ABSTRAK
WAWACAN SAPRI : KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN
Arifudin Muhammad Rasyid 1006016
Penelitian pada skripsi ini mengangkat naskah Sunda yang berjudul Wawacan Sapri (WS) sebagai objek kajian. Naskah WS ditemukan di Desa Pasirhuni, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung. Pengambilan naskah WS sebagai objek kajian dilatarbelakangi oleh beberapa hal; 1) naskah WS yang memiliki cerita yang sama persis dengan dua naskah Hikayat Indra Bangsawan (versi Aceh dan versi Melayu), 2) naskah WS tidak terdapat di dalam katalog naskah Sunda, 3) penelitian mengenai naskah WS belum pernah dilakukan. Penelitian ini berusaha memaparkan bagaimana kesalahan tulis pada teks naskah WS, edisi teks naskah WS yang mudah dibaca dan terjemahan teks yang dipahami, serta memaparkan bagaimana kandungan isi naskah WS. Selanjutnya, penelitian ini pun bertujuan untuk menyajikan edisi teks naskah WS yang telah bersih dari kesalahan-kesalahan tulis, menyajikan edisi teks yang mudah dibaca dan terjemahan teks yang mudah dipahami, serta menyajikan kandungan isi teks naskah WS.
Pada tahapan analisis, analisis utama yang dijadikan dasar penelitian ialah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis diterapkan guna memaparkan segala bukti atau fakta yang ada pada teks. Secara terperinci, analisis terhadap teks naskah WS dilakukan dengan menggunakan kajian filologis, yaitu kritik teks dengan menerapkan metode penelitan naskah tunggal edisi standar. Analisis kritik teks dilakukan dengan dua tahapan, yaitu; berdasarkan pada kualitas teks (analisis kualitatif) dan berdasarkan pada banyaknya kasus kesalahan tulis (analisis kuantitatif). Tahapan analisis kualitatif meliputi, kajian konvensi penamaan Pupuh, penyimpangan Padalisan, dan penyimpangan Guru Lagu. Tahapan analisis kuantitatif meliputi, kajian mengenai penyimpangan Guru Wilangan dan penyimpangan redaksional. Kemudian, pada kasus penyimpangan redaksional digolongkan pada tiga golongan kasus kesalahan tulis, yaitu penggantian (Emendasi), penghilangan (Omisi), dan penambahan (Adisi). Adapun tahapan analisis selanjutnya pada penelitian ini ialah tinjauan kandungan berdasarkan pada hasil edisi teks yang telah bersih dari berbagai kasus kesalahan tulis.
ABSTRACT
WAWACAN SAPRI : TEXTUAL CRITICISM AND REVIEW CONTENT
Arifudin Muhammad Rasyid 1006016
Research in this thesis raised Sundanese manuscript entitled Wawacan Sapri (WS) as the object of study. The manuscript was found in the Desa Pasirhuni, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung. Making the script as object of study is motivated by several things; 1) WS script that has the exact same story with two manuscripts of Hikayat Indra Bangsawan (Aceh version and Malay version), 2) the text is not found in the catalog Sundanese script, 3) research on the WS manuscript has not been done. This study seeks to explain how the error text written in
Wawacan Sapri’s script, produce text edition is easy to read and understand text translation, and
describe how the content of Wawacan Sapri’s manuscript.
At the analysis stage, the main analysis as the basis of the research is descriptive method of analysis. Descriptive analysis method is applied in order to present any evidence or facts in the text. In detail, analysis of Wawacan Sapri’s manuscript performed using philological study, the critical text by applying a standard edition single manuscript research. Text-critical analysis is done in two stages, namely; based on text quality (qualitative analysis) and based on the number of cases of clerical errors (quantitative analysis). Stages include qualitative analysis, study naming convention of Pupuh, Padalisan irregularities and deviations of Guru Lagu. Stages include quantitative analysis, a review of irregularities Guru Wilangan and editorial deviations. Then, in the case of irregularities semantically classified in three classes of cases of clerical errors, the replacement (Emendasi), omission, and addition. The next stage of the analysis in this study is to review the content based on the results that have been clean text editions of various cases of clerical errors.
Based on the analysis results, it is known that Wawacan Sapri’s manuscript text is plain text script that has some value content. Characters in the text using Arabic script, called Arab-Pegon. Essay form on the manuscript text is Pupuh or poem bound. Based on the quality of the text, the
Wawacan Sapri’s manuscript has advantages, including naming Pupuh accordance with
conventional forms, Padalisan deviation is not too much, it can occur due to accidental factors scribe/writer, as well as the fulfillment of the Guru Wilangan in Wawacan Sapri’s manuscript is accordance with the current rules. Based on the number of cases of irregularities, Wawacan
Sapri’s manuscript is dominated by the fulfillment of a number of Guru Wilangan in array. At the
editorial level, which dominates the deviation cases are cases of irregularities Emendasi (replacement). Review the contents of the text, content of the text indicates that the text Wawacan
Sapri’s manuscript contains Bendé use as a mass communication tool that represents local
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 6
1.3 Batasan Masalah ... 7
1.4 Rumusan Masalah ... 7
1.5 Tujuan ... 8
1.6 Manfaat Penelitian ... 8
1.7 Struktur Organisasi Skripsi ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Naskah dan Teks ... 12
2.1.1 Naskah ... 12
2.1.2 Teks ... 13
2.2 Kritik Teks ... 14
2.2.1 Metode Kritik Teks ... 14
2.3 Transliterasi ... 15
2.3.1 Pengertian Transliterasi ... 15
2.3.2 Pedoman Transliterasi ... 16
2.5 Pupuh ... 17
2.6 Kerangka Pemikiran ... 20
BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian ... 21
3.1.1 Identifikasi Naskah WS ... 22
3.1.2 Ringkasan Cerita Naskah WS ... 27
3.2 Metode Penelitian ... 31
3.3 Metode Penelitian Filologi ... 32
3.4 Teknik Penelitian ... 32
3.5 Prosedur Penelitian ... 34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Kritik Teks ... 36
4.1.1 Analisis Kualitatif ... 37
4.1.1.1 Konvensi dan Penggunaan Pupuh pada Naskah WS ... 37
4.1.1.2 Penyimpangan Padalisan ... 52
4.1.1.3 Penyimpangan Gurulagu ... 58
4.1.2 Analisis Kuantitatif ... 60
4.1.2.1 Penyimpangan Guru Wilangan ... 61
4.1.2.2 Penyimpangan Redaksional ... 70
4.2 Edisi Teks dan Terjemahan ... 101
4.2.1 Pengantar Edisi Teks Naskah WS ... 101
4.2.2 Edisi Teks Naskah WS ... 105
4.2.3 Pengantar Terjemahan ... 285
4.2.4 Terjemahan Teks Naskah WS ... 286
4.3 Tinjauan Kandungan Teks Naskah WS ... 458
4.3.2 Perbedaan dan Persamaan Antara Teks Naskah WS dengan Teks
Hikayat Indra Bangsawan ... 462
4.3.2.1 Ringkasan Cerita Hikayat Indra Bangsawan ... 463
4.3.2.2 Perbandingan Antara Teks Naskah WS Dengan Teks Naskah Hikayat Indra Bangsawan ... 471
BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan ... 487
5.2 Rekomendasi ... 490
GLOSARIUM ... 492
DAFTAR PUSTAKA ... 494
BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
Objek penelitian berupa naskah yang berada di masyarakat. Judul naskah yang
dikaji ialah Wawacan Sapri, yang kemudian disingkat menjadi WS. Sebenarnya,
judul naskah tersebut diambil dari penuturan pemilik naskah. Judul naskah yang
sebenarnya tidak diketahui. Hal tersebut terjadi, karena halaman-halaman awal pada
naskah (Titi Mangsa) sudah hilang atau robek. Naskah ditemukan di daerah Bandung
selatan. Tepatnya di daerah Desa Pasirhuni, Kecamatan Cimaung, Kabupaten
Bandung. Lokasi ditemukan naskah dekat dengan gunung Puntang. Naskah dimiliki
oleh seorang penduduk bernama Ki Ma’mur dengan perantara Arif Mustopa sebagai
penghubung peneliti dengan Ki Ma’mur. Ki Ma’mur sebenarnya memiliki dua
naskah, yaitu naskah Syeikh Abdul Qadir Jaelani (yang disimpan di tempat yang
berbeda dengan naskah WS) dan naskah Wawacan Sapri.
Menurut penuturan Ki Ma’mur, kedua naskah yang dimilikinya merupakan
naskah yang tersisa. Menurutnya pula, ia sebenarnya memiliki beberapa naskah.
Namun beberapa tahun sebelum peneliti datang, ada beberapa mahasiswa datang
mengunjunginya dan meminjam naskah-naskah Ki Ma’mur. Tetapi, naskah-naskah
tersebut tidak dikembalikan pada Ki Ma’mur hingga saat ini.
Berdasarkan penuturan Ki Ma’mur, naskah WS merupakan naskah salinan dari
naskah asli. Kemudian, Ki Ma’mur menjelaskan bahwa naskah WS yang asli dibakar setelah selesai di salin. Tidak ada yang mengetahui alasan mengapa naskah yang asli
dibakar. Namun, peneliti beranggapan bahwa naskah yang asli dibakar karena sudah
rusak dan sudah ada penggantinya. Naskah WS merupakan naskah yang tidak
22
dibacakan di depan banyak orang. Pernyataan Ki Ma’mur tersebut bisa dibuktikan
dengan terdapat tanda menghitam di sebelah kiri bawah naskah.
Gambar 2. Tanda menghitam pada naskah kiri bawah (Dok. Pribadi)
Akan tetapi karena pergeseran budaya dan arus modernisasi yang semakin
menggila, pembacaan naskah WS sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan dan pada
akhirnya tidak pernah lagi dituturkan hingga saat ini, bahkan di keluarga Ki Ma’mur
sendiri pun sudah tidak dituturkan atau dibacakan. Pada akhirnya, naskah WS hanya
disimpan dan sedikit demi sedikit mulai mengalami kerusakan.
3.1.1 Identifikasi Naskah WS
Seperti yang sudah diungkapkan oleh pemilik naskah, bahwa halaman-halaman
awal pada naskah WS sudah rusak (hilang). Maka, tahun pembuatan naskah ini pun
tidak diketahui beserta dengan penulis atau penyalinnya. Namun jika dilihat dari
media yang dipakai, yaitu kertas pabrik. Besar kemungkinan naskah ini disalin ulang
pada tahun 1950-an atau bisa jadi lebih muda lagi. Perlu penelitian lebih lanjut
mengenai bahan naskah yang dipakai untuk lebih tepat dalam menentukan umur
naskah WS yang tepat. Namun pada penelitian ini, fokus utama hanya pada aspek
teks-nya. Sementara aspek kodeks hanya akan diungkapkan secara mendasar (hanya
23
Gambar 3. Bukti halaman awal sudah hilang, bertanda bulat merah dan halaman awal naskah (dok. Pribadi)
Naskah WS menggunakan aksara Arab-Pegon dengan bahasa yang digunakan
adalah Bahasa Sunda dengan beberapa kata serapan dari bahasa asing (Belanda dan
Portugis). Besar kemungkinan, penulis pertama naskah memahami bahasa-bahasa
asing yang diserap dalam naskah ini. Tetapi, jika dilihat dari tempat ditemukannya
naskah hal tersebut wajar terjadi. Karena, gunung Puntang merupakan pusat
komunikasi antara negeri Belanda dan Indonesia pada saat dijajah oleh Belanda.
Sehingga, dimungkinkan penulis pertama naskah WS secara intensif mendengar
kata-kata serapan itu dan memasukkan kata-kata-kata-kata tersebut dalam tulisannya.
Gambar 4. Bukti penggunaan huruf Arab-Pegon dan Bahasa Sunda (yang bertanda merah) (Dok. Pribadi)
Naskah ini memiliki 126 halaman yang masih tersisa dengan ukuran naskah 20
x 16,5 cm. Naskah ini memakai media kertas pabrik, hal ini ditunjukkan dengan tidak
adanya Watermark yang biasa terdapat pada kertas eropa, atau serat-serat yang biasa
serat-24
serat halus dan jika dilarutkan ke dalam air, kertas ini akan melebur seperti bubur.
Sehingga peneliti beranggapan bahwa naskah ini memakai kertas pabrik seperti yang
biasa dipakai pada buku-buku yang ada pada zaman ini.
Gambar 5. Bukti penggunaan kertasa pabrik (bertanda bulatan merah merupakan garis-garis) (Dok. Pribadi)
Sampul pada naskah ini diduga menggunakan kertas karton. Hal ini ditunjukkan
dengan terdapatnya lapisan-lapisan tipis kertas, seperti ditumpuk dengan warna
sampul berwarna coklat. Warna coklat pada naskah dimungkinkan karena naskah
sudah terlalu lama, sehingga warna aslinya memudar seiring dengan bertambahnya
usia naskah. Teknik penjilidan naskah diduga dilakukan baru, hal ini ditunjukkan
dengan benang yang dipakai masih terlihat putih. Sedangkan bahan yang digunakan
untuk menjilid naskah, ialah kain biasa berwarna coklat. Selain itu, diduga teknik
penjilidan dilakukan dengan menggunakan mesin jahit.
25
Gambar 7. Bukti penjilidan masih baru (kiri) dan bukti teknik jahit dengan mesin (kanan) (Dok. Pribadi)
Tinta yang dipakai pada naskah WS diduga bukan tinta dengan kualitas tinggi.
Hal tersebut dibuktikan dengan pudarnya warna hitam pada tinta untuk menuliskan
cerita dan pudarnya warna merah untuk menuliskan pungtuasi. Selain itu, tinta yang
dipakai diduga tinta pabrik, karena pada beberapa halaman terdapat tinta yang
merembes. Sehingga, dugaan peneliti mengenai penggunaan tinta berkualitas rendah
semakin tinggi (untuk lebih jelasnya mengenai penggunaan tinta, perlu ada penelitian
lebih lanjut).
Gambar 8.
Penggunaan tinta warna hitam pada naskah halaman-halaman awal (kiri) dan halaman-halaman terakhir (kanan) pada halaman terakhir terlihat sudah mulai
26
Gambar 9.
Penggunaan tinta warna merah pada naskah halaman-halaman awal (kiri, bertanda lingkaran hitam) dan halaman-halaman terakhir (kanan, bertanda lingkaran putih) terlihat sudah mulai pudar (Dok. Pribadi)
Naskah WS berbentuk prosa dengan memakai pupuh sebagai bentuk
penyajiannya. Cerita pada naskah WS merupakan cerita tentang perjalanan dua orang
anak kembar dalam mencari jati dirinya sebagai calon pemimpin bagi kaumnya
(rakyatnya kelak). Cerita pada naskah WS pun merupakan cerita fiktif, yaitu cerita
yang tidak benar-benar terjadi pada kehidupan nyata. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa naskah WS merupakan naskah biasa yang bersifat hiburan yang
berisi tentang moral-moral mulia yang harus dimiliki seorang calon pemimpin.
Gambar 10.
Bukti penggunaan pupuh pada naskah, bertuliskan nomer 16 pangkur (Dok. Pribadi)
Pada naskah WS terdapat keunikan, yaitu penggunaan Pupuh yang sedikit
berbeda dengan penggunaan Pupuh pada naskah-naskah lain (untuk lebih jelasnya
akan diterangkan pada bab berikutnya). Selain itu, melalui beberapa studi pustaka
mengenai pernaskahan yang dilakukan oleh peneliti. Ditemukan naskah yang secara
27
Sehingga peneliti menduga bahwa penulis pertama dimungkinkan mendengar cerita
hikayat tersebut dari seseorang. Kemudian, penulis mentransformasikannya ke dalam
bentuk Wawacan dengan penggunaan Pupuh sebagai pembedanya. Hal yang
membedakan naskah WS dan naskah hikayat Indra Bangsawan adalah cara penyajian
naskahnya, jika pada hikayat Indra Bangsawan disajikan dengan metode prosa, pada
WS disajikan dengan metode sajak (untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab
berikutnya).
3.1.2 Ringkasan Cerita Naskah WS
Naskah ini bercerita tentang seorang raja yang menginginkan keturunan untuk
mewarisi tahta kerajaan yang bernama Indra Basu. Raja (Indra Basu) sangat ingin
memiliki anak, karena usia dari raja menginjak 30 tahun dan belum dikaruniai anak.
Padahal ia telah menikah dengan Ba’aida Sari (puteri patih negeri Kobat). Kemudian,
raja menyuruh patih untuk memanggil Ki Nujum. Tidak lama kemudian Ki Nujum
menghampiri raja di istana, lalu raja bertanya apakah ia akan memiliki anak. Selain
itu, raja akan melaksanakan apapun yang diminta oleh Ki Nujum.
Ki Nujum kemudian menjawab, raja akan memiliki anak tidak lama lagi dan Ki
Nujum pun memberitahu bahwa raja akan memiliki dua anak sekaligus (kembar). Ki
Nujum pun memberikan saran agar anak-anak raja diberi nama sesuai dengan
nasihatnya. Anak yang lahir pertama disarankan diberi nama Sapri dan anak yang
dilahirkan terakhir disarankan diberi nama Indra Bangsawan. Tidak lama kemudian,
istri raja (Ba’aida Sari) melahirkan sesuai dengan perkataan dari Ki Nujum. Mereka
berdua sangat tampan. Ketika umur mereka menginjak 7 tahun, raja disarankan untuk
menyerahkan mereka pada patih agar dididik, mulai dari membaca qur’an sampai
membaca kitab-kitab yang lainnya. Semua orang sangat heran dengan kedua anak ini,
guru-guru mereka pun tidak sanggup lagi mengajari mereka. Karena, mereka sangat
pintar sehingga mereka diserahkan kembali pada raja.
28
mencari Buwam Parandu. Sapri dan Indra Bangsawan pun pergi merantau guna
mencari Buwam Parandu. Pada suatu malam, mereka dicegat oleh hujan yang lebat
dengan petir menyambar-nyambar. Hujan tidak henti-hentinya turun. Diceritakan
bahwa hujan tersebut terjadi selama berbulan-bulan dan mereka terpisah. Sapri terus
berjalan ke arah selatan, sampai suatu ketika ia menemukan sebuah negeri. Negeri
yang cukup besar. Negeri Asikin namanya. Namun, ada yang aneh dengan negeri itu.
Negeri itu tidak ada penghuninya, hanya ada masjid. Sapri sangat heran dengan
kejadian tersebut, kemudian ia berjalan-jalan mengelilingi negeri itu. Ia seperti
seorang pengangguran. Kemudian, Sapri menemukan Bedug. Lalu ia memukul Bedug
tersebut sekeras-kerasnya.
Akan tetapi, di dalam Bedug itu muncul suara orang yang mengerang kesakitan.
Ternyata, di dalam bedug itu ada putri dan embannya. Tanpa banyak bicara lagi,
Sapri menghampiri mereka berdua. Kemudian, melepaskan putri dari dalam Bedug.
Tatkala Sapri melihat wajah putri untuk pertama kalinya, Sapri lansung jatuh hati.
Putri Laila Sari namanya dan putri pun menyukai Sapri yang sangat tampan. Sapri
pun sanggup untuk melakukan apapun agar ia bisa mendapatkan putri Laila Sari.
Putri pun menceritakan kejadian yang sering menimpa negeri mereka (negeri Asikin).
Negeri itu sering didatangi oleh burung garuda raksasa yang suka memangsa manusia.
Suatu hari, burung garuda itu pun datang dan Sapri berhasil membunuh burung
garuda itu. Singkat cerita, raja dengan senang hati menikahkan Sapri dan putri Laila
Sari. Kemudian, raja menjadikan Sapri raja di negeri Asikin.
Sementara itu, Indra Bangsawan terus mengembara ke arah utara. Ia terus
berjalan di tengah hutan yang kian panas cuacanya. Ia pun menemukan sebuah sumur,
akan tetapi ia tidak menemukan gayung untuk mengambil air di dalam sumur tersebut.
Indra Bangsawan kemudian berdoa kepada tuhan, agar diberikan petunjuk supaya
bisa mengambil air yang ada di dalam sumur tersebut. Kemudian, ia mendapati
sebuah gayung yang dapat mengambil air dari sumur. Tetapi, ia malah masuk ke
negeri para jin. Kemudian, Indra Bangsawan bertemu dengan ratu jin. Ratu pun
29
tersesat ke negeri jin. Ternyata, ratu jin tersebut mengenali sang ayah (Indra Basu)
yang ternyata adalah anaknya.
Suatu hari, Indra Bangsawan menyamar menjadi si kembar untuk bisa melihat
sebuah syaembara. Akan tetapi, ia disukai oleh putri. Kemudian, ia pun dipelihara
oleh putri. Pada suatu hari, ayah dari sang putri menderita sakit mata. Semua raja-raja
mencari obat untuk raja, tetapi semuanya gagal. Akhirnya si kembar menjadi
penolong yang dapat mengobati sang raja, namun si kembar tidak mengakuinya.
Namun, raja tetap menunangkan Si kembar dengan anaknya. Tetapi, kebahagiaan itu
harus sirna ketika putri ternyata sudah diincar oleh buta yang akan memangsanya.
Namun, si kembar yang telah jatuh hati pada sang putri tidak rela kehilangan
sang putri. Kemudian, ia meminta bantuan neneknya dan ia pun menyanggupi
permintaan Indra Bangsawan. Indra Bangsawan diberikan baju agar ia sama seperti
para raja yang lainnya, lengkap dengan mahkota yang tercipta dari emas, dan seekor
kuda yang sangat gagah bernama Si Jengge. Ia pun berhasil bertemu dengan buta dan
bertarung dengan buta tersebut. Alhasil, Indra Bangsawan mengalahkan buta dan
membawa mata buta sebagai bukti bahwa ia berhasil membunuh buta. Namun, raja
Salapan yang tidak setuju dengan pernikahan dan keberhasilan si kembar. Karena,
mereka menganggap si kembar yang hitam seperti bulu burung gagak dan bukan
keturunan seorang raja tidak pantas menikah dengan putri raja. Kemudian, perang
tidak dapat terelakkan, antara raja negeri Anta Bermana dan raja Salapan. Singkat
cerita, perang dapat dimenangkan oleh negeri Anta Bermana yang dibantu oleh Indra
Bangsawan.
Kemudian, pada suatu malam sang putri ingin mengetahui siapa sebenarnya si
kembar. Lalu, ia pun mengintip si kembar ketika sedang mandi. Alangkah terkejutnya
sang putri ketika melihat si kembar dalam bentuk yang aslinya. Kemudian, sang putri
mencuri baju si Kembar dan menggantinya dengan pakaian yang serba mewah serta
untuk tetap pada bentuk aslinya. Setelah itu, berita mengenai si kembar yang ternyata
30
kerajaannya. Setelah mengetahui alasan dari Indra Bangsawan, raja sangat bahagia.
Kemudian, raja berencana mengadakan sebuah pesta akan pernikahan putrinya.
Suatu hari, Indra Bangsawan meminta istrinya (Putri Ratnasari) untuk
menghadap ayahnya (sang raja) guna meminta izin untuk mendirikan negeri baru.
Tak lama kemudian, si istri pergi dan menghadap ayahnya (raja) dan mengutarakan
keinginan suaminya. Tak membutuhkan banyak alasan, raja pun menyanggupi
keinginan Indra Bangsawan. Setelah mendapat izin dari raja, Indra Bangsawan pun
berangkat untuk mencari tanah yang sesuai dengan keinginannya. Tak lama kemudian,
ia menemukannya dan dalam waktu satu malam ia berhasil membangun sebuah
negara berkat cupu hikmat-nya. Singkat cerita, pesta pun kemudian dilaksanakan di
negeri baru yang bernama Anta Baru.
Kemudian, Indra Bangsawan kembali menghadap neneknya di Anta Birahi.
Sang nenek lalu memberitahu Indra Bangsawan bahwa ia akan sakit dan kakaknya
(Sapri) akan datang mencarinya untuk mengobati sakitnya. Tak lama perkataan
neneknya terbukti, Indra Bangsawan dilanda sakit mata yang sangat parah. Di tempat
lain, Sapri bermimpi Indra Bangsawan mengalami musibah. Kemudian, ia ingat
dengan perkataan ayahnya. Ia pun dengan sigap akan terus mencari Indra Bangsawan
untuk menolongnya. Ia pun berangkat dan menyamar menjadi seorang pengemis yang
sangat menjijikan. Singkat cerita, sampailah Sapri di negeri Anta Bermana dan
mencari tahu siapa raja yang memerintah negeri itu. Alangkah bahagianya Sapri,
ketika Sapri mengetahui bahwa Indra Bangsawan-lah yang memimpin negeri itu.
Kemudian, ia berangkat menuju keraton untuk mengunjungi sang adik. Ketika ia
sampai di keraton, ia disambut langsung oleh putri yang terlihat tidak suka dengan
penampilan Sapri yang masih menyamar menjadi seorang pengemis yang menjijikan.
Lalu, Indra Bangsawan pun keluar untuk memeriksa siapa yang bertamu ke istananya.
Tatkala Sapri yang sedang menyamar itu bicara, Indra Bangsawan langsung
memeluknya. Karena, ia sangat yakin bahwa itu adalah kakaknya. Singkat cerita,
Sapri pun dapat menyembuhkan Indra Bangsawan. Setelah cukup lama mengunjungi
31
Parandu yang diinginkan oleh ayahnya. Mendengar usulan kakaknya, Indra
Bangsawan pun langsung setuju dan segera memulai perjalanan pulang bersama
dengan istrinya (Ratna Sari). Pertama-tama, mereka melakukan perjalanan ke Asikin
untuk menjemput istri kakaknya, yaitu Laelasari. Singkat cerita, sampailah Sapri dan
Indra Bangsawan ke negeri asal mereka, yaitu negeri Kobat. Alangkah bahagianya
kedua orangtua mereka, karena melihat anak-anak mereka yang telah pergi jauh
kembali dengan selamat dan membawa pasangan masing-masing. Kemudian, Sapri
menyerahkan Buwam Parandu yang diinginkan oleh sang ayah. Lalu, secara
bersamaan mereka pun mengenalkan pasangannya kepada ayah dan ibunya. Tak lama
setelah itu, raja melantik Sapri menjadi seorang raja dan Indra Bangsawan sebagai
patihnya. Lalu, mereka pun memerintah negeri Kobat bersama-sama.
3.2 Metode Penelitian
Pada penelitian ini, metode yang digunakan ialah metode deskriptif analisis
sebagai dasar metode penelitian. Menurut Ratna (2010:53) metode deskriptif analisis
dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan
analisis. Selain itu, menurut Ratna (2010:337) metode deskriptif analisis lebih banyak
berkaitan dengan kata-kata, bukan angka-angka, benda-benda budaya apa saja yang
sudah diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa, baik secara lisan ataupun tulisan.
Sehingga pemakaian metode deksriptif analisis sebagai dasar penelitian sangatlah
tepat pada penelitian ini, karena objek pada penelitian berupa teks (naskah).
Adapun pada tahap analisis teks naskah WS, metode kajian filologis yang
dilakukan ialah metode kritik teks naskah tunggal edisi standar. Menurut Djamaris
(2002:24) metode standar digunakan apabila naskah itu dianggap cerita biasa, bukan
cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut agama atau sejarah, sehingga tidak
diperlakuan khusus atau istimewa. Metode penelitian naskah tunggal edisi standar
dilakukan agar mendapatkan teks yang telah bersih dari kesalahan tulis yang terjadi
32
3.3 Metode Penelitian Filologi
Metode penelitian naskah yang dipakai pada penelitian ini adalah metode
penelitian naskah tunggal edisi standar. Edisi standar dilakukan karena objek
penelitian bukan merupakan naskah yang dianggap suci oleh masyarakat sekitar atau
oleh pemiliknya. Menurut Baried (1983:69) edisi standar yaitu menerbitkan naskah
dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedang ejaannya
disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
Tujuan dari dilakukannya metode standar adalah menyajikan edisi teks yang
mudah dipahami oleh pembaca. Sehingga dengan menggunakan edisi standar, bisa
memperbaiki naskah tanpa harus memerhatikan aspek lain diluar teks itu sendiri.
Menurut Djamaris (2002:24) tahapan-tahapan yang perlu diperhatikan dalam
melakukan metode penelitian naskah tunggal edisi standar adalah sebagai berikut:
mentransliterasikan teks, (perhatikan metode transliterasi), membetulkan kesalahan
teks (Emendation atau Conjectura), membuat catatan perbaikan atau perubahan,
memberi komentar, tafsiran (informasi di luar teks), membagi teks dalam beberapa
bagian, dan menyusun daftar kata sukar (glosari).
Tujuan dari penggunaan metode atau edisi standar pada penelitian ini adalah
untuk memudahkan pembaca atau peneliti dalam membaca dan memahami teks
(Djamaris, 2002:25). Adapun melalui pemakaian metode edisi standar pada penelitian
ini, diharapkan dapat menghasilkan edisi teks naskah WS yang telah bersih dari
kesalahan tulis. Sehingga, pembaca dapat memahami isi teks naskah WS dengan
benar. Selain itu, hasil pengolahan objek penelitian diharapkan dapat membantu
peneliti dalam meninjau nilai-nilai yang terkandung di dalam teks naskah WS.
3.4 Teknik Penelitian
Teknik penelitian ialah teknik yang digunakan untuk menjabarkan suatu metode
penelitian terhadap suatu objek secara langsung. Tahapan teknik penelitian dapat
dilakukan melalui berbagai bahan penelitian (instrumen penelitian), misalnya teknik
33
dengan dua cara, yaitu studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka dilakukan
dengan cara mencari beberapa sumber, seperti buku, jurnal, dan artikel yang relevan
dengan penelitian. Studi lapangan ialah penelitian yang dilakukan secara langsung
guna meneliti suatu fenomena.
Moleong (2012:26) berpendapat bahwa metode penelitian lapangan (field
research) ialah penelitian yang dilakukan di lapangan untuk mengadakan pengamatan
tentang suatu fenomena. Moleong (2012:157) menambahkan, bahwa metode
penelitian lapangan memiliki kelebihan, yaitu mengembangkan pengertian tentang
individu dan kejadian dengan memperhitungkan konteks yang relevan dan menguji
fenomena dengan mengujinya.
Teknik analisis data merupakan teknik yang dapat dilakukan apabila teknik
pengumpulan data dirasakan sudah mencukupi. Sehingga, analisis dapat dilakukan
pada objek yang menjadi bahan penelitian. Adapun tahapan teknik analisis data yang
dilakukan terhadap naskah WS sebagai objek penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Mentransliterasikan huruf yang ada pada naskah WS ke dalam bahasa latin,
dari huruf Arab-Pegon ke huruf latin yang mudah dimengerti oleh orang
banyak.
2. Melakukan proses penyuntingan terhadap naskah WS dengan metode yang
digunakan ialah metode kritik teks naskah tunggal edisi standar.
3. Menghasilkan edisi teks naskah WS yang telah bersih dari kasus kesalahan
tulis, sehingga pembaca dapat dengan mudah membaca naskah WS.
4. Menerjemahkan naskah yang sudah disunting.
5. Meninjau kandungan nilai yang terdapat pada naskah WS berdasarkan pada
edisi teks naskah WS yang mudah dibaca dan dipahami.
3.5 Prosedur Penelitian
Secara garis besar penelitian ini dapat dijabarkan melalui prosedur-prosedur
34
2. Observasi ke tempat naskah berada, yaitu di Desa Pasirhuni, Kecamatan
Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
3. Mencari informan yang dapat membawa peneliti ke pemilik naskah, informan
pada penelitian ini adalah Arif Mustopa (rekan peneliti).
4. Mendatangi pemilik naskah Wawacan Sapriyang bernama Ki Ma’mur.
5. Melakukan wawancara mengenai seluk beluk naskah.
6. Meminjam naskah Wawacan Sapri.
7. Mentransliterasi naskah Wawacan Sapri ke dalam bahasa yang mudah
dimengerti oleh peneliti, sehingga naskah mudah dibaca.
8. Menyunting naskah Wawacan Sapri guna mendapatkan edisi teks yang bersih
dari kesalahan-kesalahan.
9. Membaca secara keseluruhan naskah Wawacan Sapri.
10.Membuat ringkasan isi cerita naskah Wawacan Sapri.
11.Memparafrasakan naskah Wawacan Sapri guna memudahkan penelitian.