• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SIKAP MENGHADAPI PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN MASALAH KESEHATAN MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA SALES PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SIKAP MENGHADAPI PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN MASALAH KESEHATAN MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA SALES PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

No. 314/Skripsi/PSI-FIP/UPI.02.2013

HUBUNGAN ANTARA SIKAP MENGHADAPI

PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN

MASALAH KESEHATAN MENTAL DAN

KEPUASAN KERJA PADA SALES PROMOTION GIRL

DI KOTA BANDUNG

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana psikologi

Oleh:

Herlina Rahmawati 0806957

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

HUBUNGAN ANTARA SIKAP MENGHADAPI PERILAKU

PELECEHAN SEKSUAL DENGAN MASALAH KESEHATAN

MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA

SALES PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG

Oleh:

Herlina Rahmawati

0806957

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan

© Herlina Rahmawati 2013

Universitas Pendidikan Indonesia

Februari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Herlina Rahmawati (0806957). HUBUNGAN ANTARA SIKAP

MENGHADAPI PERILAKU PELECEHAN SEKSUAL DENGAN

MASALAH KESEHATAN MENTAL DAN KEPUASAN KERJA PADA

SALES PROMOTION GIRL DI KOTA BANDUNG. Skripsi, Jurusan Psikologi

FIP UPI, Bandung (2013).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja pada sales promotion girl. Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan tiga instrumen. Pertama HSCL-25 untuk mengukur masalah kesehatan mental, yang kedua Job Satisfaction Scale-Short Version Brayfield & Rothe untuk mengukur kepuasan kerja, dan terakhir untuk mengukur sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual, peneliti menyusun instrumen berdasarkan teori the tripartite model of attitudes yang dicetuskan Eagly & Chaiken (1993). Teori ini menjelaskan bahwa sikap disusun oleh tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan konasi yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap objek sikap. Hasil penelitian ini menunjukan: (1) Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental. (2) Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan kepuasan kerja dikarenakan terdapat berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja selain sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual.

(7)

ABSTRACT

Herlina Rahmawati (0806957). CORRELATION BETWEEN THE ATTITUDE TOWARD SEXUAL HARASSMENT, MENTAL HEALTH PROBLEM, AND JOB SATISFACTION OF SALES PROMOTION GIRL ON BANDUNG. Skripsi, Psychology Major, Education Study Faculty, Education University of Indonesia, Bandung (2013).

This research purpose is to investigate correlation between the attitude toward sexual harassment, mental health problem, and job satisfaction of sales promotion girl. In this research an author used quantitative methode with three instruments. First is HSCL-25 to measures mental health problem, second is Job Satisfaction Scale-Short Version Brayfield & Rothe to measures job satisfaction, and the last is an author’s original instrument based of Eagly & Chaiken’s the tripartite model of attitudes theory (1993) to measure attitude toward sexual harassment. This theory explain that attitude is built by three components, that is cognition, affective, and conative, then the three of them will interact each other to understand, to feel, to behave toward attitude object. The outcomes of this research are: (1) There’s no correlation between the attitude toward sexual harassment and mental health problem. (2) There’s no correlation between the attitude toward sexual harassment and job satisfaction because there’s a lot of factor that can determine job satisfaction other than the attitude.

(8)

DAFTAR ISI

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 11

C. Tujuan Penelitian 13

D. Manfaat Penelitian 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA 15

A. Landasan Teori 15

1. Pelecehan Seksual 15

a. Definisi Pelecehan Seksual 15

b. Teori Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual 16

c. Jenis-Jenis Pelecehan Seksual 22

d. Efek Pelecehan Seksual 24

2. Sikap 27

a. Definisi Sikap 27

b. Komponen Sikap 29

c. Karakteristik Sikap 30

d. Fungsi Sikap 31

e. Pembentukan dan Perubahan Sikap 32

f. Sikap Sebagai Prediktor Perilaku 33

3. Kesehatan Mental 34

a. Definisi Kesehatan Mental dan Sehat Mental 34

b. Karakteristik Mental yang Sehat 36

c. Masalah Kesehatan Mental 37

4. Kepuasan Kerja 39

a. Definisi Kepuasan Kerja 39

b. Faktor Penentu Kepuasan Kerja 41

c. Dampak dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja 42

B. Hasil Penelitian Terdahulu 44

C. Kerangka Berpikir 47

D. Asumsi 50

(9)

BAB III METODE PENELITIAN 52

A. Lokasi dan Sampel Penelitian 52

B. Metode Penelitian 54

C. Variabel Penelitian 54

D. Definisi Konseptual dan Operational 55

E. Instrumen Penelitian 58

F. Proses Pengembangan Instrumen 60

G. Teknik Pengumpulan Data 79

H. Teknik Analisis Data 79

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 81

A. Hasil Penelitian 81

1. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 81

2. Masalah Kesehatan Mental yang Dimiliki SPG 86

3. Kepuasan Kerja SPG 87

4. Korelasi Antar Variabel 88

a. Uji Normalitas Sebaran Data 88

b. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Masalah Kesehatan Mental

90

c. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Kepuasan Kerja

91

B. Pembahasan 92

1. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 92

2. Masalah Kesehatan Mental yang Dimiliki SPG 96

3. Kepuasan Kerja SPG 98

4. Korelasi Antar Variabel 99

a. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Masalah Kesehatan Mental

99

(10)

DAFTAR BAGAN

Bagan II.C. Kerangka Berpikir 50

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel III.F.1. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 61

Tabel III.F.2. Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25) 61

Tabel III.F.3. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short Version)

62

Tabel III.F.4. Reliabilitas Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

64

Tabel III.F.5. Reliabilitas Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25)

64

Tabel III.F.6. Reliabilitas Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short Version)

65

Tabel III.F.7. Kategorisasi Nilai KMO 66

Tabel III.F.8. Norma Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

75

Tabel III.F.9. Norma Komponen Kognitif 76

Tabel III.F.10. Norma Komponen Afektif 77

Tabel III.F.11. Norma Komponen Konasi 77

Tabel III.F.12. Norma Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short Version)

78

Tabel III.H.1. Kriteria Interpretasi Hasil Koefisien Korelasi 80 Tabel IV.A.1. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual 82 Tabel IV.A.2. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

Komponen Kognitif

83

Tabel IV.A.3. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual Komponen Afektif

84

Tabel IV.A.4. Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual Komponen Konasi

85

Tabel IV.A.5. Masalah Kesehatan Mental 86

Tabel IV.A.6. Kepuasan Kerja 87

Tabel IV.A.7. Uji Normalitas Sebaran Data 88

Tabel IV.A.8. Statistik Deskriptif 89

Tabel IV.A.9. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Masalah Kesehatan Mental

90

Tabel IV.A.10. Hubungan Antara Sikap SPG Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual dengan Kepuasan Kerja

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Bekerja menurut Winarsunu (2008) merupakan mekanisme bagi

seseorang untuk dapat mengaktualisasikan diri, memperluas aktifitas,

memperteguh status dan jangkauan sosial, juga untuk mendapat

penghasilan. Hal demikian juga berlaku untuk kaum perempuan. Saat ini

wanita bukan hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang mengurus

anaknya, memenuhi kebutuhan suami, dan mengerjakan pekerjaan rumah,

melainkan telah banyak wanita baik sebelum maupun setelah menikah, turut

mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Wanita bekerja

menurut Suranto dan Subandi (1998) adalah seorang wanita yang

melakukan aktifitas formal atau nonformal di tempat kerja yang dapat

menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun beberapa

alasan wanita bekerja menurut Matlin (1987) yaitu untuk membantu

menambah penghasilan dalam keluarga atau suami, karena adanya

keinginan untuk memaksimalkan potensi yang ada pada diri wanita, dan

mencari tantangan baru dalam bekerja, sehingga mereka kemudian

memutuskan untuk mencari pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan

mereka dan sesuai dengan kapasitas diri yang dimiliki. Banyak sekali jenis

(13)

juga dapat dikerjakan oleh wanita, salah satu profesi yang banyak dipilih

wanita ialah bekerja sebagai SPG.

SPG atau Sales Promotion Girl, adalah profesi yang bergerak di

bidang pemasaran produk (marketing) baik dalam bentuk barang maupun

jasa. SPG merupakan bagian dari divisi ujung tombak perusahaan yang

biasanya berhadapan langsung dengan end user atau bisa juga berhadapan

dengan reseller atau retailer alias pengecer. Hal ini disesuaikan dengan

program yang digunakan oleh perusahaan dalam menggunakan jasa SPG.

(Kampung, 2001). Untuk bekerja menjadi seorang SPG ada beberapa

kriteria yang harus dipenuhi. Yang pertama berkaitan dengan performance

atau tampilan fisik yang terlihat serta pembawaan individu. Pembawaan ini

diukur dari penampilan outlook (penampilan fisik) dan desain dress code

(desain pakaian). Yang kedua adalah kemampuan berkomunikasi.

Komunikasi mutlak harus terpenuhi oleh seorang SPG karena melalui

komunikasi ini akan mampu tercipta interaksi antara SPG dan konsumen.

Dan yang terakhir adalah body language. Body language ini lebih mengarah

pada gerakan fisik, seperti gerakan lemah lembut, gemulai, dan lainnya.

Gerak tubuh ketika menawarkan produk dan sentuhan fisik (body touch)

adalah deskripsi dari body language ini. Jika memenuhi ketiga unsur diatas

terutama aspek performance atau tampilan fisik yang menarik, sangat besar

kemungkinan seorang wanita dapat bekerja sebagai SPG, karena

kemampuan berkomunikasi dan body language dapat dipelajari seiring

(14)

Kehadiran SPG dalam sebuah acara promosi dapat membantu

perusahaan untuk menggaet calon konsumen. Hal ini didasari oleh

penampilan SPG yang menarik sehingga menarik perhatian konsumen untuk

mendekati stand perusahaan atau sekedar menerima pamflet dan mencoba

produk yang ditawarkan, baru kemudian kemampuan berkomunikasi yang

berperan untuk memperkenalkan dan menawarkan produk yang dijajakan

kepada konsumen. Maka dari itu penting sekali bagi SPG untuk memiliki

penampilan fisik yang menarik, selain itu juga dapat ditunjang oleh desain

pakaian yang dirancang untuk menarik perhatian konsumen.

Menurut penelitian Fitriana (2008), cara berpakaian SPG sangat

mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli produk yang

ditawarkan yaitu rokok dan hal ini menunjukan bahwa industri rokok sangat

identik dengan SPG sebagai market instrument. Dengan kata lain para

produsen rokok berusaha untuk menjadikan SPG berpenampilan semenarik

mungkin dengan menambahkan pakaian yang menarik perhatian konsumen,

terutama kaum pria sebagai target pasar utama rokok, agar mampu bersaing

dengan produsen lainnya. Tidak jarang pakaian yang dikenakan SPG

cenderung terbuka dan ketat sehingga menonjolkan lekuk tubuh SPG.

Pakaian seragam (dress code) yang telah ditentukan oleh perusahaan

tersebut wajib dikenakan SPG selama bekerja, terlepas dari rasa suka atau

tidak suka SPG mengenakan pakaian tersebut karena hal ini merupakan

(15)

Selain itu tanggung jawab SPG ialah memasarkan produk sehingga

mencapai target penjualan. Berbagai cara dapat dilakukan SPG dalam

memasarkan produknya dengan mengandalkan penampilan fisik,

kemampuan berkomunikasi dan body language yang dimiliki. Namun perlu

diwaspadai bahwa sikap ramah dan terbuka yang ditunjukan SPG dapat

disalahartikan oleh konsumen terutama konsumen pria, karena umumnya

sikap ramah tersebut dipersepsikan oleh pria sebagai minat terhadap

seksual. Kaum pria berpikir bahwa secara umum wanita ingin menunjukan

ketertarikan seksualnya dengan bertingkah laku ramah di hadapan pria.

Mispersepsi ini terjadi karena pria memiliki imajinasi mengenai seks lebih

banyak daripada wanita, sehingga wanita yang bekerja akan dilihat dan

diperlakukan sebagai wanita pertama kali oleh pria dan baru kemudian

dipandang sebagai pekerja. Bagi pria identitas gender pada wanita lebih

penting dari pada identitas pekerjaannya (Winarsunu, 2008). Hal ini dapat

menimbulkan resiko terjadinya pelecehan seksual karena faktor utama yang

mempengaruhi terjadinya pelecehan seksual adalah adanya ketertarikan fisik

pelaku terhadap korban, yang dalam kasus ini adalah ketertarikan konsumen

terhadap SPG.

Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam

bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan

tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan,

simbol, isyarat, dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas yang

(16)

unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara

sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian

tidak diinginkan korban, kejadian tidak menyenangkan korban, dan

mengakibatkan penderitaan pada korban.

Budiarti (2009) menyebutkan bahwa pelecehan seksual terhadap

wanita di tempat kerja telah tercatat sejak pertama kali perempuan

memasuki pasar tenaga kerja. Ini berarti pelecehan seksual terhadap wanita

di tempat kerja bukanlah suatu persoalan yang baru, tetapi sudah setua umur

sejarah perempuan memasuki dunia kerja (publik) yaitu sejak kapitalisme

berkembang. Farley (dalam Budiarti, 2009) mengatakan bahwa pelecehan

seksual merupakan metode baru yang dikembangkan oleh kapitalisme

dalam mengontrol tenaga kerja wanita. Menurut Budiarti “men have power

over women in society” karena kondisi kekuasaan sosial yang menempatkan

posisi pria lebih tinggi atau lebih berkuasa daripada wanita, maka pria dapat

menyalahgunakan kekuasaannya untuk mendapatkan manfaat keuntungan

seksual terhadap wanita (Budiarti, 2009). Sebagai contoh seorang konsumen

pria dapat melakukan pelecehan seksual terhadap SPG seperti menggoda

dan mencolek SPG dengan alasan jika SPG mengijinkan tindakannya

tersebut maka dia akan membeli produk yang ditawarkan SPG.

Berdasarkan data yang dihimpun ILO pada tahun 2010, tren pelecehan

seksual di tempat kerja terus meningkat. Di Uni Eropa 30-50% wanita dan

10% pria mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dan di kawasan Asia

(17)

Perempuan, pada 1998-2010, hampir sepertiga kasus kekerasan terhadap

wanita ialah kekerasan seksual. Terdapat 91.311 kasus kekerasan seksual

dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap wanita (Tempo Interaktif, 23

November 2010). Salah satu kasus pelecehan seksual melibatkan SPG yang

terjadi di Indonesia yaitu kasus pelecehan seksual terhadap SPG oleh

konsumennya di kota Tegal. Saat itu korban merasa dilecehkan di depan

umum ketika menawarkan produk minuman di kantor tempat tersangka

bekerja. Korban mengaku dipeluk dan dicium tersangka dari belakang.

Setelah itu korban mengadukan perbuatan tersangka kepada pihak

kepolisisan dan kepada Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak

(Puspa) Kota Tegal untuk meminta perlindungan dan keadilan atas

pelecehan yang diterima (Suara Merdeka, 25 Mei 2005).

Bercermin dari kasus diatas, pekerja wanita disamping harus

menjalankan pekerjaannya sebagaimana yang harus dilakukan pria, wanita

terutama yang berprofesi sebagai SPG, masih dituntut untuk dapat

melindungi dirinya dari ancaman pelecehan seksual di tempat kerjanya

sendiri. Belum lagi ia harus menghadapi kenyataan pada umumnya bahwa

ancaman bisa terjadi di luar tempat kerjanya. Sebagaimana kaum wanita

lainnya seorang SPG juga merasa takut mengalami perkosaan. Sebenarnya

setiap saat pekerja wanita sudah menjadi korban potensial dari berbagai

macam ancaman yang bisa menimpanya. Bagi kaum wanita pelecehan

seksual bukan lagi merupakan endemic, yang hanya terjadi di tempat

(18)

bisa mengancam dan siap menyerang kapanpun dan dimanapun. Menurut

Winarsunu (2008), beberapa penelitian menunjukan bahwa korban

pelecehan seksual 70% adalah wanita dan sedikit sekali korban pria.

