PSYCHOLOGICAL WELLBEING PADA PRIA LAJANG
Iriani Dwiyanti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran psychological wellbeing
pada pria yang melajang. Fokus penelitian ini pada gambaran hubungan sosial dan tingkat
psychological wellbeing pada pria lajang berumur 50 tahun ke atas. Jenis penelitian ini adalah deskriptif untuk menjawab fokus penelitian. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 2 orang.
Criterion sampling digunakan untuk memilih subjek yang sesuai dengan kriteria yaitu usia sama dengan 50 tahun atau diatasnya dan melajang. Hasil penelitian ini adalah kedua subjek memiliki penerimaan diri, mampu berhubungan yang positif dengan orang lain, mandiri, mampu mengembangan dirinya dan menguasai lingkungan sekitarnya. Namun, tujuan hidup kedua subjek rendah karena keduanya tidak memilliki tujuan yang jelas untuk hidupnya sampai tua nanti. Selain itu, kedua subjek mampu berhubungan sosial dengan baik juga.
PSYCHOLOGICAL WELLBEING IN SINGLE MAN
Iriani Dwiyanti
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the conception of psychological wellbeing on unmarried male.The focus of the study is on the conception of social relationship dan psychological wellbeing rate/level on 50s-year-unmarried male.To answer the research questions, the researcher used the decriptive research.The subject of the study are two persons.Criterion Sampling was used to choose the subject fulfill the criteria given which is 50 year old male or older.The result the study is that the two subjects have self-acceptance, capable of having positive relationship with others, have autonomy, capable of self-improvement, and capable of environment-mastery. However, the purpose of living both subject is low because they don’t have clear objective for their lives. Besides, both subjects are capable of of having good social relationship as well.
PSYCHOLOGICAL WELLBEING PADA PRIA LAJANG
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Iriani Dwiyanti
NIM : 089114054
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
MOTTO
Kehidupan itu sebenarnya sedehana tetapi kitalah
yang membawanya rumit – Kong Hu Chu
Tugasmu adalah menemukan duniamu
kemudian mempersembahkan dirimu kepada
dunia – Buddha
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini ku persembahkan kepada :
Tuhan Yesus di surga dan Bunda Maria, tanpa uluran tanganNya saya tidak dapat menyelesaikan karya ini dengan baik
My lovely dad and mom...yang sudah merawatku
sampai detik ini...cinta dan kasih sayang kalian
tidak akan pernah tergantikan...
Kakakku, Teddy Winarto, S.T. yang selalu menyemangati dan menyuruhku untuk cepat menyelesaikan karya ini...makasih,oh..
Benny Setyawan, S.Farm., Apt. and fam....yang selalu
mengingatkanku, menyemangati dan membantuku untuk
cepat menyelesaikannya...thank you for support and always
loving me...
PSYCHOLOGICAL WELLBEING PADA PRIA LAJANG
Iriani Dwiyanti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran psychological wellbeing
pada pria yang melajang. Fokus penelitian ini pada gambaran hubungan sosial dan tingkat
psychological wellbeing pada pria lajang berumur 50 tahun ke atas. Jenis penelitian ini adalah deskriptif untuk menjawab fokus penelitian. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 2 orang.
Criterion sampling digunakan untuk memilih subjek yang sesuai dengan kriteria yaitu usia sama dengan 50 tahun atau diatasnya dan melajang. Hasil penelitian ini adalah kedua subjek memiliki penerimaan diri, mampu berhubungan yang positif dengan orang lain, mandiri, mampu mengembangan dirinya dan menguasai lingkungan sekitarnya. Namun, tujuan hidup kedua subjek rendah karena keduanya tidak memilliki tujuan yang jelas untuk hidupnya sampai tua nanti. Selain itu, kedua subjek mampu berhubungan sosial dengan baik juga.
Kata kunci : psychological wellbeing, pria lajang
PSYCHOLOGICAL WELLBEING IN SINGLE MAN
Iriani Dwiyanti
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the conception of psychological wellbeing on unmarried male.The focus of the study is on the conception of social relationship dan psychological wellbeing rate/level on 50s-year-unmarried male.To answer the research questions, the researcher used the decriptive research.The subject of the study are two persons.Criterion Sampling was used to choose the subject fulfill the criteria given which is 50 year old male or older.The result the study is that the two subjects have self-acceptance, capable of having positive relationship with others, have autonomy, capable of self-improvement, and capable of environment-mastery. However, the purpose of living both subject is low because they don’t have clear objective for their lives. Besides, both subjects are capable of of having good social relationship as well.
Keywords: psychological wellbeing, single man
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan di surga atas segala rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan orang lain.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu menyertai
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan dosen pembimbing
skripsi...terima kasih atas masukan dan kritik yang sudah diberikan
pada penulis…
3. Alm. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dosen Pembimbing
Akademik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta...
4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas
Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
5. Ibu Monica E. Madyaningrum, M.App.Psych selaku dosen
pembimbing skripsi pertama...terima kasih atas semua masukan
dan saran serta kritik kepada saya...
6. Mas Gandung, Mba Nanik, Pak Gik, Mas Doni dan Mas
Muji..terima kasih karena selalu melayani kami – kami semua
dengan baik...Buat Mas Muji, makasih atas masukannya sewaktu
saya menjadi asisten Grafis, Sera...Mas Gandung,makasih juga atas
kesempatan yang diberikan kepadaku untuk menjadi asisten
pengawas ujian...
7. Teman – teman Ganesha angkatan 44, Soda Zone (Yeyen, Shasya,
Yayol, Chaoz, Ragilz, Azfar, Anggun, dll) ..thank you for all
support to me...Akhirnya, aku menyusul kalian...
8. Teman – teman Psikologi ‘08 USD...Lita, Dessy, Nindi, Rosa, Ela,
Rio, Novi, Tiwi, Intan, Vincent, Yoshi, ChaCha,dll yang tidak bisa
disebutkan semua...terima kasih sudah memberiku semua tawa dan
bahagia...semua kenangan tidak akan dilupakan...someday we wil
meet again...
9. Anggota kelompok KKN 11 angkatan XLII Dongkelsari Wawan,
Haya, Tante Cindy, Acen, Tina, Efa, Dita, Monic...terima kasih
atas kerjasamanya dan menyelesaikan program KKN kita dengan
baik..kita bisa kembali lagi ke Dusun Dongkelsari pada suatu hari
nanti...Specially to Benny di dalam kelompok ini kita
dipertemukan oleh-Nya...
10.Teman – teman Kost Mawar, semoga masih diberi kesempatan
untuk kembali lagi...Yustina Fanny Susanti, S.Pd., teman terbaik
yang sudah mau membantu ku dalam segala kesempatan...sudah
banyak merepotkan,hehehe...mau mendengarkan keluh kesah ku
dalam segala masalah...
11.Bapak dan Ibu di Magelang...Mas Probo, Mba Nuri, Bima dan
Tiara dan FX. Galih Widyawan, makasih sudah membantu dan
memberi banyak nasehat dan masukan...
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis menerima saran dan kritik dari pembaca untuk memperbaiki skripsi
ini.
