• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua Dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di YPAC Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua Dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di YPAC Medan"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN TINGKAT KECEMASAN ORANG TUA DALAM

MENGHADAPI MASALAH PERILAKU SOSIAL ANAK

RETARDASI MENTAL DI YAYASAN PEMBINAAN

ANAK CACAT (YPAC) MEDAN

SKRIPSI

Oleh

Fourlina Noviyani Ndraha 101101051

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

PRAKATA

Segala pujian dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

untuk berkat, rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua Dalam

Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di YPAC Medan”.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat

kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi

mental. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian

pendidikan sarjana keperawatan di Fakultas Keperawatan USU.

Selama proses pengerjaan skripsi ini banyak pihak-pihak yang berperan,

dengan memberikan masukan maupun dukungan. Oleh karena itu pada

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebenar-benarnya

kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardianta, M.Kes selaku dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara, Ibu Erniyati, S.Kep, MNS selaku Pembantu

Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, Ibu Evi Karota

Bukit, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara, Bapak Ikhsanuddin Harahap, S. Kp, MNS

selaku Pembantu Dekan III Universitas Sumatera Utara dan Selaku dosen

pembimbing akademik penulis yang selalu memberikan saran, masukan,

dan bimbingan selama ini.

2. Ibu Mahnum Lailan Nasution, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen

(4)

dan arahan yang sangat membantu sehingga penyusunan skripsi ini dapat

diselesaikan.

3. Bapak Ismayadi, S.Kep, Ns, M.Kes selaku dosen penguji sidang saya yang

juga telah memberikan masukan bagi skripsi ini.

4. Ibu Salbiah, S.Kp, Ns, M.Kep selaku dosen penguji saya yang juga telah

memberikan masukan bagi skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan staf pengajar serta civitas akademika Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

bimbingan selama masa perkuliahan.

6. Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) TPI Amplas yang telah memberikan

izin dan membantu untuk melakukan uji reliabilitas.

7. Kepala Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan yang telah

memberikan izin dan membantu untuk melakukan penelitian

8. Seluruh orang tua dan adik-adik di SLB TPI Amplas dan YPAC Medan

yang telah membantu saya dalam penelitian ini.

9. Terima kasih kepada keluarga tercinta Bapak O. Ndraha dan Ibu R. Harefa

serta abang dan kakak yang selalu mendoakan dan memberi motivasi dan

kasih sayang. Semoga saya dapat mempersembahkan yang terbaik dan

menjadi kebanggaan bagi kalian.

10.Teman-teman senasib seperjuangan angkatan 2010 yang selalu memotivasi

dan memberi masukan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis sangat

menyadari bahwa dalam penelitian maupun isi skripsi ini masih banyak

(5)

para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir

kata penulis sampaikan terimakasih.

Medan, Juli 2014

Hormat Saya

(6)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Skripsi ... ii

Abstrak ... iii

1.1 Definisi Retardasi Mental ... 7

1.2 Kriteria Diagnostik Retardasi Mental ... 8

1.3 Klasifikasi Retardasi Mental ... 9

1.4 Etiologi Retardasi Mental ... 12

1.5 Terapi Retardasi Mental ... 17

1.6 Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental ... 18

2. Kecemasan ... 22

2.1 Definisi Kecemasan ... 22

2.2 Tanda dan Gejala Kecemasan ... 23

2.3 Tingkat Kecemasan ... 25

2.4 Rentang Respon Kecemasan ... 27

2.5 Penyebab Kecemasan ... 28

3. Kecemasan Orang Tua dengan Anak Retardasi Mental ... 30

BAB 3 Kerangka Penelitian ... 34

1. Kerangka Konseptual ... 34

2. Definisi Operasional... 35

(7)

6. Validitas dan Reliabilitas ... 39

7. Pengumpulan Data ... 41

8. Analisa Data ... 42

BAB 5 Hasil dan Pembahasan ... 43

1. Hasil Penelitian ... 43

1.1 Karakteristik Responden ... 43

1.2 Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di YPAC Medan ... 45

2. Pembahasan ... 46

BAB 6 Kesimpulan dan Saran ... 54

1. Kesimpulan ... 54

2. Saran ... 54

Daftar Pustaka ... 57

Lampiran

1. Penjelasan Tentang Penelitian

2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden

3. Instrumen Penelitian

4. Distribusi Frekuensi

5. Data Demografi Responden

6. Master Data

7. Pakar Uji Validitas

8. Jadwal Tentatif

9. Anggaran Biaya Penelitian

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan ... 25 Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 35 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Yayasan Pembinaan

Anak Cacat (YPAC) Medan... 45 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi

(9)

DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Rentang respon kecemasan Hildegrad Peplau (1952) ... 27 Skema 2.2 Rentang Respon Kecemasan menurut Stuart (2012 ... 28 Skema 3.1 Kerangka Konsep dari Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua

dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi

(10)

ABSTRAK

Anak retardasi mental berkemampuan terbatas pada kognitif dan adaptif sehingga dapat mempengaruhi kemampuan mereka dalam bersosialisasi dan berperilaku. Orang tua anak retardasi mental mengalami cemas dalam menghadapi perilaku sosial anaknya seperti hiperaktif, mengamuk dan suka berkelahi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan jumlah responden 57 orang dengan teknik

purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang meliputi data demografi dan kuesioner kecemasan. Hasil analisa data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas responden mengalami cemas ringan 84,2% dan cemas sedang 15,8%. Petugas kesehatan khususnya perawat jiwa diharapkan dapat memberikan terapi yang tepat terhadap orang tua yang masih mengalami kecemasan sehingga orang tua khususnya ibu, dapat menghadapi masalah perilaku sosial anaknya dan mengasuh anaknya dengan baik.

Kata kunci : Retardasi mental, kecemasan, perilaku sosial

Judul penelitian : Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

Nama : Fourlina Noviyani Ndraha

NIM : 101101051

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

(11)

Title : Description of the level of anxiety of parents in dealing with problems of mental retardation children’s social behavior in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

Name : Fourlina Noviyani Ndraha Student Number : 101101051

Major : Bachelor of nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Mental retardation children have limited capability of cognitive and adaptive so that it can affect their ability in socializing and behave. Parents who has children with mental retardation have anxiety in dealing with their children’s social behavior such as hyperactivity, rages and loves to fight. This research aims to identify the level of anxiety of parents in dealing with problems of mental

retardation children’s social behavior in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. The design used in this research is descriptive, with the number of

respondents 57 people with technical purposive sampling. The collecting data used a questionnaire covering demographic data and questionnaire anxiety. Results of the data analysis are presented in the form frequency distribution and percentage. The result of this research showed the majority of respondents experienced mild anxiety 84,2% and moderate anxiety 15,8%. Medical staff especially mental nurse expected can provide the right therapy to the parents who are still experiencing anxiety so that parents, especially mothers, can deal with the problems of social behavior of her children and take care of their children well.

(12)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Anak berkelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki

penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia

sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu

kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti

kurang (subnormal). Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau

retardasi mental yaitu anak yang diidentifikasikan memiliki tingkat kecerdasan

yang sedemikian rendahnya sehingga untuk meniti tugas perkembangannya

memerlukan bantuan atau layanan khusus (Efendi, 2006).

Retardasi mental bukan suatu penyakit tetapi suatu kondisi sehingga retardasi

mental tidak dapat disembuhkan atau diobati dengan obat apapun. Retardasi

mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasan seorang individu

mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal.

Karakteristik umumnya adalah keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial dan

keterbatasan fungsi mental lainnya seperti reaksi yang lama pada situasi yang baru

dikenalnya, penguasaan bahasa dan kurang mampu mempertimbangkan sesuatu

yang baik dan yang buruk (Efendi, 2006).

Retardasi mental adalah salah satu gangguan perkembangan yang paling umum

terjadi . Angka kejadian retardasi mental di berbagai negara berkembang secara

umum berkisar 1-3% setiap populasi (Anderson et al., 1990; Murphy et al., 1995;

(13)

adalah 9,1/1000 orang (Katusic et al. 1996) dan di negara China (Xie et al. 2008)

sebanyak 9.3/1000 orang (Maulik, 2013).

Menurut Sensus Nasional BPS tahun 2006, dari 222.192.572 penduduk

Indonesia, sebanyak 0,7 % atau 2.810.212 jiwa adalah penyandang cacat dan

sebanyak 601.947 anak (21,42%) diantaranya adalah anak cacat usia sekolah

(5-18 tahun). Berdasarkan data Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007 jumlah peserta

didik penyandang cacat yang mengenyam pendidikan baru mencapai 27,35% atau

87.801 anak. Jumlah populasi anak retardasi mental menempati paling besar yaitu

66.610 anak dibanding jumlah anak dengan kecacatan lainnya. sekitar 57% dari

jumlah itu adalah retardasi ringan dan sedang (Depkes, 2009).

Anak retardasi mental berjuang bukan hanya dengan tugas yang berhubungan

dengan kognitif saja (seperti menyelesaikan tugas sekolah) tetapi juga pada relasi

sosial, dan anak retardasi mental lebih mungkin untuk depresi, cemas dan marah

dibandingkan anak lainnya (Haugaard, 2008). Keterbatasan kognitif pada anak

retardasi mental bisa secara signifikan mempengaruhi kemampuan mereka dalam

membentuk ataupun menjaga persahabatan. Anak retardasi mental kesulitan

menilai situasi sosial dan juga kurang mampu mempertimbangkan lebih dari satu

interpretasi situasi sosial dan sering mengandalkan pengalaman sebelumnya

ketika menentukan bagaimana berespon (Leffert et al., 2000 dalam Haugaard,

2008).

Anak retardasi mental juga memiliki keinginan untuk memenuhi segala

kebutuhannya, namun sering sekali terjadi kegagalan dan berakibat pada perasaan

(14)

salah seperti kompensasi yang berlebihan, displacement, regresi, destruksi, agresif

dan sebagainya. Wescler berpendapat bahwa kecerdasan merupakan kemampuan

seeorang untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional serta menghadapi

lingkungan secara efektif (Efendi, 2006). Seseorang akan bersosialisasi dengan

baik apabila memiliki daya pikir yang baik untuk memenuhi kebutuhan fisik dan

sosialnya. Inilah yang menyebabkan kemampuan bersosialisasi anak retardasi

mental menjadi terhambat dan sering menunjukkan respon yang tidak tepat

sehingga mereka dianggap mengganggu, aneh dan menjengkelkan bagi

teman-temannya (Haugard, 2008). Semakin tinggi tingkat keparahan retardasi mental

maka semakin rendah perkembangan sosialnya (Kumar et. al., 2009).

Sepanjang sejarah manusia terdapat hubungan yang dekat dan tidak mungkin

dipisahkan yaitu keluarga, orang tua dan anak. Bentuk tingkah laku sosial anak

yang antara lain sikapnya terhadap orang lain dan kelompok orang sebagian besar

berasal dari apa yang dia pelajari dari tata cara kehidupan keluarganya. Dalam

pandangan psikodinamik, keluarga merupakan lingkungan sosial yang secara

langsung mempengaruhi individu (Notosoedirdjo & Latipun, 2011). Keluarga

berperan dalam menjamin kelangsungan hidup anak secara fisik, melatih anak

kearah peranan-peranan sosial dalam masyarakat disertai dengan tanggung jawab

sosial (Kusumawardhani, 2013).

Keluarga adalah sumber utama dukungan bagi penyandang retardasi mental

dalam masyarakat. Keluarga mengalami banyak beban fisik dan emosional dalam

(15)

lahir dan tumbuh hingga dewasa dalam keluarga adalah pengalaman paling stress

pada keluarga (Floyd & Philippe, 1993 dalam Al-Qaisy et. al., 2012).

Stress yang dialami orang tua merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan

saat memiliki anak retardasi mental. Kombinasi dari banyaknya stressor muncul

untuk memprediksi kemungkinan orang tua mengalami stress dan juga

kecemasan. Ibu yang memiliki anak retardasi mental dilaporkan memperlihatkan

kecemasan signifikan dibandingkan ayah dan ibu melaporkan karakteristik anak

yang lebih negatif dibandingkan ibu yang anaknya tidak cacat, dan juga

melaporkan frekuensi depresi yang tinggi dan pergumulan menghadapi tingkah

laku anak (Romans-Clarkson et. al., 1986; Ziler & Hodapp, 1986 dalam Al-Qaisy

et. al., 2012; Majumdar, 2005).

Reaksi orang tua terhadap realita bahwa anaknya adalah anak luar biasa sering

mengakibatkan kecemasan, depresi, sedih, marah. Tiap individu berbeda dalam

menangani dan menyesuaikan pada situasi yang penuh stress ini (Floyd and

Philippe, 1993; Vernon and David, 2001 dalam Al-Qaisy et. al., 2012). Diagnosa

kecemasan dan depresi pada ibu juga berhubungan dengan tingkat keparahan

retardasi mental pada anaknya (Azeem et. al., 2013).

Orang tua anak retardasi mental melaporkan merasa cemas tentang kehidupan

sosial anaknya (Haugard, 2008). Sering ditemukan masalah yang merisaukan atau

menyusahkan orang tua seperti agresif, mengantukkan kepalanya, mengamuk,

suka berkelahi, tidak hati-hati, perilaku mencederai diri sendiri (self mutilating)

(16)

Oleh karena perilaku sosial yang meresahkan pada anak retardasi mental cukup

sering ditemukan maka peneliti tertarik untuk meneliti gambaran tingkat

kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial pada anak

retardasi mental.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka

dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : “Bagaimanakah

gambaran tingkat kecemasan orangtua dalam menghadapi masalah perilaku sosial

anak retardasi mental?”

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan

orangtua dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi mental.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka

memberikan asuhan keperawatan yang tepat kepada orangtua yang

mempunyai anak retardasi mental.

1.4.2 Bagi Institusi Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan

keperawatan khususnya di bidang keperawatan jiwa.

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Peneliti lain yang ingin melakukan penelitian tentang topik yang sama,

(17)

pemikiran dan dijadikan bahan koreksi sehingga dapat melakukan

penelitian yang lebih baik dari penelitian sebelumnya.

1.4.4 Bagi Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

Hasil penelitian ini menjadi bahan masukan supaya dapat membangun

dan mempertahankan kerja sama dengan orang tua dalam perawatan dan

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Retardasi Mental

2.1.1 Definisi Retardasi Mental

Menurut International Stastistical Classification of Diseases and Related

Health Problem (ICD-10), retardasi mental adalah suatu keadaan

perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai

oleh adanya keterbatasan (impairment) keterampilan (kecakapan, skills) selama

masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat inteligensia

yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. Retardasi mental dapat

terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya.

Prevalensi dari gangguan jiwa lainnya sekurang-kurangnya tiga sampai empat

lipat pada populasi ini dibanding dengan populasi umum (Lumbantobing,

2006).

Retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical Manual IV-TR (DSM

IV-TR, 2004) adalah gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual disertai

oleh defisit atau hendaya fungsi adaptif sedikitnya dua area kemampuan:

komunikasi, perawatan diri, pemenuhan kebutuhan hidup, kemampuan

sosial/interpersonal, penggunaan sumber komunitas, kemandirian, kemampuan

fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang, kesehatan, keamanan dan harus

terjadi sebelum usia 18 tahun. Di samping menggunakan kriteria IQ (kuosien

inteligensi) bahwa perlu diperhatikan kriteria sosialnya, kemampuan

menyesuaikan di lingkungan hidupnya. American Association on Mental

(19)

suatu keadaaan dengan ciri-ciri, yaitu disabilitas yang ditandai dengan suatu

limitasi/keterbatasan yang bermakna baik dalam fungsi intelektual maupun

perilaku adaptif yang diekspresikan dalam keterampilan konseptual, sosial dan

praktis. Keadaan ini terjadi sebelum usia 18 tahun (Kusumawardhani, 2013).

American Association on Mental Retardation (AAMR) menggunakan suatu

pendekatan multi-dimensional atau biopsikososial yang mencakup 5 dimensi

yaitu: kemampuan intelektual, perilaku adaptif, partisipasi, interaksi, dan peran

sosial, kesehatan fisik dan mental, konteks budaya dan juga lingkungan. Oleh

karena itu, tingkat IQ yang ditetapkan hanya merupakan petunjuk dan

seharusnya tidak ditetapkan secara kaku dalam memandang keabsahan

permasalahan lintas budaya. Derajat retardasi mental dipengaruhi berbagai

faktor seperti misalnya terdapatnya berbagai disabilitas (misalnya

panca-indera), tersedianya sarana pendidikan, sikap dari caregiver dan stimulasi yang

diberikan (Kusumawardhani, 2013).

2.1.2 Kriteria Diagnostik Retardasi Mental

Kriteria Diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV-TR (2004) adalah:

1. Fungsi intelektual secara signifikan: IQ lebih kurang 70 atau dibawah

pada seorang individu melakukan tes IQ.

2. Kekurangan yang terjadi bersamaan atau hendaya yang muncul pada

fungsi adapatif (keefektifan seseorang dalam memenuhi standar yang

diharapkan untuk usianya oleh kelompok masyarakat) dalam minimal

(20)

kebutuhan hidup, kemampuan sosial/interpersonal, penggunaan sumber

komunitas, kemandirian, kemampuan fungsi akademik, pekerjaan, waktu

luang, kesehatan, keamanan.

3. Terjadi sebelum umur 18 tahun

2.1.3 Klasifikasi Retardasi Mental

Klasifikasi retardasi mental berdasarkan derajat keparahan dan kelemahan

intelektual terbagi dalam lima tingkatan menurut DSM IV-TR (2004), yaitu:

1. Retardasi Mental Ringan

Retardasi Mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok

retardasi yang dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk sebagian

besar (sekitar 85%) dari kelompok retardasi mental. Pada usia pra sekolah

(0-5 tahun) mereka dapat mengembangkan kecakapan sosial dan

komunikatif, mempunyai sedikit hendaya dalam bidang sensorimotor, dan

sering tidak dapat dibedakan dari anak yang tanpa retardasi mental, sampai

usia yang lebih lanjut. Pada usia remaja, mereka dapat memperoleh

kecakapan akademik sampai setara kira-kira tingkat enam (kelas 6 SD).

Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai kecakapan sosial

dan vokasional cukup sekedar untuk bisa mandiri, namun mungkin

membutuhkan supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama ketika

mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi.

2. Retardasi Mental Sedang

Retardasi Mental sedang ini secara kasar setara dengan kelompok

(21)

dapat dilatih ini tidak dapat digunakan, karena memberi kesan mereka dari

kelompok ini tidak dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk

sekitar 10% dari kelompok retardasi mental. Kebanyakan individu dengan

tingkat retardasi ini memperoleh kecakapan komunikasi selama masa anak

dini. Mereka memperoleh manfaat dari latihan vokasional, dan dengan

pengawasan yang sedang dapat mengurus atau merawat diri sendiri. Mereka

juga memperoleh manfaat dari latihan kecakapan sosial dan okupasional

namun mungkin tidak dapat melampaui pendidikan akademik lebih dari

tingkat dua (kelas dua sekolah dasar). Mereka dapat bepergian di

lingkungan yang sudah dikenal.

Selama remaja, mereka kesulitan dalam mengenal norma-norma

pergaulan lingkungan sehingga mengganggu hubungan persaudaraan. Pada

masa dewasa sebagian besar dapat melakukan kerja yang kasar (unskilled)

atau setengah kasar (semi skilled) di bawah pengawasan workshop yang

dilindungi. Mereka dapat menyesuaikan diri pada komunitas lingkungan

dengan pengawasan (supervisi).

3. Retardasi Mental Berat

Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok retardasi

mental. Selama masa anak, mereka sedikit atau tidak mampu

berkomunikasi. Sewaktu usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan dapat

dilatih dalam kecakapan mengurus diri secara sederhana. Mereka

memperoleh jangkauan yang terbatas pada instruksi pelajaran pra-akademik,

(22)

menguasai seperti belajar membaca melihat beberapa kata. Sewaktu usia

dewasa mereka dapat melakukan kerja yang sederhana bila diawasi secara

ketat. Kebanyakan dapat menyesuaikan diri pada kehidupan di masyarakat,

bersama keluarganya, jika tidak didapatkan hambatan yang menyertai yang

membutuhkan perawatan khusus.

4. Retardasi Mental Sangat Berat

Kelompok retardasi mental ini membentuk 2% dari kelompok retardasi

mental. Pada sebagian besar individu dengan diagnosis ini dapat

diidentifikasi kelainan neurologik, yang mengakibatkan retardasi mentalnya.

Sewaktu masa anak, mereka menunujukkan gangguan yang berat dalam

bidang sensorimotor. Perkembangan motorik dan mengurus diri dan

kemampuan komunikasi dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan yang

adekuat. Beberapa di antaranya dapat melakukan tugas sederhana di tempat

yang disupervisi dan dilindungi.

5. Retardasi Mental Tidak Tergolongkan

Diagnosis untuk retardasi mental tidak tergolongkan, seharusnya

digunakan ketika ada dugaan kuat retardasi mental tetapi seseorang tidak

bisa dites dengan tes inteligensi standar. Hal ini bisa terjadi saat anak-anak,

remaja, atau dewasa ketika mereka mengalami hendaya yang terlalu berat

atau tidak bisa bekerjasama untuk menjalani tes, atau pada bayi, saat ada

keputusan klinik dari gangguan fungsi intelektual secara signifikan, tetapi

tes yang ada tidak dapat menghasilkan nilai IQ (contoh: The Bayley Scales

(23)

umumnya, seseorang yang lebih muda, lebih sukar untuk dikaji adanya

retardasi mental kecuali pada hendaya berat.

2.1.4 Etiologi Retardasi Mental

Beberapa kasus retardasi mental dapat disebabkan oleh masalah biologis yang teridentifikasi, termasuk cacat genetik dan kromosom, racun yang berasal

dari lingkungan, kekurangan nutrisi pada wanita hamil dan bayi, dan

penyakit-penyakit yang menimpa wanita hamil, bayi dan anak-anak (Leonard & Wen,

Haugaard, 2008).

1. Abnormal kromosom dan gen

a. Sindroma Down adalah penyebab paling umum masalah kromosom pada

retardasi mental. Sindroma Down umumnya terjadi karena kromosom 21

dari ibu gagal terpisah selama proses meiosis (pembelahan sel yang

terjadi selama pembentukan sel reproduksi). Ketika sepasang kromosom

yang tidak terpisah ini bersatu dengan kormosom 21 dari ayah, anak

tersebut menerima tiga salinan koromosom 21 satu (label trisomi 21 juga

digunakan untuk mendeskripsikan Sindroma Down). Kasus langka ketika

Sindroma Down disebabkan oleh translokasi bagian kromosom 21 ke

kromosom 14.

Sindroma Down terjadi sekitar 1,5 dari setiap 1000 kelahiran. Karena

abnormal kromosom berasal dari sel telur ibu dalam empat per lima

kasus, prevalensi Sindroma Down sangat terkait dengan usia ibu.

Perkiraan Sindroma Down terjadi sekitar 1 dari 1000 kelahiran pada ibu

(24)

ibu yang berusia diatas 44 tahun. Anak dengan sndroma Down

menunjukkan hendaya khas dalam mengekspresikan bahasa, walaupun

mereka mengerti bahasa.

Kemampuan mereka dalam berbicara pada umumnya terdiri dari

kalimat sederhana dan sering mengalami masalah dalam artikulasi,

sehingga kalimat yang disampaikan sulit untuk dimengerti. Anak

Sindroma Down sering digambarkan sangat bersosialisasi dan lebih

sedikit menunjukkan masalah perilaku dibandingkan anak dengan

penyebab organik bentuk retardasi mental.

b. Sindroma Fragile X adalah penyebab paling umum retardasi mental yang

diwariskan. Ditemukan sekitar 1 dari 4000 kelahiran pada laki-laki dan 1

dari 8000 kelahiran pada perempuan. Sindroma Fragile X disebabkan

oleh mutasi pada bagian lengan panjang kromosom X. Mutasi ini berada

pada gen yang saat ini disebut Fragile X Mental Retardation Gene

(FMR1).

Perempuan lebih sedikit terkena sindrom ini dibandingkan laki-laki

karena hanya satu kromosom X yang aktif dalam setiap sel. Karena

perempuan mempunyai dua kromosom, sebuah kromosom X dengan

sebuah gen FMR1 normal mungkin menjadi aktif dalam banyak sel yang

juga terdapat sebuah kromosom X dengan sebuah gen FMR1 termutasi,

sehingga sel mereka lebih sedikit rusak. Dibandingkan laki-laki yang

hanya mempunyai satu kromosom X, semua sel dengan kromosom X

(25)

Hampir semua laki-laki dengan sindroma Fragile X mengalami

gangguan kognitif dalam rentang sedang sampai berat. Anak dengan

sindroma Fragile X sering berbicara sangat cepat, mengulangnya

beberapa kali sehingga sulit untuk dimengerti. Mereka juga menunjukkan

perilaku kecemasan sosial yang tinggi yang disebabkan oleh

kewaspadaan berlebihan (hyperurosal) dari sistem saraf otonom,

menyebabkan reaksi berlebihan pada situasi sosial.

c. Phenylketonuria (PKU) adalah gangguan yang dihasilkan oleh sebuah

mutasi gen Phenylalanine Hydroxylase (PAH), yang ditemukan pada

bagian lengan pendek pada kromosom 12. Prevalensi PKU diperkirakan

1 dari 10.000 kelahiran diantara keturunan Eropa bagian barat dan

prevalensi lebih sedikit pada ras dan suku keturunan lain.

d. Sindrom Williams disebabkan oleh penghapusan gen pada kromosom 7.

IQ anak dengan sindrom Williams sekitar 75% berada pada rentang

50-70 sehingga memperlihatkan kesulitan belajar. Anak-anak dengan

sindroma ini sangat bersosialisasi dan selalu bersikap ramah dan

bersahabat. Meskipun begitu, mereka kesulitan untuk mendapatkan

teman. Hal ini dapat disebabkan karena keterbatasan kognitif atau

kemungkinan karena sikap ramah mereka yang membosankan dan

tindakan hiperaktif yang membuat temannya merasa menjengkelkan.

Pada anak yang lebih besar dan dewasa sering menunjukkan tingkat

kecemasan yang tinggi dan mengatakan bahwa mereka sangat kuatir

(26)

e. Sindroma Prader-Willi disebabkan oleh abnormalitas kromosom 15 dan

sekitar 65% kasus disebabkan oleh penghapusan gen dari kromosom di

pihak ayah. Prevalensi sindroma ini sekitar 1 dari 1.000 kelahiran. IQ

pada umumnya berada pada rata-rata rendah sampai tingkat sedang pada

retardasi mental. Ciri-ciri yang menonjol adalah obesitas. Anak dan

dewasa dengan sindroma ini hampir selalu lapar dan merasa asyik

dengan makanan. Selain itu, banyak yang mendeskripsikan bahwa

mereka memiliki emosi yang labil, suka berdebat, keras kepala, pemarah,

sedikit sensitif dan cemas, dan mereka bisa menangis dan merasa sakit

hati dengan mudah.

f. Sindroma Angelman disebabkan oleh abnormalitas di area yang sama

dengan sindrom Prader-Willi yaitu kromosom 15, penghapusan terjadi

dari kromosom ibu. Hendaya kognitif yang dialami oleh sindroma ini

lebih berat dibandingkan pada sindroma Prader-Willi. Kebanyakan anak

tidak dapat berbicara dan memiliki fitur wajah yang tidak normal, sering

menunjukkan ekspresi wajah yang bahagia.

2. Racun yang berasal dari lingkungan

Racun dalam dosis yang tinggi bisa menyebabkan retardasi mental berat

atau sangat berat, dalam dosis yang rendah dapat memberikan dampak

negatif tetapi tidak terlihat pada anak (misalnya IQ berkurang 10 poin).

a. Keracunan timbal dapat terjadi jika seorang anak menelan timbal dalam

jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat dan berefek bahaya dan

(27)

ringan namun efeknya tetap terlihat pada fungsi kognitif, seperti

rendahnya skor IQ dan masalah membaca.

b. Merkuri tertelan terutama melalui makanan laut.

c. Alkohol dikonsumsi oleh seorang wanita selama hamil bisa sangat

berefek pada perkembangan janin, namun efeknya dapat bervariasi pada

janin walaupun ibu mereka mengkonsumsi alkohol yang sama.

Mengkonsumsi alkohol dapat menyebabkan anak mengalami fetal

alcohol syndrome yang menyebabkan kecilnya massa otak anak,

hambatan motorik, perkembangan bahasa, dan hiperaktif.

d. Kekurangan nutrisi atau malnutrisi selama tahun pertama kehidupan bisa

membahayakan fungsi kognitif, tetapi tampaknya hanya ketika malnutrisi

berat. Trismester tiga dan bulan keenam kehidupan merupakan waktu

yang paling sensitif karena saat itu perkembangan otak terjadi.

e. Penyakit infeksi yang paling menyebabkan hendaya kognitif pada anak

adalah meningitis dan ensefalitis. Rubella dan sifilis sangat mudah

tertransfer dari ibu kepada janinnya.

f. Cedera kepala bisa secara permanen merusak fungsi kognitif. Jatuh dari

sepeda atau dari trampoline adalah sumber dari berbagai cedera.

2.1.5 Terapi Retardasi Mental

Retardasi mental adalah berhubungan dengan beberapa kelompok gangguan heterogen dan berbagai faktor psikososial. Terapi yang terbaik untuk retardasi

mental adalah pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Kaplan & Sadock,

(28)

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk

menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan

gangguan yang disertai dengan retardasi mental. Tindakan tersebut termasuk

(1) pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat

umum tentang retardasi mental, (2) usaha terus-menerus dari professional

bidang kesehatan untuk menjaga dan memperbaharui kebijaksanaan

kesehatan masyarakat, (3) aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan

maternal dan anak yang optimal, (4) eradikasi gangguan yang diketahui

disertai dengan kerusakan sistem saraf pusat. Untuk anak-anak dan ibu

dengan status sosioekonomi rendah, pelayanan medis prenatal dan postnatal

yang sesuai dan berbagai program pelengkap dan bantuan pelayanan sosial

dapat menolong menekan komplikasi medis dna psikososial.

b. Pencegahan sekunder dan tersier

Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah dikenali,

gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit dan untuk

menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi setelahnya.

Anak retardasi mental sering kali memiliki kesulitan emosional dan

perilaku yang memerlukan terapi psikiatrik.Kemampuan kognitif dan sosial

yang terbatas yang dimiliki anak tersebut memerlukan modalitas yterapi

modalitas terapi psikiatrik yang dimodifikasi berdasarkan tingkat

(29)

(1) Pendidikan untuk anak : lingkungan pendidikan untuk anak-anak

dengan retardasi mental harus termasuk program yang lengkap yang

menjawab latihan keterampilan adaptif, latihan keterampilan sosial,

dan latihan kejuruan.

(2) Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamika.

(3) Pendidikan keluarga

(4) Intervensi farmakologis

2.1.6 Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental

Berdasarkan teori perkembangan psikososial menurut Erik H. Erickson, fase

perkembangan manusia terdiri dari bayi sampai usia tua dan fase itu secara

biologik dan psikologik individu mempunyai potensi kesiapan untuk maju ke

taraf fungsional berikutnya yang lebih tinggi, bila dasar-dasar organik biologik

tidak defektif dan mempunyai bawaan (genetic endowment) yang normal

(Kusumawardhani, 2013).

Perilaku sosial menurut Sunaryo merupakan aktivitas dalam hubungan

dengan orang lain, baik orang tua, saudara, guru, maupun teman yang meliputi

proses berpikir, beremosi, dan mengambil keputusan (Jahja, 2011).

Pada anak normal dalam melewati tahap perkembangan sosialnya dapat

berjalan seiring dengan tingkat usianya. Namun, pada tiap tahapan

perkembangan anak retardasi mental selalu mengalami kendala sehingga

seringkali tampak sikap dan perilaku anak retardasi mental berada di bawah

usia kalendernya dan ketika usia 5-6 tahun mereka belum mencapai

(30)

Anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam memahami dan

mengartikan norma lingkungan sehingga perilaku anak retardasi mental sering

dianggap aneh oleh sebagian anggota masyarakat karena tindakannya tidak

lazim dilihat dari ukuran normatif atau karena tingkah lakunya tidak sesuai

dengan tingkat umurnya. Dilihat dari usia mereka memang dewasa, tetapi

perilaku yang ditampilkan tampak seperti anak-anak. Akibatnya anak

tunagrahita tidak jarang diisolasi dan kehadirannya ditolak lingkungan (Kemis

& Rosnawati, 2013).

Akibat dari sering mengalami kegagalan dan hambatan dalam memenuhi

segala kebutuhannya, anak retardasi mental mudah frustasi dan pada gilirannya

akan muncul perilaku menyimpang sebagai reaksi dari mekanisme pertahanan

diri, dan sebagai wujud penyesuaian sosial yang salah (maladjusted). Bentuk

penyesuaian yang salah tersebut seperti kompensasi yang berlebihan,

pengalihan (displacement), nakal (delinquent), regresi, destruksi, agresif dan

lain-lain (Efendi, 2006).

Tingkah laku anak retardasi mental menurut Kemis dan Rosnawati (2013),

yaitu:

1. Hiperaktivitas seperti meraih obyek tanpa tujuan, tidak bisa diam dan

duduk lama

2. Mengganggu teman (anak lain) dengan memukul, meludahi, mencubit

(31)

3. Beralih perhatian yaitu sulit memusatkan perhatian pada suatu

kegiatan/pekerjaan dan cepat beralih perhatian atau merespon semua

obyek yang ada di sekitarnya

4. Mudah frustasi yaitu menghentikan aktivitas/pekerjaan jika tidak berhasil

dan disalahkan orang lain (teman, guru)

5. Sering menangis yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, menangis jika

merasa terganggu dan tidak terpenuhi keinginannya

6. Merusak benda/barang seperti merobek buku, menggigit pensil/pulpen,

melempar barang, menggigit meja/kursi, mencorat-coret meja, mengotori

dinding, membanting pintu/jendela dan melempar kaca jendela

7. Melukai diri dengan membentur-benturkan kepala, memukul-mukul

pipi/dagu, mengorek-ngorek luka di tangan atau kaki dan menjambak

rambut

8. Meledak-ledak (impulsif) yaitu mudah marah/tersinggung dan tidak

kooperatif

9. Menarik diri yaitu pemalu, tidak ada keberanian dalam komunikasi dan

berhadapan dengan orang lain, menutup wajah dan menundukkan kepala.

Tingkah laku sosial tercakup hal-hal seperti keterikatan dan ketergantungan,

hubungan kesebayaan, self concept, dan tingkah laku moral. Tingkah laku

keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak dengan orang dewasa

(orang lain). Masalah keterikatan anak dan ketergantungan anak terbelakang

telah diteliti oleh Zigler (1961) dan Steneman (1962, 1969). Ketika anak

(32)

kecenderungan ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal,

anak retardasi mental lebih banyak bergantung pada orang lain, dan kurang

terpengaruh oleh bantuan sosial (Soemantri 2007).

Mc Iver menggunakan Children’s Personality Quaestionare dan

menyimpulkan ternyata anak retardasi mental laki-laki emosinya tidak matang,

depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancang

dan merusak. Anak retardasi mental perempuan mudah dipengaruhi, kurang

tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri dan cenderung melanggar

ketentuan. Anak retardasi mental cenderung berteman dengan anak yang lebih

muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu

memikul tanggung jawab sosial sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi

(Somantri, 2007).

2.2 Kecemasan

2.2.1 Definisi Kecemasan

Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar

disertai respons autonom (sumber sering tidak spesifik atau tidak diketahui

oleh individu); perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.

Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan

adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi

ancaman (NANDA, 2012).

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang

berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Kecemasan adalah

(33)

dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2012). Kecemasan terjadi

sebagai hasil dari sebuah ancaman pada kepribadian seseorang, harga diri, atau

identitas diri. Kecemasan dialami ketika nilai-nilai seseorang mengenali bahwa

keberadaannya sebagai seseorang terancam. Nilai-nilai yang termasuk

didalamnya adalah fisik, sosial, moral, dan unsur emosional dalam kehidupan

(Stuart & Sundeen, 1998).

Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan

perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak

mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh,

perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari,

2013).

Kecemasan adalah respons terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak

diketahui, internal, samar-samar, atau konfliktual (Kaplan & Sadock, 2010).

Kecemasan terjadi sebagai hasil dari ancaman terhadap biologis, psikologis

atau integritas sosial, akibat dari sumber-sumber eksternal. Hal ini merupakan

sebuah pengalaman universal dan bagian kondisi manusia (Fortinash & Worret,

2000).

2.2.2 Tanda dan Gejala Kecemasan

Kecemasan adalah sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan dan tidak

nyaman sehingga tidak ada satupun yang menginginkannya. (Stuart &

Sundeen, 1997). Gangguan kecemasan dikategorikan berdasarkan apakah

seseorang memiliki gejala yang kompleks ataupun terbatas (Fortinash &

(34)

Stuart (2012) menyatakan bahwa ansietas dapat diekspresikan secara

langsung melalui perubahan fisiologis, perilaku, kognitif dan afektif.

1. Respon fisiologis berhubungan dengan ansietas terutama dimediasi oleh

sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan parasimpatis. Berbagai

respon fisiologis yang dapat diobservasi, yaitu:

a. Kardiovaskular: palpitasi, jantung berdebar, pingsan, tekanan darah

meningkat, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.

b. Pernafasan: napas cepat dan dangkal, tekanan pada dada, sensasi

tercekik, terengah-engah.

c. Neuromuskular: refleks meningkat, reaksi terkejut, mata berkedip-kedip,

insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum,

tungkai lemah, gerakan yang janggal.

d. Gastrointestinal: kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak

nyaman pada perut, nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati dan diare.

e. Saluran perkemihan: tidak dapat menahan kencing dan sering berkemih

f. Kulit: wajah kemerahan, keringat terlokalisasi (telapak tangan), gatal,

rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat dan berkeringat seluruh

tubuh.

2. Respon perilaku: gelisah, ketegangan fisik, tremor, terkejut, bicara cepat,

kurang koodinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan

diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi dan sangat waspada.

3. Respon kognitif: perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah

(35)

lapang persepsi menurun, bingung, takut kehilangan kendali, mimpi

buruk, takut cedera atau kematian, produktivitas menurun.

4. Respon afektif: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup,

ketakutan, khawatir, mati rasa, rasa bersalah dan malu.

2.2.3 Tingkat Kecemasan

Respon kecemasan berada pada satu kesatuan, dan individu bisa lebih

sukses atau kurang sukses pada penggunaan metode-metode yang bervariasi

untuk mengontrol pengalaman kecemasan mereka sendiri. Tingkat kecemasan

terdiri dari ringan, sedang, berat, panik berdasarkan respon kecemasan.

(Videbeck, 2008).

Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).

Tingkat Kecemasan

Fisiologis Kognitif/persepsi Emosi / Afektif

Cemas Ringan

Ketegangan otot ringan Lapangan persepsi luas

Perilaku otomatis Sadar akan lingkungan Terlihat tenang,

percaya diri

Penuh perhatian Waspada dan

memerhatikan

Tingkat pembelajaran

optimal

Cemas Sedang

(36)

Pupil dilatasi, mulai

Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).

Tingkat Kecemasan

Fisiologis Kognitif/persepsi Emosi / Afektif

Cemas Berat Ketegangan otot berat Lapang persepsi terbatas

Sangat cemas

Hiperventilasi Proses berpikir

terpecah-pecah

Agitasi

Kontak mata buruk Sulit berpikir Takut

Pengeluaran keringat

meningkat

(37)

Mondar-mandir,

Panik Flight, fight, atau freeze Persepsi sangat sempit

Agitasi motorik kasar Kepribadian kacau Lepas kendali

Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).

Pupil dilatasi Tidak dapat

2.2.4 Rentang Respon Kecemasan

Hildegrad Peplau (1952) dalam Interpersonal Relations in Nursing, seorang

pelopor keperawatan jiwa, mengidentifikasi empat tingkat kecemasan yang

bertujuan untuk mengilustrasikan pandangan terhadap kecemasan dan

ketegangan yang dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan (1882-1949),

seorang psikiater terkemuka dari Amerika dan ahli teori perkembangan

(Fortinash & Worret, 2000).

Sedang Panik

(38)

Ringan Berat

Skema 2.1 Rentang respon kecemasan Hildegrad Peplau (1952)

Hildegrad Peplau menerangkan bahwa kecemasan yang meningkat

mengakibatkan:

1. Lapangan persepsi menyempit

2. Energi akan tersedia untuk menyelesaikan masalah

3. Disorganisasi meningkat

Skema 2.2 Rentang Respon Kecemasan menurut Stuart (2012):

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

2.2.5 Penyebab Kecemasan

1. Faktor Presipitasi

Ansietas adalah faktor utama pada perkembangan kepribadian dan

pembentukan sifat karakter individu. Ada beberapa teori penyebab

kecemasan yang muncul (Stuart, 2012 ; Stuart & Sundeen, 1998):

c. Teori Psikoanalitik

Freud memandang bahwa ansietas merupakan konflik emosional yang

(39)

mewakili hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh budaya seseorang.

Ego berfungsi untuk menengahi kedua elemen yang bertentangan. Freud

juga menambahkan bahwa fungsi utama kecemasan untuk mengingatkan

ego bahwa ada bahaya.

d. Teori Interpersonal

Sullivan memandang bahwa inti dari teori kecemasan adalah perasaan

takut terhadap penolakan interpersonal. Trauma selama masa pertumbuhan,

seperti kehilangan dan perpisahan dapat mengakibatkan ansietas. Sullivan

yakin bahwa ansietas dikemudian hari muncul dalam situasi interpersonal

dimana sesorang mempersepsikan dirinya akan dipandang tidak baik dan

akan kehilangan seseorang berdasarkan nilai yang dipahaminya.

e. Teori Perilaku

Berdasarkan pendapat teoritisi perkembangan, ansietas adalah hasil dari

frustasi, yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang

untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor presipitasi tersebut

menghambat usaha seseorang untuk memperoleh kepuasan dan

perlindungan.

f. Teori Keluarga

Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya

terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara

(40)

g. Teori Biologis

Para peneliti mempelajari bahwa otak mengandung reseptor spesifik

untuk benzodiazepine dan obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator

inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam

mekanisme biologis yang berhubungan dengan kecemasan. Selain itu,

kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan pada keluarga memiliki

efek nyata sebagai predisposisi kecemasan.

2. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi kecemasan dapat dikelompokkan dalam dua kategori

(Stuart, 2012), yaitu:

a. Ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologis yang

akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas

hidup sehari-hari.

b. Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas, harga diri,

dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.

2.3 Kecemasan Orang Tua dengan Anak Retardasi Mental

Keluarga merupakan lembaga sosial yang pertama dikenal anak. Keluarga

terdiri dari ayah, ibu dan anak dan hubungan yang dekat ini tidak mungkin

dipisahkan. Pada prinsipnya keluarga memiliki fungsi sosial, edukatif, seksual dan

pengelolaan ekonomi dan orangtua memiliki tugas supaya peran tersebut dapat

(41)

Kamus Besar Bahasa Indonesia, orang tua adalah ayah ibu kandung, orang yang

dianggap tua, orang yang dihormati.

Anak retardasi mental lebih banyak tinggal bersama dengan keluarganya

hingga dewasa, sehingga ketergantungan kepada keluarganya akan lebih tinggi

dibandingkan keluarga yang tidak memiliki anggota keluarga dengan retardasi

mental. Pengaruh terhadap orang tua dan anggota keluarga ketika memiliki anak

retardasi mental dimulai ketika mereka mengetahui bahwa anak mereka memiliki

keterbatasan kognitif yang sangat signifikan. Hal ini sering terjadi selama

kehamilan karena tes untuk mendeteksi variasi gen dan kromosom tidak normal

yang mengakibatkan keterbatasan kognitif sudah dapat dilakukan. Keputusan

untuk melakukan aborsi dan melahirkan terkadang menjadi sesuatu mudah bagi

sebagian orang tua tetapi sangat sulit bagi orang tua lain (Haugaard, 2008).

Kehadiran anak retardasi mental dalam keluarga cenderung menimbulkan

ketegangan pada keluarga tersebut. Ketika mengetahui bahwa anaknya tergolong

retardasi mental, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah dan

menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau merasa kecewa yang mendalam

(Somantri, 2007 ; Kemis & Rosnawati, 2013).

Reaksi yang muncul pada orang tua saat anaknya lahir dapat berbeda-beda,

tergantung pada berbagai faktor (Somantri, 2007). Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Orang tua segara mengetahui atau terlambat diketahuinya bahwa anaknya

retardasi mental

2. Derajat / tingkat keparahan retardasi mental yang dialami anaknya

(42)

Perasaan dan tingkah laku orang tua berbeda-beda dan dapat dibagi menjadi:

1. Perasaan melindungi anak secara berlebihan

2. Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, sehingga

memunculkan praduga yang berlebihan seperti merasa ada yang tidak beres

tentang urusan keturunan dan merasa kurang mampu mengasuhnya.

3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal sehingga

menyebabkan cepat marah dan tingkah laku agresif bahkan depresi.

4. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri

5. Bingung dan malu yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul

dengan tetangga dan lebih suka menyendiri.

Banyak orang tua cemas dengan anak-anak mereka, tetapi orang tua anak

retardasi mental melaporkan lebih banyak kecemasan dibandingkan orang tua

anak normal. Mereka mencemaskan tentang keterbatasan kognitif anak yang akan

membatasi pekerjaan mereka, sosial, tujuan-tujuan keluarga, bahkan efek kepada

anak-anak mereka yang lain karena mempunyai saudara yang retardasi mental

(Haugaard, 2008).

Orang tua cemas ketika anaknya tersebut bermain dan bersosialisasi dengan

anak lain karena keterbatasan kognitif, anaknya malah melakukan hal yang salah

dan bisa mengganggu anak lain (Haugaard, 2008). Perilaku anak retardasi mental

yang juga merisaukan atau menyusahkan orang tua ialah perilaku mencederai diri

(self mutilating) mengantukkan kepalanya, menggigit jarinya, perilaku agresif,

mengamuk. Tidak jarang juga orang tua menyatakan bahwa anaknya suka

(43)

Anak retardasi mental mengalami gangguan tidur dan bisa berjalan-jalan

mengelilingi rumah pada malam hari, sehingga orang tua harus terjaga (Haugaard,

2008; Lumbantobing, 2006).

Anak retardasi mental belajar dengan cara yang berbeda dan perkembangan

yang lebih lambat dibandingkan anak yang lain sehingga orang tua merasa frustasi

dan kehilangan semangat dalam merawat anaknya (Haugaard, 2008). Kecemasan

dan depresi juga lebih banyak dialami oleh ibu karena ibu yang cenderung secara

langsung dalam merawat anak retardasi mental. Oleh karena itu, ibu tampaknya

lebih rentan terhadap stress yang terkait dengan masalah perilaku anak (Azeem et.

(44)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan

gambaran tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial

anak retardasi mental sebagai berikut:

Skema 3.1 Kerangka Konsep dari Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental

Cemas Ringan

Cemas Sedang

Cemas Berat Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam

Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental:

1. Hiperaktivitas

2. Mengganggu teman (anak lain) 3. Beralih perhatian

4. Mudah frustasi 5. Sering menangis 6. Merusak benda/barang 7. Melukai diri

(45)

3.2 Definisi Operasional

(46)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan

untuk mengidentifikasi gambaran tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi

masalah perilaku sosial anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat

(YPAC) Medan.

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian 4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua dengan anak retardasi mental

di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. Berdasarkan data yang

diperoleh, terdapat 110 orang anak retardasi mental tingkat ringan dan sedang

yang bersekolah di YPAC Medan.

4.2.2 Sampel

Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel menggunakan purposive

sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara

populasi sesuai dengan yang dikehendaki (Nursalam, 2011). Adapun kriteria

inklusi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Orang tua (Ibu) yang bersedia menjadi responden

2. Orang tua (Ibu) yang memiliki anak bersekolah di YPAC Medan

3. Orang tua (Ibu) yang memiliki anak retardasi mental sedang

(47)

Berdasarkan kriteria inklusi di atas, maka yang menjadi responden pada

penelitian ini berjumlah 57 orang yaitu seluruh ibu dengan anak retardasi mental

sedang. Data siswa diperoleh peneliti dari pihak sekolah dengan ketentuan bahwa

data tersebut dirahasiakan dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jl. Adinegoro No. 2 Medan. Adapun pemilihan lokasi adalah karena yayasan tersebut

memberikan pelayanan untuk anak-anak retardasi mental dan lokasi mudah

dijangkau oleh peneliti untuk mendapatkan sampel yang diinginkan. Penelitian ini

dilakukan pada bulan September 2013 hingga Juli 2014.

4.4 Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah sidang proposal dan revisi proposal yang

dilakukan berdasarkan masukan dari dosen penguji, mendapat persetujuan dari

Komisi Etik Penelitian Kesehatan dan Dekan Fakultas Keperawatan USU, setelah

selesai melakukan uji reliabilitas instrumen di SLB TPI Amplas. Izin

pengumpulan data diperoleh dari Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC)

Medan. Peneliti mengakui hak-hak responden dalam menyatakan kesediaan atau

ketidaksediaannya untuk dijadikan subjek penelitian. terdapat beberapa hal

berkaitan dengan permasalah etik, Peneliti menyiapkan informed concent yang

akan ditandatangani berdasarkan keinginan responden tanpa ada paksaan. Peneliti

(48)

kesempatan untuk bertanya tentang penelitian yang dilakukan. Kuesioner juga

akan diberi kode tertentu yang hanya diketahui oleh peneliti agak tetap menjaga

kerahasiaannya (confidentiality). Semua data yang diperoleh dari responden

digunakan untuk kepentingan penelitian saja.

4.5 Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat

pengumpul data berupa kuesioner. Kuesioner ini terdiri dari dua bagian, data

demografi dan kecemasan orangtua dalam menghadapi masalah perilaku sosial

anak retardasi mental.

Pada bagian pertama kuesioner berisi data demografi yang meliputi usia,

agama, suku, status perkawinan, pendidikan terakhir, pekerjaan orangtua,

penghasilan keluarga perbulan, jumlah anak, usia anak retardasi mental, jenis

kelamin anak retardasi mental. Data demografi ini bertujuan untuk mengetahui

karakteristik responden, mendeskripsikan distribusi frekuensi dan persentase

demografi responden.

Bagian kedua kuesioner disusun berdasarkan modifikasi dari Hamilton Anxiety

Rating Scale dan tinjauan pustaka. Kuesioner ini berisi 14 pernyataan untuk

menggambarkan tingkat kecemasan orangtua dalam menghadapi masalah perilaku

sosial anak retardasi mental.

Kuesioner disusun dalam bentuk pernyataan positif dengan menggunakan skala

Likert yang terdiri dari pilihan jawaban yaitu, Tidak pernah (TP) = 1,

(49)

Perhitungan penentuan interval kelas pada kuesioner ini menggunakan rumus

(Wahyuni, 2011), yaitu:

I (panjang kelas) = Rentang

Banyak Kelas

Kuesioner tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku

sosial anak retardasi mental terdiri dari 14 pernyataan sehingga nilai tertinggi 56

dan nilai terendah 14 dan didapatkan rentang sebesar 42, dengan 3 banyak kelas

yaitu ringan, sedang dan berat didapatkan panjang kelas 14. Maka hasil ukur

didapatkan nilai 14-28 adalah cemas ringan, 29-42 adalah cemas sedang, 43-56

adalah cemas berat.

4.6 Validitas dan Reliabilitas

4.6.1 Validitas

Validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data. Instrumen harus dapat

mengukur apa yang seharusnya diukur. Uji validitas mengukur dua hal penting

yang harus dipenuhi yaitu relevan isi dan relevan cara dan sasaran (Nursalam,

2011). Validitas instrumen telah diuji kelayakannya oleh ahli dibidangnya yaitu

dosen S2 Departemen Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan USU. Uji

validitas instrumen berupa uji validitas isi dan berjumlah 14 pernyataan.

Awalnya kuesioner berjumlah 15 item pernyataan. Perubahan yang dilakukan

adalah mengurangi 1 pernyataan menjadi 14 dari 15 pernyataan karena dinilai

(50)

selanjutnya adalah memperbaiki beberapa kata dan seluruh pernyataan dinilai

valid dan diberi nilai 4 kecuali item nomor 5 dan 13 yang diberi nilai 3. Jika

dihitung nilai validitasnya yaitu nilai skor hitung (54) dibagi nilai tertinggi (56)

adalah 0,96, sehingga dinyatakan kuesioner telah valid secara validitas isi oleh

ahlinya.

4.6.2 Reliabilitas

Kuesioner gambaran tingkat kecemasan orangtua dalam menghadapi

masalah perilaku sosial anak retardasi mental disusun sendiri oleh peneliti

berdasarkan modifikasi dari Hamilton Anxiety Rating Scale dan tinjauan

pustaka sehingga perlu dilakukan uji reliabilitas untuk menunjukkan sejauh

mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Uji

reliabilitas dilakukan di tempat yang berbeda dari tempat penelitian yang

sebenarnya dengan ciri sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi, sehingga

dapat dilihat hasilnya konsisten atau tidak. Uji reliabilitas telah dilakukan di

SLB TPI Amplas, Medan dan dilakukan kepada 17 orang tua (ibu) anak

retardasi mental yang sesuai dengan kriteria penelitian menggunakan rumus

Cronbach Alpha dan didapatkan nilai 0,9. Instrumen dinyatakan layak

digunakan karena instrumen penelitian yang di uji bernilai >0,70.

4.7 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah terlebih dahulu peneliti mengajukan

(51)

Universitas Sumatera Utara) dan permohonan izin penelitian yang diperoleh

dikirimkan ke tempat penelitian (YPAC Jl. Adinegoro No. 2 Medan ).

Setelah mendapat izin dari yayasan, peneliti mengambil data kepada responden

dengan terlebih dahulu menjelaskan pada responden tentang tujuan, manfaat

penelitian dan cara pengisian kuesioner. Calon responden yang bersedia menjadi

responden diminta untuk menandatangani surat persetujuan atau dengan

memberikan persetujuan secara verbal atau lisan. Selanjutnya responden diminta

untuk mengisi kuesioner dan peneliti akan mengingatkan kepada responden agar

kuesioner diisi secara teliti dan cermat serta diberikan kesempatan untuk bertanya

bila tidak mengerti. Setelah semua responden mengisi kuesioner, maka peneliti

mengumpulkan data untuk dianalisa.

Namun dalam pelaksanaan pengumpulan data dijumpai kendala yaitu ada

beberapa responden yang tidak dapat langsung dijumpai oleh peneliti untuk

mengisi kuesioner. Hal ini disebabkan ada beberapa anak yang diantar oleh

saudara atau berangkat sendiri ke sekolah, sehingga orang tua yaitu ibu anak

retardasi mental tidak lagi mengantar atau menunggu anaknya di sekolah. Peneliti

akhirnya menitipkan kuesioner kepada guru di kelas sehingga anak dapat

memberikan kuesioner kepada orang tua.

4.8 Analisa Data

Analisa data dilakukan setelah semua data telah terkumpul melalui beberapa

tahap dimulai dari editing untuk memeriksa kelengkapan identitas dan data

(52)

dilanjutkan diberi kode (coding) dan dikemas dalam tabulasi data (tabulating).

Selanjutnya data-data tersebut dimasukkan (entry) ke dalam master table atau

database komputer dan diolah dengan menggunakan teknik analisa univariat yang

dilakukan pada satu variabel dari hasil penelitian untuk menghasilkan distribusi

dan persentase dari variabel tersebut. Teknis analisis yang dilakukan adalah teknik

analisis kuantitatif karena data yang akan diolah berbentuk angka.

Analisa data untuk mencari tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi

masalah perilaku sosial anak retardasi mental menggunakan statistik deskriptif

dengan tujuan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul

sebagaiman adanya. Data demografi akan dipresentasikan dalam bentuk distribusi

(53)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian

Pada bab ini diuraikan data hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh

dari hasil pengumpulan data terhadap 57 orang tua dalam menghadapi masalah

perilaku sosial anak retardasi mental. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal

September 2013 – Juli 2014 di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan.

Penyajian data penelitian ini meliputi karakteristik responden, dan tingkat

kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi

mental.

5.1.1 Karakteristik Responden

Pada penelitian ini jumlah responden yaitu ibu sebanyak 57 orang. Data

yang diperoleh menunjukkan bahwa hampir setengah ibu berada pada rentang

usia 46-55 tahun yaitu sebanyak 23 orang (40,3%). Mayoritas responden ibu

beragama Islam yaitu sebanyak 47 orang (82,5%). Lebih dari setengah

responden ibu bersuku batak yaitu 31 orang (54,4%), mayoritas responden

ibu masih memiliki pasangan 50 orang (87,7%), dan lebih dari sepertiga

responden ibu memiliki latar belakang pendidikan SMA yaitu 21 orang

(36,8%). Hampir setengah responden bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga

yaitu 23 orang (40,4%), hampir setengah responden memiliki penghasilan

keluarga >Rp. 1.500.000 yaitu 27 orang (47,4%). Mayoritas responden ibu

memiliki anak >1 orang yaitu 48 orang (84,2%). Lebih dari sepertiga usia

anak responden ibu berada pada rentang 12-16 dan 17-25 tahun yaitu 18

(54)

kelamin perempuan yaitu 32 orang (56,1%). Untuk lebih jelas dapat dilihat

pada tabel 5.1 di bawah.

Tabel 5.1 Distribusi Frekwensi Karakteristik Responden di Yayasan Pembinaan

Anak Cacat (YPAC), Medan (n=57)

Data Demografi Frekuensi (n) Persentase (%)

Usia

Data Demografi Frekuensi (n) Persentase (%)

(55)

Jenis Kelamin Anak

5.1.2 Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat Medan (YPAC) Medan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas responden

yaitu ibu dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi mental di

Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan memiliki tingkat kecemasan

ringan (84,2%) dan sedang (15,8%). Dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. (n=27)

No Tingkat Kecemasan Pasien Frekuensi (n) Persentase (%)

1 Cemas Ringan 48 84,2%

Pembahasan pada penelitian ini akan menjelaskan tentang makna hasil

penelitian dan membandingkan dengan penelitian sebelumnya atau literatur yang

ada. Pembahasan hasil penelitian menjelaskan tentang karakteristik demografi

tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak

retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa mayoritas orang tua yaitu

(56)

mengalami kecemasan sedang yaitu 15,8% dalam menghadapi masalah perilaku

sosial anak retardasi mental. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Norhidayah

dkk. (2012) kecemasan yang terjadi pada ibu penderita retardasi mental

disebabkan oleh permasalahan yang ditimbulkan karena memiliki anak retardasi

mental itu lebih kompleks dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak normal.

Hal yang juga menyebabkan sebagian besar ibu penderita retardasi mental

mengalami kecemasan sedang adalah kemungkinan adanya konflik dalam

menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi mental. Seringkali orang tua

tidak memahami mengenai retardasi mental sehingga mereka merasa bimbang

terhadap kondisi anaknya dan mengalami konflik dalam diri. Konflik juga

berpotensi terjadi karena adanya perbedaan penanganan terhadap anak retardasi

mental. Hastuti dalam Norhidayah dkk. (2012) menjelaskan bahwa permasalahan

yang banyak dialami oleh ibu penderita retardasi mental mengacu pada tingkah

laku dan emosi anak retardasi mental sehingga mereka juga cemas terhadap

pendidikan dan pengasuhan anak retardasi mental. Hal ini dikarenakan anak

retardasi mental membutuhkan pengawasan yang berbeda-beda daripada anak

normal.

Walker dalam Maulina dan Sutatminingsih (2005) juga menambahkan bahwa

stress pada ibu yang memiliki penyandang cacat, khususnya retardasi mental

berhubungan dengan permasalahan perilaku anak tersebut. Permasalahan perilaku

sosial anak dapat menyebabkan ibu mengalami stress dan reaksi-reaksi emosi

(57)

Kecemasan sedang dapat juga disebabkan oleh usia anak retardasi mental.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga anak berada pada

rentang usia 12-16 dan 17-25 tahun yaitu 31,6%. Penelitian Hordcik Elin dan

Straune Marianne dalam Triana dan Andriany (2010) menyatakan bahwa orang

tua yang memiliki anak dengan usia sangat muda atau bahkan baru lahir memiliki

kecemasan yang lebih tinggi.

Selain usia anak mempengaruhi kecemasan sedang pada orang tua, jumlah

anak juga dapat menjadi faktor lain penyebab kecemasan. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki anak >1 yaitu 84,2 %. Stuart

(1987) menyatakan bahwa kelelahan dapat menyebabkan kecemasan. Orang tua

memiliki peran ganda yaitu menunggu anak di sekolah dan harus mengurus anak

yang ada di rumah sehingga akan meningkatkan aktifitas ibu yang pada akhirnya

menyebabkan kelelahan dan menstimulus kecemasan.

Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang merasa sering tegang

ketika mengingat anaknya melukai dirinya sendiri yaitu 12,3%, ibu sering merasa

jantungnya berdebar-debar saat anaknya mengganggu temannya yaitu 10,5%,

bahkan ada ibu yang mengatakan terus-menerus gampang sedih melihat anaknya

menarik diri ketika berhadapan dengan orang lain yaitu 5,3% dan ibu yang

terus-menerus merasa ketakutan saat anaknya menganggu temannya yaitu 3,5%. Hal ini

sesuai dengan tanda kecemasan pada seseorang yang mengalami cemas sedang

menurut Peplau dalam Videbeck (2008) yaitu tanda-tanda vital meningkat dan

(58)

Kecemasan pada orang tua yaitu ibu anak retardasi mental berada pada

tingkat kecemasan ringan yaitu 84,2%. Kecemasan ringan yang dirasakan oleh

orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial merupakan hal yang wajar

dirasakan individu, dan ini menunjukkan respon orang tua yang masih adaptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap orang tua memiliki respon yang

berbeda-beda dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi mental.

Hal ini dapat disebabkan pengalaman orang tua dan banyak faktor yang

mempengaruhi tingkat kecemasan responden.

Kecemasan ringan pada ibu dapat disebabkan karena ibu sudah menerima dan

menyesuaikan diri ketika menghadapi anaknya. Penelitian Blacher dalam

Havemen et. al, (1997) dan Hosseinkhanzadeh et. al, (2013) telah

menggambarkan tahapan penyesuaian orang tua untuk diagnosis retardasi mental.

Tahap penyesuaian orang tua tersebut yaitu (1) tanggapan awal krisis (shock,

denial), (2) disorganisasi emosional (rasa bersalah, agresi, menyalahkan, depresi)

dan (3) reorganisasi emosional (redefinisi harapan, penerimaan dan penyesuaian).

Ibu pada penelitian ini kemungkinan sudah berada pada tahap terakhir

penyesuaian tersebut yaitu penerimaan dan penyesuaian terhadap anaknya yang

perilaku sosialnya bermasalah.

Kecemasan pada orang tua yaitu ibu berada pada ketegori rendah juga dapat

disebabkan karena ibu telah menggunakan mekanisme koping mengatasi

kecemasannya. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2007) menunjukkan

bahwa coping lebih banyak berhubungan dengan perilaku anak yang bermasalah.

Gambar

Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).
gambaran tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial
+5

Referensi

Dokumen terkait

Selama perkuliahan penulis aktif pada berbagai organisasi mahasiswa diantaranya Himpunan Mahasiswa Agribisnis (HIMAGRIS), Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Fakultas

Tabel koefisien kerugian head untuk beberapa macam fitting [3] Lampiran 1.. Tabel koefisien kerugian head untuk beberapa macam fitting [3]

Penelitian ini terdiri dari 9 (sembilan) putaran dengan 5 (lima) proses pada setiap putarannya sehingga menghasilkan ciphertext yang acak dengan nilai korelasi sangat lemah

Bagian tubuh yang belum ideal menurut pendapat responden di atas hampir sama dengan hasil penelitian Widianti dan Candra (2012) pada rema- ja putri di SMA Theresiana

Berdasarkan hasil analisis pada alat musik akordion, alat musik beruas dan pola tabuhan rebana yang mengiringi tari Jepin Tembung Sanggar Bougenville Kota

Gambar 8 merupakan hasil avalanche effect pada 3 plaintext berbeda yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Penentuan banyaknya putaran yang diperlukan yaitu

Dalam proses enkripsi regenerasi kunci memberikan cara khusus bagaimana suatu algoritma mentransformasikan teks terang ( plaintext ) menjadi teks tersandi ( ciphertext

Gejala psikososial pada subjek hipotiroid, seperti mudah sedih, merasa tertekan, tidak bersemangat dan apatis serta lebih suka menyendiri, disebabkan oleh adanya mekanisme