• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psychological WellBeing pada pria lajang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Psychological WellBeing pada pria lajang."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PSYCHOLOGICAL WELLBEING PADA PRIA LAJANG

Iriani Dwiyanti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran psychological wellbeing

pada pria yang melajang. Fokus penelitian ini pada gambaran hubungan sosial dan tingkat

psychological wellbeing pada pria lajang berumur 50 tahun ke atas. Jenis penelitian ini adalah deskriptif untuk menjawab fokus penelitian. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 2 orang.

Criterion sampling digunakan untuk memilih subjek yang sesuai dengan kriteria yaitu usia sama dengan 50 tahun atau diatasnya dan melajang. Hasil penelitian ini adalah kedua subjek memiliki penerimaan diri, mampu berhubungan yang positif dengan orang lain, mandiri, mampu mengembangan dirinya dan menguasai lingkungan sekitarnya. Namun, tujuan hidup kedua subjek rendah karena keduanya tidak memilliki tujuan yang jelas untuk hidupnya sampai tua nanti. Selain itu, kedua subjek mampu berhubungan sosial dengan baik juga.

(2)

PSYCHOLOGICAL WELLBEING IN SINGLE MAN

Iriani Dwiyanti

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the conception of psychological wellbeing on unmarried male.The focus of the study is on the conception of social relationship dan psychological wellbeing rate/level on 50s-year-unmarried male.To answer the research questions, the researcher used the decriptive research.The subject of the study are two persons.Criterion Sampling was used to choose the subject fulfill the criteria given which is 50 year old male or older.The result the study is that the two subjects have self-acceptance, capable of having positive relationship with others, have autonomy, capable of self-improvement, and capable of environment-mastery. However, the purpose of living both subject is low because they don’t have clear objective for their lives. Besides, both subjects are capable of of having good social relationship as well.

(3)

PSYCHOLOGICAL WELLBEING PADA PRIA LAJANG

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Iriani Dwiyanti

NIM : 089114054

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013

(4)
(5)
(6)

MOTTO

Kehidupan itu sebenarnya sedehana tetapi kitalah

yang membawanya rumit – Kong Hu Chu

Tugasmu adalah menemukan duniamu

kemudian mempersembahkan dirimu kepada

dunia – Buddha

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini ku persembahkan kepada :

Tuhan Yesus di surga dan Bunda Maria, tanpa uluran tanganNya saya tidak dapat menyelesaikan karya ini dengan baik

My lovely dad and mom...yang sudah merawatku

sampai detik ini...cinta dan kasih sayang kalian

tidak akan pernah tergantikan...

Kakakku, Teddy Winarto, S.T. yang selalu menyemangati dan menyuruhku untuk cepat menyelesaikan karya ini...makasih,oh..

Benny Setyawan, S.Farm., Apt. and fam....yang selalu

mengingatkanku, menyemangati dan membantuku untuk

cepat menyelesaikannya...thank you for support and always

loving me...

(7)
(8)

PSYCHOLOGICAL WELLBEING PADA PRIA LAJANG

Iriani Dwiyanti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran psychological wellbeing

pada pria yang melajang. Fokus penelitian ini pada gambaran hubungan sosial dan tingkat

psychological wellbeing pada pria lajang berumur 50 tahun ke atas. Jenis penelitian ini adalah deskriptif untuk menjawab fokus penelitian. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 2 orang.

Criterion sampling digunakan untuk memilih subjek yang sesuai dengan kriteria yaitu usia sama dengan 50 tahun atau diatasnya dan melajang. Hasil penelitian ini adalah kedua subjek memiliki penerimaan diri, mampu berhubungan yang positif dengan orang lain, mandiri, mampu mengembangan dirinya dan menguasai lingkungan sekitarnya. Namun, tujuan hidup kedua subjek rendah karena keduanya tidak memilliki tujuan yang jelas untuk hidupnya sampai tua nanti. Selain itu, kedua subjek mampu berhubungan sosial dengan baik juga.

Kata kunci : psychological wellbeing, pria lajang

(9)

PSYCHOLOGICAL WELLBEING IN SINGLE MAN

Iriani Dwiyanti

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the conception of psychological wellbeing on unmarried male.The focus of the study is on the conception of social relationship dan psychological wellbeing rate/level on 50s-year-unmarried male.To answer the research questions, the researcher used the decriptive research.The subject of the study are two persons.Criterion Sampling was used to choose the subject fulfill the criteria given which is 50 year old male or older.The result the study is that the two subjects have self-acceptance, capable of having positive relationship with others, have autonomy, capable of self-improvement, and capable of environment-mastery. However, the purpose of living both subject is low because they don’t have clear objective for their lives. Besides, both subjects are capable of of having good social relationship as well.

Keywords: psychological wellbeing, single man

(10)
(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan di surga atas segala rahmat dan karuniaNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan orang lain.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu menyertai

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi,

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan dosen pembimbing

skripsi...terima kasih atas masukan dan kritik yang sudah diberikan

pada penulis…

3. Alm. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dosen Pembimbing

Akademik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta...

4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas

Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

5. Ibu Monica E. Madyaningrum, M.App.Psych selaku dosen

pembimbing skripsi pertama...terima kasih atas semua masukan

dan saran serta kritik kepada saya...

6. Mas Gandung, Mba Nanik, Pak Gik, Mas Doni dan Mas

Muji..terima kasih karena selalu melayani kami – kami semua

dengan baik...Buat Mas Muji, makasih atas masukannya sewaktu

saya menjadi asisten Grafis, Sera...Mas Gandung,makasih juga atas

(12)

kesempatan yang diberikan kepadaku untuk menjadi asisten

pengawas ujian...

7. Teman – teman Ganesha angkatan 44, Soda Zone (Yeyen, Shasya,

Yayol, Chaoz, Ragilz, Azfar, Anggun, dll) ..thank you for all

support to me...Akhirnya, aku menyusul kalian...

8. Teman – teman Psikologi ‘08 USD...Lita, Dessy, Nindi, Rosa, Ela,

Rio, Novi, Tiwi, Intan, Vincent, Yoshi, ChaCha,dll yang tidak bisa

disebutkan semua...terima kasih sudah memberiku semua tawa dan

bahagia...semua kenangan tidak akan dilupakan...someday we wil

meet again...

9. Anggota kelompok KKN 11 angkatan XLII Dongkelsari Wawan,

Haya, Tante Cindy, Acen, Tina, Efa, Dita, Monic...terima kasih

atas kerjasamanya dan menyelesaikan program KKN kita dengan

baik..kita bisa kembali lagi ke Dusun Dongkelsari pada suatu hari

nanti...Specially to Benny di dalam kelompok ini kita

dipertemukan oleh-Nya...

10.Teman – teman Kost Mawar, semoga masih diberi kesempatan

untuk kembali lagi...Yustina Fanny Susanti, S.Pd., teman terbaik

yang sudah mau membantu ku dalam segala kesempatan...sudah

banyak merepotkan,hehehe...mau mendengarkan keluh kesah ku

dalam segala masalah...

(13)

11.Bapak dan Ibu di Magelang...Mas Probo, Mba Nuri, Bima dan

Tiara dan FX. Galih Widyawan, makasih sudah membantu dan

memberi banyak nasehat dan masukan...

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena

itu, penulis menerima saran dan kritik dari pembaca untuk memperbaiki skripsi

ini.

Yogyakarta, 11 Oktober 2013

Penulis

Iriani Dwiyanti

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...iv

HALAMAN PERYATAAN KEASLIAN KARYA ...v

ABSTRAK ...vi

ABSTRACT ...vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...viii

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI ...xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Praktis ... 9

2. Manfaat Teoritis ... 9

(15)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Psychological Wellbeing ... 10

1. Pengertian Psychological Wellbeing ... 10

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Wellbeing ... 13

B. Pria Lajang dan Dewasa Tengah ... 14

C. Psychological Wellbeing pada Pria Lajang Dewasa ... 15

D. Pertanyaan Penelitian ... 16

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 17

A. Jenis Penelitian ... 17

B. Fokus Penelitian ... 17

C. Subjek Penelitian ... 17

D. Metode Pengumpulan Data ... 18

E. Prosedur Analisis Data ... 19

1. Organisasi Data ... 19

2. Koding (memberi kode) ... 20

3. Intepretasi ... 20

F. Kredibilitas dan RealibilitasPenelitian ... 21

1. Kredibilitas Penelitian ... 21

2. Realibilitas Penelitian ... 21

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

A. Proses Penelitian ... 22

1. Persiapan Penelitian ... 22

2. Pelaksanaan Penelitian ... 23

(16)

3. Proses Analisis Data ... 23

4. Jadwal Pengambilan Data ... 24

B. Profil Subjek ... 27

1. Subjek 1 ... 27

2. Subjek 2 . ... 27

C. Kategorisasi Tema ... 28

1. Pengalaman Masa Lalu dan Lama Tidak Menjalin Hubungan dengan Wanita Menjadi Latar Belakang Subjek Melajang ... 28

2. Faktor Ekonomi dan Sifat Wanita yang Tidak Baik adalah Faktor yang Mempengaruhi Subjek Melajang ... 28

3. Melajang adalah Kebebasan dan Tidak Menafkahi Istri dan Anak namun Penyesalan di Hari Tua ... 29

4. Hubungan Sosial Tidak Terhambat oleh Status Lajang ... 30

5. Status Lajang Tidak Mempengaruhi Pertemanan ... 31

6. Subjek Menerima Status Lajangnya dan Optimis dalam Hidup namun Terkadang Berpikir Mengapa Tidak Menikah dan Masih Ada Keinginan yang Belum Terpenuhi ... 31

E. Deskripsi Hasil dan Pembahasan... 33

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

A. Kesimpulan ... 40

B. Keterbatasan Penelitian ... 41

C. Saran ... 41

(17)

DAFTAR PUSTAKA ... 42

LAMPIRAN ... 45

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Wawancara ... 19

Tabel 2. Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (GSS) ... 24

Tabel 3. Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (HK) ... 25

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 1 (GSS) ... 46

Lampiran 2. Koding Subjek 1 (GSS) ... 48

Lampiran 3. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 2 (HK) ... 69

Lampiran 4. Koding Subjek 2 (HK) ... 71

Lampiran 5. Protokol Wawancara ... 82

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan dianggap sebagai pengalaman psikologis yang penting

dan secara signifikan menentukan kualitas psikologis seseorang. Menikah

merupakan salah satu tahap yang dilewati seseorang, hal ini terdapat dalam

teori perkembangan. Seseorang menjadi dewasa maka ia akan

meninggalkan rumah dan hidup sendiri kemudian ia akan mendapat

pasangan dan membentuk keluarga baru (Carter dan Mc Goldrick dalam

Santrock, 2002). Ketika seseorang keluar dari rumah, ia harus mampu

bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pada tahap keintiman dan

keterkucilan yang merupakan tahap ke-6 perkembangan menurut Erikson

(dalam Santrock, 2002) disebutkan bahwa seseorang menghadapi tugas

perkembangan membentuk relasi yang intim dengan orang lain. Jika

seseorang tidak mampu membentuk relasi tersebut maka ia akan merasa

terisolasi. Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa membentuk relasi

dengan orang lain dapat membuat keadaan psikologis seseorang menjadi

lebih baik dan menjauhkan dari rasa depresi. Selain itu, relasi yang dibuat

seseorang tidak hanya antar teman tetapi juga lawan jenis. Relasi lawan

jenis dapat terjadi jika seorang pria mulai tertarik dan cocok terhadap

seorang wanita.

(21)

2

Pernikahan membawa dampak positif pada kualitas psikologis

seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Stutzer dan Frey (2006),

menyebutkan bahwa terdapat perbedaan keuntungan antara orang yang

menikah dan tidak. Orang yang menikah memiliki fisik dan kesehatan

psikologis yang baik. Selain itu, secara ekonomi orang yang menikah lebih

memiliki kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Hal ini disebabkan

karena adanya penggabungan pendapatan antara suami dan istri yang

bekerja. Seseorang yang menikah juga memiliki umur yang lebih panjang

dan menjauhkan dari tindakan kriminal (Kompas.com, 26 Juli 2010).

Pernikahan selalu diasosiasikan dengan kebahagiaan dan kesehatan

mental yang baik (Gove, Hughes dan Style, 1983; Gove dan Shin, 1989;

Lee, Seccombe dan Shehan, 1991 dalam Marks dan Lambert, 1996).

Penelitian yang dilakukan oleh Gove dan Tudor (1973 dalam Marks dan

Lambert, 1996) menemukan bahwa menikah melindungi kesehatan mental

yang lebih besar pada pria daripada wanita. Namun, Fox (1980 dalam

Marks dan Lambert, 1996) menemukan fakta sebaliknya bahwa wanita

memiliki banyak keuntungan dengan menikah.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa menikah

selalu diasosiasikan dengan bahagia. Seseorang yang menikah akan

memiliki kesehatan mental yang baik daripada seseorang yang tidak

menikah. Orang tersebut memiliki perasaan positif, bahagia, kepuasaan

dalam hidup dan memiliki harga diri (Marks, 1996). Meskipun ada

(22)

pernikahan mereka namun hal tersebut tidak dialami oleh orang-orang

yang menikah.

Berdasar data di atas tampak bahwa pernikahan memiliki arti penting

bagi kualitas psikologis dan fisik seseorang. Meskipun demikian, pada

dewasa ini, banyak orang memilih untuk melajang. Hal ini disebabkan

oleh beberapa alasan, di antaranya belum menemukan yang cocok,

memandang bahwa pernikahan dapat merenggut kebebasan ataupun

karena individu tersebut tidak sejahtera secara ekonomi (Kompasiana, 14

Desember 2010). Selain itu, adanya pengalaman traumatik dalam

pernikahan yang dialami oleh saudara dekatnya atau teman juga dapat

menjadi penyebab seseorang menjadi takut menikah dan memilih untuk

melajang. Beberapa mitos tentang pernikahan juga menyebabkan

seseorang takut untuk menikah, seperti orang menikah memiliki kepuasan

seks yang lebih rendah daripada orang yang melajang, menikah membuat

seorang wanita lebih beresiko mengalami kekerasan fisik (Sriwijaya Post,

21 April 2012).

Kebanyakan orang cenderung untuk menghindari stress dan depresi

yang akan dihadapi ketika mereka menikah. Faktor pekerjaan juga

berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Ketika seseorang mengejar karir

dan tidak mementingkan hal lain maka orang tersebut sulit untuk

memikirkan hal lain di luar pekerjaan yang ia geluti (Kumalasari, 2008,

(23)

4

Tidak sedikit jumlah orang – orang yang tidak menikah. Contohnya,

di Amerika Serikat jumlah orang dewasa awal yang belum menikah

meningkat tajam. Pada tahun 1970, 36% wanita dan 55% pria pada rentang

usia 20 – 40 tahun belum menikah. Kemudian pada tahun 2003, 40%

wanita dan 80% pria pada rentang usia yang sama mereka belum menikah.

Pada rentang usia 30 – 34 tahun, 23% wanita dan 33% pria belum menikah

(Fields, 2004 dalam Papalia, Olds, Feldman, 2009). Di Jepang, terdapat

60% pria pada rentang usia 18-34 tahun tidak menikah dan sekitar 30%

wanita pada rentang usia yang sama juga belum menikah (BBC, 28

November 2011). Hasil survei tersebut lebih tinggi dibandingkan pada

survei sebelumnya pada tahun 2005.

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem budaya Timur.

Dalam hal ini, pernikahan merupakan sesuatu yang penting dan wajib

untuk dilakukan. Orang tua yang memiliki anak merasa bahwa anaknya

sudah dianggap dewasa dan mandiri jika sudah menikah. Jika belum

menikah, seorang anak tetap menjadi tanggung jawab orang tuanya.

Di kota besar, menikah merupakan fenomena yang langka karena

kebanyakan dari orang – orang yang hidup di sana hanya memikirkan

meniti karir dan pekerjaan. Mereka cenderung untuk tidak memikirkan

pernikahan. Berdasar data Femina (No. 46/XXV, 20 – 26 November 1997)

di dapat bahwa pada tiap tahunnya jumlah pernikahan dengan usia di atas

20 tahun terus meningkat. Pada tahun 1973, sekitar 20% wanita menikah

(24)

16,4%. Namun, pada tahun 1995 jumlah orang menikah pada usia di atas

20 tahun meningkat tajam, ada sekitar 38,9%.

Berdasar survey yang telah dilakukan pada pria dengan rentang usia

25 – 35 tahun berjumlah 60 orang didapat beberapa alasan pria melajang.

Tidak ingin dikekang 35%, fokus pada karir 29%, belum merasa mapan

20% dan 16% menyebutkan bahwa mereka belum menemukan wanita

yang tepat (Femina, no. 14, 6-12 April 2006).

Meskipun angka individu yang memilih untuk melajang semakin

tinggi namun pilihan untuk melajang masih cenderung dianggap tidak

lazim. Kehidupan melajang seringkali diasosiasikan dengan lebih banyak

hal – hal yang negatif daripada yang positif.