Besarnya korban pada wanita ada kaitannya dengan kondisi umum dimana

wanita memiliki kerentanan terutama apabila ia lemah secara ekonomi.

Beberapa variabel yang berhubungan dengan pelecehan seksual, diantaranya

ditemukan bahwa pelecehan seksual mudah dan sering terjadi pada wanita

yang memiliki karakteristik usia yang lebih muda dibanding pelaku, pekerja

baru, wanita yang berstatus lajang, tingkat pendidikan rendah, dan pekerja

magang atau part timer. Winarsunu juga menjelaskan bahwa pelecehan

seksual menimbulkan konsekuensi negatif secara fisik, emosi, dan

mempengaruhi performa kerja korban. Bukan hanya yang menjadi korban

langsung saja yang menderita akibat pelecehan seksual, tetapi juga para

pekerja wanita lain yang menyaksikan atau menjadi saksi ketika pelecehan

seksual itu terjadi. Para saksi tersebut juga mengalami stres meskipun

tarafnya tidak seberat korban utama. Berat ringannya akibat yang diderita

korban dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah penghayatan

korban terhadap peristiwa yang terjadi. Filosofi yang dimiliki korban juga

sangat menentukan penghayatan terhadap peristiwa. Oleh karena itu sikap

yang ditunjukan SPG dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual juga

dapat berbeda-beda.

Menurut Dayaksini dan Hudaniah (2009), sikap merupakan

(19)

Manisfestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, akan tetapi harus ditafsirkan

terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup. Menurut Eagly &

Chaiken (1993) sikap merupakan suatu interelasi dari berbagai komponen.

Komponen yang pertama adalah kognitif. Komponen kognitif adalah

komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi dan

keyakinan yang dimiliki seseorang tentang objek sikapnya. Komponen yang

kedua adalah afektif. Komponen afektif berhubungan dengan rasa senang

dan tidak senang. Dan komponen yang terakhir adalah konasi. Komponen

konasi adalah kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan

dengan objek sikapnya. Berdasarkan ketiga komponen di atas, dapat

dinyatakan bahwa sikap SPG pada suatu perilaku yang berkonotasi seksual

merupakan manifestasi dari konstelasi ketiga komponen tersebut yang

saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap

objek sikap.

Dikarenakan sikap yang ditunjukan setiap SPG bervariasi terhadap

perilaku pelecehan seksual, maka efek perilaku pelecehan seksual yang

diterima oleh SPG, baik secara fisik, psikologis, maupun efek terhadap

performansi kerja dapat berbeda-beda pula. Efek terhadap psikologis

berkaitan erat dengan kesehatan mental yang meliputi upaya-upaya

mengatasi stres kerja, bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain, dan

proses pengambilan keputusan (Yusuf, 2009). Menurut penelitian yang

dilakukan Nielsen dan Einarsen (2012), menunjukan perilaku pelecehan

(20)

pekerja wanita. Pekerja wanita umumnya merasakan ketidaknyamanan akan

adanya perilaku pelecehan seksual pada lingkungan kerja dan akhirnya

berdampak pada timbulnya masalah kesehatan mental, seperti kecemasan

(anxiety) dan depresi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarsunu (2008)

bahwa efek langsung yang dialami korban pasca mendapat perilaku

pelecehan seksual adalah depresi dan stres pasca trauma.

Selain itu perilaku pelecehan seksual juga dapat dinilai sebagai

gangguan di lingkungan kerja yang mempengaruhi kepuasan kerja yang

dimiliki seorang SPG. Menurut Hasibuan (2009), kepuasan kerja adalah

sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Maka

dari itu terdapat kemungkinan bahwa pelecehan seksual juga memiliki

hubungan yang signifikan dengan rendahnya kepuasan kerja pada pekerja.

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nielsen, Bjørkelo,

Notelaers, dan Einarsen terhadap karyawan di Norwegia (2009). Hasil dari

penelitian ini menunjukan bahwa perilaku pelecehan seksual memiliki

hubungan yang signifikan terhadap masalah kesehatan mental dan

rendahnya kepuasan kerja pada karyawan pria dan wanita. Berdasarkan

informasi di atas penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara sikap

menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental

dan kepuasan kerja pada SPG.

Untuk lebih memahami sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan

seksual, penulis mengadakan penelitian pendahuluan dengan melakukan

(21)

berlangsung di sebuah restoran cepat saji pada bulan Oktober tahun 2011.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui bahwa SPG yang berinisial

N ini pernah mengalami perilaku pelecehan seksual. Menurut pengakuan N,

dirinya pernah diajak seorang pria ikut ke mobilnya saat tengah bekerja

namun N menolaknya. Sejak saat itu N cenderung menghindar saat dirinya

bertemu pria yang memiliki gelagat yang sama dengan pria yang

sebelumnya mengajak dirinya ke dalam mobil. “Mendingan gue kabur

duluan dari pada diganjenin om-om. Gue sih jutek aja pas kerja kecuali ke

target penjualan gue.” kata N. N juga bercerita bahwa banyak SPG yang

justru bersikap genit untuk memancing tawaran seperti itu dari pria yang

dianggap kaya, seperti saat dirinya sedang jalan-jalan di mall dan kehabisan

uang, teman-temannya mengajak N untuk menggoda seorang pria agar

dapat makan dan berkaraoke gratis. Namun N menolak dan memutuskan

pulang sedangkan teman-temannya melaksanakan niat mereka untuk makan

dan berkaraoke gratis dengan om-om tersebut. Dari keterangan di atas N

memiliki sikap negatif terhadap perilaku pelecehan seksual berdasarkan

pengalaman yang ia miliki sehingga dalam rangka mengantisipasi terjadinya

perilaku serupa, N cenderung bersikap jutek terhadap konsumen pria yang

memiliki gelagat serupa dengan pria sebelumnya yang melakukan pelecehan

seksual terhadap dirinya. Maka dari itu, penulis menjadi semakin tertarik

(22)

B. IDENTIFIKASI DAN RUMUSAN MASALAH

1. Identifikasi Masalah

Menurut Winarsunu (2008), bagi pria identitas gender pada wanita

lebih penting dari pada identitas pekerjaannya. Hal ini dapat

menimbulkan resiko terjadinya pelecehan seksual karena faktor utama

yang mempengaruhi terjadinya pelecehan seksual adalah adanya

ketertarikan fisik pelaku terhadap korban, seperti dalam kasus ini adalah

ketertarikan konsumen terhadap SPG, karena ciri khas SPG adalah

memiliki performance atau penampilan fisik yang menarik sebagai salah

satu sarat utama menjadi SPG. Budiarti (2009) mengatakan bahwa

sebagian besar korban pelecehan seksual adalah wanita. Sehingga

pekerja wanita terutama yang berprofesi sebagai SPG dituntut untuk

dapat melindungi dirinya dari ancaman pelecehan seksual di tempat

kerjanya sendiri.

Winarsunu (2008) juga menjelaskan bahwa pelecehan seksual

menimbulkan konsekuensi negatif secara fisik, emosi, dan

mempengaruhi performa kerja korban. Berat ringannya akibat yang

diderita korban dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah

penghayatan korban terhadap peristiwa yang terjadi. Filosofi yang

dimiliki korban juga sangat menentukan penghayatan terhadap

peristiwa. Oleh karena itu sikap yang ditunjukan SPG dalam

menghadapi perilaku pelecehan seksual juga dapat berbeda-beda. Sikap

(23)

terhadap rangsang dan merupakan suatu interelasi dari berbagai

komponen, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konasi (Eagly &

Chaiken, 1993).