Yogyakarta, 11 Oktober 2013
Penulis
Iriani Dwiyanti
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...iv
HALAMAN PERYATAAN KEASLIAN KARYA ...v
ABSTRAK ...vi
ABSTRACT ...vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...viii
KATA PENGANTAR ...ix
DAFTAR ISI ...xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
1. Manfaat Praktis ... 9
2. Manfaat Teoritis ... 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
A. Psychological Wellbeing ... 10
1. Pengertian Psychological Wellbeing ... 10
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Wellbeing ... 13
B. Pria Lajang dan Dewasa Tengah ... 14
C. Psychological Wellbeing pada Pria Lajang Dewasa ... 15
D. Pertanyaan Penelitian ... 16
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 17
A. Jenis Penelitian ... 17
B. Fokus Penelitian ... 17
C. Subjek Penelitian ... 17
D. Metode Pengumpulan Data ... 18
E. Prosedur Analisis Data ... 19
1. Organisasi Data ... 19
2. Koding (memberi kode) ... 20
3. Intepretasi ... 20
F. Kredibilitas dan RealibilitasPenelitian ... 21
1. Kredibilitas Penelitian ... 21
2. Realibilitas Penelitian ... 21
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22
A. Proses Penelitian ... 22
1. Persiapan Penelitian ... 22
2. Pelaksanaan Penelitian ... 23
3. Proses Analisis Data ... 23
4. Jadwal Pengambilan Data ... 24
B. Profil Subjek ... 27
1. Subjek 1 ... 27
2. Subjek 2 . ... 27
C. Kategorisasi Tema ... 28
1. Pengalaman Masa Lalu dan Lama Tidak Menjalin Hubungan dengan Wanita Menjadi Latar Belakang Subjek Melajang ... 28
2. Faktor Ekonomi dan Sifat Wanita yang Tidak Baik adalah Faktor yang Mempengaruhi Subjek Melajang ... 28
3. Melajang adalah Kebebasan dan Tidak Menafkahi Istri dan Anak namun Penyesalan di Hari Tua ... 29
4. Hubungan Sosial Tidak Terhambat oleh Status Lajang ... 30
5. Status Lajang Tidak Mempengaruhi Pertemanan ... 31
6. Subjek Menerima Status Lajangnya dan Optimis dalam Hidup namun Terkadang Berpikir Mengapa Tidak Menikah dan Masih Ada Keinginan yang Belum Terpenuhi ... 31
E. Deskripsi Hasil dan Pembahasan... 33
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
A. Kesimpulan ... 40
B. Keterbatasan Penelitian ... 41
C. Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
LAMPIRAN ... 45
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Panduan Wawancara ... 19
Tabel 2. Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (GSS) ... 24
Tabel 3. Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (HK) ... 25
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 1 (GSS) ... 46
Lampiran 2. Koding Subjek 1 (GSS) ... 48
Lampiran 3. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 2 (HK) ... 69
Lampiran 4. Koding Subjek 2 (HK) ... 71
Lampiran 5. Protokol Wawancara ... 82
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan dianggap sebagai pengalaman psikologis yang penting
dan secara signifikan menentukan kualitas psikologis seseorang. Menikah
merupakan salah satu tahap yang dilewati seseorang, hal ini terdapat dalam
teori perkembangan. Seseorang menjadi dewasa maka ia akan
meninggalkan rumah dan hidup sendiri kemudian ia akan mendapat
pasangan dan membentuk keluarga baru (Carter dan Mc Goldrick dalam
Santrock, 2002). Ketika seseorang keluar dari rumah, ia harus mampu
bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pada tahap keintiman dan
keterkucilan yang merupakan tahap ke-6 perkembangan menurut Erikson
(dalam Santrock, 2002) disebutkan bahwa seseorang menghadapi tugas
perkembangan membentuk relasi yang intim dengan orang lain. Jika
seseorang tidak mampu membentuk relasi tersebut maka ia akan merasa
terisolasi. Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa membentuk relasi
dengan orang lain dapat membuat keadaan psikologis seseorang menjadi
lebih baik dan menjauhkan dari rasa depresi. Selain itu, relasi yang dibuat
seseorang tidak hanya antar teman tetapi juga lawan jenis. Relasi lawan
jenis dapat terjadi jika seorang pria mulai tertarik dan cocok terhadap
seorang wanita.
2
Pernikahan membawa dampak positif pada kualitas psikologis
seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Stutzer dan Frey (2006),
menyebutkan bahwa terdapat perbedaan keuntungan antara orang yang
menikah dan tidak. Orang yang menikah memiliki fisik dan kesehatan
psikologis yang baik. Selain itu, secara ekonomi orang yang menikah lebih
memiliki kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Hal ini disebabkan
karena adanya penggabungan pendapatan antara suami dan istri yang
bekerja. Seseorang yang menikah juga memiliki umur yang lebih panjang
dan menjauhkan dari tindakan kriminal (Kompas.com, 26 Juli 2010).
Pernikahan selalu diasosiasikan dengan kebahagiaan dan kesehatan
mental yang baik (Gove, Hughes dan Style, 1983; Gove dan Shin, 1989;
Lee, Seccombe dan Shehan, 1991 dalam Marks dan Lambert, 1996).
Penelitian yang dilakukan oleh Gove dan Tudor (1973 dalam Marks dan
Lambert, 1996) menemukan bahwa menikah melindungi kesehatan mental
yang lebih besar pada pria daripada wanita. Namun, Fox (1980 dalam
Marks dan Lambert, 1996) menemukan fakta sebaliknya bahwa wanita
memiliki banyak keuntungan dengan menikah.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa menikah
selalu diasosiasikan dengan bahagia. Seseorang yang menikah akan
memiliki kesehatan mental yang baik daripada seseorang yang tidak
menikah. Orang tersebut memiliki perasaan positif, bahagia, kepuasaan
dalam hidup dan memiliki harga diri (Marks, 1996). Meskipun ada
pernikahan mereka namun hal tersebut tidak dialami oleh orang-orang
yang menikah.
Berdasar data di atas tampak bahwa pernikahan memiliki arti penting
bagi kualitas psikologis dan fisik seseorang. Meskipun demikian, pada
dewasa ini, banyak orang memilih untuk melajang. Hal ini disebabkan
oleh beberapa alasan, di antaranya belum menemukan yang cocok,
memandang bahwa pernikahan dapat merenggut kebebasan ataupun
karena individu tersebut tidak sejahtera secara ekonomi (Kompasiana, 14
Desember 2010). Selain itu, adanya pengalaman traumatik dalam
pernikahan yang dialami oleh saudara dekatnya atau teman juga dapat
menjadi penyebab seseorang menjadi takut menikah dan memilih untuk
melajang. Beberapa mitos tentang pernikahan juga menyebabkan
seseorang takut untuk menikah, seperti orang menikah memiliki kepuasan
seks yang lebih rendah daripada orang yang melajang, menikah membuat
seorang wanita lebih beresiko mengalami kekerasan fisik (Sriwijaya Post,
21 April 2012).
Kebanyakan orang cenderung untuk menghindari stress dan depresi
yang akan dihadapi ketika mereka menikah. Faktor pekerjaan juga
berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Ketika seseorang mengejar karir
dan tidak mementingkan hal lain maka orang tersebut sulit untuk
memikirkan hal lain di luar pekerjaan yang ia geluti (Kumalasari, 2008,
4
Tidak sedikit jumlah orang – orang yang tidak menikah. Contohnya,
di Amerika Serikat jumlah orang dewasa awal yang belum menikah
meningkat tajam. Pada tahun 1970, 36% wanita dan 55% pria pada rentang
usia 20 – 40 tahun belum menikah. Kemudian pada tahun 2003, 40%
wanita dan 80% pria pada rentang usia yang sama mereka belum menikah.
Pada rentang usia 30 – 34 tahun, 23% wanita dan 33% pria belum menikah
(Fields, 2004 dalam Papalia, Olds, Feldman, 2009). Di Jepang, terdapat
60% pria pada rentang usia 18-34 tahun tidak menikah dan sekitar 30%
wanita pada rentang usia yang sama juga belum menikah (BBC, 28
November 2011). Hasil survei tersebut lebih tinggi dibandingkan pada
survei sebelumnya pada tahun 2005.
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem budaya Timur.
Dalam hal ini, pernikahan merupakan sesuatu yang penting dan wajib
untuk dilakukan. Orang tua yang memiliki anak merasa bahwa anaknya
sudah dianggap dewasa dan mandiri jika sudah menikah. Jika belum
menikah, seorang anak tetap menjadi tanggung jawab orang tuanya.
Di kota besar, menikah merupakan fenomena yang langka karena
kebanyakan dari orang – orang yang hidup di sana hanya memikirkan
meniti karir dan pekerjaan. Mereka cenderung untuk tidak memikirkan
pernikahan. Berdasar data Femina (No. 46/XXV, 20 – 26 November 1997)
di dapat bahwa pada tiap tahunnya jumlah pernikahan dengan usia di atas
20 tahun terus meningkat. Pada tahun 1973, sekitar 20% wanita menikah
16,4%. Namun, pada tahun 1995 jumlah orang menikah pada usia di atas
20 tahun meningkat tajam, ada sekitar 38,9%.
Berdasar survey yang telah dilakukan pada pria dengan rentang usia
25 – 35 tahun berjumlah 60 orang didapat beberapa alasan pria melajang.
Tidak ingin dikekang 35%, fokus pada karir 29%, belum merasa mapan
20% dan 16% menyebutkan bahwa mereka belum menemukan wanita
yang tepat (Femina, no. 14, 6-12 April 2006).
Meskipun angka individu yang memilih untuk melajang semakin
tinggi namun pilihan untuk melajang masih cenderung dianggap tidak
lazim. Kehidupan melajang seringkali diasosiasikan dengan lebih banyak
hal – hal yang negatif daripada yang positif.
Penelitian yang sudah dilakukan di area ini lebih banyak yang di
fokuskan pada wanita. Contohnya penelitian yang dilakukan oleh
Darmawati (2001) tentang Psychological Well Being pada Wanita Lajang,
Dwi Utami Rias Pertiwi (2011) dan Tri Yuliana (2006). Selain itu, Dyah
Kumalasari (2008) yang merupakan staf pengajar di FISE UNY juga
meneliti tentang wanita lajang.
Baron (dalam Andryana, 2007 dalam Oktaria, 2009) alasan pria tidak
menikah adalah komitmen menikah akan merusak hubungan yang sudah
terjalin, ketika menikah sudah tidak bebas lagi, takut bercerai, trauma
kegagalan orang tuanya dan terkadang pria memiliki sifat pembosan.
Banyak penelitian yang mengkaji tentang wellbeing. Ketertarikan
6
pada kualitas psikologis positif (Cacioppo dan Bernston, 1999 dalam Ryan
dan Deci, 2001). Psychological wellbeing istilah yang digunakan untuk
melihat fungsi psikologi positif yang ada pada seseorang (Ryff, 1989).
Istilah psychological wellbeing dikemukakan oleh Ryff memiliki 6
aspek yang menyusunnya. Penerimaan diri, hubungan positif dengan orang
lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan
pengembangan diri adalah aspek – aspek penyusunnya. Ryff menilai
apakah seseorang memiliki psychological wellbeing yang tinggi / rendah
dengan menggunakan Ryff’s Scale (Ryff, 1989).
Penerimaan diri tinggi jika individu berperilaku positif, mengakui
dan menerima aspek dirinya yang baik dan buruk, menerima masa lalu
dengam positif. Hubungan positif dengan orang lain dinilai tinggi jika
memiliki kehangatan dan percaya pada hubungannya dengan orang lain.
Seseorang mempunyai kemandirian yang baik jika independen dan mampu
mengevaluasi dirinya sesuai standard personalnya. Seseorang mampu
mengatur lingkungannya, mampu memanipulasi dan mengkontrol
lingkungan, memajukan dan mengganti secara kreatif untuk aktivitas fisik
maupun mental maka orang tersebut memiliki skor penguasaan lingkungan
yang tinggi. Tujuan hidup dinilai tinggi jika seseorang memiliki tujuan,
misi dan arah yang membuat hidup ini lebih bermakna. Pengembangan diri
seseorang tinggi jika mampu mengembangkan suatu potensi untuk tumbuh
Bagi pria, pernikahan harus berjalan selamanya dan merupakan
keputusan yang mempengaruhi hidupnya. Pria menggambarkan bahwa ia
harus memikirkan rencana jangka panjang apakah ia memilih wanita yang
tepat dan sesuai dengan pilihannya. Selamanya juga diartikan bagi pria
apakah ia juga mampu mendampingi wanita yang sama untuk waktu yang
lama. Perceraian adalah salah satu alasan mereka takut membina
pernikahan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Weisman pada pria
lajang, seseorang akan selalu berkembang dan berubah. Perubahan dari
perkembangan tersebut akan terjadi pada diri suami atau istri sehingga
mereka tidak yakin apakah akan bertahan atau tidak (Kompas.com, 20
Januari 2010).
Penelitian yang dilakukan terhadap 440.000 pria dan wanita yang
dilakukan oleh University of Oslo, Norwegia. Ditemukan bahwa pria
lajang beresiko dua kali lebih tinggi meninggal karena kanker, daripada
pria yang sudah menikah. Seperti yang diinformasikan Daily Mail pada
Minggu (16/10/2011), mereka sebelumnya meneliti kematian akibat
kanker 40 tahun kebelakang. Pria dan wanita yang belum menikah lebih
sering meninggal dunia dari 13 tipe umum kanker seperti paru-paru,
payudara dan prostat. Angka kematian responden pria yang belum
menikah sebesar 18 persen hingga 35 persen. Dua kali lebih tinggi dari
angka kematian responden wanita yang belum menikah, yakni 17 persen
8
Berdasar amatan sederhana peneliti pada pria – pria yang memilih
melajang yang di jumpai oleh peneliti, terungkap bahwa mereka juga
memiliki kompleksitas sendiri terkait dengan pilihannya untuk melajang.
Peneliti melakukan wawancara sederhana tentang pria lajang dan
alasannya melajang. Didapatkan bahwa pria melajang karena
kesibukannya dalam pekerjaan sehingga tidak memikirkan pernikahan.
Selain itu, pria yang melajang tidak memiliki tujuan yang jelas dan lebih
memikirkan dirinya sendiri. Ketika ditanya apa yang akan dilakukannya
esok hari, pria tersebut menjawab tidak tahu dan lihat besok saja. Ia lebih
suka tinggal di rumah dan menonton televisi. Pria yang melajang juga
mudah terpengaruh oleh orang lain tanpa berpikir terlebih dahulu. Pria
lajang tersebut juga tidak tertarik untuk melakukan hobinya lagi karena
sudah tidak tertarik dan merasanya badannya tidak mampu lagi. Mencari
nafkah untuk dirinya sendiri juga sudah tidak mampu ia kerjakan dan
hidupnya bergantung pada adik perempuannya. Berdasarkan hasil
wawancara sederhana tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih jauh
tentang pria lajang dalam menjalani hidupnya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran psychological
wellbeing pada pria yang hidup melajang.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi para pembaca
gambaran psychological wellbeing pada pria yang hidup melajang.
2. Manfaat Teoritis
Manfaat penelitian pada ilmu psikologi adalah menambah kajian
tentang kesejahteraan psikologis dan kesehatan mental pada pria
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Psychological Wellbeing
1. Pengertian Psychological Wellbeing
Psychological wellbeing adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kesehatan psikologis seseorang berdasar pemenuhan
kriteria fungsi psikologi positif (Ryff, 1989). Huppert (2009)
menyatakan bahwa psychological wellbeing adalah tentang hidup
yang berjalan dengan baik. Kombinasi dari perasaan yang baik dan
berfungsi efektif.
Psychological wellbeing adalah bentuk kenyamanan seseorang
(Diener, Wolsic dan Fujita,1995 dalam Haryanto dan Suyasa, 2007).
Wang (2002) mendefinisikan psychological wellbeing sebagai fungsi
psikologis yang positif dari individu (dalam Haryanto dan
Suyasa,2007). Deci dan Ryan (2008 dalam Winefield, Gill, Taylor
dan Pilkington) menjelaskan bahwa psychological wellbeing biasanya
dikonseptualisasikan sebagai bagian dari perasaan positif seperti
kebahagiaan dan fungsi yang optimal pada individu dan kehidupan
sosial. Jadi, psychological wellbeing adalah fungsi psikologis positif
yang berjalan optimal pada individu.
Ryff (1989) menyebutkan aspek – aspek yang menyusun
psychological wellbeing adalah :
a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)
Kriteria yang paling utama dalam wellbeing adalah
perasaan individu terhadap penerimaan diri sendiri. Definisi
sebagai pokok kesehatan mental seperti karakteristik
aktualisasi diri, fungsi yang optimal dan kedewasaan. Teori
rentang kehidupan juga menegaskan tentang penerimaan
terhadap diri dan masa lalu.
b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with
Others)
Banyak teori yang menegaskan pentingnya kehangatan,
saling percaya dalam hubungan interpersonal. Kemampuan
untuk mencintai dipandang sebagai komponen pokok
kesehatan mental. Hubungan yang hangat dengan orang lain
sebagai kriteria kedewasaan, empati, memiliki perasaan
terhadap orang lain dan hubungan pertemanan yang dalam.