Penelitian yang sudah dilakukan di area ini lebih banyak yang di

fokuskan pada wanita. Contohnya penelitian yang dilakukan oleh

Darmawati (2001) tentang Psychological Well Being pada Wanita Lajang,

Dwi Utami Rias Pertiwi (2011) dan Tri Yuliana (2006). Selain itu, Dyah

Kumalasari (2008) yang merupakan staf pengajar di FISE UNY juga

meneliti tentang wanita lajang.

Baron (dalam Andryana, 2007 dalam Oktaria, 2009) alasan pria tidak

menikah adalah komitmen menikah akan merusak hubungan yang sudah

terjalin, ketika menikah sudah tidak bebas lagi, takut bercerai, trauma

kegagalan orang tuanya dan terkadang pria memiliki sifat pembosan.

Banyak penelitian yang mengkaji tentang wellbeing. Ketertarikan

(25)

6

pada kualitas psikologis positif (Cacioppo dan Bernston, 1999 dalam Ryan

dan Deci, 2001). Psychological wellbeing istilah yang digunakan untuk

melihat fungsi psikologi positif yang ada pada seseorang (Ryff, 1989).

Istilah psychological wellbeing dikemukakan oleh Ryff memiliki 6

aspek yang menyusunnya. Penerimaan diri, hubungan positif dengan orang

lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan

pengembangan diri adalah aspek – aspek penyusunnya. Ryff menilai

apakah seseorang memiliki psychological wellbeing yang tinggi / rendah

dengan menggunakan Ryff’s Scale (Ryff, 1989).

Penerimaan diri tinggi jika individu berperilaku positif, mengakui

dan menerima aspek dirinya yang baik dan buruk, menerima masa lalu

dengam positif. Hubungan positif dengan orang lain dinilai tinggi jika

memiliki kehangatan dan percaya pada hubungannya dengan orang lain.

Seseorang mempunyai kemandirian yang baik jika independen dan mampu

mengevaluasi dirinya sesuai standard personalnya. Seseorang mampu

mengatur lingkungannya, mampu memanipulasi dan mengkontrol

lingkungan, memajukan dan mengganti secara kreatif untuk aktivitas fisik

maupun mental maka orang tersebut memiliki skor penguasaan lingkungan

yang tinggi. Tujuan hidup dinilai tinggi jika seseorang memiliki tujuan,

misi dan arah yang membuat hidup ini lebih bermakna. Pengembangan diri

seseorang tinggi jika mampu mengembangkan suatu potensi untuk tumbuh

(26)

Bagi pria, pernikahan harus berjalan selamanya dan merupakan

keputusan yang mempengaruhi hidupnya. Pria menggambarkan bahwa ia

harus memikirkan rencana jangka panjang apakah ia memilih wanita yang

tepat dan sesuai dengan pilihannya. Selamanya juga diartikan bagi pria

apakah ia juga mampu mendampingi wanita yang sama untuk waktu yang

lama. Perceraian adalah salah satu alasan mereka takut membina

pernikahan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Weisman pada pria

lajang, seseorang akan selalu berkembang dan berubah. Perubahan dari

perkembangan tersebut akan terjadi pada diri suami atau istri sehingga

mereka tidak yakin apakah akan bertahan atau tidak (Kompas.com, 20

Januari 2010).

Penelitian yang dilakukan terhadap 440.000 pria dan wanita yang

dilakukan oleh University of Oslo, Norwegia. Ditemukan bahwa pria

lajang beresiko dua kali lebih tinggi meninggal karena kanker, daripada

pria yang sudah menikah. Seperti yang diinformasikan Daily Mail pada

Minggu (16/10/2011), mereka sebelumnya meneliti kematian akibat

kanker 40 tahun kebelakang. Pria dan wanita yang belum menikah lebih

sering meninggal dunia dari 13 tipe umum kanker seperti paru-paru,

payudara dan prostat. Angka kematian responden pria yang belum

menikah sebesar 18 persen hingga 35 persen. Dua kali lebih tinggi dari

angka kematian responden wanita yang belum menikah, yakni 17 persen

(27)

8

Berdasar amatan sederhana peneliti pada pria – pria yang memilih

melajang yang di jumpai oleh peneliti, terungkap bahwa mereka juga

memiliki kompleksitas sendiri terkait dengan pilihannya untuk melajang.

Peneliti melakukan wawancara sederhana tentang pria lajang dan

alasannya melajang. Didapatkan bahwa pria melajang karena

kesibukannya dalam pekerjaan sehingga tidak memikirkan pernikahan.

Selain itu, pria yang melajang tidak memiliki tujuan yang jelas dan lebih

memikirkan dirinya sendiri. Ketika ditanya apa yang akan dilakukannya

esok hari, pria tersebut menjawab tidak tahu dan lihat besok saja. Ia lebih

suka tinggal di rumah dan menonton televisi. Pria yang melajang juga

mudah terpengaruh oleh orang lain tanpa berpikir terlebih dahulu. Pria

lajang tersebut juga tidak tertarik untuk melakukan hobinya lagi karena

sudah tidak tertarik dan merasanya badannya tidak mampu lagi. Mencari

nafkah untuk dirinya sendiri juga sudah tidak mampu ia kerjakan dan

hidupnya bergantung pada adik perempuannya. Berdasarkan hasil

wawancara sederhana tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih jauh

tentang pria lajang dalam menjalani hidupnya.

B. Rumusan Masalah

(28)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran psychological

wellbeing pada pria yang hidup melajang.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi para pembaca

gambaran psychological wellbeing pada pria yang hidup melajang.

2. Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian pada ilmu psikologi adalah menambah kajian

tentang kesejahteraan psikologis dan kesehatan mental pada pria

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Psychological Wellbeing

1. Pengertian Psychological Wellbeing

Psychological wellbeing adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan kesehatan psikologis seseorang berdasar pemenuhan

kriteria fungsi psikologi positif (Ryff, 1989). Huppert (2009)

menyatakan bahwa psychological wellbeing adalah tentang hidup

yang berjalan dengan baik. Kombinasi dari perasaan yang baik dan

berfungsi efektif.

Psychological wellbeing adalah bentuk kenyamanan seseorang

(Diener, Wolsic dan Fujita,1995 dalam Haryanto dan Suyasa, 2007).

Wang (2002) mendefinisikan psychological wellbeing sebagai fungsi

psikologis yang positif dari individu (dalam Haryanto dan

Suyasa,2007). Deci dan Ryan (2008 dalam Winefield, Gill, Taylor

dan Pilkington) menjelaskan bahwa psychological wellbeing biasanya

dikonseptualisasikan sebagai bagian dari perasaan positif seperti

kebahagiaan dan fungsi yang optimal pada individu dan kehidupan

sosial. Jadi, psychological wellbeing adalah fungsi psikologis positif

yang berjalan optimal pada individu.

Ryff (1989) menyebutkan aspek – aspek yang menyusun

psychological wellbeing adalah :

(30)

a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Kriteria yang paling utama dalam wellbeing adalah

perasaan individu terhadap penerimaan diri sendiri. Definisi

sebagai pokok kesehatan mental seperti karakteristik

aktualisasi diri, fungsi yang optimal dan kedewasaan. Teori

rentang kehidupan juga menegaskan tentang penerimaan

terhadap diri dan masa lalu.

b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with

Others)

Banyak teori yang menegaskan pentingnya kehangatan,

saling percaya dalam hubungan interpersonal. Kemampuan

untuk mencintai dipandang sebagai komponen pokok

kesehatan mental. Hubungan yang hangat dengan orang lain

sebagai kriteria kedewasaan, empati, memiliki perasaan

terhadap orang lain dan hubungan pertemanan yang dalam.

Jadi, hubungan positif dengan orang lain sangat penting dalam

konsep psychological wellbeing.

c. Kemandirian (Autonomy)

Kemampuan individu dalam mengambil keputusan

sendiri, bebas dan tidak terikat peraturan berperilaku dari

orang lain. Seseorang sangat berfungsi juga dideskripsikan

(31)

12

standar personal. Selain itu, individu mampu melawan tekanan

sosial untuk berpikir.

d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Kemampuan individu untuk memilih atau membuat

lingkungan yang nyaman untuk dirinya sesuai dengan kondisi

fisik, mampu untuk memanipulasi dan mengkontrol

lingkungan, memajukan dan mengganti secara kreatif untuk

aktivitas fisik maupun mental.

e. Tujuan Hidup (Pupose in Life)

Kesehatan mental mencakup kepercayaan – kepercayaan

yang memberikan individu perasaan bahwa hidup ini memiliki

tujuan dan makna. Individu yang berfungsi penuh memiliki

tujuan, misi dan arah yang membuat hidup ini lebih bermakna.

f. Pengembangan Diri (Personal Growth)

Fungsi psikologis yang optimal tidak hanya mencapai

karakteristik yang khas tetapi juga mampu mengembangkan

suatu potensi untuk tumbuh dan memperluas sebagai seorang

individu. Kebutuhan aktualisasi diri dan menyadari potensi

yang dimilikinya sebagai pusat perspektif klinis dalam

pengembangan diri.

