• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika 1. Pengertian Narkotika

Narkotika secara umum disebut sebagai drugs yaitu sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan cara memasukan ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau khayalan-khayalan. Secara etimologi, kata narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke yang artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Orang Amerika menyebutnya dengan nama narcotic, di Malaysia dikenal dengan istilah dadah sedangkan di Indonesia disebut Narkotika. (Andi Hamzah, 1986 : 224). Sebagian orang berpendapat bahwa narkotika berasal dari kata Narcissus yang berarti sejenis tumbuh-tumbuhan yang mempunyai bunga yang dapat menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri.1

Selain itu, pengertian Narkotika secara farmakologis medis menurut Ensiklopedia Indonesia adalah obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri yang berasal dari daerah Viseral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong atau kondisi sadar tetapi harus digertak) serta adiksi, efek yang ditimbulkan narkotika adalah selain menimbulkan ketidaksadaran juga dapat menimbulkan daya khayal / halusinasi serta menimbulkan daya rangsang / stimultant.

Menurut Smith Klise dan French Clinical Staff mengatakan bahwa: “Narcotics are drugs which produce insebility stupor duo to their depressant effect on the control nervous system. Included in this definition are opium derivates (morphine, codein, heroin, and synthetics opiates (meperidine, methadone).” yang artinya kurang lebih sebagai berikut: Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksamaan atau pembiusan dikarenakan

1 Hari Sasangka. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana. Mandar Maju. Bandung.

(2)

16

zat tersebutbekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam definisinarkotika ini sudah termasuk jenis candu dan turunan - turunancandu (morphine, codein, heroin), candu sintetis (meperidine,methadone).2

Menurut vide Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 2882 Tahun 1970, narkotika atau obat bius diartikan secara umum sebagai semua bahan obat yang umumnya mempunyai efek kerja bersifat membiuskan (dapat menurunkan kesadaran), merangsang (meningkatkan prestasi kerja), menagihkan (meningkatkan ketergantungan), dan menghayal (halusinasi).

Menurut Pakar kesehatan, Narkoba ialah psikotropika yang umumnya dipakai untuk membius pasien saat hendak dioparasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Akan tetapi saat ini presepsi itu disalah gunakan akibat pemakaian yang telah diluar batas dosis yang dianjurkan.

Menurut Verdoovende Middelen Ordonantie Staatblad 1972 No. 278 jo. Nomor 536 yang telah diubah dan ditambah, yang dikenal sebagai undang – undang obat bius, narkotika adalah “bahan – bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadara. Disamping menurunkan kesadaran juga menimbulkan gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus menerus dan liar dengan akbiat antara lain terjadinya ketergantung pada bahan – bahan tersebut”.3

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan menurunnya atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”.4 Pada dasarnya narkotika memiliki khasiat dan bermanfaat digunakan dalam bidang ilmu kedokteran, kesehatan, dan pengobatan, serta berguna bagi penelitian dan pengembangan ilmu farmasi atau farmakologi. Akan tetapi tidak adanya penelitian khusus yang dilakukan pemerintah dalam hal ini penggunaan narkotika Golongan I jenis Tanaman Ganja untuk kebutuhan pelayanan kesehatan

2 Djoko Prakoso. Dkk, Kejahatan – kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina

Aksara, Jakarta,1987, Hlm. 480.

3 Makarao. Moh Taufik. Dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, Hlm:19. 4 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang – undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

(3)

17

mengakibatkan minimnya pengetahuan tentang manfaat danri narkotika itu sendiri.

2. Tujuan Pengaturan dan Penggunaan Narkotika

Undang – undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertujuan :

a) Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

b) Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika.

c) Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekursor Narkotika; d) Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi

penyalahguna dan pecandu Narkotika.

e) Obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan disisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.

f) Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga undang - undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai dengan perkembagan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.