Dikarenakan sikap yang ditujukan setiap SPG bervariasi terhadap

perilaku pelecehan seksual, maka efek perilaku pelecehan seksual yang

diterima oleh SPG, baik secara fisik, psikologis, maupun efek terhadap

performa kerja dapat berbeda-beda pula. Efek terhadap psikologis

berkaitan erat dengan kesehatan mental yang meliputi upaya-upaya

mengatasi stres kerja, bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain,

dan proses pengambilan keputusan (Yusuf, 2009). Menurut penelitian

yang dilakukan Nielsen, Bjørkelo, Notelaers, dan Einarsen (2009)

perilaku pelecehan seksual memiliki hubungan yang signifikan terhadap

masalah kesehatan mental dan rendahnya kepuasan kerja pada karyawan

pria dan wanita. Berdasarkan informasi di atas penulis tertarik untuk

meneliti hubungan antara sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual

dengan masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja pada Sales

Promotion Girl (SPG).

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan yang

akan dikaji pada penelitian ini berfokus pada beberapa aspek yang

(24)

a. Bagaimanakah profil sikap SPG menghadapi perilaku pelecehan

seksual?

b. Bagaimanakah profil masalah kesehatan mental yang dimiliki

SPG?

c. Bagaimanakah profil kepuasan kerja SPG?

d. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap

menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan

mental dan kepuasan kerja pada SPG?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan antara sikap menghadapi pelecahan seksual dengan masalah

kesehatan mental dan kepuasan kerja yang dimiliki SPG.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat pada perkembangan

beberapa ilmu psikologi, antara lain dalam bidang psikologi sosial

berkaitan dengan sikap yang ditunjukan Sales Promotion Girl (SPG)

dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual, dalam bidang psikologi

klinis mengenai masalah kesehatan mental yang dimiliki SPG, dan

dalam bidang psikologi industri tentang aspek kepuasan kerja yang

(25)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para SPG dan

instansi-instansi yang menggunakan jasa SPG dalam kegiatan promosi agar

mengetahui dan memahami bentuk pelecehan seksual yang diterima

SPG, sikap SPG dalam menghadapi perilaku pelecehan seksual, serta

masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja yang dimiliki SPG. Selain

itu, hasil penelitian ini juga dapat membantu SPG maupun instansi yang

mempekerjakan SPG untuk dapat menyusun strategi bagaimana cara

mengantisipasi dan mencegah terjadinya perilaku pelecehan seksual

yang dilakukan pelanggan terhadap SPG, mengatasi masalah kesehatan

mental yang dimiliki SPG, dan meningkatkan kepuasan kerja SPG

(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota Bandung.

2. Sampel Penelitian

Populasi merupakan keseluruhan individu atau objek penelitian

yang memiliki beberapa karakteristik yang sama. Karakteristik tersebut

dapat berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan wilayah

tempat tinggal. Sedangkan subjek penelitan dapat merupakan

sekelompok penduduk di suatu desa, sekolah, atau yang menempati

wilayah tertentu (Latipun, 2010).

Berdasarkan ukurannya, populasi dapat dibagi menjadi dua jenis

yaitu populasi terhingga dan populasi tak terhingga (Sudjana, 2005).

Populasi terhingga adalah populasi yang jumlah subjek di dalamnya

diketahui dengan pasti dan jumlahnya relatif sedikit. Populasi tak

terhingga ialah populasi yang berisikan jumlah subjek yang tak

terhingga karena jumlahnya relatif sangat besar atau populasi yang

jumlah subjek di dalamnya sulit ditentukan dengan pasti. Ukuran

populasi juga dapat mempengaruhi sistem pengambilan sampling. Jika

(27)

proses penelitian. Namun jika jumlah subjek dalam populasi tidak

terhingga maka dilakukanlah sistem sampling. Sistem sampling adalah

sistem pengambilan sebagian dari populasi atau dapat disebut dengan

sampel yang kemudian dilibatkan dalam proses penelitan.

Subjek penelitian yang menjadi sampel seharusnya bersifat

representatif atas populasinya. Hakikat kerepresentatifan sampel secara

teoritis dapat dipahami sebagai karakteristik sampel yang identik

dengan populasi. Dalam kenyataannya tidak akan pernah dijumpai

kondisi sampel yang identik dengan populasi, maka dari itu biasanya

kerepresentatifan ditafsirkan sebagai kecenderungan mendekati keadaan

yang identik. Kerepresentatifan sampel dapat dipengaruhi oleh tingkat

homogenitas populasi, yaitu populasi yang disusun oleh subjek-subjek

yang memiliki karakteristik yang relatif sama. Serta semakin besar

jumlah sampel yang dipilih, semakin besar pula derajat

kerepresentatifan sampel penelitian (Latipun, 2010).

Dalam menetapkan sampel terdapat berbagai jenis teknik yang

dapat digunakan dan pemilihan teknik tersebut disesuaikan dengan

keadaan populasi yang akan diteliti. Pada penelitian ini populasi

penelitian adalah Sales Promotion Girl di Kota Bandung dan karena

jumlah populasinya sulit ditentukan maka tergolong kategori populasi

tak terhingga. Teknik pengambilan sampel yang dapat digunakan

kepada populasi tak terhingga yang jumlah populasinya sulit ditentukan

(28)

menyertakan perhitungan apapun mengenai derajat kerepresentatifan

sampel. Sehingga untuk meningkatkan derajat kerepresentatifan

sampel, jumlah sampel penelitian harus cukup besar yaitu sedikitnya

100 orang.

B. METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan

kuantitatif. Pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menjelaskan,

meramalkan, dan/atau mengontrol fenomena melalui pengumpulan data

terfokus dari data numerik. Dengan kata lain pendekatan ini menjelaskan

penyebab fenomena sosial melalui pengukuran objektif dan analisis

numerikal (Moleong, 2010). Sedangkan metode penelitian yang digunakan

adalah metode korelasional. Metode ini bertujuan untuk mengetahui

seberapa kuat derajat hubungan antara variabel-variabel penelitian (Sudjana,

2005). Dengan demikian pada penelitian ini yang dicari adalah hubungan

antara sikap terhadap perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan

mental dan kepuasan kerja pada Sales Promotion Girl.

C. VARIABEL PENELITIAN

Pada penelitian ini terdapat tiga variabel, yaitu satu variabel

independent dan dua variabel dependent. Perinciannya sebagai berikut:

(29)

Dependent Variabel : masalah kesehatan mental

kepuasan kerja

Adapun paradigma dari tiga ketiga variabel di atas akan digambarkan dalam

bagan di bawah ini.

r1

r2

Bagan III.C. Variabel Penelitian

Keterangan:

X : variabel independent (sikap menghadapi perilaku pelecehan

seksual)

Y1 : variabel dependent 1 (masalah kesehatan mental)

Y2 : variabel dependent 2 (kepuasan kerja)

r1 : korelasi 1

r2 : korelasi 2

D. DEFINISI KONSEPTUAL DAN OPERATIONAL

1. Definisi Konseptual

Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yang akan dicaritahu

hubungan antara ketiganya, yaitu sikap menghadapi perilaku pelecehan

X

(30)

seksual, masalah kesehatan mental, dan kepuasan kerja. Adapun definisi

konseptual dari variabel-variabel di atas antara lain:

a. Sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual adalah

kecenderungan untuk bertindak sebagai reaksi terhadap rangsang

objek sikap yaitu perilaku pelecehan seksual. Sikap individu pada

suatu objek sikap merupakan manifestasi dari konstelasi komponen

kognitif, afektif, dan konasi yang saling berinteraksi untuk

memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap objek sikap

(Eagly & Chaiken, 1993).

1) Komponen kognitif tersusun atas dasar pengetahuan atau

informasi yang dimiliki seseorang tentang objek sikapnya. Dari

pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan

tertentu tentang objek sikap tersebut.

2) Komponen afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak

senang, sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan

nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai-nilai yang dimilikinya.

3) Komponen konasi ialah kesiapan seseorang untuk bertingkah

laku yang berhubungan dengan objek sikapnya.

b. Masalah kesehatan mental merupakan gangguan psikologis yang

terdiri atas simptom depression (depresi), simptom anxiety

(kecemasan) dan simptom somatization (somatisasi) secara umum

(31)

c. Kepuasan kerja karyawan dapat diukur melalui sikap karyawan

terhadap pekerjaannya yaitu hasil keseluruhan dari derajat rasa

suka atau tidak suka tenaga kerja terhadap berbagai aspek

pekerjaannya (Brayfield & Rothe, dalam Nielsen dkk, 2009).

2. Definisi Operational

Sedangkan definisi operational yang merupakan turunan dari

definisi konseptual dan merupakan acuan dalam penyusunan instrumen

dari ketiga variabel yang diteliti yaitu:

a. Sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual mengukur

kecenderungan SPG untuk berperilaku terhadap pelecehan seksual.

Jika skor sikap tinggi maka individu memiliki sikap yang positif

terhadap perilaku pelecehan seksual, sedangkan jika skornya

rendah maka individu memiliki sikap yang negatif terhadap

perilaku pelecehan seksual.

1) Komponen kognitif mengukur bagaimana individu memaknai

dan menilai suatu perilaku sebagai pelecehan seksual terhadap

dirinya. Semakin tinggi skor yang didapat, semakin positif

pemaknaan individu terhadap perilaku pelecehan seksual.

2) Komponen afektif mengukur bagaimana perasaan individu

terhadap perilaku pelecehan seksual, apakah perasaan tersebut

(32)

semakin positif penilaian individu terhadap perilaku pelecehan

seksual.

3) Komponen konasi mengukur kesiapan individu menghadapi

subjek pelaku pelecehan seksual. Semakin tinggi skor yang

didapat, semakin tinggi kecenderungan individu mendekati

subjek, dan semakin rendah skor yang didapat, semakin tinggi

kecenderungan individu untuk menolak atau menghindari

subjek pelaku pelecehan seksual.

b. Masalah kesehatan mental mengukur apakah individu dapat

dikatakan memiliki mental yang sehat atau tidak. Individu dapat

dikatakan memiliki masalah kesehatan mental berkaitan dengan

perilaku pelecehan seksual yang dihadapi jika rata-rata skor yang

didapat ≥ 1,75.

c. Kepuasan kerja dalam penelitian ini hanya mengacu pada persepsi

SPG terhadap pekerjaannya. Semakin tinggi nilai SPG maka

semakin tinggi nilai kepuasan kerjanya.

E. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen penelitian merupakan alat bantu yang digunakan oleh

peneliti dalam rangka mempermudah kegiatan pengumpulan data sehingga

hasilnya lebih sistematis (Arikunto, 2006). Pada penelitian kuantitatif

instrumen penelitian dimaksudkan sebagai alat pengumpul data layaknya

(33)

variabel, maka terdapat pula tiga alat ukur atau instrumen. Instrumen yang

pertama bertujuan untuk mengukur sikap terhadap perilaku pelecehan

seksual dirancang oleh peneliti berdasarkan teori sikap menurut Eagly &

Chaiken (1993). Menurut teori tersebut sikap merupakan kecenderungan

untuk bertindak sebagai reaksi terhadap rangsang objek sikap yaitu perilaku

pelecehan seksual dan terdiri atas tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan

konasi.

Instrumen yang kedua merupakan adaptasi dari The Hopkins Symptom

Checklist versi 25 item (HSCL-25) guna mengukur masalah kesehatan

mental. HSCL-25 merupakan versi kecil dari HSCL yang terdiri dari 58

item dengan lima dimensi, sedangkan HSCL-25 terdiri dari tiga dimensi

yaitu depression (depresi), anxiety (kecemasan) dan somatization

(somatisasi). Item-item dalam HSCL disusun berdasarkan penilaian ahli

klinis yaitu Rickels dan Uhlenhuth dimana keduanya telah berpengalaman

dalam menangani berbagai masalah klinis sehingga memenuhi kualifikasi

untuk menyusun alat ukur masalah kesehatan mental. Selain itu HSCL juga

telah melalui proses analisis faktor dengan rotasi orthogonal dan oblique

terhadap 1.115 pasien anxiety. HSCL memiliki empat pilihan jawaban yaitu

tidak pernah, jarang, kadang-kadang, dan sering kali, serta keempatnya

diberi nilai 1 sampai dengan 4 (Derogatis, 2001). Penggunaan HSCL-25

pada penelitian ini didasari oleh penelitian terdahulu yaitu yang dilakukan

oleh Nielsen, Bjørkelo, Notelaers, dan Einarsen (2009) yang menunjukan

(34)

diakibatkan pengalaman mendapat perilaku pelecehan seksual pada

lingkungan pekerjaan. Nilai reliabilitas HSCL-25 diukur melalui Cronbach

Alpha dan 9735 partisipan menunjukan nilai 0,93 yang berarti sangat

reliabel. Serta berdasarkan hasil uji coba instrumen tersebut ditentukan nilai

batas minimum individu dapat dikategorikan memiliki masalah kesehatan

mental ialah 1,75 (Strand, 2002).

Instrumen yang ketiga juga merupakan adaptasi dari The Job

Satisfaction Scale-Short Version ciptaan Brayfield & Rothe (dalam Nielsen,

2009). Alat ukur ini terdiri atas lima item dan dua diantaranya adalah item

unfavorable, serta lima pilihan jawaban. Nilai reliabilitas instrumen diukur

melalui Cronbach Alpha ialah 0,81 yang berarti reliabel.

F. PROSES PENGEMBANGAN INSTRUMEN

Proses pengembangan instrumen terdiri atas beberapa tahap, antara

lain (Ihsan, 2009):

1. Menyusun definisi konseptual dan operational

Definisi konseptual adalah definisi konstruk yang akan diukur untuk

membedakan konsep satu perilaku dengan perilaku yang lain. Definisi

ini diperoleh dari kajian pustaka atau teori-teori yang telah

dikembangkan agar penyusunan konsep pengukuran masih dalam

koridor ilmiah.

Definisi operasional adalah yang menjembatani antara suatu definisi

(35)

adalah indikator-indikator perilaku yang bisa diukur secara empiris.

Definisi operasional dapat ditampilkan dalam bentuk blue print.

2. Konstruksi item

Konstruksi item adalah menyusun pernyataan-pernyataan yang

mencerminkan indikator perilaku. Jumlah item awal yang dibuat

minimal dua kali lipat dari jumlah target indikator perilaku untuk

menghindari adanya indikator yang tidak terwakili dalam kumpulan

item final. Pernyataan yang disusun adalah pernyataan yang favorabel

dan unfavorabel. Pernyataan favorabel adalah pernyataan yang

mencerminkan perilaku yang menunjukan kecenderungan terhadap

perilaku tersebut. Sedangkan pernyataan unfavorabel adalah

pernyataan yang mencerminkan perilaku yang tidak menunjukan

kecenderungan terhadap perilaku tersebut. Adapun rancangan item

dari tiap instrumen antara lain:

a. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

NO INDIKATOR ITEM

1 Kognitif 11 item, dari item 1 sampai dengan 11. 2 Afektif 10 item, dari item 12 sampai dengan 21. 3 Konasi 11 item, dari item 22 sampai dengan 32.

Tabel III.F.1. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

b. Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25)

(36)

c. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short

Version)

NO INDIKATOR ITEM

1 Kepuasan Kerja

(Job Satisfaction)

5 item, dari item 58 sampai dengan 62

Tabel III.F.3. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short

Version)

Untuk lebih jelasnya blue print dari setiap instrumen disertakan pada

lampiran.

