• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KERUSUHAN MEI 1998 TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA DI SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAMPAK KERUSUHAN MEI 1998 TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA DI SURAKARTA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

http://repository.stkippacitan.ac.id 1 DAMPAK KERUSUHAN MEI 1998 TERHADAP PEREKONOMIAN

MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA DI SURAKARTA

Azi Santoso1, Sri Dwi Ratnasari2, Sri Iriyanti3

1,2,3Prodi Pendidikan Sejarah, STKIP PGRI Pacitan

Email : Azimilannello@gmail.com1, sridwiratnasari@yahoo.com2, sriiriyanti@yahoo.com3

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui kehidupan masyarakat Etnis Tionghoa di Surakarta sebelum Kerusuhan Mei 1998, (2) Mengetahui latar belakang terjadinya Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta dan (3) Menganalisis dampak dari Kerusuhan Mei 1998 terhadap perekonomian Masyarakat Tionghoa di Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah melalui tahapan pemilihan topik, heuristik, kritik sumber, interpretasi data dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat Etnis Tionghoa di Surakarta sudah berkembang sejak masa kolonial Hindia- Belanda. Dinamika kehidupan masyarakat Etnis Tionghoa di Surakarta mengalami beberapa situasi. Mulai dari munculnya kebijakan pemerintah yang diskriminatif hingga adanya peristiwa rasial yang dihadapkan kepada Etnis Tionghoa pada tahun 1972, 1980 dan puncaknya terjadi pada tahun 1998. Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta dilatarbelakangi oleh beberapa tuntutan pemerintahan pusat yang menginginkan lengsernya Soeharto serta keinginan reformasi. Adanya kerusuhan tersebut berdampak pada beberapa bidang kehidupan masyarakat, salah satunya di bidang perekonomian khusunya bagi Etnis Tionghoa yang memiliki usaha. Mereka mengalami kerugian akibat dari pembakaran dan penjarahan toko sehingga banyak tenaga kerja yang diberhentikan.

Kata Kunci : Kerusuhan 1998, Surakarta, Tionghoa, Ekonomi.

Abstract: This study aims to; (1) find out the life of the Chinese ethnic community in Surakarta before the May 1998 riots, (2) determine the background of the May 1998 riots in Surakarta, and (3) analyze the impact of the May 1998 riots on the economy of the Chinese community in Surakarta. This study uses historical research methods through the stages of topic selection, heuristics, source criticism, data interpretation, and historiography.The results showed that the life of the Chinese ethnic community in Surakarta had developed since the colonial period of the Dutch East Indies. The dynamics of the life of the Chinese ethnic community in Surakarta experienced several situations.

Starting from the emergence of discriminatory government policies to racial events that were faced against Chinese ethnic in 1972, 1980, and the peak occurred in 1998. The May 1998 riots in Surakarta were motivated by several demands from the central government that wanted Suharto to step down and the desire for reform. The existence of the riots had an impact on several areas of people's lives, one of which was in the economic field, especially for the Chinese ethnic who had businesses. They suffered losses due to the burning and looting of shops so that many workers were laid off.

Keywords: 1998 riots, Surakarta, Chinese, Economics.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang penuh dengan keanekaragaman budaya dan etnis.

Keberagaman budaya dan etnis di Indonesia dijadikan sebagai fondasi kekuatan dan kekayaan dalam negeri. Adanya perbedaan ciri khas maupun karakteristik di setiap masing-masing daerah tentunya memberikan nilai penting untuk bisa saling menghargai, menghormati hingga memahami satu sama lain. Namun fakta yang terjadi keberagaman

(2)

http://repository.stkippacitan.ac.id 2 budaya dan etnis di Indonesia masih sering mengalami perseteruan, perbedaan ciri khas yang ada di wilayah daerah lokal masing-masing terkadang dijadikan sebagai ladang sumber perselisihan dan pertentangan. Terutama bagi etnis minoritas yang ada di Indonesia, salah satunya Etnis Tionghoa.

