiatan yang sedang berlangsung tetapi juga tidak memperlihatkan perilaku yang tepat

31,32 33, 34,35

Menarik diri dari interaksi di

sekolah 36,37,38 39

Bertindak kasar terhadap orang

lain 42,43,44,45,46 47

Melakukan kegiatan yang

merusak citra diri 49 50,51

Berperilaku tidak pantas terhadap

orang lain 52,53 54,55,56

(32)

53

3.5Langkah-langkah Penelitian

3.5.1 Tahap Persiapan, tahap persiapan meliputi:

a. Membuat proposal penelitian yang dilakukan dengan diawali pemilihan tema

yang paling disenangi berdasarkan fenomena yang akan diteliti, dan

mempresentasikannya dalam mata kuliah Metode Riset,

b. Menyerahkan proposal penelitian yang telah disetujui oleh dosen metode riset

bimbingan dan konseling kepada ketua dewan skripsi, calon dosen

pembimbing skripsi dan ketua jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbinngan

untuk memperoleh persetujuan dan pengesahan,

c. Studi Pendahuluan yang dilakukan pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 43

Bandung pada saat pelaksanaan PLP mengenai interaksi sosial peserta didik.

d. Membuat Surat Ketetapan (SK) pengangkatan dosen pembimbing dan

Mengajukan permohonan izin penelitian yang diajukan kepada jurusan

psikologi pendidikan dan bimbingan yang memberikan rekomendasi untuk

melanjutkan ke tingkat fakultas,

3.5.1 Tahap Pelaksanaan, meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

a. Membuat surat izin penelitian yang telah disahkan disampaikan kepada kepala

sekolah SMP Negeri 43 Bandung

b. Penyusunan dan pengembangan alat pengumpul data yang dimulai dengan

tahapan menyusun instrumen untuk mengungkap interaksi sosial berdasarkan

teori dan indikator yang telah dikembangkan. Sedangkan btir-butir pernyataan

yang dibuat berdasarkan teori dan indikator yang telah dikembangkan. Kisi-kisi

instrumen disempurnakan berdasarkan hasil judgement dari dosen penimbang

terlebih dahulu dan disusun menjadi instrumen yang siap untuk digunakan

sebagai alat pengumpul data.

c. Melakukan uji kelayakan instrumen penelitian kepada tiga dosen ahli

d. Penyebaran angket interaksi sosial yang dilakukan di kelas VII SMP Negeri 43

Bandung. untuk memperoleh gambaran awal interaksi sosial peserta didik.

e. Menghitung dan menganalisis data hasil instrumen penelitian

f. Pembuatan Program Hipotetik layanan konseling berdasarkan hasil analisis

(33)

g. Melakukan diskusi dengan pakar dan praktisi bimbingan dan konseling

mengenai kelayakan Program hipotetik yang telah di rancang

h. Penyempurnaan Program yang berpedoman pada hasil diskusi dan penilaian

oleh pakar dan praktisi bimbingan dan konseling, sehingga program yang telah

dibuat layak untuk laksanakan.

3.4.3 Tahap Pelaporan, meliputi langkah-langkah akhir penelitian yaitu:

a. Penyempurnaan penyusunan laporan pada tahap akhir penelitian

b. Ujian hasil penyusunan laporan akhir penelitian

c. Menyempurnakan penelitian berdasarkan hasil masukan dari dosen penguji

pada ujian sarjana

3.6 Analisis Data

3.6.1 Verifikasi Data

Verifikasi data dilakukan untuk menyeleksi dan mengelompokan data

mengenai kemampuan interaksi sosial yang dianggap layak untuk diolah. Adapun

langkah-langkah verifikasi data yang dilakukan sebagai berikut:

a. Melakukan pengecekan instrumen pengumpul data yang akan diujikan

b. Memeriksa kelengkapan setiap alat pengumpul data yang telah diisi oleh

responden

c. Melakukan perekapan data yang diperoleh dari peserta didik sesuai dengan

tahapan penyekoran yang telah ditentukan

d. Melakukan perhitungan statistik

3.6.2 Penyekoran dan Penafsiran Data Hasil Penelitian

Pada instrumen Interaksi sosial menggunakan skala likert dengan

menyediakan lima alternatif pilihan jawaban yaitu:

Tabel 3.7

Pola Skor Opsi Alternatif Respons Model Summated Ratings (Likert)

Pernyataan Skor Alternatif Respon

SS S KS TS STS

Positif (+) 5 4 3 2 1

(34)

55

Pada instrumen atau alat ukur, setiap butir diasumsikan memiliki skor 1-5

dengan bobot tertentu, yaitu.

