• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN STRES PSIKOLOGIS TERHADAP SINDROM PRAMENSTRUASI (PMS) PADA MAHASISWI SEMESTER I PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN STRES PSIKOLOGIS TERHADAP SINDROM PRAMENSTRUASI (PMS) PADA MAHASISWI SEMESTER I PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUBUNGAN STRES PSIKOLOGIS TERHADAP PREVALENSI SINDROM PRAMENSTRUASI (PMS) PADA MAHASISWI SEMESTER I PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

UDAYANA

Gusti Ayu Cyntia Sri Adityarini1, Susy Purnawati2 1. Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

2. Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak. Sindrom pramenstruasi (PMS) dapat dipicu oleh beberapa hal, salah satunya adalah stres psikologis. Salah satu populasi yang berisiko adalah mahasiswi kedokteran, terutama yang baru memasuki tahun pertama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara stres psikologis terhadap kejadian sindrom pramenstruasi. Sampel (n=142) adalah seluruh mahasiswi semester I program studi pendidikan dokter (PSPD), Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pengambilan data menggunakan metode kuesioner tertutup. Data dianalisis dengan uji korelasi non-parametrik Kendall’s tau_b dan Spearman’s rho test. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara stres psikologis terhadap kejadian sindrom pramenstruasi (p=0.000) dan adanya korelasi sedang yang positif (r=0.512) antara tingkat stres dengan severitas dari PMS pada mahasiswi semester I program studi pendidikan dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Kata kunci: Sindrom pramenstruasi, stres psikologis, mahasiswi semester 1 PSPD

CORRELATION BETWEEN PSYCHOLOGICAL STRESS AND PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS) IN FIRST SEMESTER MEDICAL

STUDENT IN FACULTY OF MEDICINE, UDAYANA UNIVERSITY

Abstract. Premenstrual syndrome (PMS) could be triggered by several things, one of them is psychological stress. One of the populations at risk is a medical student, especially the first year medical student. The purpose of this study was to determine the relationship between psychological stress and the prevalence of PMS. The sample (n = 142) is the entire first semester medical student in Faculty of Medicine, Udayana University. The method of retrieval data is using closed questionnaires. Data were analyzed by non-parametric correlation test non-parametric Kendall’s tau_b and Spearman’s rho test. The results showed a significant relationship between psychological stress on the prevalence of PMS (p=0.000) and moderate positive correlation (r=0.512) between the degree of psychological stress and severity of PMS in first semester medical student in Faculty of Medicine, Udayana University.

Keywords: Premenstrual syndrome, psychological stress, first semester medical student

Sindrom premenstruasi (PMS) merupakan hal yang pernah dialami oleh lebih dari 90% wanita (Balaha, 2010). Delapan sampai dua puluh persen diantaraya bahkan mengalami gejala yang berat sehingga memerlukan pengobatan (Delara, 2012). Gejala yang ditimbulkan dapat berupa gangguan

emosional maupun perubahan secara fisik. PMS dapat dipicu atau diperberat oleh beberapa faktor, salah satunya adalah stress (Forrester-Knauss, 2011; Jahromi, 2011; Kathleen 2010).

(2)

2 pada pikiran maupun tubuh seseorang. Stress dapat mempengaruhi sistem hormon yang nantinya akan mempengaruhi fungsi tubuh secara keseluruhan (Kathleen, 2010; Doherty, 2009).

Salah satu populasi yang berisiko cukup tinggi untuk mengalami stress secara psikologis adalah mahasiswa kedokteran, terutama yang baru memasuki tahun pertama (Koochaki, 2011; Mahajan, 2010). Mereka memerlukan kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap segala tuntutan sebagai seorang mahasiswa kedokteran. Penelitian menyebutkan bahwa lebih dari 50% mahasiswi, salah satunya mahasiswi kedokteran mengalami sindrom pramenstruasi mulai dari gejala yang ringan sampai berat (Mahajan, 2010; Al-Dabal, 2009).

Di Bali terdapat dua universitas yang memiliki fakultas kedokteran. salah satu universitas tersebut adalah Universitas Udayana. Di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana jumlah mahasiswa putri cukup banyak. Pada angkatan 2013, jumlah mahasiswi hampir mencapai 70% dari total mahasiswa satu angkatan. Namun, hingga saat ini belum ditemukan laporan penelitian mengenai hubungan stres psikologis terhadap PMS pada mahasiswa di Bali.

Sindrom Pramenstruasi (PMS)

Menurut Hendarto (2011), sindrom pramenstruasi (PMS) merupakan berbagai keluhan yang muncul sebelum haid, yang terdiri dari keluhan gangguan mood dan perubahan fisik. PMS biasanya dimulai pada minggu terakhir fase luteum (7-10 hari menjelang haid) dan berakhir beberapa saat setelah haid. Penyebab pasti dari sindrom ini belum diketahui. Menurut dugaan terdapat peranan dari hormon estrogen, progesteron, prolaktin, dan aldosteron.

Gangguan keseimbangan hormon estrogen dan progesteron akan menyebabkan retensi cairan dan natrium yang berpotensi memicu timbulnya sindrom pramenstruasi (Hendarto, 2011).

Gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami PMS dapat bermacam-macam, mulai dari gejala yang ringan hingga yang berat (Balaha,2010; Potter, 2009) Gejala gangguan mood atau emosional dapat berupa perasaan tertekan/ depresi, cepat marah, emosi labil, cepat menangis, cemas, kebingungan, ingin menyendiri, konsentrasi menurun, insomnia, peningkatan keinginan untuk istirahat, dan perubahan pada hasrat seksual. Gejala perubahan atau gangguan fisik dapat berupa peningkatan keinginan untuk makan dan minum, payudara mengeras, berat badan meningkat, sakit kepala, bengkak pada ekstrimitas, pusing, nyeri, cepat merasa lelah, masalah pada kulit, gejala pada saluran pencernaan, serta nyeri pada abdomen (Delara, 2012; Hendarto, 2011; Kathleen, 2010).

Untuk mendiagnosis seorang wanita mengalami PMS, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Salah satu pedoman yang dapat digunakan adalah pedoman kriteria diagnosis dari American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) yang menggabungkan kriteria dari National Institute of Mental Health (NIMH) dengan bukti dari penelitian pendukung (Hendarto, 2011; Balaha, 2010; Kathleen, 2010; Potter 2009). Kriteria itu yakni:

a. Gejala gangguan emosional dan fisik terjadi setidaknya 5 hari sebelum periode awal menstruasi, b. Didapatkan sedikitnya 5 gejala dan

(3)

3 c. Gejala berkurang selama 4 hari

periode menstruasi, dan menghilang beberapa saat setelah periode menstruasi,

d. Gejala tidak berulang setidaknya sampai 13 hari setelah periode menstruasi,

e. Tidak disebabkan karena pengobatan, termasuk penggunaan terapi dengan hormon, obat-obatan, dan/ atau konsumsi alkohol,

f. Terjadi setidaknya pada dua siklus menstruasi berturut-turut,

g. Berhubungan dengan laporan subyektif mengenai adanya gangguan.

Faktor yang menjadi pemicu timbulnya sindrom pramenstruasi atau faktor yang memperberat gejala sindrom pramenstruasi dapat berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut antara lain usia saat ini, usia saat menstruasi pertama, fungsi fisik, status kesehatan, status mental, stres, ada tidaknya dysmenorrhea, banyaknya darah yang keluar saat menstruasi, status pernikahan, status pekerjaan, kebiasaan, banyaknya aktivitas yang dilakukan, serta fungsi sosial. Faktor pemicu PMS yang sering dan hampir pernah dialami oleh semua orang adalah stres (Delara, 2012; Forrester-Knauss ,2011; Jahromi, 2011; Kathleen, 2010; Potter 2009).

Menurut penelitian sebelumnya, stres dapat mengakibatkan peningkatan gejala yang signifikan dari sindrom pramenstruasi (Jahromi, 2011). Mahasiswi merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi mengalami PMS. Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran, menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari mahasiswa tersebut mengalami gejala sindrom pramenstruasi (Sitwat, 2013; Balaha, 2010; Thu, 2006).

Stress Psikologi dan Prevalensinya pada Mahasiswi Kedokteran

Menurut Kaplan dan Sadock (2010), stres psikologis merupakan reaksi maladaptif jangka pendek terhadap stresor psikososial. Respon maladaptif ini bisa disebabkan karena adanya gangguan dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau karena gejala atau perilaku di luar respon normal atau lazim yang diperkirakan terhadap stresor tersebut. Berbagai hal dapat berpengaruh pada proses munculnya stres psikologis, baik itu faktor internal maupun eksternal. Faktor internal dapat meliputi jenis kelamin, usia, kepribadian, status pernikahan, level edukasi, dan status pekerjaan. Faktor eksternal dapat meliputi masalah ekonomi, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan/atau pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Gangguan ini paling sering didiagnosis pada remaja tetapi dapat terjadi pada setiap usia. Rasio kejadian stres antara wanita dan pria adalah 2 berbanding 1. Pada remaja, bentuk pencetus yang paling sering adalah masalah sekolah, penolakan orang tua, perceraian orang tua, dan penyalahgunaan zat (Kaplan dan Saddock, 2010; Doherty, 2009).