Etnis Tionghoa menetap di Indonesia sudah sejak berabad-abad yang lalu. Dan merupakan salah satu diaspora yang tampak dari kalangan masyarakat Indonesia saat itu.

hubungan interaksi antara masyarakat pribumi dengan Etnis Tionghoa sudah terjalin sangat lama melalui jalur perniagaan. Selain perniagaan, Etnis Tionghoa juga melakukan mata pencaharian sebagai seorang petani hingga tukang. Pada akhirnya Etnis Tionghoa menetap di Indonesia, hingga proses perkawinan silang budayapun tidak terelakan. Hal ini membuahkan keturunan peranakan Indonesia-Tionghoa. Dari sinilah orang Tionghoa tumbuh dan berkembang pesat di Indonesia hingga membentuk sebuah kampung pecinan di berbagai wilayah Indonesia.

Dinamika kehidupan masyarakat Etnis Tionghoa dengan warga pribumi mengalami beberapa situasi yang pasang-surut. dalam perjalanannya hubungan sosial antara warga pribumi dengan Etnis Tionghoa berjalan cukup harmonis. Namun masih saja terdapat sekat yang menjadi faktor penghalang salah satunya masalah rasial.

misalnya perbedaan seperti bahasa sehari-hari, perbedaan warna kulit dan beberapa perbedaan pada aspek lainnya. Sikap hidup masyarakat Etnis Tionghoa yang cenderung eksklusif dan dorongan yang kuat untuk mengumpulkan harta kekayaan yang berlimpah membuat kurang memperhatikan lingkungan sekitar.

Hal ini memicu adanya stereotip terhadap masyarakat Etnis Tionghoa di Indonesia. Sentimen negatif warga pribumi terhadap masyarakat Etnis Tionghoa telah mengakar kuat sejak zaman kolonialisme. adanya kebijakan dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda terkait pemisahan pemukiman berdasarkan etnis dan kelas ekonomi justru menimbulkan stigma dan diskriminatif kepada masyarakat Etnis Tionghoa.

Adanya kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel pada masa kolonialisme Hindia- Belanda, menempatkan orang-orang Etnis Tionghoa pada keadaan yang sulit. Lokalisasi tempat dan pembatasan ruang gerak menyebabkan masyarakat Etnis Tionghoa kesulitan dalam berinteraksi dengan etnis lainnya.

(3)

http://repository.stkippacitan.ac.id 1 Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa kebijakan moneter pada masa orde lama merujuk pada pribumisme serta keinginan untuk melemahkan perekonomian masyarakat Etnis Tionghoa. Mengingat perekonomian masyarakat Etnis Tionghoa yang selalu lebih unggul dari kalangan masyarakat lokal. Kebijakan Gunting Syarifuddin, program Benteng hingga PP No.10 Tahun 1959 tentang pelarangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibukota daerah swatantra tingkat I dan II serta karesidenan, menyebabkan dampak perekonomian masyarakat Etnis Tionghoa menjadi terganggu.

Transisi pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, menambah sikap diskriminatif dari kebijakan pemerintah terhadap masyarakat Etnis Tionghoa semakin menjadi.

Beberapa peraturan seperti kebijakan moneter yang terkesan pribumisme hingga kebijakan terkait asimilasi total, menyebabkan masyarakat Etnis Tionghoa menjadi tertekan. Kebebasan dan hak asasi masyarakat Etnis Tionghoa di Indonesia sudah diatur sebagaimana mestinya oleh pemerintahan Soeharto. Hal ini memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru diwarnai dengan aksi demonstran para mahasiswa di seluruh bagian kota di Indonesia yang menuntut penurunan Soeharto serta keinginan reformasi pada tahun 1998.

