No. 314/Skripsi/PSI-FIP/UPI.02.2013
HUBUNGAN ANTARA SIKAP MENGHADAPI
PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN
MASALAH KESEHATAN MENTAL DAN
KEPUASAN KERJA PADA SALES PROMOTION GIRL
DI KOTA BANDUNG
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana psikologi
Oleh:
Herlina Rahmawati 0806957
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA SIKAP MENGHADAPI PERILAKU
PELECEHAN SEKSUAL DENGAN MASALAH KESEHATAN
MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA
SALES PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG
Oleh:
Herlina Rahmawati
0806957
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan
© Herlina Rahmawati 2013
Universitas Pendidikan Indonesia
Februari 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,
ABSTRAK
Herlina Rahmawati (0806957). HUBUNGAN ANTARA SIKAP
MENGHADAPI PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN
MASALAH KESEHATAN MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA
SALES PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG. Skripsi, Jurusan Psikologi
FIP UPI, Bandung (2013).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja pada sales promotion girl. Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan tiga instrumen. Pertama HSCL-25 untuk mengukur masalah kesehatan mental, yang kedua Job Satisfaction Scale-Short Version Brayfield & Rothe untuk mengukur kepuasan kerja, dan terakhir untuk mengukur sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual, peneliti menyusun instrumen berdasarkan teori the tripartite model of attitudes yang dicetuskan Eagly & Chaiken (1993). Teori ini menjelaskan bahwa sikap disusun oleh tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan konasi yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap objek sikap. Hasil penelitian ini menunjukan: (1) Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental. (2) Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan kepuasan kerja dikarenakan terdapat berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja selain sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual.
ABSTRACT
Herlina Rahmawati (0806957). CORRELATION BETWEEN THE ATTITUDE TOWARD SEXUAL HARASSMENT, MENTAL HEALTH PROBLEM, AND JOB SATISFACTION OF SALES PROMOTION GIRL ON BANDUNG. Skripsi, Psychology Major, Education Study Faculty, Education University of Indonesia, Bandung (2013).
This research purpose is to investigate correlation between the attitude toward sexual harassment, mental health problem, and job satisfaction of sales promotion girl. In this research an author used quantitative methode with three instruments. First is HSCL-25 to measures mental health problem, second is Job Satisfaction Scale-Short Version Brayfield & Rothe to measures job satisfaction, and the last is an author’s original instrument based of Eagly & Chaiken’s the tripartite model of attitudes theory (1993) to measure attitude toward sexual harassment. This theory explain that attitude is built by three components, that is cognition, affective, and conative, then the three of them will interact each other to understand, to feel, to behave toward attitude object. The outcomes of this research are: (1) There’s no correlation between the attitude toward sexual harassment and mental health problem. (2) There’s no correlation between the attitude toward sexual harassment and job satisfaction because there’s a lot of factor that can determine job satisfaction other than the attitude.
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 11
C. Tujuan Penelitian 13
D. Manfaat Penelitian 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA 15
A. Landasan Teori 15
1. Pelecehan Seksual 15
a. Definisi Pelecehan Seksual 15
b. Teori Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual 16
c. Jenis-Jenis Pelecehan Seksual 22
d. Efek Pelecehan Seksual 24
2. Sikap 27
a. Definisi Sikap 27
b. Komponen Sikap 29
c. Karakteristik Sikap 30
d. Fungsi Sikap 31
e. Pembentukan dan Perubahan Sikap 32
f. Sikap Sebagai Prediktor Perilaku 33
3. Kesehatan Mental 34
a. Definisi Kesehatan Mental dan Sehat Mental 34
b. Karakteristik Mental yang Sehat 36
c. Masalah Kesehatan Mental 37
4. Kepuasan Kerja 39
a. Definisi Kepuasan Kerja 39
b. Faktor Penentu Kepuasan Kerja 41
c. Dampak dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja 42
B. Hasil Penelitian Terdahulu 44
C. Kerangka Berpikir 47
D. Asumsi 50
BAB III METODE PENELITIAN 52
A. Lokasi dan Sampel Penelitian 52
B. Metode Penelitian 54
C. Variabel Penelitian 54
D. Definisi Konseptual dan Operational 55
E. Instrumen Penelitian 58
F. Proses Pengembangan Instrumen 60
G. Teknik Pengumpulan Data 79
H. Teknik Analisis Data 79
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 81
A. Hasil Penelitian 81
1. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 81
2. Masalah Kesehatan Mental yang Dimiliki SPG 86
3. Kepuasan Kerja SPG 87
4. Korelasi Antar Variabel 88
a. Uji Normalitas Sebaran Data 88
b. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Masalah Kesehatan Mental
90
c. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Kepuasan Kerja
91
B. Pembahasan 92
1. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 92
2. Masalah Kesehatan Mental yang Dimiliki SPG 96
3. Kepuasan Kerja SPG 98
4. Korelasi Antar Variabel 99
a. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Masalah Kesehatan Mental
99
DAFTAR BAGAN
Bagan II.C. Kerangka Berpikir 50
DAFTAR TABEL
Tabel III.F.1. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 61
Tabel III.F.2. Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25) 61
Tabel III.F.3. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short Version)
62
Tabel III.F.4. Reliabilitas Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual
64
Tabel III.F.5. Reliabilitas Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25)
64
Tabel III.F.6. Reliabilitas Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short Version)
65
Tabel III.F.7. Kategorisasi Nilai KMO 66
Tabel III.F.8. Norma Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual
75
Tabel III.F.9. Norma Komponen Kognitif 76
Tabel III.F.10. Norma Komponen Afektif 77
Tabel III.F.11. Norma Komponen Konasi 77
Tabel III.F.12. Norma Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short Version)
78
Tabel III.H.1. Kriteria Interpretasi Hasil Koefisien Korelasi 80 Tabel IV.A.1. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 82 Tabel IV.A.2. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual
Komponen Kognitif
83
Tabel IV.A.3. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual Komponen Afektif
84
Tabel IV.A.4. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual Komponen Konasi
85
Tabel IV.A.5. Masalah Kesehatan Mental 86
Tabel IV.A.6. Kepuasan Kerja 87
Tabel IV.A.7. Uji Normalitas Sebaran Data 88
Tabel IV.A.8. Statistik Deskriptif 89
Tabel IV.A.9. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Masalah Kesehatan Mental
90
Tabel IV.A.10. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Kepuasan Kerja
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bekerja menurut Winarsunu (2008) merupakan mekanisme bagi
seseorang untuk dapat mengaktualisasikan diri, memperluas aktifitas,
memperteguh status dan jangkauan sosial, juga untuk mendapat
penghasilan. Hal demikian juga berlaku untuk kaum perempuan. Saat ini
wanita bukan hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang mengurus
anaknya, memenuhi kebutuhan suami, dan mengerjakan pekerjaan rumah,
melainkan telah banyak wanita baik sebelum maupun setelah menikah, turut
mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Wanita bekerja
menurut Suranto dan Subandi (1998) adalah seorang wanita yang
melakukan aktifitas formal atau nonformal di tempat kerja yang dapat
menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun beberapa
alasan wanita bekerja menurut Matlin (1987) yaitu untuk membantu
menambah penghasilan dalam keluarga atau suami, karena adanya
keinginan untuk memaksimalkan potensi yang ada pada diri wanita, dan
mencari tantangan baru dalam bekerja, sehingga mereka kemudian
memutuskan untuk mencari pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan
mereka dan sesuai dengan kapasitas diri yang dimiliki. Banyak sekali jenis
juga dapat dikerjakan oleh wanita, salah satu profesi yang banyak dipilih
wanita ialah bekerja sebagai SPG.