3. Mencari validitas isi melalui proses professional judgement dari

sedikitnya dua orang pakar di bidang yang berkaitan dengan penelitian

yang akan dilakukan (Suryabrata, 2005). Dalam penelitian ini pakar

yang memberikan judgement pada ketiga instrumen adalah Diah

Zaleha W., S.Psi., M.Si. dan Medianta Tarigan, M.Psi. Adapun

pernyataan hasil judgement dapat dilihat di lampiran.

4. Pemilihan Item

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memilih item final,

yaitu Critical Ratio (korelasi internal), Corrected Item Total

Correlation (korelasi item total terkoreksi), Discriminatory Power

(daya beda), rata-rata korelasi antar item, dan Unrotated Factor 1.

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah Corrected Item

Total Correlation. Metode ini bertujuan untuk mencari korelasi antara

skor item dengan skor total dari sisa item lainnya. Item yang dipilih

menjadi item final adalah item yang memiliki korelasi item total ≤

(37)

instrumen sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual menunjukan

bahwa item 7, 8, 11, 23, 24, 25, 29, 31, dan 32 memiliki korelasi item

total terkoreksi di bawah 0,30 sehingga item tersebut tidak dapat

digunakan sebagai item final. Maka dari itu item final yang tersisa

setelah dipotong item diatas yang korelasinya di bawah 0,30 terdiri

atas 23 item dan kemudian urutan nomornya akan disesuaikan.

5. Uji reliabilitas dengan menggunakan Cronbach Alpha .

Reliabilitas tes adalah sejauh mana hasil suatu tes dapat dipercaya.

Sebuah tes dapat dikatakan reliabel atau dipercaya jika memberikan

hasil yang sama dalam atribut diukur yang didapat dari pengukuran,

peserta, dan tes yang sama. Menurut Azwar (1999) reliabilitas

mengacu kepada keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna

kecermatan pengukuran. Pengukuran yang tidak reliabel akan

menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor

yang terjadi diantara individu lebih ditentukan oleh faktor eror

daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya. Dalam aplikasinya,

reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya

berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien

reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi

reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati

angka 0 berarti semakin rendahnya reliabilitasnya. Salah satu teknik

(38)

Alpha. Adapun hasil dari reliabilitas dari ketiga instrumen sebagai

berikut:

a. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.857 23

Tabel III.F.4. Reliabilitas Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan

Seksual

Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas dengan

menggunakan Cronbach Alpha, diketahui koefisien reliabilitas

dari instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

yaitu 0,857. Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen ini dapat

dipercaya (reliabel) karena mendekati 1,00.

b. Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25)

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.806 25

Tabel III.F.5. Reliabilitas Instrumen Masalah Kesehatan Mental (HSCL-25)

Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas dengan

menggunakan Cronbach Alpha, diketahui koefisien reliabilitas

dari instrumen Masalah Kesehatan Mental yaitu 0,806. Hasil ini

menunjukkan bahwa instrumen ini dapat dipercaya (reliabel)

(39)

c. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short

Version)

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.665 5

Tabel III.F.6. Reliabilitas Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction

Scale-Short Version)

Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas dengan

menggunakan Cronbach Alpha, diketahui koefisien reliabilitas

dari instrumen Kepuasan Kerja yaitu 0,665. Hasil ini menunjukkan

bahwa instrumen ini cukup dapat dipercaya (reliabel) karena

mendekati 1,00.

6. Uji validitas konstuk melalui analisis faktor eksploratori.

Hanya instrument Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual saja

yang menjalani proses ini, karena kedua instrumen lainnya merupakan

instrumen adaptasi yang telah melalui analisis faktor sebelumnya dan

telah diketahui nilai reliabilitas dan validitas isinya.

Analisis faktor eksploratori memiliki dua kegunaan berkaitan dengan

tujuan-tujuan analisis. Yang pertama adalah tujuan eksploratori (goals

of exploratory) yaitu memberikan penjelasan-penjelasan dan

mengidentifikasi dimensi-dimensi sebagaimana yang dinilai oleh

instrumen pengukuran. Kegunaan yang kedua ialah reduksi data (data

reduction) yaitu mengidentifikasi item-item dari sebuah susunan

(40)

dalam jumlah yang lebih sedikit. Analisis faktor berkaitan erat dengan

validitas sehingga penting sekali untuk dilakukan dalam rangka

mengetahui sejauh mana hasil analisis faktor sesuai dengan rancangan

instumen yang dibuat (Ihsan, 2009). Adapun tahapan-tahapan dalam

analisis faktor eksploratori antara lain:

a. Memilih dimensi yang layak untuk dianalisis dengan menggunakan

metode KMO MSA (Keiser Meyer Olkin Measure of Sampling

Adequacy), Bartlets Test, dan Anti Image Correlation.

Dalam menentukan kelayakan dimensi, Bartlets Test

menggunakan hipotesis sebagai berikut:

Hₒ = dimensi belum layak untuk dianalisis faktor

Hᵢ = dimensi layak untuk dianalisis faktor

Dengan ketentuan:

Angka signifikansi < 0,05 : Hₒ ditolak

Angka signifikansi > 0,05 : Hₒ diterima

Sedangkan angka KMO MSA berkisar antara 0 s/d 1. Adapun

kriteria kelakayan dimensi menurut Gebotys (dalam Ihsan, 2009)

sebagai berikut.

KATEGORISASI NILAI KMO

Nilai KMO Derajat Varian Umum

0,90 s/d 1,00 Bagus Sekali

0,80 s/d 0,89 Bagus

0,70 s/d 0,79 Cukup Bagus

(41)

0,50 s/d 0,59 Jelek

0,00 s/d 0,49 Jangan dianalis faktor

Tabel III.F.7. Kategorisasi Nilai KMO

Kemudian untuk menentukan kelayakan item untuk dianalis faktor

pada matriks Anti Image Correlation, item yang memiliki korelasi

anti image ≥ 0,5 dapat dianalisis faktor, sedangkan yang memiliki

korelasi < 0,5 harus dibuang dan dilakukan uji KMO MSA ulang.

Pada penelitian ini dikarenakan jumlah item final cukup banyak

yaitu 23 item, maka proses penilaian kelayakan variabel dilakukan

per-dimensi (Ihsan, 2009).

1) Kognitif

Berdasarkan hasil di atas nilai KMO MSA 8 item pada dimensi

ini adalah 0,678 yang berarti termasuk kategori cukup layak

untuk dianalis faktor. Sedangkan angka signifikansi Bartlett's

Test of Sphericity ialah 0,00 yang berarti layak untuk dianalisis

faktor. Dan untuk Anti Image Correlation Matrixes dapat

dilihat bahwa nilai seluruh item pada dimensi ini lebih besar

dari 0,5 yang berarti semua item layak untuk dianalisis faktor.

2) Afektif

Berdasarkan hasil di atas nilai KMO MSA 10 item pada

dimensi ini adalah 0,700 yang berarti termasuk kategori cukup

bagus untuk dianalis faktor. Sedangkan angka signifikansi

(42)

dapat dilihat bahwa nilai seluruh item pada dimensi ini lebih

besar dari 0,5 yang berarti semua item layak untuk dianalisis

faktor.

3) Konasi

Berdasarkan hasil di atas nilai KMO MSA 5 item pada dimensi

ini adalah 0,707 yang berarti termasuk kategori cukup bagus

untuk dianalis faktor. Sedangkan angka signifikansi Bartlett's

Test of Sphericity ialah 0,00 yang berarti layak untuk dianalisis

faktor. Dan untuk Anti Image Correlation Matrixes dapat

dilihat bahwa nilai seluruh item pada dimensi ini lebih besar

dari 0,5 yang berarti semua item layak untuk dianalisis faktor.

b. Ekstraksi faktor dan rotasi faktor

1) Reduksi Data

Mereduksi data ialah mempersempit atau menyederhanakan

jumlah item menjadi lebih sedikit. Dengan kata lain meringkas

kebanyakan informasi asli (varian) dalam sebuah jumlah

minimum faktor untuk tujuan prediksi.

a) Ekstraksi faktor menggunakan Principal Component

Analysis. Tujuannya adalah untuk menentukan jumlah

faktor. Principal Component Analysis menganalisis

matriks korelasi antara item yang diukur dengan nilai 1,0

dari diagonal utama. Maka component analysis adalah

(43)

diukur (total variances). Jika muatan faktor lebih besar

dari 0,600 maka analisis faktor dianggap reliabel (Ihsan,

2009).