Demontrasi mencapai puncaknya ketika pada Bulan Mei 1998 terjadi Peristiwa yang melibatkan kerusuhan antara massa dan aparat, yaitu Tragedi Trisakti dan tragedi Gejayan. Hal ini memicu amarah masyarakat luas sehingga menyebabkan kerusuhan- kerusuhan terjadi di berbagai wilayah kota besar Indonesia. Sasaran massa juga menyasar kepada masyarakat Etnis Tionghoa di Indonesia, salah satunya di Surakarta. Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta menyebabkan ketidakstabilan ekonomi bagi masyarakat, terutama Etnis Tionghoa yang merupakan kalangan minoritas. Untuk itu peneliti tertarik meneliti dan merekonstruksi sesuai dengan fakta yang kuat (hardfact) mengenai Dampak di sektor perekonomian masyarakat etnis Tionghoa di Surakarta pada tahun 1998 tersebut.

METODE PENELITIAN Metode Sejarah/Historis

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Historis atau biasa disebut sebagai metode Sejarah. metode sejarah berpacu pada suatu sistem dari cara-cara

(4)

http://repository.stkippacitan.ac.id 2 yang benar untuk mencapai kebenaran sejarah. Adapun langkah yang digunakan dalam penelitian ini antara lain heuristik, kritik sumber, interpretasi data, dan historiografi.

Langkah pertama, heuristik menurut terminologi berasal dari bahasa yunani artinya mengumpulkan atau menemukan sumber.1 Heuristik dapat dilakukan dengan kegiatan mencari dan menghimpun kejadian peninggalan masa lampau yang digunakan sebagai sumber sejarah sebagai kisah.

Langkah kedua, Kritik sumber sejarah adalah produk proses ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan dan terhindar dari fantasi, manipulasi dan fabrikasi.2 Pada tahap ini sumber yang telah dikumpulkan pada kegiatan heuristik yang berupa sumber primer maupun sumber sekunder. Harus melalui tahap verifikasi dahulu sumber-sumber yang telah digunakan dalam penelitian ini. Sumber-sumber tersebut harus dipilih, mana yang memiliki bukti kuat dan mana yang belum memiliki bukti kuat.

Langkah ketiga, Interpretasi, yaitu berupa analisis (menguraikan) dan sintensis (menyatukan) fakta-fakta sejarah.3 Hal ini dilakukan agar fakta-fakta yang tampaknya tidak terikat antara satu sama lain bisa menjadi satu hubungan yang saling berkaitan.

Dalam tahap ini diperlukan sebuah kesimpulan dari berbagai kutipan dan sumber yang ada.

Langkah keempat, Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.4 Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah hendaknya memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak awal perencanaan, penyajian historiografi meliputi pengantar, hasil penelitian, simpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geografis Kota Surakarta Tahun 1998

Surakarta merupakan salah satu kota besar yang terletak di sebelah Tenggara Ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Memiliki luas wilayah 44.04 km2. Berbatasan dengan beberapa kabupaten lainnya seperti Kabupaten Boyolali, Karanganyar dan Sukoharjo.

Kota Surakarta berkembang menjadi daerah yang mengalami perkembangan modernisasi yang sangat cepat dan pesat. Pada Tahun 1980-an terjadi urbanisasi dan industrialisasi di Kota Surakarta yang menyebabkan terjadinya urban sprawl (pemekaran kota), baik dari sisi utara, timur, selatan dan barat. Hal ini didasarkan pada peningkatan jumlah penduduk

(5)

http://repository.stkippacitan.ac.id 3 di Surakarta. Tercatat pada tahun 1980 jumlah penduduk yang berada di Surakarta sebanyak 459.257 hingga akhir masa pemerintahan orde baru, jumlah penduduk di Surakarta terus mengalami peningkatan. Total sebanyak 542.832 jumlah penduduk di Surakarta pada tahun 1998. Dengan demikian luas permukiman dan jumlah rumah meningkat pesat. Pembangunan perumahan (real estate, perumnas, komplek hunian baru) mulai banyak dijumpai dipinggiran kota Surakarta. 5

Stabilisasi dirasakan keadaan kota Surakarta dari kurun waktu ke waktu, dikarenakan pengelolaan yang baik dari berbagai ranah tertentu. Seperti di sektor sarana dan prasarana transportasi, ekonomi, hingga pariwisata. Keadaan ini hanya bertahan sementara hingga adanya kerusuhan di Surakarta pada bulan Mei 1998 yang menyebabkan beberapa kekacauan. Dampak besar dengan adanya kerusuhan di Surakarta tersebut mengalami keterpurukan khususnya di bidang perekonomian.

Kehidupan masyarakat Etnis Tionghoa di Surakarta menjelang Kerusuhan Mei 1998

Pasca peristiwa kali angke atau sebutan geger pecinan di Batavia yang menewaskan lebih dari 10.000 jiwa penduduk Tionghoa. Menyebabkan eksodus besar-besaran dilakukan oleh masyarakat Etnis Tionghoa di wilayah Batavia dan sekitarnya. Hal ini bertujuan untuk mencari tempat perlindungan yang aman dan terhindar dari bahaya orang-orang VOC. Termasuk di Surakarta.

Diperkirakan orang-orang Tionghoa sudah ada di Surakarta pada tahun 1746. hal ini didasarkan pada kasus konflik internal Keraton Kasunanan Surakarta dimana raja dan beberapa pengikutnya berkoalisi dengan VOC yang menimbulkan kerenggangan diantara para pembesar keraton, munculnya beberapa pemberontakan dari keraton tidak terlepas dari bantuan pasukan Tionghoa kala itu mengingat kondisi dan situasi orang Tionghoa saat itu juga senasib dengan masyarakat pribumi apalagi diperparah dengan adanya pembantaian di Batavia saat itu. Pasca penghapusan kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel, pemukiman orang Tionghoa tidak lagi mengelompok pada suatu tempat atau lokalisasi. Melainkan telah menyebar ke tempat atau lokasi lain. Dengan begitu muncul dinamika pertumbuhan dan penyebaran orang-orang Tionghoa pendatang baru di Surakarta.6

Kondisi Ekonomi Masyarakat Etnis Tionghoa di Surakarta Sebelum Tahun 1998

(6)

http://repository.stkippacitan.ac.id 4 Sejak tahun 1890-an orang-orang Tionghoa berperan dalam industri batik, Selain itu masyarakat Tionghoa juga menguasai perdagangan berbagai jenis bahan baku pembuatan batik, perdagangan bara dan kayu bakar, perdagangan bahan pewarna serta kain mori.

Pada awal abad ke-20 orang-orang Tionghoa di Surakarta membentuk sebuah perkumpulan dagang yang diberi nama Kong Sing. Sejak ditemukannya metode batik cap dan bahan pewarna kimiawi, para Pedagang Tionghoa di Surakarta mengalami kemajuan, terutama dalam hal industri batik. Aktivitas perdagangan lainnya yang tidak kalah penting adalah bidang opium dan pegadaian.

Tahun 1960-an pedagang-pedagang Tionghoa di Kota Surakarta sudah menjalar ke lokasi-lokasi strategis, seperti jalan di sekitar Pasar Legi, sekitar Pasar Gede, hingga sekitar Pasar Singosaren. Selain itu pasar-pasar tradisional lainnya di Surakarta, seperti Pasar Tanggul, Pasar Ledoksari, Pasar Jebres, Pasar Kembang, Pasar Kadipolo, Pasar Nangka, Pasar Harjodaksino, Pasar Kleco, Pasar Kabangan dan Pasar Laweyan. Turut menjadi salah satu prasarana ekonomi yang penting di Surakarta kala itu.7 Perebutan lahan usaha perdagangan maupun aspek lain di perkotaan terutama di jalan yang strategis kerap terjadi, sama halnya dengan suatu daerah yang sedang dalam tahap perkembangan industri. Di Surakarta sendiri terdapat banyak jalan strategis. Dengan mengambil daerah- daerah tertentu, maka deskripsi peta kekuatan jaringan bisnis antar etnis di kota Surakarta dapat diambil beberapa kondisi. Hal ini dapat dilihat dari dominasi perdagangan orang Tionghoa dalam menguasai tempat-tempat strategis bagi usahanya.

