• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Public Relations, Citra dan Reputasi

Public Relations, citra dan reputasi saling berkaitan. Dalam salah satu definisi yang ada, PR diartikan sebagai proses interaktif yang membentuk opini publik, menguntungkan kedua belah pihak, meningkatkan pemahaman, memotivasi, dan meningkatkan keterlibatan public, Widjaja (2001). Mengacu juga pada fungsi humas yang dapat dipersempit menjadi 1) melayani kepentingan publik, 2) memelihara hubungan antara internal dan eksternal dengan baik, dan 3) menciptakan citra baik perusahaan. Penggunaan fitur tersebut juga mempengaruhi citra dan perkembangan perusahaan. Citra itu sendiri adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pemahaman tentang suatu fakta atau fenomena yang sebenarnya. Reputasi adalah persepsi atau gambaran baik buruknya perusahaan dimata publik, bahkan tanpa pengalaman langsung dengan perusahaan tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan evaluasi program city branding dimana city branding sendiri merupakan produk dari program public relations.

Mengevaluasi city branding berarti pula sebagai pengevaluasian program PR yang berhubungan dengan citra dan reputasi. Program city branding dibuat agar dapat mencapai tujuan yang berhubungan dengan pembentukan opini publik, dapat menguntungkan internal (masyarakat dan pemerintah) dan eksternal (stakeholder dan pendatang), dan meningkatkan pemahaman eksternal tehadap kota/daerah. Kegiatan evaluasi dilakukan untuk melihat apakah program city branding yang diteliti telah mencapai tujuan tersebut atau belum.

(2)

2.1.1. Pengertian Public Relations

Perbedaan sudut pandang dan latar belakang dari para ahli yang menyebabkan definisi dari public relations belum mendapat kesepakatan mutlak. Sehingga telah tercipta lebih dari 2000 definisi untuk public relations hingga saat ini. Menurut Widjaja (2001), secara umum PR ialah proses interaksi yang dibuat membentuk opini publik menjadi input yang menguntungkan kedua belah pihak serta menanamkan pengertian, menumbuhkan motivasi, dan partisipasi publik.Proses tersebut bertujuan menanamkan keinginan baik (goodwill), kepercayaan, pengertian dan citra yang baik dari publiknya.

Sementara itu, menurut Chartered Institute for Public Relations (CIPR), sebuah kelompok yang mengkhususkan diri dalam profesional PR di Inggris mendefinisikan PR sebagai sebuah reputasi. Sebagai akibat dari apa yang dilakukan dan dikatakan, kemudian menjadi cara pandangan orang lain terhadap seorang atau sebuah perusahaan. Praktek PR bertujuan menjaga reputasi, mendapatkan pemahaman, dukungan juga mempengaruhi pendapat dan sikap. Kegiatan ini rutin dilakukan untuk membangun dan memelihara hubungan baik antara organisasi dan masyarakat umum.

Definisi tentang PR yang dikemukakan oleh CIPR mengenalkan dimensi baru yang merupakan perkembangan dari definisi sebelumnya. Dapat dilihat bahwa definisi ini menyetarakan PR dengan manajemen reputasi.

Semakin berkembangnya zaman semakin laju pula dinamika perkembangan dari PR itu sendiri. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk kembali munculnya definisi-definisi baru dari PR sesuai keadaan dan latar belakang masalah yang terjadi.

(3)

2.1.2. Fungsi PR untuk Image Building

Image Building atau dapat diartikan sebagai suatu cara membangun citra baik perusahaan. Image building sendiri adalah salah satu dari beberapa hasil dari pengaplikasian fungsi public relations. Fungsi dari public relations menurut Scott M. dan Allen Center dalam Effective Public Relations adalah sebagai berikut:

1. Memfasilitasi serta memastikan masuknya opini publik sehingga kebijakan serta operasinya dapat tetap sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

2. Memberi masukan kepada manajemen perihal cara membuat kebijakan dan operasi organisasi sehingga dapat diterima oleh publik.

3. Mengatur serta mengimplementasikan program yang akan memberi citra dan reputasi baik oleh publik yang menguntungkan kebijakan dan operasi organisasi.

Pada fungsi pertama, praktisi PR harus bisa membina hubungan antara internal dan eksternal perusahaan agar menjadi harmonis. Dalam membela kepentingan umum, praktisi PR harus memiliki argumen yang rasional dan realistis kemudian diperjuangkan pada pihak manajer, sebab untuk mencapai tujuan perusahaan bisa dilakukan menggunakan bimbingan asal manajer.

Fungsi PR kedua mengharuskan praktisi PR bisa membina hubungan yang komunikatif dengan publik baik ekstern juga intern. Dalam melaksanakan komunikasi secara struktural dan fungsional mewakili perusahaannya, PR bersikap menghormati dan menghargai tanpa memandang siapa saja yg bekerjasama dengannya. Perilaku tersebut ditunjukkan ketika melakukan komunikasi secara tatap muka, telepon, ataupun dengan media lainnya.