1) Kognitif

Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa

indikator ini hanya memiliki tiga faktor. Item 1, 2, 4,

5, 6, dan 7 memiliki muatan faktor lebih besar sama

dengan 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam

faktor pertama. Item 8 memiliki muatan faktor lebih

besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke

dalam faktor kedua. Sedangkan item 3 memiliki

muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item

tersebut masuk ke dalam faktor pertama namun

kurang reliabel.

2) Afektif

Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa

indikator ini hanya memiliki empat faktor. Item 11

dan 14 memiliki muatan faktor lebih besar sama

dengan 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam

faktor pertama. Item 9 dan 17 memiliki muatan

faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel

masuk ke dalam faktor kedua. Sedangkan item 10,

(44)

0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam

faktor pertama namun kurang reliabel. Begitu pula

dengan item 16 memiliki muatan faktor kurang dari

0,600 yang berarti item tersebut masuk ke dalam

faktor kedua namun kurang reliabel dan item 12

yang juga memiliki muatan faktor kurang dari 0,600

yang berarti item tersebut masuk ke dalam faktor

ketiga namun kurang reliabel.

3) Konasi

Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa

indikator ini hanya memiliki satu faktor. Item 21, 22

dan 23 memiliki muatan faktor lebih besar sama

dengan 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam

faktor pertama. Sedangkan item 19 dan 20 memiliki

muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item

tersebut masuk ke dalam faktor pertama namun

kurang reliabel.

b) Rotasi faktor menggunakan Varimax. Metode Varimax

termasuk jenis rotasi Orthogonal yaitu rotasi yang

bertujuan untuk menjaga faktor-faktor agar tidak

berkorelasi. Biasanya terjadi perubahan pada muatan

faktor setelah dirotasi yaitu menjadi cenderung lebih

(45)

1) Kognitif

Setelah dilakukan rotasi terjadi perubahan besaran

muatan faktor pada seluruh item. Item 3, 5, dan 6

memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang

berarti reliabel masuk ke dalam faktor pertama. Item

1 dan 4 memiliki muatan faktor lebih besar dari

0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor

kedua. Item 8 memiliki muatan faktor lebih besar

dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam

faktor ketiga. Sedangkan item 2 dan 7 memiliki

muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item

tersebut masuk ke dalam faktor ketiga namun kurang

reliabel.

2) Afektif

Setelah dilakukan rotasi terjadi perubahan besaran

muatan faktor pada seluruh item. Item 11, 13, dan 18

memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang

berarti reliabel masuk ke dalam faktor pertama. Item

9 dan 17 memiliki muatan faktor lebih besar dari

0,600 yang berarti reliabel masuk ke dalam faktor

kedua. Item 12 dan 14 memiliki muatan faktor lebih

besar dari 0,600 yang berarti reliabel masuk ke

(46)

faktor lebih besar dari 0,600 yang berarti reliabel

masuk ke dalam faktor keempat. Sedangkan item 16

memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang

berarti item tersebut masuk ke dalam faktor kedua

namun kurang reliabel dan item 15 juga memiliki

muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item

tersebut masuk ke dalam faktor keempat namun

kurang reliabel.

3) Konasi

Dikarenakan dimensi ini hanya memiliki satu faktor,

sehingga proses rotasi tidak dapat dilakukan.

2) Penamaan faktor dan kemudian hasilnya ditampilkan dalam

bentuk blue print yang baru. Penamaan faktor perlu dilakukan

terhadap hasil pengelompokan muatan faktor pada

faktor-faktor untuk menandai bahwa faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor

laten (tersembunyi) yang mempengaruhi sebuah kontruk tes.

Intepretasi faktor hanya dilakukan terhadap faktor-faktor yang

meyakinkan saja (reliabel) atau yang muatannya tinggi. Faktor

akan diberi nama tergantung pada muatan faktor tertinggi yang

dimiliki oleh dimensi. Sebuah faktor dapat memiliki muatan

faktor lebih dari satu. Nama-nama item yang muatan

(47)

faktor (Ihsan, 2009). Adapun untuk blue print baru akan

disertakan dalam lampiran.

3) Eksploratori

Menurut Hair, Anderson, Tatham, dan Black (dalam Ihsan,

2009) eksploratori adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang

berdampak pada variabel apa yang menyebar pada varian

umum. Dengan kata lain asumsi atas komunalitas dari faktor

yang diukur atau varian dalam pengukuran ditampilkan oleh

prosedur.

a) Ekstraksi faktor menggunakan pendekatan Common

Factor Analysis dengan metode ekstraksi Unweigthed

Least Square. Common Factor Analysis berfungsi

menganalisis matriks korelasi antara faktor yang diukur

dengan estimasi komunalitas pada diagonal utama.

Dengan menganalisis matriks tereduksi, Common Factor

Analysis hanya berusaha menghadirkan varian umum

variabel yang terdiri atas faktor tampak dan faktor laten

(tersembunyi) untuk membantu konseptualisasi. Muatan

faktor hasil proses ekstraksi dianggap reliabel jika lebih

besar dari 0,600 (Ihsan, 2009).

Hasil dari ekstraksi di atas menunjukan faktor 1 dan 8

memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang

(48)

pertama. Sedangkan faktor 2, 3, 4, 5, dan 6 memiliki

muatan faktor kurang dari 0,600 yang berarti item

tersebut masuk ke dalam kelompok faktor pertama

namun kurang reliabel. Dan faktor 7 memiliki muatan

faktor kurang dari 0,600 yang berarti item tersebut

masuk ke dalam kelompok faktor kedua namun kurang

reliabel.

b) Rotasi faktor menggunakan Oblique. Metode ini terbuka

untuk faktor berkorelasi sehingga lebih realistis dan lebih

akurat dalam pengelompokan faktor. Hal ini dikarenakan

poros setiap faktor terotasi dan menjadi lebih mendekati

kepada kelompok faktor yang representatif, serta

memberikan informasi mengenai sejauhmana

faktor-faktor berkorelasi satu sama lain (Ihsan, 2009).

Berdasarkan hasil diatas dapat dilihat bahwa faktor 1, 2,

dan 8 memiliki muatan faktor lebih besar dari 0,600 yang

berarti faktor tersebut memiliki korelasi positif yang kuat

terhadap kelompok faktor pertama. Sedangkan faktor 3

dan 5 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang

menunjukan adanya korelasi positif antara faktor tersebut

dengan kelompok faktor pertama namun kurang begitu

kuat. Faktor 4 dan 7 memiliki muatan faktor lebih besar

(49)

kuat terhadap kelompok faktor kedua. Sedangkan faktor

6 memiliki muatan faktor kurang dari 0,600 yang

menunjukan adanya korelasi positif antara faktor tersebut

dengan kelompok faktor kedua namun kurang begitu

kuat.

7. Norma instrumen

Adapun norma dari tiap instrumen guna memudahkan kelak dalam

analisis data antara lain sebagai berikut:

a. Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

Norma pada instrumen ini disusun berdasarkan norma kelompok.

Norma Kategori Keterangan

63,91 < x ≤ 115,00 Sangat Positif SPG memiliki sikap sangat positif terhadap perilaku pelecehan

54,16 < x ≤ 63,90 Positif SPG memiliki sikap positif terhadap perilaku pelecehan

44,42 < x ≤ 54,15 Netral SPG memiliki sikap netral terhadap perilaku pelecehan seksual karena

(50)

bekerja sebagai SPG.