(4)

4 Hipotalamus akan merangsang pelepasan Gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang menyebabkan pembentukan dan pelepasan dari leutinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH) dari pituitari. Selanjutnya ovarium akan melepaskan hormon estrogen dan progesteron yang akan memberikan efek pada tubuh, salah satunya pada uterus. Kortisol yang dilepaskan saat terjadinya stres dapat menghambat pelepasan dari GnRH, LH, dan estrogen. Kortisol juga dapat menurunkan sensitivitas target organ pada estrogen. Proses inilah yang dapat memicu dan memperberat gejala-gejala dari PMS (Kathleen, 2010).

Stres psikologis dapat melibatkan beberapa gejala seperti sering merasa lelah, gelisah, cemas, putus asa, tertekan/depresi, sering merasa sedih dan sendiri. Derajat stres dapat diukur dengan beberapa cara. Salah satu cara mudah untuk mengukur derajat stres seseorang adalah dengan menggunakan The Kessler Psychological Distres Scale (K10). Seseorang diberikan 10 pertanyaan mengenai gejala stres psikologis yang umum terjadi kemudian diberi skala 1 sampai 5 dan dikatagorikan dari normal (skor < 20), stres psikologis ringan (skor 20-24), stres psikologis sedang (25-30), dan stres psikologis berat (> 30). Pertanyaan kuesioner meliputi gejala stres psikologis yang mungkin dialami meliputi timbulnya rasa lelah yang tidak jelas, perasaan gugup, perasaan gugup yang tidak dapat ditenangkan, putus asa, gelisah, tidak betah diam pada posisi tertentu, tertekan, merasa bahwa segala sesuatu adalah usaha keras, perasaan sedih yang berat, dan merasa tidak berharga (Koochaki 2011; Andrew, 2001).

Salah satu populasi yang terpapar faktor stresor yang cukup berat adalah

mahasiswa kedokteran, terutama mahasiswa kedokteran pada tahun pertama. Penelitian yang dilakukan Al-Dabal, dkk (2010) di Damman, Saudi Arabia menyebutkan bahwa angka kejadian stres pada mahasiswa kedokteran lebih tinggi dibandingan dengan mahasiswa jurusan lain. Lingkungan sekitar yang baru, proses belajar mengajar yang baru, serta materi perkuliahan yang jauh lebih berat dari sebelumnya akan memberikan tekanan pada setiap mahasiswa kedokteran pada tahun pertamanya (Koochaki, 2011; Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005). Beberapa hal yang memicu stres psikologis mada mahasisiwa kedokteran antara lain kurikulum yang dinilai overload, metode mengajar yang tidak dapat diterima sepenuhnya, jumlah total kegiatan yang diikuti mahasiswa, ketakutan untuk gagal, lingkungan belajar yang tidak kondusif di kampus, kegagalan berinteraksi antar mahasiswa, dan lingkungan belajar yang tidak kondusif di daerah tempat tinggalnya (Koochaki, 2011; Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005).

Seorang calon dokter tidak hanya dituntut untuk baik secara akademis namun juga secara psikomotor dan afektif. Tidak hanya dari sisi akademis, mereka juga dituntut untuk dapat bersosialisasi dengan mengikuti beberapa kegiatan sosial penunjang. Selain itu, mereka juga harus belajar cara menghubungkan segala hal yang telah mereka pelajari dan teknis aplikasinya di lapangan. (Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005)

(5)

5 yang tidak mampu beradaptasi akan jatuh pada fase stres dimana mereka akan merasakan hal-hal seperti merasa tidak berkompeten, tidak berguna, bodoh, marah, dan merasa bersalah, cemas, gelisah, dan perasaan ingin menyendiri (Koorchaki, 2011; Dyrbye, 2005). Keadaan stres secara psikologis ini dapat berlangsung secara akut maupun tetap persisten selama masa perkuliahan. Jika tidak mendapatkan penanganan yang memadai, keadaan ini akan memberikan efek yang tidak baik bahkan serius baik pada status fisik maupun mental mahasiswa tersebut. (Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005).

Metode Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik untuk menilai ada tidaknya hubungan antara stres psikologis dengan prevalensi sindrom pramenstruasi pada mahasiswi semester I program studi pendidikan dokter (PSPD) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pembagian dilakukan bedasarkan derajat stres dan derajat sindrom pramenstruasi (Alatas dkk, 2011).

Populasi dan Sampel

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah mahasiswi semester I angkatan 2013 PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang berasal dari Indonesia sebanyak 150 orang yang terbagi dalam dua kelas, yaitu kelas A dan kelas B. Sampel yang diambil adalah keseluruhan dari populasi terjangkau. Penelitian dihentikan ketika kuota yang diinginkan telah dicapai pada tiap-tiap kelas.

Alat Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, jenis data yang diuji adalah data primer yang

diperoleh melalui kuesioner. Kuesioner bersifat tertutup dan terbagi menjadi 3 jenis. yang terdiri dari 10 pertanyaan checklist, 18 pertanyaan rating scale, dan 5 pertanyaan dengan jawaban dikotomi “Ya” dan “Tidak”. Pengukuran variabel bebas dan variabel tergantung dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Pengumpulan data terkait variabel bebas yaitu keadaan psikologis mahasiswi semester I PSPD terletak pada bagian depan kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner The Kessler Psychological Distres Scale (K10). Setiap pertanyaan diberi nilai 1 sampai 5. Jenis data yang akan diperoleh dari variabel bebas ini adalah jenis data numerik yang kemudian peneliti ubah ke dalam skala ordinal. Selanjutnya hasil akan dikategorikan dalam 4 katagori yaitu tidak mengalami stres psikologis (skor <20), mengalami stres psikologis ringan (skor 20-24), mengalami stres psikologis sedang (skor 25-30), dan mengalami stres psikologis berat (skor > 30) (Andrew, 2001).

Pengumpulan data terkait variabel tergantung yaitu sindrom pramenstruasi pada mahasiswi semester I PSPD juga diukur dengan menggunakan kuesioner yang terletak pada halaman berikutnya. Setiap pertanyaan diberi nilai 0 sampai 4. Jenis data yang akan diperoleh dari kuesioner adalah jenis numerik yang kemudian peneliti ubah ke dalam skala ordinal. Hasil dikategorikan dalam 4 katagori yaitu tidak mengalami PMS (skor 0-5), mengalami stres PMS ringan (skor 6-15), mengalami PMS sedang (skor 16-25), dan mengalami PMS berat (skor > 25).

Hipotesis:

(6)

6 PSPD, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Hipotesis 2: terdapat pengaruh derajat stress psikologis dengan severitas sindrom pramenstruasi (PMS) pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Analisis Data

Peneliti menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package for Social Sciences) versi 16.0 untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. Analisis data meliputi analisis deskriptif karakteristik sampel, uji normalitas dengan teknik Kolmogorov–Smirnov Goodnessof Fit

Test, Uji homogenitas varian dengan Lavene test. Untuk uji hipotesis, akan dilakukan uji korelasi non-parametric Kendall tau_b test dan Spearman’s rho test (Tumbelaka dkk, 2011).

Hasil Karakteristik Sampel

Sampel penelitian awal berjumlah 150, tetapi 8 sampel mengalami drop out karena tidak mengisi kuesioner dengan lengkap sehingga total sampel valid berjumlah 142 sampel. Berikut ini adalah data sampel yang terdiri atas usia dan jumlah kegiatan, tingkat stres psikologis, dan severitas PMS.

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, Jumlah Kegiatan, Stres Psikologis, dan PMS

Jumlah (n)

Persentase

(%) Rerata Simpang Baku

Usia 17,92 0,40

16 1 0,7%

17 14 9,9%

18 122 85,9%

19 5 3,5%

Jumlah Kegiatan 1,64 0,66

1 64 45,1%

2 66 46,5%

3 11 7,7%

4 1 0,7%

Stres Psikologis 2,12 0.86

Normal 37 26,1%

Tidak Normal 105 73,9%

Ringan 59 41,5%

Sedang 38 26,8%

Berat 8 5,6%

PMS 2,31 1,02

Normal 38 26,8%

Tidak Normal 104 73,2%

Ringan 43 30,3%

Sedang 40 28,1%

Berat 21 14,8%

Tabel di atas menunjukkan sebagian besar sampel berusia 16 tahun dan mayoritas mengikuti 1 sampai 2

(7)

7 Udayana adalah 73,9%. Prevalensi PMS pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah 73,2%. Derajat stres psikologis yang paling banyak dialami oleh mahasiswi adalah stres psikologis ringan dan derajat PMS yang paling banyak dialami mahasiswi adalah PMS ringan.

Hasil Penelitian

Analisis data berupa tabulasi silang dilakukan untuk mengetahui gambaran severitas PMS berdasarkan tingkat stres psikologis. Kemudian dilakukan uji korelasi non-parametrik Kendall tau_b test dan Spearman’s rho test untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel.