Jadi, psychological wellbeing dinilai tinggi / rendah pada

seorang individu. Nilai psychological wellbeing seseorang tinggi jika

(32)

wellbeing dengan optimal dan baik (Ryff dalam Papalia, Olds dan

Feldman, 2009).

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi Psychological Wellbeing

Faktor – faktor yang mempengaruhi psychological wellbeing, adalah :

a. Usia

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ryff (1989)

ditemukan perbedaan tingkat psychological wellbeing dari

berbagai kelompok usia. Usia yang bertambah membuat

penguasaan lingkungan seseorang menjadi lebih baik sehingga

mampu mengatur lingkungannya.

b. Jenis kelamin

Ryff (1989) mengatakan bahwa dalam berhubungan

sosial terdapat perbeaan antara pria dan wanita. Laki – laki

lebih mandiri dan tidak mudah tergantung orang lain

sedangkan wanita lebih lemah dan tergantung

(Papalia,Feldman dan Duskin, 2001).

c. Kelas sosial dan kekayaan

Diener dan Diener (1995 dalam Ryan dan Deci, 2001)

menemukan bahwa status keuangan seseorang mempengaruhi

(33)

14

B. Pria Lajang dan Dewasa Tengah

Jung (1971, 1969 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008)

mengatakan bahwa orang dewasa pada usia 40 tahunan memiliki

kewajiban pada keluarga dan masyarakat untuk membantu mereka dalam

mencapai tujuan. Sedangkan Erikson (dalam Papalia, Old dan Feldman,

2008) mengatakan bahwa pada usia paruh baya seseorang berada pada fase

generativitas vs stagnasi. Hal ini menyebutkan bahwa orang dewasa

mengembangkan dan membantu generasi selanjutnya jika tidak maka

orang tersebut tidak mengalami perasaan yang tidak hidup atau tidak

berkembang. Tugas paruh baya yang harus dilewati adalah mencari makna

dalam diri. Tahap ini harus dilalui oleh seseorang agar ia mampu bertahan

dan tujuan hidupnya menjadi jelas. Jika seseorang menghindar dari fase ini

maka ia akan kehilangan kesempatan untuk membuat dirinya berkembang

secara psikologis (Jung, 1966 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008).

Pria pada tahap ini diharapkan mampu untuk membantu generasi

selanjutnya untuk mencapai tujuan dan memberikan ilmunya. Selain itu,

seorang pria diharapkan memiliki tujuan hidup dan mampu berhubungan

sebagai individu dengan pasangannya (Havighurst, 1972 dalam Santrock,

(34)

C. Psychological Wellbeing pada Pria Lajang Dewasa

Ryff (1989) mengatakan bahwa orang yang sehat secara psikologis

memiliki sifat positif pada dirinya sendiri dan orang lain. Selain itu,

mereka mampu membuat keputusan sendiri, mengatur perilakunya dan

mampu membentuk lingkungannya sesuai dengan diri mereka. Mereka

juga memiliki tujuan dalam hidupnya dan mengembangkan dirinya

sendiri. Pria memiliki kesejahteraan yang baik jika pendidikannya tinggi

dan memiliki pekerjaan yang baik (Ryff dan Singer, 1998 dalam Papalia,

Old dan Feldman, 2008). Ryff juga menemukan bahwa usia paruh baya

pada umumnya merupakan masa kesehatan mental positif.

Usia paruh baya atau usia 50 tahun memiliki tugas perkembangan

berupa pengembangan identitas dan relasi serta kesejahteraan psikologis.

Ketika seorang pria berkeluarga maka ia memiliki identitas sebagai ayah

atau suami. Relasi yang ia miliki juga luas. Relasi dengan istri dan

keluarganya serta relasi pada anak dan teman dari anak – anaknya. Hal –

hal tersebut yang membuat psikologis seseorang berkembang. Studi yang

dilakukan pada 32624 pria Amerika dengan usia 42 – 77 tahun

menemukan bahwa pria yang tidak menikah, memiliki teman dan keluarga

kurang dari 6 orang dan tidak menjadi anggota suatu kelompok cenderung

tinggi untuk meninggal karena sakit jantung, kecelakaan atau bunuh diri

daripada pria yang jaringan sosialnya luas (Kawachi et al, 1996 dalam

Papalia, Old dan Feldman, 2008). Hubungan baik dengan saudara kandung

(35)

16

karena mengurangi simptom masalah psikologis (Paul, 1997 dalam

Papalia, Old dan Feldman, 2008).Selain itu, tugas paruh baya yang harus

dilewati adalah mencari makna dalam diri. Tahap ini harus dilalui oleh

seseorang agar ia mampu bertahan dan tujuan hidupnya menjadi jelas

(Jung, 1966 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008).

Pria yang masih melajang pada usia tersebut berarti tidak melewati

proses tersebut. Seseorang menghindar dari fase ini maka ia akan

kehilangan kesempatan untuk membuat dirinya berkembang secara

psikologis (Jung, 1966 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008). Pria yang

melajang berarti tidak membuat dirinya berkembang secara psikologis.

D. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang muncul adalah bagaimana psychological

(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Hasil dari studi

dengan pendekatan deskriptif adalah suatu gambaran detail mengenai subjek

penelitian (Audifax, 2008). Dengan metode pengumpulan data

menggunakan wawancara.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pria lajang melihat pengalaman dan statusnya

sebagai lajang

2. Bagaimana hubungan sosial pria yang melajang

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pria dengan umur 50 tahun.

Kriteria subjek ini adalah pria lajang dan memutuskan untuk tidak menikah.

Subjek dalam penelitian berjumlah 2 orang dan dipilih dengan

menggunakan criterion sampling. Subjek dipilih menggunakan kriteria yang

sesuai (Poerwandari, 2005). Peneliti menetapkan bahwa subjek merupakan

seseorang yang tidak pernah menikah dan memutuskan untuk melajang

(37)

18

dengan usia 50 tahun. Subjek yang dipilih merupakan orang biasa bukan

dari kalangan biarawan.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini

adalah wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu

(Moleong, 2009). Menurut Banister,dkk (1994 dalam Poerwandari, 2005),

wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk

mencapai tujuan tertentu.

Peneliti menggunakan metode wawancara dengan pedoman

wawancara yang telah dibuat terlebih dahulu. Pedoman wawancara

digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus

dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek

yang relevan sudah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2005).

Dalam membuat pertanyaan yang akan ditanyakan pada subjek,

peneliti menyusun pedoman wawancara terlebih dahulu. Di bawah ini

adalah pedoman wawancara yang digunakan sebagai panduan wawancara

(38)

Tabel 1

Panduan Wawancara

No Fokus Pertanyaan

1 Bagaimana pria lajang

melihat pengalaman dan

statusnya sebagai lajang

Latar belakang pilihan

Faktor-faktor yang mempengaruhi

pilihan

Pemaknaan terhadap pilihan

2 Bagaimana hubungan

sosial pria lajang

Gambaran kehidupan sosial dan sebaya

Pengaruh status lajang pada hubungan

sosial dan sebaya

E. Prosedur Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan

bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi

satuan yang dapat dikelola, mensitesiskannya, mencari dan menemukan

pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan

memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Bogdan dan

Biklen, 1982 dalam Moleong, 2009).

Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah :

1. Organisasi data

Data kualitatif sangat banyak dan beragam, menjadi kewajiban

dari seorang peneliti untuk mengorganisasikan data dengan rapi,

(39)

20

Poerwandari. 2005), organisasi data yang sistematis memungkinkan

peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik,

mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data dan

analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Pada tahap ini,

peneliti memindahkan hasil wawancara dari recorder ke dalam bentuk

tulisan (verbatim).

2. Koding (memberi kode)

Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan

mensistematisasi data secara lengkap dan detail sehingga data dapat

memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Oleh karena

itu, peneliti dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkan

(Poerwandari, 2005). Peneliti memberikan kode atau memberi nomor

pada jawaban subjek sehingga peneliti dapat dengan mudah melihat

jawaban subjek yang sesuai dengan fokus penelitian.

3. Intepretasi

Pada tahap ini, peneliti melakukan analisis tematik. Analisis

tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat

menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator kompleks,

kualifikasi yang terkait dengan tema atau hal-hal diantara atau

gabungan dari yang telah disebutkan (Poerwandari, 2005). Tahap ini

dilakukan setelah peneliti melakukan verbatim dan pemberian kode

(40)

F. Kredibilitas dan Reliabilitas Penelitian

1. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas menjadi istilah yang dipilih pada penelitian

kualitatif untuk menggantikan konsep validitas pada penelitian

kuantitatif. Kredibilitas peelitian kualitatif terletak pada

keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau

mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi

yang kompleks (Poerwandari, 2005).

2. Reliabilitas Penelitian

Peneliti menggunakan metode diskursus untuk mendapatkan

reliabilitas pada penelitian ini (Poerwandari, 2005). Metode diskursus

adalah metode dimana peneliti mendiskusikan hasil temuan pada orang

(41)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Proses Penelitian

1. Persiapan Penelitian

Persiapan yang dilakukan oleh peneliti sebelum melakukan

wawancara adalah :

a. Peneliti mencari subjek terlebih dahulu. Subjek yang dicari

adalah pria berumur 50 tahun dan tidak menikah. Peneliti

mendapat bantuan dari orang tua dan teman dalam mencari

subjek.

b. Peneliti kemudian memastikan bahwa subjek belum dan

memutuskan untuk tidak menikah. Setelah itu, peneliti meminta

kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti

menjelaskan kepada subjek bahwa semua data yang bersifat

pribadi akan dijamin kerahasiannya.

c. Peneliti menggunakan tape recorder untuk merekam sesi

wawancara dengan subjek pertama. Namun, pada subjek kedua,

peneliti tidak menggunakan alat rekam karena subjek tidak

bersedia untuk direkam dan peneliti hanya menulis

jawaban-jawaban subjek.

(42)

2. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan wawancara dilakukan dalam beberapa pertemuan.

Peneliti dan subjek menentukan waktu untuk melakukan wawancara.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu membuat

panduan wawancara untuk mempermudah jalannya wawancara. Pada

pelaksanaan wawancara, peneliti menggunakan alat rekam untuk

merekam sesi wawancara dengan subjek pertama. Sedangkan pada

subjek kedua, peneliti hanya mencatat jawaban-jawaban subjek karena

subjek tidak bersedia untuk direkam.

Sesi wawancara tiap subjek berbeda tergantung respon yang

diberikan oleh masing-masing subjek. Tempat dilaksanakannya

wawancara untuk subjek pertama dan kedua berbeda karena subjek

tidak berada di kota yang sama. Oleh karena itu, peneliti

menyelesaikan sesi wawancara dengan subjek pertama terlebih dahulu

kemudian peneliti melanjutkan ke subjek kedua.

3. Proses Analisis Data

Proses analisis dimulai dengan pengorganisasian data,

pemberian kode, intepretasi dam mengambil kesimpulan. Dibawah ini

akan dijelaskan secara lebih lanjut :

a. Setelah wawancara selesai, peneliti melakukan pemindahan

hasil wawancara ke dalam bentuk tulisan sehingga

(43)

24

b. Kemudian peneliti membuat tabel dan memberikan nomor pada

tiap baris dari hasil wawancara tersebut.

4. Jadwal Pengambilan Data

Berikut akan dijelaskan proses wawancara yang dilakukan oleh

peneliti :

Tabel 2

Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (GSS)

Hari/tanggal Waktu Tempat Kegiatan

Rabu, 6

Maret 2013

Pk 10.30 Rumah peneliti Permintaan kesediaan

untuk di wawancara,

penandatangan surat

persetujuan

wawancara dan

wawancara 1 yang

meliputi latar

belakang subjek,

faktor-faktor yang

mempengaruhi pilihan

untuk melajang dan

pemaknaan terhadap

pilihan

Rabu, 20

Maret 2013

Pk 16.01 Rumah peneliti Wawancara 2 meliputi

(44)

sosial dan sebaya,

pandangan tentang

pernikahan dan

pandangan tentang

kepuasan hidup

Senin, 29

April 2013

Pk 16.30 Rumah peneliti Wawancara 3 meliputi

penerimaan diri,

hubungan positif

dengan orang lain,

kemandirian,

penguasaan

lingkungan dan tujuan

hidup

Tabel 3

Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (HK)

Hari/tanggal Waktu Tempat Kegiatan

Senin, 1

April 2013

Pk 14.30 Rumah subjek Permintaan kesediaan

untuk di wawancara,

penandatangan surat

persetujuan wawancara

dan wawancara 1 yang

(45)

26

subjek, faktor-faktor

yang mempengaruhi

pilihan untuk melajang

dan pemaknaan terhadap

pilihan

Senin, 15

April 2013

Pk 15.00 Rumah subjek Wawancara 2 meliputi

gambaran kehidupan

sosial dan sebaya,

pandangan tentang

pernikahan dan

pandangan tentang

kepuasan hidup

Selasa, 1

Mei 2013

Pk 13.15 Rumah subjek Wawancara 3 meliputi

penerimaan diri,

hubungan positif dengan

orang lain, kemandirian,

penguasaan lingkungan

(46)

B. Profil Subjek

1. Subjek 1

Subjek pertama adalah seorang pria lajang berumur 58 tahun

dengan inisial GSS. Subjek merupakan anak ke-5 dari 6 bersaudara.

Subjek merasa tidak begitu bahagia dengan masa kecilnya karena

terpisah dengan saudara yang lain.

Subjek memiliki tubuh yang kurus dan kulit berwarna kuning

langsat. Selama proses wawancara berlangsung, subjek bekerja sama

dan menjawab semua pertanyaan dengan baik. Kesibukan subjek saat

ini memelihara burung dara dan bekerja serabutan.

2. Subjek 2

Subjek kedua adalah seorang pria lajang berumur 51 tahun

dengan inisial HK. Subjek nmerupakan anak pertama dari 9

bersaudara. Hubungan subjek dengan saudaranya yang lain tidak

begitu baik karena subjek merupakan orang yang keras.

Subjek memiliki tubuh yang agak sedikit gemuk dengan tinggi

badan yang sedang dan kulit berwarna kuning langsat. Selama proses

wawancara berlangsung, subjek tidak begitu antusias dan terkesan

menjawab seperlunya. Saat ini subjek masih menjalani pekerjaannya

(47)

28

C. Kategorisasi Tema

Berdasarkan dari analisis yang sudah dilakukan, didapat tema-tema

yang muncul seperti dijelaskan dibawah ini :

1. Pengalaman Masa Lalu dan Lama Tidak Menjalin Hubungan

dengan Wanita Menjadi Latar Belakang Subjek Melajang

Berdasar dari hasil wawancara diketahui bahwa latar belakang

melajang adalah pengalaman masa lalu subjek 1 yang ditolak oleh

orang tua pacarnya. Selain itu, umur yang sudah tua juga menjadi

penyebab subjek 1 tetap melajang. Berikut kutipan jawaban subjek 1:

‘tadinya ada...soalnya kaya om’e pernah...pacaran gitu ya...iya,pernah sampai hubungan serius tapi akhire putus..jadi,karena itu mungkin terus jadi jauh sama perempuan..kaya gitu..’(92-97)

waktu umur..sudah umur 35 kira-kira ya,itu...om’e memutuskan...ah.udahlah gag kawin aja..soalnya sudah banyak umur ya..jadi,kasian sama anak-anak nantinya kalo punya anak gitu..jadi,udah,ah,gag usah kawin aja..’(83-89)

Pada subjek 2 tidak diketahui secara pasti kapan subjek

memutuskan melajang. Dibawah ini kutipan jawaban subjek 2:

gag tau,,,subjek tidak ingat kapan karena subjek sudah lama tidak dekat perempuan lagi...terakhir dekat dengan perempuan pada waktu subjek berumur 33 tahun dan setelah itu tidak pernah lagi...subjek tidak pernah memutuskan untuk melajang dan hanya menjalani...’(151-158)

2. Faktor Ekonomi dan Sifat Wanita yang Tidak Baik adalah Faktor

yang Mempengaruhi Subjek Melajang

Faktor yang mempengaruhi subjek 1 melajang adalah ekonomi.

(48)

ya putusnya karena faktor ekonomi jugalah...jadi,pihak

perempuan kan mengetahui keadaane om’e itu jadi gag boleh sama

orang tuane sana...’(99-102)

Penilaian pribadi subjek 2 terhadap perempuan yang dekat

dengan subjek yang membuat subjek melajang. Berikut ini kutipan

jawaban subjek :

subjek merasa perempuan yang dekat dengan subjek memiliki sifat yang sama jadi subjek lebih baik sendiri saja...’(173-176)

3. Melajang adalah Kebebasan dan Tidak Menafkahi Istri dan Anak

namun Penyesalan di Hari Tua

Melajang adalah kebebasan, tidak terikat pada apapun dan tidak

adanya larangan. Berikut ini kutipan jawaban subjek 1 tentang

melajang :

ya..bayangane gimana ya..ya karena alasan itu,lama-lama jadi kelihatan seperti itu..bebas gitu ya..bebas gag ada ikatan apa-apa,gag terikat apa-apa...om’e mau kemana saja gag ada yang ngelarang..jadi..lama-lama jadi kaya seneng gitu...seneng melajang gitu ya..tapi setelah di hari-hari tua seperti ini..ya..ada rasa penyesalan ada ya tetap...kesepian gag ada anak,gag ada apa gitu..kadang-kadang ya hiburane om’e ya cuma sama cucu-cucu keponakan itu aja udah..’(220-232)

Meskipun demikian, pada hari tuanya seperti saat ini muncul

penyesalan karena tidak ada orang yang dimintai bantuan ketika sakit

dan ada rasa sepi. Dibawah ini utipan jawaban subjek :

(49)

30

Subjek 2 mengatakan bahwa melajang adalah kebebasan dan

tidak ada kekangan serta tidak menafkahi istri maupun anak. Berikut

kutipan jawaban subjek :

bebas melakukan segala hal, gag ada yang mengekang, mau dolan kemana, sama siapa atau berkumpul dengan teman, gag memberi makan istri atau anak...’(207-211)

4. Hubungan Sosial Tidak Terhambat oleh Status Lajang

Subjek 1 tidak kesulitan dalam berelasi dengan

teman-temannya. Dari pihak keluarga sudah mencoba menyarankan subjek

untuk menikah. Tetapi, subjek mempunyai pemikiran sendiri dan tidak

terpengaruh hal tersebut. Berikut ini kutipan jawaban subjek :

teman banyak sekali...om’e baik sama semua teman..kaya waktu itu..om kerja nyupir panggilan kan banyak langganan-langganan jadi sama anak-anaknya ya juga baik semua..’(326-329)

Pada subjek 2, subjek merasa tidak malu dengan status subjek

yang lajang, dan teman-teman subjek menerima kondisi subjek.

Subjek merasa nyaman dengan pekerjaannya sekarang yang menuntut

subjek jarang di rumah sehingga subjek merasa tidak terkekang.

Dibawah ini kutipan jawaban subjek :

‘subjek tidak pernah takut atau malu dengan statusnya karena subjek tidak peduli dengan tanggapan orang lain dan yang menjalani adalah subjek sendiri...’(234-238)

5. Status Lajang Subjek Tidak Mempengaruhi Pertemanan

Kondisi subjek 1 dengan status lajang tidak mempengaruhi

hubungan subjek dengan teman sebayanya. Berikut ini kutipan

(50)

ya cuma gimana ya..jadi...pengaruh sama teman jane ya gag ada...sama saudara sekarang juga udah gag ada...sudah saya kasih penjelasan...akhire saudara ya ngerti kan..’(405-410)

Status lajang pada subjek 2 juga tidak mempengaruhi hubungan

subjek dengan temannya. Teman subjek juga sering mengenalkan

subjek pada teman perempuan, tetapi subjek tetap tidak berpikir untuk

mengakhiri status lajang. Dibawah ini kutipan jawaban subjek :

‘teman-teman menerima...teman-teman subjek sering mengenalkan teman perempuannya pada subjek...tetapi subjek hanya berhubungan sebatas teman karena subjek tidak berminat untuk menjalin hubungan lagi...meskipun kebanyakan teman subjek sudah menikah, mereka menerima status subjek yang lajang...’(247-257)

6. Subjek Menerima Status Lajangnya dan Optimis dalam Hidup

namun Terkadang Berpikir Mengapa Tidak Menikah dan Masih

Ada Keinginan yang Belum Terpenuhi

Subjek 1 merasa tidak menyesal pada keputusannya melajang

walaupun terkadang timbul pemikiran mengapa dulu tidak menikah

agar ada yang merawat ketika sakit. Hal yang membuat subjek

terhibur adalah hobi dan teman. Kondisi subjek yang sakit-sakitan dan

merasa tidak mampu melakukan apa-apa sehingga membuat subjek

kehilangan semangat hidup. Subjek tidak mau merepotkan orang lain

sehingga subjek berpikir lebih baik jika langsung dipanggil Tuhan.

Meskipun demikian, subjek tetap optimis dalam menjalankan

aktivitasnya. Berikut ini kutipan jawaban subjek :

(51)

32

‘seneng juga gag...sedih juga gag....hehehehe...wong sudah keputusan bulat om’e...jadi makane om’e bilang gag nyesel...om’e hidup seperti ini gag nyesel karena ini sudah menjadi keputusane om’e...cuma kadang-kadang ya...wah,iya ya...kalau saya dulu-dulu itu kawin ya...itu merasa sekarang udah punya anak...kalau sakit,apa sudah ada yang ngrawat gitu ya...punya istri,ada yang ngrawat gitu ya...kalau sekarang kan gag...ya cuma itu,kadang terpikir seperti itu..’(534-549)

Sedangkan pada subjek 2, diketahui bahwa subjek belum puas

pada hidupnya karena ada keinginan subjek yang belum terpenuhi.

Selain itu, subjek lebih peduli dan percaya pada dirinya sendiri

daripada orang lain. Dibawah ini kutipan jawaban subjek :

belum karena masih ada keinginan subjek yang belum terpenuhi..’(342-343)

hidup saya adalah saya yang menentukan...saya tidak peduli pada orang lain yang penting diri saya...baik atau buruk terserah asal tidak merugikan orang lain..’(427-431)

D. Deskripsi Hasil dan Pembahasan

Setelah melakukan wawancara dan pengolahan data didapatkan

beberapa hasil temuan. Hubungan subjek 1 (GSS) dengan saudara-saudara

kandungnya tidak begitu dekat. Hal ini disebabkan karena ketika kecil,

kakak-kakak subjek diasuh oleh saudaranya yang lain. Faktor ekonomi

menjadi alasan orang tua subjek merelakan anak-anaknya diasuh orang

lain. Meskipun tidak dekat dengan saudara-saudaranya, subjek masih

diperhatikan. Ketika subjek belum mendapatkan pasangan,

saudara-saudaranya berusaha membantu mengenalkan perempuan pada subjek.

Subjek menolak dan memberikan alasannya sehingga mereka menerima

(52)

tidak begitu dekat dengan adik-adiknya karena subjek memiliki sifat keras

kepala sehingga dijauhi. Selain itu, subjek juga tidak dekat dengan kedua

orang tuanya karena sifatnya tersebut.

Subjek 1 (GSS) memutuskan melajang karena subjek pernah

menjalin hubungan dengan seorang perempuan dan tidak disetujui oleh

orang tua dari pihak perempuan. Ekonomi yang belum mapan menjadi

alasan orang tuanya. Setelah mengakhiri hubungannya, subjek merasa

bersalah karena mantan kekasihnya tersebut menjadi biarawati.

Pengalamannya tersebut membuat subjek tidak percaya diri jika akan

mendekati seorang perempuan. Meskipun teman subjek juga membantu

dalam mengenalkan perempuan kepadanya, subjek tetap menolak karena

secara ekonomi merasa belum mapan dan belum menjadi orang sukses.

Penilaian bahwa jika akan menjalin hubungan serius maka secara ekonomi

harus mapan membuat subjek menunda menikah dan memutuskan

melajang pada usia 35 tahun. Umur yang bertambah menjadi

pertimbangan subjek juga karena jika ia menikah d usia 35 tahun maka

subjek merasa kasian pada anak-anaknya nanti. Pengalaman subjek ketika

masih kecil sudah ditinggal oleh ayahnya sehingga tidak mengenal

ayahnya. Subjek tidak ingin anaknya seperti itu juga jika subjek menikah.

Sedangkan pada subjek 2 (HK), alasan subjek melajang karena

subjek memiliki pandangan bahwa semua perempuan tidak baik, kurang

ajar dan kasar. Subjek berpandangan seperti itu karena subjek selalu

(53)

34

memutuskan untuk melajang namun terakhir kali ia berhubungan dengan

seorang perempuan ketika berumur 33 tahun, setelah itu subjek hanya

menikmati dan menjalani hidupnya. Adik-adik subjek tidak peduli pada

hidupnya dan tidak pernah berusaha untuk mengenalkan seorang

perempuan pada subjek.

Subjek 1 (GSS) dan subjek 2 (HK) menyebutkan bahwa keuntungan

dari melajang adalah kebebasan. Subjek bebas untuk melakukan apa saja

tanpa ada yang melarang dan tidak terikat. Selain itu, subjek merasa tidak

ada beban pikiran. Melakukan sesuatu tanpa harus malu karena tidak ada

istri maupun anak. Meskipun demikian, subjek 1 merasa ada penyesalan

ketika menghadapi hari tuanya karena tidak ada yang merawat dan diminta

bantuan pada saat sakit. Subjek 2 hampir tidak pernah merasakan sepi

karena subjek lebih banyak bekerja atau berkumpul dengan

teman-temannya. Dengan demikian, subjek tidak merasa kesepian.

