BAB II
URAIAN TEORITIS
Media massa cetak merupakan salah satu media penyampai informasi yang kini menyebar hampir di seluruh penjuru Indonesia bahkan dunia. Surat kabar misalnya, informasi yang terdapat dalam surat kabar sifatnya tetap dan dapat dibaca berulang-ulang. Hal ini tentu berbeda dengan informasi yang disajikan di media elektronik seperti radio dan televisi yang terikat dengan waktu. Informasi tersebut nyatanya hanya dapat dinikmati beberapa saat dan tidak diperoleh kembali dalam jangka waktu yang lama. Seiring dengan pertumbuhan manusia yang tidak terlepas dari kebutuhan akan informasi, komunikasi massa menempati urutan yang sangat penting dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Secara sederhana komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan melalui media massa.
Komunikasi massa ini timbul akibat dari komunikasi interpersonal yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk tatap muka yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang kian membeludak. Pengiriman pesan yang biasanya dilakukan dalam bentuk interpersonal tidak dapat menjangkau khalayak dalam jumlah besar dan dalam waktu yang cepat. Untuk itu diperlukan media sebagai jembatan bagi khalayak, artinya pesan yang disampaikan melaui suatu media dapat diterima banyak orang dan dalam waktu yang singkat pula, kegiatan semacam ini disebut dengan komunikasi massa.
II.1 Pendekatan-pendekatan Mengenai Isi Media
Dalam studi media, ada tiga pendekatan untuk menjelaskan isi media.
Pertama, pendekatan politik-ekonomi (the political-economy approach).
Pendekatan ini, berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan- kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta kearah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan.
Kedua, pendekatan organisasi (organizational approaches). Pendekatan
ini melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Berita dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada dalam ruang redaksi. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan.
Ketiga, pendekatan kulturalis (culturalist approach). Pendekatan ini
merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi politik dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita di sini dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal diluar media. Mekanisme yang rumit itu ditunjukkan dengan bagaimana perdebatan yang terjadi dalam ruang pemberitaan. Media pada dasarnya mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan organisasi, tetapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi politik di luar media (Sudibyo, 2001:2-4).
Isi media mencerminkan realitas sosial dengan dengan sedikit atau tidak ada penyimpangan. Penelitian isi media dengan pendekatan mirror mengasumsikan bahwa apa yang didistribusikan oleh media massa adalah refleksi dari kekuatan realitas sosial kepada khalayaknya. Seperti pada saat kamera meliput peristiwa-peristiwa di dunia. Efek null sama dengan meyakinkan bahwa isi media merefleksikan realitas, tapi itu kelihatan realitas sebagai hasil perpaduan antara informasi yang ditawarkan untuk media dan siapa yang membelinya; ini memiliki kekuatan satu sama lain dan menghasilkan sebuah rangkaian periatiwa yang objektif (Shoemaker, 1996:6).
Pada dasarnya, apa yang disajikan media adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J.Soemaker dan Stephen D. Reese, meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan (Sudibyo, 2001:7-13).
Pertama, Faktor Individual
Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khlayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Mengapa media tertentu cenderung memarjinalkan wanita atau mengapa agama islam di Maluku digambarkan secara buruk oleh media tertentu? Kalau pendekatan individual yang diambil, penjelasannya adalah karena aspek personalitas dari wartawan yang akan mempengaruhi pemberitaan.
Selain personalitas, level individu juga berhubungan dengan segi profesionalisme dari pengelola media. Latar belakang pendidikan atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi pemberitaan media. Wartawan yang mempunyai orientasi politik tertentu, akan memberitakan secara berbeda terhadap partai politik yang kebetulan menjadi idolanya.
Kedua, Level Rutinitas Media (media routine)
Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita.
Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Sebagai mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media mempengaruhi wujud akhir sebuah berita.
Dalam hal ini media massa memiliki standard operasional prosedur (SOP) dalam mencari dan menemukan berita. Kemampuan media di dalam rutinitas media juga dipengaruhi oleh :
- SDM - Materi
- Perlengkapan
Ketiga, Level Organisasi.
Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya.
Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan berita agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.
Dialektika dalam level organisasi media ini dapat menjelaskan munculnya kecenderungan pers era reformasi untuk mengedepankan berita-berita politik yang tajam, sensasional, bahkan bombastis. Di era Orde Baru, tak dapat dibayangkan munculnya genre pemberitaan yang semacam itu, perkembangan ini muncul karena pada era reformasi, state regulation telah mengalami kebangkrutan dan
digantikan oleh dominasi market regulation. Persoalannya kemudian market regulation ternyata lebih akomodatif terhadap genre pemberitaan yang seperti itu.
Dalam era market regulation, yang dibutuhkan adalah sajian-sajian yang dapat menarik perhatian kalangan pengiklan dan pemirsa, termasuk berita-berita bombastis itu tanpa terburu-buru menenggang perasaan pemerintah.
Pada perkembangannya kalangan redaksi mungkin bosan dengan genre pemberitaan seperti itu, dan mencoba untuk mengembangkan angel-angel lain.
Namun pihak sirkulasi menuntut agar genre pemberitaan itu tetap dipertahankan karena pasar pembaca ternyata menyukainya. Akhirnya, berita-berita sensasional dan bombastis itu tetap disajikan oleh media.
Keempat, Level Ekstra Media
Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan diluar media. Meskipun berada di luar organisasi media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media, yaitu :
- Sumber Berita
Sumber berita disini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan : memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu saja memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan
mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media. Pengelola media tidak sadar, lewat teknik yang canggih, sebetulnya orientasi pemberitaan telah diarahkan untuk menguntungkan sumber berita. Media secara tidak sadar telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber bertita tersebut.
- Sumber Penghasilan Media
Sumber penghasilan media ini bisa berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan/pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan diantaranya dengan cara memaksa media untuk mengembargo berita yang buruk mengenai mereka. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.
- Pihak Eksternal
Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media.
Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Ini karena dalam negara yang otoriter, negara menentukan apa yang tidak boleh dan apa yang boleh diberitakan. Pemerintah dalam banyak hal memegang lisensi penerbitan, kalau
media ingin tetap dan bisa terbit ia harus mengikuti batas-batas yang telah ditentukan oleh pemerintah tersebut. Berita yang berhubungan dengan pemerintah terutama berita buruk akan diembargo atau dibatalkan, daripada nasib media yang bersangkutan akan mati. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.
Kelima, Level Ideologi
Ideologi adalah ”world view” sebagai salah satu kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan lebih dilihat kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukannya.
II.2 Kategori/Jenis-jenis Isi Surat Kabar
Sebagai lembaga yang dikelola secara bisnis, perusahaan penerbitan pers juga menghasilkan produk yang dijual pada masyarakat. Beda dengan produk barang lainnya, produk penerbitan pers mempunyai misi tersendiri, yaitu ikut mencerdaskan masyarakat, dan menegakkan keadilan. Itulah sebabnya, produk penerbitan pers tidak bisa dikelola dengan sembarangan. Artinya, produk yang dihasilkan harus disesuaikan dengan perkembangan kehidupan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, dimana pers tersebut melaksanakan operasinya.
Pada dasarnya, produk jurnalistik atau isi kabar terdiri atas beberapa bagian, pertama adalah penyajian berita sebagai produk utama yang disajikan kepada pembacanya. Dengan penyajian berita, masyarakat akan tahu segala perubahan yang terjadi dan itu sangat mereka butuhkan. Dari penyajian berita inilah konsumen pers akan memperoleh banyak informasi yang dapat menambah wawasan serta mencerdaskan pemikirannya.
Kedua adalah pandangan atau pendapat. Dalam istilah jurnalistik, pandangan atau pendapat ini disebut opini (opinion). Perusahaan penerbit pers, perlu menyajikan pendapat atau pandangan (opini), baik opini masyarakat (public opinion), maupun opini redaksi (desk opinion). Opini adalah sarana bagi masyarakat untuk menyampaikan ide, gagasan, kritik, dan saran kepada sistem kehidupan bermasyarakat yang merupakan kontrol bagi pelaksanaan pemerintahan.
Ketiga adalah periklanan. Isi dari periklanan ini merupakan tempat perusahan penerbitan pers untuk menggali keuntungan. Dengan iklan dimungkinkan perusahaan surat kabar mendapatkan penghasilan tambahan, selain
itu dari menjual berita melalui langganan dan eceran. Bahkan manajemen penerbitan pers itu bagus, iklan merupakan penghasilan utama bagi usahanya.
Secara keseluruhan pers khususnya surat kabar bisa dilihat sebagai berikut :
3. Pemberitaan (News getter)
a. Pengertian Berita (Perception news) b. Berita Langsung (Straight news) c. Penggalian Berita (Investigative news) d. Pengemabangan Berita (Depth news) e. Feature (Human interest news ) 4. Pandangan atau pendapat (opinion)
a. Pendapat masyarakat (Public opinion)
 Komentar
 Artikel
 Surat Pembaca
b. Opini penerbit (Press opinion)
 Tajuk Rencana
 Pojok Karikatur c. Periklanan
 Iklan Display
 Iklan Baris
 Iklan Pariwara (advetorial)
1. Pemberitaan (News getting)
a. Pengertian berita (Perception news)
Berita berasal dari bahasa Sanseketrta, yakni Vrit yang dalam bahasa inggris disebut Write, yang artinya sebenarnya ialah ada atau terjadi. Sebagian ada yang menyebut Vritta, artinya “kejadian” atau “yang telah terjadi”. Vritta dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi berita atau warta.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karya W. J. Spoerwodarminta,
“berita” berarti kabar atau warna, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan balai pustaka, arti berita diperjelas menjadi : “Laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat”. Jadi, berita dapat dikaitkan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi.
Berita terdiri dari beberapa bagian. Bagian terkecil dari berita adalah data.
Data berasal dari datum, sedangkan datum diambil dari semua kejadian atau peristiwa. Untuk bisa jadi berita, data harus dibuat atau diolah lebih dahulu.
Seseorang yang kebetulan melihat suatu kejadian atau peristiwa, orang tersebut tidak bisa dikatakan mendapat berita, tetapi disebut orang yang melihat kejadian/peristiwa. Jika orang tersebut kemudian menceritakan kejadian/peristiwa tersebut kepada orang lain secara lisan atau tertulis, orang itulah yang disebut mendapat atau mendengarkan berita.
Sampai sekarang, masih sulit mendefinisikan berita. Para sarjana publisistik maupun jurnalistik belum merumuskan definisi berita secara pasti.
Ilmuwan, penulis dan para pakar ilmu komunikasi memberikan definisi berita, dengan beraneka ragam, yaitu: Menurut Williard C. Bleyer, dalam bukunya ”Newspaper writing and editing”: berita adalah sesuatu yang termasa
yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar, karena ia dapat menarik atau mempunyai makna bagi pembaca surat kabar; atau karena ia dapat menarik pembaca-pembaca tersebut (Assegaf, 1991:22).
Salah satu yang sangat terkenal adalah apa yang ditemukan oleh Jhon Bogart Kepala Desk kota Koran New york Sun, hampir seabad yang lalu Bogart menemukan kata-kata yang sering dikutip mengenai berita, yaitu : ”when a dog bites a man, that’s not news. But when a man bites a dog that is news” (“jika ada anjing menggigit orang, itu bukan berita. Namun jika ada orang menggigit anjing, itu baru berita”) (Torben dan Eric, 2001:17).
Sedangkan menurut batasan atau definisi, berita dalam arti teknis jurnalistik adalah ”laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena luar biasa, entah karena pentingnya atau akibatnya, entah pula karena mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan.
Apa yang menarik perhatian pembaca haruslah terdapat dalam sebuah berita, namun dari semua itu yang terpenting adalah berita harus ditulis berdasarkan peristiwa yang faktual atau benar-benar terjadi untuk menghindari rekayasa dalam pembuatan berita karena sebuah berita memiliki banyak pengaruh terhadap masyarakat.
Untuk membuat berita, paling tidak harus memenuhi dua syarat, yaitu:
• Faktanya tidak boleh diputar sedemikian rupa sehingga kebenaran tinggal sebagian saja.
• Berita itu harus menceritakan segala aspek secara lengkap.
