BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring berkembangnya zaman, menjadi sesuatu yang umum untuk seorang wanita turut serta dalam mencari nafkah. Junita (2011) menyatakan bahwa di era modern ini banyak perempuan yang mengembangkan perannya menjadi wanita karir yang menjalankan dua peran sekaligus yaitu sebagai wanita karir yang bekerja dan menjadi ibu rumah tangga yang menjalankan dua peran sekaligus dengan bermacam-macam alasan. Bukan hanya terbatas pada pelayanan suami, merawat anak dan mengelola keperluan rumah tangga, tetapi juga berperan serta dalam pemenuhan perekonomian keluarga dengan bekerja. Adanya fenomena yang sedang terjadi sekarang, maka semakin meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja membuat peran perempuan menjadi cukup penting di dalam dunia kerja. Sejalan dengan pendidikannya yang tinggi, individu akan cenderung juga mengejar karir bisnis, pekerjaan, dan profesional sesuai bidang keahlian (Handini, dkk, 2014).
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) 2021 tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan sebesar 52,51%, yang mengalami peningkatan 1,32% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (BPS 2021). Berdasarkan data tersebut dapat membuktikan bahwa sudah cukup banyak wanita yang bekerja di Indonesia. Sehingga tak dipungkiri bahwa didalam sebuah perusahaan, peran perempuan menjadi sangat dominan dibandingkan laki-laki. Menurut Cahyaningdyah (2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa dorongan yang membuat banyaknya seorang wanita yang menjadi pekerja diantaranya adalah faktor ekonomi, pemenuhan standar hidup yang layak serta peningkatan permintaan tenaga kerja wanita.
Wanita bekerja adalah wanita yang bekerja di luar rumah dan menerima uang atau memperoleh penghasilan dari hasil pekerjaannya (Wiladatika, 2016). Akan tetapi Gómez dkk., (2020) dengan adanya pandemi Covid-19, menganjurkan karyawan melakukan pekerjaan secara telecommuting. Saat ini banyak perusahaan masih mencoba untuk beradaptasi dengan pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 ini mengharuskan mengubah pola kerja yang awalnya secara WFO (Work From Office) menjadi WFH (Work From Home). Salah satunya bekerja secara telecommuting yang membutuhkan internet yang memadai, karena memang semuanya dilakukan secara online. Bagi karyawati yang sudah menikah yang memiliki anak menjadi tantangan tersendiri. Ketika dirumah, karyawati tersebut harus berbagi peran sebagai seorang ibu sekaligus karyawan yang sedang bekerja WFH. Tidak jarang, ibu yang sedang bekerja dirumah mendapatkan hambatan proses penyelesaian tugas kantornya seperti ketika menemani anak yang juga melakukan belajar dari rumah (BDR) atau menemani anak bermain agar tidak bosan, melayani suami yang mungkin juga sedang WFH, membuatkan makanan untuk anak dan suami maupun gangguan yang tidak terduga. Peran ganda yang dilakukan istri sekaligus ibu yang bekerja merupakan fenomena yang sering ditemukan pada masa tetap dirumah akibat dari pandemi Covid-19.
Kuswartanti (2020) mengatakan bahwa karyawati yang berperan sekaligus menjadi ibu saat WFH menghadapi situasi rumit yang menempatkan posisi mereka diantara kepentingan keluarga dan kebutuhan untuk bekerja. Dalam perjuangan menuju keseimbangan kerja dan keluarga inilah, maka bermunculan berbagai konflik dan masalah yang harus dihadapi dan dicari jalan keluarnya jika ingin tetap menjalani kedua peran tersebut.
Semakin meningkatnya keterlibatan wanita sebagai tenaga kerja merubah paradigma lama, yaitu bahwa perempuan saat ini juga berposisi sebagai pencari nafkah dan berdampingan secara sejajar dengan suami membiayai perekonomian rumah tangganya (Michel dkk., 2010; Cohen &
Liani, 2009). Fenomena tersebut kemudian memunculkan suatu permasalahan utama berupa dilema diri yang harus membagi fokus dirinya antara menyelesaikan beban pekerjaan di kantor dan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga dalam mengurus rumah tangga. Permasalahan tersebut harus segera direspon, karena kondisi ini bisa memunculkan menurunnya kepuasan kerja yang dirasakan oleh pekerja perempuan yang bersangkutan (Mora, 2017).