SPG atau Sales Promotion Girl, adalah profesi yang bergerak di
bidang pemasaran produk (marketing) baik dalam bentuk barang maupun
jasa. SPG merupakan bagian dari divisi ujung tombak perusahaan yang
biasanya berhadapan langsung dengan end user atau bisa juga berhadapan
dengan reseller atau retailer alias pengecer. Hal ini disesuaikan dengan
program yang digunakan oleh perusahaan dalam menggunakan jasa SPG.
(Kampung, 2001). Untuk bekerja menjadi seorang SPG ada beberapa
kriteria yang harus dipenuhi. Yang pertama berkaitan dengan performance
atau tampilan fisik yang terlihat serta pembawaan individu. Pembawaan ini
diukur dari penampilan outlook (penampilan fisik) dan desain dress code
(desain pakaian). Yang kedua adalah kemampuan berkomunikasi.
Komunikasi mutlak harus terpenuhi oleh seorang SPG karena melalui
komunikasi ini akan mampu tercipta interaksi antara SPG dan konsumen.
Dan yang terakhir adalah body language. Body language ini lebih mengarah
pada gerakan fisik, seperti gerakan lemah lembut, gemulai, dan lainnya.
Gerak tubuh ketika menawarkan produk dan sentuhan fisik (body touch)
adalah deskripsi dari body language ini. Jika memenuhi ketiga unsur diatas
terutama aspek performance atau tampilan fisik yang menarik, sangat besar
kemungkinan seorang wanita dapat bekerja sebagai SPG, karena
kemampuan berkomunikasi dan body language dapat dipelajari seiring
Kehadiran SPG dalam sebuah acara promosi dapat membantu
perusahaan untuk menggaet calon konsumen. Hal ini didasari oleh
penampilan SPG yang menarik sehingga menarik perhatian konsumen untuk
mendekati stand perusahaan atau sekedar menerima pamflet dan mencoba
produk yang ditawarkan, baru kemudian kemampuan berkomunikasi yang
berperan untuk memperkenalkan dan menawarkan produk yang dijajakan
kepada konsumen. Maka dari itu penting sekali bagi SPG untuk memiliki
penampilan fisik yang menarik, selain itu juga dapat ditunjang oleh desain
pakaian yang dirancang untuk menarik perhatian konsumen.
Menurut penelitian Fitriana (2008), cara berpakaian SPG sangat
mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli produk yang
ditawarkan yaitu rokok dan hal ini menunjukan bahwa industri rokok sangat
identik dengan SPG sebagai market instrument. Dengan kata lain para
produsen rokok berusaha untuk menjadikan SPG berpenampilan semenarik
mungkin dengan menambahkan pakaian yang menarik perhatian konsumen,
terutama kaum pria sebagai target pasar utama rokok, agar mampu bersaing
dengan produsen lainnya. Tidak jarang pakaian yang dikenakan SPG
cenderung terbuka dan ketat sehingga menonjolkan lekuk tubuh SPG.
Pakaian seragam (dress code) yang telah ditentukan oleh perusahaan
tersebut wajib dikenakan SPG selama bekerja, terlepas dari rasa suka atau
tidak suka SPG mengenakan pakaian tersebut karena hal ini merupakan
Selain itu tanggung jawab SPG ialah memasarkan produk sehingga
mencapai target penjualan. Berbagai cara dapat dilakukan SPG dalam
memasarkan produknya dengan mengandalkan penampilan fisik,
kemampuan berkomunikasi dan body language yang dimiliki. Namun perlu
diwaspadai bahwa sikap ramah dan terbuka yang ditunjukan SPG dapat
disalahartikan oleh konsumen terutama konsumen pria, karena umumnya
sikap ramah tersebut dipersepsikan oleh pria sebagai minat terhadap
seksual. Kaum pria berpikir bahwa secara umum wanita ingin menunjukan
ketertarikan seksualnya dengan bertingkah laku ramah di hadapan pria.
Mispersepsi ini terjadi karena pria memiliki imajinasi mengenai seks lebih
banyak daripada wanita, sehingga wanita yang bekerja akan dilihat dan
diperlakukan sebagai wanita pertama kali oleh pria dan baru kemudian
dipandang sebagai pekerja. Bagi pria identitas gender pada wanita lebih
penting dari pada identitas pekerjaannya (Winarsunu, 2008). Hal ini dapat
menimbulkan resiko terjadinya pelecehan seksual karena faktor utama yang
mempengaruhi terjadinya pelecehan seksual adalah adanya ketertarikan fisik
pelaku terhadap korban, yang dalam kasus ini adalah ketertarikan konsumen
terhadap SPG.
Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam
bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan
tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan,
simbol, isyarat, dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas yang
unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara
sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian
tidak diinginkan korban, kejadian tidak menyenangkan korban, dan
mengakibatkan penderitaan pada korban.
Budiarti (2009) menyebutkan bahwa pelecehan seksual terhadap
wanita di tempat kerja telah tercatat sejak pertama kali perempuan
memasuki pasar tenaga kerja. Ini berarti pelecehan seksual terhadap wanita
di tempat kerja bukanlah suatu persoalan yang baru, tetapi sudah setua umur
sejarah perempuan memasuki dunia kerja (publik) yaitu sejak kapitalisme
berkembang. Farley (dalam Budiarti, 2009) mengatakan bahwa pelecehan
seksual merupakan metode baru yang dikembangkan oleh kapitalisme
dalam mengontrol tenaga kerja wanita. Menurut Budiarti “men have power
over women in society” karena kondisi kekuasaan sosial yang menempatkan
posisi pria lebih tinggi atau lebih berkuasa daripada wanita, maka pria dapat
menyalahgunakan kekuasaannya untuk mendapatkan manfaat keuntungan
seksual terhadap wanita (Budiarti, 2009). Sebagai contoh seorang konsumen
pria dapat melakukan pelecehan seksual terhadap SPG seperti menggoda
dan mencolek SPG dengan alasan jika SPG mengijinkan tindakannya
tersebut maka dia akan membeli produk yang ditawarkan SPG.
Berdasarkan data yang dihimpun ILO pada tahun 2010, tren pelecehan
seksual di tempat kerja terus meningkat. Di Uni Eropa 30-50% wanita dan
10% pria mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dan di kawasan Asia
Perempuan, pada 1998-2010, hampir sepertiga kasus kekerasan terhadap
wanita ialah kekerasan seksual. Terdapat 91.311 kasus kekerasan seksual
dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap wanita (Tempo Interaktif, 23
November 2010). Salah satu kasus pelecehan seksual melibatkan SPG yang
terjadi di Indonesia yaitu kasus pelecehan seksual terhadap SPG oleh
konsumennya di kota Tegal. Saat itu korban merasa dilecehkan di depan
umum ketika menawarkan produk minuman di kantor tempat tersangka
bekerja. Korban mengaku dipeluk dan dicium tersangka dari belakang.
Setelah itu korban mengadukan perbuatan tersangka kepada pihak
kepolisisan dan kepada Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak
(Puspa) Kota Tegal untuk meminta perlindungan dan keadilan atas
pelecehan yang diterima (Suara Merdeka, 25 Mei 2005).
Bercermin dari kasus diatas, pekerja wanita disamping harus
menjalankan pekerjaannya sebagaimana yang harus dilakukan pria, wanita
terutama yang berprofesi sebagai SPG, masih dituntut untuk dapat
melindungi dirinya dari ancaman pelecehan seksual di tempat kerjanya
sendiri. Belum lagi ia harus menghadapi kenyataan pada umumnya bahwa
ancaman bisa terjadi di luar tempat kerjanya. Sebagaimana kaum wanita
lainnya seorang SPG juga merasa takut mengalami perkosaan. Sebenarnya
setiap saat pekerja wanita sudah menjadi korban potensial dari berbagai
macam ancaman yang bisa menimpanya. Bagi kaum wanita pelecehan
seksual bukan lagi merupakan endemic, yang hanya terjadi di tempat
bisa mengancam dan siap menyerang kapanpun dan dimanapun. Menurut
Winarsunu (2008), beberapa penelitian menunjukan bahwa korban
pelecehan seksual 70% adalah wanita dan sedikit sekali korban pria.
Besarnya korban pada wanita ada kaitannya dengan kondisi umum dimana
wanita memiliki kerentanan terutama apabila ia lemah secara ekonomi.
Beberapa variabel yang berhubungan dengan pelecehan seksual, diantaranya
ditemukan bahwa pelecehan seksual mudah dan sering terjadi pada wanita
yang memiliki karakteristik usia yang lebih muda dibanding pelaku, pekerja
baru, wanita yang berstatus lajang, tingkat pendidikan rendah, dan pekerja
magang atau part timer. Winarsunu juga menjelaskan bahwa pelecehan
seksual menimbulkan konsekuensi negatif secara fisik, emosi, dan
mempengaruhi performa kerja korban. Bukan hanya yang menjadi korban
langsung saja yang menderita akibat pelecehan seksual, tetapi juga para
pekerja wanita lain yang menyaksikan atau menjadi saksi ketika pelecehan
seksual itu terjadi. Para saksi tersebut juga mengalami stres meskipun
tarafnya tidak seberat korban utama. Berat ringannya akibat yang diderita
korban dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah penghayatan
korban terhadap peristiwa yang terjadi. Filosofi yang dimiliki korban juga
sangat menentukan penghayatan terhadap peristiwa. Oleh karena itu sikap
yang ditunjukan SPG dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual juga
dapat berbeda-beda.
Menurut Dayaksini dan Hudaniah (2009), sikap merupakan
Manisfestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, akan tetapi harus ditafsirkan
terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup. Menurut Eagly &
Chaiken (1993) sikap merupakan suatu interelasi dari berbagai komponen.
Komponen yang pertama adalah kognitif. Komponen kognitif adalah
komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi dan
keyakinan yang dimiliki seseorang tentang objek sikapnya. Komponen yang
kedua adalah afektif. Komponen afektif berhubungan dengan rasa senang
dan tidak senang. Dan komponen yang terakhir adalah konasi. Komponen
konasi adalah kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan
dengan objek sikapnya. Berdasarkan ketiga komponen di atas, dapat
dinyatakan bahwa sikap SPG pada suatu perilaku yang berkonotasi seksual
merupakan manifestasi dari konstelasi ketiga komponen tersebut yang
saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap
objek sikap.
Dikarenakan sikap yang ditunjukan setiap SPG bervariasi terhadap
perilaku pelecehan seksual, maka efek perilaku pelecehan seksual yang
diterima oleh SPG, baik secara fisik, psikologis, maupun efek terhadap
performansi kerja dapat berbeda-beda pula. Efek terhadap psikologis
berkaitan erat dengan kesehatan mental yang meliputi upaya-upaya
mengatasi stres kerja, bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain, dan
proses pengambilan keputusan (Yusuf, 2009). Menurut penelitian yang
dilakukan Nielsen dan Einarsen (2012), menunjukan perilaku pelecehan
pekerja wanita. Pekerja wanita umumnya merasakan ketidaknyamanan akan
adanya perilaku pelecehan seksual pada lingkungan kerja dan akhirnya
berdampak pada timbulnya masalah kesehatan mental, seperti kecemasan
(anxiety) dan depresi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarsunu (2008)
bahwa efek langsung yang dialami korban pasca mendapat perilaku
pelecehan seksual adalah depresi dan stres pasca trauma.
Selain itu perilaku pelecehan seksual juga dapat dinilai sebagai
gangguan di lingkungan kerja yang mempengaruhi kepuasan kerja yang
dimiliki seorang SPG. Menurut Hasibuan (2009), kepuasan kerja adalah
sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Maka
dari itu terdapat kemungkinan bahwa pelecehan seksual juga memiliki
hubungan yang signifikan dengan rendahnya kepuasan kerja pada pekerja.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nielsen, Bjørkelo,
Notelaers, dan Einarsen terhadap karyawan di Norwegia (2009). Hasil dari
penelitian ini menunjukan bahwa perilaku pelecehan seksual memiliki
hubungan yang signifikan terhadap masalah kesehatan mental dan
rendahnya kepuasan kerja pada karyawan pria dan wanita. Berdasarkan
informasi di atas penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara sikap
menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental
dan kepuasan kerja pada SPG.
Untuk lebih memahami sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan
seksual, penulis mengadakan penelitian pendahuluan dengan melakukan
berlangsung di sebuah restoran cepat saji pada bulan Oktober tahun 2011.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui bahwa SPG yang berinisial
N ini pernah mengalami perilaku pelecehan seksual. Menurut pengakuan N,
dirinya pernah diajak seorang pria ikut ke mobilnya saat tengah bekerja
namun N menolaknya. Sejak saat itu N cenderung menghindar saat dirinya
bertemu pria yang memiliki gelagat yang sama dengan pria yang
sebelumnya mengajak dirinya ke dalam mobil. “Mendingan gue kabur
duluan dari pada diganjenin om-om. Gue sih jutek aja pas kerja kecuali ke
target penjualan gue.” kata N. N juga bercerita bahwa banyak SPG yang
justru bersikap genit untuk memancing tawaran seperti itu dari pria yang
dianggap kaya, seperti saat dirinya sedang jalan-jalan di mall dan kehabisan
uang, teman-temannya mengajak N untuk menggoda seorang pria agar
dapat makan dan berkaraoke gratis. Namun N menolak dan memutuskan
pulang sedangkan teman-temannya melaksanakan niat mereka untuk makan
dan berkaraoke gratis dengan om-om tersebut. Dari keterangan di atas N
memiliki sikap negatif terhadap perilaku pelecehan seksual berdasarkan
pengalaman yang ia miliki sehingga dalam rangka mengantisipasi terjadinya
perilaku serupa, N cenderung bersikap jutek terhadap konsumen pria yang
memiliki gelagat serupa dengan pria sebelumnya yang melakukan pelecehan
seksual terhadap dirinya. Maka dari itu, penulis menjadi semakin tertarik
B. IDENTIFIKASI DAN RUMUSAN MASALAH
1. Identifikasi Masalah
Menurut Winarsunu (2008), bagi pria identitas gender pada wanita
lebih penting dari pada identitas pekerjaannya. Hal ini dapat
menimbulkan resiko terjadinya pelecehan seksual karena faktor utama
yang mempengaruhi terjadinya pelecehan seksual adalah adanya
ketertarikan fisik pelaku terhadap korban, seperti dalam kasus ini adalah
ketertarikan konsumen terhadap SPG, karena ciri khas SPG adalah
memiliki performance atau penampilan fisik yang menarik sebagai salah
satu sarat utama menjadi SPG. Budiarti (2009) mengatakan bahwa
sebagian besar korban pelecehan seksual adalah wanita. Sehingga
pekerja wanita terutama yang berprofesi sebagai SPG dituntut untuk
dapat melindungi dirinya dari ancaman pelecehan seksual di tempat
kerjanya sendiri.
Winarsunu (2008) juga menjelaskan bahwa pelecehan seksual
menimbulkan konsekuensi negatif secara fisik, emosi, dan
mempengaruhi performa kerja korban. Berat ringannya akibat yang
diderita korban dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah
penghayatan korban terhadap peristiwa yang terjadi. Filosofi yang
dimiliki korban juga sangat menentukan penghayatan terhadap
peristiwa. Oleh karena itu sikap yang ditunjukan SPG dalam
menghadapi perilaku pelecehan seksual juga dapat berbeda-beda. Sikap
terhadap rangsang dan merupakan suatu interelasi dari berbagai
komponen, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konasi (Eagly &
Chaiken, 1993).
Dikarenakan sikap yang ditujukan setiap SPG bervariasi terhadap
perilaku pelecehan seksual, maka efek perilaku pelecehan seksual yang
diterima oleh SPG, baik secara fisik, psikologis, maupun efek terhadap
performa kerja dapat berbeda-beda pula. Efek terhadap psikologis
berkaitan erat dengan kesehatan mental yang meliputi upaya-upaya
mengatasi stres kerja, bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain,
dan proses pengambilan keputusan (Yusuf, 2009). Menurut penelitian
yang dilakukan Nielsen, Bjørkelo, Notelaers, dan Einarsen (2009)
perilaku pelecehan seksual memiliki hubungan yang signifikan terhadap
masalah kesehatan mental dan rendahnya kepuasan kerja pada karyawan
pria dan wanita. Berdasarkan informasi di atas penulis tertarik untuk
meneliti hubungan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual
dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja pada Sales
Promotion Girl (SPG).
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan yang
akan dikaji pada penelitian ini berfokus pada beberapa aspek yang
a. Bagaimanakah profil sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan
seksual?
b. Bagaimanakah profil masalah kesehatan mental yang dimiliki
SPG?
c. Bagaimanakah profil kepuasan kerja SPG?
d. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap
menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan
mental dan kepuasan kerja pada SPG?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara sikap menghadapi pelecahan seksual dengan masalah
kesehatan mental dan kepuasan kerja yang dimiliki SPG.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat pada perkembangan
beberapa ilmu psikologi, antara lain dalam bidang psikologi sosial
berkaitan dengan sikap yang ditunjukan Sales Promotion Girl (SPG)
dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual, dalam bidang psikologi
klinis mengenai masalah kesehatan mental yang dimiliki SPG, dan
dalam bidang psikologi industri tentang aspek kepuasan kerja yang
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para SPG dan
instansi-instansi yang menggunakan jasa SPG dalam kegiatan promosi agar
mengetahui dan memahami bentuk pelecehan seksual yang diterima
SPG, sikap SPG dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual, serta
masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja yang dimiliki SPG. Selain
itu, hasil penelitian ini juga dapat membantu SPG maupun instansi yang
mempekerjakan SPG untuk dapat menyusun strategi bagaimana cara
mengantisipasi dan mencegah terjadinya perilaku pelecehan seksual
yang dilakukan pelanggan terhadap SPG, mengatasi masalah kesehatan
mental yang dimiliki SPG, dan meningkatkan kepuasan kerja SPG
BAB III
METODE PENELITIAN
A. LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota Bandung.
2. Sampel Penelitian
Populasi merupakan keseluruhan individu atau objek penelitian
yang memiliki beberapa karakteristik yang sama. Karakteristik tersebut
dapat berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan wilayah
tempat tinggal. Sedangkan subjek penelitan dapat merupakan
sekelompok penduduk di suatu desa, sekolah, atau yang menempati
wilayah tertentu (Latipun, 2010).
Berdasarkan ukurannya, populasi dapat dibagi menjadi dua jenis
yaitu populasi terhingga dan populasi tak terhingga (Sudjana, 2005).
Populasi terhingga adalah populasi yang jumlah subjek di dalamnya
diketahui dengan pasti dan jumlahnya relatif sedikit. Populasi tak
terhingga ialah populasi yang berisikan jumlah subjek yang tak
terhingga karena jumlahnya relatif sangat besar atau populasi yang
jumlah subjek di dalamnya sulit ditentukan dengan pasti. Ukuran
populasi juga dapat mempengaruhi sistem pengambilan sampling. Jika
proses penelitian. Namun jika jumlah subjek dalam populasi tidak
terhingga maka dilakukanlah sistem sampling. Sistem sampling adalah
sistem pengambilan sebagian dari populasi atau dapat disebut dengan
sampel yang kemudian dilibatkan dalam proses penelitan.
Subjek penelitian yang menjadi sampel seharusnya bersifat
representatif atas populasinya. Hakikat kerepresentatifan sampel secara
teoritis dapat dipahami sebagai karakteristik sampel yang identik
dengan populasi. Dalam kenyataannya tidak akan pernah dijumpai
kondisi sampel yang identik dengan populasi, maka dari itu biasanya
kerepresentatifan ditafsirkan sebagai kecenderungan mendekati keadaan
yang identik. Kerepresentatifan sampel dapat dipengaruhi oleh tingkat
homogenitas populasi, yaitu populasi yang disusun oleh subjek-subjek
yang memiliki karakteristik yang relatif sama. Serta semakin besar
jumlah sampel yang dipilih, semakin besar pula derajat
kerepresentatifan sampel penelitian (Latipun, 2010).
Dalam menetapkan sampel terdapat berbagai jenis teknik yang
dapat digunakan dan pemilihan teknik tersebut disesuaikan dengan
keadaan populasi yang akan diteliti. Pada penelitian ini populasi
penelitian adalah Sales Promotion Girl di Kota Bandung dan karena
jumlah populasinya sulit ditentukan maka tergolong kategori populasi
tak terhingga. Teknik pengambilan sampel yang dapat digunakan
kepada populasi tak terhingga yang jumlah populasinya sulit ditentukan
menyertakan perhitungan apapun mengenai derajat kerepresentatifan
sampel. Sehingga untuk meningkatkan derajat kerepresentatifan
sampel, jumlah sampel penelitian harus cukup besar yaitu sedikitnya
100 orang.
B. METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menjelaskan,
meramalkan, dan/atau mengontrol fenomena melalui pengumpulan data
terfokus dari data numerik. Dengan kata lain pendekatan ini menjelaskan
penyebab fenomena sosial melalui pengukuran objektif dan analisis
numerikal (Moleong, 2010). Sedangkan metode penelitian yang digunakan
adalah metode korelasional. Metode ini bertujuan untuk mengetahui
seberapa kuat derajat hubungan antara variabel-variabel penelitian (Sudjana,
2005). Dengan demikian pada penelitian ini yang dicari adalah hubungan
antara sikap terhadap perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan
mental dan kepuasan kerja pada Sales Promotion Girl.
C. VARIABEL PENELITIAN
Pada penelitian ini terdapat tiga variabel, yaitu satu variabel
independent dan dua variabel dependent. Perinciannya sebagai berikut:
Dependent Variabel : masalah kesehatan mental
kepuasan kerja
Adapun paradigma dari tiga ketiga variabel di atas akan digambarkan dalam
bagan di bawah ini.
r1
r2
Bagan III.C. Variabel Penelitian
Keterangan:
X : variabel independent (sikap menghadapi perilaku pelecehan
seksual)
Y1 : variabel dependent 1 (masalah kesehatan mental)
Y2 : variabel dependent 2 (kepuasan kerja)
r1 : korelasi 1
r2 : korelasi 2
D. DEFINISI KONSEPTUAL DAN OPERATIONAL
1. Definisi Konseptual
Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yang akan dicaritahu
hubungan antara ketiganya, yaitu sikap menghadapi perilaku pelecehan
X
seksual, masalah kesehatan mental, dan kepuasan kerja. Adapun definisi
konseptual dari variabel-variabel di atas antara lain:
a. Sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual adalah
kecenderungan untuk bertindak sebagai reaksi terhadap rangsang
objek sikap yaitu perilaku pelecehan seksual. Sikap individu pada
suatu objek sikap merupakan manifestasi dari konstelasi komponen
kognitif, afektif, dan konasi yang saling berinteraksi untuk
memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap objek sikap
(Eagly & Chaiken, 1993).