Jadi, hubungan positif dengan orang lain sangat penting dalam
konsep psychological wellbeing.
c. Kemandirian (Autonomy)
Kemampuan individu dalam mengambil keputusan
sendiri, bebas dan tidak terikat peraturan berperilaku dari
orang lain. Seseorang sangat berfungsi juga dideskripsikan
12
standar personal. Selain itu, individu mampu melawan tekanan
sosial untuk berpikir.
d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Kemampuan individu untuk memilih atau membuat
lingkungan yang nyaman untuk dirinya sesuai dengan kondisi
fisik, mampu untuk memanipulasi dan mengkontrol
lingkungan, memajukan dan mengganti secara kreatif untuk
aktivitas fisik maupun mental.
e. Tujuan Hidup (Pupose in Life)
Kesehatan mental mencakup kepercayaan – kepercayaan
yang memberikan individu perasaan bahwa hidup ini memiliki
tujuan dan makna. Individu yang berfungsi penuh memiliki
tujuan, misi dan arah yang membuat hidup ini lebih bermakna.
f. Pengembangan Diri (Personal Growth)
Fungsi psikologis yang optimal tidak hanya mencapai
karakteristik yang khas tetapi juga mampu mengembangkan
suatu potensi untuk tumbuh dan memperluas sebagai seorang
individu. Kebutuhan aktualisasi diri dan menyadari potensi
yang dimilikinya sebagai pusat perspektif klinis dalam
pengembangan diri.
Jadi, psychological wellbeing dinilai tinggi / rendah pada
seorang individu. Nilai psychological wellbeing seseorang tinggi jika
wellbeing dengan optimal dan baik (Ryff dalam Papalia, Olds dan
Feldman, 2009).
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi Psychological Wellbeing
Faktor – faktor yang mempengaruhi psychological wellbeing, adalah :
a. Usia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ryff (1989)
ditemukan perbedaan tingkat psychological wellbeing dari
berbagai kelompok usia. Usia yang bertambah membuat
penguasaan lingkungan seseorang menjadi lebih baik sehingga
mampu mengatur lingkungannya.
b. Jenis kelamin
Ryff (1989) mengatakan bahwa dalam berhubungan
sosial terdapat perbeaan antara pria dan wanita. Laki – laki
lebih mandiri dan tidak mudah tergantung orang lain
sedangkan wanita lebih lemah dan tergantung
(Papalia,Feldman dan Duskin, 2001).
c. Kelas sosial dan kekayaan
Diener dan Diener (1995 dalam Ryan dan Deci, 2001)
menemukan bahwa status keuangan seseorang mempengaruhi
14
B. Pria Lajang dan Dewasa Tengah
Jung (1971, 1969 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008)
mengatakan bahwa orang dewasa pada usia 40 tahunan memiliki
kewajiban pada keluarga dan masyarakat untuk membantu mereka dalam
mencapai tujuan. Sedangkan Erikson (dalam Papalia, Old dan Feldman,
2008) mengatakan bahwa pada usia paruh baya seseorang berada pada fase
generativitas vs stagnasi. Hal ini menyebutkan bahwa orang dewasa
mengembangkan dan membantu generasi selanjutnya jika tidak maka
orang tersebut tidak mengalami perasaan yang tidak hidup atau tidak
berkembang. Tugas paruh baya yang harus dilewati adalah mencari makna
dalam diri. Tahap ini harus dilalui oleh seseorang agar ia mampu bertahan
dan tujuan hidupnya menjadi jelas. Jika seseorang menghindar dari fase ini
maka ia akan kehilangan kesempatan untuk membuat dirinya berkembang
secara psikologis (Jung, 1966 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008).
Pria pada tahap ini diharapkan mampu untuk membantu generasi
selanjutnya untuk mencapai tujuan dan memberikan ilmunya. Selain itu,
seorang pria diharapkan memiliki tujuan hidup dan mampu berhubungan
sebagai individu dengan pasangannya (Havighurst, 1972 dalam Santrock,
C. Psychological Wellbeing pada Pria Lajang Dewasa
Ryff (1989) mengatakan bahwa orang yang sehat secara psikologis
memiliki sifat positif pada dirinya sendiri dan orang lain. Selain itu,
mereka mampu membuat keputusan sendiri, mengatur perilakunya dan
mampu membentuk lingkungannya sesuai dengan diri mereka. Mereka
juga memiliki tujuan dalam hidupnya dan mengembangkan dirinya
sendiri. Pria memiliki kesejahteraan yang baik jika pendidikannya tinggi
dan memiliki pekerjaan yang baik (Ryff dan Singer, 1998 dalam Papalia,
Old dan Feldman, 2008). Ryff juga menemukan bahwa usia paruh baya
pada umumnya merupakan masa kesehatan mental positif.
Usia paruh baya atau usia 50 tahun memiliki tugas perkembangan
berupa pengembangan identitas dan relasi serta kesejahteraan psikologis.
Ketika seorang pria berkeluarga maka ia memiliki identitas sebagai ayah
atau suami. Relasi yang ia miliki juga luas. Relasi dengan istri dan
keluarganya serta relasi pada anak dan teman dari anak – anaknya. Hal –
hal tersebut yang membuat psikologis seseorang berkembang. Studi yang
dilakukan pada 32624 pria Amerika dengan usia 42 – 77 tahun
menemukan bahwa pria yang tidak menikah, memiliki teman dan keluarga
kurang dari 6 orang dan tidak menjadi anggota suatu kelompok cenderung
tinggi untuk meninggal karena sakit jantung, kecelakaan atau bunuh diri
daripada pria yang jaringan sosialnya luas (Kawachi et al, 1996 dalam
Papalia, Old dan Feldman, 2008). Hubungan baik dengan saudara kandung
16
karena mengurangi simptom masalah psikologis (Paul, 1997 dalam
Papalia, Old dan Feldman, 2008).Selain itu, tugas paruh baya yang harus
dilewati adalah mencari makna dalam diri. Tahap ini harus dilalui oleh
seseorang agar ia mampu bertahan dan tujuan hidupnya menjadi jelas
(Jung, 1966 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008).
Pria yang masih melajang pada usia tersebut berarti tidak melewati
proses tersebut. Seseorang menghindar dari fase ini maka ia akan
kehilangan kesempatan untuk membuat dirinya berkembang secara
psikologis (Jung, 1966 dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008). Pria yang
melajang berarti tidak membuat dirinya berkembang secara psikologis.
D. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang muncul adalah bagaimana psychological
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Hasil dari studi
dengan pendekatan deskriptif adalah suatu gambaran detail mengenai subjek
penelitian (Audifax, 2008). Dengan metode pengumpulan data
menggunakan wawancara.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pria lajang melihat pengalaman dan statusnya
sebagai lajang
2. Bagaimana hubungan sosial pria yang melajang
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah pria dengan umur 50 tahun.
Kriteria subjek ini adalah pria lajang dan memutuskan untuk tidak menikah.
Subjek dalam penelitian berjumlah 2 orang dan dipilih dengan
menggunakan criterion sampling. Subjek dipilih menggunakan kriteria yang
sesuai (Poerwandari, 2005). Peneliti menetapkan bahwa subjek merupakan
seseorang yang tidak pernah menikah dan memutuskan untuk melajang
18
dengan usia 50 tahun. Subjek yang dipilih merupakan orang biasa bukan
dari kalangan biarawan.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini
adalah wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu
(Moleong, 2009). Menurut Banister,dkk (1994 dalam Poerwandari, 2005),
wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu.
Peneliti menggunakan metode wawancara dengan pedoman
wawancara yang telah dibuat terlebih dahulu. Pedoman wawancara
digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus
dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek
yang relevan sudah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2005).
Dalam membuat pertanyaan yang akan ditanyakan pada subjek,
peneliti menyusun pedoman wawancara terlebih dahulu. Di bawah ini
adalah pedoman wawancara yang digunakan sebagai panduan wawancara
Tabel 1
Panduan Wawancara
No Fokus Pertanyaan
1 Bagaimana pria lajang
melihat pengalaman dan
statusnya sebagai lajang
Latar belakang pilihan
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pilihan
Pemaknaan terhadap pilihan
2 Bagaimana hubungan
sosial pria lajang
Gambaran kehidupan sosial dan sebaya
Pengaruh status lajang pada hubungan
sosial dan sebaya
E. Prosedur Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensitesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Bogdan dan
Biklen, 1982 dalam Moleong, 2009).
Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah :
1. Organisasi data
Data kualitatif sangat banyak dan beragam, menjadi kewajiban
dari seorang peneliti untuk mengorganisasikan data dengan rapi,
20
Poerwandari. 2005), organisasi data yang sistematis memungkinkan
peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik,
mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data dan
analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Pada tahap ini,
peneliti memindahkan hasil wawancara dari recorder ke dalam bentuk
tulisan (verbatim).
2. Koding (memberi kode)
Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan
mensistematisasi data secara lengkap dan detail sehingga data dapat
memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Oleh karena
itu, peneliti dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkan
(Poerwandari, 2005). Peneliti memberikan kode atau memberi nomor
pada jawaban subjek sehingga peneliti dapat dengan mudah melihat
jawaban subjek yang sesuai dengan fokus penelitian.
3. Intepretasi
Pada tahap ini, peneliti melakukan analisis tematik. Analisis
tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat
menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator kompleks,
kualifikasi yang terkait dengan tema atau hal-hal diantara atau
gabungan dari yang telah disebutkan (Poerwandari, 2005). Tahap ini
dilakukan setelah peneliti melakukan verbatim dan pemberian kode
F. Kredibilitas dan Reliabilitas Penelitian
1. Kredibilitas Penelitian
Kredibilitas menjadi istilah yang dipilih pada penelitian
kualitatif untuk menggantikan konsep validitas pada penelitian
kuantitatif. Kredibilitas peelitian kualitatif terletak pada
keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau
mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi
yang kompleks (Poerwandari, 2005).
2. Reliabilitas Penelitian
Peneliti menggunakan metode diskursus untuk mendapatkan
reliabilitas pada penelitian ini (Poerwandari, 2005). Metode diskursus
adalah metode dimana peneliti mendiskusikan hasil temuan pada orang
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penelitian
1. Persiapan Penelitian
Persiapan yang dilakukan oleh peneliti sebelum melakukan
wawancara adalah :
a. Peneliti mencari subjek terlebih dahulu. Subjek yang dicari
adalah pria berumur 50 tahun dan tidak menikah. Peneliti
mendapat bantuan dari orang tua dan teman dalam mencari
subjek.
b. Peneliti kemudian memastikan bahwa subjek belum dan
memutuskan untuk tidak menikah. Setelah itu, peneliti meminta
kesediaan subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti
menjelaskan kepada subjek bahwa semua data yang bersifat
pribadi akan dijamin kerahasiannya.
c. Peneliti menggunakan tape recorder untuk merekam sesi
wawancara dengan subjek pertama. Namun, pada subjek kedua,
peneliti tidak menggunakan alat rekam karena subjek tidak
bersedia untuk direkam dan peneliti hanya menulis
jawaban-jawaban subjek.
2. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan wawancara dilakukan dalam beberapa pertemuan.
Peneliti dan subjek menentukan waktu untuk melakukan wawancara.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu membuat
panduan wawancara untuk mempermudah jalannya wawancara. Pada
pelaksanaan wawancara, peneliti menggunakan alat rekam untuk
merekam sesi wawancara dengan subjek pertama. Sedangkan pada
subjek kedua, peneliti hanya mencatat jawaban-jawaban subjek karena
subjek tidak bersedia untuk direkam.
Sesi wawancara tiap subjek berbeda tergantung respon yang
diberikan oleh masing-masing subjek. Tempat dilaksanakannya
wawancara untuk subjek pertama dan kedua berbeda karena subjek
tidak berada di kota yang sama. Oleh karena itu, peneliti
menyelesaikan sesi wawancara dengan subjek pertama terlebih dahulu
kemudian peneliti melanjutkan ke subjek kedua.
3. Proses Analisis Data
Proses analisis dimulai dengan pengorganisasian data,
pemberian kode, intepretasi dam mengambil kesimpulan. Dibawah ini
akan dijelaskan secara lebih lanjut :
a. Setelah wawancara selesai, peneliti melakukan pemindahan
hasil wawancara ke dalam bentuk tulisan sehingga
24
b. Kemudian peneliti membuat tabel dan memberikan nomor pada
tiap baris dari hasil wawancara tersebut.
4. Jadwal Pengambilan Data
Berikut akan dijelaskan proses wawancara yang dilakukan oleh
peneliti :
Tabel 2
Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (GSS)
Hari/tanggal Waktu Tempat Kegiatan
Rabu, 6
Maret 2013
Pk 10.30 Rumah peneliti Permintaan kesediaan
untuk di wawancara,
penandatangan surat
persetujuan
wawancara dan
wawancara 1 yang
meliputi latar
belakang subjek,
faktor-faktor yang
mempengaruhi pilihan
untuk melajang dan
pemaknaan terhadap
pilihan
Rabu, 20
Maret 2013
Pk 16.01 Rumah peneliti Wawancara 2 meliputi
sosial dan sebaya,
pandangan tentang
pernikahan dan
pandangan tentang
kepuasan hidup
Senin, 29
April 2013
Pk 16.30 Rumah peneliti Wawancara 3 meliputi
penerimaan diri,
hubungan positif
dengan orang lain,
kemandirian,
penguasaan
lingkungan dan tujuan
hidup
Tabel 3
Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (HK)
Hari/tanggal Waktu Tempat Kegiatan
Senin, 1
April 2013
Pk 14.30 Rumah subjek Permintaan kesediaan
untuk di wawancara,
penandatangan surat
persetujuan wawancara
dan wawancara 1 yang
26
subjek, faktor-faktor
yang mempengaruhi
pilihan untuk melajang
dan pemaknaan terhadap
pilihan
Senin, 15
April 2013
Pk 15.00 Rumah subjek Wawancara 2 meliputi
gambaran kehidupan
sosial dan sebaya,
pandangan tentang
pernikahan dan
pandangan tentang
kepuasan hidup
Selasa, 1
Mei 2013
Pk 13.15 Rumah subjek Wawancara 3 meliputi
penerimaan diri,
hubungan positif dengan
orang lain, kemandirian,
penguasaan lingkungan
B. Profil Subjek
1. Subjek 1
Subjek pertama adalah seorang pria lajang berumur 58 tahun
dengan inisial GSS. Subjek merupakan anak ke-5 dari 6 bersaudara.
Subjek merasa tidak begitu bahagia dengan masa kecilnya karena
terpisah dengan saudara yang lain.
Subjek memiliki tubuh yang kurus dan kulit berwarna kuning
langsat. Selama proses wawancara berlangsung, subjek bekerja sama
dan menjawab semua pertanyaan dengan baik. Kesibukan subjek saat
ini memelihara burung dara dan bekerja serabutan.
2. Subjek 2
Subjek kedua adalah seorang pria lajang berumur 51 tahun
dengan inisial HK. Subjek nmerupakan anak pertama dari 9
bersaudara. Hubungan subjek dengan saudaranya yang lain tidak
begitu baik karena subjek merupakan orang yang keras.
Subjek memiliki tubuh yang agak sedikit gemuk dengan tinggi
badan yang sedang dan kulit berwarna kuning langsat. Selama proses
wawancara berlangsung, subjek tidak begitu antusias dan terkesan
menjawab seperlunya. Saat ini subjek masih menjalani pekerjaannya
28
C. Kategorisasi Tema
Berdasarkan dari analisis yang sudah dilakukan, didapat tema-tema
yang muncul seperti dijelaskan dibawah ini :
1. Pengalaman Masa Lalu dan Lama Tidak Menjalin Hubungan
dengan Wanita Menjadi Latar Belakang Subjek Melajang
Berdasar dari hasil wawancara diketahui bahwa latar belakang
melajang adalah pengalaman masa lalu subjek 1 yang ditolak oleh
orang tua pacarnya. Selain itu, umur yang sudah tua juga menjadi
penyebab subjek 1 tetap melajang. Berikut kutipan jawaban subjek 1:
‘tadinya ada...soalnya kaya om’e pernah...pacaran gitu ya...iya,pernah sampai hubungan serius tapi akhire putus..jadi,karena itu mungkin terus jadi jauh sama perempuan..kaya gitu..’(92-97)
‘waktu umur..sudah umur 35 kira-kira ya,itu...om’e memutuskan...ah.udahlah gag kawin aja..soalnya sudah banyak umur ya..jadi,kasian sama anak-anak nantinya kalo punya anak gitu..jadi,udah,ah,gag usah kawin aja..’(83-89)
Pada subjek 2 tidak diketahui secara pasti kapan subjek
memutuskan melajang. Dibawah ini kutipan jawaban subjek 2:
‘gag tau,,,subjek tidak ingat kapan karena subjek sudah lama tidak dekat perempuan lagi...terakhir dekat dengan perempuan pada waktu subjek berumur 33 tahun dan setelah itu tidak pernah lagi...subjek tidak pernah memutuskan untuk melajang dan hanya menjalani...’(151-158)
2. Faktor Ekonomi dan Sifat Wanita yang Tidak Baik adalah Faktor
yang Mempengaruhi Subjek Melajang
Faktor yang mempengaruhi subjek 1 melajang adalah ekonomi.
‘ya putusnya karena faktor ekonomi jugalah...jadi,pihak
perempuan kan mengetahui keadaane om’e itu jadi gag boleh sama
orang tuane sana...’(99-102)
Penilaian pribadi subjek 2 terhadap perempuan yang dekat
dengan subjek yang membuat subjek melajang. Berikut ini kutipan
jawaban subjek :
‘subjek merasa perempuan yang dekat dengan subjek memiliki sifat yang sama jadi subjek lebih baik sendiri saja...’(173-176)
3. Melajang adalah Kebebasan dan Tidak Menafkahi Istri dan Anak
namun Penyesalan di Hari Tua
Melajang adalah kebebasan, tidak terikat pada apapun dan tidak
adanya larangan. Berikut ini kutipan jawaban subjek 1 tentang
melajang :
‘ya..bayangane gimana ya..ya karena alasan itu,lama-lama jadi kelihatan seperti itu..bebas gitu ya..bebas gag ada ikatan apa-apa,gag terikat apa-apa...om’e mau kemana saja gag ada yang ngelarang..jadi..lama-lama jadi kaya seneng gitu...seneng melajang gitu ya..tapi setelah di hari-hari tua seperti ini..ya..ada rasa penyesalan ada ya tetap...kesepian gag ada anak,gag ada apa gitu..kadang-kadang ya hiburane om’e ya cuma sama cucu-cucu keponakan itu aja udah..’(220-232)
Meskipun demikian, pada hari tuanya seperti saat ini muncul
penyesalan karena tidak ada orang yang dimintai bantuan ketika sakit
dan ada rasa sepi. Dibawah ini utipan jawaban subjek :
30
Subjek 2 mengatakan bahwa melajang adalah kebebasan dan
tidak ada kekangan serta tidak menafkahi istri maupun anak. Berikut
kutipan jawaban subjek :
‘bebas melakukan segala hal, gag ada yang mengekang, mau dolan kemana, sama siapa atau berkumpul dengan teman, gag memberi makan istri atau anak...’(207-211)
4. Hubungan Sosial Tidak Terhambat oleh Status Lajang
Subjek 1 tidak kesulitan dalam berelasi dengan
teman-temannya. Dari pihak keluarga sudah mencoba menyarankan subjek
untuk menikah. Tetapi, subjek mempunyai pemikiran sendiri dan tidak
terpengaruh hal tersebut. Berikut ini kutipan jawaban subjek :
‘teman banyak sekali...om’e baik sama semua teman..kaya waktu itu..om kerja nyupir panggilan kan banyak langganan-langganan jadi sama anak-anaknya ya juga baik semua..’(326-329)
Pada subjek 2, subjek merasa tidak malu dengan status subjek
yang lajang, dan teman-teman subjek menerima kondisi subjek.
Subjek merasa nyaman dengan pekerjaannya sekarang yang menuntut
subjek jarang di rumah sehingga subjek merasa tidak terkekang.
Dibawah ini kutipan jawaban subjek :
‘subjek tidak pernah takut atau malu dengan statusnya karena subjek tidak peduli dengan tanggapan orang lain dan yang menjalani adalah subjek sendiri...’(234-238)
5. Status Lajang Subjek Tidak Mempengaruhi Pertemanan
Kondisi subjek 1 dengan status lajang tidak mempengaruhi
hubungan subjek dengan teman sebayanya. Berikut ini kutipan
‘ya cuma gimana ya..jadi...pengaruh sama teman jane ya gag ada...sama saudara sekarang juga udah gag ada...sudah saya kasih penjelasan...akhire saudara ya ngerti kan..’(405-410)
Status lajang pada subjek 2 juga tidak mempengaruhi hubungan
subjek dengan temannya. Teman subjek juga sering mengenalkan
subjek pada teman perempuan, tetapi subjek tetap tidak berpikir untuk
mengakhiri status lajang. Dibawah ini kutipan jawaban subjek :
‘teman-teman menerima...teman-teman subjek sering mengenalkan teman perempuannya pada subjek...tetapi subjek hanya berhubungan sebatas teman karena subjek tidak berminat untuk menjalin hubungan lagi...meskipun kebanyakan teman subjek sudah menikah, mereka menerima status subjek yang lajang...’(247-257)
6. Subjek Menerima Status Lajangnya dan Optimis dalam Hidup
namun Terkadang Berpikir Mengapa Tidak Menikah dan Masih
Ada Keinginan yang Belum Terpenuhi
Subjek 1 merasa tidak menyesal pada keputusannya melajang
walaupun terkadang timbul pemikiran mengapa dulu tidak menikah
agar ada yang merawat ketika sakit. Hal yang membuat subjek
terhibur adalah hobi dan teman. Kondisi subjek yang sakit-sakitan dan
merasa tidak mampu melakukan apa-apa sehingga membuat subjek
kehilangan semangat hidup. Subjek tidak mau merepotkan orang lain
sehingga subjek berpikir lebih baik jika langsung dipanggil Tuhan.
Meskipun demikian, subjek tetap optimis dalam menjalankan
aktivitasnya. Berikut ini kutipan jawaban subjek :
32
‘seneng juga gag...sedih juga gag....hehehehe...wong sudah keputusan bulat om’e...jadi makane om’e bilang gag nyesel...om’e hidup seperti ini gag nyesel karena ini sudah menjadi keputusane om’e...cuma kadang-kadang ya...wah,iya ya...kalau saya dulu-dulu itu kawin ya...itu merasa sekarang udah punya anak...kalau sakit,apa sudah ada yang ngrawat gitu ya...punya istri,ada yang ngrawat gitu ya...kalau sekarang kan gag...ya cuma itu,kadang terpikir seperti itu..’(534-549)
Sedangkan pada subjek 2, diketahui bahwa subjek belum puas
pada hidupnya karena ada keinginan subjek yang belum terpenuhi.
Selain itu, subjek lebih peduli dan percaya pada dirinya sendiri
daripada orang lain. Dibawah ini kutipan jawaban subjek :
‘belum karena masih ada keinginan subjek yang belum terpenuhi..’(342-343)
‘hidup saya adalah saya yang menentukan...saya tidak peduli pada orang lain yang penting diri saya...baik atau buruk terserah asal tidak merugikan orang lain..’(427-431)
D. Deskripsi Hasil dan Pembahasan
Setelah melakukan wawancara dan pengolahan data didapatkan
beberapa hasil temuan. Hubungan subjek 1 (GSS) dengan saudara-saudara
kandungnya tidak begitu dekat. Hal ini disebabkan karena ketika kecil,
kakak-kakak subjek diasuh oleh saudaranya yang lain. Faktor ekonomi
menjadi alasan orang tua subjek merelakan anak-anaknya diasuh orang
lain. Meskipun tidak dekat dengan saudara-saudaranya, subjek masih
diperhatikan. Ketika subjek belum mendapatkan pasangan,
saudara-saudaranya berusaha membantu mengenalkan perempuan pada subjek.
Subjek menolak dan memberikan alasannya sehingga mereka menerima
tidak begitu dekat dengan adik-adiknya karena subjek memiliki sifat keras
kepala sehingga dijauhi. Selain itu, subjek juga tidak dekat dengan kedua
orang tuanya karena sifatnya tersebut.
Subjek 1 (GSS) memutuskan melajang karena subjek pernah
menjalin hubungan dengan seorang perempuan dan tidak disetujui oleh
orang tua dari pihak perempuan. Ekonomi yang belum mapan menjadi
alasan orang tuanya. Setelah mengakhiri hubungannya, subjek merasa
bersalah karena mantan kekasihnya tersebut menjadi biarawati.
Pengalamannya tersebut membuat subjek tidak percaya diri jika akan
mendekati seorang perempuan. Meskipun teman subjek juga membantu
dalam mengenalkan perempuan kepadanya, subjek tetap menolak karena
secara ekonomi merasa belum mapan dan belum menjadi orang sukses.
Penilaian bahwa jika akan menjalin hubungan serius maka secara ekonomi
harus mapan membuat subjek menunda menikah dan memutuskan
melajang pada usia 35 tahun. Umur yang bertambah menjadi
pertimbangan subjek juga karena jika ia menikah d usia 35 tahun maka
subjek merasa kasian pada anak-anaknya nanti. Pengalaman subjek ketika
masih kecil sudah ditinggal oleh ayahnya sehingga tidak mengenal
ayahnya. Subjek tidak ingin anaknya seperti itu juga jika subjek menikah.
Sedangkan pada subjek 2 (HK), alasan subjek melajang karena
subjek memiliki pandangan bahwa semua perempuan tidak baik, kurang
ajar dan kasar. Subjek berpandangan seperti itu karena subjek selalu
34
memutuskan untuk melajang namun terakhir kali ia berhubungan dengan
seorang perempuan ketika berumur 33 tahun, setelah itu subjek hanya
menikmati dan menjalani hidupnya. Adik-adik subjek tidak peduli pada
hidupnya dan tidak pernah berusaha untuk mengenalkan seorang
perempuan pada subjek.
Subjek 1 (GSS) dan subjek 2 (HK) menyebutkan bahwa keuntungan
dari melajang adalah kebebasan. Subjek bebas untuk melakukan apa saja
tanpa ada yang melarang dan tidak terikat. Selain itu, subjek merasa tidak
ada beban pikiran. Melakukan sesuatu tanpa harus malu karena tidak ada
istri maupun anak. Meskipun demikian, subjek 1 merasa ada penyesalan
ketika menghadapi hari tuanya karena tidak ada yang merawat dan diminta
bantuan pada saat sakit. Subjek 2 hampir tidak pernah merasakan sepi
karena subjek lebih banyak bekerja atau berkumpul dengan
teman-temannya. Dengan demikian, subjek tidak merasa kesepian.
Bagi subjek 1 (GSS), pernikahan akan memiliki banyak masalah
ketika belum ada persiapan yang matang. Meskipun demikian, pernikahan
memiliki sesuatu yang membahagiakan yaitu anak-anak. Subjek ingin
merasakan kebahagiaan dari menikah namun karena umur dan teringat
masa lalu maka subjek memutuskan melajang. Jika subjek memaksa untuk
menikah, subjek takut tidak dapat membahagiakan keluarganya.
Pernikahan bagi subjek (HK) adalah masalah, membuat beban pikiran dan
mencari masalah. Jika subjek membayangkan menikah pasti hidupnya
Subjek mendapatkan gambaran tentang pernikahan dari pengalaman
temannya yang bertengkar dengan istrinya.
Bagi subjek 1 (GSS), hidupnya sekarang tidak sedih dan tidak juga
merasa menyesal. Subjek merasa tidak menyesal karena apa yang subjek
jalani sekarang merupakan keputusannya sendiri. Subjek tidak merasa
sedih karena subjek selalu terhibur dengan memancing, bermain burung
ataupun berkumpul dengan teman-temannya. Selain itu, subjek merasa
senang karena bebas namun tidak puas. Subjek tidak dapat menjelaskan
dimana letak ketidakpuasannya tersebut. Pada subjek 2 (HK), hidup subjek
belum memuaskan karena keinginan subjek untuk mencari uang yang
banyak belum terpenuhi. Subjek mencari uang hanya untuk dirinya sendiri
dan hidup subjek hanya untuk dirinya sendiri. Subjek melakukan hobinya
atau berkumpul dengan temannya sehingga tidak merasa sepi.
Berdasarkan dari hasil wawancara, diketahui bahwa subjek 1 (GSS)
lebih dapat menyadari apa yang menjadi pilihan hidupnya. Ia menerima
dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Meskipun terkadang subjek
merasa ada penyesalan tentang keputusannya namun subjek berusaha
untuk selalu optimis dan melawan rasa penyesalan itu. Menurut Ryff
(1989), perasaan individu terhadap penerimaan diri merupakan kriteria
paling utama dalam wellbeing. Subjek 1 (GSS) memiliki kedewasaan
dalam pengambilan keputusan tentang hidupnya yang melajang. Walaupun
subjek masih merasa bersalah terhadap masa lalunya. Subjek 2 (HK)
36
sendiri. Selain itu, subjek 2 (HK) tidak pernah merasakan kesepian karena
waktunya dihabiskan untuk bekerja dan kesibukannya. Subjek 2 (HK)
menerima dirinya yang melajang karena ia tidak merasakan kesepian.
Subjek 1 (GSS) mampu beradaptasi dengan baik tanpa melihat
statusnya yang melajang. Ia selalu percaya diri dan masih peka terhadap
lingkungan sekitarnya. Dalam berhubungan dengan orang lain, subjek
sangat dewasa dan tidak membuat dirinya dikucilkan dari lingkungan
tempat tinggalnya. Ryff (1989) menyebutkan bahwa hubungan yang
hangat dengan orang lain sebagai kriteria kedewasaan, empati, memiliki
perasaan terhadap orang lain dan hubungan pertemanan yang dalam.
Hubungan positif dengan orang lain sangat penting dalam konsep
psychological wellbeing. Berdasarkan pengertian tersebut dan jawaban
subjek maka dapat dikatakan subjek 1 (GSS) memiliki hubungan relasi
sosial yang baik dengan orang lain. Sedangkan pada subjek 2 (HK) kurang
begitu peka pada sekitarnya karena subjek lebih memikirkan dirinya
sendiri. Meskipun demikian, subjek mampu berhubungan positif dengan
orang lain. Subjek percaya diri dengan statusnya yang lajang dan tidak
merasa terkucilkan.
Dalam pengambilan keputusan atau pemecahan masalah, kedua
subjek cukup percaya pada dirinya sendiri walaupun terkadang bantuan
orang lain dibutuhkan hanya untuk pertimbangan. Ryff (1989)
menjelaskan bahwa seseorang dikatakan mandiri jika mampu mengambil
penelitian merupakan orang yang mandiri dan tidak terpengaruh pada
tekanan sosial. Pendapat orang lain tidak langsung diterima begitu saja
namun dipikirkan terlebih dahulu.
Ryff (1989) mengatakan bahwa penguasaan lingkungan adalah
kemampuan individu memilih dan membuat lingkungan yang nyaman
sesuai dengan kondisi seseorang. Subjek mampu membuat lingkungan
yang nyaman dan sesuai dengan kondisi subjek. Dalam hal ini, subjek
mampu beradaptasi dan membuat lingkungan sekitar subjek untuk
menerima status subjek. Selain itu, lingkungan subjek juga mendukung
dan menerima status subjek yang melajang dengan baik. Oleh karena itu,
subjek dapat menguasai dan mengontrol lingkungannya.
Individu yang berfungsi penuh memiliki tujuan,misi dan arah yang
membuat hidup lebih bermakna (Ryff, 1989). Kedua subjek belum
memiliki tujuan yang jelas untuk hidupnya. Mereka hanya mengikuti dan
menganggap bahwa melajang merupakan takdirnya. Selain itu, keinginan
untuk berkeluarga tidak diwujudkan dan direalisasikan dalam kehidupan
nyata, hanya dalam pikiran. Arah hidup kedua subjek tidak begitu jelas.
Mereka hanya mengikuti alur kehidupannya tanpa adanya usaha yang
keras untuk membuatnya menjadi terarah.
Fungsi psikologis yang optimal yaitu mampu mengembangkan
potensi untuk tumbuh dan memperluas sebagai individu (Ryff, 1989).
Subjek 1 (GSS) dan subjek 2 (HK) kebetulan memiliki pekerjaan yang
38
pekerjaannya tersebut. Kegiatan subjek 1 saat ini adalah memelihara
burung dan ayam. Subjek merasa bahwa hanya kegiatan itu yang mampu
dilakukannya sekarang. Potensi dan kemampuan lain yang ada sudah tidak
dapat dikembangkan lagi karena umur dan penyakit yang subjek derita.
Sedangkan pada subjek 2, pekerjaan yang dilakoni sekarang merupakan
kemampuan yang dimilikinya. Subjek belum pernah mencoba pekerjaan
lain karena kemampuan subjek hanya menyetir. Meskipun demikian,
subjek mampu menjalani hobinya yaitu memelihara burung.
Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological wellbeing merupakan
istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis
seseorang berdasar pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Mengacu
pada pengertian tersebut, psychological wellbeing pada kedua subjek
tergolong baik karena subjek dapat menerima dan menjalani kehidupannya
yang melajang dengan baik. Subjek juga mampu berelasi sosial dengan
lingkungannya dan berhasil membuat lingkungan yang sesuai dengan
kondisinya. Meskipun demikian, subjek terkadang merasakan sepi namun
mengatasinya dengan kegiatan yang sesuai dengan minat dan yang
disukainya.