34,68 < x ≤ 44,41 Negatif SPG memiliki sikap negatif terhadap perilaku pelecehan

Tabel III.F.8. Norma Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual

1) Kognitif

Norma Kategori Keterangan

23,66 < x ≤ 40,00 Sangat Positif Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang sangat positif

dan menguntungkan SPG sehingga perilaku tersebut tidak lagi dapat

dikatakan sebagai pelecehan.

19,52 < x ≤ 23,65 Positif Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang positif dan

tidak merugikan SPG sehingga perilaku tersebut tidak lagi dapat dikatakan sebagai pelecehan bagi

SPG.

15,38 < x ≤ 19,51 Netral Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang sering kali

11,24 < x ≤ 15,37 Negatif Memaknai pelecehan seksual sebagai perilaku yang negatif dan

(51)

8,00 ≤x ≤ 11, 23 Sangat

28,91 < x ≤ 50,00 Sangat Positif SPG sangat menyukai adanya perilaku pelecehan seksual di

lingkungan kerjanya dan mengharapkan dirinya mendapat

perilaku tersebut.

24,01 < x ≤ 28,90 Positif SPG menyukai perilaku pelecehan seksual yang dirinya terima.

19,10 < x ≤ 24,00 Netral SPG tidak keberatan mendapat perilaku pelecehan seksual.

14,20 < x ≤ 19,09 Negatif SPG tidak menyukai perilaku pelecehan seksual yang dirinya

11,64 < x ≤ 14,32 Mendekati SPG mendekati pelanggan yang berpotensi melakukan pelecehan

(52)

8,95 < x ≤ 11,63 Mengabaikan SPG melakukan promosi dengan intensitas yang sama pada setiap pelanggan baik pelanggan tersebut

melakukan pelecehan seksual maupun tidak.

6,25 < x ≤ 8,94 Menghindari SPG menghindari pelanggan yang melakukan pelecehan seksual pada

Norma pada instrumen ini telah ditentukan yaitu individu memiliki

masalah kesehatan mental jika memiliki skor ≥ 1,75.

c. Kepuasan Kerja

Norma pada instrumen ini disusun oleh peneliti berdasarkan

norma ideal yaitu:

Tabel III.F.12. Norma Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction

(53)

G. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ialah dengan

menggunakan instrumen untuk mengukur tiga varibel yang diteliti dan

kemudian disebarkan kepada subjek penelitian yaitu Sales Promotion Girl

sejumlah 103 orang.

H. TEKNIK ANALISIS DATA

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara

sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan

mental dan kepuasan kerja pada SPG, teknik statistik yang digunakan

tergantung hasil uji normalitas data. Jika hasil uji normalitas data

menunjukan hasil sebaran data normal maka digunakan Pearson’s

Correlation Coefficient, dan jika hasil sebaran data tidak normal maka

digunakan Spearman’s Roe. Pearson’s Correlation Coefficient adalah

parametrik statistik yang digunakan untuk mengukur hubungan antara dua

variabel atau lebih yang memiliki distribusi data normal, sedangkan

Spearman’s Roe adalah non parametrik statistik yang digunakan untuk

mengukur hubungan antara dua variabel atau lebih yang memiliki distribusi

data tidak normal (Field, 2000). Hasil yang diperoleh dari perhitungan

kedua teknik statistik tersebut berupa koefisien korelasi antar variabel.

Koefisien korelasi adalah pengukuran statistik yang digunakan untuk

melihat kekuatan hubungan linear dan arah hubungan antara dua variabel

(54)

(Sarwono, 2009). Berikut adalah kriteria yang digunakan untuk melakukan

interpretasi hasil koefisien korelasi:

Interval koefisien Tingkat Hubungan

1,00 Korelasi sempurna

>0,75 – 0,99 Korelasi sangat kuat

>0,50 – 0,75 Korelasi kuat

>0,25 – 0,50 Korelasi lemah

>0,00– 0,25 Korelasi sangat lemah

0,00 Tidak ada korelasi

(Sarwono, 2000)

(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Pada penelitian ini ditemukan beberapa informasi yang dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Sebagian besar SPG memiliki sikap netral terhadap perilaku pelecehan

seksual. Netral disini memiliki pengertian bahwa SPG menganggap

perilaku pelecehan seksual merupakan hal yang sering kali terjadi pada

dirinya dan merupakan bagian dari resiko kerja yang harus dihadapi

jika tetap ingin bekerja sebagai SPG.

2. Sebagian besar SPG tidak mengalami masalah kesehatan mental,

namun memiliki simptom somatisasi. Hal ini dikarenakan simptom

somatisasi yang ditunjukan oleh hampir setengah dari sampel SPG yang

diteliti sebenarnya merupakan gangguan fisik semata yang disebabkan

kelelahan fisik, bukan merupakan masalah kesehatan mental karena

tidak didasari anxiety tanpa adanya landasan penyakit organis meskipun

ciri fisiknya sama dengan gangguan somatisasi.

3. Tingkat kepuasan kerja yang dimiliki SPG relatif tinggi. Hal ini

dikarenakan penilaian atau persepsi SPG terhadap pekerjaannya

cenderung positif. SPG menilai bahwa profesinya saat ini dianggap

(56)

pembawaan SPG itu sendiri, dan dapat memenuhi dorongan SPG untuk

mengaktualisasikan dirinya.

4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi

perilaku pelecehan seksual dengan masalah kesehatan mental. Hal ini

disebabkan fungsi sikap sebagai bentuk pemahaman mereka terhadap

perilaku pelecehan seksual dalam rangka penyesuaian sosial sekaligus

cara mereka mengkomunikasikan nilai dan identitas yang dimiliki serta

bentuk pertahanan diri, sehingga sikap tersebut tidak dapat menentukan

apakah SPG akan memiliki masalah kesehatan mental atau tidak. Sikap

positif SPG terhadap perilaku pelecehan seksual tidak menjamin SPG

tidak memiliki masalah kesehatan mental, begitu pula sikap negatif

tidak menentukan SPG tidak memiliki masalah kesehatan mental.

5. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap SPG menghadapi

perilaku pelecehan seksual dengan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan

terdapat berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja

selain sikap menghadapi perilaku pelecehan seksual, antara lain gaji,

lingkungan kerja, dan beban kerja.

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mencoba

memberikan saran kepada beberapa pihak sebagai berikut:

1. Kepada SPG dan calon SPG diharapkan mengetahui dan memahami

Gambar

Tabel III.F.1. Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan Seksual
Tabel III.F.3. Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction Scale-Short
Tabel III.F.4. Reliabilitas Instrumen Sikap Menghadapi Perilaku Pelecehan
Tabel III.F.6. Reliabilitas Instrumen Kepuasan Kerja (The Job Satisfaction
+6

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan hasil simulasi, untuk mendapatkan kondisi pembangkit yang optimum di lokasi tersebut diperlukan fraksi campuran ammonia-air sebesar 87% dengan tekanan

Menggunakan media pembelajaran dan sumber belajar yang relevan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran yang diampu untuk mencapai tujuan pembelajaran secara

Penyedia barang yang telah mendaftar sampai saat pelaksanaan aanwijzing sebanyak 63 ( enam puluh tiga ) peserta dan yang menyampaikan pertanyaan atas dokumen pengadaan tersebut ada

Gambaran Kecerdasan Emosional Siswa Yang Mengikuti Dan Yang Tidak Mengikuti Kegiatan Ekstrakurikuler Palang Merah Remaja Kelas VIII. Universitas Pendidikan Indonesia |

Dalam kaitan ini yang penulis inginkan adalah mengetahui pengaruh pelatihan karyawan terhadap produktivitas kerja karyawan divisi perakitan televisi dengan menggunakan analisa

Gambaran Kecerdasan Emosional Siswa Yang Mengikuti Dan Yang Tidak Mengikuti Kegiatan Ekstrakurikuler Palang Merah Remaja Kelas VIII.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Setelah bereksplorasi, siswa mampu menuliskan konsep segi banyak dalam bentuk diagram frayer (contoh, bukan contoh, ciri-ciri dan definisi) dengan benar.. Setelah mengamati, siswa