1) Komponen kognitif tersusun atas dasar pengetahuan atau
informasi yang dimiliki seseorang tentang objek sikapnya. Dari
pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan
tertentu tentang objek sikap tersebut.
2) Komponen afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak
senang, sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan
nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai-nilai yang dimilikinya.
3) Komponen konasi ialah kesiapan seseorang untuk bertingkah
laku yang berhubungan dengan objek sikapnya.
b. Masalah kesehatan mental merupakan gangguan psikologis yang
terdiri atas simptom depression (depresi), simptom anxiety
(kecemasan) dan simptom somatization (somatisasi) secara umum
c. Kepuasan kerja karyawan dapat diukur melalui sikap karyawan
terhadap pekerjaannya yaitu hasil keseluruhan dari derajat rasa
suka atau tidak suka tenaga kerja terhadap berbagai aspek
pekerjaannya (Brayfield & Rothe, dalam Nielsen dkk, 2009).
2. Definisi Operational
Sedangkan definisi operational yang merupakan turunan dari
definisi konseptual dan merupakan acuan dalam penyusunan instrumen
dari ketiga variabel yang diteliti yaitu:
a. Sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual mengukur
kecenderungan SPG untuk berperilaku terhadap pelecehan seksual.
Jika skor sikap tinggi maka individu memiliki sikap yang positif
terhadap perilaku pelecehan seksual, sedangkan jika skornya
rendah maka individu memiliki sikap yang negatif terhadap
perilaku pelecehan seksual.
1) Komponen kognitif mengukur bagaimana individu memaknai
dan menilai suatu perilaku sebagai pelecehan seksual terhadap
dirinya. Semakin tinggi skor yang didapat, semakin positif
pemaknaan individu terhadap perilaku pelecehan seksual.
2) Komponen afektif mengukur bagaimana perasaan individu
terhadap perilaku pelecehan seksual, apakah perasaan tersebut
semakin positif penilaian individu terhadap perilaku pelecehan
seksual.
3) Komponen konasi mengukur kesiapan individu menghadapi
subjek pelaku pelecehan seksual. Semakin tinggi skor yang
didapat, semakin tinggi kecenderungan individu mendekati
subjek, dan semakin rendah skor yang didapat, semakin tinggi
kecenderungan individu untuk menolak atau menghindari
subjek pelaku pelecehan seksual.
b. Masalah kesehatan mental mengukur apakah individu dapat
dikatakan memiliki mental yang sehat atau tidak. Individu dapat
dikatakan memiliki masalah kesehatan mental berkaitan dengan
perilaku pelecehan seksual yang dihadapi jika rata-rata skor yang
didapat ≥ 1,75.
c. Kepuasan kerja dalam penelitian ini hanya mengacu pada persepsi
SPG terhadap pekerjaannya. Semakin tinggi nilai SPG maka
semakin tinggi nilai kepuasan kerjanya.
E. INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen penelitian merupakan alat bantu yang digunakan oleh
peneliti dalam rangka mempermudah kegiatan pengumpulan data sehingga
hasilnya lebih sistematis (Arikunto, 2006). Pada penelitian kuantitatif
instrumen penelitian dimaksudkan sebagai alat pengumpul data layaknya
variabel, maka terdapat pula tiga alat ukur atau instrumen. Instrumen yang
pertama bertujuan untuk mengukur sikap terhadap perilaku pelecehan
seksual dirancang oleh peneliti berdasarkan teori sikap menurut Eagly &
Chaiken (1993). Menurut teori tersebut sikap merupakan kecenderungan
untuk bertindak sebagai reaksi terhadap rangsang objek sikap yaitu perilaku
pelecehan seksual dan terdiri atas tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan
konasi.
Instrumen yang kedua merupakan adaptasi dari The Hopkins Symptom
Checklist versi 25 item (HSCL-25) guna mengukur masalah kesehatan
mental. HSCL-25 merupakan versi kecil dari HSCL yang terdiri dari 58
item dengan lima dimensi, sedangkan HSCL-25 terdiri dari tiga dimensi
yaitu depression (depresi), anxiety (kecemasan) dan somatization
(somatisasi). Item-item dalam HSCL disusun berdasarkan penilaian ahli
klinis yaitu Rickels dan Uhlenhuth dimana keduanya telah berpengalaman
dalam menangani berbagai masalah klinis sehingga memenuhi kualifikasi
untuk menyusun alat ukur masalah kesehatan mental. Selain itu HSCL juga
telah melalui proses analisis faktor dengan rotasi orthogonal dan oblique
terhadap 1.115 pasien anxiety. HSCL memiliki empat pilihan jawaban yaitu
tidak pernah, jarang, kadang-kadang, dan sering kali, serta keempatnya
diberi nilai 1 sampai dengan 4 (Derogatis, 2001). Penggunaan HSCL-25
pada penelitian ini didasari oleh penelitian terdahulu yaitu yang dilakukan
oleh Nielsen, Bjørkelo, Notelaers, dan Einarsen (2009) yang menunjukan
diakibatkan pengalaman mendapat perilaku pelecehan seksual pada
lingkungan pekerjaan. Nilai reliabilitas HSCL-25 diukur melalui Cronbach
Alpha dan 9735 partisipan menunjukan nilai 0,93 yang berarti sangat
reliabel. Serta berdasarkan hasil uji coba instrumen tersebut ditentukan nilai
batas minimum individu dapat dikategorikan memiliki masalah kesehatan
mental ialah 1,75 (Strand, 2002).
Instrumen yang ketiga juga merupakan adaptasi dari The Job
Satisfaction Scale-Short Version ciptaan Brayfield & Rothe (dalam Nielsen,
2009). Alat ukur ini terdiri atas lima item dan dua diantaranya adalah item
unfavorable, serta lima pilihan jawaban. Nilai reliabilitas instrumen diukur
melalui Cronbach Alpha ialah 0,81 yang berarti reliabel.
F. PROSES PENGEMBANGAN INSTRUMEN
Proses pengembangan instrumen terdiri atas beberapa tahap, antara
lain (Ihsan, 2009):
1. Menyusun definisi konseptual dan operational
Definisi konseptual adalah definisi konstruk yang akan diukur untuk
membedakan konsep satu perilaku dengan perilaku yang lain. Definisi
ini diperoleh dari kajian pustaka atau teori-teori yang telah
dikembangkan agar penyusunan konsep pengukuran masih dalam
koridor ilmiah.
Definisi operasional adalah yang menjembatani antara suatu definisi
adalah indikator-indikator perilaku yang bisa diukur secara empiris.
Definisi operasional dapat ditampilkan dalam bentuk blue print.