Psychological wellbeing adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kesehatan psikologis seseorang berdasar pemenuhan
kriteria fungsi psikologi positif (Ryff, 1989). Konsep wellbeing mengacu
pada fungsi psikologis yang optimal dan pengalaman. Kedua subjek
orang lain dan pengembangan diri yang baik. Meskipun tujuan hidup dan
penerimaan diri masih kurang. Belum adanya arah hidup yang jelas
membuat subjek hanya berpasrah menjalani hidupnya. Hal ini disebabkan
oleh karena ketika masih muda, kedua subjek sama-sama menunda tujuan
dan arah hidupnya. Meskipun keinginan untuk menikah ada tetapi tidak
direalisasikan dengan baik. Rasa penyesalan ada pada subjek 1 (GSS)
namun selalu ditekan bahwa hidupnya sekarang merupakan takdir dari
Tuhan. Usia kedua subjek yang sudah masuk dalam kategori dewasa juga
menjadi pemikiran bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Meskipun
demikian, kedua subjek mampu memenuhi fungsi psikologisnya dengan
baik. Kedua subjek mampu berelasi sosial dengan baik pula.
Jenis kelamin subjek adalah pria, dimana pria lebih mandiri dan
tidak mudah bergantung pada orang lain (Papalia, Feldman dan Duskin,
2001). Hal tersebut juga mempengaruhi keputusan subjek dalam melajang.
Walaupun terkadang merasakan kesepian, kedua subjek dapat
mengatasinya dengan mencari kesibukan atau melakukan hobinya. Selain
itu, arah tujuan hidup kedua subjek belum jelas karena hanya berpasrah
pada yang dijalani dan tidak ada usaha yang nyata untuk mengubahnya.
Menghadapi hari-hari tuanya nanti, subjek juga belum terlalu memikirkan.
Berharap jika sudah saatnya nanti tidak harus merepotkan orang lain dan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa subjek 1
(GSS) memiliki penerimaan diri yang tinggi. Subjek juga mampu
berhubungan yang positif dengan orang lain sehingga dinilai tinggi. Selain
itu, subjek 1 juga termasuk orang yang mandiri dan dinilai tinggi juga.
Meskipun demikian, tujuan hidup subjek 1 rendah karena belum begitu
jelas namun subjek dapat membayangkan bagaimana ia menjalani
hidupnya sampai tua nanti. Subjek 1 (GSS) merasakan penyesalan namun
tidak mengganggu dalam melakukan sesuatu. Apa yang sudah menjadi
keputusannya tidak boleh disesali. Subjek 1 mampu menguasai lingkungan
sekitarnya dengan baik dan dinilai tinggi. Pengembangan diri subjek juga
termasuk skor tinggi karena subjek melakukan pekerjaan yang sesuai
dengan potensi dirinya.
Subjek 2 (HK) memiliki penerimaan diri yang dinilai tinggi karena
subjek menerima statusnya yang lajang. Selain itu, subjek juga mampu
berhubungan positif dengan orang lain tanpa memikirkan statusnya
termasuk tinggi juga. Subjek HK juga mandiri dan menguasai lingkungan
sekitarnya sehingga lingkungan sekitar subjek menerimanya dengan baik
dan dinilai tinggi. Namun, tujuan hidup subjek belum jelas dan termasuk
rendah karena subjek hanya menjalani hidupnya tanpa ada arah.
Pengembangan diri subjek tinggi karena subjek mengetahui kemampuan
dirinya.
B. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan subjek dengan tingkat ekonomi yang
kurang atau termasuk ekonomi menengah bawah sehingga data yang
didapat tidak dapat digunakan untuk menilai subjek dengan tingkat
ekonomi yang lebih tinggi.
C. Saran
Penelitian selanjutnya disarankan untuk memperluas tingkat
ekonomi subjek. Selain itu, peneliti juga dapat memilih subjek yang
DAFTAR PUSTAKA
Anna, Lusia Kuss. (2010, 26 Juli). Ini dia keuntungan menikah. Kompas.com. Diunduh dari
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/26/16022881/Ini.Dia.Keunt ungan.Menikah
Audifax. (2008). Research: Sebuah pengantar untuk “mencari ulang” metode dalam penelitian psikologi. Yogyakarta: Jalasutra.
BBC. (2011, 28 November). Banyak Anak Muda Jepang Tidak Ingin Menikah.
BBC.com. Diunduh dari
http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2011/11/111124_pernikahan_ jepang.shtml
Darmawati. (2001). Psychological wellbeing pada wanita lajang. UGM : skripsi tidak diterbitkan
Femina. (2006, 6-12 April). Alasan pria tetap melajang (jajak pendapat femina terhadap 60 pria berusia 25-35 tahun). Femina, 22.
Haryadi, Soegeng. (2012, 21 April). Tujuh mitos yang bikin orang takut menikah.
Sriwijaya Post.Diunduh dari
http://palembang.tribunnews.com/2012/04/21/7-mitos-yang-bikin-orang-takut-menikah
Huppert, Felicia A. (2009). Psychological well-being: evidence regarding its causes and consequence. Applied psychology: health and well-being, (2), 137-164.
Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Penerjemah : Istiwidyawati dan Soejarwo. Jakarta : Erlangga
Hutapea, Bonar. (2011). Emotional Intellegence dan Psychological Wellbeing
pada manusia lanjut usia anggota organisasi berbasis keagamaan di Jakarta. INSAN, 13(02), Agustus.
Kumalasari, Dyah. (2008). Single profesional women sebagai fenomena gaya hidup baru di masyarakat Yogyakarta (studi kasus: kabupaten sleman).
Jurnal penelitian humaniora, 13(2), 105-122.
Marks, Nadine F. (1996). Flying solo at midlife: gender, marital status and psychological well-being. Journal of marriage and the family, 58(4),pp. 917-932.
Marks, Nadine F. & James D. Lambert. (1996). Marital status continuity and change among young and midlife adults: longitudinal effects on psychological well-being. NSFH Working Paper, 71.
Marselina, Lastri. (2011, 16 Oktober). Pria lajang lebih beresiko tinggi tewas akibat kanker. Okezone.com. Diunduh dari
http://lifestyle.okezone.com/read/2011/10/16/197/515932/large
Moeleong, Lexy J., (2009). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Novita, Nayu. (2010, 20 Januari). Pria : ’kami bukan takut berkomitmen, tapi...’. Diunduh dari
http://regional.kompas.com/read/2010/01/20/12513264/Pria.Kami.Buka n.Takut.Berkomitmen.Tapi.
Oktaria, Rara. (2009). Kesepian pada pria usia lanjut yang melajang. Diunduh dari
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2009/ Artikel_10504146.pdf
Papalia, Diane. E. Sally Wendkos Olds & Ruth Duskin Feldman. (2001). Human Development (ed. ke-8). Boston : Mc Graw Hill.
Papalia, Diane E., Sally Wendkos Olds & Ruth Duskin Feldman. (2008). Human development (ed. ke-9 terjemahan). Boston: Mc Graw Hill.
Poerwandari, E.K., (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia.
Russell, David. (2011, 5 Oktober).Does Living Alone Have a Negative Influence on Psychological Well-Being?. Psychology Today. Diunduh dari
http://www.psychologytoday.com/blog/201105/Does Living Alone Have a Negative Influence on Psychological Well-Being
Ryan, Richard M. & Edward L. Deci. (2001). On happiness and human potentials: a review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual
review psychology, 52: 141-166. Diunduh dari
http://www.uic.edu/classes/psych/Health/Readings/Ryan,%20Happines s%20-%20well%20being,%20AnnRevPsy,%202001.pdf
44
Santrock, John W. (2002). Life Span Development (ed. ke-5 terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Stutzer dan Frey. (2006). Does marriage make people happy or do happy people get married?. The Journal of Socio-Economics 35,326–347. Diunduh dari http://www.bsfrey.ch/articles/434_06.pdf
Wardhanie, Hanie Kusuma. (1997, 20-26 November). Mengapa mereka tetap melajang?. Femina, 66.
Winefield, Helen R., Tiffany K. Gill, Anne W. Taylor dan Rhiannon M. Pilkington. (2012). Psychological well-being and psychological distress: is it necessary to measure both?. Winefield et. al. Psychology of well-being: theory, research and practice, 2:3. Diunduh dari http://www.psywb.com/content/pdf/2211-1522-2-3.pdf
Zubairi, A.Dardiri. (2010, 14 Desember). 7 alasan orang belum (tidak) menikah.
Kompasiana.com. Diunduh dari
46
LAMPIRAN1
.