Untuk membuat berita yang baik, harus memahami unsur yang terdapat di dalam berita. Agar berita dapat menarik perhatian pembaca, perlu diperhatikan unsur-unsur seperti : aktual atau baru (termasa), jarak, terkenal, keluarbiasaan, akibat, ketegangan, pertentangan, seks, kemajuan, human interest, emosi dan humor.
b. Berita langsung (straight news)
Berita langsung adalah berita yang ditulis secara langsung. Artinya, informasi yang dituangkan dalam berita itu diperoleh langsung dari sumber beritanya. Biasanya diungkapkan dalam bentuk pemaparan (descriptive).
Penulisan berita langsung lebih mengutamakan aktualitas informasinya. Informasi disini bisa berasal dari keterangan pejabat atau berdasarkan kejadian yang sebenarnya.
Jika ada seorang pejabat atau pimpinan lembaga yang memberikan keterangan tentang suatu kasus maka penjelasan-penjelasan pejabat tersebut bisa dibuat berita secara langsung tanpa ditambah informasi lainnya. Fokus pemberitaannya hanya tertuju pada penjelasan-penjelasan kasus tersebut. Jika pejabat itu beropini, maka opini pejabat bisa menjadi fakta karena opini itulah yang disebut fact in idea.
Berita langsung biasanya dibuat dengan gaya memaparkan, yaitu suatu gaya penulisan berita yang memaparkan kejadian atau peristiwa yang terjadi, dalam keadaan apa adanya saja, tanpa ditambah dengan penjelasan. Penulisan berita ini cenderung menguraikan suatu peristiwa atau kejadian sejelas-jelasnya.
c. Penggalian berita (investigative news)
Semua yang hidup di dunia ini pasti ada asalnya. Demikian juga dengan berita. Sama dengan kehidupan yang lain. Asal berita, kita sebut dengan sumber berita. Untuk dapat membuat berita harus ada kejadian atau peristiwa. Kejadian atau peristiwa ini bisa disebut sebagai sumber berita.
Selain peristiwa atau kejadian yang dilakukan oleh manusia, kumpulan dari berbagai berita bisa juga dijadikan sumber berita. Karena dari manusia dapat kita peroleh data, sedangkan pada kumpulan berita juga bisa diambil datanya, yang merupakan dasar untuk membuat berita. Sumber berita dibagi menjadi dua, yaitu sumber berita utama (primer) dan sumber berita kedua (sekunder).
Sumber berita utama (primer) adalah kantor berita resmi dari pemerintahan dalam hal menyampaikan pengumuman, pemberitahuan, dan sebagainya. Sedangkan sumber berita kedua (sekunder) adalah media massa, seperti surat kabar, siaran radio, televisi, dan sebagainya.
Berita harus dalam bentuk sederhana, lugas, langsung, tidak berbunga- bunga, namun kaya akan data. Berita tidak boleh bersumber pada omong kosong, isu, suara-suara halus, wangsit, cerita burung. Selain itu, berita juga harus mendapatakan dukungan data otentik, kejelasan dan segala hal yang telah diperkuat ”authority”. Berita-berita yang berdasarkan investigasi ini sering disebut dengan istilah berita eksklusif. Artinya, berita tersebut jarang terjadi.
Tetapi kejadian itu pada akhirnya diketahui banyak orang. Dalam menggali berita untuk mendapatkan sumber berita yang valid (dapat dipercaya) bisa dilakukan dengan tiga cara :
1) Penulis berita menerima data atau informasi langsung dari informan
2) Meliput acara, 3) Mengga li berita
d. Pengungkapan berita (explanatory news)
Explanatory news adalah pengungkapan berita atau bisa juga disebut sebagai berita yang menjelaskan. Artinya, dalam hal penulisan berita, data yang disajikan lebih banyak diuraikan daripada diungkap secara langsung. Explanatory news lebih banyak kita jumpai pada reportase berita. Bentuk penulisan ini bisa memadukan antara fakta dan opini. Fakta yang diperoleh dijelaskan secara rinci dengan beberapa argumentasi oleh penulisannya sendiri.
Pengungkapan berita bisa ditulis secara panjang lebar. Jika memungkinkan bisa disajikan secara bersambung dua sampai empat kali tulisan. Karena beritanya panjang, diperlukan banyak data. Jika data yang diperoleh dari suatu peristiwa atau kejadian hanya sebatas peristiwa atau kejadian itu saja, penulis bisa melengkapi dengan data lain yang diungkapkan dari sumber lain. Tetapi data itu harus masih ada hubungan dengan berita yang ditulisnya. Dalam penulisan explanatory news, penulis dengan bebas memaparkan data yang baik dari orang lain maupun dari hasil penyelidikan sendiri.
e. Penjelasan berita (interpretative news)
Interpretative news adalah bentuk berita yang penyajiannya merupakan gabungan antara fakta dan interpretasi. Artinya, dalam penulisan berita seperti ini, penulis boleh memasukkan uraian. Komentar dan sebagainya yang ada kaitannya dengan data yang diperoleh dari peristiwa atau kejadian yang dilihatnya. Dalam
hal ini sumber berita memberikan data atau informasi yang dirasakan masih kurang jelas arti dan maksudnya. Maka penulis wajib mencarikan penjelasan terhadap arti dan maksud dari informasi tadi. Jika penulis punya banyak wawasan terhadap informasi tersebut, bisa saja penulis mengartikan atau menjelaskan apa arti dan maksud informasi yang diberikan oleh narasumber tersebut. Tetapi jika tidak punya wawasan, penulis bisa mencari penjelasan dengan mewawancarai kembali narasumber tersebut atau dengan narasumber yang lain, namun masih tetap dalam lingkup permasalahan yang sama.
f. Pengembangan berita (depth news)
Pengembangan berita atau depth news, merupakan kelanjutan atau hampir sama dengan investigative news. Bedanya, jika investigative news bermula dari adanya isu atau data mentah yang kemudian dilakukan penelitian atau penggalian.
Sedangkan depth news, berasal dari adanya sebuah berita yang masih belum selesai pengungkapannya dan bisa dilanjutkan kembali.
Lahirnya pengembangan berita ini karena banyaknya data yang didapat pada satu peristiwa, tetapi data itu tidak saling terkait meskipun topiknya sama.
Jika data itu diungkap dengan straight news atau investigative news, rasanya sangat dangkal karena bisa berdiri sendiri-sendiri. Untuk mengatasi ini penulis berita berinisiatif mengembangkan data itu sesuai dengan klarifikasinya, dan kemudian menambah dengan data lain yang sama topiknya. Upaya inilah yang disebut dengan pengembangan berita atau depth news.
g. karangan khas (feature)
Feature adalah bagian dari penyajian berita yang cara menulisnya dapat mengabaikan pegangan utama dalam penulisan berita, yaitu 5 W + 1 H. Feature sampai sekarang banyak yang mengartikan berbeda. Sebagian pendapat menganggap feature adalah karangan khas. Sebagian lain menyebut feature adalah penyajian berita yang berbentuk human interest.
”Karangan khas (feature) dalam surat kabar sebenarnya ibarat ”asinan” di dalam sajian makanan, yang tidak memberikan kalori utama. Akan tetapi ia menimbulkan selera makan dan penyedap. Karangan khas merupakan bagian yang cukup penting sehingga surat kabar tersebut bisa memenuhi pula fungsi ketiga dari pers yang tidak dapat diabaikan, yaitu hiburan (entertainment), disamping fungsi memberi informasi dan pendidikan.” (Wolseley dan Campbell, Exploring Journalism, Dja’far H. Assegaf, Jurnalistik Masa Kini).
R. Amak Syarifuddin dalam bukunya Jurnalistik Praktis, membagi sembilan topik yang bisa ditulis secara feature: (1) Sketsa human interest, (2) sketsa kehidupan orang yang menarik publik, (3) Kilasan berita-berita yang menarik, (4) Dokumen otobiografi kemanusiaan yang berkaitan dengan pengalaman seseorang yang disoroti secara objektif, (5) Feature historis, (6) Sketsa perjalanan, (7) Interpretative feature, (8) artikel pengetahuan populer tentang ilmu pengetahuan, teknologi yang ditulis secara populer, dan (9) Giudance feature.
2. Pandangan atau Pendapat (opinion)
Penerbitan pers khususnya surat kabar dan majalah, hampir semuanya menyediakan kolom atau rubrik untuk menampung pendapat atau pandangan (opini). Ini perwujudan dari institusi pers sebagai lembaga kontrol sosial. Opini dalam penerbitan pers dapat berasal dari masyarakat luas yang disebut pendapat umum (public opinion) dan yang berasal dari penerbitannya sendiri dinamakan redaksi (desk opinion). Opini terbagi atas:
a. Pendapat umum (public opinion)
Pendapat umum (public opinion) adalah pendapat, pandangan atau pemikiran lain dari masyarakat luas, untuk menanggapi atau membahas suatu permasalahan yang dimuat dalam penerbitan pers. Yang dimaksud dengan masyarakat luas adalah orang-orang yang bukan pengelola penerbiatn pers itu sendiri. Pendapat biasanya disajikan dalam 3 bentuk, yaitu:
1. Komentar
Pendapat, pandangan atau pemikiran yang disampaikan oleh masyarakat khusus menanggapi terjadinya suatu peristiwa, kejadian, atau kebijakan pemerintah yang dimuat dalam penerbitan pers. Komentar ini dilakukan oleh perseorangan dan bersifat individu. Bisa jadi individu tersebut mewakili suatu lembaga. Tetapi fokus pandangannya tetap tertuju pada satu masalah yang dibahasnya.
2. Artikel
Artikel adalah opini masyarakat yang dituangkan dalam tulisan tentang berbagai soal, mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi bahkan olah raga. Bedanya dengan komentar, tulisannya terfokus untuk menanggapi atau mengomentari nuansa/fenomena dari suatu permasalahan yang terjadi. Sedangkan artikel, penulisannya tidak sekedar mengomentari masalah, tetapi bisa juga mengajukan pandangan, pendapat atau pemikiran lain, baik yang sudah banyak diketahui masyarakat maupun yang belum diketahui.
3. Surat pembaca
Surat pembaca (letter to the editor) adalah opini public yang cukup menarik dalam penerbitan pers. Surat pembaca ini pula dijadikan sebagai umpan balik (feedback) bagi pengelola penerbitan pers untuk mengetahui sejauhmana berita atau informasi yang disajikan itu dibaca/ditanggapi pembacanya. Karena pengirim surat pembaca ini adalah publik yang pada umumnya adalah pelanggan atau pembaca maka masalah yang ditulisnya beraneka ragam, terutama yang menyangkut dengan kehidupan mereka.
Penulis surat pembaca harus menyertakan identitas diri dan mau dimuat bersama dengan pemuatan suratnya. Surat pembaca seringkali dijadikan sarana berkomunikasi antar sesama pelanggan.
b. Opini penerbit (desk opinion)
Opini penerbit (desk opinion) adalah pandangan, pendapat atau opini dari redaksi terhadap sesuatu masalah yang terjadi ditengah masyarakat, dan dijadikan
sajian dalam penerbitannya. Itu sebabnya, opini penerbit sering juga disebut sebagai ”Suara Redaksi”. Yang mempunyai hak menulis adalah pemimpin redaksi dari masing-masing penerbitan pers. Tetapi pada pelaksanaannya seringkali pemimpin redaksi tersebut melimpahkan atau menugaskan orang lain. Penulisan opini penerbit ini bisa digunakan untuk menjelaskan informasi yang disajikan, mengkritik kebijakan penguasa, memberikan gambaran suasana yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Opini penerbit biasanya ditulis dalam beberapa bentuk, seperti: Tajuk rencana, Pojok, Catatan kecil, dan Karikatur.
1. Tajuk rencana
Tajuk rencana, ada juga yang menyebutnya sebagai ”Catatan Redaksi”, atau bisa juga disebut ”Editorial”. Tajuk rencana adalah merupakan sikap, pandangan atau pendapat penerbit terhadap masalah-masalah yang sedang hangat dibicarakan masyarakat. Menulis tajuk memerlukan situasi atau kejadian dalam pemberitahuan sehari-hari. Tajuk rencana tidak bisa mengupas suatu kejadian yang sudah lama berlangsung. Tajuk rencana juga menggambarkan falsafah dan pandangan hidup dari penerbitnya.
Sikap itu bisa eksplisit atau implisit.
Tajuk rencana biasanya ditulis secara panjang, untuk memberikan kesempatan kepada penulisannya memasukkan analisis dan menguraikan permasalahan yang ingin diungkapkannya. Jenis tajuk rencana antara lain:
1. Meramalkan (forcasting) 2. Memaparkan (interpretating) 3. Mengungkapkan (explorating)
2. Pojok
Pojok adalah opini yang penyajiannya dilakukan secara humor. Sentilan lucu terhadap sesuatu yang dimuat dalam penerbitannya. Beda dengan tajuk, pojok ditulis amat singkat, lugas, menohok, tetapi tidak kehilangan ketepatan dan antisipasi permasalahannya yang di ”Pojok”kan. Penulis pojok bisa dilakukan oleh pemimpin redaksi, wartawan senior, atau orang lain yang bisa mewakili penerbitannya.
3. Karikatur
Karikatur (carricature/cartoon) adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk gambar-gambar khusus. Semula karikatur ini hanya selingan atau ilustrasi belaka. Tetapi perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat.
Dikatakan sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar- gambar lucu dan menarik.
Beda dengan tajuk rencana maupun pojok, pembuat karikatur ini bukan oleh pemimpin redaksi atau wartawan senior, tetapi oleh orang-orang khusus yang bisa menggambar secara kontinyu. Namun demikian, ide dari kritik yang digambarkan itu tetap berasal dari redaksi. Bisa jadi kartunis (istilah penggambar karikatur) adalah orang luar yang mendapat kepercayaan khusus dari redaksi atau orang tersebut memang diangkat menjadi karyawan penerbitannya, khusus membuat gambar-gambar karikatur.
c. Periklanan (advertisement)
Periklanan adalah kegiatan memasok penghasilan bagi perusahaan pers dengan jalan menjual kolom-kolom yang ada pada surat kabar atau majalah dalam bentuk advertensi (advertising). Iklan nerupakan sumber pendapatan sampingan (selain menjual berita) bagi perusahaan penerbitan pers. Jika dikelola dengan baik, iklan dapat menjadi penghasilan utama yang sangat menunjang bagi bisnis media massa cetak.
Dilihat dari bentuknya, iklan pada penerbitan surat kabar atau majalah dibagi menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu:
a. Iklan display
Iklan display memakai ukuran milimeter/kolom. Ukuran ini pula yang menentukan harganya. Misalnya harga iklan Rp. 15.000,- per mm/kolom.
Artinya harga tersebut adalah untuk ukuran tiap satu milimeter, dalam satu kolom. Cara menghitungnya, milimeter dihitung dari ujung bagian atas iklan, kebagian bawah. Iklan display itu sendiri sebenarnya masih dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: iklan display biasa, dispaly keluarga dan display koloman.
b. Iklan baris
Iklan baris adalah iklan yang hanya terdiri dari baris huruf-huruf. Iklan baris bisa dalam beberapa bentuk, seperti ”iklan baris dengan huruf biasa”.
”iklan baris dengan huruf lebih besar”, ”iklan baris positif” atau ”iklan baris negatif (dasar hitam tulisan putih)”. Iklan baris jumlah kata-kata yang diiklankan dibatasi barisnya dalam satu kolom. Misalnya minimal 4 baris, maksimal 8 atau 10 baris.
c. Iklan pariwara
Pariwara, iklan yang berbentuk berita atau artikel. Itu sebabnya pariwara disebut juga sebagai advertorial. Istilah advertorial merupakan gabungan dari kata advertensi dan editorial. Sedangkan bentuk iklan pariwara antara satu surat kabar dengan surat kabar lainnya berbeda. Ini ada kaitannya dengan gaya penulisan berita pada masing-masing media cetak. Biasanya bentuk penyajian iklan pariwara ditentukan pada saat penawaran dari masing-masing media cetak.
II.3 Objektivitas Berita
Berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staff redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca entah karena ia luar biasa, entah karena penting atau akibatnya, entah pula karena mencakupi human interest, emosi, ketegangan (Assegaf, 1991:24).
Berdasarkan definisi diatas, fokus dari berita adalah pada hasil penulisan.
Ditegaskan berita yang merupakan fakta haruslah bersifat objektif, tidak ada pencampuran antara fakta dan opini. Berbeda dengan Assegaf yang menjelaskan terdapat seleksi dalam penempatan berita, ini mengisyaratkan sepertinya terdapat subjektivitas. Meskipun demikian berita-berita yang dihasilkan juga bersifat objektif. Subjektif hanya berlaku dalam penyeleksian berita yang berkaitan dengan kebijaksanaan redaksional yang telah ditentukan. Tapi dalam penulisan berita prinsip objektivitas tetap dijunjung dan diterapkan.
Michael Bugeja (Ishwara, 2005:41) objektivitas adalah melihat dunia seperti apa adanya, bukan bagaimana yang anda harapkan semestinya (objektivity is seeing the world as it is, not how you wish it were).
Objektivitas memiliki fungsi yang tak boleh dianggap remeh, terutama dalam kaitan kualitas informasi. Objektivitas mengandung sekian banyak pengertian, antara lain merupakan nilai sentral yang mendasari disiplin profesi yang dituntut oleh para wartawan sendiri. Prinsip itu sangat dihargai dalam kebudayaan modern, termasuk berbagai bidang diluar bidang media massa, terutama dalam kaitan rasionalitas ilmu pengetahuan dan birokrasi; mempunyai korelasi dengan indepedensi (Mc Quail, 1996:128-130).
Semakin banyak tipe media independent, semakin banyak pula dukungan terhadap prinsip pluralitas. Objektivitas sangat dihargai bilamana kondisi pluralitas mengalami kemunduran, yaitu kondisi yang diwarnai makin menurunnya jumlah sumber dan kian meningkatnya uniformitas. Objektivitas diperlukan untuk mempertahankan kredibilitas.
Namun persoalan objektivitas itu sendiri bukan tanpa kontroversi.
Setidaknya ada dua pandangan dominan mengenai objektivitas ini. Salah satu perdebatan bermutu yang mewakili dua pandangan adalah perdebatan yang melibatkan John C. Merril dan Everette E. Dennis (Kupas, 2001:17).
Merril berpendapat objektivitas jurnalisme itu omong kosong dan mustahil. Hal ini karena semua kerja jurnalistik pada dasarnya adalah subjektif.
Mulai dari pencarian berita, peliputan, penulisan, sampai editing berita. Nilai-nilai subjektif wartawan ikut memberi pengaruh dalam semua proses kerja jurnalistik.
Kenapa suatu peristiwa diliput, siapa yang diwawancara, apa yang ditanyakan, kemana kecenderungan berita ditulis, bagian mana yang dihilangkan, bagian mana yang ditonjolkan-semua proses tersebut adalah pertimbangan subjektif, bukan objektif. Karena itu peliputan dua sisi adalah mitos karena pada dasarnya wartawan bukan robot yang mengambil fakta berdasarkan pertimbangan- pertimbangan objektif.
Sebaliknya, Everette E. Dennis mengatakan bahwa objektivitas jurnalisme itu sesuatu yang mungkin, bukan mustahil. Karena semua proses kerja jurnalistik pada dasarnya dapat diukur dengan nilai-nilai objektif. Misalnya memisahkan fakta dan opini, menghindari pandangan emosional dalam melihat peristiwa dan memberitakan prinsip keseimbangan dan keadilan, dan melihat peristiwa dari dua
sisi. Dennis percaya objektivitas jurnalisme mungkin jikalau mengadopsi metode dan prosedur yang dapat membatasi subjektivitas wartawan atau editor.
Prosedur ini diterapkan baik pada tingkat peristiwa yang diliput (ada pertimbangan objektif dan rasional mengapa meliput suatu peristiwa), mencari data (darimana saja data akan diambil) sampai menulis (kata-kata apa yang dipakai) dan editing tulisan (apa alasan menempatkan berita menjadi headline) dan sebagainya. Meskipun kedua ahli ini berbeda pandangan dalam hal objektivitas media, keduanya mempunyai pandangan yang sama dalam hal standart jurnalisme. Pada akhirnya keberpihakan media tidak boleh melupakan standart baku jurnalisme – fairness, balance, dan cover both side.
Komponen-komponen objektivitas berita
Memang lebih mudah menyatakan secara tegas makna yang seharusnya dikandung oleh prinsip objektivitas. Berbagai komponen prinsip itu oleh J.
Westersthal, ahli ilmu pengetahuan Swedia, dalam skema di bawah ini (Westersthal,1983)
Skema tersebut diciptakan secara khusus untuk kepentingan penilaian kadar netralitas dan keseimbangan pemberitaan. Skema yang ditunjukkan pada gambar, meyakini bahwa penyajian laporan atau berita secara objektivitas mencakup nilai-nilai dan fakta, fakta itu sendiri memiliki implikasi evaluatif (Mc.Quail, 1996:130).
Gambar : komponen utama objektivitas berita (menurut Westersthal, 1983)
Kebenaran
Kefaktualan faktor informasi
Relevansi
Objektivitas
Keseimbangan
Impartialitas
Netralitas
Dalam skema tersebut dapat dijelaskan bahwa:
Kefaktualan dikaitkan dengan dengan bentuk penyajian laporan tentang peristiwa atau pernyataan yang dapat dicek kebenarannya pada sumber dan disajikan tanpa komentar.
Kefaktualan ditentukan oleh beberapa kriteria :
1. Kebenaran yang merupakan suatu keutuhan laporan, ketepatan yang ditopang oleh pertimbangan independen, dan tidak adanya keinginan untuk
menyalaharahkan atau menekan. Semua itu menunjang kualitas informasi (Mc Quail, 1996:130).
Kebenaran dalam penulisan jurnalistik dapat disamakan dengan fakta.
Fakta adalah sesuatu seperti adanya, tidak ditambahi dan dikurangi sehingga bersifat suci (Wahyudi, 1996:2). Fakta dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Fakta sosiologis yang merupakan fakta yang dilihat wartawan dilapangan sehingga berita dibuat berdasarkan dari pengamatan langsung di lapangan. Biasanya tulisan berita terdiri dari unsur- unsur 5 W dan 1 H.
b. Fakta psikologis adalah berita yang bahan bakunya berupa interpretasi subjektif (pernyataan/opini) terhadap fakta kejadian/gagasan,
2. Relevansi lebih sulit ditentukan dan dicapai secara objektif. Namun demikian, pada dasarnya relevansi sama pentingnya dengan kebenaran dan berkenaan dengan proses seleksi, bukannya dengan bentuk atau penyajian.
Relevansi juga mengisyaratkan perlunya proses seleksi yang dilaksanakan menurut prinsip penggunaan yang jelas, demi kepentingan calon penerima dan masyarakat (Nondenstreng, 1974). Secara umum dapat dikatakan bahwa apa pun yang paling berkemungkinan untuk mempengaruhi masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, dan sangat berguna untuk mereka ketahui, harus dipandang sebagai lebih memiliki relevansi. Relevansi diiukur melalui standart jurnalistik, yaitu (1)
Timeless adalah kebaruan atau aktualitas. Suatu berita, pertama memiliki aktualitas (termasa), untuk itu kejadiannya harus baru terjadi. (2) Proximity adalah jarak. Faktor jauh dekatnya suatu peristiwa dari pembaca juga mempengaruhi sebuah berita.
Impartialitas dihubungkan dengan sikap netral wartawan (reporter), suatu sikap yang menjauhkan setiap penilaian pribadi (personal) dan subjektif demi pencapaian sasaran yang diinginkan. Impartialitas dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Keseimbangan (Balance) adalah laporan yang objektif termasuk tidak memihak kepentingan kelompok tertentu. Sifat seimbang ini perlu dijaga agar berita tidak menyesatkan pembaca dan tidak digugat oleh pihak yang merasa dirinya dirugikan.
b. Netralitas adalah tidak memihak pada satu pihak, tapi harus ada pada kebenaran. Netralitas dapat dilihat dari terdapt tidaknya pencampuran fakta dan opini.
Dalam beberapa media tidak jarang wartawan memasukkan opini atau sudut pandangnya sendiri tentang suatu permasalahan. Persoalannnya kemudian adalah emosional dapat menggusur objektivitas suatu berita. Seperti yang dikatakan Merril, objektivitas berita dapat dicapai melalui 3 cara. Pertama, pemisahan fakta dan pendapat. Kedua, menyajikan pandangan terhadap berita tanpa disertai dimensi emosional. Ketiga, berusaha untuk jujur dan seimbang,
memberikan kesempatan kepada seluruh pihak untuk menjawab dalam cara memberikan banyak informasi kepada khalayak (Sudibyo, 2001:73).
Betapa pun sulitnya membayangkan sebuah berita dapat objektif terhadap semua pihak dan fakta-fakta yang ada, objektivitas tetap perlu dijadikan tolak ukur utama dalam menilai sebuah berita. Menurut Entman, secara teoritik objektivitas membatasi wartawan untuk tidak melukiskan realitas menurut kepentingannya sendiri, mencegah kalangan media mempengaruhi pikiran dan perilaku politik masyarakat. Dampak atau pengaruh setiap berita harus terlahir dari fakta yang digambarkan, dan bukan dari jurnalis-jurnalis yang dimasukkan ke dalam penulisan berita.
Serangkaian prosedur harus dilakukan oleh wartawan agar apa yang ditulis dapat disebut sebagai objektif. Berbagai prosedur itu terinternalisasi dalam pikiran dan dipraktikkan dalam praktik produksi berita wartawan. Tuchman menyebut paling tidak ada empat strategi dasar. Pertama, menampilkan semua kemungkinan konflik yang muncul. Wartawan harusnya menampilkan fakta, tetapi fakta yang dimaksud kadang sukar ditemukan. Kadang-kadang apa yang disebut fakta, bukan fakta tetapi apa yang orang katakan tentang fakta. Kedua, menampilkan fakta-fakta pendukung. Prosedur lain objektivitas yang dapat dikenali dalam tulisan adalah ada fakta-fakta pendukung dalam tulisan. Fakta- fakta pendukung tersebut berfungsi sebagai argumentasi, apa yang disajikan wartawan bukanlah khayalan dan opini pribadi wartawan. Ketiga, pemakaian kutipan pendapat. Prosedur standart lain adalah adanya pemakaian kutipan untuk menyatakan bahwa apa yang disajikan benar-benar bukan pendapat wartawan dan pendapat pakar politik tertentu. Keempat, menyusun informasi dalam tata urutan
tertentu. Bagian lain dari tulisan yang objektif adalah menyusun berbagai komentar, aneka informasi, beragam fakta ke dalam tata susunan berita tertentu (Eryanto, 2004:116).
II.4 Content Analysis (Analisis Isi)
Analisis isi adalah merupakan suatu metode penelitian yang digunakan untuk mengamati dan mengukur isi komunikasi. Dalam analisis isi, penelitian tidak dilakukan mengamati secara langsung perilaku orang, atau meminta orang untuk menjawab skala-skala dan mewawancarai orang. Peneliti mengambil bentuk komunikasi yang telah dihasilkan oleh orang-orang dan mengajukan pertanyaan- pertanyaan tentang bentuk pertanyaan tersebut (Kerlinger, 1973).
Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi. Baik surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun semua bahan- bahan dokumentasi yang lain. Hampir semua disiplin ilmu sosial dapat menggunakan analisis isi sebagai teknik/metode penelitian.
Analisis isi digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi komuniaksi yang disampaikan dalam bentuk lambang dan dapat juga digunakan untuk menganalisa semua bentuk komunikasi seperti surat kabar, buku, puisi, lagu, cerita rakyat, tulisan, pidato, surat, musi teater, dan sebagainya (Rahmat, 1993:89).
Menurut Bernard Berelson dalam bukunya “Content Analysis in Communication Research” , analisis isi di dasarkan pada beberapa asumsi (Flournoy, 1989, 13), yaitu:
1. Bahwa kesimpulan – kesimpulan tentang hubungan antara maksud dan isi serta antara isi dan efek dapat ditarik secara sah, dan hubungan sebenarnya ditetapkan.
2. Bahwa pengkajian isi nyata adalah sangat berarti. Kategori – kategori dapat dibuatkan pada isi yang sesuai dengan arti yang dimaksud oleh komunikator dan dimengerti oleh pembaca.
3. Bahwa uraian isi komunikasi secara kuantitatif adalah sangat berarti.
Asumsinya mengandung arti bahwa frekuensi kejadian dari berbagai sifat isi itu sendiri merupakan faktor penting dalam proses komunikasi, dalam keadaan – keadaan tertentu.
Dalam metode analisis isi, dibuat kategori-kategori yang disesuaikan dengan objek-objek yang diteliti. Kategori-kategori tersebut dibuat dengan tujuan untuk melihat tingkat kecenderungan, frekwensi, dan tekanan-tekanan isi teks atau bahan tertulis pada suatu fenomena tertentu.
II.5 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau seringkali disebut Pilkada, adalah sebuah pemilihan pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia secara langsung oleh penduduk setempat yang memenuhi syarat. Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah adalah :
 Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi
 Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten
 Walikota dan Wakil Walikota untuk kota
Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di usulkan oleh Partai Politik atau Gabungan beberapa Partai Poliltik yang telah memenuhi persyaratan. Pilkada langsung disebutkan dalam undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sebelumnya, Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penyelengaraan Pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah.
Pilkada langsung merupakan mekanismme demokratis, yaitu perwujudan pengembalian hak-hak dasar rakyat dalam rangka rekrutmen pemimpin daerah, dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang didukungnya, dan calon-calon bersaing dalam suatu Medan permainan dengan aturan main yang sama (Prihatmoko, 2005:109). Asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama persis dengan asas yang dipakai dalam pemilu 2004, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Cara kerja sistem pemilihan kepala daerah langsung terbagi atas lima jenis, pertama sistem First past the post. Sistem ini merupakan sistem yang paling
sederhana. Calon kepala daerah yang memiliki suara terbanyak secara otomatis sebagai pemenang pemilihan kepala daerah langsung. Kedua, model Prefential Voting System atau Approval Voting System yaitu, pemilih memberikan peringkat pada calon-calon kepala daerah yang ada saat pemilihan. Pemenang ditentukan oleh peraih peringkat pertama yang terbesar. Ketiga, Two Round System atau Run Off yaitu dengan menggunakan sistem dua putaran, dengan catatan jika tidak ada calon yang meraih suara lebih dari 50 persen dari keseluruhan suara saat putaran pertama, selanjutnya dilaksanakan pemilihan kepala daerah putaran kedua yang diikuti oleh dua pasangan peraih suara terbanyak pada putaran pertama. Keempat, sistem Electoral Colleg yaitu dibuat beberapa daerah pemilihan, setiap daerah pemilihan diberi alokasi atau bobot suara dewan pemilih sesuai dengan jumlah penduduk. Calon yang memperoleh suara dewan pemilih terbesar akan memenangkan pemilihan kepala daerah. Kelima, sistem Nigeria yaitu pemenang pemilihan kepala daerah langsung jika calon meraih suara mayoritas sederhana.
Suara terbanyak diantara yang ada minimum 25 persen dari sedikitnya duapertiga daerah pemilihan (Prihatmoko, 2005:116-122).
Pilihan terhadap jenis pemilihan kepala daerah biasanya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu legitimasi dan efisiensi. Pilihan untuk mengedepankan legitimasi akan membutuhkan banyak waktu dan biaya. Sebaliknya, kalau semata-mata mengutamakan efisiensi akan melahirkan hasil pilkada yang legitimasinya sangat rendah. Maka dibutuhkan cara untuk mensiasati hal tersebut dengan tujuan mencapai legitimasi yang tinggi dengan cara yang efisien. Pelaksanaan pilkada di Indonesia memakai sistem pemilihan First Past the Post, dengan sitem ini akan
menghemat biaya dan waktu untuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Prihatmoko, 2005:121-123).
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung di Indonesia secara fungsional dilaksanakan oleh tiga institusi, yaitu :
1. DPRD merupakan pemegang otoritas politik, artinya DPRD merupakan representasi rakyat yang memiliki kedaulatan dan memberi mandat penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung yang diwujudkan dengan pemberitahuan berakhirnya masa jabatan kepada kepala daerah dan Komisi Pemilihan Umum Daerah. DPRD adalah representasi dari rakyat, selanjutnya DPRD menyelenggarakan rapat paripurna untuk mendengarkan penyampaian visi, misi dan program dari psangan calon kepala daerah.
2. Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai pelaksana teknis, Komisi Pemilihan Umum Daerah mendapat mandat untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah langsung. Selanjutnya, Komisi Pemilihan Umum Daerah bertugas menjalankan tahapan-tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung. Komisi Pemilihan Umum Daerah berhak untuk membuat aturan, kebijakan dan keputusan yang diperlukan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
3. Pemerintah daerah yang menjalankan fungsi fasilitasi, fungsi fasilitasi ini diwujudkan untuk menunjang pelaksanaan tahapan pemilihan kepala daerah langsung. Misalnya penyediaan anggaran, dan personalia untuk membantu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung.
Sementara itu, tahap pelaksanaan pilkada terdiri dari 6 tahapan pelaksanaan meliputi :
a. Penetapan daftar pemilih
b. Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah
c. Kampanye d. Pemungutan suara e. Penghitungan suara dan
f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan dan pelantikan.
Paradigma yang digunakan dalam kampanye pilkada langsung adalah paradigma baru, bahwa kampanye dilakukan untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi dan program pasangan calon. Bentuk-bentuk kampanye monologis cukup dominan dalam pilkada langsung, bentuk kampanye monologis dapat berupa pertemuan terbatas, tatap muka dan dialog, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan/atau televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum, debat publik/debat terbuka antar calon dan atau kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Bentuk kampanye ini diidentifikasikan sebagai paradigma lama. Sementara dalam kampanye baru digunakan kampanye dialogis terbuka kemungkinan adanya interaksi antara calon dan rakyat, visi dan misi yang disampaikan pun dapat diuji dan dikritisi oleh calon pemilih (Prihatmoko, 2005:259).
II.6 Kampanye
Lima puluh tahun yang lalu banyak sarjana komunikasi yang masih mempercayai kesimpulan keliru tentang kampanye. Mereka berpendapat bahwa kampanye lewat media massa hanya memberikan kontribusi yang sangat kecil dalam meningkatan pengetahuan dan perilaku publik. Memasuki paruh kedua dasawarsa 70-an minat untuk mengkaji kampanye marak kembali dikalangan para komunikasi, bahkan akhirnya memancarkan harapan baru akan potensi kampanye dalam mendorong perubahan sosial dan prospeknya bagi penelitian komunikasi.
Optimisme semacam itu berkembang terutama setelah hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Mendelsohn, Warner (1977), A.J. Meyer, Nash, McAlister, Maccobby dan Farquhar dipublikasikan. Semua laporan penelitian tersebut pada prinsipnya menegaskan bahwa sebuah kampanye yang dikonstruksi dengan baik akan memberikan efek yang luar biasa terhadap khalayak sasarannya. Masa ini kemudian dikenal sebagai era kesuksesan kampanye (Venus, 2004:3-4).
Pada kondisi tertentu sebuah program kampanye berpeluang besar untuk sukses namun pada keadaan lain program tersebut gagal. Mereka juga memahami bahwa keberhasilan sebuah kampanye sangat dipengaruhi oleh kemampuan pelaku kampanye dalam merancang program dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada. Hal ini sepenuhnya sejalan dengan pendapat Robert E.Simons (1990), profesor komunikasi dari Universitas Boston Amerika Serikat, yang menegaskan bahwa keberhasilan mencapai tujuan kampanye banyak ditentukan oleh kemampuan kita dalam merancang, menerapkan dan mengevaluasi program kampanye secara sistematis dan strategis. Kemampuan semacam itu, lanjut
Simons harus dilandasi oleh pemahaman teoritis terhadap berbagai dimensi kampanye serta kecakapan teknis dalam menerapkannya.
Kampanye adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan secara terlembaga.
Penyelenggara kampanye umumnya bukanlah individu melainkan lembaga atau organisasi. Lembaga tersebut dapat berasal dari lingkungan pemerintahan, kalangan swasta atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Terlepas siapapun penyelenggaranya, kampanye selalu memiliki tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan tersebut sangat beragam dan berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnnya. Adapun ragam dan tujuannya, upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perilaku (behavioral) (Venus, 2004:9-10).
Bertolak dari keterkaitan tersebut, Charles U. Larson (1992) kemudian membagi jenis kampanye ke dalam tiga kategori yaitu : product –oriented campaigns, candidate –oriented campaigns dan ideologically or cause oriented campaigns. Kalau product –oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi di lingkungan bisnis, ideologically or cause oriented campaigns adalah jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial, sedangkan candidate –oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu jenis kampanye ini dapat pula disebut sebagai Political Campaigns (Kampanye Politik). Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperbuat lewat proses pemilihan umum. Kampanye
pemilu, kampanye penggalangan dana bagi partai politik merupakan contoh kampanye jenis ini.