2. Konstruksi item
Konstruksi item adalah menyusun pernyataan-pernyataan yang
mencerminkan indikator perilaku. Jumlah item awal yang dibuat
minimal dua kali lipat dari jumlah target indikator perilaku untuk
menghindari adanya indikator yang tidak terwakili dalam kumpulan
item final. Pernyataan yang disusun adalah pernyataan yang favorabel
dan unfavorabel. Pernyataan favorabel adalah pernyataan yang
mencerminkan perilaku yang menunjukan kecenderungan terhadap
perilaku tersebut. Sedangkan pernyataan unfavorabel adalah
pernyataan yang mencerminkan perilaku yang tidak menunjukan
kecenderungan terhadap perilaku tersebut. Adapun rancangan item
dari tiap instrumen antara lain:
a. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual
NO INDIKATOR ITEM
1 Kognitif 11 item, dari item 1 sampai dengan 11. 2 Afektif 10 item, dari item 12 sampai dengan 21. 3 Konasi 11 item, dari item 22 sampai dengan 32.
Tabel III.F.1. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual
b. Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25)
c. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short
Version)
NO INDIKATOR ITEM
1 Kepuasan Kerja
(Job Satisfaction)
5 item, dari item 58 sampai dengan 62
Tabel III.F.3. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short
Version)
Untuk lebih jelasnya blue print dari setiap instrumen disertakan pada
lampiran.
3. Mencari validitas isi melalui proses professional judgement dari
sedikitnya dua orang pakar di bidang yang berkaitan dengan penelitian
yang akan dilakukan (Suryabrata, 2005). Dalam penelitian ini pakar
yang memberikan judgement pada ketiga instrumen adalah Diah
Zaleha W., S.Psi., M.Si. dan Medianta Tarigan, M.Psi. Adapun
pernyataan hasil judgement dapat dilihat di lampiran.
4. Pemilihan Item
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memilih item final,
yaitu Critical Ratio (korelasi internal), Corrected Item Total
Correlation (korelasi item total terkoreksi), Discriminatory Power
(daya beda), rata-rata korelasi antar item, dan Unrotated Factor 1.
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah Corrected Item
Total Correlation. Metode ini bertujuan untuk mencari korelasi antara
skor item dengan skor total dari sisa item lainnya. Item yang dipilih
menjadi item final adalah item yang memiliki korelasi item total ≤
instrumen sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual menunjukan
bahwa item 7, 8, 11, 23, 24, 25, 29, 31, dan 32 memiliki korelasi item
total terkoreksi di bawah 0,30 sehingga item tersebut tidak dapat
digunakan sebagai item final. Maka dari itu item final yang tersisa
setelah dipotong item diatas yang korelasinya di bawah 0,30 terdiri
atas 23 item dan kemudian urutan nomornya akan disesuaikan.
5. Uji reliabilitas dengan menggunakan Cronbach Alpha .
Reliabilitas tes adalah sejauh mana hasil suatu tes dapat dipercaya.
Sebuah tes dapat dikatakan reliabel atau dipercaya jika memberikan
hasil yang sama dalam atribut diukur yang didapat dari pengukuran,
peserta, dan tes yang sama. Menurut Azwar (1999) reliabilitas
mengacu kepada keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna
kecermatan pengukuran. Pengukuran yang tidak reliabel akan
menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor
yang terjadi diantara individu lebih ditentukan oleh faktor eror
daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya. Dalam aplikasinya,
reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya
berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien
reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi
reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati
angka 0 berarti semakin rendahnya reliabilitasnya. Salah satu teknik
Alpha. Adapun hasil dari reliabilitas dari ketiga instrumen sebagai
berikut:
a. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.857 23
Tabel III.F.4. Reliabilitas Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan
Seksual
Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas dengan
menggunakan Cronbach Alpha, diketahui koefisien reliabilitas
dari instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual
yaitu 0,857. Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen ini dapat
dipercaya (reliabel) karena mendekati 1,00.
b. Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25)
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.806 25
Tabel III.F.5. Reliabilitas Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25)
Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas dengan
menggunakan Cronbach Alpha, diketahui koefisien reliabilitas
dari instrumen Masalah Kesehatan Mental yaitu 0,806. Hasil ini
menunjukkan bahwa instrumen ini dapat dipercaya (reliabel)
c. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short
Version)
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.665 5
Tabel III.F.6. Reliabilitas Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction
Scale-Short Version)
Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas dengan
menggunakan Cronbach Alpha, diketahui koefisien reliabilitas
dari instrumen Kepuasan Kerja yaitu 0,665. Hasil ini menunjukkan
bahwa instrumen ini cukup dapat dipercaya (reliabel) karena
mendekati 1,00.
6. Uji validitas konstuk melalui analisis faktor eksploratori.
Hanya instrument Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual saja
yang menjalani proses ini, karena kedua instrumen lainnya merupakan
instrumen adaptasi yang telah melalui analisis faktor sebelumnya dan
telah diketahui nilai reliabilitas dan validitas isinya.
Analisis faktor eksploratori memiliki dua kegunaan berkaitan dengan
tujuan-tujuan analisis. Yang pertama adalah tujuan eksploratori (goals
of exploratory) yaitu memberikan penjelasan-penjelasan dan
mengidentifikasi dimensi-dimensi sebagaimana yang dinilai oleh
instrumen pengukuran. Kegunaan yang kedua ialah reduksi data (data
reduction) yaitu mengidentifikasi item-item dari sebuah susunan
dalam jumlah yang lebih sedikit. Analisis faktor berkaitan erat dengan
validitas sehingga penting sekali untuk dilakukan dalam rangka
mengetahui sejauh mana hasil analisis faktor sesuai dengan rancangan
instumen yang dibuat (Ihsan, 2009). Adapun tahapan-tahapan dalam
analisis faktor eksploratori antara lain:
a. Memilih dimensi yang layak untuk dianalisis dengan menggunakan
metode KMO MSA (Keiser Meyer Olkin Measure of Sampling
Adequacy), Bartlets Test, dan Anti Image Correlation.
Dalam menentukan kelayakan dimensi, Bartlets Test
menggunakan hipotesis sebagai berikut:
Hₒ = dimensi belum layak untuk dianalisis faktor
Hᵢ = dimensi layak untuk dianalisis faktor
Dengan ketentuan:
Angka signifikansi < 0,05 : Hₒ ditolak
Angka signifikansi > 0,05 : Hₒ diterima
Sedangkan angka KMO MSA berkisar antara 0 s/d 1. Adapun
kriteria kelakayan dimensi menurut Gebotys (dalam Ihsan, 2009)
sebagai berikut.
KATEGORISASI NILAI KMO
Nilai KMO Derajat Varian Umum
0,90 s/d 1,00 Bagus Sekali
0,80 s/d 0,89 Bagus
0,70 s/d 0,79 Cukup Bagus
0,50 s/d 0,59 Jelek
0,00 s/d 0,49 Jangan dianalis faktor
Tabel III.F.7. Kategorisasi Nilai KMO
Kemudian untuk menentukan kelayakan item untuk dianalis faktor
pada matriks Anti Image Correlation, item yang memiliki korelasi
anti image ≥ 0,5 dapat dianalisis faktor, sedangkan yang memiliki
korelasi < 0,5 harus dibuang dan dilakukan uji KMO MSA ulang.
Pada penelitian ini dikarenakan jumlah item final cukup banyak
yaitu 23 item, maka proses penilaian kelayakan variabel dilakukan
per-dimensi (Ihsan, 2009).
1) Kognitif
Berdasarkan hasil di atas nilai KMO MSA 8 item pada dimensi
ini adalah 0,678 yang berarti termasuk kategori cukup layak
untuk dianalis faktor. Sedangkan angka signifikansi Bartlett's
Test of Sphericity ialah 0,00 yang berarti layak untuk dianalisis
faktor. Dan untuk Anti Image Correlation Matrixes dapat
dilihat bahwa nilai seluruh item pada dimensi ini lebih besar
dari 0,5 yang berarti semua item layak untuk dianalisis faktor.
