• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Narkoba

1. Pengertian Narkoba

Narkotika, psikotropika, dan bahan-bahan zat adiktif lainnya atau yang biasa diketahui dengan sebutan narkoba adalah zat atau obat yang dilarang pemakaian dan peredarannya tanpa ijin khusus atau tertentu dari pihak yang berwenang. Adanya istilah narkoba itu sendiri sangat familiar dan sering digunakan pihak penegak hukum seperti polisi, Badan Narkotika Nasional, hakim, jaksa, dan petugas pemasyarakatan.

Berbeda halnya dengan penegak hukum, untuk praktisi kesehatan dan rehabilitasi mengistilahkan sebagai Napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif).1 Apabila ditinjau dari segi etimologi, narkoba berasal dari kata Narcotics yang memiliki arti sebagai obat bius. Berdasarkan pengertian dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia memiliki arti bahan pembius, obat bius, atau penenang.2 Bisa dikatakan jika narkoba berupa obat bius atau obat yang mampu memberikan dampak penenang.

Istilah narkotika juga berasal dari bahasa Yunani tepatnya kata Narkoun yang berarti membuat lumpuh atau mati rasa.3 Narkotika adalah obat yang mampu memberikan efek mati rasa atau lumpuh terhadap orang yang mengkonsumsinya. Narkotika dapat memberikan

1 Warso Sasongko. 2017. Narkoba. Yogyakarta. Penerbit Relasi Inti Media. Hal. 1.

2 Ilmawati Fahmi Imron dan Kukuh Andri Aka. 2018. Pembelajaran Fenomena Sosial Paling Mutakhir. Banyuwangi. Penerbit LPPM IAI Ibrahimy Genteng Press. Hal. 45.

3 Kaha Anwar. 2018. Ensiklopedi Populer Narkoba Jilid 2. Yogyakarta. Penerbit Ar-Ruzz Media.

Hal 85.

(2)

18

pengaruh tertentu terhadap orang yang menggunakannya dengan memasukkan ke dalam tubuh.4 Narkotika adalah zat atau obat yang mampu memberikan dampak besar terhadap pengguna. Narkotika sangat mempengaruhi saraf. Dapat diketahui jika pada dasarnya narkoba merupakan sebuah senyawa yang sangat berbahaya. Terdapat kandungan-kandungan tertentu yang sangat mempengaruhi tubuh. Hal tersebut sesuai dengan istilah narkotika yang berarti drug adalah zat yang jika digunakan akan membawa efek dan pengaruh pada si pemakai, berupa:5

1. Memberi pengaruh terhadap kesadaran diri 2. Memberi dorongan terhadap perilaku manusia Adapun pengaruh-pengaruh tersebut bisa berupa:

1. Penenang 2. Perangsang

Perangsang yang dimaksud bukanlah rangsangan berupa seks.

3. Halusinasi

Seseorang yang mengkonsumsi narkotika tidak dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan. Selain itu, pemakai biasanya akan kehilangan kesadaran waktu dan tempat.

Narkoba tidak bisa di salahgunakan. Penyalahgunaan narkoba adalah hal yang salah. Mengkonsumsi narkoba tidak bisa dilakukan sendiri terlepas dari adanya pengawasan pihak tertentu. Melihat adanya

4 Dalam Idik Saeful Bahri. 2020. Pemenuhan Hak Anak Dalam Proses Rehabilitasi Narkotika.

Yogyakarta. Penerbit Bahasa Rakyat. Hal. 67.

5 Ibid.

(3)

19

efek samping berbahaya bagi si pemakai. Dampak yang dihasilkan dari mengkonsumsi narkoba bukan merupakan suatu hal yang baik.

Hilangnya kesadaran diri seseorang dengan keadaan halusinasi bisa menjadi faktor pendorong seseorang melakukan tindakan-tindakan diluar kesadarannya.

Seseorang yang dengan sengaja mengkonsumsi narkotika bisa dipastikan keberadaannya sangat membahayakan. Bukan hanya bagi diri si pemakai sendiri melainkan juga terhadap orang lain. Keadaan halusinasi seperti tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan, serta hilangnya kesadaran akan waktu dan tempat yang diakibatkan dari mengkonsumsi narkotika, bisa menjadi salah satu faktor seseorang melakukan sebuah pelanggaran aturan atau norma hingga suatu tindak pidana.

Smith Kline dan Frech Cliniacal Staff mengutarakan definisi yang berbunyi “Narcotic are drugs which product insensibillity or stuporduce to their depressant offer on the central nervous system, included in this definition are opium-opium derivatitis (morphine, codein, methadone)”.6 Dari definisi tersebut, mereka menjelaskan jika yang disebut sebagai narkotika adalah zat atau obat yang memberikan dampak terhadap tubuh seperti ketidaksadaran diri atau pembiusan karena zat itu bekerja mempengaruhi susunan pada syaraf sentral.

Dalam pengertian narkotika tersebut isi sudah termasuk candu, karena

6 Ibid. hal, 68 (sumber kutipan sama dengan nomor 4, halaman berbeda).

(4)

20

zat yang dibuat berasal dari candu baik seperti morphine, codein, dan methadone.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditegaskan jika narkotika adalah berupa senyawa zat atau obat yang berbahaya karena efek pembiusan dari obat tersebut yang berpengaruh terhadap kesehatan syaraf pusat. Narkotika adalah obat yang menimbulkan efek ketergantungan karena bahan dari obat berupa zat candu mulai dari morphine, codein, hingga methadone.

Beberapa ahli lainnya juga mengutarakan pandangan mereka mengenai esensi dari narkotika, yaitu:

1. Soedjono

Beliau berpendapat dalam patologi sosial mengartikan narkotika sebagai bahan-bahan yang memberikan dampak berupa penurunan kesadaran karena kerja pembiusan.7

2. Djoko Prakoso

Beliau berpendapat jika psikotropika adalah zat kimia atau obat berbahaya yang mampu mengubah reaksi tingkah laku seseorang terhadap lingkungan disekitarnya. Penggunaan psikotropika yang tidak sesuai dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika termasuk kedalam tindak pidana penyalahgunaan psikotropika.8

7 Ilmawati Fahmi Imron dan Kukuh Andri Aka, Op.cit. hal.46 (halaman berbeda)

8 Ibid.

(5)

21 3. Korp Reserce Narkoba

Korp Reserce Narkoba berpendapat jika narkotika merupakan zat yang menimbulkan perubahan perasaan, dan susunan pengamatan atau penglihatan. Hal tersebut terjadi karena narkotika mampu mempengaruhi susunan saraf.9

Menurut beberapa ahli diatas dapat diketahui jika hampir dari semua memiliki pandangan yang sama akan narkotika. Mereka memberikan definisi bahwa narkotika berupa zat kimia, obat, atau dari bahan-bahan tertentu yang berdampak terhadap si pemakai. Narkotika memberikan pengaruh atau reaksi terhadap tubuh manusia yang mengkonsumsinya.

Narkotika mempunyai efek samping bisa berupa penurunan kesadaran karena kerja pembiusan. Mengkonsumsi narkotika juga mampu berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang yang mengkonsumsinya.

Hal ini karena efek halusinasi yang dirasakan pemakai. Narkotika bisa berpengaruh terhadap susunan saraf manusia terutama susunan saraf pusat atau sentral sehingga orang yang mengkonsumsinya akan merasa ada perubahan perasaan, dan pengamatan atau penglihatan menjadi terganggu.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam pasal 1 angka 1 berbunyi “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau

9 Ibid.

(6)

22

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.”10 Tidak jauh berbeda dengan definisi menurut ahli, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga mengartikan narkotika sebagai senyawa zat atau obat.

Narkotika dapat berasal dari tanaman atau bukan tanaman. Narkotika bisa berdampak bagi orang yang mengkonsumsinya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa narkotika mampu menghilangkan kesadaran diri, bisa juga sebagai penghilang rasa dan nyeri. Narkotika juga sudah pasti membuat ketergantungan karena terdiri dari zat candu seperti yang dikemukakan oleh para ahli.

Berdasarkan teori, pandangan ahli, dan Undang-Undang, dapat diketahui dan disimpulkan bahwa semua memiliki pandangan akan esensi narkotika yang sama. Mereka mengutarakan pendapat dan mengartikan narkotika sebagai sebuah zat atau obat. Meskipun berasal dari tanaman atau bukan tanaman, narkotika tergolong kedalam zat kimia berbahaya. Jika dikaji akan manfaat dari narkotika itu sendiri, banyak yang berpendapat bahwa lebih banyak akibat negatif yang ditimbulkan dibandingkan dengan manfaat positif yang bisa dirasakan.

Hal tersebut diperkuat dengan banyak contoh di lapangan dimana seseorang yang melakukan penyalahgunaan narkoba. Pemakaian yang

10 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(7)

23

tidak sesuai dengan anjuran dan ketentuan medis mengakibatkan tubuh menerima banyak efek samping dari zat atau obat tersebut. Mulai dari hilang kesadaran, gangguan saraf, halusinasi hingga ketergantungan.

Dampak lain yang juga bersifat merugikan ketika zat atau obat tersebut menjadi faktor utama seseorang melakukan tindak pidana.

2. Penyalah Guna Narkoba

Pada dasarnya, narkoba tidak dapat disalahgunakan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa narkoba (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) adalah suatu zat atau obat berbahaya dengan kandungan-kandungan di dalamnya yang memberikan efek tertentu bagi tubuh orang yang menggunakan atau memakainya. Hal tersebut membuat penggunaan atau pemakaian narkoba tidak dapat dilakukan tanpa adanya pengawasan dari pihak tertentu terutama tim medis.

Penggunaan atau pemakaian narkoba hanya dapat dilakukan jika bertujuan sebagai pengobatan. Selain pengobatan hal tersebut dilarang untuk digunakan. Narkoba tidak dapat di konsumsi hanya karena untuk menikmati pengaruhnya. Apabila ada seseorang yang mengkonsumsi zat atau obat tersebut maka orang tersebut termasuk kedalam orang- orang yang melakukan penyalahgunaan narkoba.

Merujuk pada pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang berbunyi “Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.”11 Dari

11 Ibid. hal, 4 (sumber kutipan sama dengan nomor 8, halaman berbeda).

(8)

24

bunyi pasal tersebut dapat diterangkan bahwa orang yang dapat dikatakan sebagai penyalah guna adalah jika orang tersebut didapati dengan sengaja dan tanpa hak dalam arti tanpa adanya ijin khusus tertentu menggunakan narkotika. Hal tersebut jelas melawan hukum karena yang dilakukan melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Mengenai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia Undang-Undang yang mengatur tentang penyalah guna narkoba adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Apabila berbicara tentang penjatuhan hukuman yang ada di Indonesia khususnya bagi kasus narkoba, diketahui bahwa antara pelaksanaan hukuman tidak sebanding dengan penjatuhan hukuman itu sendiri. Hal tersebut berakibat pada singkatnya waktu kurungan penjara yang juga menimbulkan seseorang untuk tetap melakukan tindakan penyalahgunaan narkoba. Adapun ketentuan pidana yang berkaitan dan biasa dijatuhkan terhadap penyalah guna adalah ketentuan pasal 112 dan 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Menurut bunyi pasal 112 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika:12

1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana

12 Ibid. hal, 41 (sumber kutipan sama dengan nomor 8, halaman berbeda).

(9)

25

denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

2. Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 112 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan salah satu tindakan seperti yang tertera dalam pasal 112 ayat 1 apabila ia tanpa hak atau melawan hukum (tidak ada ijin dari pihak berwajib) bisa memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan yang termasuk narkotika golongan I bukan tanaman maka dipidana penjara selama paling singkat empat tahun dan dua belas tahun paling lama. Kemudian denda uang bisa sebesar delapan ratus juta rupiah paling sedikit dan delapan miliar rupiah paling banyak. Jika perbuatan yang dilakukan seperti yang tertera dalam ayat 1 diketahui berat barang bukti lebih dari lima gram maka ancaman pidana bisa seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama selama dua puluh tahun. Untuk denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah sepertiga.

(10)

26

Untuk bunyi pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika:13

1. Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

2. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

3. Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Melihat dari bunyi pasal tersebut, pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dengan jelas menyatakan jika pasal ini ditujukan bagi penyalah guna. Terutama mereka yang menggunakan narkotika baik itu golongan I, golongan II, atau golongan III bagi diri sendiri. Pasal ini menyatakan jika penyalah guna dapat menjalani rehabilitasi bisa berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

13 Ibid. hal, 48 (sumber kutipan sama dengan nomor 8, halaman berbeda).

(11)

27

Meskipun dalam memutus perkara yang ada wajib memperhatikan ketentuan beberapa pasal lainnya seperti pasal 54 yang menyatakan jika rehabilitasi medis dan sosial wajib dilakukan terhadap pecandu dan korban penyalahgunaan. Pasal 55 yang mewajibkan melakukan pelaporan kepada pihak terkait yang melakukan rehabilitasi dan pasal 103 dimana hakim dapat memutus atau menetapkan tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.

Dari beberapa ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dua pasal diatas yaitu pasal 112 dan 127 yang sering digunakan oleh aparat penegak hukum saat ini terhadap penyalah guna. Jika kita melihat isi kedua pasal tersebut bisa dikatakan pasal 112 dan 127 berkaitan. Isi dari pasal 112 mengakibatkan penyalah guna juga dapat dijerat dengan pasal tersebut. Pasal 112 bisa dikatakan merupakan pasal karet, karena rumusan delik yang tidak konkrit.14 Hal tersebut karena bunyi pasal 112 tidak menjelaskan spesifikasi tujuan penjatuhan pidana itu sendiri berbeda halnya dengan pasal 127 yang dengan terang menyebutkan penyalah guna.

Beberapa contoh riset penelitian yang dilakukan oleh ICJR dalam 30 jenis putusan terkait tindak pidana narkotika dengan menggunakan pasal 111 atau pasal 112 baik sebagai dakwaan pertama, primer, tunggal atau dakwaan kedua serta subsidair. Diketahui sebanyak 33 persen menggunakan pasal 127 dan 18 persen menggunakan pasal 114.

14 Heri Joko Saputro. 2021. Kebijakan Publik Terhadap Pengguna Narkoba Yang Dihukum Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta. Jurnal Ilmiah Publika. Vol. 9 No. 1. Magister Hukum. Universitas Jayabaya. Hal. 29.

(12)

28

ICJR mencatat ketika jaksa menggunakan pasal 127, mereka tetap mencantumkan pasal 111, 112 atau 114. Pasal 127 lebih banyak ditempatkan sebagai dakwaan subsidair. Hal tersebut menunjukkan jika jaksa masih ingin menjerat terdakwa dengan penggunaan pasal 111, 112 atau 114, karena dalam hal pembuktian lebih mudah untuk dibuktikan.15

Melihat hasil dari penelitian yang dilakukan pihak ICJR akan kenyataan di Indonesia saat ini bahwa pasal 112 Undang-Undang No.

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menjadi pasal favorit bagi aparat penegak hukum untuk dijeratkan kepada terdakwa. Adanya bunyi pasal yang tidak memberi penjelasan terhadap siapa pasal tersebut ditujukan, berakibat pada penyalah guna yang juga dapat menjadi korban atas pasal tersebut. Meskipun pembuktian yang lebih mudah daripada pasal 127 namun perlu menjadi perhatian juga karena penjatuhan hukuman yang ada harus berlandaskan keadilan. Selain itu tujuan dari Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disusun salah satunya untuk menjamin upaya rehabilitasi medis dan sosial terhadap penyalah guna dan pecandu narkotika. Dari adanya tindakan tersebut pada akhirnya banyak penyalah guna yang ditempatkan dalam LAPAS tanpa ada upaya rehabilitasi. Faktor ini juga termasuk hal pendorong semakin banyak jumlah narapidana yang mengakibatkan overload pada LAPAS.

15 Ardya Rahma Kusumasari. 2021. Problematika Undang-Undang No 35 tahun 2009 Tentang Narkotika Dalam hal Penerapan Rehabilitasi Bagi Penyalaah Guna Narkoba. Surakarta. Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi. Vol. 9 No. 1. Magister Hukum. Universitas Negeri Sebelas Maret. Hal. 148.

(13)

29

Selain itu memungkinkan kembalinya narapidana guna melakukan pengulangan tindak pidana atau residivis.

B. Tinjauan Umum Tentang Narapidana 1. Narapidana

Seorang individu atau orang lain yang telah melakukan sebuah pelanggaran hukum dan dikenai pidana disebut dengan narapidana.16 Apabila merujuk dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang berbunyi “Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.”17 Dari definisi dan bunyi pasal tersebut, dapat dijelaskan jika orang yang bisa disebut sebagai narapidana adalah orang yang sudah melakukan suatu pelanggaran yaitu berupa pelanggaran hukum yang dikenai pidana. Seseorang bisa juga disebut sebagai narapidana apabila orang tersebut merupakan seorang terpidana. Terpidana merupakan orang yang sudah dinyatakan terbukti bersalah dalam hal ini melakukan sebuah pelanggaran hukum yaitu berupa tindak pidana yang mana kemudian telah dikenai sanksi pidana atas dasar putusan dari pengadilan yang sifatnya berkekuatan hukum tetap atau mutlak.

Seseorang yang sudah dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana dan mendapat penjatuhan pidana dalam arti lain sebagai seorang terpidana harus menjalani masa pidana di dalam LAPAS atau Lembaga Pemasyarakatan. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pasal 1 angka 7

16 Gusman Lesmana. 2021. Bimbingan Konseling Populasi Khusus. Jakarta. Penerbit Prenada Media. Hal. 29.

17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

(14)

30

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang menyatakan jika terpidana akan kehilangan kemerdekaan mereka karena menjalani pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan atau LAPAS. Selain itu ada beberapa ahli yang memberikan pendapat akan pandangan definisi narapidana.

Menurut pandangan beberapa ahli, narapidana memiliki definisi sebagai berikut:

1. Baharuddin Soerjobroto

Beliau berpendapat bahwa narapidana merupakan warga masyarakat yang bertingkah laku berbahaya untuk keamanan, atau melakukan tindak pidana yang mana sudah dijatuhi pidana atau diserahkan pada pemerintah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.18

2. Harsono

Beliau mengartikan jika narapidana adalah orang yang sudah dijatuhi vonis bersalah oleh hukum. Seorang narapidana harus menjalani hukuman yang sudah dijatuhkan kepadanya.19

3. Wilson

Narapidana merupakan manusia bermasalah yang keberadaannya dipisahkan dari masyarakat lainnya yang bertujuan untuk belajar bermasyarakat dengan baik.20

18 Kasmanto Rinaldi. 2021. Pembinaan Dan Pengawasan Dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Batam. Penerbit Yayasan Cendikia Mulia Mandiri. Hal. 23.

19 Ibid.

20 Ibid.

(15)

31 4. Dirjosworo

Manusia biasa dalam hal ini seperti manusia lain pada umumnya, dimana ia melanggar norma hukum yang ada sehingga dipisahkan oleh hakim. Hal tersebut bertujuan untuk menjalani hukuman yang ada.21

Dari adanya beberapa pandangan ahli mengenai narapidana itu sendiri, bisa diketahui definisi narapidana secara umumnya adalah seseorang atau warga masyarakat biasa yang sudah melakukan suatu pelanggaran norma hukum atau sudah dijatuhi pidana. Seseorang yang telah melakukan pelanggaran norma hukum termasuk kedalam orang- orang yang bermasalah sehingga keberadaannya perlu dipisahkan dari masyarakat pada umumnya. Hal tersebut bertujuan bagi narapidana itu sendiri guna menjalani hukuman yang ada. Selain itu, adanya pemisahan yang dilakukan berfungsi sebagai salah satu upaya terhadap narapidana untuk bisa belajar bagaimana cara bermasyarakat dengan baik. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang narapidana adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

Berdasarkan uraian definisi dari Undang-Undang dan pendapat para ahli dapat juga disimpulkan jika narapidana narkoba adalah orang yang telah melakukan sebuah pelanggaran tindak pidana narkoba, yaitu orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

21 Ibid.

(16)

32

Tentang Narkotika. Seseorang yang sudah dijatuhi vonis bersalah karena terbukti melanggar peraturan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Seseorang yang dianggap bermasalah karena melanggar peraturan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sehingga keberadaannya dipisahkan dengan masyarakat dan mengalami hilang kemerdekaan karena harus menjalani hukuman yang ada yaitu pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan.

C. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum 1. Pengertian Penegakan Hukum

Penerapan hukum di dalam masyarakat harus sesuai dengan pola perilaku dan perkembangan masyarakat. Dalam upaya menegakkan sebuah peraturan perlu adanya usaha-usaha yang harus dilakukan.

Usaha-usaha atau upaya yang dilakukan untuk mewujudkan ide atau konsep hukum menjadi kenyataan disebut dengan penegakan hukum.22 Upaya penegakan hukum perlu dilakukan untuk mewujudkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat.

2. Unsur-Unsur Penegakan Hukum a. Kepastian Hukum

Pada dasarnya asas ini meninjau dari segi yuridis atau erat kaitannya dengan pemahaman positivisme. Suatu perundang- undangan yang dibentuk harus jelas tanpa menimbulkan multitafsir.

Sehingga hukum yang berlaku tidak menyimpang dalam masyarakat.

22 Dalam Hasaziduhu Moho. 2019. Penegakan Hukum Di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan. Medan. Jurnal Warta Dharmawangsa. Vol. 13 No. 1.

Fakultas Hukum. Universitas Dharmawangsa. Hal. 6.

(17)

33

Dikarenakan sifat hukum yang bersifat umum maka guna dari adanya kepastian hukum adalah untuk mengetahui perbuatan apa saja yang dapat dilakukan dan sebagai kontrol atas kesewenangan.

b. Keadilan

Keragaman budaya yang dimiliki masyarakat Indonesia mengakibatkan perlu adanya upaya khusus dalam mewujudkan tujuan hukum salah satunya adalah unsur keadilan. Berdasarkan pendapat dari Satjipto Raharjo dapat diketahui jika hukum adalah untuk manusia, pegangan, optik atau keyakinan dasar, tidak melihat hukum sebagai suatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.23 Dengan begitu unsur keadilan perlu ditegakkan disamping kepastian hukum dan kemanfaatan.

c. Kemanfaatan

Hukum yang berlaku harus memberikan manfaat tidak hanya sekedar memberikan pembalasan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. hukum harus mempunyai tujuan manfaat tertentu.

D. Tinjauan Umum Tentang Pembinaan Narapidana 1. Pengertian Pembinaan

23 Ibid. hal, 9 (sumber kutipan sama dengan nomor 22, halaman berbeda).

(18)

34

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), ditulis definisi akan pembinaan. Menurut KBBI pembinaan meliputi:24

1. Proses

2. Pembaharuan, penyempurnaan

3. Usaha, kegiatan, dan tindakan dimana dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Dapat diartikan pembinaan adalah sebuah usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan dimana hal tersebut memiliki arah dan tujuan tertentu.

Kegiatan yang dilakukan berupa sebuah pembaharuan atau penyempurnaan dimana hal tersebut merupakan bagian dari proses usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan.

Tidak jauh dengan definisi sebelumnya, menurut Thoha (2003) pengertian dari pembinaan adalah sebuah tindakan, proses, hasil, atau pernyataan menjadi lebih baik.25 Dari adanya gagasan akan pengertian pembinaan tersebut dapat ditegaskan jika pembinaan merupakan sebuah tindakan atau berupa proses. Beliau juga berpendapat jika pembinaan merupakan sebuah pernyataan menjadi lebih baik. Hal tersebut dikarenakan pembinaan adalah upaya yang sengaja dilakukan untuk memberikan perbaikan atas sesuatu dalam hal ini sikap atau tindakan seseorang yang telah melanggar norma-norma hukum yang berlaku.

Pembinaan narapidana merupakan sebuah usaha yang sengaja dilakukan pemerintah (Dirjen Kemasyarakatan DEPKEH) yang

24 Dalam Surianto. 2021. Manajemen Pemberdayaan Napi (Upaya Mengelola Sistem Lembaga Pemasyarakatan Ideal). Surabaya. Penerbit Global Aksara Pers. Hal. 22.

25 Ibid. hal 23 (sumber kutipan sama dengan nomor 18, halaman berbeda).

(19)

35

bertujuan untuk memperbaiki tingkah laku pelanggaran hukum yang dilakukan. Tujuan pembinaan dilakukan agar narapidana bertobat dan tidak mengulangi perbuatan pidananya. Mereka diharapkan mampu menjadi warga negara yang taat kepada norma hukum yang berlaku.26

Pembinaan adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sadar, bersifat teratur dan terarah karena hal tersebut direncanakan dengan tujuan untuk bisa memperbaiki tingkah laku seseorang yang telah melakukan pelanggaran hukum berupa tindak pidana. Pembinaan dilakukan secara berdaya guna. Hal tersebut dapat diterapkan melalui tindakan berupa pengarahan, pembimbingan, dan pengawasan yang sesuai dengan norma yang berlaku. Sasaran dari adanya kegiatan pembinaan adalah orang atau sumber daya manusia. Tujuan dari adanya kegiatan pembinaan ini adalah untuk menjadikan sumber daya manusia agar mampu menjadi warga negara yang baik dan taat dalam bertindak sesuai dengan norma-norma hukum yang berlaku di negara.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan pasal 1 angka 1 yang berbunyi: “Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.”27

26 Dalam Gunadi dan Oci Senjaya. 2020. Penologi Dan Pemasyarakatan Edisi Revisi 2020.

Yogyakarta. Penerbit Deepublish. Hal. 130.

27 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

(20)

36

Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui jika pembinaan merupakan bentuk kegiatan yang sengaja dilakukan terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dengan tujuan untuk bisa meningkatkan:

1. Kualitas ketaqwaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Mampu meningkatkan intelektual Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

3. Meningkatkan sikap dan perilaku Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan

4. Meningkatkan profesionalitas Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan

5. Meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan

2. Pembinaan Narapidana

Pembinaan adalah bentuk kegiatan yang dilakukan oleh LAPAS.

Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembinaan narapidana khususnya di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dalam melakukan upaya pembinaan pemasyarakatan perlu memperhatikan asas-asas guna menwujudkan upaya pembinaan yang baik. Berdasarkan pasal 5

(21)

37

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan beberapa asas dalam pembinaan:28

1. Pengayoman

Dalam upaya pembinaan penerapan asas pengayoman perlu dilakukan. Pengayoman dilakukan untuk melindungi masyarakat dari adanya kemungkinan pengulangan tindak pidana dan memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan supaya bisa berguna di tengah masyarakat.

2. Persamaan perlakuan dan pelayanan

Penerapan asas ini dilakukan untuk menghindari adanya sikap diskriminasi. Dimana Warga Binaan Pemasyarakatan memiliki ha katas perlakuan dan pemberian pelayanan yang sama.

3. Pendidikan

Perlu adanya penyelengaraan pendidikan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Pendidikan harus dilakukan berdasarkan Pancasila.

4. Pembimbingan

Seperti dengan Pendidikan upaya pembimbingan juga dilakukan tanpa mengabaikan kaidah-kaidah yang tertera dalam Pancasila.

Upaya pembimbingan dan pendidikan dapat berupa:

a. Penanaman jiwa kekeluargaan

b. Pembimbingan dan pendidikan keterampilan c. Pendidikan kerohanian, dan

28 Lihat dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

(22)

38 d. Kesempatan menunaikan ibadah

5. Penghormatan harkat dan martabat manusia

Sebagai seorang narapidana yang telah melakukan pelanggaran tindak pidana. Mereka juga tetap memiliki hak atas penghormatan dari orang lain. Maka dari itu layaknya jika seorang Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia yang baik.

6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan Untuk menebus atas kesalahan yang sudah dilakukan seorang Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS. Dalam hal ini negara memiliki kesempatan untuk memperbaiki tanpa melepaskan hak-hak lain Warga Binaan Pemasyarakatan.

7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu

Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memiliki hak untuk bisa bertemu pihak keluarga bisa dalam bentuk kunjungan dan program cuti mengunjungi keluarga.

Upaya pembinaan terhadap narapidana juga harus memperhatikan hak-hak narapidana itu sendiri tanpa mengesampingkan asas dalam pembinaan. Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan meyebutkan hak bagi narapidana yaitu:29 a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

29 Lihat dalam pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

(23)

39

b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

e. menyampaikan keluhan;

f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;

i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. mendapatkan pembebasan bersyarat;

l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Dari pasal tersebut hak untuk melaksanakan ibadah, mendapatkan perawatan, pendidikan dan pengajaran, serta pelayanan kesehatan dilakukan dengan memperhatikan status yang bersangkutan sebagai seorang narapidana. Pelaksanaan hak tersebut dilakukan dalam batas- batas yang diizinkan. Dalam hak atas penyampaian keluhan hal tersebut dapat dilaksanakan jika narapidana terjadi pelanggaran bisa berupa pelanggaran atas hak asasi atau hak lain yang terjadi saat proses

(24)

40

pembinaan berlangsung. Narapidana dapat menyampaikan keluhan kepada Kepala LAPAS jika aparat LAPAS atau sesama penghuni LAPAS melakukan pelanggaran hak asasi. Mengenai hak remisi dan kesempatan berasimilasi, pemberian hak tersebut dapat dilaksanakan apabila narapidana mampu memenuhi syarat yang sudah ditentukan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan hak atas pembebasan bersyarat, hal tersebut dapat diberikan jika narapidana sudah menjalani dua pertiga masa pidana dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari sembilan bulan.

Sehingga, tidak semua narapidana bisa mendapatkan hak pembebasan bersyarat tersebut. Hak atas cuti menjelang bebas bisa diberikan kepada narapidana apabila sudah menjalani lebih dari dua pertiga masa pidana ditambah dengan ketentuan berkelakukan baik. Jangka waktu cuti sama dengan remisi yaitu selama enam bulan. Adapun hak-hak lainnya yang dimiliki narapidana berupa hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan.

Merujuk pada pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam upaya pembinaan narapidana terhadap Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada pasal tersebut, penyalah guna wajib menjalani rehabilitasi baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Penyalah guna bisa menjalani rehabilitasi apabila terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Seseorang yang dapat dikatakan sebagai korban penyalahgunaan jika orang tersebut

(25)

41

tidak sengaja menggunakan narkotika karena beberapa faktor seperti dibujuk, ditipu, dipaksa, diperdaya, dan atau diancam guna menggunakan narkotika.

Upaya pembinaan narapidana di Indonesia khususnya penyalah guna sampai saat ini belum banyak yang menerapkan upaya rehabilitasi medis dan sosial. Hampir semua menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Hal tersebut dikarenakan sistem peradilan pidana di Indonesia yang menganut asas legalitas. Banyak penyalah guna yang awalnya sebagai korban harus menjalani pidana penjara karena diproses sesuai dengan ketentuan norma hukum yang ditetapkan di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Tidak adanya upaya pembinaan rehabilitasi medis dan sosial mengakibatkan upaya pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan terhadap narapidana penyalah guna hanya sebatas upaya pembinaan kepribadian dan upaya pembinaan kemandirian.

Berdasarkan pasal 2 ayat 1 PP No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, program upaya pembinaan dan pembimbingan meliputi upaya pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian. Adapun upaya yang dilakukan berkaitan dengan:30

a. ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. kesadaran berbangsa dan bernegara;

30 Lihat dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

(26)

42 c. intelektual;

d. sikap dan perilaku;

e. kesehatan jasmani dan rohani;

f. kesadaran hukum;

g. reintegrasi sehat dengan masyarakat;

h. keterampilan kerja; dan i. latihan kerja dan produksi.

E. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan 1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Untuk mewujudkan upaya pembinaan terhadap narapidana maka harus terdapat tempat yang mampu melaksanakan kegiatan pembinaan tersebut. Upaya pembinaan terhadap narapidana tidak dapat dilaksanakan begitu saja tanpa adanya pengaturan tertentu. Pelaksanaan pembinaan dibutuhkan perhatian dan pengawasan khusus. Maka diperlukan sebuah lembaga yang memiliki kedudukan khusus yang mampu melaksanakan tugas dan kewajiban untuk melaksanakan upaya pembinaan terhadap narapidana. Adapun lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Pemasyarakatan atau LAPAS.

Merujuk pada pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang dimaksud dengan Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan upaya pembinaan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan.31 Berdasarkan pasal

31 Lihat dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

(27)

43

tersebut, Lembaga Pemasyarakatan atau biasa disebut dengan LAPAS adalah salah satu lembaga milik negara yang memiliki kedudukan untuk bisa melakukan upaya pembinaan bagi narapidana. LAPAS merupakan lembaga dimana pelaksanaan secara teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (beberapa waktu).32

Sebagai sebuah Lembaga LAPAS memiliki fungsi, tugas, dan tanggung jawab penting terhadap upaya pembinaan bagi narapidana.

LAPAS merupakan tempat bagi narapidana untuk bisa merenungkan atas pelanggaran tindak pidana yang sudah dilakukan. Selain itu LAPAS juga merupakan tempat bagi narapidana untuk bisa memperbaiki diri menjadi lebih baik. Hal tersebut membuat LAPAS memiliki tugas yang cukup berat. Hal tersebut sesuai dengan gagasan Dr. Sahardjo mengenai pendapatnya tentang konsep pemasyarakatan dalam pidato berjudul “Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila atau Manipol atau Usdek.”33 Dalam hal tersebut Lembaga Pemasyarakatan tidak hanya berfungsi untuk melaksanakan hukuman bagi narapidana saja melainkan juga melaksanakan upaya pembinaan dengan tujuan mampu mengembalikan orang-orang yang sudah dijatuhi pidana nanti ke dalam masyarakat.

2. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia a. Pada Masa Pra Kemerdekaan

32 Kasmanto Rinaldi. 2021. Pembinaan dan Pengawasan Dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Batam. Penerbit Yayasan Cendikia Mulia Mandiri. Hal 14.

33 Wahyu Saefudin. 2020. Psikologi Pemasyarakatan. Jakarta. Penerbit Prenada Media. Hal 67.

(28)

44

Jauh sebelum bangsa Belanda dan Jepang datang ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal sistem hukum yaitu hukum adat. Hukum adat merupakan suatu aturan yang mengatur masyarakat dan bersifat mengikat. Hukum adat sangat erat kaitannya dengan masyarakat adat. Sehingga, dalam penerapannya hukum adat hanya berlaku di wilayah adat tertentu saja.34 Hukum adat adalah hukum yang lahir dari masyarakat adat. Hukum adat dapat terlahir melalui proses interaksi sosial yang ada di dalam masyarakat.

Hukum yang berlaku dalam masyarakat sesuai dengan budaya masyarakat adat itu sendiri. Apabila dibandingkan dengan pemberlakuan hukum pada saat ini tentu terdapat perbedaan.

Pemberlakuan hukum pidana dan hukum perdata pada saat itu dapat dikatakan sudah cukup baik berlaku. Hukum tersebut juga disesuaikan dengan karakteristik dan budaya masyarakat adat.

Hukum pidana dan perdata adat pada masa itu tidak secara spesifik memisahkan antara hukum privat dan hukum pidana. Hal tersebut karena hukuman yang ditetapkan dalam hukum adat berdasarkan kesepakatan seluruh masyarakat.35

b. Pada Masa Penjajahan dan Pemerintahan Kolonial Belanda

Pada saat masa penjajahan hukum berkembang cukup signifikan. Pada awalnya masyarakat terbiasa dengan pengaturan

34 Wilsa. 2020. Lembaga Pemasyarakatan, Sejarah dan Perkembangannya (Suatu Pendekatan Terhadap Pembinaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dan Instrumen Internasional). Sleman. Penerbit Deepublish. Hal 18.

35 Ibid.

(29)

45

hukum adat dimana hukum berlaku dan berkembang secara tidak tertulis, pada masa penjajahan berubah menjadi peraturan hukum yang berlaku secara tertulis. Saat masa penjajahan terjadi terdapat kebijakan yang dikeluarkan berupa pidana kerja paksa. Kebijakan tersebut juga dikenal sebagai periode pidana kerja paksa. Terjadi pada abad ke XIX sekitar tahun 1872 hingga 1905. Masa ini menjadi masa yang cukup berat dikarenakan banyak terpidana terpaksa dipekerjakan untuk beberapa proyek besar bagi keperluan umum.

Dalam pelaksanaannya terpidana ditempatkan dalam penjara-penjara pusat dengan kapasitas 700 sampai 2700 orang. Memiliki sistem kamar Bersama berisi 25 orang. Selain sistem kamar pada masa itu sudah diterapkan pengaturan mengenai pemisahan narapidana dengan cara digolongkan berdasarkan jenis pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan.36 Kebijakan tersebut dilakukan dengan tujuan guna menciptakan perasaan takut dan berusaha untuk mengasingkan terpidana dari golongan masyarakat.

Saat masa pemerintahan kolonial Belanda, belum terdapat istilah kepenjaraan. Melainkan masih menggunakan istilah tahanan yang dibagi menjadi tiga yaitu:37

36 Ibid. hal, 19 (sumber kutipan sama dengan nomor 32, halaman berbeda).

37 Dalam Wilsa. 2020. Lembaga Pemasyarakatan, Sejarah dan Perkembangannya (Suatu Pendekatan Terhadap Pembinaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dan Instrumen Internasional). Sleman. Penerbit Deepublish. Hal 22.

(30)

46

a. Bui berupa rumah tahanan yang berada di bawah pengawasan kota. Bui dibedakan penggunaannya antara orang Belanda dan Pribumi.

b. Kwartier adalah rumah tahanan diperuntukkan terhadap orang perantau yang telah melakukan pelanggaran hukum.

c. Tahanan wanita berupa rumah tahanan khusus bagi wanita yang telah melakukan pelanggaran hukum.

Kemudian pada tahun 1917 dan 1918 terdapat perubahan kebijakan dimana sistem penjara pusat dirubah dengan sistem penjara-penjara pelaksana hukuman. Adanya perubahan kebijakan tersebut membuat pemerintah harus membangun suatu tempat khusus yang berfungsi sebagai tempat tahanan dengan status belum terpidana.

c. Pada Masa Setelah Berlakunya KUHP (1918)

Pada masa ini terdapat perubahan kebijakan dimana sistem penjara pusat sudah tidak berlaku kembali. Masa ini menerapkan kebijakan penjara-penjara pelaksana hukuman. Terdapat penyempurnaan peraturan bagi terpidana dalam bentuk realisasi klasifikasi penerapan pasal 26 KUHP dan dilaksanakan pemberian lepas bersyarat yang pertama setelah KUHP berlaku.38

d. Pada Masa Pendudukan Jepang

Pada saat pendudukan Jepang tidak terdapat perubahan dalam struktur organisasi kepenjaraan. Semua dilakukan sama seperti saat

38 Ibid. hal, 25 (sumber kutipan sama dengan nomor 32, halaman berbeda).

(31)

47

masa kolonial Belanda.39 Dalam masa pendudukan Jepang perlakuan terhadap terpidana lebih kearah eksploitasi manusia. Hal tersebut menimbulkan banyak korban.

e. Pada Masa Kemerdekaan

Pada masa kemerdekaan sistem kepenjaraan dipegang oleh pemerintah Indonesia. Berubahnya sistem penjara menjadi sistem pemasyarakatan. Hal tersebut didukung dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.40 3. Dasar Hukum Terbentuknya Lembaga Pemasyarakatan

a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Melakukan suatu pelanggaran hukum adalah hal yang salah.

Seseorang yang dengan sengaja melakukan pelanggaran hukum berupa tindak pidana harus mendapatkan konsekuensi sesuai dengan perbuatan yang sudah dilakukan. Orang-orang yang telah melakukan tindak pidana dapat digolongkan kedalam orang bermasalah. Perlu adanya sebuah tindakan atau upaya khusus terhadap mereka dengan tujuan memberikan efek jera serta mampu menyadari atas kesalahan yang sudah dilakukan untuk bisa tidak mengulangi tindak pidana.

Bagi orang-orang yang sudah dinyatakan bersalah dan dikenai sanksi pidana, maka orang tersebut harus menjalankan masa pidana di dalam suatu tempat khusus bagi narapidana yang disebut dengan Lembaga Pemsyarakatan atau biasa disingkat dengan LAPAS.

39 Ibid.

40 Ibid. hal, 29 (sumber kutipan sama dengan nomor 32, halaman berbeda).

(32)

48

LAPAS merupakan tempat pelaksanaan upaya pembinaan terhadap narapidana. Upaya pembinaan yang harus dilakukan LAPAS adalah upaya yang berfungsi untuk memperbaiki jati diri seseorang yang bermasalah karena sudah melakukan suatu tindak pidana. Pembinaan terhadap narapidana bukan hal yang mudah. Sangat banyak tantangan yang dihadapi terlebih setiap narapidana memiliki kepribadian masing-masing. Untuk itu perlu adanya payung hukum yang dapat menunjang pelaksanaan LAPAS itu sendiri.

Pada akhirnya pemerintah membentuk Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang ini dibentuk oleh pemerintah karena melihat sejarah dari pemasyarakatan itu sendiri dimana pada zaman dahulu tidak ada istilah upaya pembinaan melainkan sistem kepenjaraan. Sistem kepenjaraan masa penjajahan dan kolonial Belanda hanya berfokus pada sistem kerja paksa.

Terlebih saat masa pendudukan Jepang sistem kepenjaraan menjadi eksploitasi manusia. Hal tersebut tergolong cukup kejam sehingga dapat menimbulkan korban jiwa.

Setelah Indonesia merdeka perlu adanya pembenahan dimana perlakuan terhadap narapida harus berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Undang- Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan merupakan sebagai dasar acuan pelaksanaan upaya pembinaan terhadap narapidana dengan tujuan supaya narapidana dapat menyadari atas

(33)

49

kesalahan yang sudah diperbuat, dapat memperbaiki diri, tidak akan mengulangi tindak pidana, serta bisa diterima kembali kedalam masyarakat karena menjadi seorang warga yang baik dan bertanggung jawab. Hal tersebut sesuai dengan konsep sistem pemasyarakatan dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.41

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan berisikan pengaturan tentang pembinaan terhadap narapidana. Dimana sistem pembinaan pemasyarakatan yang dilakukan harus berdasarkan asas. LAPAS wajib hukumnya melaksanakan sistem pembinaan berdasarkan asas yang sudah tertulis dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. Selain itu LAPAS juga wajib melaksanakan upaya pembinaan tanpa melanggar hak-hak narapidana itu senidri. Hal tersebut juga sudah diatur didalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. Melihat betapa pentingnya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 maka menjadikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ini sebagai dasar hukum terbentuknya LAPAS.

41 Lihat dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi menyebutkan bahwa Setiap Narapidana dan Anak Pidana yang menjalani pidana penjara sementara

Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Lembaga adalah organisasi atau badan yang melakukan suatu penyelidikan atau

Di dalam undang-undang narkotika sendiri tidak menjelaskan secara rinci mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana narkotika namun dalam Bab I pasal I angka 15

Dasar hukum pemberian remisi dapat ditemukan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, “Narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan diselengagrakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi

Berdasarkan pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyatakan Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan

Mendapatkan Pendidikan dan Pengajaran bagi Warga Binaan Permasyarakatan merupakan hak bagi narapidana sebagaimana ketentuan Pasal 14 huruf c Undang-Undang No 12 Tahun 1995,

Narapidana remaja adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan khusus anak. Remaja yang hidup di lingkungan lapas akan