Tabel 2. Tabulasi Silang Derajat Stres dan Derajat PMS

PMS Total

%

Normal Ringan Sedang Berat

Stres Psikologis

Normal 20 13 4 0 37

54,1% 35,1% 10,8% 0% 26,1%

Ringan 14 25 16 4 59

23,7% 42,4% 27,1% 6,8% 41,5%

Sedang 4 4 18 12 38

10,5% 10,5% 47,4% 31,6% 28,8%

Berat 0 1 2 5 8

0% 12,5% 25,0% 62,5% 5,6%

Total %

38 43 40 21 142

26,8% 30,3% 28,2% 14.8% 100%

Tabel di atas memberikan gambaran bahwa severitas PMS berbanding lurus dengan tingkat stres psikologis yang dialami oleh mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Hal ini ditunjukkan oleh hasil tabulasi silang dimana pada mahasiswi yang tidak mengalami stres psikologis sebagian besar (54,1%) juga tidak mengalami PMS. Pada mahasiswi yang mengalami stres psikologis ringan, sebagian besar (42,4%) mengalami PMS ringan. Pada mahasiswi yang mengalami stres psikologis sedang, 47,4% diantaranya mengalami PMS

sedang. Serta pada mahasiswi yang mengalami stes psikologis berat, 62,5% diantaranya juga mengalami PMS berat. Hasil uji normalitas (p=0,000) menunjukkan distribusi data penelitian tidak normal (p<0,05). Uji homogenitas (p=0,856) menunjukkan sebaran data yang homogen (p>0,05). Karena distribusi data yang tidak normal, maka uji hipotesis menggunakan uji korelasi non-parametrik. Berikut ini adalah perbandingan hasil uji korelasi non-parametrik Kendall Tau_B Test dan Spearman’s Rho Test.

Tabel 3. Perbandingan Uji Korelasi Non-Parametrik Kendall Tau_B Test dan

Spearman’s Rho Test. PMS

R p value Jenis test

Stress Psikologis

(8)

8 Pembahasan

Hasil tabulasi silang, menunjukkan bahwa hanya 37% dari seluruh sampel yang tidak mengalami stres psikologis dan hanya 26,8% dari keseluruhan sampel yang tidak mengalami PMS. Data tersebut menunjukkan kejadian stres psikologis dan PMS pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana tinggi (>60%), terlepas dari ada tidaknya korelasi antara stres psikologis dengan kejadian PMS. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Balaha dkk (2010) yang menunjukkan hasil 89% dari sampel mahasiswi kedokteran mengalami PMS. Penelitian yang dilakukan oleh Yusoff dkk (2010) juga menunjukkan bahwa hampir 72% dari mahasiswa kedokteran mengalami stres psikologis, dimana 62,3% diantaranya adalah wanita.

Selanjutnya dari hasil uji hipotesis data, diperoleh r=0,512 pada Kendall’s tau_b test dan r=0,579 pada Spearman’s rho test. Hasil tersebut menunjukkan adanya korelasi sedang (r= 0,3-0,6) yang mendekati ke arah kuat antara stres psikologis dengan PMS. r yang bernilai positif menunjukkan ada hubungan antara peningkatan derajat stres dengan peningkatan severitas dari PMS. Jadi, semakin tinggi derajat stres maka peluang untuk mengalami PMS yang lebih berat juga makin besar. p value sebesar 0,000 (p<0,05) menunjukkan hasil tersebut signifikan antara hasil yang diperoleh pada sampel dengan populasi di masyarakat. Korelasi yang signifikan pada level 0,01 menunjukkan bahwa kemungkinan hasil penelitian merupakan kebetulan hanya sebesar 1%. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jahromi, Pakmehr, dan Hagh-Shenas (2011) mengenai hubungan antara stres dalam pekerjaan

dan prevalensi PMS dan premenstrual dysphoric disorder (PMDD). Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang signifikan bahwa stres dapat memperburuk PMS yang dialami oleh wanita.

Tingginya prevalensi stres psikologis dan sindrom pramenstruasi pada mahasiswi kedokteran ini memerlukan perhatian khusus dan penanganan yang baik dari pihak keluarga, pihak fakultas, dan tenaga kesehatan. Di lingkungan rumah, keluarga perlu memberikan perhatian lebih dan mencoba mencari penyelesaian terhadap masalah-masalah yang mungkin dialami oleh anak tersebut. Dari pihak fakultas, dosen pembimbing akademik perlu memberikan perhatian yang lebih terhadap seluruh mahasiswa, utamanya yang menunjukkan tanda-tanda stres psikologis. Dari pihak tenaga medis, diperlukan perhatian khusus mengenai kemungkinan penyebab stres psikologis dan PMS serta penanganan yang dilakukan terutama jika hal tersebut sampai mengganggu aktivitas sehari-hari.

(9)

9 analisis data menunjukkan hasil yang signifikan. Selain itu, dari penelitian ini tidak dapat diketahui apakah mahasiswi tersebut mulai mengalami stres psikologis setelah masuk ke Fakultas Kedokteran atau stres psikologis tersebut telah dialami mahasiswi sejak lama sebelum masuk ke Fakultas kedokteran.

Simpulan dan Saran Simpulan

Prevalensi stres psikologis pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah 73,9%. Prevalensi PMS pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah 73,2%. Diperoleh gambaran severitas PMS yang berbanding lurus dengan tingkat stres psikologis yang dialami oleh

mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Analisis data menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p<0,05) serta korelasi positif (r=0,512) antara tingkat stres psikologis dengan severitas PMS pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menghilangkan faktor-faktor perancu yang masih terkandung dalam penelitian ini dan mengetahui hubungan sebab akibat yang bersifat temporal antar variabel. Selain itu, pihak fakultas perlu melakukan pengkajian mengenai kemungkinan penyebab stres psikologis yang terjadi pada sebagian besar mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

.

Pustaka Acuan

Al-Dabal, B.K., Koura, M.R., Rasheed, P., Al-Sowielem, L.,dan Makki, S.M. (2010). A comparative study of perceived stres among female medical and non-medical university students in dammam, saudi arabia. SQU Medical Journal. 10(2): 231-240 Alatas,H., Karyomanggolo, W.T., Musa D.A., Boediarso, A., dan Oesman, I.N. (2011)

“Desain penelitian” in Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi kempat. Bab VI.Jakarta:Sagung seto. pp. 104-128

Andrew, G dan Slade, T. (2001). Interpreting scores on the kessler psychological distres scale. Australian and New Zealand Journal of Public Health. 25(6): 494-497. Balaha, M.H., Amr, M. A. E. M., Moghannum, M.S.A., dan Muhaidab, N.S.A. (2010). The phenomenology of premenstrual syndrome in female medical students: a cross sectional study. PanAfrican Medical Journal. 5:4

Delara, M., Ghofranipour, F., Tavafian, S.S., KAzemnejad, A., dan Montazeri, A. (2012). Health related quality of life among adolescents with premenstrual disorders: a cross sectional study. Health and Quality of Life Outcomes.Biomed Central. 10:1

Doherty, D.T., Moran, R., dan Kartalova, Y. (2009). Psychological distres, mental health problems and use of helath services in Ireland. HRB Research Series 5. Dublin: Health Research Board

Dyrbye, L.N., Matthew, R., Thomas, dan Shanaflet. (2005). Medical student distres: causes, consequences, and proposed solution. Mayo Clin. Proc.80(12): 1613-1622 Forrester-Knauss, C., Stutz, E.Z., Weiss, C., dan Tschudin, S. (2011). The interrelation

(10)

10

Hendarto, H. (2011). “Gangguanhaid/Perdarahan uterus abnormal” in Ilmu Kandungan, Edisi Ketiga. Bab VIII. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp. 161-183

Jahromi, B.N., Pakmehr, S., dan Hagh-Shenas, H. (2011). Work stres, premenstrual syndrome and dysphoric disorder: are there any associations?. Iranian Red Crescent Medical Journal. 12 (3): 199-202

Kaplan, H.I., Sadock, B. J., dan Grebb, J. A. (2007). Synopsis of psychiatry. Ten Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia USA. Terjemahan Widjaja Kusuma. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2. Tanggerang: Binarupa Aksara Publisher. Kathleen, M., Lustyk, B., dan Gerrish, W.G. (2010). Premenstrual syndrome and

premenstrual dysphoric disorder: issues of quality of life, stres and exercise. Springer Science+Bussiness Media LCC, USA.