Bagi subjek 1 (GSS), pernikahan akan memiliki banyak masalah

ketika belum ada persiapan yang matang. Meskipun demikian, pernikahan

memiliki sesuatu yang membahagiakan yaitu anak-anak. Subjek ingin

merasakan kebahagiaan dari menikah namun karena umur dan teringat

masa lalu maka subjek memutuskan melajang. Jika subjek memaksa untuk

menikah, subjek takut tidak dapat membahagiakan keluarganya.

Pernikahan bagi subjek (HK) adalah masalah, membuat beban pikiran dan

mencari masalah. Jika subjek membayangkan menikah pasti hidupnya

(54)

Subjek mendapatkan gambaran tentang pernikahan dari pengalaman

temannya yang bertengkar dengan istrinya.

Bagi subjek 1 (GSS), hidupnya sekarang tidak sedih dan tidak juga

merasa menyesal. Subjek merasa tidak menyesal karena apa yang subjek

jalani sekarang merupakan keputusannya sendiri. Subjek tidak merasa

sedih karena subjek selalu terhibur dengan memancing, bermain burung

ataupun berkumpul dengan teman-temannya. Selain itu, subjek merasa

senang karena bebas namun tidak puas. Subjek tidak dapat menjelaskan

dimana letak ketidakpuasannya tersebut. Pada subjek 2 (HK), hidup subjek

belum memuaskan karena keinginan subjek untuk mencari uang yang

banyak belum terpenuhi. Subjek mencari uang hanya untuk dirinya sendiri

dan hidup subjek hanya untuk dirinya sendiri. Subjek melakukan hobinya

atau berkumpul dengan temannya sehingga tidak merasa sepi.

Berdasarkan dari hasil wawancara, diketahui bahwa subjek 1 (GSS)

lebih dapat menyadari apa yang menjadi pilihan hidupnya. Ia menerima

dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Meskipun terkadang subjek

merasa ada penyesalan tentang keputusannya namun subjek berusaha

untuk selalu optimis dan melawan rasa penyesalan itu. Menurut Ryff

(1989), perasaan individu terhadap penerimaan diri merupakan kriteria

paling utama dalam wellbeing. Subjek 1 (GSS) memiliki kedewasaan

dalam pengambilan keputusan tentang hidupnya yang melajang. Walaupun

subjek masih merasa bersalah terhadap masa lalunya. Subjek 2 (HK)

(55)

36

sendiri. Selain itu, subjek 2 (HK) tidak pernah merasakan kesepian karena

waktunya dihabiskan untuk bekerja dan kesibukannya. Subjek 2 (HK)

menerima dirinya yang melajang karena ia tidak merasakan kesepian.

Subjek 1 (GSS) mampu beradaptasi dengan baik tanpa melihat

statusnya yang melajang. Ia selalu percaya diri dan masih peka terhadap

lingkungan sekitarnya. Dalam berhubungan dengan orang lain, subjek

sangat dewasa dan tidak membuat dirinya dikucilkan dari lingkungan

tempat tinggalnya. Ryff (1989) menyebutkan bahwa hubungan yang

hangat dengan orang lain sebagai kriteria kedewasaan, empati, memiliki

perasaan terhadap orang lain dan hubungan pertemanan yang dalam.

Hubungan positif dengan orang lain sangat penting dalam konsep

psychological wellbeing. Berdasarkan pengertian tersebut dan jawaban

subjek maka dapat dikatakan subjek 1 (GSS) memiliki hubungan relasi

sosial yang baik dengan orang lain. Sedangkan pada subjek 2 (HK) kurang

begitu peka pada sekitarnya karena subjek lebih memikirkan dirinya

sendiri. Meskipun demikian, subjek mampu berhubungan positif dengan

orang lain. Subjek percaya diri dengan statusnya yang lajang dan tidak

merasa terkucilkan.

Dalam pengambilan keputusan atau pemecahan masalah, kedua

subjek cukup percaya pada dirinya sendiri walaupun terkadang bantuan

orang lain dibutuhkan hanya untuk pertimbangan. Ryff (1989)

menjelaskan bahwa seseorang dikatakan mandiri jika mampu mengambil

(56)

penelitian merupakan orang yang mandiri dan tidak terpengaruh pada

tekanan sosial. Pendapat orang lain tidak langsung diterima begitu saja

namun dipikirkan terlebih dahulu.

Ryff (1989) mengatakan bahwa penguasaan lingkungan adalah

kemampuan individu memilih dan membuat lingkungan yang nyaman

sesuai dengan kondisi seseorang. Subjek mampu membuat lingkungan

yang nyaman dan sesuai dengan kondisi subjek. Dalam hal ini, subjek

mampu beradaptasi dan membuat lingkungan sekitar subjek untuk

menerima status subjek. Selain itu, lingkungan subjek juga mendukung

dan menerima status subjek yang melajang dengan baik. Oleh karena itu,

subjek dapat menguasai dan mengontrol lingkungannya.

Individu yang berfungsi penuh memiliki tujuan,misi dan arah yang

membuat hidup lebih bermakna (Ryff, 1989). Kedua subjek belum

memiliki tujuan yang jelas untuk hidupnya. Mereka hanya mengikuti dan

menganggap bahwa melajang merupakan takdirnya. Selain itu, keinginan

untuk berkeluarga tidak diwujudkan dan direalisasikan dalam kehidupan

nyata, hanya dalam pikiran. Arah hidup kedua subjek tidak begitu jelas.

Mereka hanya mengikuti alur kehidupannya tanpa adanya usaha yang

keras untuk membuatnya menjadi terarah.

Fungsi psikologis yang optimal yaitu mampu mengembangkan

potensi untuk tumbuh dan memperluas sebagai individu (Ryff, 1989).

Subjek 1 (GSS) dan subjek 2 (HK) kebetulan memiliki pekerjaan yang

(57)

38

pekerjaannya tersebut. Kegiatan subjek 1 saat ini adalah memelihara

burung dan ayam. Subjek merasa bahwa hanya kegiatan itu yang mampu

dilakukannya sekarang. Potensi dan kemampuan lain yang ada sudah tidak

dapat dikembangkan lagi karena umur dan penyakit yang subjek derita.

Sedangkan pada subjek 2, pekerjaan yang dilakoni sekarang merupakan

kemampuan yang dimilikinya. Subjek belum pernah mencoba pekerjaan

lain karena kemampuan subjek hanya menyetir. Meskipun demikian,

subjek mampu menjalani hobinya yaitu memelihara burung.

Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological wellbeing merupakan

istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis

seseorang berdasar pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Mengacu

pada pengertian tersebut, psychological wellbeing pada kedua subjek

tergolong baik karena subjek dapat menerima dan menjalani kehidupannya

yang melajang dengan baik. Subjek juga mampu berelasi sosial dengan

lingkungannya dan berhasil membuat lingkungan yang sesuai dengan

kondisinya. Meskipun demikian, subjek terkadang merasakan sepi namun

mengatasinya dengan kegiatan yang sesuai dengan minat dan yang

disukainya.

Psychological wellbeing adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan kesehatan psikologis seseorang berdasar pemenuhan

kriteria fungsi psikologi positif (Ryff, 1989). Konsep wellbeing mengacu

pada fungsi psikologis yang optimal dan pengalaman. Kedua subjek

(58)

orang lain dan pengembangan diri yang baik. Meskipun tujuan hidup dan

penerimaan diri masih kurang. Belum adanya arah hidup yang jelas

membuat subjek hanya berpasrah menjalani hidupnya. Hal ini disebabkan

oleh karena ketika masih muda, kedua subjek sama-sama menunda tujuan

dan arah hidupnya. Meskipun keinginan untuk menikah ada tetapi tidak

direalisasikan dengan baik. Rasa penyesalan ada pada subjek 1 (GSS)

namun selalu ditekan bahwa hidupnya sekarang merupakan takdir dari

Tuhan. Usia kedua subjek yang sudah masuk dalam kategori dewasa juga

menjadi pemikiran bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Meskipun

demikian, kedua subjek mampu memenuhi fungsi psikologisnya dengan

baik. Kedua subjek mampu berelasi sosial dengan baik pula.

Jenis kelamin subjek adalah pria, dimana pria lebih mandiri dan

tidak mudah bergantung pada orang lain (Papalia, Feldman dan Duskin,

2001). Hal tersebut juga mempengaruhi keputusan subjek dalam melajang.