Penggunaan Narkotika menurut Undang – undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :

a) Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

(4)

18

b) Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;

c) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapat persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

3. Penggolongan Narkotika

Selanjutnya mengenai penggolongan Narkotika diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :

a) Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. b) Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi yang tinggi mengakibatkan ketergantugan.

c) Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyakdigunakan dalam terapidan/atau untuk tujuan ilmu pengembangan pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Menurut Wresniworo (1999 : 28), narkotika menurut cara / proses pengolahannya dapat dibagi kedalam tiga golongan, yaitu :

1) Narkotika alam adalah narkotika yang berasal dari hasil olahan tanaman yangdapat dikelompokkan dari tiga jenis tanaman masing-masing :

a) Opium atau candu, yaitu hasil olahan getah dari buah tanaman papaver somniferum.Yang termasuk dalam kelompok ini adalah opium mentah, opium masak dan

(5)

19

morfin. Jenis opium ini berasal dari luar negeri yang diselundupkan ke Indonesia, karena jenis tanaman ini tidak terdapat di Indonesia.

b) Kokain, yang berasal dari olahan daun tanaman koka yang banyak terdapat dan diolah secara gelap di Amerika bagian selatan seperti Peru, Bolivia, Kolombia.

c) Canabis Sativa atau marihuana atau yang disebut ganja termasuk hashish oil (minyak ganja). Tanaman ganja ini banyak ditanam secara ilegal didaerah khatulistiwa khususnya di Indonesia terdapat di Aceh.

2) Narkotika semi sintetis, yang dimaksud dengan narkotika golongan ini adalah narkotika yang dibuat dari alkaloida opium dengan inti penthren dan diproses secara kimiawi untuk menjadi bahan obat yang berkhasiat sebagai narkotika. sebagai contoh adalah heroin dan codein.

3) Narkotika sintetis, narkotika golongan ini diperoleh melalui proses kimia dengan menggunakan bahan baku kimia, sehingga diperoleh suatu hasil baru yang mempunyai efek narkotika seperti Pethidine, Metadon dan Megadon.

4. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukannya5.

5 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia.Jakarta. 2001.

(6)

20

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undangundang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah6. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.7

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Di dalam undang-undang narkotika sendiri tidak menjelaskan secara rinci mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana narkotika namun dalam Bab I pasal I angka 15 Undang Undang narkotika menjelaskan penyalahgunaan narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum dan dalam angka 20 dijelaskan bahwa Kejahatan terorganisir adalah kejahatan yang dilakukan oleh 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk sewaktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana narkotika. Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, memberikan pengertian : “Peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian

6 P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung.

1996. hlm. 7

(7)

21

kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika”.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur tindak pidana narkotika yaitu sebagai berikut :

1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang; 2. Melawan hukum;

3. Dilakukan dengan kesalahan dan; 4. Patut dipidana.

Penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana yang mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan tindak pidana pada umumnya. Ciri-ciri khusus tindak pidana narkotika digambarkan oleh Suwanto (1999; 12) Sebagai berikut:

1. Pelakunya dengan sistem sel artinya antara konsumen dan pengedar tidak ada hubungan langsung (terputus) sehingga apabila konsumen tertangkap maka sulit untuk diketahui pengedar, demikian pula sebaliknya.

2. Dalam tindak pidana narkotika pelaku juga korban sehingga kejahatan narkotika pelaporan sangat minim.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, tindak pidana narkotika adalah tindak pidana penyalahgunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum selain yang ditentukan dalam undang-undang.

(8)

22

B. Sanksi Tindak Pidana Narkotika

Adapun bentuk-bentuk dan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika di atur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu sebagai berikut :

Pasal 111

(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).

(2). Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.

Pasal 112

(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).

(2). Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.

(9)

23

Pasal 113

(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar rupiah).

(2). Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.

Pasal 114

(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar rupiah).

(2). Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.

(10)

24

Pasal 115

(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, mentransito narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000 (Delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000 (Delapan milyar rupiah).

(2). Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, mentransito narkotika Golongan I sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.

Pasal 116

(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (Satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000 (Sepuluh milyar rupiah).

(2). Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati, cacat permanen, pelaku dipidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3.

(11)

25

C. ALASAN PENGHAPUS PIDANA

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa yamg diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana.8 Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah diatur dalam undang – undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam hal ini menenmpatkan wewenang dalam dirinya (dalam mengadili perkara yang konkret) sebagai penentu apakah telah terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.9 Dengan demikian alasan – alasan penghapus pidana ini adalah alasan – alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan delik, untuk tidak dipidana; dan ini merupakan kewenangan yang diberikan undang – undang kepada hakim.10

Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi tiga :

a) Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuataan sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar.

b) Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Yakni perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukun dan tetap merupakan perbuatan pidana akan tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.

8 H.M Hamdan. Alasan Penghapus Pidana (teori dan Studi Kasus). PT Refika

Aditama.2013.hlm.27

9 Ibid. Hlm. 27 10 Ibid.hlm 27

(12)

26

c) Alasan menghapus penuntutan yang dimaksudkan disini bukan ada alasan pembenar atau pemaaf. Jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, akan tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak dijadikan penuntutan.

1. Alasan dasar Penghapus Pidana (strafruitsluitingsgrond, Grounds Of Impunity)

Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi tentang alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, hukum pidana seperti hukum lainnya mengatur hak-hak yang umum dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga, hukum pidana mengatur hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini maka hukum pidana mengandung kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan suatu tindakan sesuai dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Dengan demikian ini menjadi penting untuk memperoleh kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian suatu perkara pidana.11

Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukum Pidana (KUHP), tidak dihukum, karena :

1. Orangnya tidak dapat dipersalahkan;

2. Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum. Bab I dan Bab II KUHP menjelaskan bahwa “Alasan-alasan yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan pidana”. Alasan penghapus

(13)

27

pidana, adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak dapat dipidana. M.v.T (Memorie Van Toelichting) dari KUHP (WvsBelanda) dalam penjelasannya mengenai alasan mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggung jawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”. M.v.T (Memorie Van Toelichting) menyebut 2 (dua) alasan yaitu :

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendig), yakni :

a) Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (pasal 44 KUHP).

b) Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan lasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).

2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uitwendig), yaitu:

a) Daya paksa atau overmacht (pasal 48);

b) Pembelaan terpaksa atau noodweer (pasal 249); c) Melaksanakan Undang-undang (pasal 50); d) Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);

Dari kedua alasan yang ada dalam MvT (Memorie Van Toelichting) menimbulkan kesan bahwa pembuat undang – undang dengan tegas merujuk pada penekanan tidak dapat dipertanggung jawabkannya orang, tidak dapat dipidananya

(14)

28

pelaku / pembuat, bukan tidak dapat dipidananya tindakan/perbuatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 58 KUHP.12

Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukm Pidana juga mengadakan pembedaan sendiri, ialah :

1. Alasan penghapus pidana yang umum (starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;

2. Alasan penghapus pidana yang khusus (starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja. Dalam hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana :

1. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).

2. Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.Alasan pemaaf yang

(15)

29

terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.

2. Alasan Penghapus Pidana (umum) di dalam KUHP. A. Daya Paksa – Overmacht Pasal 48 KUHP

Pasal 48 KUHP menentukan : “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa”.13 Apa yang diartikan dengan daya paksa ini dapat dilihat dalam KUHP. Menurut M.v.Tyang dimaksud dengan paksaan itu adalah “een kracht, een drang, een dwang waaraan men geen weerstand kan bieden” (suatu kekuatan, suatu dorongan suatu paksaan yang tidak dapat ditahan).14 “Tidak dapat ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan di sini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat ditahan” menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam dua hal :

1. vis absoluta (paksaan yang absolut). 2. vis compulsive (paksaan yang relatif).

Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan. Yang dimaksud dengan daya paksa dalam pasal 48 adalah daya paksa relative (vis complusiva). Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat dari padanya.

13 Lihat Pasal 48 Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP)

14 H.M Hamdan. Alasan Penghapus Pidana (teori dan Studi Kasus). PT Refika

(16)

30

Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam kata lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.

B. Keadaan Darurat – Noodtoestand Pasal 48 KUHP

Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang. Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat :

1) Pertentangan antara dua kepentingan hukum ;

2) Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum ; 3) Pertentangan antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum.

3. Alasan Penghapus Pidana Di Luar KUHP.

Selain alasan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP, juga terdapat alasan penghapus pidana yang bersumber dari luar KUHP yang dalam hal – hal khusus atau perkara tertentu juga dapat digunakan hakim sebagai alasan penghapus pidana. Alasan – alasan penghapus pidana yang diluar KUHP15 ini juga ada yang berlaku secara umum dan juga ada yang berlaku secara khusus untuk kasus tertentu.

Alasan Penghapus Pidana diluar KUHP ini sering disebut dengan alasan penghapus pidana Putatief dan Avas. Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang putatief. Menurut pendapat MJ van Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana, apabila

(17)

31

dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung pada “taksi” (avas).16 Menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan singkatan dari (afwezigheid van alle schuld) yang berarti orang yang melakukan tindak pidana yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali, tanpa sila (absence of blameworthiness/ no fault). Jika ada kasus-kasus di mana kita dapat membuktikan bahwa tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus, terjadi eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis). Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf. 17

4. Teori – teori Alasan Penghapus Pidana

Beberapa keadaan fisik ataupun keadaan ligkungan dapat dijadikan sebagai alasan penghapus pidana. Dengan kata lain meskipun perbuatan seseorang itu telah memenuhi isi rumusan undang – undang mengenai suatu perbuatan yang dapat dihukum, akan tetapi yang bersangkutan tidak dihukum. Alasan pembenar dan alasan pemaaf merupakan pembelaan dari pelaku terhadap tuntutan dari perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung bagi terdakwa dari ancaman hukuman. 18

1. The Theory of Lesser Evils19

The reory of lesser diartikan sebagai “ Teori tentang peringkat kejahatan yang lebih ringan”. Teori ini digolongkan ke dalam alasan pembenar (the theory of justification). Alasan pembenar didasari pada pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atas dasar perimbangan atau perbandingan dari tingkat kejahatan atau dasar kebaikan yang mempunyai nilai yang

16 Bemmelen, J.M. van. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan

Hasnan. Bandung. Binacipta. Hlm. 174-175

17 Ibid. Hlm 202

18 H.M. Hamdan. Op.cit. hlm. 60 19 Ibid. hlm. 64

(18)

32

lebih baik dari sekian banyak pilihan. Dalam teori ini suatu perbuatan itu dapat dibenarkan dilandasi pada beberapa argumen :

1. Suatu perbuatan yang menyimpang dari aturan norma yang sudah ditentukan dalam masyarakat dapat dibenarkan untuk dilakukan dalam rangka mengamankan kepentingan yang lebih besar daripada bahaya yang terjadi atas penyimpangan dari norma yang di lakukan. “ This means simply that no act is justified unless its benefit exceeds its cost”.20

2. Suatu perbuatan yang menyimpang dari aturan atau norma-norma yang sudah ditentukan itu dapat dibenarkan apabila perbuatan yang menyimpang itu adalah suatu cara atau alat yang mudah tersedia untuk menghindar dari ancaman tersebut. Penyimpangan norma yang dilakukan itu memang merupakan satu-satunya cara untuk menghindari dari bahaya yang mengancam. “the conduct is justified only if it is undertaken to avoid an imminent and impending danger of harm”

2. The Theory of pointless punishments21

The Theory of pointless punishments diartikan sebagai “teori hukum yang tidak perlu”. Teori ini digolongkan kedalam alasan pemaaf (The utilitarian theory of excuses). Pada dasarnya teori ini berasal dari teori manfaat dari hukuman (the utilitarian theory of punishment), yang didasarkan pada dua premis :

1. Bahwa hukuman yang dijatuhkan itu pantas atas dasar pembenaran bahwa hukuman hukuman itu akan membawa manfaat yang baik secara umum, terutama untuk mencegah orang melakukan kejahatan. 2. Apabila penjatuhan hukuman itu tidak membawa manfaat yang baik

secara umum, maka hal itu akan membawa rasa sakit bagi masyarakat

20 Ibid. Hlm. 65 21 Ibid. Hlm 66-70

(19)

33

tanpa membawa keuntungan sama sekali, bahkan penghukuman itu merupakan suatu perlakuan yang salah.

3. Jika dihubungkan dengan penerapan Pasal 44 KUHP, maka hakim yang mengadili perkara harus melakukan pemeriksaan terhadap pelaku dengan dua syarat, yaitu

1. Syarat pertama adalah suatu syarat psychiatri, yaitu dari sudut penyakit, dalam hal ini harus dapat dibuktikan bahwa pelakutidak menyadari atau tidak menginsyafi perbuatan atau akibat dari perbuatannya.

2. Syarat kedua adalah syarat psychologis, yaitu tentang keadaan jiwa seseorang dalam menentukan pilihannya untuk melakukan suatu perbuatan (perbuatan melanggar hukum). Dari sudut keadaan kejiwaan ini harus dapat dibuktikan apakah pelaku tidak bebas memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Misalnya melakukan sesuatu (tindak pidana) dalam keadaan jiwa yang tertekan.

3. The Theory of necessary defense

The Theory of necessary defense diartikan sebagai “teori mengenai pembelaan yang diperlukan”. Dalam hal melakukan pembelaan, Fletcher mengemukakan bahwa teori pembelaan juga termasuk didalamnya adalah teori pembelaan diri (theory of self defense), dan kehormatan pribadi atau orang lain. Pembelaan ini dapat dilakukan atas dasar penggunaan kekuatan yang benar dan tepat sehingga tidak ada pilihan yang lain, yang dapat digunakan selain melakukan perbuatan yang melanggar hukum tersebut. Dengan demikian jika msih ada pilihan lain yang dapat digunakan untuk melindungi diri dari ancaman yang membahayakn tersebut, maka pembelaan dengan cara melanggar hukum tidak dibenarkan.22

(20)

34

Didalam Undang – undang Narkotika tidak dijelaskan secara rinci adanya alasan penghapus pidana. Tetapi dalam halnya memberikan putusan terhadap perkara narkotika seharusnya hakim mempertimbangkan alasan – alasan yang dapat menghapuskan unsur pidananya atau setidaknya menghapuskan sifat melawan hukumnya. Sifat melawan hukum ada yang formil dan ada yang materiel. Sifat melawan hukum yang formil adalah apabila suatu perbuatan itu telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sedangkan sifat melawan hukum yang materiel adalah suatu perbuatan yang mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan undang – undang, perbuatan tersebut harus benar – benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Oleh karena itu alasan–alasan pembenar juga terdapat diluar undang–undang, berada pada hukum yang tidak tertulis.23 Sehingga terhadap perkara narkotika pun sifat melawan hukum yang materiel ini dapat dijadikan alasan penghapus pidana apabila perbuatan yang dilakukan tersebut tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku dan tidak tercela sesuai hukum yang hidup dalam masyarakat.

D. NARKOTIKA UNTUK KEBUTUHAN MEDIS (OBAT)

Narkotika dalam dunia kesehatan bertujuan untuk pengobatan dan kepentingan manusia seperti operasi pembedahan, menghilangkan rasa sakit, perawatan stress dan depresi.

Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyatakan bahwa “narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.24 Sedangkan untuk pengadaan, impor, ekspor, peredaran dan penggunaannya diatur oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan. Sehingga penggunaan narkotika selain yang disebutkan pada Pasal 7 di atas, mempunyai konsekuensi akibat yuridis yaitu penyalahgunaan narkotika dan akan

23 Sapardjaja, Komariah Emong. Ajaran Sifat melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana

Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Bandung.2002.hlm. 25

(21)

35

memperoleh pidana / ancaman pidana sesuai yang diatur dalam undang-undang tersebut. Dalam hal ini penulis akan pengaturan terhadap narkotika Golongan I jenis tanaman Ganja untuk kebutuhan medis atau pelayanan kesehatan harus segera diakomodasi oleh Pemerintah. Karena zat – zat yang terkandung di dalamnya dalam dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dan kebutuhan pelayanan kesehatan, salah satu langkah awal adalah membuka riset atau penelitian terhadap tanaman Ganja.

Ganja adalah obat yang sangat kuat yang diidentifikasi terdiri dari 483 konstituen kimia yang berbeda. 66 diantaranya disebut cannabinoid – senyawa ganja yang memainkan peran penting dalam kualitas ganja sebagai obat. Tapi bukan berarti ada 66 efek/interaksi cannabinoid yang berbeda. Berikut adalah senyawa ganja yang paling jelas kehadiran dan manfaatnya:

1. THC (Delta-9 tetrahydrocannabinol)

THC adalah senyawa yang paling aktif dalam psikologis ganja, dan juga salah satu yang sangat memberi terapi bagi para penggunanya. THC memiliki efek analgesik (penghilang rasa sakit), sifat anti-spasmodik (mencegah / menghilangkan kejang-kejang), anti–getaran, anti-inflamasi (mencegah pembengkakan), perangsang nafsu makan dan anti muntah yang digunakan untuk berbagai penyakit seperti: gangguan makan, efek samping dari kemoterapi, multiple sclerosis [penyakit autoimun yang mempengaruhi otak dan sumsum tulang belakang (sistem syaraf pusat), spasticity (kontraksi konstan dan tidak diinginkan dari satu atau lebih kelompok otot sebagai hasil dari stroke atau lainnya ke otak atau sumsum tulang belakang, kejang-kejang dan lain-lain. Selain itu, THC telah diketahui untuk mengurangi pertumbuhan tumor dan mengurangi perkembangan aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah yang disebabkan oleh kelebihan lemak di dinding arteri) pada tikus.

(22)

36

2. (E)–BCP (Beta-caryophyllene)

(E)-BCP adalah komponen anti-inflamasi alami dan kuat yang juga ditemukan dalam makanan seperti lada hitam, oregano, kemangi, jeruk nipis, kayu manis, wortel, dan seledri. Tidak seperti THC, cannabinoid ini tidak mempengaruhi otak, yang berarti tidak menghasilkan efek psikotropika. Para peneliti mengatakan (E)-BCP bisa menjadi pengobatan yang efektif untuk nyeri, arthritis (peradangan sendi), sirosis (peradangan & fungsi buruk pada hati), mual, osteoarthritis (penyakit sendi), aterosklerosis (suatu kondisi di mana dinding arteri menebal sebagai akibat dari kelebihan lemak seperti kolesterol), dan penyakit lainnya tanpa membuat pasien merasa “tinggi”.;

3. CBC (Cannabichromene)

Sering kali, cannabinoid saling bekerja sama untuk menciptakan sifat penyembuhan pada ganja. CBC adalah contoh baik dari hal tersebut, karena CBC mendorong efek dari THC. CBC juga memiliki efek sedatif dan analgesik.

4. CBD (Cannabidiol)

CBD adalah komponen non-psikoaktif ganja, yang berarti tidak memabukkan. Hal ini diyakini bahwa kehadiran CBD didalam ganja dapat menekan efek euforia dari THC (keadaan mental dan emosional didefinisikan sebagai rasa yang damai/santai). CBD memiliki sifat inflamasi, biotik, depresan, anti-psikotik, anti-oksidan, penenang, imunomodulator (penyesuaian sistem imun), dan juga untuk meredakan kejang, radang, gelisah, dan mual. CBD perlu bekerjasama dengan THC untuk mengobati nyeri kronis. Pada tahun 2001, GW Pharmaceuticals menemukan

(23)

37

bahwa hanya kombinasi dari CBD dan THC-lah yang menawarkan efek analgesik pada pasien. Jika digunakan secara terpisah, CBD atau THC tidak seefektif mengobati sakit kronis seperti jika mereka digunakan secara bersamaan.

5. CBG (Cannabigerol)

CBG adalah cannabinoid pertama yang diproduksi oleh tanaman ini. CBG adalah pencetus biogenetis dari semua senyawa ganja. CBG memiliki efek sedatif dan sifat antimikroba, dan menyebabkan rasa kantuk. Studi menunjukkan bahwa CBG dapat mengurangi tekanan intraokular (tekanan cairan pada mata) pada pasien glaukoma [pasien yang mengalami gangguan mata di mana saraf optik mengalami kerusakan pada penglihatan yang permanen dan bisa mengakibatkan kebutaan jika tidak diobati] dan berkontribusi terhadap sifat antibiotik pada ganja itu sendiri.25

E. PERTIMBANGAN HAKIM

Sebelum memutuskan suatu perkara, hakim selalu memperhatikan hal-hal yang dapat menjadi suatu pertimbangan-pertimbangan baik secara yuridis maupun di luar ketentuan - ketentuan yuridis demi menemukan suatu kebenaran dan menciptakan keadilan. Pertimbangan hakim adalah hal-hal yang menjadi dasar atau yang dipertimbangkan hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana. Sebelum memutus suatu perkara, hakim harus memperhatikan setiap hal-hal penting dalam suatu persidangan. Menurut penulis dalam halnya seorang hakim memberikan putusannya harus mempertimbangkan 2 (dua) aspek yaitu:

A. Pertimbangan Yuridis

25 Diakses dari http://www.lgn.or.id/manfaat-ganja-untuk-medis/ pukul 15.20. minggu 6 januari

(24)

38

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hukum adalah yang menjadi dasar sebelum memutus perkara, hakim akan menarik fakta-fakta dalam proses persidangan yang merupakan konklusi komulatif dari keterengan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti.

Fakta-fakta yang dihadirkan, berorientasi dari lokasi, waktu kejadian, dan modus operandi tentang bagaimana tindak pidana dilakukan. dan juga melihat bagaimana akibat yang ditimbulkan.Pertimbangan hakim dalam putusan hakim harus mengetahui aspek teoritik, pandangan doktrin, yurisprudensi, dan posisi kasus yang ditangani. Setelah pencantuman unsur-unsur tersebut, selanjutnya dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.

B. Pertimbangan Non Yuridis (Sosologis)

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Didalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada. Faktor- faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara , yaitu :

1. Memperhatikan sumber hukum tak tertulis dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

2. Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan terdakwa. 3. Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan, peranan

korban.

4. Faktor masyarakat, yakni liingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

(25)

39

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulann hidup.

Sesuai dengan Pasal 193 KUHP asas tindak pidana tanpa kesalahan (geen straaf zonder schuld) pidana hanya dapat dijatuhkan bila ada kesalahan terdakwa, yang dibuktikan di sidang pengadilan, yaitu kesalahan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam dakwaan penuntut umum. Sehingga pengadilan menjatuhkan pidana apabila terdakwa bersalah melakukan tindakan pidana yang didakwakan kepadanya. Didalam Pasal 183 KUHAP juga menyebutkan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Alat bukti yang sah di dalam Pasal 184 26 adalah :

a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan.

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis).27

26 Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11

(26)

40

Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian pula putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),

dan filosofis (keadilan). Salah satu dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika adalah aspek kepastian hukum yang dalam hal ini meliputi Undang – undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, tetapi dalam hal ini menurut penulis undang – undang tersebut tidak memenuhi unsur kepastian hukum terkait pemanfaatan narkotika golongan I jenis tanaman yaitu Ganja tidak diperbolehkan untuk keperluan pelayanan kesehatan. Sehingga putusan hakim seringkali tidak memenuhi ketiga unsur tersebut dan tidak dapat di pertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Seringkali dalam hal mengambil keputusan dalam sidang pengadilan hakim mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum.

(27)

41

3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum. 4) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

5) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya, karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur.

7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(28)

42

8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.28 Tetapi dalam hal teknik hakim mengambil keputusan untuk menjatuhkan pidana menurut aliran dualistis dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Perbuatan melawan hukum menurut hukum pidana itu adalah merupakan unsur objektif.

2. Pertanggungjawaban menurut hukum pidana itu adalah merupakan unsur subjektif (kesalahan dalam arti luas).

3. Untuk menjatuhkan pidana menurut aliran dualistis ini, syaratnya adalah kedua unsur, baik unsur objekti maupun unsur subjektif.

Jadi apabila dihubungkan dengan pengadilan beradasarkan doktrin tentang alasan penghapus pidana seperti yang sudah dijelaskan penulis diatas, bunyi putusan menurut Pasal 191 KUHAP di lain pihak, maka menurut penulis terdapat suatu kejanggalan, tidak sinkron. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah- kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan - putusannya. Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

28 Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

(29)

43

keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik.29

Seorang hakim dalam penjatuhan pidana harus memerlukan kejelian, kebijakan, dan kearifan dalam menjatuhkan putusannya terkhusus untuk perkara tindak pidana narkotika. Berdasarkan hal tersebut menurut penulis hakim tidak hanya menjatuhkan putusan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku, akan tetapi hakim juga harus melihat dari aspek sosial dan kemanusiaan. Pertimbangan hakim merupakan saran untuk memperoleh rasa keadilan baik terdakwa, korban, masyarakat, atau pengadilan bagi hakim sendiri sebagai sarana untuk koreksi dan rekoreksi dalam menjatuhkan putusan.

Suatu putusan hakim di dalam tindak pidana narkotika tidak berdiri sendiri tetapi mempunyai kekuatan berlaku untuk peristiwa serupa yang terjadi kemudian hari sesuai dengan perkembangan masyarakat yang didorong dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang lebih maju. Hal tersebut berujung pada kesatuan dan kepastian hukum. Kesatuan hukum menuntut keseragaman putusan terhadap perkara yang serupa. Sedangkan kepastian hukum mengharap agar perkara serupa tidak diputus berbeda. Sehingga putusan hakim itu tidak bersifat normatif, yang berarti bahwa putusan hakim itu tidak hanya berlaku bagi peristiwa tertentu saja, tetapi juga berlaku bagi peristiwa – peristiwa lainnya yang serupa terjadi di kemudian hari.

29 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,

(30)

44

Dalam hal ini menurut penulis Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum (doktrin) serta diharuskan berlandaskan pada keadilan, karena dalam halnya Hakim dalam memberikan putusannya, tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, seperti halnya dijelaskan didalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”, sehingga hakim dapat memutuskan dengan rasa keadilan dan dapat dipertanggung jawabkan terhadap masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Namun, kita mulai melihat sedikit perbedaan di mana terletak pada bagian dari definisi yang menyatakan bahwa perilaku organisasi yang bersangkutan dengan "

hatian, Menciptakan lingkungan yang dapat diprediksi, Mempelajari fakta – fakta, Berhati – hati sebelum memutuskan, Mengakui dan menghargai kebutuhan orang lain, Menerima tugas –

SimNasKBA-2011 , bahwa dengan segala keterbatasan tersebut Insha Allah dapat melaksanakan SimNasKBA ini dengan sukses, yang tentu saja semua itu atas bantuan Panitia SimNasKBA dari

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

dan nilai Anti-image Correlation variabel- variabel yang diuji diatas 0,5. Pada analisis selanjutnya dari variabel- variabel preferensi konsumen dalam memilih buah durian,

In this paper, we define the implementation capacity of ISCoffee as the capacity of stakeholders (farmers, different government levels, businesses etc.) to implement the

Sedangkan pengertian mengenai kebudayaan sendiri yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam