GAMBARAN TINGKAT KECEMASAN ORANG TUA DALAM
MENGHADAPI MASALAH PERILAKU SOSIAL ANAK
RETARDASI MENTAL DI YAYASAN PEMBINAAN
ANAK CACAT (YPAC) MEDAN
SKRIPSI
Oleh
Fourlina Noviyani Ndraha 101101051
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PRAKATA
Segala pujian dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
untuk berkat, rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua Dalam
Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di YPAC Medan”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat
kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi
mental. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian
pendidikan sarjana keperawatan di Fakultas Keperawatan USU.
Selama proses pengerjaan skripsi ini banyak pihak-pihak yang berperan,
dengan memberikan masukan maupun dukungan. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebenar-benarnya
kepada:
1. Bapak dr. Dedi Ardianta, M.Kes selaku dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara, Ibu Erniyati, S.Kep, MNS selaku Pembantu
Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, Ibu Evi Karota
Bukit, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara, Bapak Ikhsanuddin Harahap, S. Kp, MNS
selaku Pembantu Dekan III Universitas Sumatera Utara dan Selaku dosen
pembimbing akademik penulis yang selalu memberikan saran, masukan,
dan bimbingan selama ini.
2. Ibu Mahnum Lailan Nasution, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen
dan arahan yang sangat membantu sehingga penyusunan skripsi ini dapat
diselesaikan.
3. Bapak Ismayadi, S.Kep, Ns, M.Kes selaku dosen penguji sidang saya yang
juga telah memberikan masukan bagi skripsi ini.
4. Ibu Salbiah, S.Kp, Ns, M.Kep selaku dosen penguji saya yang juga telah
memberikan masukan bagi skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan staf pengajar serta civitas akademika Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
bimbingan selama masa perkuliahan.
6. Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) TPI Amplas yang telah memberikan
izin dan membantu untuk melakukan uji reliabilitas.
7. Kepala Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan yang telah
memberikan izin dan membantu untuk melakukan penelitian
8. Seluruh orang tua dan adik-adik di SLB TPI Amplas dan YPAC Medan
yang telah membantu saya dalam penelitian ini.
9. Terima kasih kepada keluarga tercinta Bapak O. Ndraha dan Ibu R. Harefa
serta abang dan kakak yang selalu mendoakan dan memberi motivasi dan
kasih sayang. Semoga saya dapat mempersembahkan yang terbaik dan
menjadi kebanggaan bagi kalian.
10.Teman-teman senasib seperjuangan angkatan 2010 yang selalu memotivasi
dan memberi masukan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis sangat
menyadari bahwa dalam penelitian maupun isi skripsi ini masih banyak
para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir
kata penulis sampaikan terimakasih.
Medan, Juli 2014
Hormat Saya
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Skripsi ... ii
Abstrak ... iii
1.1 Definisi Retardasi Mental ... 7
1.2 Kriteria Diagnostik Retardasi Mental ... 8
1.3 Klasifikasi Retardasi Mental ... 9
1.4 Etiologi Retardasi Mental ... 12
1.5 Terapi Retardasi Mental ... 17
1.6 Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental ... 18
2. Kecemasan ... 22
2.1 Definisi Kecemasan ... 22
2.2 Tanda dan Gejala Kecemasan ... 23
2.3 Tingkat Kecemasan ... 25
2.4 Rentang Respon Kecemasan ... 27
2.5 Penyebab Kecemasan ... 28
3. Kecemasan Orang Tua dengan Anak Retardasi Mental ... 30
BAB 3 Kerangka Penelitian ... 34
1. Kerangka Konseptual ... 34
2. Definisi Operasional... 35
6. Validitas dan Reliabilitas ... 39
7. Pengumpulan Data ... 41
8. Analisa Data ... 42
BAB 5 Hasil dan Pembahasan ... 43
1. Hasil Penelitian ... 43
1.1 Karakteristik Responden ... 43
1.2 Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di YPAC Medan ... 45
2. Pembahasan ... 46
BAB 6 Kesimpulan dan Saran ... 54
1. Kesimpulan ... 54
2. Saran ... 54
Daftar Pustaka ... 57
Lampiran
1. Penjelasan Tentang Penelitian
2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden
3. Instrumen Penelitian
4. Distribusi Frekuensi
5. Data Demografi Responden
6. Master Data
7. Pakar Uji Validitas
8. Jadwal Tentatif
9. Anggaran Biaya Penelitian
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan ... 25 Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 35 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Yayasan Pembinaan
Anak Cacat (YPAC) Medan... 45 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Rentang respon kecemasan Hildegrad Peplau (1952) ... 27 Skema 2.2 Rentang Respon Kecemasan menurut Stuart (2012 ... 28 Skema 3.1 Kerangka Konsep dari Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua
dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi
ABSTRAK
Anak retardasi mental berkemampuan terbatas pada kognitif dan adaptif sehingga dapat mempengaruhi kemampuan mereka dalam bersosialisasi dan berperilaku. Orang tua anak retardasi mental mengalami cemas dalam menghadapi perilaku sosial anaknya seperti hiperaktif, mengamuk dan suka berkelahi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan jumlah responden 57 orang dengan teknik
purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang meliputi data demografi dan kuesioner kecemasan. Hasil analisa data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas responden mengalami cemas ringan 84,2% dan cemas sedang 15,8%. Petugas kesehatan khususnya perawat jiwa diharapkan dapat memberikan terapi yang tepat terhadap orang tua yang masih mengalami kecemasan sehingga orang tua khususnya ibu, dapat menghadapi masalah perilaku sosial anaknya dan mengasuh anaknya dengan baik.
Kata kunci : Retardasi mental, kecemasan, perilaku sosial
Judul penelitian : Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan
Nama : Fourlina Noviyani Ndraha
NIM : 101101051
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Title : Description of the level of anxiety of parents in dealing with problems of mental retardation children’s social behavior in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan
Name : Fourlina Noviyani Ndraha Student Number : 101101051
Major : Bachelor of nursing
Year : 2014
ABSTRACT
Mental retardation children have limited capability of cognitive and adaptive so that it can affect their ability in socializing and behave. Parents who has children with mental retardation have anxiety in dealing with their children’s social behavior such as hyperactivity, rages and loves to fight. This research aims to identify the level of anxiety of parents in dealing with problems of mental
retardation children’s social behavior in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. The design used in this research is descriptive, with the number of
respondents 57 people with technical purposive sampling. The collecting data used a questionnaire covering demographic data and questionnaire anxiety. Results of the data analysis are presented in the form frequency distribution and percentage. The result of this research showed the majority of respondents experienced mild anxiety 84,2% and moderate anxiety 15,8%. Medical staff especially mental nurse expected can provide the right therapy to the parents who are still experiencing anxiety so that parents, especially mothers, can deal with the problems of social behavior of her children and take care of their children well.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Anak berkelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki
penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia
sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu
kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti
kurang (subnormal). Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau
retardasi mental yaitu anak yang diidentifikasikan memiliki tingkat kecerdasan
yang sedemikian rendahnya sehingga untuk meniti tugas perkembangannya
memerlukan bantuan atau layanan khusus (Efendi, 2006).
Retardasi mental bukan suatu penyakit tetapi suatu kondisi sehingga retardasi
mental tidak dapat disembuhkan atau diobati dengan obat apapun. Retardasi
mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasan seorang individu
mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal.
Karakteristik umumnya adalah keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial dan
keterbatasan fungsi mental lainnya seperti reaksi yang lama pada situasi yang baru
dikenalnya, penguasaan bahasa dan kurang mampu mempertimbangkan sesuatu
yang baik dan yang buruk (Efendi, 2006).
Retardasi mental adalah salah satu gangguan perkembangan yang paling umum
terjadi . Angka kejadian retardasi mental di berbagai negara berkembang secara
umum berkisar 1-3% setiap populasi (Anderson et al., 1990; Murphy et al., 1995;
adalah 9,1/1000 orang (Katusic et al. 1996) dan di negara China (Xie et al. 2008)
sebanyak 9.3/1000 orang (Maulik, 2013).
Menurut Sensus Nasional BPS tahun 2006, dari 222.192.572 penduduk
Indonesia, sebanyak 0,7 % atau 2.810.212 jiwa adalah penyandang cacat dan
sebanyak 601.947 anak (21,42%) diantaranya adalah anak cacat usia sekolah
(5-18 tahun). Berdasarkan data Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007 jumlah peserta
didik penyandang cacat yang mengenyam pendidikan baru mencapai 27,35% atau
87.801 anak. Jumlah populasi anak retardasi mental menempati paling besar yaitu
66.610 anak dibanding jumlah anak dengan kecacatan lainnya. sekitar 57% dari
jumlah itu adalah retardasi ringan dan sedang (Depkes, 2009).
Anak retardasi mental berjuang bukan hanya dengan tugas yang berhubungan
dengan kognitif saja (seperti menyelesaikan tugas sekolah) tetapi juga pada relasi
sosial, dan anak retardasi mental lebih mungkin untuk depresi, cemas dan marah
dibandingkan anak lainnya (Haugaard, 2008). Keterbatasan kognitif pada anak
retardasi mental bisa secara signifikan mempengaruhi kemampuan mereka dalam
membentuk ataupun menjaga persahabatan. Anak retardasi mental kesulitan
menilai situasi sosial dan juga kurang mampu mempertimbangkan lebih dari satu
interpretasi situasi sosial dan sering mengandalkan pengalaman sebelumnya
ketika menentukan bagaimana berespon (Leffert et al., 2000 dalam Haugaard,
2008).
Anak retardasi mental juga memiliki keinginan untuk memenuhi segala
kebutuhannya, namun sering sekali terjadi kegagalan dan berakibat pada perasaan
salah seperti kompensasi yang berlebihan, displacement, regresi, destruksi, agresif
dan sebagainya. Wescler berpendapat bahwa kecerdasan merupakan kemampuan
seeorang untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional serta menghadapi
lingkungan secara efektif (Efendi, 2006). Seseorang akan bersosialisasi dengan
baik apabila memiliki daya pikir yang baik untuk memenuhi kebutuhan fisik dan
sosialnya. Inilah yang menyebabkan kemampuan bersosialisasi anak retardasi
mental menjadi terhambat dan sering menunjukkan respon yang tidak tepat
sehingga mereka dianggap mengganggu, aneh dan menjengkelkan bagi
teman-temannya (Haugard, 2008). Semakin tinggi tingkat keparahan retardasi mental
maka semakin rendah perkembangan sosialnya (Kumar et. al., 2009).
Sepanjang sejarah manusia terdapat hubungan yang dekat dan tidak mungkin
dipisahkan yaitu keluarga, orang tua dan anak. Bentuk tingkah laku sosial anak
yang antara lain sikapnya terhadap orang lain dan kelompok orang sebagian besar
berasal dari apa yang dia pelajari dari tata cara kehidupan keluarganya. Dalam
pandangan psikodinamik, keluarga merupakan lingkungan sosial yang secara
langsung mempengaruhi individu (Notosoedirdjo & Latipun, 2011). Keluarga
berperan dalam menjamin kelangsungan hidup anak secara fisik, melatih anak
kearah peranan-peranan sosial dalam masyarakat disertai dengan tanggung jawab
sosial (Kusumawardhani, 2013).
Keluarga adalah sumber utama dukungan bagi penyandang retardasi mental
dalam masyarakat. Keluarga mengalami banyak beban fisik dan emosional dalam
lahir dan tumbuh hingga dewasa dalam keluarga adalah pengalaman paling stress
pada keluarga (Floyd & Philippe, 1993 dalam Al-Qaisy et. al., 2012).
Stress yang dialami orang tua merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan
saat memiliki anak retardasi mental. Kombinasi dari banyaknya stressor muncul
untuk memprediksi kemungkinan orang tua mengalami stress dan juga
kecemasan. Ibu yang memiliki anak retardasi mental dilaporkan memperlihatkan
kecemasan signifikan dibandingkan ayah dan ibu melaporkan karakteristik anak
yang lebih negatif dibandingkan ibu yang anaknya tidak cacat, dan juga
melaporkan frekuensi depresi yang tinggi dan pergumulan menghadapi tingkah
laku anak (Romans-Clarkson et. al., 1986; Ziler & Hodapp, 1986 dalam Al-Qaisy
et. al., 2012; Majumdar, 2005).
Reaksi orang tua terhadap realita bahwa anaknya adalah anak luar biasa sering
mengakibatkan kecemasan, depresi, sedih, marah. Tiap individu berbeda dalam
menangani dan menyesuaikan pada situasi yang penuh stress ini (Floyd and
Philippe, 1993; Vernon and David, 2001 dalam Al-Qaisy et. al., 2012). Diagnosa
kecemasan dan depresi pada ibu juga berhubungan dengan tingkat keparahan
retardasi mental pada anaknya (Azeem et. al., 2013).
Orang tua anak retardasi mental melaporkan merasa cemas tentang kehidupan
sosial anaknya (Haugard, 2008). Sering ditemukan masalah yang merisaukan atau
menyusahkan orang tua seperti agresif, mengantukkan kepalanya, mengamuk,
suka berkelahi, tidak hati-hati, perilaku mencederai diri sendiri (self mutilating)
Oleh karena perilaku sosial yang meresahkan pada anak retardasi mental cukup
sering ditemukan maka peneliti tertarik untuk meneliti gambaran tingkat
kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial pada anak
retardasi mental.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka
dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : “Bagaimanakah
gambaran tingkat kecemasan orangtua dalam menghadapi masalah perilaku sosial
anak retardasi mental?”
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan
orangtua dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi mental.
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka
memberikan asuhan keperawatan yang tepat kepada orangtua yang
mempunyai anak retardasi mental.
1.4.2 Bagi Institusi Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
keperawatan khususnya di bidang keperawatan jiwa.
1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan
Peneliti lain yang ingin melakukan penelitian tentang topik yang sama,
pemikiran dan dijadikan bahan koreksi sehingga dapat melakukan
penelitian yang lebih baik dari penelitian sebelumnya.
1.4.4 Bagi Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan
Hasil penelitian ini menjadi bahan masukan supaya dapat membangun
dan mempertahankan kerja sama dengan orang tua dalam perawatan dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Retardasi Mental
2.1.1 Definisi Retardasi Mental
Menurut International Stastistical Classification of Diseases and Related
Health Problem (ICD-10), retardasi mental adalah suatu keadaan
perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai
oleh adanya keterbatasan (impairment) keterampilan (kecakapan, skills) selama
masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat inteligensia
yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. Retardasi mental dapat
terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya.
Prevalensi dari gangguan jiwa lainnya sekurang-kurangnya tiga sampai empat
lipat pada populasi ini dibanding dengan populasi umum (Lumbantobing,
2006).
Retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical Manual IV-TR (DSM
IV-TR, 2004) adalah gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual disertai
oleh defisit atau hendaya fungsi adaptif sedikitnya dua area kemampuan:
komunikasi, perawatan diri, pemenuhan kebutuhan hidup, kemampuan
sosial/interpersonal, penggunaan sumber komunitas, kemandirian, kemampuan
fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang, kesehatan, keamanan dan harus
terjadi sebelum usia 18 tahun. Di samping menggunakan kriteria IQ (kuosien
inteligensi) bahwa perlu diperhatikan kriteria sosialnya, kemampuan
menyesuaikan di lingkungan hidupnya. American Association on Mental
suatu keadaaan dengan ciri-ciri, yaitu disabilitas yang ditandai dengan suatu
limitasi/keterbatasan yang bermakna baik dalam fungsi intelektual maupun
perilaku adaptif yang diekspresikan dalam keterampilan konseptual, sosial dan
praktis. Keadaan ini terjadi sebelum usia 18 tahun (Kusumawardhani, 2013).
American Association on Mental Retardation (AAMR) menggunakan suatu
pendekatan multi-dimensional atau biopsikososial yang mencakup 5 dimensi
yaitu: kemampuan intelektual, perilaku adaptif, partisipasi, interaksi, dan peran
sosial, kesehatan fisik dan mental, konteks budaya dan juga lingkungan. Oleh
karena itu, tingkat IQ yang ditetapkan hanya merupakan petunjuk dan
seharusnya tidak ditetapkan secara kaku dalam memandang keabsahan
permasalahan lintas budaya. Derajat retardasi mental dipengaruhi berbagai
faktor seperti misalnya terdapatnya berbagai disabilitas (misalnya
panca-indera), tersedianya sarana pendidikan, sikap dari caregiver dan stimulasi yang
diberikan (Kusumawardhani, 2013).
2.1.2 Kriteria Diagnostik Retardasi Mental
Kriteria Diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV-TR (2004) adalah:
1. Fungsi intelektual secara signifikan: IQ lebih kurang 70 atau dibawah
pada seorang individu melakukan tes IQ.
2. Kekurangan yang terjadi bersamaan atau hendaya yang muncul pada
fungsi adapatif (keefektifan seseorang dalam memenuhi standar yang
diharapkan untuk usianya oleh kelompok masyarakat) dalam minimal
kebutuhan hidup, kemampuan sosial/interpersonal, penggunaan sumber
komunitas, kemandirian, kemampuan fungsi akademik, pekerjaan, waktu
luang, kesehatan, keamanan.
3. Terjadi sebelum umur 18 tahun
2.1.3 Klasifikasi Retardasi Mental
Klasifikasi retardasi mental berdasarkan derajat keparahan dan kelemahan
intelektual terbagi dalam lima tingkatan menurut DSM IV-TR (2004), yaitu:
1. Retardasi Mental Ringan
Retardasi Mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok
retardasi yang dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk sebagian
besar (sekitar 85%) dari kelompok retardasi mental. Pada usia pra sekolah
(0-5 tahun) mereka dapat mengembangkan kecakapan sosial dan
komunikatif, mempunyai sedikit hendaya dalam bidang sensorimotor, dan
sering tidak dapat dibedakan dari anak yang tanpa retardasi mental, sampai
usia yang lebih lanjut. Pada usia remaja, mereka dapat memperoleh
kecakapan akademik sampai setara kira-kira tingkat enam (kelas 6 SD).
Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai kecakapan sosial
dan vokasional cukup sekedar untuk bisa mandiri, namun mungkin
membutuhkan supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama ketika
mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi.
2. Retardasi Mental Sedang
Retardasi Mental sedang ini secara kasar setara dengan kelompok
dapat dilatih ini tidak dapat digunakan, karena memberi kesan mereka dari
kelompok ini tidak dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk
sekitar 10% dari kelompok retardasi mental. Kebanyakan individu dengan
tingkat retardasi ini memperoleh kecakapan komunikasi selama masa anak
dini. Mereka memperoleh manfaat dari latihan vokasional, dan dengan
pengawasan yang sedang dapat mengurus atau merawat diri sendiri. Mereka
juga memperoleh manfaat dari latihan kecakapan sosial dan okupasional
namun mungkin tidak dapat melampaui pendidikan akademik lebih dari
tingkat dua (kelas dua sekolah dasar). Mereka dapat bepergian di
lingkungan yang sudah dikenal.
Selama remaja, mereka kesulitan dalam mengenal norma-norma
pergaulan lingkungan sehingga mengganggu hubungan persaudaraan. Pada
masa dewasa sebagian besar dapat melakukan kerja yang kasar (unskilled)
atau setengah kasar (semi skilled) di bawah pengawasan workshop yang
dilindungi. Mereka dapat menyesuaikan diri pada komunitas lingkungan
dengan pengawasan (supervisi).
3. Retardasi Mental Berat
Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok retardasi
mental. Selama masa anak, mereka sedikit atau tidak mampu
berkomunikasi. Sewaktu usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan dapat
dilatih dalam kecakapan mengurus diri secara sederhana. Mereka
memperoleh jangkauan yang terbatas pada instruksi pelajaran pra-akademik,
menguasai seperti belajar membaca melihat beberapa kata. Sewaktu usia
dewasa mereka dapat melakukan kerja yang sederhana bila diawasi secara
ketat. Kebanyakan dapat menyesuaikan diri pada kehidupan di masyarakat,
bersama keluarganya, jika tidak didapatkan hambatan yang menyertai yang
membutuhkan perawatan khusus.
4. Retardasi Mental Sangat Berat
Kelompok retardasi mental ini membentuk 2% dari kelompok retardasi
mental. Pada sebagian besar individu dengan diagnosis ini dapat
diidentifikasi kelainan neurologik, yang mengakibatkan retardasi mentalnya.
Sewaktu masa anak, mereka menunujukkan gangguan yang berat dalam
bidang sensorimotor. Perkembangan motorik dan mengurus diri dan
kemampuan komunikasi dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan yang
adekuat. Beberapa di antaranya dapat melakukan tugas sederhana di tempat
yang disupervisi dan dilindungi.
5. Retardasi Mental Tidak Tergolongkan
Diagnosis untuk retardasi mental tidak tergolongkan, seharusnya
digunakan ketika ada dugaan kuat retardasi mental tetapi seseorang tidak
bisa dites dengan tes inteligensi standar. Hal ini bisa terjadi saat anak-anak,
remaja, atau dewasa ketika mereka mengalami hendaya yang terlalu berat
atau tidak bisa bekerjasama untuk menjalani tes, atau pada bayi, saat ada
keputusan klinik dari gangguan fungsi intelektual secara signifikan, tetapi
tes yang ada tidak dapat menghasilkan nilai IQ (contoh: The Bayley Scales
umumnya, seseorang yang lebih muda, lebih sukar untuk dikaji adanya
retardasi mental kecuali pada hendaya berat.
2.1.4 Etiologi Retardasi Mental
Beberapa kasus retardasi mental dapat disebabkan oleh masalah biologis yang teridentifikasi, termasuk cacat genetik dan kromosom, racun yang berasal
dari lingkungan, kekurangan nutrisi pada wanita hamil dan bayi, dan
penyakit-penyakit yang menimpa wanita hamil, bayi dan anak-anak (Leonard & Wen,
Haugaard, 2008).
1. Abnormal kromosom dan gen
a. Sindroma Down adalah penyebab paling umum masalah kromosom pada
retardasi mental. Sindroma Down umumnya terjadi karena kromosom 21
dari ibu gagal terpisah selama proses meiosis (pembelahan sel yang
terjadi selama pembentukan sel reproduksi). Ketika sepasang kromosom
yang tidak terpisah ini bersatu dengan kormosom 21 dari ayah, anak
tersebut menerima tiga salinan koromosom 21 satu (label trisomi 21 juga
digunakan untuk mendeskripsikan Sindroma Down). Kasus langka ketika
Sindroma Down disebabkan oleh translokasi bagian kromosom 21 ke
kromosom 14.
Sindroma Down terjadi sekitar 1,5 dari setiap 1000 kelahiran. Karena
abnormal kromosom berasal dari sel telur ibu dalam empat per lima
kasus, prevalensi Sindroma Down sangat terkait dengan usia ibu.
Perkiraan Sindroma Down terjadi sekitar 1 dari 1000 kelahiran pada ibu
ibu yang berusia diatas 44 tahun. Anak dengan sndroma Down
menunjukkan hendaya khas dalam mengekspresikan bahasa, walaupun
mereka mengerti bahasa.
Kemampuan mereka dalam berbicara pada umumnya terdiri dari
kalimat sederhana dan sering mengalami masalah dalam artikulasi,
sehingga kalimat yang disampaikan sulit untuk dimengerti. Anak
Sindroma Down sering digambarkan sangat bersosialisasi dan lebih
sedikit menunjukkan masalah perilaku dibandingkan anak dengan
penyebab organik bentuk retardasi mental.
b. Sindroma Fragile X adalah penyebab paling umum retardasi mental yang
diwariskan. Ditemukan sekitar 1 dari 4000 kelahiran pada laki-laki dan 1
dari 8000 kelahiran pada perempuan. Sindroma Fragile X disebabkan
oleh mutasi pada bagian lengan panjang kromosom X. Mutasi ini berada
pada gen yang saat ini disebut Fragile X Mental Retardation Gene
(FMR1).
Perempuan lebih sedikit terkena sindrom ini dibandingkan laki-laki
karena hanya satu kromosom X yang aktif dalam setiap sel. Karena
perempuan mempunyai dua kromosom, sebuah kromosom X dengan
sebuah gen FMR1 normal mungkin menjadi aktif dalam banyak sel yang
juga terdapat sebuah kromosom X dengan sebuah gen FMR1 termutasi,
sehingga sel mereka lebih sedikit rusak. Dibandingkan laki-laki yang
hanya mempunyai satu kromosom X, semua sel dengan kromosom X
Hampir semua laki-laki dengan sindroma Fragile X mengalami
gangguan kognitif dalam rentang sedang sampai berat. Anak dengan
sindroma Fragile X sering berbicara sangat cepat, mengulangnya
beberapa kali sehingga sulit untuk dimengerti. Mereka juga menunjukkan
perilaku kecemasan sosial yang tinggi yang disebabkan oleh
kewaspadaan berlebihan (hyperurosal) dari sistem saraf otonom,
menyebabkan reaksi berlebihan pada situasi sosial.
c. Phenylketonuria (PKU) adalah gangguan yang dihasilkan oleh sebuah
mutasi gen Phenylalanine Hydroxylase (PAH), yang ditemukan pada
bagian lengan pendek pada kromosom 12. Prevalensi PKU diperkirakan
1 dari 10.000 kelahiran diantara keturunan Eropa bagian barat dan
prevalensi lebih sedikit pada ras dan suku keturunan lain.
d. Sindrom Williams disebabkan oleh penghapusan gen pada kromosom 7.
IQ anak dengan sindrom Williams sekitar 75% berada pada rentang
50-70 sehingga memperlihatkan kesulitan belajar. Anak-anak dengan
sindroma ini sangat bersosialisasi dan selalu bersikap ramah dan
bersahabat. Meskipun begitu, mereka kesulitan untuk mendapatkan
teman. Hal ini dapat disebabkan karena keterbatasan kognitif atau
kemungkinan karena sikap ramah mereka yang membosankan dan
tindakan hiperaktif yang membuat temannya merasa menjengkelkan.
Pada anak yang lebih besar dan dewasa sering menunjukkan tingkat
kecemasan yang tinggi dan mengatakan bahwa mereka sangat kuatir
e. Sindroma Prader-Willi disebabkan oleh abnormalitas kromosom 15 dan
sekitar 65% kasus disebabkan oleh penghapusan gen dari kromosom di
pihak ayah. Prevalensi sindroma ini sekitar 1 dari 1.000 kelahiran. IQ
pada umumnya berada pada rata-rata rendah sampai tingkat sedang pada
retardasi mental. Ciri-ciri yang menonjol adalah obesitas. Anak dan
dewasa dengan sindroma ini hampir selalu lapar dan merasa asyik
dengan makanan. Selain itu, banyak yang mendeskripsikan bahwa
mereka memiliki emosi yang labil, suka berdebat, keras kepala, pemarah,
sedikit sensitif dan cemas, dan mereka bisa menangis dan merasa sakit
hati dengan mudah.
f. Sindroma Angelman disebabkan oleh abnormalitas di area yang sama
dengan sindrom Prader-Willi yaitu kromosom 15, penghapusan terjadi
dari kromosom ibu. Hendaya kognitif yang dialami oleh sindroma ini
lebih berat dibandingkan pada sindroma Prader-Willi. Kebanyakan anak
tidak dapat berbicara dan memiliki fitur wajah yang tidak normal, sering
menunjukkan ekspresi wajah yang bahagia.
2. Racun yang berasal dari lingkungan
Racun dalam dosis yang tinggi bisa menyebabkan retardasi mental berat
atau sangat berat, dalam dosis yang rendah dapat memberikan dampak
negatif tetapi tidak terlihat pada anak (misalnya IQ berkurang 10 poin).
a. Keracunan timbal dapat terjadi jika seorang anak menelan timbal dalam
jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat dan berefek bahaya dan
ringan namun efeknya tetap terlihat pada fungsi kognitif, seperti
rendahnya skor IQ dan masalah membaca.
b. Merkuri tertelan terutama melalui makanan laut.
c. Alkohol dikonsumsi oleh seorang wanita selama hamil bisa sangat
berefek pada perkembangan janin, namun efeknya dapat bervariasi pada
janin walaupun ibu mereka mengkonsumsi alkohol yang sama.
Mengkonsumsi alkohol dapat menyebabkan anak mengalami fetal
alcohol syndrome yang menyebabkan kecilnya massa otak anak,
hambatan motorik, perkembangan bahasa, dan hiperaktif.
d. Kekurangan nutrisi atau malnutrisi selama tahun pertama kehidupan bisa
membahayakan fungsi kognitif, tetapi tampaknya hanya ketika malnutrisi
berat. Trismester tiga dan bulan keenam kehidupan merupakan waktu
yang paling sensitif karena saat itu perkembangan otak terjadi.
e. Penyakit infeksi yang paling menyebabkan hendaya kognitif pada anak
adalah meningitis dan ensefalitis. Rubella dan sifilis sangat mudah
tertransfer dari ibu kepada janinnya.
f. Cedera kepala bisa secara permanen merusak fungsi kognitif. Jatuh dari
sepeda atau dari trampoline adalah sumber dari berbagai cedera.
2.1.5 Terapi Retardasi Mental
Retardasi mental adalah berhubungan dengan beberapa kelompok gangguan heterogen dan berbagai faktor psikososial. Terapi yang terbaik untuk retardasi
mental adalah pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Kaplan & Sadock,
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk
menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan
gangguan yang disertai dengan retardasi mental. Tindakan tersebut termasuk
(1) pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
umum tentang retardasi mental, (2) usaha terus-menerus dari professional
bidang kesehatan untuk menjaga dan memperbaharui kebijaksanaan
kesehatan masyarakat, (3) aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan
maternal dan anak yang optimal, (4) eradikasi gangguan yang diketahui
disertai dengan kerusakan sistem saraf pusat. Untuk anak-anak dan ibu
dengan status sosioekonomi rendah, pelayanan medis prenatal dan postnatal
yang sesuai dan berbagai program pelengkap dan bantuan pelayanan sosial
dapat menolong menekan komplikasi medis dna psikososial.
b. Pencegahan sekunder dan tersier
Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah dikenali,
gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit dan untuk
menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi setelahnya.
Anak retardasi mental sering kali memiliki kesulitan emosional dan
perilaku yang memerlukan terapi psikiatrik.Kemampuan kognitif dan sosial
yang terbatas yang dimiliki anak tersebut memerlukan modalitas yterapi
modalitas terapi psikiatrik yang dimodifikasi berdasarkan tingkat
(1) Pendidikan untuk anak : lingkungan pendidikan untuk anak-anak
dengan retardasi mental harus termasuk program yang lengkap yang
menjawab latihan keterampilan adaptif, latihan keterampilan sosial,
dan latihan kejuruan.
(2) Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamika.
(3) Pendidikan keluarga
(4) Intervensi farmakologis
2.1.6 Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental
Berdasarkan teori perkembangan psikososial menurut Erik H. Erickson, fase
perkembangan manusia terdiri dari bayi sampai usia tua dan fase itu secara
biologik dan psikologik individu mempunyai potensi kesiapan untuk maju ke
taraf fungsional berikutnya yang lebih tinggi, bila dasar-dasar organik biologik
tidak defektif dan mempunyai bawaan (genetic endowment) yang normal
(Kusumawardhani, 2013).
Perilaku sosial menurut Sunaryo merupakan aktivitas dalam hubungan
dengan orang lain, baik orang tua, saudara, guru, maupun teman yang meliputi
proses berpikir, beremosi, dan mengambil keputusan (Jahja, 2011).
Pada anak normal dalam melewati tahap perkembangan sosialnya dapat
berjalan seiring dengan tingkat usianya. Namun, pada tiap tahapan
perkembangan anak retardasi mental selalu mengalami kendala sehingga
seringkali tampak sikap dan perilaku anak retardasi mental berada di bawah
usia kalendernya dan ketika usia 5-6 tahun mereka belum mencapai
Anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam memahami dan
mengartikan norma lingkungan sehingga perilaku anak retardasi mental sering
dianggap aneh oleh sebagian anggota masyarakat karena tindakannya tidak
lazim dilihat dari ukuran normatif atau karena tingkah lakunya tidak sesuai
dengan tingkat umurnya. Dilihat dari usia mereka memang dewasa, tetapi
perilaku yang ditampilkan tampak seperti anak-anak. Akibatnya anak
tunagrahita tidak jarang diisolasi dan kehadirannya ditolak lingkungan (Kemis
& Rosnawati, 2013).
Akibat dari sering mengalami kegagalan dan hambatan dalam memenuhi
segala kebutuhannya, anak retardasi mental mudah frustasi dan pada gilirannya
akan muncul perilaku menyimpang sebagai reaksi dari mekanisme pertahanan
diri, dan sebagai wujud penyesuaian sosial yang salah (maladjusted). Bentuk
penyesuaian yang salah tersebut seperti kompensasi yang berlebihan,
pengalihan (displacement), nakal (delinquent), regresi, destruksi, agresif dan
lain-lain (Efendi, 2006).
Tingkah laku anak retardasi mental menurut Kemis dan Rosnawati (2013),
yaitu:
1. Hiperaktivitas seperti meraih obyek tanpa tujuan, tidak bisa diam dan
duduk lama
2. Mengganggu teman (anak lain) dengan memukul, meludahi, mencubit
3. Beralih perhatian yaitu sulit memusatkan perhatian pada suatu
kegiatan/pekerjaan dan cepat beralih perhatian atau merespon semua
obyek yang ada di sekitarnya
4. Mudah frustasi yaitu menghentikan aktivitas/pekerjaan jika tidak berhasil
dan disalahkan orang lain (teman, guru)
5. Sering menangis yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, menangis jika
merasa terganggu dan tidak terpenuhi keinginannya
6. Merusak benda/barang seperti merobek buku, menggigit pensil/pulpen,
melempar barang, menggigit meja/kursi, mencorat-coret meja, mengotori
dinding, membanting pintu/jendela dan melempar kaca jendela
7. Melukai diri dengan membentur-benturkan kepala, memukul-mukul
pipi/dagu, mengorek-ngorek luka di tangan atau kaki dan menjambak
rambut
8. Meledak-ledak (impulsif) yaitu mudah marah/tersinggung dan tidak
kooperatif
9. Menarik diri yaitu pemalu, tidak ada keberanian dalam komunikasi dan
berhadapan dengan orang lain, menutup wajah dan menundukkan kepala.
Tingkah laku sosial tercakup hal-hal seperti keterikatan dan ketergantungan,
hubungan kesebayaan, self concept, dan tingkah laku moral. Tingkah laku
keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak dengan orang dewasa
(orang lain). Masalah keterikatan anak dan ketergantungan anak terbelakang
telah diteliti oleh Zigler (1961) dan Steneman (1962, 1969). Ketika anak
kecenderungan ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal,
anak retardasi mental lebih banyak bergantung pada orang lain, dan kurang
terpengaruh oleh bantuan sosial (Soemantri 2007).
Mc Iver menggunakan Children’s Personality Quaestionare dan
menyimpulkan ternyata anak retardasi mental laki-laki emosinya tidak matang,
depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancang
dan merusak. Anak retardasi mental perempuan mudah dipengaruhi, kurang
tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri dan cenderung melanggar
ketentuan. Anak retardasi mental cenderung berteman dengan anak yang lebih
muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu
memikul tanggung jawab sosial sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi
(Somantri, 2007).
2.2 Kecemasan
2.2.1 Definisi Kecemasan
Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar
disertai respons autonom (sumber sering tidak spesifik atau tidak diketahui
oleh individu); perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.
Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan
adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi
ancaman (NANDA, 2012).
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Kecemasan adalah
dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2012). Kecemasan terjadi
sebagai hasil dari sebuah ancaman pada kepribadian seseorang, harga diri, atau
identitas diri. Kecemasan dialami ketika nilai-nilai seseorang mengenali bahwa
keberadaannya sebagai seseorang terancam. Nilai-nilai yang termasuk
didalamnya adalah fisik, sosial, moral, dan unsur emosional dalam kehidupan
(Stuart & Sundeen, 1998).
Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak
mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh,
perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari,
2013).
Kecemasan adalah respons terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak
diketahui, internal, samar-samar, atau konfliktual (Kaplan & Sadock, 2010).
Kecemasan terjadi sebagai hasil dari ancaman terhadap biologis, psikologis
atau integritas sosial, akibat dari sumber-sumber eksternal. Hal ini merupakan
sebuah pengalaman universal dan bagian kondisi manusia (Fortinash & Worret,
2000).
2.2.2 Tanda dan Gejala Kecemasan
Kecemasan adalah sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan dan tidak
nyaman sehingga tidak ada satupun yang menginginkannya. (Stuart &
Sundeen, 1997). Gangguan kecemasan dikategorikan berdasarkan apakah
seseorang memiliki gejala yang kompleks ataupun terbatas (Fortinash &
Stuart (2012) menyatakan bahwa ansietas dapat diekspresikan secara
langsung melalui perubahan fisiologis, perilaku, kognitif dan afektif.
1. Respon fisiologis berhubungan dengan ansietas terutama dimediasi oleh
sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan parasimpatis. Berbagai
respon fisiologis yang dapat diobservasi, yaitu:
a. Kardiovaskular: palpitasi, jantung berdebar, pingsan, tekanan darah
meningkat, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.
b. Pernafasan: napas cepat dan dangkal, tekanan pada dada, sensasi
tercekik, terengah-engah.
c. Neuromuskular: refleks meningkat, reaksi terkejut, mata berkedip-kedip,
insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum,
tungkai lemah, gerakan yang janggal.
d. Gastrointestinal: kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak
nyaman pada perut, nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati dan diare.
e. Saluran perkemihan: tidak dapat menahan kencing dan sering berkemih
f. Kulit: wajah kemerahan, keringat terlokalisasi (telapak tangan), gatal,
rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat dan berkeringat seluruh
tubuh.
2. Respon perilaku: gelisah, ketegangan fisik, tremor, terkejut, bicara cepat,
kurang koodinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan
diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi dan sangat waspada.
3. Respon kognitif: perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah
lapang persepsi menurun, bingung, takut kehilangan kendali, mimpi
buruk, takut cedera atau kematian, produktivitas menurun.
4. Respon afektif: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup,
ketakutan, khawatir, mati rasa, rasa bersalah dan malu.
2.2.3 Tingkat Kecemasan
Respon kecemasan berada pada satu kesatuan, dan individu bisa lebih
sukses atau kurang sukses pada penggunaan metode-metode yang bervariasi
untuk mengontrol pengalaman kecemasan mereka sendiri. Tingkat kecemasan
terdiri dari ringan, sedang, berat, panik berdasarkan respon kecemasan.
(Videbeck, 2008).
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).
Tingkat Kecemasan
Fisiologis Kognitif/persepsi Emosi / Afektif
Cemas Ringan
Ketegangan otot ringan Lapangan persepsi luas
Perilaku otomatis Sadar akan lingkungan Terlihat tenang,
percaya diri
Penuh perhatian Waspada dan
memerhatikan
Tingkat pembelajaran
optimal
Cemas Sedang
Pupil dilatasi, mulai
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).
Tingkat Kecemasan
Fisiologis Kognitif/persepsi Emosi / Afektif
Cemas Berat Ketegangan otot berat Lapang persepsi terbatas
Sangat cemas
Hiperventilasi Proses berpikir
terpecah-pecah
Agitasi
Kontak mata buruk Sulit berpikir Takut
Pengeluaran keringat
meningkat
Mondar-mandir,
Panik Flight, fight, atau freeze Persepsi sangat sempit
Agitasi motorik kasar Kepribadian kacau Lepas kendali
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).
Pupil dilatasi Tidak dapat
2.2.4 Rentang Respon Kecemasan
Hildegrad Peplau (1952) dalam Interpersonal Relations in Nursing, seorang
pelopor keperawatan jiwa, mengidentifikasi empat tingkat kecemasan yang
bertujuan untuk mengilustrasikan pandangan terhadap kecemasan dan
ketegangan yang dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan (1882-1949),
seorang psikiater terkemuka dari Amerika dan ahli teori perkembangan
(Fortinash & Worret, 2000).
Sedang Panik
Ringan Berat
Skema 2.1 Rentang respon kecemasan Hildegrad Peplau (1952)
Hildegrad Peplau menerangkan bahwa kecemasan yang meningkat
mengakibatkan:
1. Lapangan persepsi menyempit
2. Energi akan tersedia untuk menyelesaikan masalah
3. Disorganisasi meningkat
Skema 2.2 Rentang Respon Kecemasan menurut Stuart (2012):
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
2.2.5 Penyebab Kecemasan
1. Faktor Presipitasi
Ansietas adalah faktor utama pada perkembangan kepribadian dan
pembentukan sifat karakter individu. Ada beberapa teori penyebab
kecemasan yang muncul (Stuart, 2012 ; Stuart & Sundeen, 1998):
c. Teori Psikoanalitik
Freud memandang bahwa ansietas merupakan konflik emosional yang
mewakili hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh budaya seseorang.
Ego berfungsi untuk menengahi kedua elemen yang bertentangan. Freud
juga menambahkan bahwa fungsi utama kecemasan untuk mengingatkan
ego bahwa ada bahaya.
d. Teori Interpersonal
Sullivan memandang bahwa inti dari teori kecemasan adalah perasaan
takut terhadap penolakan interpersonal. Trauma selama masa pertumbuhan,
seperti kehilangan dan perpisahan dapat mengakibatkan ansietas. Sullivan
yakin bahwa ansietas dikemudian hari muncul dalam situasi interpersonal
dimana sesorang mempersepsikan dirinya akan dipandang tidak baik dan
akan kehilangan seseorang berdasarkan nilai yang dipahaminya.
e. Teori Perilaku
Berdasarkan pendapat teoritisi perkembangan, ansietas adalah hasil dari
frustasi, yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor presipitasi tersebut
menghambat usaha seseorang untuk memperoleh kepuasan dan
perlindungan.
f. Teori Keluarga
Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya
terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara
g. Teori Biologis
Para peneliti mempelajari bahwa otak mengandung reseptor spesifik
untuk benzodiazepine dan obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator
inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam
mekanisme biologis yang berhubungan dengan kecemasan. Selain itu,
kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan pada keluarga memiliki
efek nyata sebagai predisposisi kecemasan.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi kecemasan dapat dikelompokkan dalam dua kategori
(Stuart, 2012), yaitu:
a. Ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologis yang
akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas
hidup sehari-hari.
b. Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas, harga diri,
dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.
2.3 Kecemasan Orang Tua dengan Anak Retardasi Mental
Keluarga merupakan lembaga sosial yang pertama dikenal anak. Keluarga
terdiri dari ayah, ibu dan anak dan hubungan yang dekat ini tidak mungkin
dipisahkan. Pada prinsipnya keluarga memiliki fungsi sosial, edukatif, seksual dan
pengelolaan ekonomi dan orangtua memiliki tugas supaya peran tersebut dapat
Kamus Besar Bahasa Indonesia, orang tua adalah ayah ibu kandung, orang yang
dianggap tua, orang yang dihormati.
Anak retardasi mental lebih banyak tinggal bersama dengan keluarganya
hingga dewasa, sehingga ketergantungan kepada keluarganya akan lebih tinggi
dibandingkan keluarga yang tidak memiliki anggota keluarga dengan retardasi
mental. Pengaruh terhadap orang tua dan anggota keluarga ketika memiliki anak
retardasi mental dimulai ketika mereka mengetahui bahwa anak mereka memiliki
keterbatasan kognitif yang sangat signifikan. Hal ini sering terjadi selama
kehamilan karena tes untuk mendeteksi variasi gen dan kromosom tidak normal
yang mengakibatkan keterbatasan kognitif sudah dapat dilakukan. Keputusan
untuk melakukan aborsi dan melahirkan terkadang menjadi sesuatu mudah bagi
sebagian orang tua tetapi sangat sulit bagi orang tua lain (Haugaard, 2008).
Kehadiran anak retardasi mental dalam keluarga cenderung menimbulkan
ketegangan pada keluarga tersebut. Ketika mengetahui bahwa anaknya tergolong
retardasi mental, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah dan
menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau merasa kecewa yang mendalam
(Somantri, 2007 ; Kemis & Rosnawati, 2013).
Reaksi yang muncul pada orang tua saat anaknya lahir dapat berbeda-beda,
tergantung pada berbagai faktor (Somantri, 2007). Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Orang tua segara mengetahui atau terlambat diketahuinya bahwa anaknya
retardasi mental
2. Derajat / tingkat keparahan retardasi mental yang dialami anaknya
Perasaan dan tingkah laku orang tua berbeda-beda dan dapat dibagi menjadi:
1. Perasaan melindungi anak secara berlebihan
2. Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, sehingga
memunculkan praduga yang berlebihan seperti merasa ada yang tidak beres
tentang urusan keturunan dan merasa kurang mampu mengasuhnya.
3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal sehingga
menyebabkan cepat marah dan tingkah laku agresif bahkan depresi.
4. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri
5. Bingung dan malu yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul
dengan tetangga dan lebih suka menyendiri.
Banyak orang tua cemas dengan anak-anak mereka, tetapi orang tua anak
retardasi mental melaporkan lebih banyak kecemasan dibandingkan orang tua
anak normal. Mereka mencemaskan tentang keterbatasan kognitif anak yang akan
membatasi pekerjaan mereka, sosial, tujuan-tujuan keluarga, bahkan efek kepada
anak-anak mereka yang lain karena mempunyai saudara yang retardasi mental
(Haugaard, 2008).
Orang tua cemas ketika anaknya tersebut bermain dan bersosialisasi dengan
anak lain karena keterbatasan kognitif, anaknya malah melakukan hal yang salah
dan bisa mengganggu anak lain (Haugaard, 2008). Perilaku anak retardasi mental
yang juga merisaukan atau menyusahkan orang tua ialah perilaku mencederai diri
(self mutilating) mengantukkan kepalanya, menggigit jarinya, perilaku agresif,
mengamuk. Tidak jarang juga orang tua menyatakan bahwa anaknya suka
Anak retardasi mental mengalami gangguan tidur dan bisa berjalan-jalan
mengelilingi rumah pada malam hari, sehingga orang tua harus terjaga (Haugaard,
2008; Lumbantobing, 2006).
Anak retardasi mental belajar dengan cara yang berbeda dan perkembangan
yang lebih lambat dibandingkan anak yang lain sehingga orang tua merasa frustasi
dan kehilangan semangat dalam merawat anaknya (Haugaard, 2008). Kecemasan
dan depresi juga lebih banyak dialami oleh ibu karena ibu yang cenderung secara
langsung dalam merawat anak retardasi mental. Oleh karena itu, ibu tampaknya
lebih rentan terhadap stress yang terkait dengan masalah perilaku anak (Azeem et.
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
gambaran tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial
anak retardasi mental sebagai berikut:
Skema 3.1 Kerangka Konsep dari Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental
Cemas Ringan
Cemas Sedang
Cemas Berat Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam
Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental:
1. Hiperaktivitas
2. Mengganggu teman (anak lain) 3. Beralih perhatian
4. Mudah frustasi 5. Sering menangis 6. Merusak benda/barang 7. Melukai diri
3.2 Definisi Operasional
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan
untuk mengidentifikasi gambaran tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi
masalah perilaku sosial anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat
(YPAC) Medan.
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian 4.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua dengan anak retardasi mental
di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. Berdasarkan data yang
diperoleh, terdapat 110 orang anak retardasi mental tingkat ringan dan sedang
yang bersekolah di YPAC Medan.
4.2.2 Sampel
Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel menggunakan purposive
sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara
populasi sesuai dengan yang dikehendaki (Nursalam, 2011). Adapun kriteria
inklusi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Orang tua (Ibu) yang bersedia menjadi responden
2. Orang tua (Ibu) yang memiliki anak bersekolah di YPAC Medan
3. Orang tua (Ibu) yang memiliki anak retardasi mental sedang
Berdasarkan kriteria inklusi di atas, maka yang menjadi responden pada
penelitian ini berjumlah 57 orang yaitu seluruh ibu dengan anak retardasi mental
sedang. Data siswa diperoleh peneliti dari pihak sekolah dengan ketentuan bahwa
data tersebut dirahasiakan dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian.
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jl. Adinegoro No. 2 Medan. Adapun pemilihan lokasi adalah karena yayasan tersebut
memberikan pelayanan untuk anak-anak retardasi mental dan lokasi mudah
dijangkau oleh peneliti untuk mendapatkan sampel yang diinginkan. Penelitian ini
dilakukan pada bulan September 2013 hingga Juli 2014.
4.4 Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah sidang proposal dan revisi proposal yang
dilakukan berdasarkan masukan dari dosen penguji, mendapat persetujuan dari
Komisi Etik Penelitian Kesehatan dan Dekan Fakultas Keperawatan USU, setelah
selesai melakukan uji reliabilitas instrumen di SLB TPI Amplas. Izin
pengumpulan data diperoleh dari Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC)
Medan. Peneliti mengakui hak-hak responden dalam menyatakan kesediaan atau
ketidaksediaannya untuk dijadikan subjek penelitian. terdapat beberapa hal
berkaitan dengan permasalah etik, Peneliti menyiapkan informed concent yang
akan ditandatangani berdasarkan keinginan responden tanpa ada paksaan. Peneliti
kesempatan untuk bertanya tentang penelitian yang dilakukan. Kuesioner juga
akan diberi kode tertentu yang hanya diketahui oleh peneliti agak tetap menjaga
kerahasiaannya (confidentiality). Semua data yang diperoleh dari responden
digunakan untuk kepentingan penelitian saja.
4.5 Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat
pengumpul data berupa kuesioner. Kuesioner ini terdiri dari dua bagian, data
demografi dan kecemasan orangtua dalam menghadapi masalah perilaku sosial
anak retardasi mental.
Pada bagian pertama kuesioner berisi data demografi yang meliputi usia,
agama, suku, status perkawinan, pendidikan terakhir, pekerjaan orangtua,
penghasilan keluarga perbulan, jumlah anak, usia anak retardasi mental, jenis
kelamin anak retardasi mental. Data demografi ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik responden, mendeskripsikan distribusi frekuensi dan persentase
demografi responden.
Bagian kedua kuesioner disusun berdasarkan modifikasi dari Hamilton Anxiety
Rating Scale dan tinjauan pustaka. Kuesioner ini berisi 14 pernyataan untuk
menggambarkan tingkat kecemasan orangtua dalam menghadapi masalah perilaku
sosial anak retardasi mental.
Kuesioner disusun dalam bentuk pernyataan positif dengan menggunakan skala
Likert yang terdiri dari pilihan jawaban yaitu, Tidak pernah (TP) = 1,
Perhitungan penentuan interval kelas pada kuesioner ini menggunakan rumus
(Wahyuni, 2011), yaitu:
I (panjang kelas) = Rentang
Banyak Kelas
Kuesioner tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku
sosial anak retardasi mental terdiri dari 14 pernyataan sehingga nilai tertinggi 56
dan nilai terendah 14 dan didapatkan rentang sebesar 42, dengan 3 banyak kelas
yaitu ringan, sedang dan berat didapatkan panjang kelas 14. Maka hasil ukur
didapatkan nilai 14-28 adalah cemas ringan, 29-42 adalah cemas sedang, 43-56
adalah cemas berat.
4.6 Validitas dan Reliabilitas
4.6.1 Validitas
Validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data. Instrumen harus dapat
mengukur apa yang seharusnya diukur. Uji validitas mengukur dua hal penting
yang harus dipenuhi yaitu relevan isi dan relevan cara dan sasaran (Nursalam,
2011). Validitas instrumen telah diuji kelayakannya oleh ahli dibidangnya yaitu
dosen S2 Departemen Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan USU. Uji
validitas instrumen berupa uji validitas isi dan berjumlah 14 pernyataan.
Awalnya kuesioner berjumlah 15 item pernyataan. Perubahan yang dilakukan
adalah mengurangi 1 pernyataan menjadi 14 dari 15 pernyataan karena dinilai
selanjutnya adalah memperbaiki beberapa kata dan seluruh pernyataan dinilai
valid dan diberi nilai 4 kecuali item nomor 5 dan 13 yang diberi nilai 3. Jika
dihitung nilai validitasnya yaitu nilai skor hitung (54) dibagi nilai tertinggi (56)
adalah 0,96, sehingga dinyatakan kuesioner telah valid secara validitas isi oleh
ahlinya.
4.6.2 Reliabilitas
Kuesioner gambaran tingkat kecemasan orangtua dalam menghadapi
masalah perilaku sosial anak retardasi mental disusun sendiri oleh peneliti
berdasarkan modifikasi dari Hamilton Anxiety Rating Scale dan tinjauan
pustaka sehingga perlu dilakukan uji reliabilitas untuk menunjukkan sejauh
mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Uji
reliabilitas dilakukan di tempat yang berbeda dari tempat penelitian yang
sebenarnya dengan ciri sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi, sehingga
dapat dilihat hasilnya konsisten atau tidak. Uji reliabilitas telah dilakukan di
SLB TPI Amplas, Medan dan dilakukan kepada 17 orang tua (ibu) anak
retardasi mental yang sesuai dengan kriteria penelitian menggunakan rumus
Cronbach Alpha dan didapatkan nilai 0,9. Instrumen dinyatakan layak
digunakan karena instrumen penelitian yang di uji bernilai >0,70.
4.7 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah terlebih dahulu peneliti mengajukan
Universitas Sumatera Utara) dan permohonan izin penelitian yang diperoleh
dikirimkan ke tempat penelitian (YPAC Jl. Adinegoro No. 2 Medan ).
Setelah mendapat izin dari yayasan, peneliti mengambil data kepada responden
dengan terlebih dahulu menjelaskan pada responden tentang tujuan, manfaat
penelitian dan cara pengisian kuesioner. Calon responden yang bersedia menjadi
responden diminta untuk menandatangani surat persetujuan atau dengan
memberikan persetujuan secara verbal atau lisan. Selanjutnya responden diminta
untuk mengisi kuesioner dan peneliti akan mengingatkan kepada responden agar
kuesioner diisi secara teliti dan cermat serta diberikan kesempatan untuk bertanya
bila tidak mengerti. Setelah semua responden mengisi kuesioner, maka peneliti
mengumpulkan data untuk dianalisa.
Namun dalam pelaksanaan pengumpulan data dijumpai kendala yaitu ada
beberapa responden yang tidak dapat langsung dijumpai oleh peneliti untuk
mengisi kuesioner. Hal ini disebabkan ada beberapa anak yang diantar oleh
saudara atau berangkat sendiri ke sekolah, sehingga orang tua yaitu ibu anak
retardasi mental tidak lagi mengantar atau menunggu anaknya di sekolah. Peneliti
akhirnya menitipkan kuesioner kepada guru di kelas sehingga anak dapat
memberikan kuesioner kepada orang tua.
4.8 Analisa Data
Analisa data dilakukan setelah semua data telah terkumpul melalui beberapa
tahap dimulai dari editing untuk memeriksa kelengkapan identitas dan data
dilanjutkan diberi kode (coding) dan dikemas dalam tabulasi data (tabulating).
Selanjutnya data-data tersebut dimasukkan (entry) ke dalam master table atau
database komputer dan diolah dengan menggunakan teknik analisa univariat yang
dilakukan pada satu variabel dari hasil penelitian untuk menghasilkan distribusi
dan persentase dari variabel tersebut. Teknis analisis yang dilakukan adalah teknik
analisis kuantitatif karena data yang akan diolah berbentuk angka.
Analisa data untuk mencari tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi
masalah perilaku sosial anak retardasi mental menggunakan statistik deskriptif
dengan tujuan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul
sebagaiman adanya. Data demografi akan dipresentasikan dalam bentuk distribusi
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian
Pada bab ini diuraikan data hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh
dari hasil pengumpulan data terhadap 57 orang tua dalam menghadapi masalah
perilaku sosial anak retardasi mental. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal
September 2013 – Juli 2014 di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan.
Penyajian data penelitian ini meliputi karakteristik responden, dan tingkat
kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi
mental.
5.1.1 Karakteristik Responden
Pada penelitian ini jumlah responden yaitu ibu sebanyak 57 orang. Data
yang diperoleh menunjukkan bahwa hampir setengah ibu berada pada rentang
usia 46-55 tahun yaitu sebanyak 23 orang (40,3%). Mayoritas responden ibu
beragama Islam yaitu sebanyak 47 orang (82,5%). Lebih dari setengah
responden ibu bersuku batak yaitu 31 orang (54,4%), mayoritas responden
ibu masih memiliki pasangan 50 orang (87,7%), dan lebih dari sepertiga
responden ibu memiliki latar belakang pendidikan SMA yaitu 21 orang
(36,8%). Hampir setengah responden bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga
yaitu 23 orang (40,4%), hampir setengah responden memiliki penghasilan
keluarga >Rp. 1.500.000 yaitu 27 orang (47,4%). Mayoritas responden ibu
memiliki anak >1 orang yaitu 48 orang (84,2%). Lebih dari sepertiga usia
anak responden ibu berada pada rentang 12-16 dan 17-25 tahun yaitu 18
kelamin perempuan yaitu 32 orang (56,1%). Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada tabel 5.1 di bawah.
Tabel 5.1 Distribusi Frekwensi Karakteristik Responden di Yayasan Pembinaan
Anak Cacat (YPAC), Medan (n=57)
Data Demografi Frekuensi (n) Persentase (%)
Usia
Data Demografi Frekuensi (n) Persentase (%)
Jenis Kelamin Anak
5.1.2 Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat Medan (YPAC) Medan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas responden
yaitu ibu dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi mental di
Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan memiliki tingkat kecemasan
ringan (84,2%) dan sedang (15,8%). Dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. (n=27)
No Tingkat Kecemasan Pasien Frekuensi (n) Persentase (%)
1 Cemas Ringan 48 84,2%
Pembahasan pada penelitian ini akan menjelaskan tentang makna hasil
penelitian dan membandingkan dengan penelitian sebelumnya atau literatur yang
ada. Pembahasan hasil penelitian menjelaskan tentang karakteristik demografi
tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak
retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa mayoritas orang tua yaitu
mengalami kecemasan sedang yaitu 15,8% dalam menghadapi masalah perilaku
sosial anak retardasi mental. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Norhidayah
dkk. (2012) kecemasan yang terjadi pada ibu penderita retardasi mental
disebabkan oleh permasalahan yang ditimbulkan karena memiliki anak retardasi
mental itu lebih kompleks dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak normal.
Hal yang juga menyebabkan sebagian besar ibu penderita retardasi mental
mengalami kecemasan sedang adalah kemungkinan adanya konflik dalam
menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi mental. Seringkali orang tua
tidak memahami mengenai retardasi mental sehingga mereka merasa bimbang
terhadap kondisi anaknya dan mengalami konflik dalam diri. Konflik juga
berpotensi terjadi karena adanya perbedaan penanganan terhadap anak retardasi
mental. Hastuti dalam Norhidayah dkk. (2012) menjelaskan bahwa permasalahan
yang banyak dialami oleh ibu penderita retardasi mental mengacu pada tingkah
laku dan emosi anak retardasi mental sehingga mereka juga cemas terhadap
pendidikan dan pengasuhan anak retardasi mental. Hal ini dikarenakan anak
retardasi mental membutuhkan pengawasan yang berbeda-beda daripada anak
normal.
Walker dalam Maulina dan Sutatminingsih (2005) juga menambahkan bahwa
stress pada ibu yang memiliki penyandang cacat, khususnya retardasi mental
berhubungan dengan permasalahan perilaku anak tersebut. Permasalahan perilaku
sosial anak dapat menyebabkan ibu mengalami stress dan reaksi-reaksi emosi
Kecemasan sedang dapat juga disebabkan oleh usia anak retardasi mental.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga anak berada pada
rentang usia 12-16 dan 17-25 tahun yaitu 31,6%. Penelitian Hordcik Elin dan
Straune Marianne dalam Triana dan Andriany (2010) menyatakan bahwa orang
tua yang memiliki anak dengan usia sangat muda atau bahkan baru lahir memiliki
kecemasan yang lebih tinggi.
Selain usia anak mempengaruhi kecemasan sedang pada orang tua, jumlah
anak juga dapat menjadi faktor lain penyebab kecemasan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki anak >1 yaitu 84,2 %. Stuart
(1987) menyatakan bahwa kelelahan dapat menyebabkan kecemasan. Orang tua
memiliki peran ganda yaitu menunggu anak di sekolah dan harus mengurus anak
yang ada di rumah sehingga akan meningkatkan aktifitas ibu yang pada akhirnya
menyebabkan kelelahan dan menstimulus kecemasan.
Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang merasa sering tegang
ketika mengingat anaknya melukai dirinya sendiri yaitu 12,3%, ibu sering merasa
jantungnya berdebar-debar saat anaknya mengganggu temannya yaitu 10,5%,
bahkan ada ibu yang mengatakan terus-menerus gampang sedih melihat anaknya
menarik diri ketika berhadapan dengan orang lain yaitu 5,3% dan ibu yang
terus-menerus merasa ketakutan saat anaknya menganggu temannya yaitu 3,5%. Hal ini
sesuai dengan tanda kecemasan pada seseorang yang mengalami cemas sedang
menurut Peplau dalam Videbeck (2008) yaitu tanda-tanda vital meningkat dan
Kecemasan pada orang tua yaitu ibu anak retardasi mental berada pada
tingkat kecemasan ringan yaitu 84,2%. Kecemasan ringan yang dirasakan oleh
orang tua dalam menghadapi masalah perilaku sosial merupakan hal yang wajar
dirasakan individu, dan ini menunjukkan respon orang tua yang masih adaptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap orang tua memiliki respon yang
berbeda-beda dalam menghadapi masalah perilaku sosial anak retardasi mental.
Hal ini dapat disebabkan pengalaman orang tua dan banyak faktor yang
mempengaruhi tingkat kecemasan responden.
Kecemasan ringan pada ibu dapat disebabkan karena ibu sudah menerima dan
menyesuaikan diri ketika menghadapi anaknya. Penelitian Blacher dalam
Havemen et. al, (1997) dan Hosseinkhanzadeh et. al, (2013) telah
menggambarkan tahapan penyesuaian orang tua untuk diagnosis retardasi mental.
Tahap penyesuaian orang tua tersebut yaitu (1) tanggapan awal krisis (shock,
denial), (2) disorganisasi emosional (rasa bersalah, agresi, menyalahkan, depresi)
dan (3) reorganisasi emosional (redefinisi harapan, penerimaan dan penyesuaian).
Ibu pada penelitian ini kemungkinan sudah berada pada tahap terakhir
penyesuaian tersebut yaitu penerimaan dan penyesuaian terhadap anaknya yang
perilaku sosialnya bermasalah.
Kecemasan pada orang tua yaitu ibu berada pada ketegori rendah juga dapat
disebabkan karena ibu telah menggunakan mekanisme koping mengatasi
kecemasannya. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2007) menunjukkan
bahwa coping lebih banyak berhubungan dengan perilaku anak yang bermasalah.