1. Untuk pilihan jawaban sangat sesuai (SS) memiliki skor 5 pada pernyataan

positif atau skor 1 pada pernyataan negatif.

2. Untuk pilihan jawaban sesuai (S) memiliki skor 4 pada pernyataan positif atau

skor 2 pada pernyataan negatif.

3. Untuk pilihan jawaban kurang sesuai (KS) memiliki skor 3 pada pernyataan

positif atau skor 3 pada pernyataan negatif.

4. Untuk pilihan jawaban tidak sesuai (TS) memiliki skor 2 pada pernyataan

positif atau skor 4 pada pernyataan negatif.

5. Untuk pilihan jawaban sangat tidak sesuai (STS) memiliki skor 1 pada

pernyataan positif atau skor 5 pada pernyataan negatif.

Perhitungan skor interaksi sosial adalah dengan menjumlahkan seluruh skor

dari setiap pernyataan sehingga menghasilkan skor total interaksi sosial.

Responden dikelompokan kedalam tiga kategori dengan menggunakan

kategorisasi total skor tingkat interaksi sosial, yaitu tinggi, sedang, dan rendah

yang diperoleh melalui konversi skor mentah menjadi skor T dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

a. Menghitung skor total setiap responden

b. Menghitung rata-rata skor setiap responden

c. Menghitung simpangan baku dari keseluruhan skor peserta didik

d. Mengkonversi skor mentah menjadi skor z menggunakan rumus:

Keterangan :

Z skor = skor baku

x = skor total

x = skor rata-rata kelompok

s = simpangan baku

(Furqon, 2009, hlm. 67)

e. Mengelompokan data dan mengkategorikan tingkat ketercapaian skor

berdasarkan pedoman yang ditentukan Azwar (2011, hlm. 109) sebagai

(35)

Tabel 3.8

Pengolahan data dimaksudkan untuk mengukur gambaran umum mengenai

kemampuan interaksi sosial peserta didik yang akan dikembangkan menjadi

program hipotetik, terlebih dahulu dilakukan pengelompokan data menjadi tiga

kategori yaitu tinggi, sedang, rendah. Hasil pengelompokan data yang diperoleh

berdasarkan kategori dan interpretasinya terdapat pada tabel 3.10, sebagai berikut:

Tabel 3.9

Interpretasi Skor Kategori Profil Interaksi Sosial

Kategori profil

Interaksi Sosial Rentang Interpretasi

Tinggi Z > 1

Peserta didik memiliki tingkat interaksi sosial tinggi pada setiap aspeknya yang ditampilkan oleh perilaku peserta didik di sekolah yang meliputi kemampuan dalam memulai interaksi, mampu merespon percakapan, mampu berinteraksi dengan tujuan rekreasi atau kesenangan dan mampu berinteraksi dengan tujuan pemenuhan tugas sekolah, serta ikut terlibat dalam kegiatan positif yang sedang berlangsung di lingkungan sekolah

Sedang - 1 ≤ Z < 1

Peserta didik memiliki tingkat interaksi sosial sedang yang ditampilkan oleh perilaku interaksi sosial peserta didik di sekolah yang meliputi kemampuan memulai interaksi dan merespon percakapan pada beberapa keadaan, melakukan interaksi sosial dengan tujuan kesenangan atau rekreasi dan kemampuan berinteraksi sosial dengan tujuan pemenuhan tugas sekolahpada beberapa keadaan dan ikut terlibat dalam kegiatan positif yang berlangsung di sekolah pada beberapa keadaan.

Rendah Z < -1

(36)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai gambaran interaksi

sosial peserta didik, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Gambaran interaksi sosial peserta didik kelas VII SMP Negeri 43 Bandung

tahun ajaran 2014/2015 pada umumnya (219 peserta didik) berada pada

kategori sedang, 43 peserta didik berada pada kategori tinggi dan 51 peserta

didik berada pada kategori rendah.

2. Berdasarkan gambaran umum interaksi sosial peserta didik kelas VII SMP

Negeri 43 Bandung, diperoleh hasil berupa rancangan intervensi melalui teknik

problem solving untuk meningkatkan interaksi sosial peserta didik yang

difokuskan pada peserta didik yang masih berada pada kategori rendah pada

setiap indikatornya.

5.2 Implikasi

Guru bimbingan dan konseling memiliki peranan penting dalam membantu

mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik serta dalam meraih

kesuksesan dalam berbagai bidang yaitu pribadi, sosial, karir dan belajar di

sekolah. dalam memfasilitasi peserta didik pada bidang pribadi-sosial guru

bimbingan dan konseling perlu memberikan perhatian yang lebih pada keadaan

interaksi sosial peserta didik karena memberikan pengaruh positif pada

perkembangan belajar dan sosialnya di sekolah. Dalam hal ini guru bmbingan dan

konseling dapat berkolaborasi dengan personil sekolah lainnya dalam membantu

perkembangan peserta didik dalam meningkatkan interaksi sosialnya. berdasarkan

hasil penelitian yang berfokus pada kategori indikator paling rendah pada setiap

(37)

5.3 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada peserta didik kelas VII

SMP Negeri 43 Bandung Tahun ajaran 2014-2015 mengenai interaksi sosial

diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Bagi guru bimbingan dan konseling, hasil penelitian dapat di jadikan tambahan

alternatif rujukan untuk diimplementasikan kedalam program bimbingan dan

konseling di sekolah.

2. Bagi peserta didik, teknik problem solving diharapkan mampu meningkatkan

kemampuan interaksi sosial sebagai unsur penting untuk memenuhi kebutuhan

akan harga diri, mengembangkan potensinya dan aktualisasi diri di lingkungan

sekitarnya.

3. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengetahui gambaran interaksi

sosial peserta didik dan dapat mengembangkan proses penelitian sampai pada

proses pelaksanaan layanan konseling melalui teknik problem solving pada

populasi dan sampel yang berbeda sehingga dapat menghasilkan hasil yang

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, M. (2009). Model Konseling Kognitif Perilaku untuk menangani

Kejenuhan Belajar Pada Mahasiswa. Desertasi Program Pasca Sarjana

Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Ahmadi, Abu. (2007). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Alqahtani A.S & Goodwin R. (2012). E-commerce Smartphone Application,

International Journal of Advanced Computer Science and Applications,

3,8,54-59

Ali, M & Asrori. (2009). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Ali, M & Asrori. (2004). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Argyle, Michael. (2009). Social Interaction. United States of America: The States University of New Jersey.

Astuti, et al. (2010). Pengaruh Terapi Kognitif Restrukturasi Terhadap

Penurunan Skor Depresi Pada Pasien Gangguan Jiwa. Jurnal Keperawatan

Soedirman, Vol. 5 No.3

Balley, K.M. (1998). Learning About Language Assesment: Dilemas, Decisions,

and Directionc. Heinle & Heinle Publisher

Berge M, Veerkamp JS & Hoogstraten J. (2002). The etiology of childhood dental

fear: the role of dental and conditioning experiences, J Anxiety Disord., 16:

321–329

Bimo,Walgito, (2003). Psikologi Sosial. Jakarta : C.V Andi Offset.

Beckstead & Goetz (1990). EASI 2 Social Interaction Scale V 6. San Francisco State Univ., CA. California Research Institute. Tersedia: http://www.eric.ed.gov/contentdelivery/servlet/ERICServlet?accno=ED365 049. (27 Mei 2014).

Bergee, Martin J., & Lecia Cecconi-Roberts. (2002). Effects of Small-Group Peer Interaction on Self-Evaluationof Music Performance. Journal of Research in

Music Education.

Burleson, B. B., & Planalp, S. (2000). Producing emotion(al) messages. Communication Theory. Journal of Social and Personal Relationships 10, 221-250.

Carr, Alan. (2004). Positive Psychology: The science of happiness and human

(39)

Chaney, E.F.,O’Leary, M.R. & Alan, M.G. (1978). Skill Training With Alcoholics. Dalam Journal of counseling and clinical psichology. [Online], 46, (5), 1092-1104. Tersedia: http://psycnet.apa.org./index.cfm?fa=buy.optionToBuy&id=1979-26893-001 [5 februari 2014 ].

Chinaveh, Mohabbeh. (2010). Training Problem-Solving to Enhance Quality of Life: Implication towards Diverse Learners. Procedia Social and Behavioral

Sciences. 7(C) (2010) 302–310.

Cormier,W.H. & Cormier,L.S. (1985). Interviewing Stategies for Helpers.

Fundamental Skills and Congnitive behaviral Interventions. (Second Ed.).

Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.

DEPDIKNAS. (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan

Bimbingan dan Konselng dalam JalurPendidikan Formal. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional.

Desmita. (2012). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Desmita. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Digiuseppe, R, et al. (1990). A comparative outcomestudy of four cognitive therapiest in the treatment of social anxiety. Dalam Journal of Rational

emotive and cognitive behavior therapy. [Online], 8, (3), 129-146. Tersedia:

http://link.springer.com/article/10.1007%2FBF01066280?LI=true [5 Februari 2014]

Dobson, K. S. (2001). Hand Book of Cognitive Behavioral Therapies. (Second Ed.). New York: The Guilford Press.

Dobson, K. S . (2010). Hand Book of Cognitive Behavioral Therapies. (Second Ed.). New York: The Guilford Press.

D’Zurilla & Nezu. (2010). Problem-Solving Therapy. Handbook of

Cognitive-Behavioral Therapies. Third Edition. New York: The Guilford Press.

D’Zurilla, T.J., Nezu, A.M., & Olivares, A.M. (2004). “Social Problem Solving:

Theory and Assessment”, dalam Journal Social Problem Solving: Theory,

Research, and Training. Washington: American Psychological Association.

Dusseldrop, D.B.W.M. (1981). Participation In Planned Development Influced by

Governments of Developing Countries Local Level in Rular Areas.

Wegenigen University: Wegenigen

Fahmi, Pandu Fauzi. (2014). Profil Kualitas Interaksi Sosial Cabang Olahraga

Beladiri. Skripsi Pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan

(40)

xii

Frydenberg, Erica. (2002). Adolescent Coping: Theoretical and Research

Perspectives. USA: Taylor & Francis e-Library.

Furqon. (2009). Statistik Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Gerungan. (1996). Psikologi Sosial. Bandung: PT. Aresco

Gerungan. (2004), Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Gerungan. (2009), Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Gunarsa, S.D. (1990). Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Hurlock, E. B. (2000). Psikologi Perkembangan- Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. (Edisi 5). Jakarta: Erlangga

John, W Santrock. 2003. Perkembangan remaja. Adelar B Shinto & Saragih Serly, alih bahasa. Jakarta: Elangga

Kartadinata, Sunaryo. (2012). Menguak Bimbingan dan Konseng sebagai Upaya

Pedagogis (Kiat Mendidik Sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor). Bandung: UPI Press

Krech. et. al. (2003). Manusiaal in Society atau “Psikologi Pendidikan” terj. Abin Syamsudin, Makmun Bandung: PT. Rosda Karya Remaja

Mashudi, Farid. (2010). Psikologi Konseling. Jogjakarta: IRCiSoD

Matshon, Jhonny L & Thomas H. Ollendick. (1988). Enhancing Children’s Social

Skill: Assesment and Training. New York: Pergamon Press

Murdiyanto & Handayani. 2004. Pengertian Interaksi Sosial. Tersedia: http://jurnal-sdm.blogspot.com. [7 mei 2014].

Musfirah, Nika (2013). Peningkatan Interaksi Sosial Dengan Teman Sebaya

Melalui Permainan Scrabble Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Tlogorejo Temanggung Tahun Pelajaran 2012/2013. Jurnal Jurusan Bimbingan dan

Konseling Universitas Sebelas Maret.

Mendonca, J.D. & Siess, T.F. (1976). Counseling For Indecisiveness: Problem Solving and Anxiety Management Training. Dalam Journal counseling

psichology.

Moon, J.R. &. Eisler, R.M. (1983). Anger Control: An Experimental Comparison of Three Behavior Treatments. Dalam Behavior Therapy.

Gambar

Tabel.3.1 Jumlah Populasi
Tabel 3.2
Tabel 3.3 Kisi-kisi Instrumen Interaksi sosial peserta didik
Tabel 3.4 HasiL Validasi Item Interaksi Sosial
+4

Referensi

Dokumen terkait

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama R.I, menyatakan bahwa lembaga di bawah ini telah melakukan updating data Pendidikan Islam (EMIS) Periode Semester GENAP

Pada penelitian lain juga sudah dilakukan bagaimana mengukur parameter internal dari sebuah baterai dengan cara pengukuran yang sama seperti pada super kapasitor[2].. Sebuah

serdang bedagai adalah mayoritas petani sebagai mata pencahariannya, sawah yang menjadi tempat mencari penghasilan untuk menghidupi keluarga tidak sepenuhnya bisa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar logam kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan zink (Zn) di dalam produk ikan tuna kemasan kaleng berdasarkan waktu penyimpanan dengan

POLA PEMBINAAN KEAGAMAAN BAGI TUNANETRA (Studi Deskriptif di Panti Sosial Bina Netra Wyta Guna Bandung.

Perusahaan khususnya pihak manajemen selalu dihadapkan pada perencanaan pengambilan keputusan yang menyangkut berbagai macam alternative yang harus dipilih .Dalam penggambilan

Apabila besar sudut H lebih besar 15º maka bentuk profil wajah adalah cembung, sedangkan bila lebih kecil dari 7º maka bentuk profil wajah adalah cekung karena letak Pog’ lebih

Dalam melakukan analisis terhadap laporan keuangan ini, penulis menggunakan analisis rasio keuangan yang terdiri dari rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio leverage, dan