Walaupun terkadang merasakan kesepian, kedua subjek dapat

mengatasinya dengan mencari kesibukan atau melakukan hobinya. Selain

itu, arah tujuan hidup kedua subjek belum jelas karena hanya berpasrah

pada yang dijalani dan tidak ada usaha yang nyata untuk mengubahnya.

Menghadapi hari-hari tuanya nanti, subjek juga belum terlalu memikirkan.

Berharap jika sudah saatnya nanti tidak harus merepotkan orang lain dan

(59)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa subjek 1

(GSS) memiliki penerimaan diri yang tinggi. Subjek juga mampu

berhubungan yang positif dengan orang lain sehingga dinilai tinggi. Selain

itu, subjek 1 juga termasuk orang yang mandiri dan dinilai tinggi juga.

Meskipun demikian, tujuan hidup subjek 1 rendah karena belum begitu

jelas namun subjek dapat membayangkan bagaimana ia menjalani

hidupnya sampai tua nanti. Subjek 1 (GSS) merasakan penyesalan namun

tidak mengganggu dalam melakukan sesuatu. Apa yang sudah menjadi

keputusannya tidak boleh disesali. Subjek 1 mampu menguasai lingkungan

sekitarnya dengan baik dan dinilai tinggi. Pengembangan diri subjek juga

termasuk skor tinggi karena subjek melakukan pekerjaan yang sesuai

dengan potensi dirinya.

Subjek 2 (HK) memiliki penerimaan diri yang dinilai tinggi karena

subjek menerima statusnya yang lajang. Selain itu, subjek juga mampu

berhubungan positif dengan orang lain tanpa memikirkan statusnya

termasuk tinggi juga. Subjek HK juga mandiri dan menguasai lingkungan

sekitarnya sehingga lingkungan sekitar subjek menerimanya dengan baik

dan dinilai tinggi. Namun, tujuan hidup subjek belum jelas dan termasuk

rendah karena subjek hanya menjalani hidupnya tanpa ada arah.

(60)

Pengembangan diri subjek tinggi karena subjek mengetahui kemampuan

dirinya.

B. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan subjek dengan tingkat ekonomi yang

kurang atau termasuk ekonomi menengah bawah sehingga data yang

didapat tidak dapat digunakan untuk menilai subjek dengan tingkat

ekonomi yang lebih tinggi.

C. Saran

Penelitian selanjutnya disarankan untuk memperluas tingkat

ekonomi subjek. Selain itu, peneliti juga dapat memilih subjek yang

(61)

DAFTAR PUSTAKA

Anna, Lusia Kuss. (2010, 26 Juli). Ini dia keuntungan menikah. Kompas.com. Diunduh dari

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/26/16022881/Ini.Dia.Keunt ungan.Menikah

Audifax. (2008). Research: Sebuah pengantar untuk “mencari ulang” metode dalam penelitian psikologi. Yogyakarta: Jalasutra.

BBC. (2011, 28 November). Banyak Anak Muda Jepang Tidak Ingin Menikah.

BBC.com. Diunduh dari

http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2011/11/111124_pernikahan_ jepang.shtml

Darmawati. (2001). Psychological wellbeing pada wanita lajang. UGM : skripsi tidak diterbitkan

Femina. (2006, 6-12 April). Alasan pria tetap melajang (jajak pendapat femina terhadap 60 pria berusia 25-35 tahun). Femina, 22.

Haryadi, Soegeng. (2012, 21 April). Tujuh mitos yang bikin orang takut menikah.

Sriwijaya Post.Diunduh dari

http://palembang.tribunnews.com/2012/04/21/7-mitos-yang-bikin-orang-takut-menikah

Huppert, Felicia A. (2009). Psychological well-being: evidence regarding its causes and consequence. Applied psychology: health and well-being, (2), 137-164.

Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Penerjemah : Istiwidyawati dan Soejarwo. Jakarta : Erlangga

Hutapea, Bonar. (2011). Emotional Intellegence dan Psychological Wellbeing

pada manusia lanjut usia anggota organisasi berbasis keagamaan di Jakarta. INSAN, 13(02), Agustus.

Kumalasari, Dyah. (2008). Single profesional women sebagai fenomena gaya hidup baru di masyarakat Yogyakarta (studi kasus: kabupaten sleman).

Jurnal penelitian humaniora, 13(2), 105-122.

Marks, Nadine F. (1996). Flying solo at midlife: gender, marital status and psychological well-being. Journal of marriage and the family, 58(4),pp. 917-932.

(62)

Marks, Nadine F. & James D. Lambert. (1996). Marital status continuity and change among young and midlife adults: longitudinal effects on psychological well-being. NSFH Working Paper, 71.

Marselina, Lastri. (2011, 16 Oktober). Pria lajang lebih beresiko tinggi tewas akibat kanker. Okezone.com. Diunduh dari

http://lifestyle.okezone.com/read/2011/10/16/197/515932/large

Moeleong, Lexy J., (2009). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Novita, Nayu. (2010, 20 Januari). Pria : ’kami bukan takut berkomitmen, tapi...’. Diunduh dari

http://regional.kompas.com/read/2010/01/20/12513264/Pria.Kami.Buka n.Takut.Berkomitmen.Tapi.

Oktaria, Rara. (2009). Kesepian pada pria usia lanjut yang melajang. Diunduh dari

http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2009/ Artikel_10504146.pdf

Papalia, Diane. E. Sally Wendkos Olds & Ruth Duskin Feldman. (2001). Human Development (ed. ke-8). Boston : Mc Graw Hill.

Papalia, Diane E., Sally Wendkos Olds & Ruth Duskin Feldman. (2008). Human development (ed. ke-9 terjemahan). Boston: Mc Graw Hill.

Poerwandari, E.K., (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia.

Russell, David. (2011, 5 Oktober).Does Living Alone Have a Negative Influence on Psychological Well-Being?. Psychology Today. Diunduh dari

http://www.psychologytoday.com/blog/201105/Does Living Alone Have a Negative Influence on Psychological Well-Being

Ryan, Richard M. & Edward L. Deci. (2001). On happiness and human potentials: a review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual

review psychology, 52: 141-166. Diunduh dari

http://www.uic.edu/classes/psych/Health/Readings/Ryan,%20Happines s%20-%20well%20being,%20AnnRevPsy,%202001.pdf

(63)

44

Santrock, John W. (2002). Life Span Development (ed. ke-5 terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Stutzer dan Frey. (2006). Does marriage make people happy or do happy people get married?. The Journal of Socio-Economics 35,326–347. Diunduh dari http://www.bsfrey.ch/articles/434_06.pdf

Wardhanie, Hanie Kusuma. (1997, 20-26 November). Mengapa mereka tetap melajang?. Femina, 66.

Winefield, Helen R., Tiffany K. Gill, Anne W. Taylor dan Rhiannon M. Pilkington. (2012). Psychological well-being and psychological distress: is it necessary to measure both?. Winefield et. al. Psychology of well-being: theory, research and practice, 2:3. Diunduh dari http://www.psywb.com/content/pdf/2211-1522-2-3.pdf

Zubairi, A.Dardiri. (2010, 14 Desember). 7 alasan orang belum (tidak) menikah.

Kompasiana.com. Diunduh dari

(64)
(65)

46

LAMPIRAN1

.

Surat Pernyataan

Persetujuan Wawancara

Gambar

Tabel 3. Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (HK) .........................................
Gambaran kehidupan sosial dan sebaya
Tabel 2 Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (GSS)
Tabel 3 Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (HK)

Referensi

Dokumen terkait

dalam perjanjian kerja dalam bentuk tertulis dengan PKWTT; atau dengan PKWT manakala jenis dan sifat atau kegiatannya pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu;.. 7)

Kami mengunjungi kantor pusat TLKM Padang, Gerai retail serta  infrastruktur  berupa  tower  Telkomsel  yan  berwilayah  di  Teluk  Bayur.  Telkomsel  mempunyai 

Dalam UU didenifisikan bahwa ”asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,

Dimana, nilai tersebut < 0,05 maka, dapat disimpulkan bahwa H A1 diterima atau secara simultan variabel independen yang terdiri dari earning per share ,

Komponen PCK Pengetahuan Mengajar Pengetahuan Tentang Siswa Pengetahuan Tentang Konten Level 0 - Sebagai penyedia dan demonstrator pengetahuan untuk siswa - Mengenalkan

Maka diperlukan perancangan antenna dipole yang dapat meningkatkan jangkauan pada frekuensi 2,4 GHz dengan menggunakan software Ansoft HFFS 14.0 dari antena chip

Disisi lain, terkadang hasil keluaran dari sistem pembangkitan tersebar yang membantu menyuplai listrik masih belum dapat menyuplai daya aktif dan daya reaktif