Kepuasan kerja merupakan suatu hal yang sangat penting yang perlu diperhatikan bagi seorang tenaga kerja. Menurut Handoko (dalam Imelda dkk, 2019), kepuasan kerja merupakan keadaan emosional yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang dirasakan oleh karyawan dalam memandang pekerjaannya. Tanggapan emosional dapat berupa perasaan puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya, jika berupa perasaan puas maka kepuasaan kerja akan tercapai begitupun sebaliknya. Selain itu, Umar (2010) menyatakan bahwa kepuasan kerja memperlihatkan perasaan karyawan tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan. Menurut Luthans (2006) mengemukakan bahwa terdapat enam aspek dalam kepuasan kerja, yaitu kepuasan pada pekerjaan, gaji, pimpinan, rekan kerja, promosi pekerjaan dan kondisi kerja.
Hal serupa dinyatakan juga oleh Robbins dan Judge (2015) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja merujuk pada sikap kerja yang dihasilkan dari suatu evaluasi pada pekerjaannya.
Karyawan dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan memiliki perasaan positif mengenai pekerjaannya, sedangkan seseorang dengan level rendah memiliki perasaan negatif.
Menurut survei yang telah dilakukan oleh The Conference Board mengatakan bahwa indeks keterlibatan karyawan global menunjukkan bahwa rata-rata kepuasan kerja di seluruh dunia adalah 56,9% dari 100% pada 2020/2021. JobStreet.com juga melakukan survei kepada 17.623 koresponden pada awal bulan Oktober 2021 tentang kepuasan karyawan terhadap pekerjaan mereka yang menunjukkan bahwa 73% karyawan merasa tidak puas dengan pekerjaannya
dikarenakan beberapa faktor. Menurunnya kepuasan kerja juga dibuktikan oleh data penelitian Yuliana dan Yuniasanti (2013) yang menunjukkan bahwa tidak ada subjek yang memiliki tingkat kepuasan kerja tinggi, yang memiliki kepuasan kerja sedang sebanyak 17 orang (53,125%). Subjek penelitian yang memiliki kepuasan kerja rendah sebanyak 15 orang (46,875%).
Selain itu, data tersebut didukung dengan hasil wawancara dengan beberapa karyawati di LPP RRI yang berada di Yogyakarta. Wawancara dilakukan pada tanggal 6 dan 20 Oktober 2021 menggunakan media Whatsapp. Pertanyaan wawancara disusun berdasarkan aspek-aspek kepuasan kerja menurut (Luthans, 2006), yaitu a. pekerjaan, b. gaji, c. pimpinan, d. rekan kerja, e.
promosi pekerjaan dan f. kondisi kerja. Kesimpulan dari wawancara tersebut adalah sebanyak empat dari lima karyawati terindikasi mengalami ketidakpuasan kerja.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut didapati bahwa empat dari lima karyawati di LPP RRI Yogyakarta pada aspek pekerjaan beberapa karyawati terlihat masih rendahnya semangat dalam melaksanakan tugas serta beban tugas yang diberikan di luar tanggung jawabnya, tingkat kerajinan yang rendah ditandai dengan kurangnya disiplin pada saat melaksanakan tugas dan cenderung tidak tepat waktu pada saat menyelesaikannya, sering datang terlambat dikarenakan posisi mereka sebagai seorang Ibu rumah tangga yang harus mengurus anak-anaknya dan mengurus segala keperluan rumah tangga serta melayani suami dan rendahnya motivasi untuk berkreativitas dalam bekerja dan juga adanya ketidakpatuhan karyawan atas kebijakan yang telah diberlakukan oleh organisasi. Pada aspek gaji karyawati juga mengatakan bahwa adanya keterlambatan upah yang diberikan kepada karyawati dan juga tidak sesuainya upah yang diterima oleh para karyawati. Kemudian pada aspek pimpinan salah satu karyawati mengatakan bahwa kurang terjalinnya hubungan dan komunikasi yang baik antara pimpinan kepada para karyawatinya dan juga kurang adanya dukungan sosial yang diberikan selama proses bekerja berlangsung.
Selanjutnya pada aspek rekan kerja beberapa karyawati juga mengatakan kurangnya hubungan sosial yang terjalin antar sesama karyawati sehingga beberapa karyawati cenderung menyelesaikan tugas secara mandiri.
Pada aspek promosi pekerjaan karyawati juga mengeluhkan bahwa promosi pekerjaan yang dilakukan perusahaan tidak berpengaruh terhadap loyalitas yang telah diberikannya kepada perusahaan sehingga beberapa karyawati yang telah lama bekerja terkadang tidak selalu memiliki peluang untuk promosi. Yang terakhir pada aspek kondisi kerja karyawati juga mengeluhkan fasilitas pekerjaan yang kurang memadai sehingga membuat beberapa karyawati cenderung kurang maksimal dalam menyelesaikan tugas yang telah diberikan. Dapat disimpulkan dari gejala- gejala tersebut bahwa karyawati memiliki tingkat kepuasan kerja rendah yang akan berdampak negatif jika dibiarkan berlarut-larut, tentunya akan menghambat tercapainya tujuan organisasi.
Menurut Robbins (2008) menyatakan bahwa penilaian seorang karyawan wanita tentang seberapa dirinya merasa puas atau tidak puas dengan pekerjaan merupakan penyajian yang rumit dari sejumlah elemen pekerjaan yang berlainan. Jadi karyawan wanita yang puas dengan apa yang diperolehnya dari perusahaan akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan dirinya akan terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaliknya karyawan wanita yang kepuasan kerjanya rendah cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang membosankan sehingga dirinya bekerja dengan terpaksa dan asal-asalan. Dengan begitu sudah menjadi suatu keharusan bagi perusahaan untuk menciptakan kepuasan kerja, diharapkan dengan memberi imbalan dan penghargaan kepada karyawan secara adil dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi karyawan wanita tersebut. Sebab kepuasan kerja karyawan wanita bermanfaat bagi peningkatan kinerja, dedikasi dan kedisiplinan karyawan wanita. Karena kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dalam pekerjaan (Situmorang, dkk., 2012).
Seorang karyawati dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi, umumnya mempunyai kebutuhan yang besar untuk mengembangkan diri dan senang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Hasilnya individu jarang datang terlambat dan absen, bersedia bekerja lebih lama dari yang seharusnya, serta berusaha menampilkan kinerja yang terbaik (Prawitasari, dkk., 2007). Hal tersebut pun diperkuat oleh Herzberg (dalam Wartawarga, 2010) yang menerangkan bahwa ciri-ciri perilaku pekerja yang puas adalah memiliki motivasi bekerja yang tinggi dan lebih senang dalam melakukan pekerjaannya, sedangkan ciri-ciri pekerja yang kurang puas adalah malas berangkat ke tempat bekerja dan malas dengan pekerjaannya. Sehingga dengan hal tersebut akan menimbulkan masalah bagi perusahaan berupa tingkat absensi yang tinggi, keterlambatan kerja dan pelanggaran disiplin yang lainnya. Sebaliknya tingkah laku pekerja yang merasa puas akan lebih menguntungkan bagi perusahaan (Wartawarga, 2010).
Menurut Spector (1997) memaparkan bahwa faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja dibagi menjadi 2 kategori besar, yaitu : (1) lingkungan kerja serta faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaan dan memiliki pengaruh penting pada kepuasan kerja, seperti : (a) karakteristik pekerjaan, (b) ketidakleluasaan dalam organisasi, (c) konflik kerja keluarga, (d) stres kerja, (e) beban kerja, (2) faktor individu yang dibawa oleh seseorang ke pekerjaannya, seperti : (a) jenis kelamin, (b) usia, (c) pendidikan). Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja ialah konflik pekerjaan-keluarga. Konflik pekerjaan-keluarga timbul karena adanya suatu ketidakseimbangan antara peran sebagai pekerja atau karyawati dengan peran sebagai anggota keluarga atau ibu. Konflik pekerjaan-keluarga dapat menyebabkan rendahnya kualitas hubungan suami istri, munculnya masalah dalam hubungan antara ibu dan anak, serta timbulnya gangguan tingkah laku pada anak. Selain itu konflik pekerjaan-keluarga juga tidak hanya merugikan diri kita sendiri maupun orang-orang terdekat, melainkan dapat merugikan organisasi salah satunya
perusahaan. Hal tersebut pun sejalan dengan pendapat menurut Ammiriel dkk (2007) yang menyatakan bahwa konflik pekerjaan-keluarga juga dapat menjadi pemicu timbulnya sikap yang negatif terhadap organisasi. Dengan berbagai alasan tersebut maka cukup mendukung agar pentingnya penelitian ini dilakukan. Penelitian yang dilakukan Churiyah (2007) menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kepuasan kerja adalah rendahnya konflik peran, yang mana konflik peran berpengaruh langsung dan signifikan terhadap kepuasan kerja.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Yuliana dan Yuniasanti (2013) mengatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara Konflik Pekerjaan-Keluarga dengan Kepuasan Kerja pada polisi wanita di Polres Kulon Progo. Hasil dari penelitian ini didapat bahwa mayoritas polisi wanita mengalami ketidakpuasan kerja yang mengindikasikan bahwa adanya ketidakmampuan dalam menghadapi tekanan dari pekerjaannya sehingga tingkat konflik keluarga- pekerjaan juga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerjanya. Hal ini merupakan dampak dari peran ganda yang dijalani oleh para polisi wanita. Konflik peran ganda ini disebut konflik pekerjaan-keluarga.
Konflik pekerjaan-keluarga adalah suatu konflik peran yang disebabkan oleh ketidakseimbangan tuntutan peran dalam pekerjaan dan peran dalam keluarga (Spector, 2008).
Selain itu menurut Greenhaus dalam (Muharnis, Etikaerina, & Yulianto, 2011) mendefinisikan konflik pekerjaan-keluarga adalah sebagai suatu konflik yang mengacu pada sejauh mana hubungan antara pekerjaan dan keluarga saling terganggu. Menurut Baltes & Heydens-Gahir (dalam Soeharto 2010) terdapat tiga aspek konflik pekerjaan-keluarga, diantaranya : (1) konflik berdasarkan waktu, (2) konflik berdasarkan tekanan, dan (3) konflik berdasarkan perilaku.
Pada penelitian Apperson dkk, dalam Buhali dan Margaretha (2013), menemukan bahwa ada beberapa tingkatan konflik peran antara pria dan wanita, bahwa wanita mengalami konflik
peran pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan wanita memandang keluarga merupakan suatu kewajiban utama dan harus mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan pada peran kerjanya.
Dalam penelitian yang dilakukan Soeharto (2010) yang menyimpulkan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain konflik pekerjaan-keluarga. Pekerja yang mengalami konflik pekerjaan-keluarga yang tinggi akan mengalami ketidakpuasan terhadap pekerjaan daripada konflik pekerjaan-keluarga yang rendah, dan konflik pekerjaan-keluarga akan lebih mempengaruhi kepuasan kerja pada wanita dan pada pria. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ammiriel (2007) yang menyatakan bahwa konflik pekerjaan-keluarga merupakan salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Hal ini terjadi karena karyawati dituntut bagaimana menyikapi konflik pekerjaan-keluarga dengan pekerjaannya supaya dapat merasa puas dengan pekerjaannya yang diemban tanpa meninggalkan pekerjaannya sebagai karyawati. Karyawati yang sudah menikah dan mempunyai anak akan dihadapkan pada peran sebagai pekerja. Dalam memainkan peran gandanya tersebut terkadang wanita seringkali terlihat kurang mampu untuk mengatur waktu dan kegiatannya dengan baik sehingga karyawati merasakan pekerjaan sebagai kondisi yang penuh dengan tekanan, kondisi ini yang akan mempengaruhi tingkat kepuasan kerja dalam pekerjaan (Hammer & Thompso, dalam Amiriel, 2007).
Menurut Ammiriel dkk (2007) konflik pekerjaan-keluarga timbul karena adanya ketidakseimbangan antara peran sebagai pekerja dengan peran sebagai anggota keluarga sehingga akan memunculkan yang dinamakan ketidakpuasan kerja. Hal ini terjadi karena konflik pekerjaan- keluarga dapat menyebabkan rendahnya kualitas hubungan suami istri, munculnya masalah dalam hubungan antara ibu dan anak, serta timbulnya gangguan tingkah laku pada anak. Selain itu konflik
pekerjaan-keluarga juga dapat menjadi pemicu timbulnya sikap yang negatif terhadap organisasi (Amiriel & Yuwono, 2007).
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Harasti dan Rozana (2020), dengan subjek tenaga kependidikan dan oleh Retnaningrum dan Musadieq (2016) dengan subjek perawat wanita menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara Konflik Pekerjaan-Keluarga dengan Kepuasan Kerja. Saat ini terdapat perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini yaitu terletak pada subjek penelitian dan lokasi penelitian, pada penelitian ini menggunakan subjek karyawati di suatu instansi dan lokasi penelitian terletak di Kota Yogyakarta.
Penelitian ini dilakukan di LPP RRI Yogyakarta. Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) merupakan sebuah lembaga yang bertujuan menyampaikan berita, hiburan, iklan yang ditujukan kepada masyarakat. Fokus utamanya adalah pelayanan dalam bentuk penyiaran informasi khususnya melalui gelombang radio. RRI adalah satu-satunya radio yang menyandang nama negara yang siarannya ditujukan untuk kepentingan bangsa dan negara. RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang independen, netral dan tidak komersial yang berfungsi memberikan pelayanan siaran informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol sosial, serta menjaga citra positif bangsa di dunia internasional.
Besarnya tugas dan fungsi RRI yang diberikan oleh negara melalui UU no 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, PP 11 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik, serta PP 12 tahun 2005, RRI dikukuhkan sebagai satu-satunya lembaga penyiaran yang dapat berjaringan secara nasional dan dapat bekerja sama dalam siaran dengan lembaga penyiaran asing. LPP RRI Yogyakarta memiliki jumlah pegawai sebanyak 105 yang terdapat 19% pegawai laki-laki sebanyak 20 dan 81% pegawai perempuan sebanyak 85. Komposisi tersebut terdiri atas aparatur sipil negara (ASN) sebanyak 62 dan non pegawai negeri (NPN) sebanyak 43 yang kesemuanya berstatus kepegawaian
pada Pemerintah Pusat. LPP RRI Yogyakarta memiliki struktur organisasi yang terdiri dari : Bagian Kantor Pusat, Bagian Direktorat Program dan Produksi, Bagian Direktorat Sumber Daya Manusia dan Umum, Bagian Direktorat Keuangan, Bagian Direktorat Layanan dan Pengembangan Usaha, Bagian Direktorat Teknologi dan Media Baru, Bagian Satuang Pengawasan Intern Kantor Pusat LPP RRI, Bagian Pusat Pemberitaan Kantor Pusat LPP RRI, Bagian Puslitbangdiklat LPP RRI, Bagian Stasiun Siaran Luar Negeri LPP RRI, Bagian Stasiun Penyiaran Tipe A, Bagian Stasiun Penyiaran Tipe B, dan Bagian Stasiun Penyiaran Tipe C.
Adapun visi dari LPP RRI adalah terwujudnya RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang terpercaya dan mendunia. Sementara itu, misi dari LPP RRI salah satunya adalah mengembangkan lembaga yang dinamis, efektif dan efisien dengan sistem manajemen sumber daya (SDM, keuangan, asset, informasi dan operasional) berbasis terknologi informasi dalam rangka mewujudkan tata kelola lembaga yang baik (good corporate governance).
Alasan pemilihan subjek karyawati adalah karena karyawati merupakan orang yang cenderung mengalami Konflik Pekerjaan-Keluarga dan Kepuasan Kerja karena adanya tuntutan pekerjaan yang membuat individu harus melakukan peran ganda antara di kantor dan di rumah.
Sedangkan, pada pemilihan lokasi di Kota Yogyakarta adalah karena daerah ini merupakan wilayah yang cukup maju dan terus mengalami perkembangan dalam bidang industri, hal ini dilakukan karena melihat bahwa terdapat jumlah perempuan yang bekerja relatif cukup besar.
Merujuk pada data yang diperoleh pada tahun 2021 dari BPS memaparkan bahwa penempatan tenaga kerja tahun 2021 untuk perempuan sebanyak 52,51%, sedangkan untuk laki-laki sebanyak 47,49%. Dari data tersebut terlihat bahwa tenaga kerja wanita lebih diminati oleh perusahaan- perusahaan dan beberapa lembaga di wilayah tersebut, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti
permasalahan tersebut mengenai kepuasan kerja karyawati dalam membagi peran sebagai karyawati dan sebagai ibu di rumah.
Maka dari itu berdasarkan uraian latar belakang di atas mengenai konflik pekerjaan- keluarga dan kepuasan kerja pada karyawati di LPP RRI Yogyakarta, peneliti mengajukan rumusan permasalahan yaitu “apakah terdapat hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga dengan kepuasan kerja pada karyawati pada LPP RRI Yogyakarta?”
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga dengan kepuasan kerja pada karyawati di LPP RRI Yogyakarta.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat secara teoritis
a. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu psikologi industri dan organisasi, dan psikologi klinis serta memperkaya kepustakaan yang sudah ada sebelumnya dengan mengungkap lebih jauh tentang kepuasan kerja.
b. Manfaat bagi penelitian selanjutnya sebagai salah satu bentuk referensi dan acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya.
2. Manfaat secara praktis
a. Manfaat penelitian ini bagi perusahaan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan analisis atau acuan organisasi khususnya bagi manajer mengenai masalah yang mungkin dialami oleh karyawati terutama yang menyangkut perasaan puas atau tidaknya karyawati dalam pekerjaannya.
b. Selain itu, diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang hubungan konflik pekerjaan-keluarga yang dialami karyawati sehingga berdampak pada kepuasan kerja karyawati.