Latar Belakang Kerusuhan Mei 1998 di Indonesia

Krisis ekonomi yang terjadi pada penghujung abad ke-20 (1997-1998) memberikan dampak kerugian yang sangat besar. Rupiah yang turun drastis, membengkaknya hutang luar negeri, dan munculnya krisis kepercayaan masyarakat kala itu yang menilai kebijakan pemerintah dalam menangani krisis keuangan belum maksimal. Pada Bulan Mei minggu kedua Tahun 1997, mata uang Thailand Baht mulai menjadi sasaran dari para spekulan. Tepatnya pada tanggal 2 Juli 1997 adanya tekanan kuat dari para spekulan mata uang asing memaksa Bank Sentral Thailand untuk mengambangkan nilai tukar Baht.

Krisis di beberapa negara Asia Tenggara berlanjut dengan turunnya nilai mata uang Filipina (Peso), Malaysia (Ringgit), hingga Indonesia (Rupiah) yang berlanjut menjadi krisis ekonomi.8

(7)

http://repository.stkippacitan.ac.id 5 Rapuhnya fundamental ekonomi Indonesia waktu itu dikarenakan sentralisasi kekuasaan beserta turunannya, seperti penguasaan ekonomi oleh kalangan elit penguasa, industrialisasi pencari rente, korupsi, kolusi, dan sebagainya. Hal ini menjadikan kondisi perekonomian Indonesia di ambang kekritisan. Ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto semakin menguat, keinginan untuk sebuah reformasi dan penurunan jabatan terhadap Soeharto sangat diharapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Kronik Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta

Pada tanggal 14 Mei 1998, ribuan mahasiswa UMS menggelar demo keprihatinan atas tewasnya Mozes Gatutkaca dan Tragedi Trisakti. para demonstran melakukan shalat ghaib untuk mendoakan mahasiswa yang gugur pada tragedi Trisakti. Setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan orasi-orasi para demonstran. Situasi dan kondisi semakin lama menjadi sangat emosional dan menegangkan pada kedua belah pihak. Adanya provokator yang melempar benda ke aparat keamanan menyebabkan aparat bergerak hingga melepaskan tembakan gas air mata. Suasanapun menjadi kacau.9

Aksi saling membalas antara mahasiswa dan aparat semakin menjadi. Memasuki siang hari, kericuhan antara demonstran dengan aparat masih tetap tidak surut. Massa yang berhasil lolos dari kartasura terus bergerak menuju kota dan melakukan perusakan.

Sejumlah massa mulai merusak sejumlah fasilitas umum. Di kawasan Kleco (Karangasem), jumlah massa bertambah dengan bergabungnya puluhan lelaki muda yang bergerombol di pinggir jalan. Massa bergerak ke showroom mobil di Dealer Timor, mereka melempari batu hingga seluruh kaca showroom berhamburan. Bekas kantor Bank BHS Purwosari, Bank Ratu, Bank Duta serta Bank Internasional Indonesia tidak luput dari penyerbuan massa. Pelemparan batu mulai menjadi-jadi setelah massa lepas dari perempatan Gendengan (Laweyan). Sasaran pelemparan selanjutnya ialah deretan perumahan dan pertokoan di Jalan Slamet Riyadi, seperti RM Bundo, Wartel Sriwedari, gedung pertemuan Graha Wisata Niaga, toko Sami Luwes, hingga rumah Kapolwil Surakarta di timur Loji Gandrung juga terkena dampak. Bersamaan dengan pergerakan massa di sekitar kawasan Surakarta lainnya. Seperti di Gading, Jebres, Nusukan, Tipes, serta hampir seluruh penjuru kota Surakarta juga mengalami aksi serupa. Kerusuhan kian

(8)

http://repository.stkippacitan.ac.id 6 meluas, sebagian besar massa turun ke jalan melakukan pelemparan dan pembakaran bangunan maupun mobil dan motor dan melakukan penjarahan.10

Pada tanggal 15 Mei 1998, aksi massa dalam melakukan perusakan dan penjarahan belum berakhir. Berturut-turut sejumlah tempat yang sebelumnya luput dari amukan massa, pada akhirnya menjadi sasaran juga. Toserba Ratu Luwes, Luwes Gading, pabrik plastik serta puluhan tempat lain dibakar dan dijarah massa. Begitu juga pembakaran terhadap kendaraan roda dua dan empat masih terjadi di beberapa jalan Kota Surakarta. Roda pemerintahan dan ekonomi pada saat itu bisa dikatakan lumpuh total.

Banyak toko-toko yang memilih untuk tutup.11 Akhir Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta

Pada tanggal 16 Mei 1998, aksi pembakaran dan penjarahan telah mereda. Aparat telah mengamankan sedikitnya 100 perusuh dan penjarah yang tertangkap basah diamankan.

Aparat keamanan juga mengeluarkan tindak tegas untuk menembak pelaku yang melakukan kerusuhan di tempat. Beberapa sarana prasarana umum mengalami kerusakan terutama pertokoan. Selain itu 33 (tiga puluh tiga) orang menjadi korban tewas dalam kerusuhan yang terjadi di Surakarta. 14 (empat belas) orang di antaranya ditemukan terpanggang di dalam bangunan Toserba Ratu luwes Pasar Legi. Sedangkan 19 (Sembilan belas) oang lainnya terpanggang di Toko Sepatu Bata kawasan pertokoan, Coyudan.

Korban yang tewas dimakamkan secara massal di Astana Purwoloyo, Sekarpace. Di sisi lain, akibat banyaknya toko, swalayan, dan tempat usaha lain dirusak massa yang mengakibatkan sekitar 50.000 hingga 70.000 tenaga kerja Surakarta menganggur.12 Kondisi Kehidupan Masyarakat Etnis Tionghoa di Surakarta Pasca Kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan Mei 1998 tanpa disadari membawa pengaruh yang besar terhadap mental masyarakat Surakarta. Impunitas yang terjadi setelah melakukan penjarahan atas perumahan maupun toko merusak suatu generasi.13 dampak psikologis dirasakan bagi para korban yang mengalami peristiwa kerusuhan tersebut, mulai dari bangunan yang dirusak, barang-barang yang dijarah, serta yang paling parah dibakar, disisi lain adanya tindak kekerasan dari perusuh juga turut memberikan traumatis yang mendalam. Hal ini berlaku bagi masyarakat lokal non Tionghoa yang mengalami nasib sama, walau tidak separah masyarakat etnis Tionghoa.

(9)

http://repository.stkippacitan.ac.id 7 Dampak Perekonomian Masyarakat Etnis Tionghoa di Surakarta Pasca Kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan pada tanggal 14-15 Mei 1998 yang terjadi di Surakarta berdampak pada roda perekonomian masyarakat Surakarta. Beberapa bangunan hingga kendaraan bermesin dirusak dan dibakar. Perkiraan kerugian material yang disebabkan saat kerusuhan Mei 1998 di Surakarta diperkirakan mencapai 457,5 Miliar.14 Kerugian skala besar dirasakan masyarakat Etnis Tionghoa, banyak daerah pecinan maupun pasar yang dijarah sekaligus dibakar oleh massa. Hal ini mempengaruhi keterpurukan terhadap para pedagang Etnis Tionghoa. Sebagian dari mereka ada yang ragu untuk memulai berbisnis kembali.

Bayangan kerusuhan masih membekas di ingatan masyarakat Etnis Tionghoa yang memicu adanya beban psikologis. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Tionghoa merupakan pelaku sejarah, melihat langsung bagaimana kebringasan aksi massa terhadap penjarahan, perusakan hingga pemerkosaan. Beban psikologis yang diderita sebagian masyarakat akan berpengaruh terhadap kehidupannya.

SIMPULAN

Kerusuhan pada tanggal 14-15 Mei 1998 yang terjadi di Surakarta merupakan aksi terorganisir dari perusuh yang sedari awal adalah memprovokasi massa untuk menyerang masyarakat etnis Tionghoa. Sasaran yang tertuju pada masyarakat Tionghoa di Surakarta timbul karena alasan yang mendukung. Yaitu perekonomian masyarakat Tionghoa dalam keadaan baik-baik saja. Pandangan stigma dan diskriminatif aksi massa tersebut didasarkan pada keadaan Indonesia yang sedang dilanda krisis ekonomi.