(4)

Pada fungsi ketiga menjadikan PR sebagai pembangun citra baik dari perusahaan melalui program yang dibuat oleh perusahaan. Karena perannya sebagai penghubung perusahaan dan masyarakat, maka mengharuskan dekat dengan public. Citra baik perusahaan yang diberikan kepada public juga dapat menimbulkan pengaruh baik pada kebijakan dan pengoprasian kegiatan perusahaan ditengah masyarakat.

2.1.3. Pengertian Citra dan Reputasi

Sebelum terbentuk sebuah reputasi, sebuah kota perlu mambangun citra dirinya sehingga memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari kota lain.

Menurut Ardianto (2003), citra merupakan kesan seorang terhadap suatu objek sesuai dengan pengetahuan dan pengertiannya perihal fakta atau fenomena.

Cara seseorang menyikapi suatu objek bisa menjadikan petunjuk bagaimana citra objek pada orang tersebut. Perilaku tidak terubah secara langsung melalui komunikasi, namun cenderung memengaruhi lingkungan dalam membangun persepsi. Citra dalam pengertian city branding mengacu pada citra publik atau komunitas di suatu kota atau wilayah. Contohnya ketika mendengar kata

“Kalimantan”, maka yang akan terbayang ialah daratan luas yang masih memiliki banyak hutan. Hal tersebut yang disebut dengan citra.

Menurut L'Etang (2006), reputasi berkembang secara konstan dan dinamis, penilaian dapat dilakukan dengan melihat dan menilai reputasi perusahaan melalui orang-orang yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan. Reputasi dapat diartikan sebagai "opini publik". Masalahnya adalah reputasi individu atau organisasi dapat bervariasi pada tiap orang.

Herbig dan Milewicz (1993) mendefinisikan reputasi ialah penghargaan yg didapat oleh perusahaan sebab adanya keunggulan pada perusahaan, seperti kemampuan yang dimiliki, kemudian perusahaan akan terus membuat dirinya menciptakan hal-hal yg baru bagi pemenuhan kebutuhan konsumen.

(5)

Dapat kita simpulkan bahwa reputasi yang merupakan suatu hal penting dalam pembentukan city branding dimana reputasi dapat menjamin kredibilitas dari sebuah brand. Reputasi sendiri tidak dapat dibentuk secara instan. Perlu waktu dan kerja keras untuk menunjukkan performa terbaik untuk sebuah brand. Reputasi juga tidak dapat dengan cepat tersebar dan diketahui oleh seluruh masyarakat. Maka diperlukannya kerja keras dari perusahaan. Dalam konteks city branding, pemerintah kota atau daerah harus bekerja keras untuk membentuk reputasi yang baik itu.

2.1.4. Pembentukan Citra dan Reputasi

Gassing dalam bukunya “public relations” memaparkan diagram proses pembetukan citra menurut John Nimpoeno (dalam Ardianto dan Machfudz, 2011):

Stimulus Respon

Rangsangan Perilaku

Gambar II-1. Diagram Proses Pembentukan Citra John Nimpoeno

Diagram pembentukan citra ini menunjukkan bagaimana proses rangsangan eksternal diatur dan memengaruhi respons. Stimulus yang diberikan kepada individu dapat diterima atau ditolak. Proses pembentukan citra tersebut pada akhirnya akan menimbulkan sikap, pendapat, reaksi atau perilaku tertentu.

Apabila citra telah terbangun maka akan mudah untuk membangun reputasi dari perusahaan. Weber Shandwick dan Reputation Institute (2006)

Kognisi

Persepsi Sikap

Motivasi

(6)

melakukan penelitian untuk menemukan elemen inti yang dapat membentuk reputasi sebuah perusahaan ataupun organisasi. Terdapat enam elemen, yaitu:

● Tanggung jawab: mendukung tujuan mulia, menunjukkan tanggung jawab lingkungan dan sosial.

● Komunikasi: Keterbukaan, baik dalam berdialog maupun pengungkapan.

● Barang dan jasa: menawarkan kualitas dan inovasi yang berkelas tinggi demi kepuasan pelanggan.

● Bakat: memberikan penghargaan kepada karyawan secara adil, keberagaman latar belakang karyawan dan menunjukkan kemampuan untuk menarik dan mempertahankan staf.

● Matriks keuangan: melampaui para pesaing dan menunjukkan stabilitas beserta nilai investasi jangka panjang.

● Kepemimpinan: CEO dan tim senior menunjukkan kepemimpinan yng baik dan etis.

Tentu saja dalam membentuk reputasi memiliki beberapa faktor yang mendorong terjadinya pembentukan reputasi tersebut. Dalam membangun reputasi yang baik, ada beberapa factor yang harus dilakukan, yaitu :

● Mengontrol kualitas barang dan jasa – hal ini penting. apabila kualitas tidak cukup baik, maka akan sulit mendapatkan reputasi yang baik.