Koochaki, G.M., Charkazi, A., Hasanzadeh, A., Saedani, M., Qorbani, M., dan Marjani, A. (2011). Prevalence of stres among Iranian medical students: a questionnaire survey. EHMJ. 17(7): 593-598

Mahajan, A. S. (2010). Stres in medical education: a global issue or much a do about nothing specific?. South-East Asian Journal of Medical Education. 4(2): 9-13

Potter, J., Bouyer, J. Trussell, J, dan Moreau, C. (2009). Premenstrual syndrome prevalence and fluctuation over time: results from a French population based survey. Journal of women’s health. 18(1): 31-39

Sitwat, Z., Abid, A., Arif, A., Basit, A., dan Anwar, Q.M. (2013). Premenstrual syndrome symptomps (PMS) and prevalence among university students in karachi, Pakistan. Int. Res. Journal. Pharm. 4(4): 113-116

Thu, M., Diaz, E.O., dan Sawhsarkapaw. (2006). Premenstrual syndrome among female university students in Thailand. AU.J.T. 9(3): 158-162

Tumbelaka, A.R., Riono,P., Wirjodiardjo M., Pudjiastuti P., dan Firman, K.. (2011) “Pemilihan uji hipotesis” in Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi kempat. Bab XVI. Jakarta:Sagung seto. pp. 324-346

Yusoff, M.S.B., Rahim, A.F.A., dan Yaacob, M.J. (2010). Prevalence and sources of stres among university sains Malaysia medical students. Malaysian J. Med. Sci. 17(1): 30-37

(11)

1

HUBUNGAN STRES PSIKOLOGIS TERHADAP PREVALENSI SINDROM PRAMENSTRUASI (PMS) PADA MAHASISWI SEMESTER I PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

UDAYANA

Gusti Ayu Cyntia Sri Adityarini1, Susy Purnawati2 1. Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

2. Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak. Sindrom pramenstruasi (PMS) dapat dipicu oleh beberapa hal, salah satunya adalah stres psikologis. Salah satu populasi yang berisiko adalah mahasiswi kedokteran, terutama yang baru memasuki tahun pertama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara stres psikologis terhadap kejadian sindrom pramenstruasi. Sampel (n=142) adalah seluruh mahasiswi semester I program studi pendidikan dokter (PSPD), Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pengambilan data menggunakan metode kuesioner tertutup. Data dianalisis dengan uji korelasi non-parametrik Kendall’s tau_b dan Spearman’s rho test. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara stres psikologis terhadap kejadian sindrom pramenstruasi (p=0.000) dan adanya korelasi sedang yang positif (r=0.512) antara tingkat stres dengan severitas dari PMS pada mahasiswi semester I program studi pendidikan dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Kata kunci: Sindrom pramenstruasi, stres psikologis, mahasiswi semester 1 PSPD

CORRELATION BETWEEN PSYCHOLOGICAL STRESS AND PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS) IN FIRST SEMESTER MEDICAL

STUDENT IN FACULTY OF MEDICINE, UDAYANA UNIVERSITY

Abstract. Premenstrual syndrome (PMS) could be triggered by several things, one of them is psychological stress. One of the populations at risk is a medical student, especially the first year medical student. The purpose of this study was to determine the relationship between psychological stress and the prevalence of PMS. The sample (n = 142) is the entire first semester medical student in Faculty of Medicine, Udayana University. The method of retrieval data is using closed questionnaires. Data were analyzed by non-parametric correlation test non-parametric Kendall’s tau_b and Spearman’s rho test. The results showed a significant relationship between psychological stress on the prevalence of PMS (p=0.000) and moderate positive correlation (r=0.512) between the degree of psychological stress and severity of PMS in first semester medical student in Faculty of Medicine, Udayana University.

Keywords: Premenstrual syndrome, psychological stress, first semester medical student

Sindrom premenstruasi (PMS) merupakan hal yang pernah dialami oleh lebih dari 90% wanita (Balaha, 2010). Delapan sampai dua puluh persen diantaraya bahkan mengalami gejala yang berat sehingga memerlukan pengobatan (Delara, 2012). Gejala yang ditimbulkan dapat berupa gangguan

emosional maupun perubahan secara fisik. PMS dapat dipicu atau diperberat oleh beberapa faktor, salah satunya adalah stress (Forrester-Knauss, 2011; Jahromi, 2011; Kathleen 2010).

(12)

2 pada pikiran maupun tubuh seseorang. Stress dapat mempengaruhi sistem hormon yang nantinya akan mempengaruhi fungsi tubuh secara keseluruhan (Kathleen, 2010; Doherty, 2009).

Salah satu populasi yang berisiko cukup tinggi untuk mengalami stress secara psikologis adalah mahasiswa kedokteran, terutama yang baru memasuki tahun pertama (Koochaki, 2011; Mahajan, 2010). Mereka memerlukan kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap segala tuntutan sebagai seorang mahasiswa kedokteran. Penelitian menyebutkan bahwa lebih dari 50% mahasiswi, salah satunya mahasiswi kedokteran mengalami sindrom pramenstruasi mulai dari gejala yang ringan sampai berat (Mahajan, 2010; Al-Dabal, 2009).

Di Bali terdapat dua universitas yang memiliki fakultas kedokteran. salah satu universitas tersebut adalah Universitas Udayana. Di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana jumlah mahasiswa putri cukup banyak. Pada angkatan 2013, jumlah mahasiswi hampir mencapai 70% dari total mahasiswa satu angkatan. Namun, hingga saat ini belum ditemukan laporan penelitian mengenai hubungan stres psikologis terhadap PMS pada mahasiswa di Bali.

Sindrom Pramenstruasi (PMS)

Menurut Hendarto (2011), sindrom pramenstruasi (PMS) merupakan berbagai keluhan yang muncul sebelum haid, yang terdiri dari keluhan gangguan mood dan perubahan fisik. PMS biasanya dimulai pada minggu terakhir fase luteum (7-10 hari menjelang haid) dan berakhir beberapa saat setelah haid. Penyebab pasti dari sindrom ini belum diketahui. Menurut dugaan terdapat peranan dari hormon estrogen, progesteron, prolaktin, dan aldosteron.

Gangguan keseimbangan hormon estrogen dan progesteron akan menyebabkan retensi cairan dan natrium yang berpotensi memicu timbulnya sindrom pramenstruasi (Hendarto, 2011).

Gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami PMS dapat bermacam-macam, mulai dari gejala yang ringan hingga yang berat (Balaha,2010; Potter, 2009) Gejala gangguan mood atau emosional dapat berupa perasaan tertekan/ depresi, cepat marah, emosi labil, cepat menangis, cemas, kebingungan, ingin menyendiri, konsentrasi menurun, insomnia, peningkatan keinginan untuk istirahat, dan perubahan pada hasrat seksual. Gejala perubahan atau gangguan fisik dapat berupa peningkatan keinginan untuk makan dan minum, payudara mengeras, berat badan meningkat, sakit kepala, bengkak pada ekstrimitas, pusing, nyeri, cepat merasa lelah, masalah pada kulit, gejala pada saluran pencernaan, serta nyeri pada abdomen (Delara, 2012; Hendarto, 2011; Kathleen, 2010).

Untuk mendiagnosis seorang wanita mengalami PMS, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Salah satu pedoman yang dapat digunakan adalah pedoman kriteria diagnosis dari American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) yang menggabungkan kriteria dari National Institute of Mental Health (NIMH) dengan bukti dari penelitian pendukung (Hendarto, 2011; Balaha, 2010; Kathleen, 2010; Potter 2009). Kriteria itu yakni:

a. Gejala gangguan emosional dan fisik terjadi setidaknya 5 hari sebelum periode awal menstruasi, b. Didapatkan sedikitnya 5 gejala dan

(13)

3 c. Gejala berkurang selama 4 hari

periode menstruasi, dan menghilang beberapa saat setelah periode menstruasi,

d. Gejala tidak berulang setidaknya sampai 13 hari setelah periode menstruasi,

e. Tidak disebabkan karena pengobatan, termasuk penggunaan terapi dengan hormon, obat-obatan, dan/ atau konsumsi alkohol,

f. Terjadi setidaknya pada dua siklus menstruasi berturut-turut,

g. Berhubungan dengan laporan subyektif mengenai adanya gangguan.

Faktor yang menjadi pemicu timbulnya sindrom pramenstruasi atau faktor yang memperberat gejala sindrom pramenstruasi dapat berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut antara lain usia saat ini, usia saat menstruasi pertama, fungsi fisik, status kesehatan, status mental, stres, ada tidaknya dysmenorrhea, banyaknya darah yang keluar saat menstruasi, status pernikahan, status pekerjaan, kebiasaan, banyaknya aktivitas yang dilakukan, serta fungsi sosial. Faktor pemicu PMS yang sering dan hampir pernah dialami oleh semua orang adalah stres (Delara, 2012; Forrester-Knauss ,2011; Jahromi, 2011; Kathleen, 2010; Potter 2009).

Menurut penelitian sebelumnya, stres dapat mengakibatkan peningkatan gejala yang signifikan dari sindrom pramenstruasi (Jahromi, 2011). Mahasiswi merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi mengalami PMS. Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran, menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari mahasiswa tersebut mengalami gejala sindrom pramenstruasi (Sitwat, 2013; Balaha, 2010; Thu, 2006).

Stress Psikologi dan Prevalensinya pada Mahasiswi Kedokteran

Menurut Kaplan dan Sadock (2010), stres psikologis merupakan reaksi maladaptif jangka pendek terhadap stresor psikososial. Respon maladaptif ini bisa disebabkan karena adanya gangguan dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau karena gejala atau perilaku di luar respon normal atau lazim yang diperkirakan terhadap stresor tersebut. Berbagai hal dapat berpengaruh pada proses munculnya stres psikologis, baik itu faktor internal maupun eksternal. Faktor internal dapat meliputi jenis kelamin, usia, kepribadian, status pernikahan, level edukasi, dan status pekerjaan. Faktor eksternal dapat meliputi masalah ekonomi, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan/atau pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Gangguan ini paling sering didiagnosis pada remaja tetapi dapat terjadi pada setiap usia. Rasio kejadian stres antara wanita dan pria adalah 2 berbanding 1. Pada remaja, bentuk pencetus yang paling sering adalah masalah sekolah, penolakan orang tua, perceraian orang tua, dan penyalahgunaan zat (Kaplan dan Saddock, 2010; Doherty, 2009).

(14)

4 Hipotalamus akan merangsang pelepasan Gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang menyebabkan pembentukan dan pelepasan dari leutinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH) dari pituitari. Selanjutnya ovarium akan melepaskan hormon estrogen dan progesteron yang akan memberikan efek pada tubuh, salah satunya pada uterus. Kortisol yang dilepaskan saat terjadinya stres dapat menghambat pelepasan dari GnRH, LH, dan estrogen. Kortisol juga dapat menurunkan sensitivitas target organ pada estrogen. Proses inilah yang dapat memicu dan memperberat gejala-gejala dari PMS (Kathleen, 2010).

Stres psikologis dapat melibatkan beberapa gejala seperti sering merasa lelah, gelisah, cemas, putus asa, tertekan/depresi, sering merasa sedih dan sendiri. Derajat stres dapat diukur dengan beberapa cara. Salah satu cara mudah untuk mengukur derajat stres seseorang adalah dengan menggunakan The Kessler Psychological Distres Scale (K10). Seseorang diberikan 10 pertanyaan mengenai gejala stres psikologis yang umum terjadi kemudian diberi skala 1 sampai 5 dan dikatagorikan dari normal (skor < 20), stres psikologis ringan (skor 20-24), stres psikologis sedang (25-30), dan stres psikologis berat (> 30). Pertanyaan kuesioner meliputi gejala stres psikologis yang mungkin dialami meliputi timbulnya rasa lelah yang tidak jelas, perasaan gugup, perasaan gugup yang tidak dapat ditenangkan, putus asa, gelisah, tidak betah diam pada posisi tertentu, tertekan, merasa bahwa segala sesuatu adalah usaha keras, perasaan sedih yang berat, dan merasa tidak berharga (Koochaki 2011; Andrew, 2001).

Salah satu populasi yang terpapar faktor stresor yang cukup berat adalah

mahasiswa kedokteran, terutama mahasiswa kedokteran pada tahun pertama. Penelitian yang dilakukan Al-Dabal, dkk (2010) di Damman, Saudi Arabia menyebutkan bahwa angka kejadian stres pada mahasiswa kedokteran lebih tinggi dibandingan dengan mahasiswa jurusan lain. Lingkungan sekitar yang baru, proses belajar mengajar yang baru, serta materi perkuliahan yang jauh lebih berat dari sebelumnya akan memberikan tekanan pada setiap mahasiswa kedokteran pada tahun pertamanya (Koochaki, 2011; Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005). Beberapa hal yang memicu stres psikologis mada mahasisiwa kedokteran antara lain kurikulum yang dinilai overload, metode mengajar yang tidak dapat diterima sepenuhnya, jumlah total kegiatan yang diikuti mahasiswa, ketakutan untuk gagal, lingkungan belajar yang tidak kondusif di kampus, kegagalan berinteraksi antar mahasiswa, dan lingkungan belajar yang tidak kondusif di daerah tempat tinggalnya (Koochaki, 2011; Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005).

Seorang calon dokter tidak hanya dituntut untuk baik secara akademis namun juga secara psikomotor dan afektif. Tidak hanya dari sisi akademis, mereka juga dituntut untuk dapat bersosialisasi dengan mengikuti beberapa kegiatan sosial penunjang. Selain itu, mereka juga harus belajar cara menghubungkan segala hal yang telah mereka pelajari dan teknis aplikasinya di lapangan. (Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005)

(15)

5 yang tidak mampu beradaptasi akan jatuh pada fase stres dimana mereka akan merasakan hal-hal seperti merasa tidak berkompeten, tidak berguna, bodoh, marah, dan merasa bersalah, cemas, gelisah, dan perasaan ingin menyendiri (Koorchaki, 2011; Dyrbye, 2005). Keadaan stres secara psikologis ini dapat berlangsung secara akut maupun tetap persisten selama masa perkuliahan. Jika tidak mendapatkan penanganan yang memadai, keadaan ini akan memberikan efek yang tidak baik bahkan serius baik pada status fisik maupun mental mahasiswa tersebut. (Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005).

Metode Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik untuk menilai ada tidaknya hubungan antara stres psikologis dengan prevalensi sindrom pramenstruasi pada mahasiswi semester I program studi pendidikan dokter (PSPD) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pembagian dilakukan bedasarkan derajat stres dan derajat sindrom pramenstruasi (Alatas dkk, 2011).

Populasi dan Sampel

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah mahasiswi semester I angkatan 2013 PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang berasal dari Indonesia sebanyak 150 orang yang terbagi dalam dua kelas, yaitu kelas A dan kelas B. Sampel yang diambil adalah keseluruhan dari populasi terjangkau. Penelitian dihentikan ketika kuota yang diinginkan telah dicapai pada tiap-tiap kelas.

Alat Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, jenis data yang diuji adalah data primer yang

diperoleh melalui kuesioner. Kuesioner bersifat tertutup dan terbagi menjadi 3 jenis. yang terdiri dari 10 pertanyaan checklist, 18 pertanyaan rating scale, dan 5 pertanyaan dengan jawaban dikotomi “Ya” dan “Tidak”. Pengukuran variabel bebas dan variabel tergantung dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Pengumpulan data terkait variabel bebas yaitu keadaan psikologis mahasiswi semester I PSPD terletak pada bagian depan kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner The Kessler Psychological Distres Scale (K10). Setiap pertanyaan diberi nilai 1 sampai 5. Jenis data yang akan diperoleh dari variabel bebas ini adalah jenis data numerik yang kemudian peneliti ubah ke dalam skala ordinal. Selanjutnya hasil akan dikategorikan dalam 4 katagori yaitu tidak mengalami stres psikologis (skor <20), mengalami stres psikologis ringan (skor 20-24), mengalami stres psikologis sedang (skor 25-30), dan mengalami stres psikologis berat (skor > 30) (Andrew, 2001).

Pengumpulan data terkait variabel tergantung yaitu sindrom pramenstruasi pada mahasiswi semester I PSPD juga diukur dengan menggunakan kuesioner yang terletak pada halaman berikutnya. Setiap pertanyaan diberi nilai 0 sampai 4. Jenis data yang akan diperoleh dari kuesioner adalah jenis numerik yang kemudian peneliti ubah ke dalam skala ordinal. Hasil dikategorikan dalam 4 katagori yaitu tidak mengalami PMS (skor 0-5), mengalami stres PMS ringan (skor 6-15), mengalami PMS sedang (skor 16-25), dan mengalami PMS berat (skor > 25).

Hipotesis:

(16)

6 PSPD, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Hipotesis 2: terdapat pengaruh derajat stress psikologis dengan severitas sindrom pramenstruasi (PMS) pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Analisis Data

Peneliti menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package for Social Sciences) versi 16.0 untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. Analisis data meliputi analisis deskriptif karakteristik sampel, uji normalitas dengan teknik Kolmogorov–Smirnov Goodnessof Fit

Test, Uji homogenitas varian dengan Lavene test. Untuk uji hipotesis, akan dilakukan uji korelasi non-parametric Kendall tau_b test dan Spearman’s rho test (Tumbelaka dkk, 2011).

Hasil Karakteristik Sampel

Sampel penelitian awal berjumlah 150, tetapi 8 sampel mengalami drop out karena tidak mengisi kuesioner dengan lengkap sehingga total sampel valid berjumlah 142 sampel. Berikut ini adalah data sampel yang terdiri atas usia dan jumlah kegiatan, tingkat stres psikologis, dan severitas PMS.

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, Jumlah Kegiatan, Stres Psikologis, dan PMS

Jumlah (n)

Persentase

(%) Rerata Simpang Baku

Usia 17,92 0,40

16 1 0,7%

17 14 9,9%

18 122 85,9%

19 5 3,5%

Jumlah Kegiatan 1,64 0,66

1 64 45,1%

2 66 46,5%

3 11 7,7%

4 1 0,7%

Stres Psikologis 2,12 0.86

Normal 37 26,1%

Tidak Normal 105 73,9%

Ringan 59 41,5%

Sedang 38 26,8%

Berat 8 5,6%

PMS 2,31 1,02

Normal 38 26,8%

Tidak Normal 104 73,2%

Ringan 43 30,3%

Sedang 40 28,1%

Berat 21 14,8%

Tabel di atas menunjukkan sebagian besar sampel berusia 16 tahun dan mayoritas mengikuti 1 sampai 2

(17)

7 Udayana adalah 73,9%. Prevalensi PMS pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah 73,2%. Derajat stres psikologis yang paling banyak dialami oleh mahasiswi adalah stres psikologis ringan dan derajat PMS yang paling banyak dialami mahasiswi adalah PMS ringan.

Hasil Penelitian

Analisis data berupa tabulasi silang dilakukan untuk mengetahui gambaran severitas PMS berdasarkan tingkat stres psikologis. Kemudian dilakukan uji korelasi non-parametrik Kendall tau_b test dan Spearman’s rho test untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel.

Tabel 2. Tabulasi Silang Derajat Stres dan Derajat PMS

PMS Total

%

Normal Ringan Sedang Berat

Stres Psikologis

Normal 20 13 4 0 37

54,1% 35,1% 10,8% 0% 26,1%

Ringan 14 25 16 4 59

23,7% 42,4% 27,1% 6,8% 41,5%

Sedang 4 4 18 12 38

10,5% 10,5% 47,4% 31,6% 28,8%

Berat 0 1 2 5 8

0% 12,5% 25,0% 62,5% 5,6%

Total %

38 43 40 21 142

26,8% 30,3% 28,2% 14.8% 100%

Tabel di atas memberikan gambaran bahwa severitas PMS berbanding lurus dengan tingkat stres psikologis yang dialami oleh mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Hal ini ditunjukkan oleh hasil tabulasi silang dimana pada mahasiswi yang tidak mengalami stres psikologis sebagian besar (54,1%) juga tidak mengalami PMS. Pada mahasiswi yang mengalami stres psikologis ringan, sebagian besar (42,4%) mengalami PMS ringan. Pada mahasiswi yang mengalami stres psikologis sedang, 47,4% diantaranya mengalami PMS

sedang. Serta pada mahasiswi yang mengalami stes psikologis berat, 62,5% diantaranya juga mengalami PMS berat. Hasil uji normalitas (p=0,000) menunjukkan distribusi data penelitian tidak normal (p<0,05). Uji homogenitas (p=0,856) menunjukkan sebaran data yang homogen (p>0,05). Karena distribusi data yang tidak normal, maka uji hipotesis menggunakan uji korelasi non-parametrik. Berikut ini adalah perbandingan hasil uji korelasi non-parametrik Kendall Tau_B Test dan Spearman’s Rho Test.

Tabel 3. Perbandingan Uji Korelasi Non-Parametrik Kendall Tau_B Test dan

Spearman’s Rho Test. PMS

R p value Jenis test

Stress Psikologis

(18)

8 Pembahasan

Hasil tabulasi silang, menunjukkan bahwa hanya 37% dari seluruh sampel yang tidak mengalami stres psikologis dan hanya 26,8% dari keseluruhan sampel yang tidak mengalami PMS. Data tersebut menunjukkan kejadian stres psikologis dan PMS pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana tinggi (>60%), terlepas dari ada tidaknya korelasi antara stres psikologis dengan kejadian PMS. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Balaha dkk (2010) yang menunjukkan hasil 89% dari sampel mahasiswi kedokteran mengalami PMS. Penelitian yang dilakukan oleh Yusoff dkk (2010) juga menunjukkan bahwa hampir 72% dari mahasiswa kedokteran mengalami stres psikologis, dimana 62,3% diantaranya adalah wanita.

Selanjutnya dari hasil uji hipotesis data, diperoleh r=0,512 pada Kendall’s tau_b test dan r=0,579 pada Spearman’s rho test. Hasil tersebut menunjukkan adanya korelasi sedang (r= 0,3-0,6) yang mendekati ke arah kuat antara stres psikologis dengan PMS. r yang bernilai positif menunjukkan ada hubungan antara peningkatan derajat stres dengan peningkatan severitas dari PMS. Jadi, semakin tinggi derajat stres maka peluang untuk mengalami PMS yang lebih berat juga makin besar. p value sebesar 0,000 (p<0,05) menunjukkan hasil tersebut signifikan antara hasil yang diperoleh pada sampel dengan populasi di masyarakat. Korelasi yang signifikan pada level 0,01 menunjukkan bahwa kemungkinan hasil penelitian merupakan kebetulan hanya sebesar 1%. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jahromi, Pakmehr, dan Hagh-Shenas (2011) mengenai hubungan antara stres dalam pekerjaan

dan prevalensi PMS dan premenstrual dysphoric disorder (PMDD). Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang signifikan bahwa stres dapat memperburuk PMS yang dialami oleh wanita.

Tingginya prevalensi stres psikologis dan sindrom pramenstruasi pada mahasiswi kedokteran ini memerlukan perhatian khusus dan penanganan yang baik dari pihak keluarga, pihak fakultas, dan tenaga kesehatan. Di lingkungan rumah, keluarga perlu memberikan perhatian lebih dan mencoba mencari penyelesaian terhadap masalah-masalah yang mungkin dialami oleh anak tersebut. Dari pihak fakultas, dosen pembimbing akademik perlu memberikan perhatian yang lebih terhadap seluruh mahasiswa, utamanya yang menunjukkan tanda-tanda stres psikologis. Dari pihak tenaga medis, diperlukan perhatian khusus mengenai kemungkinan penyebab stres psikologis dan PMS serta penanganan yang dilakukan terutama jika hal tersebut sampai mengganggu aktivitas sehari-hari.

(19)

9 analisis data menunjukkan hasil yang signifikan. Selain itu, dari penelitian ini tidak dapat diketahui apakah mahasiswi tersebut mulai mengalami stres psikologis setelah masuk ke Fakultas Kedokteran atau stres psikologis tersebut telah dialami mahasiswi sejak lama sebelum masuk ke Fakultas kedokteran.

Simpulan dan Saran Simpulan

Prevalensi stres psikologis pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah 73,9%. Prevalensi PMS pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah 73,2%. Diperoleh gambaran severitas PMS yang berbanding lurus dengan tingkat stres psikologis yang dialami oleh

mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Analisis data menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p<0,05) serta korelasi positif (r=0,512) antara tingkat stres psikologis dengan severitas PMS pada mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menghilangkan faktor-faktor perancu yang masih terkandung dalam penelitian ini dan mengetahui hubungan sebab akibat yang bersifat temporal antar variabel. Selain itu, pihak fakultas perlu melakukan pengkajian mengenai kemungkinan penyebab stres psikologis yang terjadi pada sebagian besar mahasiswi semester I PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

.

Pustaka Acuan

Al-Dabal, B.K., Koura, M.R., Rasheed, P., Al-Sowielem, L.,dan Makki, S.M. (2010). A comparative study of perceived stres among female medical and non-medical university students in dammam, saudi arabia. SQU Medical Journal. 10(2): 231-240 Alatas,H., Karyomanggolo, W.T., Musa D.A., Boediarso, A., dan Oesman, I.N. (2011)

“Desain penelitian” in Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi kempat. Bab VI.Jakarta:Sagung seto. pp. 104-128

Andrew, G dan Slade, T. (2001). Interpreting scores on the kessler psychological distres scale. Australian and New Zealand Journal of Public Health. 25(6): 494-497. Balaha, M.H., Amr, M. A. E. M., Moghannum, M.S.A., dan Muhaidab, N.S.A. (2010). The phenomenology of premenstrual syndrome in female medical students: a cross sectional study. PanAfrican Medical Journal. 5:4

Delara, M., Ghofranipour, F., Tavafian, S.S., KAzemnejad, A., dan Montazeri, A. (2012). Health related quality of life among adolescents with premenstrual disorders: a cross sectional study. Health and Quality of Life Outcomes.Biomed Central. 10:1

Doherty, D.T., Moran, R., dan Kartalova, Y. (2009). Psychological distres, mental health problems and use of helath services in Ireland. HRB Research Series 5. Dublin: Health Research Board

Dyrbye, L.N., Matthew, R., Thomas, dan Shanaflet. (2005). Medical student distres: causes, consequences, and proposed solution. Mayo Clin. Proc.80(12): 1613-1622 Forrester-Knauss, C., Stutz, E.Z., Weiss, C., dan Tschudin, S. (2011). The interrelation

(20)

10

Hendarto, H. (2011). “Gangguanhaid/Perdarahan uterus abnormal” in Ilmu Kandungan, Edisi Ketiga. Bab VIII. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. pp. 161-183

Jahromi, B.N., Pakmehr, S., dan Hagh-Shenas, H. (2011). Work stres, premenstrual syndrome and dysphoric disorder: are there any associations?. Iranian Red Crescent Medical Journal. 12 (3): 199-202

Kaplan, H.I., Sadock, B. J., dan Grebb, J. A. (2007). Synopsis of psychiatry. Ten Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia USA. Terjemahan Widjaja Kusuma. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2. Tanggerang: Binarupa Aksara Publisher. Kathleen, M., Lustyk, B., dan Gerrish, W.G. (2010). Premenstrual syndrome and

premenstrual dysphoric disorder: issues of quality of life, stres and exercise. Springer Science+Bussiness Media LCC, USA.

Koochaki, G.M., Charkazi, A., Hasanzadeh, A., Saedani, M., Qorbani, M., dan Marjani, A. (2011). Prevalence of stres among Iranian medical students: a questionnaire survey. EHMJ. 17(7): 593-598

Mahajan, A. S. (2010). Stres in medical education: a global issue or much a do about nothing specific?. South-East Asian Journal of Medical Education. 4(2): 9-13

Potter, J., Bouyer, J. Trussell, J, dan Moreau, C. (2009). Premenstrual syndrome prevalence and fluctuation over time: results from a French population based survey. Journal of women’s health. 18(1): 31-39

Sitwat, Z., Abid, A., Arif, A., Basit, A., dan Anwar, Q.M. (2013). Premenstrual syndrome symptomps (PMS) and prevalence among university students in karachi, Pakistan. Int. Res. Journal. Pharm. 4(4): 113-116

Thu, M., Diaz, E.O., dan Sawhsarkapaw. (2006). Premenstrual syndrome among female university students in Thailand. AU.J.T. 9(3): 158-162

Tumbelaka, A.R., Riono,P., Wirjodiardjo M., Pudjiastuti P., dan Firman, K.. (2011) “Pemilihan uji hipotesis” in Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi kempat. Bab XVI. Jakarta:Sagung seto. pp. 324-346

Yusoff, M.S.B., Rahim, A.F.A., dan Yaacob, M.J. (2010). Prevalence and sources of stres among university sains Malaysia medical students. Malaysian J. Med. Sci. 17(1): 30-37

(21)

1

HUBUNGAN STRES PSIKOLOGIS TERHADAP PREVALENSI SINDROM PRAMENSTRUASI (PMS) PADA MAHASISWI SEMESTER I PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

UDAYANA

Gusti Ayu Cyntia Sri Adityarini1, Susy Purnawati2 1. Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

2. Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak. Sindrom pramenstruasi (PMS) dapat dipicu oleh beberapa hal, salah satunya adalah stres psikologis. Salah satu populasi yang berisiko adalah mahasiswi kedokteran, terutama yang baru memasuki tahun pertama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara stres psikologis terhadap kejadian sindrom pramenstruasi. Sampel (n=142) adalah seluruh mahasiswi semester I program studi pendidikan dokter (PSPD), Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pengambilan data menggunakan metode kuesioner tertutup. Data dianalisis dengan uji korelasi non-parametrik Kendall’s tau_b dan Spearman’s rho test. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara stres psikologis terhadap kejadian sindrom pramenstruasi (p=0.000) dan adanya korelasi sedang yang positif (r=0.512) antara tingkat stres dengan severitas dari PMS pada mahasiswi semester I program studi pendidikan dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Kata kunci: Sindrom pramenstruasi, stres psikologis, mahasiswi semester 1 PSPD

CORRELATION BETWEEN PSYCHOLOGICAL STRESS AND PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS) IN FIRST SEMESTER MEDICAL

STUDENT IN FACULTY OF MEDICINE, UDAYANA UNIVERSITY

Abstract. Premenstrual syndrome (PMS) could be triggered by several things, one of them is psychological stress. One of the populations at risk is a medical student, especially the first year medical student. The purpose of this study was to determine the relationship between psychological stress and the prevalence of PMS. The sample (n = 142) is the entire first semester medical student in Faculty of Medicine, Udayana University. The method of retrieval data is using closed questionnaires. Data were analyzed by non-parametric correlation test non-parametric Kendall’s tau_b and Spearman’s rho test. The results showed a significant relationship between psychological stress on the prevalence of PMS (p=0.000) and moderate positive correlation (r=0.512) between the degree of psychological stress and severity of PMS in first semester medical student in Faculty of Medicine, Udayana University.

Keywords: Premenstrual syndrome, psychological stress, first semester medical student

Sindrom premenstruasi (PMS) merupakan hal yang pernah dialami oleh lebih dari 90% wanita (Balaha, 2010). Delapan sampai dua puluh persen diantaraya bahkan mengalami gejala yang berat sehingga memerlukan pengobatan (Delara, 2012). Gejala yang ditimbulkan dapat berupa gangguan

emosional maupun perubahan secara fisik. PMS dapat dipicu atau diperberat oleh beberapa faktor, salah satunya adalah stress (Forrester-Knauss, 2011; Jahromi, 2011; Kathleen 2010).

(22)

2 pada pikiran maupun tubuh seseorang. Stress dapat mempengaruhi sistem hormon yang nantinya akan mempengaruhi fungsi tubuh secara keseluruhan (Kathleen, 2010; Doherty, 2009).

Salah satu populasi yang berisiko cukup tinggi untuk mengalami stress secara psikologis adalah mahasiswa kedokteran, terutama yang baru memasuki tahun pertama (Koochaki, 2011; Mahajan, 2010). Mereka memerlukan kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap segala tuntutan sebagai seorang mahasiswa kedokteran. Penelitian menyebutkan bahwa lebih dari 50% mahasiswi, salah satunya mahasiswi kedokteran mengalami sindrom pramenstruasi mulai dari gejala yang ringan sampai berat (Mahajan, 2010; Al-Dabal, 2009).

Di Bali terdapat dua universitas yang memiliki fakultas kedokteran. salah satu universitas tersebut adalah Universitas Udayana. Di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana jumlah mahasiswa putri cukup banyak. Pada angkatan 2013, jumlah mahasiswi hampir mencapai 70% dari total mahasiswa satu angkatan. Namun, hingga saat ini belum ditemukan laporan penelitian mengenai hubungan stres psikologis terhadap PMS pada mahasiswa di Bali.

Sindrom Pramenstruasi (PMS)

Menurut Hendarto (2011), sindrom pramenstruasi (PMS) merupakan berbagai keluhan yang muncul sebelum haid, yang terdiri dari keluhan gangguan mood dan perubahan fisik. PMS biasanya dimulai pada minggu terakhir fase luteum (7-10 hari menjelang haid) dan berakhir beberapa saat setelah haid. Penyebab pasti dari sindrom ini belum diketahui. Menurut dugaan terdapat peranan dari hormon estrogen, progesteron, prolaktin, dan aldosteron.

Gangguan keseimbangan hormon estrogen dan progesteron akan menyebabkan retensi cairan dan natrium yang berpotensi memicu timbulnya sindrom pramenstruasi (Hendarto, 2011).

Gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami PMS dapat bermacam-macam, mulai dari gejala yang ringan hingga yang berat (Balaha,2010; Potter, 2009) Gejala gangguan mood atau emosional dapat berupa perasaan tertekan/ depresi, cepat marah, emosi labil, cepat menangis, cemas, kebingungan, ingin menyendiri, konsentrasi menurun, insomnia, peningkatan keinginan untuk istirahat, dan perubahan pada hasrat seksual. Gejala perubahan atau gangguan fisik dapat berupa peningkatan keinginan untuk makan dan minum, payudara mengeras, berat badan meningkat, sakit kepala, bengkak pada ekstrimitas, pusing, nyeri, cepat merasa lelah, masalah pada kulit, gejala pada saluran pencernaan, serta nyeri pada abdomen (Delara, 2012; Hendarto, 2011; Kathleen, 2010).

Untuk mendiagnosis seorang wanita mengalami PMS, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Salah satu pedoman yang dapat digunakan adalah pedoman kriteria diagnosis dari American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) yang menggabungkan kriteria dari National Institute of Mental Health (NIMH) dengan bukti dari penelitian pendukung (Hendarto, 2011; Balaha, 2010; Kathleen, 2010; Potter 2009). Kriteria itu yakni:

a. Gejala gangguan emosional dan fisik terjadi setidaknya 5 hari sebelum periode awal menstruasi, b. Didapatkan sedikitnya 5 gejala dan

(23)

3 c. Gejala berkurang selama 4 hari

periode menstruasi, dan menghilang beberapa saat setelah periode menstruasi,

d. Gejala tidak berulang setidaknya sampai 13 hari setelah periode menstruasi,

e. Tidak disebabkan karena pengobatan, termasuk penggunaan terapi dengan hormon, obat-obatan, dan/ atau konsumsi alkohol,

f. Terjadi setidaknya pada dua siklus menstruasi berturut-turut,

g. Berhubungan dengan laporan subyektif mengenai adanya gangguan.

Faktor yang menjadi pemicu timbulnya sindrom pramenstruasi atau faktor yang memperberat gejala sindrom pramenstruasi dapat berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut antara lain usia saat ini, usia saat menstruasi pertama, fungsi fisik, status kesehatan, status mental, stres, ada tidaknya dysmenorrhea, banyaknya darah yang keluar saat menstruasi, status pernikahan, status pekerjaan, kebiasaan, banyaknya aktivitas yang dilakukan, serta fungsi sosial. Faktor pemicu PMS yang sering dan hampir pernah dialami oleh semua orang adalah stres (Delara, 2012; Forrester-Knauss ,2011; Jahromi, 2011; Kathleen, 2010; Potter 2009).

Menurut penelitian sebelumnya, stres dapat mengakibatkan peningkatan gejala yang signifikan dari sindrom pramenstruasi (Jahromi, 2011). Mahasiswi merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi mengalami PMS. Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran, menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari mahasiswa tersebut mengalami gejala sindrom pramenstruasi (Sitwat, 2013; Balaha, 2010; Thu, 2006).

Stress Psikologi dan Prevalensinya pada Mahasiswi Kedokteran

Menurut Kaplan dan Sadock (2010), stres psikologis merupakan reaksi maladaptif jangka pendek terhadap stresor psikososial. Respon maladaptif ini bisa disebabkan karena adanya gangguan dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau karena gejala atau perilaku di luar respon normal atau lazim yang diperkirakan terhadap stresor tersebut. Berbagai hal dapat berpengaruh pada proses munculnya stres psikologis, baik itu faktor internal maupun eksternal. Faktor internal dapat meliputi jenis kelamin, usia, kepribadian, status pernikahan, level edukasi, dan status pekerjaan. Faktor eksternal dapat meliputi masalah ekonomi, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan/atau pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Gangguan ini paling sering didiagnosis pada remaja tetapi dapat terjadi pada setiap usia. Rasio kejadian stres antara wanita dan pria adalah 2 berbanding 1. Pada remaja, bentuk pencetus yang paling sering adalah masalah sekolah, penolakan orang tua, perceraian orang tua, dan penyalahgunaan zat (Kaplan dan Saddock, 2010; Doherty, 2009).

(24)

4 Hipotalamus akan merangsang pelepasan Gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang menyebabkan pembentukan dan pelepasan dari leutinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH) dari pituitari. Selanjutnya ovarium akan melepaskan hormon estrogen dan progesteron yang akan memberikan efek pada tubuh, salah satunya pada uterus. Kortisol yang dilepaskan saat terjadinya stres dapat menghambat pelepasan dari GnRH, LH, dan estrogen. Kortisol juga dapat menurunkan sensitivitas target organ pada estrogen. Proses inilah yang dapat memicu dan memperberat gejala-gejala dari PMS (Kathleen, 2010).

Stres psikologis dapat melibatkan beberapa gejala seperti sering merasa lelah, gelisah, cemas, putus asa, tertekan/depresi, sering merasa sedih dan sendiri. Derajat stres dapat diukur dengan beberapa cara. Salah satu cara mudah untuk mengukur derajat stres seseorang adalah dengan menggunakan The Kessler Psychological Distres Scale (K10). Seseorang diberikan 10 pertanyaan mengenai gejala stres psikologis yang umum terjadi kemudian diberi skala 1 sampai 5 dan dikatagorikan dari normal (skor < 20), stres psikologis ringan (skor 20-24), stres psikologis sedang (25-30), dan stres psikologis berat (> 30). Pertanyaan kuesioner meliputi gejala stres psikologis yang mungkin dialami meliputi timbulnya rasa lelah yang tidak jelas, perasaan gugup, perasaan gugup yang tidak dapat ditenangkan, putus asa, gelisah, tidak betah diam pada posisi tertentu, tertekan, merasa bahwa segala sesuatu adalah usaha keras, perasaan sedih yang berat, dan merasa tidak berharga (Koochaki 2011; Andrew, 2001).

Salah satu populasi yang terpapar faktor stresor yang cukup berat adalah

mahasiswa kedokteran, terutama mahasiswa kedokteran pada tahun pertama. Penelitian yang dilakukan Al-Dabal, dkk (2010) di Damman, Saudi Arabia menyebutkan bahwa angka kejadian stres pada mahasiswa kedokteran lebih tinggi dibandingan dengan mahasiswa jurusan lain. Lingkungan sekitar yang baru, proses belajar mengajar yang baru, serta materi perkuliahan yang jauh lebih berat dari sebelumnya akan memberikan tekanan pada setiap mahasiswa kedokteran pada tahun pertamanya (Koochaki, 2011; Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005). Beberapa hal yang memicu stres psikologis mada mahasisiwa kedokteran antara lain kurikulum yang dinilai overload, metode mengajar yang tidak dapat diterima sepenuhnya, jumlah total kegiatan yang diikuti mahasiswa, ketakutan untuk gagal, lingkungan belajar yang tidak kondusif di kampus, kegagalan berinteraksi antar mahasiswa, dan lingkungan belajar yang tidak kondusif di daerah tempat tinggalnya (Koochaki, 2011; Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005).

Seorang calon dokter tidak hanya dituntut untuk baik secara akademis namun juga secara psikomotor dan afektif. Tidak hanya dari sisi akademis, mereka juga dituntut untuk dapat bersosialisasi dengan mengikuti beberapa kegiatan sosial penunjang. Selain itu, mereka juga harus belajar cara menghubungkan segala hal yang telah mereka pelajari dan teknis aplikasinya di lapangan. (Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005)

(25)

5 yang tidak mampu beradaptasi akan jatuh pada fase stres dimana mereka akan merasakan hal-hal seperti merasa tidak berkompeten, tidak berguna, bodoh, marah, dan merasa bersalah, cemas, gelisah, dan perasaan ingin menyendiri (Koorchaki, 2011; Dyrbye, 2005). Keadaan stres secara psikologis ini dapat berlangsung secara akut maupun tetap persisten selama masa perkuliahan. Jika tidak mendapatkan penanganan yang memadai, keadaan ini akan memberikan efek yang tidak baik bahkan serius baik pada status fisik maupun mental mahasiswa tersebut. (Yusoff, 2011 dan 2010; Mahajan, 2010; Dyrbye, 2005).

Metode Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik untuk menilai ada tidaknya hubungan antara stres psikologis dengan prevalensi sindrom pramenstruasi pada mahasiswi semester I program studi pendidikan dokter (PSPD) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pembagian dilakukan bedasarkan derajat stres dan derajat sindrom pramenstruasi (Alatas dkk, 2011).

Populasi dan Sampel

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah mahasiswi semester I angkatan 2013 PSPD Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang berasal dari Indonesia sebanyak 150 orang yang terbagi dalam dua kelas, yaitu kelas A dan kelas B. Sampel yang diambil adalah keseluruhan dari populasi terjangkau. Penelitian dihentikan ketika kuota yang diinginkan telah dicapai pada tiap-tiap kelas.

Alat Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, jenis data yang diuji adalah data primer yang

diperoleh melalui kuesioner. Kuesioner bersifat tertutup dan terbagi menjadi 3 jenis. yang terdiri dari 10 pertanyaan checklist, 18 pertanyaan rating scale, dan 5 pertanyaan dengan jawaban dikotomi “Ya” dan “Tidak”. Pengukuran variabel bebas dan variabel tergantung dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Pengumpulan data terkait variabel bebas yaitu keadaan psikologis mahasiswi semester I PSPD terletak pada bagian depan kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner The Kessler Psychological Distres Scale (K10). Setiap pertanyaan diberi nilai 1 sampai 5. Jenis data yang akan diperoleh dari variabel bebas ini adalah jenis data numerik yang kemudian peneliti ubah ke dalam skala ordinal. Selanjutnya hasil akan dikategorikan dalam 4 katagori yaitu tidak mengalami stres psikologis

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, Jumlah Kegiatan, Stres Psikologis, dan PMS
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, Jumlah Kegiatan, Stres Psikologis, dan PMS
Tabel 2. Tabulasi Silang Derajat Stres dan Derajat PMS
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, Jumlah Kegiatan, Stres Psikologis, dan PMS
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kedua fungsi tersebut ternyata secara tidak langsung juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, dimana faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah

Bahan ajar aljabar linier berbasis nilai-nilai keislaman dengan pendekatan saintifik secara keseluruhan telah melalui tahapan-tahapan validasi oleh para ahli materi,

Solid lipid nanoparticle (SLN) yang menggunakan asam lemak esensial sebagai bahan baku utama semakin diminati untuk mengatasi efek samping penggunaan mineral

Berdasarkan warnanya, maka kandungan β-karoten yang terdapat dalam wortel menjadi penentu kandungan beta karoten Metode ektraksi yang aman dari bahan pelarut kimia

Subjek penelitian ini adalah sistem pendukung keputusan untuk menentukan kualitas produksi jamur yang disesuaikan dengan SNI (Standar Nasional Indonesia). SNI yang ada

Investasi pada modal bank, entitas keuangan dan asuransi diluar cakupan konsolidasi secara ketentuan, net posisi short yang diperkenankan, dimana Bank tidak memiliki lebih dari

Penelitian ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Pebriani, SH (2018) pada anak usia 1-6 tahun yang dilakukan tindakan invasif berupa pemasangan infus dengan

« Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai