1
INTISARI
Resep racikan terdiri dari minimal satu jenis zat aktif. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya interaksi farmakokinetik. Interaksi yang terjadi dapat meningkatkan atau menurunkan kerja obat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui prevalensi peresepan racikan, pola peresepan racikan, potensial interaksi farmakokinetika, dan pendapat serta harapan apoteker terkait peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang.
Penelitian ini adalah observasional deskriptif dengan rancangan cross sectional menggunakan data retrospektif. Penelitian menggunakan lembar resep di instalasi rawat jalan dan rekam medik di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013. Lembar resep yang diperoleh dilihat prevalensi resep racikan dan pola peresepan racikannya. Potensial interaksi farmakokinetik dievaluasi menggunakan Medscape Drug Interaction Stockley, dan Drug Interaction Facts. Pendapat serta harapan apoteker dan asisten apoteker digali menggunakan panduan wawancara yang bersifat open question kemudian dianalisis dengan thematic analysis.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan 4,09% sedangkan di instalasi rawat inap sebesar 0,07% dengan pola peresepan racikan terbanyak dengan tiga jenis zat aktif. Potensial interaksi farmakokinetik terbesar adalah prednison dan loratadin sebesar 20,46%. Apoteker berpendapat bahwa peresepan racikan sebaiknya diminimalisir penggunaannya dan diharapkan industri farmasi menyediakan dosis obat yang sesuai seperti menyiapkan sediaan sirup untuk pasien anak-anak.
2
ABSTRACT
Compounded prescription contain of at least one type of active substances, that can lead to a pharmacokinetic interaction. Interactions that
occur can increase or decrease the drug action. This study’s purposes are to
determine the prevalence of compounded prescription, compounded prescription patterns, pharmacokinetic interactions potential, and the opinions and expectations related pharmacist compounded prescription in Magelang general hospital district.
This study is an observational study with cross sectional study design using retrospective data. Research is using the recipe in the installation sheet and outpatient medical records inpatient hospital Magelang general hospital district in December 2013. Using recipes obtained compounded prescription prevalence and patterns of prescription formula is seen. Potential pharmacokinetic interactions were evaluated using Medscape Drug Interaction, Stockley , and Drug Interaction Facts. Opinions and expectations of pharmacists and assistant pharmacists are asked using an open question questionnaire then analyzed by thematic analysis .
The results showed the prevalence of compounded prescription at outpatient installation is 4.09 % while the inpatient is 0.07 % with the highest compounded prescription pattern with three types of active substances . The biggest potential pharmacokinetic interaction is prednisone and loratadine with 20.46 % . Pharmacists said compounded prescription use should be minimized and wish that pharmaceutical industry to provide appropriate drug dosages such as preparing syrup dosage for pediatric patients .
i
PREVALENSI DAN EVALUASI POTENSIAL INTERAKSI
FARMAKOKINETIK PERESEPAN RACIKAN DI INSTALASI RAWAT
JALAN DAN RAWAT INAP RSUD KABUPATEN MAGELANG
PERIODE DESEMBER 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Vera Juniarta
NIM : 108114025
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah
dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan
dengan ucapan syukur
(Filipi 4:6 )
Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dan yang tidak terduga, serta keajaiban-keajaiban yang tak terbilang (Ayub 5:9 )
vii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat
dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Prevalensi dan Evaluasi Potensial Interaksi Farmakokinetik Peresepan
Racikan di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap RSUD Kabupaten Magelang
Periode Desember 2013”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Fakultas Farmasi di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungannya
kepada :
1. Direktur RSUD Kabupaten Magelang, bapak dan ibu Apoteker, serta asisten
apoteker di Instalasi Farmasi RSUD Kabupaten Magelang atas izin, bantuan,
dan dukungan yang diberikan selama melakukan penelitian.
2. Kepala beserta staf Bagian Pendidikan dan Penelitian (Diklit) dan Bagian
Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Magelang.
3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma dan dosen pembimbing atas dukungan, arahan,
dan masukan yang diberikan kepada penulis selama proses penyusunan
skripsi.
4. Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas saran dan
masukan dalam proses penyusunan skripsi.
5. Dita Maria Virginia,S.Farm., Apt., M.Sc. selaku dosen penguji atas saran dan
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
INTISARI ... xvi
ABSTRACT ... xvii
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1.Permasalahan ... 3
2.Keaslian penelitian ... 4
3.Manfaat penelitian ... 6
a. Manfaat teoritis ... 6
x
B. Tujuan Penelitian ... 7
1.Tujuan umum ... 7
2.Tujuan khusus ... 7
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 8
A. Peresepan racikan ... 8
B. Pola Peresepan ... 8
1. Bentuk sediaan obat……… 9
2. Rute pemberian obat……….. 11
C. Interaksi Obat ... 13
1. Interaksi farmasetik ... 14
2. Interaksi farmakokinetik ... 3. Interaksi Farmakodinamik………. 14 16 D. Keterangan Empiris ... 17
BAB III. METODE PENELITIAN ... 18
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 18
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 18
1. Variabel penelitian ... 18
2. Definisi operasional ... 19
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20
D. Obyek dan subyek Penelitian ... 20
E. Instrumen Penelitian ... 21
F. Tata Cara Penelitian ... 21
xi
2. Tahap pengambilan data... 22
G. Tata Cara Analisis Hasil ... 23
1. Prevalensi peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang ... 23
2. Pola peresepan racikan ……… 23
3. Interaksi farmakokinetik ... 23
4. Harapan apoteker dan asisten apoteker mengenai peresepan racikan……… 23
H. Keterbatasan penelitian……… 24
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
A.Prevalensi Peresepan Racikan di RSUD Kabupaten Magelang ... 26
B.Pola Peresepan racikan di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat inap RSUD Kabupaten Magelang Periode Desember 2013 ... 28
1. Jumlah zat aktif dalam setiap peresepan racikan di instalasi rawat jalan………... 28
2. Kelas terapi dan jenis obat racikan di RSUD Kabupaten Magelang... 29
C. Potensial Interaksi Farmakokinetik.………... 32
1. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat jalan ... 32
2. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat inap ... 43
D. Pendapat Apoteker dan Asisten Apoteker terkait Peresepan Racikan.... 46
1. Pendapat apoteker terkait peresepan racikan... 47
2. Pendapat asisten apoteker terkait peresepan racikan... 47
xii
1. Kesimpulan ... 50
2. Saran ... 51
DAFTAR PUSTAKA ... 52
LAMPIRAN ... 54
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Jumlah peresepan racikan dan non racikan di instalasi rawat
jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang………….. 26
Tabel II. Persentase jumlah zat aktif dalam peresepan racikan di
instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang…………... 28
Tabel III. Kelas terapi dan jenis obat peresepan racikan di instalasi
rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang…………...……….. 29
Tabel IV. Kelas terapi dan jenis obat peresepan racikan di instalasi
rawat inap RSUD Kabupaten Magelang….………...……….. 31
Tabel V. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat jalan
RSUD Kabupaten Magelang……… 32
Tabel VI. Potensial interaksi farmakokinetik peresepan racikan di
instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang…………... 46
Tabel VII. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat inap
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar I. Prevalensi peresepan racikan dan non racikan di instalasi
rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang
periode Desember 2013………...…… 27
Gambar II. Persentase potensial interaksi farmakokinetik yang terjadi
pada tahap absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi di
instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang periode
Desember 2013……… 43
Gambar III. Persentase potensial interaksi farmakokinetik yang terjadi
pada tahap absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi di
instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Persentase jenis obat racikan………... 55
Lampiran 2. Tingkat signifikansi potensial interaksi farmakokinetik...…... 59
Lampiran 3. Kuesioner………. 88
Lampiran 4. Surat ijin penelitian……….. 89
xvi
INTISARI
Resep racikan terdiri dari minimal satu jenis zat aktif. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya interaksi farmakokinetik. Interaksi yang terjadi dapat meningkatkan atau menurunkan kerja obat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui prevalensi peresepan racikan, pola peresepan racikan, potensial interaksi farmakokinetika, dan pendapat serta harapan apoteker terkait peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang.
Penelitian ini adalah observasional deskriptif dengan rancangan cross sectional menggunakan data retrospektif. Penelitian menggunakan lembar resep di instalasi rawat jalan dan rekam medik di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013. Lembar resep yang diperoleh dilihat prevalensi resep racikan dan pola peresepan racikannya. Potensial interaksi farmakokinetik dievaluasi menggunakan Medscape Drug Interaction Stockley, dan Drug Interaction Facts. Pendapat serta harapan apoteker dan asisten apoteker digali menggunakan panduan wawancara yang bersifat open question kemudian dianalisis dengan thematic analysis.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan 4,09% sedangkan di instalasi rawat inap sebesar 0,07% dengan pola peresepan racikan terbanyak dengan tiga jenis zat aktif. Potensial interaksi farmakokinetik terbesar adalah prednison dan loratadin sebesar 20,46%. Apoteker berpendapat bahwa peresepan racikan sebaiknya diminimalisir penggunaannya dan diharapkan industri farmasi menyediakan dosis obat yang sesuai seperti menyiapkan sediaan sirup untuk pasien anak-anak.
xvii
ABSTRACT
Compounded prescription contain of at least one type of active substances, that can lead to a pharmacokinetic interaction. Interactions that occur can increase or decrease the drug action. This study’s purposes are to determine the prevalence of compounded prescription, compounded prescription patterns, pharmacokinetic interactions potential, and the opinions and expectations related pharmacist compounded prescription in Magelang general hospital district.
This study is an observational study with cross sectional study design using retrospective data. Research is using the recipe in the installation sheet and outpatient medical records inpatient hospital Magelang general hospital district in December 2013. Using recipes obtained compounded prescription prevalence and patterns of prescription formula is seen. Potential pharmacokinetic interactions were evaluated using Medscape Drug Interaction, Stockley , and Drug Interaction Facts. Opinions and expectations of pharmacists and assistant pharmacists are asked using an open question questionnaire then analyzed by thematic analysis .
The results showed the prevalence of compounded prescription at outpatient installation is 4.09 % while the inpatient is 0.07 % with the highest compounded prescription pattern with three types of active substances . The biggest potential pharmacokinetic interaction is prednisone and loratadine with 20.46 % . Pharmacists said compounded prescription use should be minimized and wish that pharmaceutical industry to provide appropriate drug dosages such as preparing syrup dosage for pediatric patients .
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Peracikan obat adalah penggabungan, pencampuran atau perubahan suatu
obat yang dibuat sesuai dengan resep dokter agar meracik obat sesuai kondisi
individu pasien (Mullarkey, 2009). Pemberian obat lebih dari satu macam
(polifarmasi) dapat memperkuat kerja obat (potensiasi) juga dapat berlawanan
(antagonis), mengganggu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat
yang disebabkan oleh terjadinya interaksi obat (Giam, McLachlan, Krass, dan
Ines, 2012).
“Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009), tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang
terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian”.
“Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien” (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).
Penelitian Giam, et al. (2012) menunjukan bahwa terdapat sekitar 1%
resep racikan dari 30 juta resep setiap tahunnya. Menurut Winckler (2002)
menyatakan bahwa hanya 6,4% dari peresepan racikan yang disertai dengan
pemberian pelayanan khusus dan mengalami peningkatan menjadi 10% peresepan
racikan. Pelayanan khusus yang diberikan kepada pasien penerima peresepan
racikan berupa pemantauan kondisi pasien. Hal ini dikarenakan hampir sebagian
menimbulkan kekhawatiran mengenai kualitas dan penggunaan obat racikan itu
sendiri. Selain itu, Letlora (2014) menyatakan terdapat 1,57% peresepan racikan
yang terdapat di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito selama periode Desember
2013, dimana jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah
peresepan non racikan.
Wiedyaningsih dan Oetari (2004) menyatakan bahwa peresepan racikan
kebanyakan dalam bentuk sediaan padat (serbuk/ serbuk dalam kapsul).
Permasalahan yang timbul dalam pembuatan peresepan racikan dengan bentuk
sediaan padat terdapat pada proses penggerusan sediaan tablet. Hal ini
berpengaruh terhadap pencampuran dan pembuatan bentuk sediaan. Selain
peresepan racikan dengan bentuk sediaan padat terdapat juga peresepan racikan
dengan bentuk sediaan cair dan sediaan semi solid, dimana peresepan racikan
dengan bentuk sediaan cair sangat sedikit diresepkan.
Penelitian yang dilakukan oleh A’yun (2013) menyatakan bahwa sediaan
racikan dibuat berdasarkan resep dokter. Alasan pembuatan peresepan racikan
adalah dapat menyesuaikan dosis dengan berat badan, biayanya relatif murah, dan
meningkatkan kenyaman penderita pada saat mengkonsumsi obat. Peresepan
racikan diperlukan untuk memberikan dan menyediakan obat sesuai dengan
kondisi yang dialami pasien.
Harianto, Kurnia, dan Siregar (2006) menyatakan bahwa dalam proses
peracikan dapat terjadi interaksi obat secara farmasetik, farmakodinamik, dan
farmakokinetik yang mengakibatkan perubahan sifat fisika, kimia dan klinis dari
seperti timbulnya efek toksik obat, berkurangnya dosis obat, dan lainnya. Menurut
Nahata dan Allen (2008) bahwa bahan obat yang digunakan pada peresepan
racikan harus kompatibel antara jenis obat yang satu dan yang lainnya, sehingga
dapat menghasilkan produk obat yang stabil, berkhasiat, mudah digunakan, dan
dapat ditoleransi dengan baik pada penggunaan obatnya.
Rumah sakit merupakan tempat pelayanan kesehatan yang dalam
kesehariaannya terdapat interaksi antara petugas kesehatan dengan pasien. Oleh
karena itu, rumah sakit harus dapat memenuhi segala sesuatu yang diperlukan
pasien, khususnya dalam menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan dalam
peresepan racikan. Hal ini diharapkan, dapat meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan (A’yun, 2013). Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kabupaten Magelang. Alasan pemilihan Rumah Sakit tersebut karena
merupakan Rumah Sakit pusat di Kabupaten Magelang dan belum pernah
dilakukan penelitian tentang prevalensi dan evaluasi potensial interaksi
farmakokinetik peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap.
Kekurangan dan kelebihan peresepan racikan diatas mendorong peneliti
untuk melakukan penelitian terkait prevalensi dan evaluasi peresepan racikan di
instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang.
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
a. Berapa prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap
b. Bagaimana gambaran pola peresepan racikan di RSUD Kabupaten
Magelang?
c. Bagaimana gambaran potensial interaksi farmakokinetik pada peresepan
racikan tersebut?
d. Bagaimana pendapat dan harapan dari apoteker dan asisten apoteker terkait
dengan peresepan racikan kedepannya?
2. Keaslian penelitian
Penelitian mengenai “Prevalensi dan Evaluasi Potensial Interaksi
Farmakokinetik Peresepan Racikan di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap
RSUD Kabupaten Magelang Periode Desember 2013” belum pernah dilakukan.
Penelitian yang telah dipublikasikan berkaitan dengan penelitian ini, antara lain:
a. Penelitian yang dilakukan oleh Wiedyaningsih dan Oetari (2004) yang
berjudul “Tinjauan Terhadap Bentuk Sediaan Obat: Kajian Resep - Resep di
Apotek Kota Yogyakarta”. Instrumen penelitian ini adalah dokumentasi
resep, kuesioner dan wawancara. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan
subyek penelitian apoteker.
b. Penelitian yang dilakukan oleh Cahyono (2007) dengan judul “Evaluasi
Komposisi, Indikasi, Dosis, dan Interaksi Obat Resep Racikan untuk Pasien
Pediatri di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Juli 2007”. Jenis
penelitian ini adalah non-eksperimental dengan rancangan penelitian bersifat
deskriptif evaluatif. Instrumen penelitian ini adalah resep dan rekam medis
c. Dewi (2014), melakukan penelitian yang berjudul “Prevalensi dan Evaluasi
Interaksi Farmakokinetika Resep Racikan pada Lima Puskesmas di
Kabupaten Sleman periode Desember 2013”. Penelitian Dewi merupakan
penelitian non-eksperimental dengan rancangan penelitian bersifat deskriptif
cross sectional. Tempat penelitian dilaksanakan di lima puskesmas di wilayah
Kabupaten Sleman. Obyek penelitian ini adalah resep racikan pada periode
Desember 2013, sedangkan subyek penelitian ini adalah apoteker dan asisten
apoteker. Instrumen pada penelitian ini adalah pustaka yang ditulis oleh Tatro
(2007), Stockley (2010), dan Zucchero et al. (2002), Drug Interaction
Checker, pustaka yang ditulis olehDepkes RI (2008), dan Lacy et al. (2006)
d. Penelitian dengan judul “Characterizing Specialized Compounding in
Community Pharmacies”, oleh Giam, McLachlan and Krass (2012).
Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam pada 18 responden
apoteker mengenai peracikan dengan panduan wawancara semi-terstruktur.
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan metode
analisis data yaitu constant comparison.
e. Penelitian yang dilakukan oleh Nahata dan Allen (2008) yang berjudul
“Extemporaneous Drug Formulations” menggunakan metode pencatatan dari
Pediatric Formulation Initiative. Analisis data dilakukan menggunakan
literatur dari PubMed/MEDLINE (1966-0ctober 2008).
f. Penelitian lain dilakukan oleh Letlora (2014) dengan judul “Prevalensi dan
Evaluasi Interaksi Farmakokinetik Peresepan Racikan pada PasienRawat
penelitian ini adalah deskriptif dengan rancangan cross sectional yang
menggunakan data retrospektif. Obyek penelitian ini adalah lembar resep
yang berisi semua peresepan racikan dan non-racikan pada pasien rawat jalan
di RSUP Dr. Sardjito periode Desember 2013. Subyek penelitian ini adalah
apoteker dan asisten apoteker yang bertugas di instalasi rawat jalan RSUP Dr.
Sardjito, yang berkenan diberikan panduan wawancara. Instrumen penelitian
adalah panduan wawancara yang bersifat open questions, inform consent,
lembar observasi, dan pustaka acuan dari Medscape (2014), Stockley (1994)
dan BPOM (2008).
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
prevalensi peresepan racikan dan interaksi farmakokinetik peresepan racikan di
RSUD Kabupaten Magelang
b. Manfaat Praktis
Informasi terkait prevalensi peresepan racikan diharapkan dapat
digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait
peresepan racikan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi
bagi peneliti dan tenaga kesehatan seperti dokter dan apoteker untuk mencegah
terjadinya interaksi farmakokinetik peresepan racikan dengan mempertimbangkan
B. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi dan
mendeskripsikan peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD
Kabupaten Magelang periode Desember 2013.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a. Menghitung prevalensi peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang
b. Mengambarkan pola peresepan racikan yang diperoleh di RSUD Kabupaten
Magelang
c. Mengidentifikasi potensial interaksi peresepan racikan terkait interaksi
farmakokinetik yang terjadi pada peresepan racikan yang diperoleh dari
RSUD Kabupaten Magelang
d. Menggambarkan pendapat dan harapan dari apoteker dan asisten apoteker
8
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Peresepan racikan
Resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter
hewan kepada apoteker, untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien
sesuai peraturan yang berlaku (KepMenKes RI, 2004). Resep terdiri dari
peresepan non racikan dan peresepan racikan. Peresepan racikan mengandung
nama dan kuantitas tiap bahan yang diperlukan untuk diracik menjadi satu
sediaan. Peracikan obat merupakan tugas penting dari apoteker dan asisten
apoteker (Harianto, dkk., 2006).
Rersep racikan bertujuan untuk menyesuaikan dosis obat dan bentuk
sediaan dengan kebutuhan atau kondisi klinis pasien, seperti pulveres yang
diresepkan untuk anak yang susah menelan obat sediaan tablet, obat yang
membutuhkan sejumlah dosis terlarut dari obat yang diperlukan dan bentuk
sediaan racikan yang berguna untuk menutupi rasa tidak enak dari obat
(Profesional Compounding Centers of America, 2014).
B. Pola Peresepan
Peresepan obat harus memenuhi kriteria peresepan obat yang rasional.
Prinsip dari peresepan rasional adalah adanya elemen-elemen yang sesuai untuk
penggunaan obat yang efektif, aman dan ekonomis. Peresepan obat dikatakan
kebutuhan klinis pasien dalam periode tertentu dengan harga terjangkau untuk
pasien (Nastiti, 2011).
Penentuan dosis obat seharusnya dilakukan secara individual yang
disesuaikan dengan berat badan, meskipun beberapa formulasi dapat digunakan.
Setelah ditentukan dosis obat, dilihat juga rute pengunaan obat. Rute penggunaan
obat terdiri dari rute oral/ per oral, injeksi, kulit (per kutan), dan melalui rute
transdermal. Rute penggunaan obat disesuaikan dengan tujuan terapi (lokal atau
sistematik), kerja obat (cepat atau lambat), stabilitas obat (dalam lambung atau
usus), keamanan relatif, rute yang sesuai dengan kondisi penderita. Selain itu,
juga perlu dipertimbangkan bentuk sediaan obat yang akan diberikan (Putra,
2012).
1. Bentuk Sediaan Obat
Terdapat macam-macam bentuk sediaan obat menurut Ansel dan Howard
(1989), yaitu:
a. Pulvis (serbuk)
Pulvis merupakan campuran kering bahan obat atau zat aktif yang dapat
dihaluskan yang ditujukan untuk penggunaan oral atau untuk pemakaian luar.
b. Pulveres
Pulveres merupakan serbuk yang dibagi ke dalam bobot yang kurang
lebih sama, yang selanjutnya dibungkus menggunakan bahan pengemas yang
c. Tablet
Tablet merupakan sediaan padat kompak yang dibuat secara kempa cetak
dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler atau cembung. Tablet biasanya
mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan.
d. Pilulae (Pil)
Pil merupakan bentuk sediaan padat, bundar dan kecil yang mengandung
obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Penggunaan pil saat ini sudah jarang
ditemukan karena tergusur dengan banyaknya penggunaan tablet dan kapsul.
e. Kapsul
Kapsul merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang
keras atau lunak yang dapat larut dalam air.
f. Solutiones (Larutan)
Larutan merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat
kimia yang dapat larut. Biasanya dilarutkan di dalam air dan cara penggunaannya
diminum (larutan oral) dan kulit (larutan topikal).
g. Suspensi
Suspensi merupakan sediaan cair yang mengandung partikel padat yang
tidak larut dan terdispersi dalam fase cair.
h. Emulsi
Emulsi merupakan sediaan berupa campuran dari fase cairan dalam
i. Unguenta (Salep)
Salep merupakan sediaan semi padat yang ditujukan untuk pemakaian
topikal pada kulit atau selaput lendir.
j. Suppositoria
Suppositoria merupakan sediaa padat dalam berbagai bobot dan bentuk
yang diberikan melalui rektal, vagina atatu uretra. Suppositoria dapat meleleh,
melunak atau melarut pada suhu tubuh.
2. Rute Pemberian obat
Bentuk sediaan obat dapat melalui beberapa rute pemberian tergantung
dengan tujuan pengobatan yang diinginkan, seperti:
a. Bentuk sediaan obat melalui rute oral/ per oral
Bentuk sediaan obat yang digunakan dalam rute oral yaitu tablet, kapsul,
pulveres, sediaan cair seperti sirop, suspensi atau emulsi oral. Penggunaan obat
melalui rute oral bertujuan untuk memperoleh efek sistemik dan memperoleh efek
lokal pada obat yang tidak larut atau tidak diabsorpsi dalam rute ini, seperti
obat-obat cacing dan antasida yang digunakan untuk menetralkan kelebihan asam
lambung. Bentuk sediaan oral digunakan untuk memberikan efek pengobatan
yang lama. Kekurangan penggunaan obat pada rute oral/ per oral yaitu
menghasilkan respon yang lebih lama dibandingkan dengan rute lainnya, tidak
dapat digunakan pada penderita yang koma atau muntah-muntah, dan
kemungkinan obat dapat rusak oleh reaksi asam lambung atau enzim-enzim
b. Bentuk sediaan obat melalui rute rektal
Bentuk sediaan obat melalui rute rektal digunakan untuk tujuan lokal
atau sistemik dalam bentuk larutan (lavement/ clysma/ enema), padat
(suppositoria), atau setengah padat (unguentum/ salep). Kelebihan rute rektal
yaitu menghindari obat yang dapat rusak jika melalui usus, dapat digunakan pada
penderita yang muntah-muntah, koma, atau penderita yang susah menelan obat,
dan obat tidak mengalami detoksikasi, biotransformasi, atau metabolisme yang
mengakibatkan obat menjadi tidak aktif. Kerugian rute rektal adalah penggunaan
yang tidak menyenangkan atau kurang nyaman (Syamsuni, 2006).
c. Bentuk sediaan obat melalui rute parenteral
Bentuk sediaan parenteral dapat berupa larutan, suspensi, emulsi, dan
serbuk steril dalam air atau minyak. Kelebihan dari bentuk sediaan obat melalui
rute parenteral yaitu obat dapat terhindar dari inaktivasi dalam saluran
gastrointestinal, menghasilkan efek obat yang cepat, mendapatkan kadar obat
yang tepat sesuai yang diharapkan, dapat digunakan pada penderita yang susah
menelan. Kekurangan menggunakan rute parenteral adalah jika terjadi kesalahan
pemberian obat maka efek toksik sulit dinetralkan, selain itu harga obatnya lebih
mahal dibandingkan obat oral karena sediaan harus dibuat steril (Syamsuni,
d. Bentuk sediaan obat melalui rute kulit
Bentuk sediaan obat ini bertujuan untuk menghasilkan efek lokal dan
bukan sistemik. Bentuk sediaannya dapat berupa salep, krim, pasta, lotion, dan
serbuk tabur (Syamsuni, 2006).
e. Bentuk sediaan obat yang digunakan pada membran mukosa
Bentuk sediaan obat yang digunakan pada membran mukosa, yaitu
bentuk sediaan untuk mukosa mulut dan tenggorokan, bentuk sediaan untuk mata,
bentuk sediaan untuk hidung, bentuk sediaan untuk telinga, dan , bentuk sediaan
yang digunakan melalui mulut seperti sublingual (obat diletakkan dibawah lidah),
bukal (obat diletakkan antara pipi dan gusi) yang bertujuan menghasilkan efek
yang lebih cepat dibandingkan rute peroral (Syamsuni, 2006).
f. Bentuk sediaan obat melalui rute implantasi
Bentuk sediaan obat melalui rute implantasi berupa obat steril yang
ditanam dibawah kulit dengan tujuan memberikan efek sistemik jangka panjang
yang membutuhkan dosis lebih kecil dibandingkan dengan dosis obat melalui oral
(Syamsuni, 2006).
C. Interaksi obat
Obat sebelum sampai di tempat aksinya, melalui beberapa fase yaitu fase
farmasetika dan farmakokinetika. Farmasetika meliputi teknologi pembuatan obat
dalam bentuk sediaan yang dapat digunakan dan diberikan kepada pasien. Tujuan
tanpa terjadi perubahan sifat biologis, sehingga perlu diperhatikan tentang sifat
kimia dan fisika obat, dan sifat fisika kimia bentuk sediaan (Putra, 2012).
Interaksi obat dapat berupa interaksi farmasetik, interaksi
farmakokinetik, dan interaksi farmakodinamik.
1. Interaksi farmasetik
Interaksi farmasetik berhubungan dengan sifat fisika-kimia dari obat.
Interaksi farmasetik dapat menyebabkan obat kehilangan potensinya,
meningkatkan toksisitas atau pun efek samping. Biasanya interaksi terjadi diluar
tubuh manusia dan menimbulkan salah satu obat menjadi tidak aktif (Putra,
2012).
2. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik dapat terjadi karena adanya perubahan absorbsi
obat, distribusi obat, metabolisme obat, dan eliminasi obat (Syamsudin, 2011).
a. Tahap Absorbsi
Interaksi absorbsi obat dapat berinteraksi dengan mengubah tingkat dan
kecepatan penyerapan obat. Interaksi absorbsi obat dapat disebabkan oleh
pengikatan obat di dalam saluran pencernaan, perubahan motilitas saluran
pencernaan, perubahan pH saluran pencernaan, perubahan flora normal di usus
halus dan perubahan metabolisme obat di dalam dinding usus (Syamsudin, 2011).
b. Tahap Distribusi
Distribusi obat adalah distribusi obat dari dan ke darah dan beberapa
di dalam jaringan. Obat masuk ke jaringan yang berbeda-beda dengan kecepatan
yang berbeda juga, tergantung pada kemampuan obat menembus membran. Hal
ini dapat dipengaruhi juga oleh pengikatan obat ke protein plasma (Syamsudin,
2011).
c. Tahap Metabolisme
Metabolisme obat disebut juga sebagai biotransformasi obat yang
bertujuan untuk mengubah xenobiotik lebih hidrofil sehingga dapat dieliminasi
secara efisien oleh ginjal. Ada dua kategori utama reaksi metabolisme yaitu fase I
dan fase II. Dimana reaksi fase I berkaitan dengan penambahan dan pengurangan
gugus fungsional yang digunakan untuk menyelesaikan fase II. Sebagian besar
reaksi fase I diperantarai oleh sitokrom P450. Oleh karena itu, sekitar 40 %
metabolisme obat tergantung pada P450 yang dilaksanakan oleh enzim
polimorfisme. Obat (inhibtor enzim) dapat menghambat kerja enzim yang dapat
meningkatkan konsentrasi obat dan substrat. Obat dapat menginduksi dan
menginhibisi enzim yang dapat meningkatkan dan menurunkan kecepatan
metabolisme obat (Syamsudin, 2011).
d. Tahap ekskresi
Obat dapat dikeluarkan dari tubuh melalui proses ekskresi. Obat yang
memiliki kelarutan lemak yang tinggi, perlu dimetabolisme lagi menjadi senyawa
yang lebih polar sehingga dapat diekskresi. Ginjal merupakan organ penting
juga dapat diekskresikan melalui feses, air susu ibu (ASI) dan paru-paru (Brunton,
Chabner and Bjorn, 2010).
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan
rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk
menentukan kadar obat tertentu. Rambut juga dapat digunakan untuk menentukan
logam toksik seperti arsen pada kedokteran forensik (Brunton, et al., 2010).
3. Interaksi farmakodinamik
Efek dari sebagian besar obat berasal dari interaksi dengan komponen
makromolekular suatu organisme. Interaksi ini akan mengubah komponen yang
bersangkutan dan memulai perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan
respon karakteristik dari obat. Istilah reseptor obat dan target obat merupakan
makromolekul seluler dan kompleks makro molekuler yang berinteraksi dengan
obat dan merangsang terjadinya respon seluler, contohnya perubahan fungsi sel.
Obat umumnya merubah kecepatan dan besaran dari respon intrinsik seluler dari
pada menciptakan respon-respon baru. Reseptor obat biasanya terletak di
permukaan sel, tapi juga bisa terletak di kompartemen intraselular spesifik seperti
nukleus. Banyak obat juga berinteraksi dengan aseptor (contoh : serum albumin)
didalam tubuh. Aseptor merupakan sesuatu yang tidak secara langsung
menyebabkan perubahan biokimia atau respon fisiologi. Akan tetapi, interaksi
dari obat dengan aseptor seperti serum albumin dapat mengubah farmakokinetika
Efek obat ditimbulkan karena adanya interaksi obat dengan reseptor pada
sel di dalam suatu organisme. Interaksi antara obat dengan reseptor dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan
respons khas dari obat yang dikonsumsi. Hal ini merupakan dasar dari terapi obat
rasional dan berguna dalam proses sintesis obat baru (Sanjoyo, 2012).
Menurut Tatro (2001), interaksi obat digolongkan menjadi 5 kelas
signifikansi yang dibedakan berdasarkan tingkat keparahannya, dimana kelas
signifikansi semakin kecil berarti tingkat keparahannya semakin besar.
1. Kelas Signifikansi
Kelas signifikansi Tingkat keparahan Bukti
1 Berat Sudah ada bukti
2 Sedang Sudah ada bukti
3 Ringan Sudah ada bukti
4 Berat/sedang Mungkin terjadi
5 Ringan Mungkin terjadi
Tidak terjadi Mungkin terjadi
2. Tingkat keparahan
Menurut Tatro (2001), tingkat keparahan interaksi obat mempunyai tiga
tingkatan, yaitu:
a. Berat : efek yang terjadi dapat mengancam jiwa atau dapat menyebabkan
kerusakan permanen.
b. Sedang : efek yang terjadi dapat menyebabkan kondisi klinis pasien menurun.
c. Ringan : efek yang terjadi biasanya ringan dan dapat mengganggu, tetapi
tidak signifikan mempengaruhi outcome terapi. Biasanya tidak memerlukan
D. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait prevalensi
peresepan racikan, pola peresepan racikan, interaksi farmakokinetik, dan pendapat
apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan peresepan racikan di instalasi
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan rancangan penelitian
Penelitian ini mengenai prevalensi dan evaluasi potensial interaksi
farmakokinetik peresepan racikan pada pasien rawat jalan dan rawat inap di
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Magelang periode Desember
2013 merupakan suatu penelitian observasional deskriptif dengan rancangan
penelitian cross sectional dengan data retrospektif (Notoatmodjo, 2012).
Penelitian observasional ialah penelitian yang tidak melakukan manipulasi atau
intervensi dan hanya melakukan pengamatan saja pada subjek yang diteliti.
Penelitian deskriptif dengan rancangan penelitian observasional bertujuan untuk
menggambarkan angka prevalensi penyakit atau masalah kesehatan dalam suatu
populasi (Lapau, 2012). Data bersifat retrospektif karena berdasarkan data lampau
dilihat dari rekam medik pasien.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian
a.Prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap
RSUD Kabupaten Magelang.
b.Pola peresepan racikan.
d.Pendapat dan harapan apoteker dan asisten apoteker terkait peresepan
racikan kedepannya.
2. Definisi Operasional
a. Prevalensi peresepan racikan adalah proporsi keseluruhan obat racikan
kecuali racikan sediaan steril dan resep askes yang digunakan oleh pasien
rawat inap dan proporsi keseluruhan obat racikan yang tidak termasuk
resep askes di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang terhadap
total resep (racikan dan non racikan) periode Desember 2013. Contoh
resep:
R/ Acyclovir tab 400 mg no XV
S 2.d.d tab 1 (pagi, sore)
R/ Fenitoin 20 mg
Fenobarbital 100 mg
m.f.la. pulv. dtd da in cap no XL
S 2.d.d I (pagi, sore)
1) Jumlah peresepan racikan adalah jumlah peresepan (R/) racikan yang
ada pada setiap lembar resep untuk diracik. Contohnya pada lembar
resep di atas ada 1 lembar resep yang terdapat 2 peresepan yaitu (R/1)
dan (R/2), dimana (R/1) adalah peresepan non-racikan sedangkan (R/2)
adalah peresepan racikan. Jadi, pada lembar resep di atas terdapat
jumlah peresepan racikan ada satu yaitu (R/2).
b. Pola peresepan racikan meliputi jumlah zat aktif dalam setiap peresepan
BPOM (2008). Contoh pada peresepan (R/2) no.1 di atas adalah peresepan
racikan dengan 2 zat aktif, dimana jenis obat fenitoin termasuk kelas terapi
sistem saraf pusat dengan rute pemberian peroral.
c. Interaksi farmakokinetik adalah interaksi antara obat dengan organ tubuh
yang terjadi di dalam tubuh. Potensial interaksi farmakokinetik dievaluasi
per lembar resep antara jenis obat yang satu dan yang lainnya dengan
aturan pakai dan rute yang sama. Potensial interaksi farmakokinetik
dievaluasi menggunakan pustaka acuan Medscape (2014), Stockley
(1994), Hansten and Horn (2002), dan Tatro (2007).
d. Pendapat dan harapan apoteker dan asisten apoteker ialah pemikiran
apoteker dan asisten apoteker terkait peresepan racikan yang diwawancarai
menggunakan panduan wawancara yang bersifat open question.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD
Kabupaten Magelang di Jalan Kartini nomor 13 Muntilan. Penelitian berlangsung
pada bulan Februari 2014 sampai Maret 2014. Pengambilan data dilakukan pada
jam kerja di RSUD Kabupaten Magelang antara jam 08.00 WIB sampai 14.00
WIB.
D. Obyek dan Subyek Penelitian
Obyek penelitian adalah semua lembar resep di instalasi rawat jalan dan
Desember 2013 yang memuat peresepan racikan dan non-racikan. Subyek
penelitian adalah apoteker dan asisten apoteker dengan kriteria inklusi yang
bekerja di instalasi rawat jalan dan rawat inap yang bersedia berpartisipasi sebagai
responden penelitian.
E. Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan sebagai instrumen pada penelitian ini adalah
panduan wawancara dengan open questions, inform consent, lembar observasi,
dan pustaka acuan dari Hansten and Horn (2002), Stockley (1994), Medscape
(2014) dan BPOM (2008).
F. Tata Cara Penelitian
1. Tahap orientasi dan studi pendahuluan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap orientasi dan studi pendahuluan
adalah sebagai berikut:
a. Tahapan ini dimulai dengan pembuatan proposal penelitian, mencari
informasi mengenai prosedur perizinan penelitian di RSUD Kabupaten
Magelang, mencari tahu informasi primer terkait jumlah peresepan racikan di
RSUD Kabupaten Magelang selama periode Desember 2013 di Instalasi
rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang.
b. Membuat permohonan izin penelitian dari Universitas Sanata Dharma yang
diserahkan bersamaan dengan proposal penelitian kepada RSUD Kabupaten
2. Tahap pengambilan data
Pada tahapan pengambilan data, pertama-tama melakukan pemilahan
lembar resep racikan dan non-racikan serta menghitung total lembar resep di
instalasi rawat jalan. Dari tahapan ini diperoleh 4.099 lembar resep dengan 307
peresepan racikan dan 227 lembar resep yang terdapat minimal satu peresepan
racikan. Setelah itu, menghitung peresepan racikan dan non-racikan pada lembar
rekam medik di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang selama periode
Desember 2013. Hasil pengambilan data di instalasi rawat inap terdapat 10
peresepan racikan dengan 10 lembar resep yang terdapat minimal satu peresepan
racikan dan 4.069 total lembar resep. Pengambilan data kemudian dilanjutkan
dengan penyalinan data terkait jumlah zat aktif dalam setiap peresepan racikan,
waktu pemakaian, bentuk sediaan, dan rute pemakaian pada setiap lembar resep
dan rekam medik yang terdapat minimal satu peresepan racikan. Data yang
diambil nantinya digunakan untuk menggambarkan pola peresepan racikan dan
keperluan analisis potensial interaksi farmakokinetik. Pendapat dan harapan
apoteker dan asisten apoteker terkait peresepan racikan kedepannya digali
menggunakan panduan wawancara yang bersifat open question dengan metode
G. Tata Cara Analisis Hasil
1. Prevalensi peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang
Prevalensi peresepan racikan dihitung dengan cara menghitung jumlah
resep (R/) peresepan racikan dan non-racikan. Selanjutnya, untuk menghitung
persentase peresepan racikan dengan cara:
2. Pola peresepan racikan
Pola peresepan racikan dikelompokkan berdasarkan pustaka acuan
BPOM (2008). Pada tahap ini, obat dikelompokkan berdasarkan kelas terapi,
jenis obat, bentuk sediaan, rute pemberian dan menghitung jumlah zat aktif dalam
setiap peresepan racikan.
3. Interaksi farmakokinetik
Potensial interaksi farmakokinetik pada peresepan racikan dievaluasi
menggunakan pustaka acuan Hansten and Horn (2002), Stockley (1994),
Medscape (2014), dan Tatro (2007).
4. Harapan apoteker dan asisten apoteker mengenai peresepan racikan
Apoteker dan asisten apoteker yang bersedia untuk mengisi panduan
wawancara yang bersifat open question yang telah disediakan oleh peneliti
dianalisis dengan teknik thematic analysis. Prinsip analisis dengan teknik ini
adalah mengambil tema-tema dari data sesuai dengan topik yang telah ditanyakan
H. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah data yang diambil tidak mencakup data
resep askes dan peneliti tidak dapat mengetahui jumlah sediaan racikan steril pada
rekam medis di instalasi rawat inap, sehingga tidak dapat menggambarkan
keseluruhan peresepan racikan di Instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD
Kabupaten Magelang. Peneliti juga mengalami kesulitan pada saat membaca
tulisan resep yang kurang jelas. Pada penelitian ini juga tidak dapat
menggambarkan karakteristik usia dari pasien yang menerima peresepan racikan
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dengan judul “Prevalensi dan Evaluasi Potensial Interaksi
Farmakokinetik Peresepan Racikan di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap
RSUD Kabupaten Magelang Periode Desember 2013” bertujuan untuk
mengetahui prevalensi dan potensial interaksi farmakokinetik peresepan racikan
di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode
Desember 2013. Hal ini dilakukan dengan cara menghitung jumlah lembar resep
(peresepan racikan dan resep non-racikan) dan mencatat jumlah zat aktif dalam
setiap peresepan racikan dari lembar resep yang berisi peresepan racikan di
instalasi rawat jalan dan di instalasi rawat inap melalui rekam medik.
Penelitian ini disajikan dalam 4 bagian. Bagian pertama berisi tentang
prevalensi peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang yaitu pada instalasi
rawat jalan dan instalasi rawat inap. Bagian kedua berisi tentang gambaran pola
peresepan racikan pada instalasi rawat jalan dan instalasi rawat inap RSUD
Kabupaten Magelang. Bagian ketiga berisi tentang potensial interaksi
farmakokinetik pada peresepan racikan pada instalasi rawat jalan dan instalasi
rawat inap RSUD Kabupaten Magelang. Bagian keempat berisi tentang pendapat
A. Prevalensi Peresepan Racikan di RSUD Kabupaten Magelang
Penelitian Giam, et al. (2012), menyatakan bahwa penggunaan resep
racikan tahun 2012 di negara bagian Amerika Serikat sebesar 1% dari 30 juta
resep racikan setiap tahunnya. Hasil penelitian tersebut tidak jauh berbeda dengan
prevalensi peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang selama periode
Desember 2013. Data peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang periode
Desember 2013 menunjukan bahwa prevalensi peresepan racikan di instalasi
rawat jalan sebesar 4,1% sedangkan prevalensi di instalasi rawat inap sebesar
0,1%. Peresepan racikan digunakan dengan mempertimbangkan kondisi klinis
pasien dan penyediaan dosis yang dibutuhkan pasien. Jumlah peresepan racikan
dan non racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten
Magelang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel I. Jumlah peresepan racikan dan non racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013 Jumlah resep racikan (R/) Jumlah resep non racikan (R/) Total jumlah resep (R/) Persentase resep racikan (%) Persentase resep non racikan (%) Total lembar resep racikan Total lembar resep Instalasi rawat jalan
307 7.179 7.485 4,1 95,9 227 4.099
Instalasi rawat inap
Gambar 1. Prevalensi peresepan racikan dan peresepan non racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013
Prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan (4,1%) lebih kecil
dibandingkan peresepan non racikan (95,9%). Prevalensi peresepan racikan di
instalasi rawat inap (0,1%) lebih kecil dibandingkan dengan peresepan non
racikan (99,9%). Hasil penelitian di atas serupa dengan penelitian sebelumnya
yaitu Letlora (2014) hasil prevalensi peresepan racikan sebesar 1,57% (164
peresepan racikan) di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode
Desember 2013, Dewi (2014) hasil prevalensi peresepan racikan sebesar 4,8%
(643 peresepan racikan) pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode
Desember 2013, dan Dewanti (2013) hasil prevalensi peresepan racikan sebesar
21,07% (310) pada pasien pediatri di unit farmasi PKU Muhammadiyah
Yogyakarta periode Januari-Desember 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa prevalensi peresepan racikan di Yogyakarta lebih kecil dibandingkan
[image:47.595.101.509.111.544.2]B. Pola Peresepan racikan di Instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD
Kabupaten Magelang periode Desember 2013
Pola peresepan racikan meliputi jumlah zat aktif dalam setiap peresepan
racikan, kelas terapi, dan jenis peresepan racikan.
1. Jumlah zat aktif dalam setiap peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUD
Kabupaten Magelang periode Desember 2013
Peresepan racikan dapat diberikan lebih dari satu jenis zat aktif yang
disesuaikan dengan kondisi klinis dan kebutuhan penderita. Data peresepan
racikan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dapat dilihat pada tabel II
[image:48.595.99.508.212.584.2]dibawah ini.
Tabel II. Persentase Jumlah Zat Aktif dalam peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013
No. Peresepan racikan Jumlah
peresepan racikan
Persentase (%)
1. Satu zat aktif 65 21,2
2. Dua zat aktif 102 33,2
3. Tiga zat aktif 103 33,6
4. Empat zat aktif 37 12,0
Jumlah 307 100,0
Dari tabel II di atas dapat dilihat peresepan racikan yang paling banyak
diresepkan yaitu peresepan racikan dengan tiga jenis zat aktif sebanyak 33,6 %
dari 307 jumlah peresepan racikan, dimana jenis obat yang paling banyak
diresepkan dengan tiga jenis zat aktif yaitu aminofilin, metilprednisolon, dan
CTM. Hasil penelitian di atas serupa dengan penelitian lain yaitu Dewanti (2013)
sebesar 32,6% (101 sediaan racikan) dari 310 sediaan peresepan racikan untuk
pasien pediatri di unit farmasi PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode
Januari-Desember 2012.
Selain peresepan racikan dengan tiga jenis zat aktif, di instalasi rawat
jalan RSUD Kabupaten Magelang terdapat juga sediaan peresepan racikan dengan
dua zat aktif. Persentase peresepan racikan dengan dua jenis zat aktif yaitu sebesar
33,2%. Peresepan racikan dengan dua jenis zat aktif yang paling banyak
diresepkan adalah diltiazem dan clobazam.
2. Kelas terapi dan jenis obat racikan di RSUD Kabupaten Magelang periode
Desember 2013
a. Kelas terapi dan jenis obat racikan di instalasi rawat jalan
Peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang
yang menerima peresepan racikan sebanyak 7 kelas terapi obat yaitu kulit, sistem
saluran nafas, sistem endokrin, infeksi, sistem kardiovaskuler, sistem saraf pusat,
gizi dan darah. Peresepan racikan yang paling banyak diresepkan adalah kelas
terapi sistem saluran nafas dengan jumlah peresepan racikan sebanyak 165
peresepan.
Tabel III. Kelas terapi dan jenis obat peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013
Kelas Terapi Jenis obat Nama generik Jumlah
Kulit Asam salisilat - 22
Acyclovir Acyclovir® 1
Gentamisin Gentamisin® 3
Miconazole Miconazole® 3
Fuladic Fuladic® 7
Bersol
Clobetasol® 32
[image:49.595.100.513.252.747.2]Hidrokortison Hidrokortison® 4
Inerson Desoksimetason® 8
Elox Metasone® 9
Nerilon Diflukortolon
valerat® 10
Jumlah racikan kulit 99
Sistem saluran nafas Cetirizine
Cetirizine® 15
Cetinal Tiriz
Bestalin Hidroksizin® 9
CTM CTM® 31
Heptasan Siproheptadin® 1
Interhistin Mebidrolin® 21
Loratadin Loratadin® 55
Ambroksol Ambroksol® 1
Aminofilin Aminofilin® 18
Salbutamol Salbutamol® 14
Jumlah racikan saluran nafas 165
Sistem endokrin Hexilon
Metilprednisolon® 68 Lameson
Metilprednisolon Stenirol
Prednison Prednison® 58
Triamcort Triamsinolon® 11
Jumlah racikan sistem endokrin 137
Infeksi Amoksisilin Amoksisilin® 2
Lefos levofloxacin® 2
Sitro Roksitromisin® 1
Jumlah racikan infeksi 5
Sistem kardiovaskuler Captopril Captopril® 16
Digoxin
Digoxin® 2
Lanoxin Diltiazem
Diltiazem® 29
Farmabes
Furosemid Furosemid® 16
Jumlah racikan sistem sistem kardiovaskuler 63
Sistem saraf pusat Clobazam Clobazam® 30
Diazepam Diazepam® 3
Fenitoin Fenitoin® 20
Fenobarbital Fenobarbital® 19
Luminal Luminal® 6
Narfos Ondansetron® 2
[image:50.595.101.513.95.746.2]Jumlah racikan sistem saraf pusat 82
Gizi dan darah Vitamin B1 Vitamin B1® 1
Vitamin B6 Vitamin B6® 1
Vitamin C Vitamin C® 1
Jumlah 3
b. Kelas terapi dan jenis obat racikan di instalasi rawat inap
Peresepan racikan di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang
dikelompokkan ke dalam 4 kelas terapi yaitu kelas terapi infeksi, sistem
kardiovaskuler, sistem saraf pusat, dan anestesi. Peresepan racikan terbanyak
adalah kelas terapi sistem kardiovaskuler yang berjumlah 5 peresepan racikan.
Obat furosemid dalam bentuk sediaan pulveres termasuk dalam kelas terapi sistem
kardiovaskuler adalah jenis obat yang paling banyak diresepkan di instalasi rawat
inap RSUD Kabupaten Magelang selama periode Desember 2013.
Tabel IV. Kelas terapi dan jenis obat peresepan racikan di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013
Kelas Terapi Jenis obat Nama generic Jumlah
Infeksi Amoksisilin Amoksisilin
®
1
Metronidazol Metronidazol® 1
Jumlah 2
Sistem kardiovaskuler Furosemid Furosemid ®
3
Captopril Captopril® 2
Jumlah 5
Sistem saraf pusat Fenobarbital Fenobarbital® 2
Jumlah 2
Anestesi Diazepam Diazepam® 1
C. Potensial Interaksi Farmakokinetik
1. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat jalan
Sediaan obat yang diberikan secara ekstravaskuler maupun intravaskuler
kepada pasien akan mengalami proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi (ADME). Selama proses ADME, apabila obat yang diberikan dalam
bentuk peresepan racikan maka obat memiliki kemungkinan untuk mengalami
interaksi. Interaksi yang terjadi dapat memperkuat kerja obat (potensiasi) juga
dapat berlawanan (antagonis), mengganggu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi obat (Hakim, 2012). Potensial interaksi farmakokinetik dan mekanisme
interaksi obat di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang periode
Desember 2013 pada tabel V di bawah ini.
Tabel V. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelangperiode Desember 2013
No Interaksi obat Jumlah % Mekanisme Signifikansi
1 Prednison® + Loratadin®
44 20,5 Prednison akan
menurunkan efek
loratadin dengan
mempengaruhi
metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus.
Loratadin dapat
meningkatkan efek prednison oleh P-glikoprotein (MDR1) efflux transporter (Medscape, 2014).
Monitor closely (Medscape,
2014).
2 Metilprednisolon® + Prednison®
36 16,7 Metilprednisolon dapat
menurunkan efek
prednison dengan
mempengaruhi
metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014).
Monitor closely (Medscape,
2014).
3 Metilprednisolon®+ Loratadin®
34 15,8 Metilprednisolon dapat
menurunkan efek
loratadin dengan mempengaruhi
metabolisme enzim CYP3A4 di hati/ usus.
Loratadin dapat
meningkatkan efek Metilprednisolon melalui P-glikoprotein (MDR1) efflux transporter melalui
pompa efflux
P-glikoprotein (MDR1) (Medscape, 2014).
(Medscape, 2014).
4 Metilprednisolon® + Teofilin®
22 10,2 Metilprednisolon dapat
menurunkan kadar
teofilin dengan
mempengaruhi
metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014). Penggunaan kedua obat secara bersamaan dapat terjadi peningkatan/ penurunan/ tidak terjadi perubahan sama sekali pada serum teofilin (Stockley, 1994).
Monitor closely (Medscape,
2014).
5 Fenitoin® + Fenobarbital®
19 8,8 Fenobarbital dapat
menurunkan efek
fenitoin dengan cara mempengaruhi
metabolisme enzim CYP2C9/10 di hati dan meningkatkan
metabolisme (Medscape, 2014).
Penggunaan barbiturat
bersamaan dengan
fenitoin, terkadang bermanfaat bagi pasien. Konsentrasi fenitoin juga dapat terpengaruh dengan ada atau tidak adanya barbiturat (Hansten and Horn, 2002). Monitor closely (Medscape, 2014). Minor (Medscape, 2014).
.6 Captopril® + Furosemid®
11 5,1 Penggunaan secara
bersamaan bisa aman dan efektif, tetapi dapat
menyebabkan
hipokalemia dengan penggunaan diuretik penurun kalium seperti furosemid (Stockley, 1994).
Efek interaksi dapat
menyebabkan loop
diuretik berkurang dengan mekanisme yang memungkinkan
terjadinya inhibisi produksi angiotensin II oleh penghambat ACE. Manajemen yang perlu
dilakukan dengan
mengawasi kondisi cairan dan berat badan penderita (Tatro, 2007).
2014).
3 (Tatro, 2007).
7 Diltiazem® + Hidroklorotiazid®
8 3,7 Diltiazem akan
berkompetisi dengan hidroklorotiazid untuk menempati tubular klirens ginjal sehingga menyebabkan
peningkatan efek dari hidroklorotiazid
(Medscape, 2014).
Minor (Medscape,
2014).