● Hubungan dengan para pelanggan dan mendengarkan pendapat pelanggan – memperlakukan pelanggan dengan baik agar pelanggan tidak pergi.

● Kepemimpinan perusahaan yang kuat, serta struktur kultur perusahaan – menjaga hubungan baik dengan para staf secara internal.

● Pemenuhan kontrak – memenuhi tentang hal-hal yang sudah disepakati bersama.

(7)

● Reputasi, gaya, dan visi kepemimpinan dari seorang CEO atau pemimpin perusahaan – reputasi dari seorang pemimpin juga mempengaruhi reputasi dari perusahaan.

● Membangun citra di social media – pengelolaan media secara baik dan rutin. Melakukan identifikasi media yang memiliki pengaruh terhadap perusahaan untuk memberi informasi yang akurat dan bermanfaat untuk pers. Membentuk hubungan baik dengan pers dan memonitor media sehingga dapat mengidentifikasi pemicu isu-isu yang bisa merugikan perusahaan.

● Relasi dengan warga masyarakat – penting untuk menjalin relasi dengan warga sekitar agar berita buruk tidak menyebar dengan mudah.

Faktor-faktor yang mendukung atau mendorong terbentuknya reputasi tentu perlu diperhatikan karena bisa jadi boomerang yang malah bisa merusak reputasi dari perusahaan. Dalam konteks city branding, kesalahan dalam memperkirakan kelemahan dan keunggulan dari sebuah daerah dapat menyebabkan kesalahan yang fatal. Bukannya membangun reputasi yang baik, malah akan merusak reputasi baik yang sudah terbentuk.

2.1.5. Manfaat Citra dan reputasi

Gassing dalam bukunya “Public relations” menuliskan manfaat dari citra perusahaan yang kuat dan baik menurut Siswanto Sutojo (2004:3), sebagai berikut:

a. Daya saing jangka menengah dan panjang yang mantap

Citra yang baik menjadikan identitas atau karakter perusahaan sehingga tidak mudah ditiru sekaligus melindungi perusahaan dari pesaing.

b. Perisai selama masa krisis

(8)

Dapat lebih mudah dalam mendapatkan simpati dan maaf dari masyarakat apabila terjadi kesalahan.

c. Daya tarik eksekutif andal

Mampu menarik, memotivasi dan mempertahankan eksekutif andal yang merupakan aset terpenting dalam memajukan perusahaan.

d. Meningkatkan efektivitas strategi pemasaran Lebih mudah dalam melakukan strategi pemasaran terutama saat mengeluarkan produk terbaru.

e. Penghematan biaya oprasional

Biaya yang dikeluarkan untuk mempromosikan produk akn lebih sedikit apabila perusahaan telah memiliki citra yang baik dan kuat.

2.2. Management PR dalam City Branding

Management merupakan seni dalam mengatur sumber daya yang ada secara efisien sehingga dapat mencapai tujuan. Sedangkan Manajemen PR merupakan kegiatan yang melakukan penerapan fungsi-fungsi dasar management dalam kegiatan public relations. Management sendiri memiliki beberapa unsur seperti, manusia, uang, bahan, mesin metode dan pasar.

2.2.1 Pengertian Management PR

Manajemen PR merupakan bentuk terapan dari fungsi utama manajemen dalam kegiatan hubungan masyarakat. PR Professional sangat membutuhkan kemampuan ini untuk memahami visi dan akuntabilitas mereka. Jadi, Manajemen PR adalah ilmu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kegiatan komunikasi organisasi.

(9)

Berth dan Sjoberg (1997:6) mengemukakan pendapatnya bahwa manajemen PR sebagai suatu subsistem dan system menejemen perusahaan secara keseluruhan dapat melaksanakan aktivitas PR secara professional.

Indikator dan kualitas manajemen PR yang akan diteliti meliputi: “Better work result, Fun and Motivation, Client Satisfaction, Effective Training, Efficient Work, Improved Bottom Line.” Manajemen PR mencakup beberapa :

a. Pengelolaan semua kegiatan kehumasan yang dilakukan oleh organisasi.

b. Bentuk kegiatan manajemen atau hubungan masyarakat yang lebih spesifik. Misalnya, mengelola acara khusus, mengelola publikasi internal, mengelola kunjungan perusahaan oleh jurnalis, mengelola konferensi pers, dll.

2.2.2 Tugas Management PR

Management sendiri memiliki beberapa tugas, khususnya berdampak pada internal perusahaan:

1. Perencanaan

Mengembangkan standar juga tujuan, menentukan aturan, prosedur, pembuatan rencana dan prakiraan yang terjadi dimasa mendatang.

2. Pengorganisasian

Pemberian tugas pada masing-masing staf atau pihak yang bersangkutan, membentuk bagian, mengelompokkan dan menetapkan siste komunikasi. Mengkoordinir kerja dalam tim dan terorganisir.

3. Penyusunan Formasi

Menentukan syarat dan menyelesksi calon karyawan, membagikan tugas pada setiap karyawan, mengadakan penilaian dan pelatihan untuk mengembangkan kualitas dan kuantitas karyawan.

4. Memimpin

(10)

Memotivasi dan mendorong karyawan dalam penyelesaikan tugasnya, menciptakan lingkungan kerja yang kondusif serta menjadi fasilitator dalam komunikasi karyawan dengan atasaan atupun sebaliknya.

5. Pengawasan

Mengendalikan terciptanya standar kualitas dan kuantitas dari barang atau jasa yang diberikan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan dan

menciptakan citra positif perusahaan.

2.2.3 Pengertian City Branding

Perilaku pemasaran tidak hanya berputar pada produk jual beli yang berupa barang, namun juga berupa jasa dan pengalaman. City branding merupakan salah satu cara pemasaran dimana menjadikan sebuah kota menjadi merek dagang yang patut diperhitungkan. City branding dalam artian sempit berasal dari 2 kata yang digabungkan yaitu city yang berarti

“kota” dan branding yang berarti pencitraan agar suatu produk dapat menarik dan melekat di benak konsumen.

Namun branding menurut Kotler (2009) merupakan simbol, desain, istilah, layanan atau nama produk perusahaan yang membedakannya dari para pesaingnya. Landa (2006) mendefinisikan sebagai kepribadian, kesan, kredibilitas, citra, asumsi, dan persepsi yang sengaja diciptakan untuk menembus pikiran orang lain. Dapat berupa reputasi, hak istimewa, atau identitas yang diberikan. Sekaligus menunjukkan bahwa mereka dapat dipercaya untuk dipilih oleh masyarakat.

Keberhasilan suatu branding dalam city branding dapat dilihat dari kesadaran publik / pasar (awareness) terhadap brand, lalu menimbulkan minat publik untuk datang berwisata atau berinvestasi (consideration), kemudian memutuskan (decision) untuk kembali datang berwisata hingga

(11)

menanam saham, dan selanjutnya bertahan bahkan ikut mempromosikan brand kepada pihak lain (loyality). Hal ini dinamakan empat tahap perjalanan pembeli.

Praktisi Sumbar Jasrizal Chaniago mengatakan city branding adalah proses atau upaya branding kota agar memudahkan pemilik kota memperkenalkan kepada target pasar (investor, wisatawan, talent), dan masyarakat luas dengan membuat slogan, ikon, pameran dan kreasi media lainnya.

Dapat disimpulkan dari definisi yang telah dibahas bahwa city branding sebagai usaha membentuk citra baik dan membuat inovasi sebuah kota atau daerah untuk mendiferensiasi diri dari kota atau daerah lainnya.

Hal ini dilakukan untuk memperkenalkan kota atau daerah mereka dan menarik wisatawan baik mancanegara maupun domestik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya baik dari segi sosial maupun ekonomi. Dengan adanya city branding, sebuah kota atau daerah menjadi lebih inovatif dalam mengembangkan potensi kota atau daerahnya untuk menarik pengunjung atau wisatawan. Tidak hanya wisatawan, city branding juga dapat menarik investor untuk menanamkan modal mereka pada kota atau daerah untuk meningkatkan pembangunan daerah dan pertumbuhan ekonomi.

2.2.4 Tujuan City Branding

Menurut pakar tentang branding, Handito, tujuan dari melakukan tindakan city branding adalah:

b. Mewujudkan kota/daerah lebih terkenal c. Memmbenahi image kota/daerah d. Menarik untuk dikunjungi wisatawan

(12)

e. Mendorong investor untuk berinvestasi di kota/daerah f. Meningkatkan kesejahteraan umkm daerah

Tujuan dari city branding ini tidak hanya dapat menguntungkan bagi kota atau daerah. Tetapi juga dapat menguntungkan bagi masyarakat dan negara. Masyarakat akan lebih sejahtera dari segi ekonomi dan bagi negara, tentu akan menaikkan devisa baik dari segi pariwisata maupun investasi perusahaan luar terhadap negara.

2.2.5 Kriteria dan Indikator City Branding

Menurut Sugiharsono (2009) juga kutipan Juanim & Rahmawati (2015) dalam jurnalnya menuliskan terdapat empat kriteria yang wajib dipenuhi untuk melaksanakan city branding, adapun sebagai berikut:

• Attributes: memiliki gambaran identitas, karakter, daya tarik dan ciri khas dari kota.

• Message: Menceritakan pesan yang cerdas dan menyenangkan serta mudah untuk diingat.

• Differentiation: Memiliki keunikan dan perbedaan dengan kota lainnya.

• Ambassadorship: Menginspirasi setiap orang untuk datang, berkeinginan untuk mengunjungi hingga berkeinginan tinggal di kota tersebut.

Diperlukannya positioning dan differentiating yang jelas untuk membedakan kota atau daerah satu dengan yang lainnya. Sebuah daerah dapat melakukan city branding dengan baik dan efektif apabila dapat memenuhi keempat kriteria tersebut. Dikarenakan keempat kriteria tersebut menjadi poin- poin penting sehingga dapat menarik pengunjung dan investor.

(13)

Simon Anholt (2006) membuat City Branding Index untuk mengukur keberhasilan city branding melalui berbagai indikator. City Branding Index dirancang untuk mengukur efektivitas city branding. Indeks Merek Kota memiliki enam dimensi. Saat mengukur kinerja city branding, enam dimensi digambarkan dalam bentuk segi enam city branding:

a. Presence (kehadiran)

Pemerintah setempat harus mencari dan memahami keunggulan kotanya, ciri khas suatu kota. Hal ini tentu dapat membuat pengunjung yang datang dengan persepsi masing-masing tehadap kota tersebut mendapat pengalaman yang dapat menguatkan atau bahkan melemahkan persepsi tersebut.

b. Potential (potensi)

Pemerintah berperan untuk mengidentifikasi situasi kota yang dapat dijadikan peluang untuk menjadi sumber investasi bagi investor yang dating. Baik dari segi ekonomi maupun pendidikan.

c. Place (tempat)

Berkaitan dengan aspek fisik suatu kota seperti iklim, lokasi, dan lain-lain. Mempertimbangkan kenyamanan dan kebersihan lingkungannya untuk menjadi nilai positif bagi para pengunjung.

Fasilitas suatu kota seperti bangunan dan taman juga menjadi poin tersendiri.

d. People (orang)

Sikap masyarakat terhadap perubahan dan keamanan yang mereka dapatkan di kota memudahkan pertukaran budaya dan bahasa.

Keramahan penduduk kota bisa membuat pengunjung kota senang..

e. Pulse (semangat)

Gaya hidup urban dapat dikembangkan dan menjadi ciri terpenting dari citra suatu kota. Berkaitan juga dengan apakah pengunjung

(14)

dapat dengan mudah menemukan hal – hal yang menarik sebagai pengunjung maupun sebagai penduduk kota tersebut untuk jangka pendek maupun jangka panjang. (Luthfi dan Widyaningrat 2013:20)

f. Prerequisite (prasyarat).

Komponen yang berkaitan dengan persepsi tentang kualitas kehidupan dari suatu kota. Hal yang harus diperhatikan agar suatu kota bisa tetap hidup, misalnya melalui event, infrastruktur publik, aksesibilitas, dan fasilitas pendukun lainnya.

2.3. Evaluasi program dan Audit PR

Evaluasi program juga dapat didefinisikan sebagai cara sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan informasi untuk menjawab pertanyaan dasar. Evaluasi program dapat dibagi menjadi evaluasi proses, evaluasi hasil, dan evaluasi dampak.

2.3.1. Audit PR

3.1.1.1. Pengertian Audit PR

Audit PR menurut Robbins (1995) sebuah studi berskala luas yang terstruktur meneliti hubungan masyarakat dan perusahaan.

Istilah audit komunikasi diperkenalkan oleh George Odiorne (Morrisan, 2008: 252-253) yang menunjukkan bahwa proses komunikas bisa dipelajari, dievaluasi dan diukur secara menyeluruh dan sistematis.

Menurut Odiorne kegiatan komunikasi seperti penerapan sistem komunikasi atau program komunikasi khusus, dapat diukur untuk menginformasikan kualitas kinerja manajer, pejabat, dan komunikator, jika

(15)

perlu, dapat ditingkatkan secara sistematis untuk meningkatkan efisiensi komunikasi.

Kesimpulannya audit PR mengenai analisa lengkap alur komunikasi internal dan eksternal organisasi. Manajemen senior melakukan komunikasi menyebar dari satu departemen ke seluruh organisasi untuk meningkatkan efektivitas organisasi.

Tahap-Tahap Audit Komunikasi oleh George Odiorne:

• Pencarian fakta

Pencarian fakta-fakta terkait ragam media informasi yang menjadi rujukan publik terkait organisasi, jenis pesan yang disampaikan dan cenderung disukai/tidak disukai, informasi yang dinilai sudah mencukupi/ belum mencukup.

• Analisis

Penilaian terkait efektifitas penyampaian pesan, pemilihan media yang digunakan serta interaksi antara representasi organisasi dengan khalayak sasaran atau stakeholder organisasi

• Evaluasi dan rekomendasi

Penyajian kelemahan dan kekuatan komunikasi publik yang dilakukan yang mencakup alternatif pesan dan media yang telah digunakan serta rekomendasi rancangan strategi komunikasi (khususnya untuk lingkup stakeholder eksternal).

3.1.1.2. Tujuan Audit PR

Dalam praktiknya, tujuan audit komunikasi yang dilakukan oleh suatu organisasi dijelaskan dan disempurnakan dalam istilah teknis dan praktis. Uraian dan perinciannya bersifat unik karena perlu disesuaikan dengan perincian situasi dan kebutuhan yang muncul. Ada beberapa tujuan

(16)

yang biasa dikemukakan oleh para pemimpin bisnis ketika melakukan audit komunikasi., yaitu:

a. Menemukan kekurangan dan kelebihan informasi yang terjadi dalam kaitannya dengan subjek, sumber, dan saluran komunikasi tertentu.

b. Penilaian kualitas informasi dan/atau sumber informasi yang dikirimkan oleh pelapor.

c. Mengukur kualitas jaringan hubungan komunikatif, khususnya sejauh mana kepercayaan antarpribadi (trust), dukungan, kebaikan dan kepuasan kerja karyawan secara keseluruhan diwujudkan.

d. Mengidentifikasi jaringan kerja aktif gosip, pesan sosial, dan pesan terkait pekerjaan, dan kemudian membandingkannya dengan jaringan yang dibentuk oleh jaringan resmi atau bagan organisasi.

e. Identifikasi hambatan dalam arus informasi dan penjaga gerbang dengan membandingkan peran komunikatif aktual seperti isolator, penghubung, anggota tim dengan peran yang diharapkan dari bagan organisasi dan deskripsi pekerjaan yang diberikan.

f. Mengidentifikasi kategori melalui fenomena komunikasi.

g. Menelaah komunikasi yang terjadi pada individu, kelompok, dan organisasi.

h. Merekomendasikan perbaikan yang harus dilakukan dalam interaksi berdasarkan hasil analisis audit komunikasi.

2.3.2. Evaluasi

Kegiatan yang dilakukan setelah melakukan program atau kegiatan. Dalam kutipan buku milik Wirawan, bahwa evaluasi merupakan penyelidikan untuk menyatukan, menelaah, serta menampilkan informasi bermanfaat tentang objek yang dievaluasi.

Memperkirakan dengan pembanding berupa indikator evaluasi dan hasilnya digunakan untuk mmenimbang keputusan hal yang dievaluasi.

(17)

Mengetahui beberapa tujuan evaluasi yang dapat ditemui dalam buku yang ditulis oleh Wirawan (2012:22-23):

• Menimbang dampak program terhadap masyarakat.

• Mengevaluasi apakah program berjalan sesuai rencana.

• Memperkirakan apakah pelaksanaan program telah mencapai patokan.

• Memungkinkan untuk identifikasi dalam menemukan bagian non- fungsional dari program kerja.

• Pelatihan staf program.

• Mematuhi persyaratan hukum.

• Sertifikasi program.

• Mengukur efektifitas dan efisiensi biaya.

• Membuat keputusan program.

• Pertanggungjawaban atas program yang telah terlaksana.

• Memberikan umpan balik kepada pimpinan dan staf program.

• Menjadi pengembang teori ilmu evaluasi

Jenis-jenis evaluasi diklasifikasikan oleh Wirawan (2012: 16- 18) berdasar pada objeknya menjadi:

1. Evaluasi Kebijakan

Menganalisis kebijakan artinya memilih alternatif kebijakan terbaik dari sekian banyak alternatif kebijakan yang diajukan. Evaluasi kebijakan adalah mengukur pelaksanaan kebijakan yang telah atau sedang terlaksaan dalam suatu perusahaan atau organisasi.

2. Evaluasi Program

Melakukan analisa kegiatan untuk mengukur keberhasilan suatu program.

(18)

3. Evaluasi Proyek

Kegiatan yang dilakukan dalam waktu terbatas untuk menunjang pelaksanaan program. Perlunya pengevaluasian kinerja dan manfaat dari proyek yang telah terlaksana dapet terukur.

4. Evaluasi Material

Pelaksanaan suatu kebijakan, program, atau proyek memerlukan material atau barang pendukung keberhasilan atau efektivitas pelaksanaan kegiatan, program, atau proyek.

5. Evaluasi Sumber Daya Manusia

Pengembangan sumber daya manusia dalam suatu organisasi, perusahaan, atau lembaga, dilakukan untuk memverifikasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Evaluasi juga memiliki beberapa model yang dikemukakan oleh berbagai ahli. Model-model ini juga dapat diartikan sebagai pendekatan yang membagi penilaian sesuai dengan tujuan dan minat yang akan diperkenalkan, atau pendekatan berdasarkan minat yang diterima.

Model-model tersebut, antara lain:

1. Model CIPP

Model penilaian ini dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam pada tahun 1966. Evaluasi terdiri dari empat kategori: evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi proses, dan evaluasi produk.

2. Model Goal Free

Model ini mengukur bagaimana tujuan yang ditetapkan oleh suatu kebijakan, program, atau proyek tercapai atau tidak. Model penilaian ini berfokus pada pengumpulan informasi yang ditujukan untuk mengukur tujuan kebijakan, proyek akuntabilitas, dan pencapaian pengambilan keputusan.

3. Model Goal Based

(19)

Model evaluasi ini memiliki tujuan untuk mengetahui pengaruh yang sebenarnya dari ekseskusi program. Dampak sebenarnya dari program mungkin berbeda atau lebih besar dari tujuan Program yang dimaksudkan.

4. Model Formatif-Summatif

Model evaluasi ini dilakukan dari saat kebijakan, program, atau proyek dimulai (evaluasi formatif) dan berlanjut hingga akhir program (evaluasi sumatif).

2.3.3. Evaluasi Program

Evaluasi adalah sebuah kegiatan yang dilakukan setelah melakukan program atau kegiatan. Sedangkan berdasarkan Hans Hochholzer dalam E Hetzer (2012: 11), Program ialah deretan aktivitas nyata, sistematis, dan terpadu yang dilaksanakan oleh suatu atau beberapa instansi pemerintah dalam rangka kerjasama dengan swasta serta masyarakat guna mencapai tujuan dan sarana yang ditetapkan.

Suatu program disusun berdasarkan atas tujuan ataupun target yg ingin dicapai.

Evaluasi program merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengukur taraf keberhasilan suatu program. Eko Putro (2012:10) menunjukkan bahwa evaluasi program menggunakan prosedur yang teruji secara teliti, sistematis dan detail. Evaluasi program juga dapat didefinisikan sebagai cara sistematis untuk menggabungkan, mengkaji, dan menetapkan informasi untuk menjawab pertanyaan dasar. Evaluasi program bisa dikelompokan sebagai:

1. Evaluasi Proses (Process Evaluation)

Evaluasi ini merupakan peninjauan tentang kegiatan dilakukan sesuai dengan kebijakan dan strategi umum atau operasional.

2. Evaluasi Manfaat (Outcome Evaluation)

(20)

Berkaitan dengan usaha-usaha untuk mengetahui apakah dampak atau hasil yang ditimbulkan oleh program-program yang telah dilaksanakan. Dengan kata lain, evaluasi hasil biasanya berkaitan dengan usaha untuk mengetahui pakah tujuan (objective) yang telah ditetapkan dalam rencana dapat tercapai.

3. Evaluasi Akibat (Impact Evaluation).

Evaluasi ini merupakan analisa suatu output yg bisa diamati tentang perubahan perilaku juga tingkah laku yg sudah terjadi atau dicapai.

Evaluasi program ini didasarkan pada tujuan-tujuan berikut (Supriyanto dan N.A. Damayanti, 2007):

a. Sebagai pedoman pelaksanaan dan alat untuk meningkatkan efektifitas program masa depan.

b. Sebagai alat untuk meningkatkan alokasi dana, sumber daya, dan pengelolaan (resources) saat ini dan yang akan datang.

c. Peningkatan implementasi dan penjadwalan ulang program.

2.3.4. Evaluasi City Branding

Kegiatan evaluasi city branding perlu untuk mengukur keberhasilan pemerintah melakukan program city branding dalam kurun waktu tertentu. Penilaian ini dilakukan secara sistematis dengan mengumpulkan, menganalisis dan menggunakan data, menjadikannya terukur, mengenali kualitas kinerja para eksekutif, pegawai negeri sipil serta staf komunikasi, agar efektivitas juga efisiensinya meningkat.

Evaluasi city branding ini tentu memiliki kriteria atau indicator untuk mengukur efektifitasnya. Menurut Sugiharsono (2009) juga kutipan Juanim & Rahmawati (2015) dalam jurnalnya menuliskan ada

(21)

empat kriteria yang harus dipenuhi untuk membuat sebuah city branding, diantaranya:

1. Attributes: memiliki gambaran identitas, karakter, daya tarik dan ciri khas dari kota.

2. Message: Menceritakan pesan yang cerdas dan menyenangkan serta mudah untuk diingat.

3. Differentiation: Memiliki keunikan dan perbedaan dengan kota lainnya.

4. Ambassadorship: Menginspirasi setiap orang untuk datang, berkeinginan untuk mengunjungi hingga berkeinginan tinggal di kota tersebut.

2.4. Kerangka Pikiran

Kemajuan zaman memaksa tiap daerah untuk terus inovatif dan mandiri.

Upaya pemasaran diperlukan untuk membawa wisata budaya, hiburan dan kreativitas ke daerah. Pemasaran regional sangat penting karena globalisasi ekonomi telah mengubah kota menjadi ibu kota yang strategis. Oleh karena itu, pengembangan city branding sangat penting untuk memenangkan persaingan global.

City branding merupakan strategi pemasaran kota yang bertujuan untuk membina hubungan dan menciptakan citra kota yang positif di kalangan pengunjung (Kawaratsis, 2004; Zhou dan Wang, 2014). Untuk mencapai tujuan pemasaran, city branding harus fokus dan gigih dalam kegiatan branding yang selaras dengan target pasar dan potensi kota.

Hingga saat ini sektor pertambangan masih mendominasi dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia, khususnya Kalimantan Timur. Sektor pertambangan menjadi penyumbang terbesar untuk perekonomian di Kalimantan

(22)

Timur yaitu sebesar 47,98%, hal ini disampaikan oleh Ir. H. Rusmadi, M.S., Ph.D.

selaku Sekretaris Daerah Kalimantan Timur yang dikutip pada m.kaltim.prokal.co.id pada Jumat (09/06/17). Namun telah diperkirakan oleh Kemenperin, pada tahun 2030 pertambangan akan meredup dikarenakan merosotnya cadangan batu bara dan energi fosil. Mengetahui hal tersebut, pemerintah mulai mencari alternatif lain yang dapat menyokong pergerakan ekonomi indonesia.

Sebagai mesin baru pertumbuhan ekonomi di Indonesia, pariwisata sebenarnya merupakan pilihan yang tepat. Peran pariwisata dalam perekonomian nasional diharapkan dapat tumbuh di masa yang akan datang. Industri pariwisata dapat muncul sebagai kelompok industri terbesar di dunia (the world's biggest industri) dan akan memainkan peran penting dalam meningkatkan pendapatan nasional, devisa, dan penciptaan lapangan kerja. Mengutip temuan dari studi Bank Dunia yang menyoroti peran penting pariwisata dalam pembangunan berkelanjutan, mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), meningkatkan kekuatan perdagangan internasional dan investasi global, serta meningkatkan kesejahteraan negara berpenghasilan rendah.

Telah dicatatkan pada Laporan Perekonomian Provinsi Kalimantan Timur triwulan I tahun 2020 bahwa Kab. Berau menempati peringkat ketiga tertinggi dalam penyumbang APBD di Kalimantan Timur. Selain sektor pertambangan dan industri, sektor pariwisata juga menjadi sumber pendapatan daerah. Pengaplikasian city branding yang efektif tentu dapat menarik lebih banyak wisatawan datang ke Kab. Berau. Hal ini diperlukan untuk menciptakan citra yang baik sehingga lebih banyak orang akan tertarik mengunjungi dan berinvestasi. City branding yang berhasil tentu dapat meningkatkan APBD Kab. Berau juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat local khususnya disekitar tempat pariwisata dan ekowisata. Didukung pula dengan terpilihnya Kalimantan Timur sebagai lokasi

(23)

perpindahan Ibu Kota Negara Indonesia, membuka peluang untuk pembangunan yang signifikan terutama pada fasilitas dan infrastruktur daerah.

Pengevaluasian city branding Kab. Berau dilakukan karena pemerintah setempat semakin gencar melakukan pengembangan sektor pariwisata dan ekowisata di daerah. Dengan semakin berkembangnya pariwisata di Kab. Berau, diharapkan dapat menggantikan penyumbang utama APBD yang awalnya tertinggi diperoleh dari sektor pertambangan dan penggalian. Hal ini juga tentu menjadi peluang bagi Kab. Berau untuk menjadi daerah utama tujuan wisata khususnya di Kalimantan Timur.

Gambar II.2. Kerangka Pikiran

Globalisasi dan Kemajuan Ekonomi Indonesia

Sektor Pertambangan dan Penggalian yang Mulai

Meredup

Pariwisata Sebagai Alternative Pertumbuhan

Ekonomi yang Baru

Pengevaluasian City Branding yang Telah

Dilakukan

Pemda Kab. Berau Sadar Akan Pentingnya City

Branding

Pengaplikasian City Branding yang Semakin

Optimal dan Efisien

Referensi

Dokumen terkait

LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat) adalah sebuah unit kegiatan yang berfungsi mengelola semua kegiatan penelitian dan pengabdian kepada

Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan program TUK Teknisi Otomotif di SMK Negeri 2 Salatiga bagi peserta TUK?. Apakah

Kepala Desa Teluk Endin Fahrudin pun mengucapkan banyak terimakasih kepada UJP Banten 2 Labuan yang telah membantu dalam perbaikan perahu nelayan pasca banjir ini, semoga

Namun penelitian Vu yang dilakukan di Vietnam menemukan hal lain, yaitu wanita yang mempunyai pekerjaaan cenderung untuk menikah lebih lambat dibandingkan wanita

diibaratkan seperti teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan citra satelit yang digunakan untuk mendeteksi potensi sumber daya alam di suatu titik lokasi,

Tahun 2003 menjadi awal titik balik dari perkembangan BMT Ki Ageng Pandanaran, dibawah pengurus baru ini BMT dapat berkembang dengan baik, karena pengurus dan anggota koperasi

Argumennya adalah aturan etika yang fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat

Selama diskusi kelompok perlu meyakinkan bahwa mereka telah membawa sumber pembelajaran yang relevan, yang akan dirujuk dalam tutorial.. Untuk mencapai