2) Afektif
Berdasarkan hasil di atas nilai KMO MSA 10 item pada
dimensi ini adalah 0,700 yang berarti termasuk kategori cukup
bagus untuk dianalis faktor. Sedangkan angka signifikansi
dapat dilihat bahwa nilai seluruh item pada dimensi ini lebih
besar dari 0,5 yang berarti semua item layak untuk dianalisis
faktor.
3) Konasi
Berdasarkan hasil di atas nilai KMO MSA 5 item pada dimensi
ini adalah 0,707 yang berarti termasuk kategori cukup bagus
untuk dianalis faktor. Sedangkan angka signifikansi Bartlett's
Test of Sphericity ialah 0,00 yang berarti layak untuk dianalisis
faktor. Dan untuk Anti Image Correlation Matrixes dapat
dilihat bahwa nilai seluruh item pada dimensi ini lebih besar
dari 0,5 yang berarti semua item layak untuk dianalisis faktor.
b. Ekstraksi faktor dan rotasi faktor
1) Reduksi Data
Mereduksi data ialah mempersempit atau menyederhanakan
jumlah item menjadi lebih sedikit. Dengan kata lain meringkas
kebanyakan informasi asli (varian) dalam sebuah jumlah
minimum faktor untuk tujuan prediksi.
a) Ekstraksi faktor menggunakan Principal Component
Analysis. Tujuannya adalah untuk menentukan jumlah
faktor. Principal Component Analysis menganalisis
matriks korelasi antara item yang diukur dengan nilai 1,0
dari diagonal utama. Maka component analysis adalah
diukur (total variances). Jika muatan faktor lebih besar
dari 0,600 maka analisis faktor dianggap reliabel (Ihsan,
2009).
1) Kognitif
Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa
indikator ini hanya memiliki tiga faktor. Item 1, 2, 4,
5, 6, dan 7 memiliki muatan faktor lebih besar sama
dengan 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam
faktor pertama. Item 8 memiliki muatan faktor lebih
besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke
dalam faktor kedua. Sedangkan item 3 memiliki
muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item
tersebut masuk ke dalam faktor pertama namun
kurang reliabel.
2) Afektif
Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa
indikator ini hanya memiliki empat faktor. Item 11
dan 14 memiliki muatan faktor lebih besar sama
dengan 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam
faktor pertama. Item 9 dan 17 memiliki muatan
faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel
masuk ke dalam faktor kedua. Sedangkan item 10,
0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam
faktor pertama namun kurang reliabel. Begitu pula
dengan item 16 memiliki muatan faktor kurang dari
0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam
faktor kedua namun kurang reliabel dan item 12
yang juga memiliki muatan faktor kurang dari 0,600
yang berarti item tersebut masuk ke dalam faktor
ketiga namun kurang reliabel.
3) Konasi
Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa
indikator ini hanya memiliki satu faktor. Item 21, 22
dan 23 memiliki muatan faktor lebih besar sama
dengan 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam
faktor pertama. Sedangkan item 19 dan 20 memiliki
muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item
tersebut masuk ke dalam faktor pertama namun
kurang reliabel.
b) Rotasi faktor menggunakan Varimax. Metode Varimax
termasuk jenis rotasi Orthogonal yaitu rotasi yang
bertujuan untuk menjaga faktor-faktor agar tidak
berkorelasi. Biasanya terjadi perubahan pada muatan
faktor setelah dirotasi yaitu menjadi cenderung lebih
1) Kognitif
Setelah dilakukan rotasi terjadi perubahan besaran
muatan faktor pada seluruh item. Item 3, 5, dan 6
memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang
berarti reliabel masuk ke dalam faktor pertama. Item
1 dan 4 memiliki muatan faktor lebih besar dari
0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor
kedua. Item 8 memiliki muatan faktor lebih besar
dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam
faktor ketiga. Sedangkan item 2 dan 7 memiliki
muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item
tersebut masuk ke dalam faktor ketiga namun kurang
reliabel.
2) Afektif
Setelah dilakukan rotasi terjadi perubahan besaran
muatan faktor pada seluruh item. Item 11, 13, dan 18
memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang
berarti reliabel masuk ke dalam faktor pertama. Item
9 dan 17 memiliki muatan faktor lebih besar dari
0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor
kedua. Item 12 dan 14 memiliki muatan faktor lebih
besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke
faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel
masuk ke dalam faktor keempat. Sedangkan item 16
memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang
berarti item tersebut masuk ke dalam faktor kedua
namun kurang reliabel dan item 15 juga memiliki
muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item
tersebut masuk ke dalam faktor keempat namun
kurang reliabel.
3) Konasi
Dikarenakan dimensi ini hanya memiliki satu faktor,
sehingga proses rotasi tidak dapat dilakukan.
2) Penamaan faktor dan kemudian hasilnya ditampilkan dalam
bentuk blue print yang baru. Penamaan faktor perlu dilakukan
terhadap hasil pengelompokan muatan faktor pada
faktor-faktor untuk menandai bahwa faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor
laten (tersembunyi) yang mempengaruhi sebuah kontruk tes.
Intepretasi faktor hanya dilakukan terhadap faktor-faktor yang
meyakinkan saja (reliabel) atau yang muatannya tinggi. Faktor
akan diberi nama tergantung pada muatan faktor tertinggi yang
dimiliki oleh dimensi. Sebuah faktor dapat memiliki muatan
faktor lebih dari satu. Nama-nama item yang muatan
faktor (Ihsan, 2009). Adapun untuk blue print baru akan
disertakan dalam lampiran.
3) Eksploratori
Menurut Hair, Anderson, Tatham, dan Black (dalam Ihsan,
2009) eksploratori adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang
berdampak pada variabel apa yang menyebar pada varian
umum. Dengan kata lain asumsi atas komunalitas dari faktor
yang diukur atau varian dalam pengukuran ditampilkan oleh
prosedur.
a) Ekstraksi faktor menggunakan pendekatan Common
Factor Analysis dengan metode ekstraksi Unweigthed
Least Square. Common Factor Analysis berfungsi
menganalisis matriks korelasi antara faktor yang diukur
dengan estimasi komunalitas pada diagonal utama.
Dengan menganalisis matriks tereduksi, Common Factor
Analysis hanya berusaha menghadirkan varian umum
variabel yang terdiri atas faktor tampak dan faktor laten
(tersembunyi) untuk membantu konseptualisasi. Muatan
faktor hasil proses ekstraksi dianggap reliabel jika lebih
besar dari 0,600 (Ihsan, 2009).
Hasil dari ekstraksi di atas menunjukan faktor 1 dan 8
memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang
pertama. Sedangkan faktor 2, 3, 4, 5, dan 6 memiliki
muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item
tersebut masuk ke dalam kelompok faktor pertama
namun kurang reliabel. Dan faktor 7 memiliki muatan
faktor kurang dari 0,600 yang berarti item tersebut
masuk ke dalam kelompok faktor kedua namun kurang
reliabel.
b) Rotasi faktor menggunakan Oblique. Metode ini terbuka
untuk faktor berkorelasi sehingga lebih realistis dan lebih
akurat dalam pengelompokan faktor. Hal ini dikarenakan
poros setiap faktor terotasi dan menjadi lebih mendekati
kepada kelompok faktor yang representatif, serta
memberikan informasi mengenai sejauhmana
faktor-faktor berkorelasi satu sama lain (Ihsan, 2009).
Berdasarkan hasil diatas dapat dilihat bahwa faktor 1, 2,
dan 8 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang
berarti faktor tersebut memiliki korelasi positif yang kuat
terhadap kelompok faktor pertama. Sedangkan faktor 3
dan 5 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang
menunjukan adanya korelasi positif antara faktor tersebut
dengan kelompok faktor pertama namun kurang begitu
kuat. Faktor 4 dan 7 memiliki muatan faktor lebih besar
kuat terhadap kelompok faktor kedua. Sedangkan faktor
6 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang
menunjukan adanya korelasi positif antara faktor tersebut
dengan kelompok faktor kedua namun kurang begitu
kuat.
7. Norma instrumen
Adapun norma dari tiap instrumen guna memudahkan kelak dalam
analisis data antara lain sebagai berikut:
a. Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual
Norma pada instrumen ini disusun berdasarkan norma kelompok.
Norma Kategori Keterangan
63,91 < x ≤ 115,00 Sangat Positif SPG memiliki sikap sangat positif terhadap perilaku pelecehan
54,16 < x ≤ 63,90 Positif SPG memiliki sikap positif terhadap perilaku pelecehan
44,42 < x ≤ 54,15 Netral SPG memiliki sikap netral terhadap perilaku pelecehan seksual karena
bekerja sebagai SPG.
34,68 < x ≤ 44,41 Negatif SPG memiliki sikap negatif terhadap perilaku pelecehan
Tabel III.F.8. Norma Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual
1) Kognitif
Norma Kategori Keterangan
23,66 < x ≤ 40,00 Sangat Positif Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang sangat positif
dan menguntungkan SPG sehingga perilaku tersebut tidak lagi dapat
dikatakan sebagai pelecehan.
19,52 < x ≤ 23,65 Positif Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang positif dan
tidak merugikan SPG sehingga perilaku tersebut tidak lagi dapat dikatakan sebagai pelecehan bagi
SPG.
15,38 < x ≤ 19,51 Netral Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang sering kali
11,24 < x ≤ 15,37 Negatif Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang negatif dan
8,00 ≤x ≤ 11, 23 Sangat
28,91 < x ≤ 50,00 Sangat Positif SPG sangat menyukai adanya perilaku pelecehan seksual di
lingkungan kerjanya dan mengharapkan dirinya mendapat
perilaku tersebut.
24,01 < x ≤ 28,90 Positif SPG menyukai perilaku pelecehan seksual yang dirinya terima.
19,10 < x ≤ 24,00 Netral SPG tidak keberatan mendapat perilaku pelecehan seksual.
14,20 < x ≤ 19,09 Negatif SPG tidak menyukai perilaku pelecehan seksual yang dirinya
11,64 < x ≤ 14,32 Mendekati SPG mendekati pelanggan yang berpotensi melakukan pelecehan
8,95 < x ≤ 11,63 Mengabaikan SPG melakukan promosi dengan intensitas yang sama pada setiap pelanggan baik pelanggan tersebut
melakukan pelecehan seksual maupun tidak.
6,25 < x ≤ 8,94 Menghindari SPG menghindari pelanggan yang melakukan pelecehan seksual pada
Norma pada instrumen ini telah ditentukan yaitu individu memiliki
masalah kesehatan mental jika memiliki skor ≥ 1,75.
c. Kepuasan Kerja
Norma pada instrumen ini disusun oleh peneliti berdasarkan
norma ideal yaitu:
Tabel III.F.12. Norma Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction
G. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ialah dengan
menggunakan instrumen untuk mengukur tiga varibel yang diteliti dan
kemudian disebarkan kepada subjek penelitian yaitu Sales Promotion Girl
sejumlah 103 orang.
H. TEKNIK ANALISIS DATA
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara
sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan
mental dan kepuasan kerja pada SPG, teknik statistik yang digunakan
tergantung hasil uji normalitas data. Jika hasil uji normalitas data
menunjukan hasil sebaran data normal maka digunakan Pearson’s
Correlation Coefficient, dan jika hasil sebaran data tidak normal maka
digunakan Spearman’s Roe. Pearson’s Correlation Coefficient adalah
parametrik statistik yang digunakan untuk mengukur hubungan antara dua
variabel atau lebih yang memiliki distribusi data normal, sedangkan
Spearman’s Roe adalah non parametrik statistik yang digunakan untuk
mengukur hubungan antara dua variabel atau lebih yang memiliki distribusi
data tidak normal (Field, 2000). Hasil yang diperoleh dari perhitungan
kedua teknik statistik tersebut berupa koefisien korelasi antar variabel.
Koefisien korelasi adalah pengukuran statistik yang digunakan untuk
melihat kekuatan hubungan linear dan arah hubungan antara dua variabel
(Sarwono, 2009). Berikut adalah kriteria yang digunakan untuk melakukan
interpretasi hasil koefisien korelasi:
Interval koefisien Tingkat Hubungan
1,00 Korelasi sempurna
>0,75 – 0,99 Korelasi sangat kuat
>0,50 – 0,75 Korelasi kuat
>0,25 – 0,50 Korelasi lemah
>0,00– 0,25 Korelasi sangat lemah
0,00 Tidak ada korelasi
(Sarwono, 2000)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pada penelitian ini ditemukan beberapa informasi yang dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Sebagian besar SPG memiliki sikap netral terhadap perilaku pelecehan
seksual. Netral disini memiliki pengertian bahwa SPG menganggap
perilaku pelecehan seksual merupakan hal yang sering kali terjadi pada
dirinya dan merupakan bagian dari resiko kerja yang harus dihadapi
jika tetap ingin bekerja sebagai SPG.
2. Sebagian besar SPG tidak mengalami masalah kesehatan mental,
namun memiliki simptom somatisasi. Hal ini dikarenakan simptom
somatisasi yang ditunjukan oleh hampir setengah dari sampel SPG yang
diteliti sebenarnya merupakan gangguan fisik semata yang disebabkan
kelelahan fisik, bukan merupakan masalah kesehatan mental karena
tidak didasari anxiety tanpa adanya landasan penyakit organis meskipun
ciri fisiknya sama dengan gangguan somatisasi.
3. Tingkat kepuasan kerja yang dimiliki SPG relatif tinggi. Hal ini
dikarenakan penilaian atau persepsi SPG terhadap pekerjaannya
cenderung positif. SPG menilai bahwa profesinya saat ini dianggap
pembawaan SPG itu sendiri, dan dapat memenuhi dorongan SPG untuk
mengaktualisasikan dirinya.
4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi
perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental. Hal ini
disebabkan fungsi sikap sebagai bentuk pemahaman mereka terhadap
perilaku pelecehan seksual dalam rangka penyesuaian sosial sekaligus
cara mereka mengkomunikasikan nilai dan identitas yang dimiliki serta
bentuk pertahanan diri, sehingga sikap tersebut tidak dapat menentukan
apakah SPG akan memiliki masalah kesehatan mental atau tidak. Sikap
positif SPG terhadap perilaku pelecehan seksual tidak menjamin SPG
tidak memiliki masalah kesehatan mental, begitu pula sikap negatif
tidak menentukan SPG tidak memiliki masalah kesehatan mental.
5. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi
perilaku pelecehan seksual dengan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan
terdapat berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja
selain sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual, antara lain gaji,
lingkungan kerja, dan beban kerja.
B. SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mencoba
memberikan saran kepada beberapa pihak sebagai berikut:
1. Kepada SPG dan calon SPG diharapkan mengetahui dan memahami