Penjarahan terhadap barang berharga, perusakan bangunan perumahan ataupun toko milik masyarakat Tionghoa, hingga yang paling parah adalah pembakaran. Disisi lain diskriminatif terhadap perempuan etnis Tionghoa juga terjadi. pemerkosaan hingga pembakaran korban merupakan aksi yang tidak manusiawi. Keterpurukan masyarakat Tionghoa di Surakarta hanya berjalan sementara, perekonomian yang sebelumnya mati lumpuh. Perlahan mulai aktif. Hal ini tidak terlepas dari peran masyarakat Etnis Tionghoa dalam menerapkan pola-pola perekonomian dan adanya dukungan serta moril dari masyarakat serta pemerintah Kota Surakarta.

1 Suhartono W. Pranoto. 2010. Teori dan Metodelogi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hlm. 29.

2 Ibid., hlm. 36.

(10)

http://repository.stkippacitan.ac.id 8

3 Sugeng Priyadi. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Hlm. 76.

4 Ibid., hlm. 79.

5 Panganti Widi Astuti. 2010. “Pengaruh Perkembangan Kota Surakarta Terhadap Permukiman di Kawasan Solobaru“ . Skripsi. Tidak atau belum diterbitkan. Surakarta: UNS. Hlm. 60-91.

6 Rustopo. 2007. Menjadi Jawa : Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm. 63-64.

7 Rustopo, Op. Cit., hlm. 22.

8 Lilik Salamah. 2001. “ Lingkaran Krisis Ekonomi Indonesia” . Journal Unair, Vol. 14 No. 2 2001.

Surabaya: Universitas Airlangga. Hlm. 65-66.

9 Sholahuddin, dkk. 2008. 10 Tahun Kerusuhan Mei SOLO BANGKIT. Solo: Harian Umum SOLOPOS.

Hlm. 44-45.

10 Sholahuddin, Op. Cit., hlm. 45-46.

11 Lydiana Salim, Akhmad Ramdhon. 2020. “Dinamika Konflik Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta melalui Perspektif Korban”. Journal of Development and Social Change. Vol. 3 No. 1 2020. Surakarta: UNS. Hlm.

66.

12 Sholahuddin, Op. Cit., hlm. 52.

13 Lydiana Salim, Op. Cit., hlm. 140.

14 Akuntan Publik Drs Rachmad Wahyudi Ak MBA.

DAFTAR PUSTAKA

Lilik Salamah. 2001. Lingkaran Krisis Ekonomi Indonesia. Journal Unair, Vol. 14 No. 2 2001. Surabaya: Universitas Airlangga.

Lydiana Salim, Akhmad Ramdhon. 2020. “Dinamika Konflik Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta melalui Perspektif Korban”. Journal of Development and Social Change.

Vol. 3 No. 1 2020. Surakarta: UNS.

Panganti Widi Astuti. 2010. “Pengaruh Perkembangan Kota Surakarta Terhadap Permukiman di Kawasan Solobaru. Skripsi. Tidak atau belum diterbitkan. Surakarta:

UNS.

Rustopo. 2007. Menjadi Jawa : Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa.

Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sholahuddin, dkk. 2008. 10 Tahun Kerusuhan Mei SOLO BANGKIT. Solo: Harian Umum SOLOPOS.

Suhartono W. Pranoto. 2010. Teori dan Metodelogi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sugeng Priyadi. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Referensi

Dokumen terkait

Asimilasi Kebudayaan Tionghoa Dengan Budaya Jawa di Surakarta Tahun 1966-1998 dan Relevansi Bagi

Begitu juga yang terjadi di Pasar Glodok dan Orion Plaza dengan menjual alat-alat elektronik dan mayoritas pedagangnya adalah orang Tionghoa pada tanggal 14 Mei

Penataan ruang dalam museum dibagi menjadi 5 bagian penting yaitu massa latar belakang kejadian, aksi perjuangan mahasiswa, tragedi Mei 1998, kerusakan dan