8 Fenitoin® + Simvastatin®
4 1,9 Fenitoin dapat
menurunkan efek
simvastatin dengan mempengaruhi
metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014). Interaksi ini dapat menyebabkan
konsentrasi plasma dari HMG-CoA reduktase inhibitor tertentu dapat menurun, menurunkan efek terapetik, dan hiperkolesterolemia. Manajemen yang perlu
dilakukan dengan
mengawasi kondisi klinis penderita dan jika dicurigai terjadinya interaksi, simvastatin dapat diganti dengan
Serius (Medscape,
2014).
pravastatin yang memiliki kemungkinan kecil berinteraksi dengan fenitoin (Tatro, 2007). 9 Fenobarbital® +
Simvastatin®
3 1,4 Fenobarbital dapat
menurunkan efek
simvastatin dengan mempengaruhi
metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014).
Serius (Medscape,
2014).
10 Metilprednisolon® + Hidroklorotiazid®
3 1,4 Interaksi kedua obat beresiko menyebabkan hipokalemia, terutama
dengan aktivitas
glukokortikoid yang kuat (Medscape, 2014).
Minor (Medscape,
2014).
11 Metilprednisolon® + Diltiazem®
3 1,4 Diltiazem dapat
meningkatkan efek metilprednisolon dengan mempengaruhi
metabolisme enzim CYP3A4 hati/ usus dan dengan pompa efflux P-glikoprotein (MDR1) (Medscape, 2014). Konsentrasi plasma metilprednisolon
meningkat sehingga peningkatan
glukokortikoid dapat terjadi (Hansten and Horn, 2002).
Efek interaksi obat adalah meningkatkan efek farmakologi dan
toksisitas dari
metilprednisolon.
Mekanisme interaksi diduga terjadi karena penghambatan dari metabolisme
metilprednisolon.
Manajemen yang perlu dilakukan mengamati respon penderita ketika metilprednisolon dan diltiazem diberikan secara bersamaan (Tatro,
2007). 12 Fenitoin® +
Ranitidin®
2 0,9 Ranitidin meningkatkan kadar fenitoin dengan menurunkan metabolismenya (Medscape, 2014). Minor (Medscape, 2014).
13 Fenobarbital® + Teofilin®
2 0,9 Fenobarbital dapat
menurunkan serum
teofilin, dibeberapa pasien efek nya cukup besar sehingga dapat
menurunkan efek
terapetik dari teofilin (Hansten and Horn, 2002).
Fenitoin dapat
menurunkan efek teofilin dengan mempengaruhi metabolisme enzim
CYP3A4 di hati
(Medscape, 2014). Efek interaksi obat dapat
menurunkan kadar
teofilin yang dapat
menyebabkan efek
terapeutik. Mekanisme interaksi yang terjadi adalah barbiturat dapat menginduksi sitokrom
P450, merangsang
metabolisme teofilin dan meningkatkan clearance. Manajemen yang perlu
dilakukan adalah
menyesuaikan dosis sesuai dengan kebutuhan penderita (Tatro, 2007).
Monitor closely (Medscape, 2014). 2 (Tatro, 2007).
14 Diazepam® + Parasetamol®
2 0,9 Parasetamol menurunkan ekskresi dari diazepam tetapi konsentrasi dari plasma diazepam tidak dipengaruhi (Stockley, 1994). Diazepam dapat
menurunkan kadar
parasetamol dengan meningkatkan
metabolismenya. Peningkatan
metabolisme incr
Minor (Medscape,
meningkatkan metabolit hepatotoksik (Medscape, 2014).
15 Meloxicam® + Hidroklorotiazid®
2 0,9 Pengaruh interaksi belum jelas. Hidroklorotiazid dapat meningkatkan efek dari meloxicam dengan kompetisi ionik (anionik) obat yang mempengaruhi klirens ginjal (Medscape, 2014).
Monitor closely (Medscape,
2014)
16 Metilprednisolon® + Ciprofloxacin®
1 0,5 Metilprednisolon dan ciprofloxacin dapat saling meningkatkan kadar satu sama lain. Mekanisme interaksi belum jelas (Medscape, 2014).
Monitor closely (Medscape,
2014).
17 Metilprednisolon® + Diazepam®
1 0,5 Metilprednisolon dapat menurunkan efek dari
diazepam dengan
mempengaruhi
metabolisme enzim
CYP3A4 di hati
(Medscape, 2014).
Monitor closely (Medscape,
2014).
18 Metilprednisolon® + Furosemid®
1 0,5 Interaksi tidak signifikan. Interaksi ini beresiko hipokalemia, terutama
dengan aktivitas
glukokortikoid kuat (Medscape, 2014).
Minor (Medscape,
2014) .
19 Metilprednisolon® + Spironolakton®
1 0,5 Spironolakton dapat
meningkatkan efek metilprednisolon melalui
pompa efflux
P-glikoprotein (MDR1) (Medscape, 2014).
Monitor closely (Medscape,
2014).
20 Fenobarbital® + Diklofenak®
1 0,5 Fenobarbital dapat
menurunkan efek
diklofenak dengan mempengaruhi
metabolisme enzim CYP2C9/10 di hati (Medscape, 2014).
Minor (Medscape,
2014).
21 Fenobarbital® + Parasetamol®
1 0,5 Barbiturat dapat
meningkatkan potensi hepatotoksik dari dosis
parasetamol yang
Minor (Medscape,
berlebihan. Barbiturat dapat menurunkan efek
terapeutik dari
parasetamol (Hansten and Horn, 2002; Tatro, 2007).
Mekanisme interaksi dimana barbiturat dapat menginduksi enzim mikrosomal hepar yang mempercepat
metabolisme dari
asetaminofen, yang menyebabkan
meningkatnya kadar hepatotoksin yang tinggi (Tatro, 2007).
4 (Tatro, 2007).
22 Cefadroxil® + Hidroklorotiazid®
1 0,5 Cefadroxil dapat
meningkatkan efek dari hidroklorotiazid dengan adanya kompetisi ionik (anionik) obat dalam mekanisme klirens ginjal (Medscape, 2014).
Minor (Medscape,
2014).
23 Diazepam® + Clobazam®
1 0,5 Administrasi kedua obat
bersamaan dapat
meningkatkan potensi efek CNS seperti peningkatan sedasi atau depresi pernapasan (Medscape, 2014).
Monitor closely (Medscape,
2014).
24 Diazepam® + Diltiazem®
1 0,5 Diltiazem tidak
berinteraksi signifikan
dengan diazepam
(Stockley, 1994).
Diltiazem dapat
meningkatkan efek dari
diazepam dengan
mempengaruhi
metabolisme enzim
CYP3A4 di hati
(Medscape, 2014).
Monitor closely (Medscape,
2014).
25 Diltiazem® + Digoxin®
1 0,5 Diltiazem dapat
meningkatkan serum digoxin yang dapat menyebabkan toksisitas digoxin (Stockley, 1994; Tatro, 2007). Diltiazem dapat meningkatkan efek
Monitor closely (Medscape,
dari digoxin melalui
pompa efflux
P-glikoprotein (MDR1) (Medscape, 2014). Diltiazem juga dapat menurunkan clearance renal atau eksternal dari digoksin, oleh karena itu
perlu dilakukan
monitoring pada
penderita yang menerima resep diltiazem (Tatro, 2007)
4 (Tatro, 2007).
26 Diltiazem® + Asam asetilsalisilat®
1 0,5 Diltiazem meningkatkan efek antiplatet dari
aspirin dengan
mekanisme yang belum diketahui (Medscape, 2014).
Minor (Medscape,
2014).
27 Diltiazem® + Teofilin®
1 0,5 Diltiazem dapat
meningkatkan efek dari
teofilin dengan
mempengaruhi
metabolisme enzim CYP1A2 dan enzim CYP3A4 di hati/usus (Med