• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KERJA PEMERINTAH DESA DAN BADAN PERMUSYARAWATAN DESA (BPD) DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DESA DI DESA CENRANA KECAMATAN KAHU KABUPATEN BONE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN KERJA PEMERINTAH DESA DAN BADAN PERMUSYARAWATAN DESA (BPD) DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DESA DI DESA CENRANA KECAMATAN KAHU KABUPATEN BONE"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KERJA PEMERINTAH DESA DAN BADAN PERMUSYARAWATAN DESA (BPD) DALAM PENYUSUNAN

PERATURAN DESA DI DESA CENRANA KECAMATAN KAHU KABUPATEN BONE

WARNI MUSTITAH Nomor Stambuk : 10561 04463 12

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRSI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2016

(2)

HUBUNGAN KERJA PEMERINTAH DESA DAN BADAN PERMUSYARAWATAN DESA (BPD) DALAM PENYUSUNAN

PERATURAN DESA DI DESA CENRANA KECAMATAN KAHU KABUPATEN BONE

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara

Disusun dan Diajukan Oleh WARNI MUSTITAH Nomor Stambuk : 10561 04463 12

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2016

(3)

i

(4)

ii

(5)

iii

(6)

iv ABSTRAK

WARNI MUSTITAH ( 2016 ). Hubungan Kerja Pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dalam Penyusunan Peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone. (Dibimbing oleh Muhajirah Hasanuddin dan Amir Muhiddin)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Kerja Pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dalam Penyusunan Peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone. Dalam penelitian ini hubungan kerja Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dan Kepala Desa yaitu membahas Ranperdes, membahas dan menyepakati bersama peraturan Desa, membahas bersama pengelolaan kekayaan milik Desa. Untuk mengetahui faktor penghambat dan pendukung dalam Penyusunan Peraturan Desa.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik observasi, dokumentasi dan wawancara. Adapun jumlah informan terdiri dari delapan (8) orang. Data dikumpulkan dari berbagai sumber sehingga didapatkan data yang cukup. Data yang diperoleh selanjutnya di analisis secara kualitatif melalui pengorganisasian data, menjabarkan kedalam unit-unit, menguraikan kedalam bentuk kata dan kalimat dan selanjutnya membuat kesimpulan.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah Hubungan Kerja Badan Permusyarawatan Desa dan Kepala Desa yang membahas Ranperdes, membahas dan menyepakati bersama peraturan Desa, membahas bersama pengelolaan kekayaan milik Desa sudah dilaksanakan sesuai dengan fungsi- fungsinya meskipun belum optimal. Selanjutnya faktor penghambat meliputi minimnya pendapatan BPD dan fasilitas operasional yang kurang sedangkan faktor pendukung meliputi pola hubungan kerjasama dengan Pemerintah Desa dan partisipasi masyarakat.

Keyword : Hubungan Kerja dan Peraturan Desa

(7)

v

KATA PENGANTAR

”Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis senantiasa diberikan kesehatan dan waktu untuk menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Kerja Pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) Dalam Penyusunan Peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone”.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Administrasi Negara, pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

Sebelumnya penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang teramat dalam kepada orang tua penulis, ayahanda Andi Firman dan ibunda Nurbaya tercinta, terima kasih banyak atas kasih sayang, do’a, motivasi, dan jerih payah yang telah diberikan tanpa pamrih kepada penulis selama ini.

Dalam menyusun skripsi ini, banyak hambatan yang dihadapi oleh penulis namun berkat petunjuk segala bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak sehingga segala kesulitan dan hambatan dapat teratasi. Untuk itu melalui skripsi ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dra. Hj. Muhajirah Hasanuddin, M.Si dan Bapak Drs. Amir Muhiddin, M.Si masing-masing Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian skripsi.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :

(8)

vi

1. Bapak. Dr. H. Rahman Rahim, SE, MM sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimbah ilmu di Universitas Muhammadiyah Makassar.

2. Bapak Dr. Muhlis Madani, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, para wakil Dekan beserta seluruh Stafnya atas syarat administrasi yang diberikan sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian.

3. Bapak Dr. Burhanuddin. S.Sos. M.Si selaku ketua jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

4. Ibu Dr. Hj. Ihyani Malik, S.Sos., M.Si dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan motivasi kepada penulis.

5. Para Dosen dan Staf Universitas Muhammadiyah Makassar khususnya Dosen Ilmu Administarasi Negara yang telah mendidik, memberikan ilmu pegetahuan selama dalam proses perkuliahan.

6. Ibu Hj. Norma Sinring, S.Pd Kepala Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian dan seluruh warga yang ada di Desa Cenrana tersebut atas bantuan dan kerja samanya selama mengadakan penelitian.

7. Rekan-rekan mahasiswa Ilmu Administrasi Negara “Angkatan 2012” yang tidak sempat disebutkan namanya satu persatu terima kasih atas dorongan serta kekompakan selama menjalani perkuliahan.

8. Kakak-kakakku tercinta Sutarni dan Syamsu Alam yang senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materil.

(9)

vii

(10)

viii DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ... . i

Halaman Penerimaan………. ii

Halaman Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ... iii

Abstrak ………. iv

Kata Pengantar………. v

Daftar Isi... viii

Daftar Tabel... x

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Hubungan Kerja ... 8

B. Konsep Desa ... 11

C. Konsep Pemerintah Desa ... 14

D. Konsep Peraturan Desa ... 24

E. Kerangka Pikir ... 29

F. Fokus Penelitian ... 31

G. Deskripsi Fokus Penelitian ... 32

BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan lokasi penelitian ... 36

B. Jenis dan tipe penelitian ... 36

C. Sumber Data... 37

D. Informan Penelitian ... 37

E. Teknik Pengumpulan Data ... 38

F. Teknik Analisis Data ... 39

(11)

ix

G. Pengabsahan Data ... 40

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Obyek Penelitian ... 42

B. Hubungan Kerja BPD dan Kepala Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone ... 45

C. Faktor-Faktor yang Menghambat dan Mendukung Penyusunan Peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone ... 61

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA………... 70

RIWAYAT HIDUP………. 72

LAMPIRAN……… 73

(12)

x

DAFTAR TABEL

No. Tabel Nama Tabel Halaman

3. 1 Tabel Informan 3

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pemerintah desa sebagai ujung tombak dalam sistem pemerintahan daerah akan berhubungan dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Karena itu, sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat didukung dan ditentukan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah. Struktur kelembagaan dan mekanisme kerja di semua tingkatan pemerintah, khususnya pemerintahan desa harus diarahkan untuk dapat menciptakan pemerintahan yang peka terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Masyarakat pedesaan di Indonesia tergolong masyarakat yang sangat jauh tertinggal, hal ini disebabkan keberadaan wilayah yang jauh dari pusat pembangunan Nasional.

Bahkan hampir tidak tersentuh oleh pembangunan Nasional. Beberapa metode dan pendekatan telah dikembangkan untuk memahami masalah dan membantu merumuskan kebijakan guna memecahkan masalah pembangunan pedesaan.

Sejak tahun 1970an para pakar banyak yang memanfaatkan metode, pendekatan, dan logika berpikir survei verifikatif dalam meriset masalah sosial masyarakat pedesaan.

Masyarakat desa adalah komunitas yang tinggal di dalam satu daerah yang sama, yang bersatu dan bersama-sama, memiliki ikatan yang kuat dan sangat mempengaruhi satu sama lain. Hal ini dikarenakan pada masyarakat desa tradisi itu masih sangat kuat dan kental. Bahkan terkadang tradisi ini juga sangat

(14)

mempengaruhi perkembangan Desa, karena terlalu tinggi menjunjung kepercayaan nenek moyang mengakibatkan sulitnya untuk melakukan pembaharuan desa. Di sisi lain banyak hal yang mengakibatkan sebuah desa sulit untuk mengalami pembaharuan, antara lain isolasi wilayah, yaitu Desa yang wilayahnya berada jauh dari pusat ekonomi daerah, Desa yang mengalami ketertinggalan di bidang pembangunan jalan dan sarana-sarana lainnya, sulitnya akses dari luar, bahkan desa yang mengalami kemiskinan dan keminiman tingkat pendidikan. Pada umumnya masyarakat Desa diidentikkan dengan masyarakat petani, ini dikarenakan masyarakat pedesaan dominan bermata pencaharian dari hasil pertanian yang merupakan petani-petani miskin yang mata pencahariannya di bawah garis kemiskinan. Hal ini menunjukkan kesenjangan yang sangat jauh dari masyarakat perkotaan.

Sebagaimana dalam pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntunan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia atau UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia atau UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, antara lain terdapat dalam pasal 9 yang menyatakan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Adapun urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.

(15)

Sedangkan urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.

Konsekuensi implementasi otonomi daerah salah satu perubahan yang fundamental adalah terjadinya pergeseran struktur politik pemerintahan desa yang jauh berbeda dibanding sebelumnya. Angin segar yang dibawa arus reformasi adalah lahirnya pelembagaan politik di tingkat desa yang diharapkan memberikan dinamika dan suasana politik yang lebih demokratis, otonom, independen dan sekaligus prospektif dalam pembangunan masyarakat desa.

Pengaturan mengenai desa dalam undang-undang ini meliputi peraturan tentang:

1. Pembentukan, penghapusan dan pembangunan Desa 2. Pemerintahan Desa

3. Badan Permusyawaratan Desa 4. Keuangan Desa

5. Kerjasama antar Desa

Maka yang utama dari undang-undang ini bagi Desa adalah kedudukan desa yang tidak lagi dibawahi kecamatan. Desa adalah entitas politik yang otonom. Fungsi kecamatan dalam konteks ini adalah sekedar menjalankan fungsi administratif dan koordinasi di wilayah kecamatan, sesuai dengan status kecamatan yang tidak lagi merupakan sebuah wilayah kekuasaan melainkan sebagai perpanjangan tangan dari kabupaten. Untuk memperkuat dasar-dasar operasional pelaksanaan pemerintahan desa, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2006 tentang pedoman Umum

(16)

Pengaturan Mengenai Desa. Peraturan pemerintah ini melengkapi peraturan sebelumnya dengan menegaskan kewenangan desa.

Hal yang menarik sekali dan penting dalam struktur baru pemerintahan desa adalah hadirnya Badan Permusyawaratan Desa karena BPD berfungsi menetapkan peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat sehingga berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Desa. Kehadiran BPD di tingkat desa, hendaknya diarahkan pada membangun hubungan yang sinergis antar lembaga legislatif dan eksekutif desa, tanpa perlu menimbulkan kesalahpahaman yang menjurus pada timbulnya konflik yang dapat mengganggu proses penegakan demokrasi di desa.

Terbentuknya BPD bertujuan mendorong terciptanya partnership yang harmonis serta tidak konfrontatif antara kepala desa sebagai kepala pemerintah desa dan BPD sebagai wakil-wakil rakyat desa.

Lahirnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone merupakan konsekuensi dari implementasi otonomi daerah. Lembaga legislatif desa bukan lembaga baru tetapi sudah lama dalam kehidupan demokrasi di tingkat desa, seharusnya memiliki tanggung jawab penuh untuk menjalankan peranan atau fungsinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap lembaga, termasuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone akan seoptimal mungkin melaksanakan peran atau fungsinya secara baik, namun semua itu harus dipersiapkan secara matang dan terencana. Disamping hubungan antara BPD

(17)

dengan Pemerintah Desa dalam menyusun peraturan desa, terdapat juga berbagai faktor yang sangat erat kaitannya dalam penyusunan suatu peraturan desa.

Namun pokok permasalahan dalam hubungan BPD dan Kepala Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone dalam perumusan peraturan desa yang sering terjadi adalah Kepala Desa dan BPD kurangnya koordinasi dan solidaritas pada tahap formulasi kebijakan sehingga mengakibatkan hasil dari kebijakan yang berupa peraturan desa itu tidak dapat mencapai hasil yang optimal sesuai yang diharapkan masyarakat yaitu perumusan kebijakan yang partisipatif, transparansi dan responsif. Kurangnya koordinasi dan solidaritas kedua lembaga inipun membuat perumusan kebijakan tidak berjalan secara efektif dan efesien.

Praktek-praktek hubungan kerja yang kurang harmonis dan menunjukkan kecenderungan terjadinya dominasi BPD dan juga Kepala Desa tanpa harus melibatkan berbagai “stakeholder”. Disisi lain, ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai fungsi dan kewenangan BPD juga telah memberikan peluang terjadinya over capacity dari anggota BPD. Artinya kedua instrument, BPD dan Kepala Desa kurang memahami Tupoksinya masing-masing. Misalnya dalam proses-proses perencanaan dan penyusunan serta penetapan / pengesahan Peraturan Desa tentang RPJMDes, Peraturan Desa tentang Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan, Pelaksanaan Peraturan, Peraturan Desa tentang Keuangan Desa, dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan itu, pelaksanaan fungsi pemerintah desa yang efektif mutlak diperlukan karenapemerintah desa merupakan lembaga yang memiliki peran dan potensi yang cukup besar dalam proses perumusan desa. Selain itu.

(18)

Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) seyogianya merupakan unsur pemerintah Desa yang harus bersama-sama dalam menetapkan,menyetujui dan merumuskan peraturan desa. Hal ini penulis sangat tertarik untuk menggambarkan secara maksimal bagaimana hubungan kerja Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam penyusunan Peraturan Desa serta faktor-faktor apa saja yang menghambat dan mendukung penyusunan peraturan desa agar terwujudnya demokratisasi serta semakin baiknya pelayanan terhadap masyarakat di desa sebagai mana yang dicita-citakan dalam otonomi daerah.

Bertolak dari latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Kerja Pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) Dalam Penyusunan Peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana hubungan kerja pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dalam penyusunan Peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone?

2. Faktor-faktor apa yang menghambat dan mendukung penyusunan peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

(19)

1. Untuk mengetahui hubungan kerja pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dalam penyusunan Peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat dan mendukung penyusunan peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan teoritis, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmuwan dalam mengkaji masalah, khususnya penambahan pengetahuan tentang hubungan kerja pemerintahan Desa dan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dalam penyusunan peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone serta dapat menjadi bahan referensi bagai peneliti lain yang meneliti permasalahan yang sama dilain waktu.

2. Kegunaan praktis, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi pemerintahan Desa dan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dalam penyususnan peraturan Desa, khususnya Pemerintah Desa di desa

Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone.

(20)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Hubungan Kerja

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upaya dan pemerintah.

Utomo (2014), menyatakan hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengingatkan diri untuk memperkerjakan buruh itu dengan membayar upah pada pihak lainnya.

Menurut Widodo dan Judiantoro (1992:10), Hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.

Selanjutnya Aloewir (1996:32), mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu.

Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai :

1. Pembuatan Perjanjian Kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja)

(21)

2. Kewajiban Pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan tersebut)

3. Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak dari si pekerja atas upah)

4. Berakhirnya Hubungan Kerja

5. Cara Penyelesaian Perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Hubungan kerja dalam pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UUK, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan tenaga kerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam pengertian lain hubungan kerja adalah merupakan hubungan yang timbul antara pekerja dengan pengusaha setelah diadakan perjanjian sebelumnya oleh pihak yang bersangkutan. Pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja kepada pengusaha dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha menyatakan kesanggupan untuk memperkerjakan pengusaha dengan membayar upah. Dengan demikian terjadi hubungan yang saling membutuhkan antara pekerja dan pengusaha yang merupakan hasil dari perjanjian kerja yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa terdapat 3 unsur penentu adanya hubungan kerja, yaitu :

1. Pekerjaan, di dalam hubungan kerja harus ada pekerjaan tertentu sesuai perjanjian, karena dengan adanya pekerjaan suatu hubungan dinamakan hubungan kerja.

(22)

2. Upah, hak dan kewajiban tidak dapat dilepaskan dari hubungan kerja dan harus dilaksanakan secara berimbang di antara kedua belah pihak. Dalam hubungan kerja pengusaha berkewajiban memberikan upah kepada pekerja dan secara otomatis pekerja berhak atas upah tersebut, karena upah merupakan salah satu unsur pokok yang menandai adanya hubungan kerja.

3. Perintah, di dalam hubungan kerja unsur perintah juga merupakan salah satu unsur pokok. Adanya unsur perintah menunjukkan bahwa salah satu pihak untuk memberikan perintah dan pihak yang lain berkewajiban melaksanakan perintah tersebut.

Dapat diketahui bahwa yang menjadi faktor utama dalam hubungan kerja adalah adanya pekerjaan, upah dan perintah serta perjanjian. Hubungan kerja tidak lepas dari adanya perjanjian antara pengusaha dan pekerja/buruh karena perjanjian inilah yang mengikat antara pengusaha dan pekerja dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. Perjanjian ini dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan (pasal 51 ayat (1) UUK), dalam pasal 1 angka 14 UUK dijelaskan perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.

Jadi yang menjadi titik ukur dalam hubungan kerja adalah adanya perjanjian yang saling mengikat/saling merelakan antar hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja untuk saling menerima dan pemenuhan hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Bagi perjanjian kerja tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan, dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau

(23)

secara tertulis, yaitu surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belak pihak.

Undang-undang hanya menetapkan bahwa jika perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya tambahan lainnya harus dipikul oleh pengusaha.

Apalagi perjanjian yang diadakan secara lisan, perjanjian yang dibuat tertulispun biasanya diadakan dengan singkat sekali, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Beberapa pendapat tentang definisi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Pengertian hubungan kerja yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.

Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Di samping itu hubungan kerja dapat diartikan sebagi hubungan yang terjadi antara bagian-bagian atau individu-individu baik antara mereka di dalam organisasi sebagai akibat penyelenggaraan tugas dan fungsi masing-masing dalam mencapai sasaran dan tujuan organisasi tersebut.

B. Konsep Desa

Menurut UU No. 22 Tahun 1999 Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan

(24)

masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas- batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, ditentukan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berbeda dengan Kota, Desa merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk rendah, bermata pencaharian di bidang agraris, memiliki bangunan tempat tinggal yang terpencar-pencar, penduduk yang memiliki hubungan sosial yang sangat tinggi serta bersifat homogen (Sapari Imam Asy’ari, 1993: 67).

Ada beberapa faktor yang mendasari masyarakat desa antara lain adalah

“Hubungan kekerabatan yang sangat erat”. Setiap orang dalam persekutuan suatu desa akan membentuk kekuatan dengan kekerabatan atau persaudaraan.

Hubungan yang mereka jalin merupakan jaringan yang sangat erat bagaikan

(25)

semua sendi kehidupan. Kekuatan itulah yang menilai suatu perbuatan.

Penghormatan terhadap garis keturunan atau nenek moyang merupakan patron atau pola tingkah laku. “Hubungan yang tinggal berdekatan”(Sapari Imam Asy’ari, 1993: 67).

Rasa keterikatan kepada wilayah menjadi pangkal penilaian utama atas hubungan-hubungan dengan sesama. Tata hubungan diatur sangat tajam oleh warga asli. Hal inilah yang mendasari keterikatan dan kesetiaan kepada orang- orang yang terdekat dengannya. “Memiliki tujuan khusus”. Prinsip ini nampak dengan adanya kekuasaan tertentu yang menata tingkah laku persekutuan berdasarkan nilai keahlian atau keterampilan khusus. Serta yang terakhir adalah “Prinsip ikatan dari atas”. Pada prinsip ini tertanam sikap saling menghargai atasan dan rasa ketergantungan kepada atasan. Apa yang datang dari atas merupakan sesuatu yang harus ditaati. Untuk memenuhi kehidupannya secara bersama-sama maka masyarakat menempati suatu wilayah tertentu secara menetap. Hal tersebut didasari atas pemenuhan kebutuhan untuk hidup, mempertahankan dirinya dan mencapai kemajuan dalam hidupnya, maka terbentuklah beberapa desa antara lain Desa pertanian dan Desa Pelayaran atau perikanan (Sapari Imam Asy’ari, 1993: 68).

Desa pertanian muncul karena masyarakat tersebut membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan pertanian ini sebagai ladang mata pencaharian mereka. Mereka akan membentuk suatu komunitas dan bersama-sama menjaga lahan mereka dari ancaman luar seperti binatang buas. Semakin subur lahan tersebut, maka semakin ramai yang menempatinya. Desa perikanan pastinya

(26)

terletak di daerah pantai atau dekat sungai dan didirikan oleh para nelayan karena di sekitar mereka banyak terdapat hasil alam lautan seperti ikan, udang untuk di perjualbelikan (Sapari Imam Asy’ari, 1993: 69).

Desa merupakan tempat tinggal penduduk yang relatif sederhana dan hubungan antara anggota masyarakatnya intim dengan ciri kekerabatan, persaudaraan atau gotong-royong uang masih sangat kental. Desa di Indonesia dibagi menjadi Desa pantai yang sangat tergantung pada pantai atau pesisirnya, Desa-desa dataran rendah yang relatif lebih leluasa mengatur pola ruang desa atau teritorinya, Desa pegunungan yang sangat tergantung pada keadaan alaminya serta ditandai dengan rumah yang bersaf-saf secara hirarkis, di celah- celah perbukitan atau lembah pergunungan serta di kanan kiri sungai, Desa-desa perkotaan yang sudah memenuhi syarat perkotaan serta Desa pedalaman yang merupakan daerah terisolir serta jauh dari perdesaan (Sapari Imam Asy’ari, 1993:70).

C. Konsep Pemerintah Desa

Sejak tahun 1906 hingga 1 Desember 1979, Pemerintah Desa di Indonesia diatur oleh Undang-Undang yang dibuat oleh penjajah Belanda. Sebenarnya pada tahun 1965 sudah ada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1965 tentang Desa Praja yang menggantikan perundang-undangan yang dibuat oleh Belanda yang disebut Inlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO) dan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB). Tetapi dengan keluarnya Undang-Undang nomor 6 Tahun 1969 yang menyatakan tidak berlaku lagi dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 dalam prakteknya tidak

(27)

berlaku walaupun secara yuridis Undang-Undang tersebut masih berlaku hingga terbentuknya Undang-Undang yang baru yang mengatur tentang Pemerintah Desa (HAW. Widjaja, 2002: 57).

Keadaan pemerintahan desa sekarang ini adalah sebagai warisan dari undang-undang lama yang pernah ada untuk mengatur desa, yaitu IGO yang berlaku di Jawa dan Madura. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak mengatur pemerintahan desa secara beragam dan kurang memberikan dorongan kepada masyarakatnya untuk tumbuh ke arah kemajuan yang dinamis (HAW.

Widjaya, 2010: 73).

Masyarakat desa tidak dapat memberdayakan dirinya dan bahkan semakin lama semakin lemah dan tidak berdaya. Keadaan seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Roda berputar, zaman berubah, orde baru berlalu, era reformasi bergulir, aspirasi masyarakat pun mengalir. Untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik dan dilandasi demokrasi, perlu disusun dan diatur kembali kehidupan tata pemerintahan daerah/desa sesuai dengan tuntutan zaman dan aspirasi masyarakat. Untuk itu, perlu ditinjau ulang kelebihan dan kelemahan terhadap undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah/desa selama ini yang sesuai dengan tuntutan reformasi (HAW. Widjaya, 2010: 75).

Pemerintah desa terdiri kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa bertugas membantu kinerja kepala desa dalam melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi pemerintah desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Tugas utama yang harus diemban pemerintah desa adalah bagaimana menciptakan kehidupan demokratik, memberikan pelayanan

(28)

sosial yang baik sehingga membawa masyarakatnya pada kehidupan yang sejahtera, rasa tenteram, dan berkeadilan. Pemerintah desa dituntut untuk lebih memahami apa yang menjadi kebutuhan dari warganya yang terdiri dari berbagai lapisan. Artinya, bahwa pemerintah dalam pemerintahannya dan dalam pembuatan kebijakan, dituntut untuk melibatkan seluruh unsur masyarakat untuk mengetahui secara langsung sejauh mana, seperti apa kondisi dan apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan masyarakatnya. Itu juga berarti bahwa tata pemerintahan dan proses pembuatan kebijakan dan kebijakan yang dihasilkan menyangkut masalah bersama harus dapat diakses serta mampu dipertanggungjawabkan kepada publik (Ridwan Nasrulloh, 2008: 3-4).

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan Daerah, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian desa dari sudut pandang sosial budaya dapat diartikan sebagai komunitas dalam kesatuan geografis tertentu dan antar mereka saling mengenal dengan baik dengan corak kehidupan yang relative homogen dan banyak bergantung secara langsung dengan alam. Oleh karena itu, desa diasosiasikan sebagai masyarakat yang hidup secara sederhana pada sektor agraris, mempunyai ikatan sosial, adat

(29)

dan tradisi yang kuat, bersahaja, serta tingkat pendidikan yang rendah (Juliantara:18).

Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya. Sedangkan yang dimaksud Pemerintahan Desa adalah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Badan Perwakilan Desa adalah lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa dan keputusan kepala Desa. BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah desa. Sementara kedudukan Sekretaris Desa menjadi sangat penting dalam membantu pelaksanaan tugas Kepala Desa.

Pemerintahan desa sebagai sub sistem pemerintah nasional memiliki peranan yang signifikan dalam pengelolaan proses sosial didalam masyarakat.

Tugas utama yang harus diemban pemerintahan desa adalah bagaimana cara menciptakan kehidupan demokratik, memberikan pelayanan sosial yag baik sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan dan sejahtera, rasa tentram dan berkeadilan (AAGN Dwipayana dkk, 2003 : 33)

1. Kepala Desa

Kepala Desa merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan Kepala Desa adalah 5 tahun, dan dapat diperpanjang lagi untuk satu kali masa jabatan. Kepala Desa juga memiliki wewenang menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD.

(30)

Kepala Desa adalah pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain yang dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa, demikian yang disebut dalam pasal 1 angka 3 Undan-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Jadi Desa adalah penyelenggara Pemerintahan Desa (pasal 23 dan pasal 25 UU Desa).

Adapun tugas Kepala Desa disebut dalam Pasal 26 ayat (1) UU Desa yaitu :

a. Menyelenggarakan Pemerintahan Desa;

b. Melaksanakan pembangunan Desa;

c. Pembinaan kemasyarakatan Desa; dan d. Pemberdayaan masyarakat Desa.

Kepala Desa dipilih langsung melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) oleh penduduk desa setempat. Syarat-syarat menjadi calon Kepala Desa sesuai Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 sbb:

a) Bertakwa kepada Tuhan YME

b) Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 dan kepada NKRI, serta Pemerintah

c) Berpendidikan paling rendah SLTP atau sederajat d) Berusia paling rendah 25 tahun

e) Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa f) Penduduk desa setempat

g) Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 tahun

(31)

h) Tidak dicabut hak pilihnya

i) Belum pernah menjabat Kepala Desa paling lama 10 tahun atau 2 kali masa jabatan

j) Memenuhi syarat lain yang diatur Perda Kab/Kota 2. Perangkat Desa

Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia maka salah satu elemen yang tidak dapat dilupakan karena sangat berperan dalam melayani masyarakat desa adalah Perangkat desa. Perangkat desa adalah unsur staf yang melaksanakan tugas teknis pelayanan dan membantu Kepala desa sebagai unsur wilayah yang jumlah dan sebutannya sesuai kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Perangkat desa yang melaksanakan tugas teknis pelayanan administrasi adalah Sekretaris Desa dan Kepala Urusan. Sedangkan perangkat desa yang bertugas memimpin suatu wilayah adalah Kepala Dusun.

Sebagai aparat desa baik Sekretaris Desa, Kepala Urusan maupun Kepala Dusun berasal dari desa yang bersangkutan dan diangkat setelah memenuhi persyaratan serta bertanggung jawab kepada Kepala Desa (Umar Nain, 2012: 1).

Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa Lainnya. Salah satu perangkat desa adalah Sekretaris Desa, yang diisi dari Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris Desa diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota (Anonim, 2010: 5).

Perangkat Desa lainnya diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. perangkat desa juga

(32)

mempunyai tugas untuk mengayomi kepentingan masyarakatnya (Anonim, 2010: 3).

Keberadaan perangkat desa sebetulnya lebih banyak miripnya dengan Pegawai Negeri Sipil. Mereka dituntut untuk memberikan pelayanan dengan baik, disiplin, loyal kepada atasan dan bersikap netral dalam setiap pemilihan langsung di desanya seperti Pemilihan Presiden, Pemilihan Legislatif, Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Pemilihan Kepala Desa. Loyalitas kepada atasan ditunjukkan dengan sikap patuh kepada atasan dalam melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku. Netralitas dimaksudkan agar perangkat desa tidak memihak kepada salah satu calon atau kandidat tertentu, namun mereka tidak kehilangan hak pilihnya sebagai warga negara. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemilihan langsung yang berada di desa maka untuk menjaga netralitas idealnya perangkat desa tidak terlibat politik praktis tetapi fungsi dan peranannya hanya memberikan pelayanan kepada masyarakat (Umar Nain, 2012: 3-4).

3. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan perubahan nama dari Badan Perwakilan Desa yang ada selama ini. Perubahan ini didasarkan pada kondisi faktual bahwa budaya politik lokal yang berbasis pada filosofi

“musyawarah untuk mufakat”. Musyawarah berbicara tentang proses, sedangkan mufakat berbicara tentang hasil. Hasil yang diharapkan diperoleh dari proses yang baik. Melalui musyawarah untuk mufakat, berbagai konflik antara para elit politik dapat segera diselesaikan secara arif, sehingga tidak

(33)

sampai menimbulkan goncangan-goncangan yang merugikan masyarakat luas (Melisa Fitra, 2009: 27).

Kehadiran Badan Permusyarawatan Desa (BPD) telah memberikan harapan dengan keberlangsungan demokrasi desa. Badan Permusyarawatan Desa (BPD) berperan bukan sebagai tangan panjang dari pemerintah, tetapi lebih merupakan tangan panjang dari masyarakat sekaligus perantara antara masyarakat dengan pemerintah desa. Demi menjamin terwujudnya suatu pemerintahan desa yang demokratis, lebih baik, dan berpihak pada masyarakat, perlu adanya check and balance dalam pelaksanaan pemerintahan. Masing- masing lembaga harus mempunyai fungsi yang jelas dan lebih independen.

Seluruh proses baik perumusan sampai pada pelaksanaan kebijakan dan pemerintahan harus dilakukan secara transparan untuk diketahui publik sehingga mudah dalam melakukan pengawasan. BPD-lah yang mempunyai peranan penting dalam menjaga akuntabilitas dan keseimbangan kewenangan di tingkatan pemerintahan desa (Ridwan Nasrulloh, 2008: 3-4).

a. Adapun fungsi Badan Permusyarawatan Desa (BPD) yang berkaitan dengan Kepala Desa yaitu (pasal 55 UU Desa) :

1. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;

2. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa;

3. Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

b. Badan Permusyarawatan Desa (BPD) mempunyai tugas dan wewenang : 1. Membahas rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;

(34)

2. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa;

3. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa;

4. Membentuk Panitia Pemilihan Kepala Desa;

5. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat;

6. Memberi persetujuan pemberhentian/pemberhentian sementara Perangkat Desa;

7. Menyusun tata tertib BPD;

c. Badan Permusyarawatan Desa (BPD) berhak :

1. Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;

2. Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;

3. Mendapat biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran pendapatan dan Belanja Desa.

d. Anggota Badan Permusyarawatan Desa (BPD) mempunyai hak:

1. Mengajukan rancangan Peraturan Desa;

2. Mengajukan pertanyaan;

3. Menyampaikan usul dan pendapat;

4. Memilih dan dipilih; dan 5. Memperoleh tunjangan

(35)

e. Keanggotaan:

1. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk Desa yang bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapakan dengan cara musyawarah dan mufakat;

2. Anggota BPD terdiri dari ketua RT/RW, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat;

3. Anggota BPD setiap Desa berjumlah gasal dengan jumlah sesuai ketentuan yang berlaku;

f. Syarat untuk menjadi Calon anggota Badan Permusyarawatan Desa (BPD) adalah:

1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

2. Setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta Pemerintah Republik Indonesia;

3. Berijazah paling rendah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;

4. Berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun;

5. Sehat jasmani dan rohani;

6. Berkelakuan baik;

7. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan ancaman paling sedikit 5 (lima) tahun;

8. Mengenal Desanya dan dan dikenal masyarakat di Desa setempat;

9. Terdaftar secara sah sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa yang bersangkutan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan berturut- turut dan tidak terputus.

(36)

D. Konsep Peraturan Desa

Pembangunan yang semakin luas di daerah telah menciptakan wilayah- wilayah perkotaan, yang pada gilirannya menciptakan tuntutan yang semakin kompleks. Semakin besar hambatan, semakin tidak dapat dihindarkan masalah sosial yang timbul di wilayah-wilayah tersebut, seperti masalah kriminalitas, pemukiman kumuh, persediaan air yang tidak mencukupi, fasilitas kebersihan yang terbatas, persekolahan yang tidak memuaskan, pengangguran, dan lain-lain.

Hal ini tentunya membutuhkan penanganan yang serius dengan melibatkan unsur lembaga yang mampu menciptakan keteraturan. Pemerintah Daerah dengan berbagai produk peraturannya dipandang penting peranannya untuk mengatasi permasalahan yang kompleks, sebab jangkauan dan kemampuan Pemerintah Pusat terlalu jauh untuk menangani masalah-masalah ini (Sarundajang, 2011:

23).

Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sarat dengan muatan otonom daerah dan nuansa pemberdayaan masyarakat memberikan arah baru dalam mereformasi semua kebijakan, pada bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hukum. Hal ini menyebabkan terdapat beberapa produk hukum yang perlu dicabut, ditinjau dan disempurnakan dengan kondisi yang berkembang, termasuk di dalamnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan desa (HAW. Widjaya, 2010: 82).

Dalam rangka untuk meningkatkan kelancaran dalam penyelenggaraan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan perkembangan dan tuntutan reformasi serta dalam rangka mengimplementasikan

(37)

pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 63 Tahun 1999 tentang Pencabutan Beberapa Peraturan Menteri Dalam Negeri mengenai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, hal-hal yang berkaitan dengan peraturan desa perlu ditinjau kembali untuk disesuaikan.

Selanjutnya yang dimaksud dengan Peraturan Desa adalah semua peraturan desa yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dimusyawarahkan dan telah mendapatkan persetujuan Badan perwakilan Desa (HAW. Widjaya, 2010: 83).

Kedudukan Perdes dalam hukum perundang-undangan dan kemudian dikaitkan kedudukan pembentuknya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, hierarki Perdes berada di bawah satu level dari Perda Kabupaten/Kota (Ateng Syafruddin, dkk, 2010: 75).

Jadi dapat disimpulkan bahwa kedudukan peraturan Desa dalam hukum perundang-undangan kemudian dikaitkan kedudukan pembentukannya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, dengan melalui peraturan desa yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dimusyawarahkan dan telah mendapatkan persetujuan Badan permusyarawatan Desa (BPD).

Ateng Syafruddin, dkk (2010: 77) mengemukakan bahwa fungsi Peraturan Desa adalah sebagai berikut:

1) Melaksanakan pengaturan mengenai kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa. Tentang hak asal usul desa merupakan hak dan kewenangan desar secara historis, seperti hak atas tanah “bengkok”, hak atas kebun desa, dan lain-lain.

(38)

2) Melaksanakan pengaturan mengenai kewenangan yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan diatasnya sebagai urusan desa.

3) Melaksanakan pengaturan tentang tata cara teknis penyelenggaraan tugas pembantuan (medebewind)

Dalam hal evaluasi terhadap Perdes (termasuk Perdes tentang APBDes) sangat bergantung kepada ada ataupun tidaknya Perda yang mengatur tentang Tata Cara Pembuatan Perdes. Karena biasanya dalam Perda tentang Tata Cara Pembuatan Perdes diatur pula tentang evaluasi terhadap Perdes (termasuk Perdes tentang APBDes), paling tidak bertolak dari 2 (dua) hal utama, yaitu: Pertama, secara formal berkenaan dengan jabatan ataupun pejabat yang berwenang membentuk dan tata cara pembentukannya. Dalam hal ini, Perdes dibentuk ataupun dibuat oleh Kepala desa bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Sedangkan tata cara pembentukannya berkaitan dengan mekanisme ataupun prosedur pembahasan dan penetapannya yang memerlukan kebersamaan antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa. Kedua, berkenaan dengan substansi ataupun materi muatan yang seharusnya diatur dalam Perdes. Dalam hal ini yang boleh diatur dalam Perdes adalah apa yang menjadi kewenangan desa (I Gde Pantja Astawa, 2009: 332).

Berdasarkan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah, Desa atau yang disebut dengan nama lain diberi kewenangan untuk mengatur dan mengur-us kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(39)

Dalam rangka pengaturan kepentingan masyarakat, maka guna me- ningkatkan kelancaran dalam penyelenggaraan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan perkembangan dan tuntutan reformasi serta dalam rangka mengimplementasikan pelaksanaan UU No. 32 Th.

2004, ditetapkanlah Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa, dengan demikian maka Peraturan Desa harus merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta harus memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat, dalam upaya mencapai tujuan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat jangka panjang, menengah dan jangka pendek.

Peraturan Desa dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (Pasal 2 Permendagri NO 29 Tahun 2006), meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. Kejelasan rumusan, dan g. Keterbukaan.

Peraturan Desa merupakan penjabaran lebih lanjut dalam rangka pe-

(40)

laksanaan UU No. 32 Th. 2004 dan PP No. 72 Th. 2005, Peraturan Desa yang wajib dibentuk berdasarkan PP No. 72 Th. 2005 adalah sebagai berikut

1. Peraturan Desa tentang Pembentukan Dusun (atau sebutan lain) (Pasal3);

2. Peraturan Desa tentang susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa (Pasal 12 ayat (5));

3. Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 73 ayat (3));

4. Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD) (Pasal 64 ayat (2));

5. Peraturan Desa tentang Pengelolaan Keuangan Desa (Pasal 76);

6. Peraturan Desa tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Desa (Pasal 78 ayat (2)), apabila Pemerintah Desa membentuk BUMD;

7. Peraturan Desa tentang Pembentukan Badan Kerja Sama (Pasa182 ayat (2));

8. Peraturan Desa tentang Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan (Pasal 89 ayat (2)).

Selain Peraturan Desa yang wajib dibentuk seperti tersebut di atas, Pemerintahan Desa juga dapat membentuk Peraturan Desa yang merupakan pe- laksariaan lebih lanjut dari Peraturan Daerah dan peraturan perundangundangan lainnya yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat, antara lain.

Peraturan Desa tentang Pembentukan panitia pencalonan, dan pemilihan Kepala Desa;

1. Peraturan Desa tentang Pembentukan panitia pencalonan, dan pemilihan

(41)

Kepala Desa;

2. Peraturan Desa tentang Penetapan yang berhak menggunakan hak pilih dalam pemilihan Kepala Desa;

3. Peraturan Desa tentang Penentuan tanda gambar calon, pelaksanaan kampanye, cara pemilihan dan biaya pelaksanaan pemilihan Kepala Desa;

4. Peraturan Desa tentang Pemberian penghargaan kepada mantan kepala desa dan perangkat desa;

5. Peraturan Desa tentang Penetapan pengelolaan dan pengaturan pelimpahan/pengalihan fungsi sumber-sumber pendapatan dan kekayaan desa;

6. Peraturan Desa tentang Pungutan desa;

Jadi Peraturan desa merupakan produk hukum yang bersifat mengatur dan mengikat serta harus di taati demi menciptakan rasa aman/ tertib, teratur dan merupakan ukuran, kaidah dan kontrol sosial masyarakat. Kaitannya dengan peraturan desa yang bersifat mengikat maka perumusan peraturan desa dilakukan secara partisipatif melibatkan seluruh stakeholders maupun unsur dari masyarakat supaya substansi dari peraturan desa tidak bertentangan dengan nilai- nilai sosial budaya dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat sehingga tidak ada yang saling dirugikan. Selain itu peraturan desa juga merupakan landasan dan pedoman penyelenggaran pemerintahan desa.

E. Kerangka Fikir

Sebagaimana dalam UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa

(42)

bersama Badan Permusyarawatan Desa. Peraturan ini berlaku di wilayah desa tertentu. Peraturan Desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat. Perturan Desa dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Peraturan Desa.

Hubungan kerja Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dan Kepala Desa, Kepala desa adalah pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain yang dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa, demikian yang disebut dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jadi desa adalah penyelenggara pemerintahan desa (Pasal 23 dan Pasal 25 UU Desa). Adapun tugas kepala desa dalam pasal 26 ayat (1) UU Desa yaitu menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Sedangkan BPD, yakni lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis, demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 4 UU Desa.

Membahas dan menyepakati bersama peraturan Desa (Pasal 1 angka 7 UU Desa), peraturan Desa yaitu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh BPD bersama kepala Desa. Membahas bersama pengelolaan kekayaan milik

(43)

Desa (Pasal 77 ayat (3) UU Desa), menjadi hal yang penting demi keberhasilan penyusunan Peraturan Desa.

Adapun kerangka pikir dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir F. Fokus Penelitian

Berdasarkan judul dan teori yang digunakan, dengan demikian yang menjadi fokus penelitian adalah Hubungan Kerja Pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dalam Penyusunan Peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone.

Faktor Penghambat 1. Minimnya

pendapatan/insentif 2. Fasilitas operasional

yang kurang 3.

Hubungan Kerja Badan

Permusyarawatan Desa (BPD) dan Kepala Desa

Peraturan Desa yang

Baik 1. Membahas Ranperdes

2. Membahas dan Menyepakati bersama Peraturan Desa 3. Membahas bersama

Pengelolaan

Kekayaan Milik Desa

Faktor Pendukung 1. Pola Hubungan Kerja

Sama dengan Pemerintah Desa 2. Masyarakat

(44)

G. Deskripsi Fokus Penelitian

Deskripsi Fokus Penelitian ini adalah Hubungan Kerja Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dan Kepala Desa, dengan indikator sebagai berikut :

1. Hubungan kerja Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dan Kepala Desa Adapun hubungan keja Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dan Kepala Desa dalam penyusunan Peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone yaitu kerjasama antar Desa dilakukan sesuai kewenangannya untuk kepentingan Desa dan diatur dengan peraturan bersama yang dilakukan kepala Desa setelah mendapat persetujuan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dan dilaporkan kepada Bupati melalui Camat.

2. Membahas Ranperdes

Ranperdes diprakarsai oleh Pemerintah Desa dan dapat berasal dari usul inisiatif Badan Permusyarawatan Desa (BPD). Masyarakat berhak memberikan masukan baik secara tertulis maupun lisan terhadap Ranperdes, yang telah disetujui bersama oleh Kepala Desa dan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) disampaikan oleh pimpinan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) kepada Kepala Desa untuk ditetapkan menjadi Peraturan Desa.

3. Membahas dan menyepakati bersama peraturan desa

Peraturan Desa adalah peraturan Desa yang dibuat oleh Badan Permusyarawatan Desa (BPD) bersama kepala desa, keduanya harus menyepakati peraturan Desa demi keberhasilan penyusunan Peraturan Desa.

4. Membahas bersama pengelolaan kekayaan milik desa

(45)

Pengelolaan Kekayaan Desa di Desa Cenrana Kecamtan Kahu Kabupaten Bone pada khususnya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, karena belum adanya satu pedoman yang dapat digunakan.

Sebagai gambaran secara menyeluruh penerapan fungsi manajemen dalam pengelolaannya, pengelolaan kekayaan Desa selama ini hanya terbatas pada pencatatan saja.

5. Peraturan Desa merupakan produk hukum yang bersifat mengatur dan mengikat serta harus di taati demi menciptakan rasa aman/ tertib, teratur dan merupakan ukuran, kaidah dan kontrol sosial masyarakat. Tetapi perumusan peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone belum dilakukan secara partisipatif sehingga seluruh stakeholders maupun unsur dari masyarakat substansi dari peraturan desa tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat yang berlaku di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone.

6. a. Faktor penghambat yakni:

1. Minimnya pendapatan/insentif

Pemberian pendapatan/insentif dari pemerintah memacu kinerja BPD untuk menjadi lebih baik dan adanya insentif juga merupakan wujud penghargaan dan kepedulian pemerintah terhadap BPD. Tetapi anggota BPD di desa Cenrana Kecamatan kahu Kabupaten Bone insentif tersebut belum memadai serta insentif yang diberikan oleh pemerintah masih sangat minim sehingga terkadang membuat anggota BPD menomor duakan tugasnya dan mencari pekerjaan sampingan.

(46)

2. Fasilitas operasional yang kurang

Fasilitas operasional menjadi faktor berpengaruh demi terjaganya hubungan kerja antara Pemerintah Desa dengan BPD. Tetapi fasilitas operasional yang ada di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone kurang memadai sehingga dapat menyebabkan hubungan antara Pemerintah Desa dan BPD menjadi buruk, dan lebih mementingkan tinggal di rumah atau mengerjakan pekerjaan yang dekat dengan rumah mereka dibandingkan datang rapat bersama antara Pemerintah Desa dengan BPD.

b. Faktor Pendukung yakni:

1. Pola Hubungan Kerja Sama dengan pemerintah Desa

Salah satu faktor yang berpengaruh di dalam hubungan kerja BPD dan Kepala Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone yaitu pola hubungan kerja sama terciptanya hubungan yang harmonis antara BPD dengan Pemerintah Desa dengan senantiasa menghargai dan menghormati satu sama lain, serta adanya niat baik untuk saling membantu dan saling mengingatkan mendukung jalannya kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

2. Masyarakat

Masyarakat merupakan faktor penentu keberhasilan hubungan kerja Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dan Kepala Desa dalam penyusunan Peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamtan Kahu Kabupaten Bone. Kemauan dan semangat dari masyarakatlah yang menjadikan

(47)

segala keputusan dari Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dan Pemerintah Desa menjadi mudah untuk dilaksanakan.

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian berlangsung selama 2 bulan yakni pada tanggal 23 April s/d 23 Juni 2016. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone. Lokasi ini didasarkan atas pertimbangan karena di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone hubungan kerja pemerintah desa dan Badan Permusyarawatan Desa (BPD) dalam penyusunan peraturan desa belum terlaksana dengan baik karena peraturan desa tersebut tidak dapat mencapai hasil yang baik pula sesuai yang diharapkan masyarakat yaitu perumusan kebijakan yang partisipatif, transparansi, dan responsif. Kurangnya koordinasi dan solidaritas kedua lembaga inipun membuat perumusan kebijakan tidak berjalan secara efektif dan efisien.

B. Jenis dan Tipe Penelitian

1. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

“kualitatif” yang diarahkan memberikan gambaran tentang hubungan kerja pemerintah Desa dalam penyusunan peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone.

2. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tipe penilaian deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai masalah-masalah yang diteliti, menginterpretasikan, menganalisis serta menjelaskan data secara sistematis tentang hubungan kerja pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan desa (BPD) dalam

36

(49)

penyusunan peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone.

C. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah :

1. Data primer didapat melalui observasi dan wawancara berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu tentang hubungan kerja pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan desa (BPD) dalam penyusunan peraturan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone.

2. Data sekunder diperoleh dari jurnal-jurnal penelitian, literatur dan buku- buku kepustakaan yang ada hubungannya dengan penelitian ini untuk dijadikan sebagai landasan teori dalam mencari alternatif pemecahan yang dihadapi.

D. Informan Penelitian

Informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang yang diharapkan memberikan data secara obyektif, netral dan dapat dipertanggung jawabkan. Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu memilih informan yang dianggap mengetahui betul tentang hal-hal yang diteliti, sehingga dapat memberikan data yang akurat sesuai dengan tujuan peneliti. Sehubungan dengan itu, peneliti menetapkan masyarakat di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone sebagai subyek penelitian yaitu sepeti tabel dibawah ini :

(50)

TABEL INFORMAN

NO NAMA INISIAL JABATAN/STRATA KETERANGAN

1 2 3 4 5 6 7 8

Hj. Norma Sinring, S.Pd H.Arifuddin

Asiruddin Drs. Abd. Rauf Hairati, SE Dahlan

Drs. Abd. Rasyid Suherman

NS AF AN ARF

HR DL ARD

SN

Kepala Desa Sekretaris Desa Bendahara Desa Ketua BPD Sekretaris BPD RW

Kadus Jaramele Kadus Cenrana

1 Orang 1 Orang 1 Orang 1 Orang 1 Orang 1 Orang 1 Orang 1 Orang

Jumlah 8 Orang

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan teknik sebagai berikut :

1. Observasi (Pengamatan)

Melalui teknik ini penulis melakukan pengamatan secara langsung terhadap hubungan kerja Pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone yang ada dilapangan yang erat kaitannya dengan objek penelitian.

2. Wawancara

Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara tanya jawab langsung secara lisan dengan informan yang dianggap mengetahui atau memahami masalah yang diteliti tentang hubungan kerja

(51)

Pemerintah Desa dan Badan Permusyarawatan Desa di Desa Cenrana Kecamatan Kahu Kabupaten Bone.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menganalisis dokumen-dokumen baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah langkah selanjutnya untuk mengelola data di mana data yang diperoleh, dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menyimpulkan persoalan yang diajukan dalam menyusun hasil penelitian. Dalam model ini terdapat 3 (tiga) komponen pokok. Menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2012:92-99) ketiga komponen tersebut yaitu:

1. Reduksi data

Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan makin lama peneliti di lapangan, maka jumlah data akan makin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data.

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya serta membuang yang tidak perlu.

2. Penyajian Data

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya.

3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

(52)

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat, yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila data kesimpulan data yang dikemukakan pada tahap awal, didukung kembali oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

G. Pengabsahan Data

Salah satu cara yang digunakan oleh peneliti dalam pengujian kredibilitas data adalah dengan triangulasi. Menurut Sugiyono (2012:127) triangulasi tersebut terbagi atas 3 macam yaitu:

1. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang diperoleh melalui beberapa sumber dalam hal ini peneliti melakukan pengumpulan dan pengujian data yang telah diperoleh melalui hasil pengamatan, wawancara dan dokumen-dokumen yang ada. Kemudian peneliti membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara, dan membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang ada.

2. Triangulasi teknik

Triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Dalam hal ini data yang diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi dan dokumen.

(53)

Apabila dengan tiga teknik pengujian kredibilitas data tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data mana yang dianggap benar atau mungkin semuanya benar karena sudut pandangnya berbeda-beda.

3. Triangulasi waktu

Triangulasi waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel. Untuk itu dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda.

Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian datanya. Triangulasi dapat juga dilakukan dengan cara mengecek hasil penelitian, dari tim peneliti lain yang diberi tugas melakukan pengumpulan data.

(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi obyek penelitian

Desa Cenrana merupakan salah satu dari sembilang belas (19) desa yang ada di Kecamatan Kahu Kabupaten Bone. Desa Cenrana secara administratif terbagi menjadi 4 (empat) dusun yaitu Dusun Cenrana, Dusun Mattirowalie, Dusun Jaramele, dan Dusun Samarennu dengan luas wilayah 8.63 km2. Adapun batas-batas wilayah desa Cenrana adalah sebagai berikut:

1) Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Hulo

2) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Batu Lappa 3) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Biru

4) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Carima

Jarak dari desa Cenrana menuju ke ibu kota kecamatan yaitu ±3 km dengan waktu tempuh kurang lebih 7 menit, jarak ke ibu kota Kabupaten Bone yaitu ± 89 km dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam.

Penduduk merupakan unsur terpenting bagi desa yang meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat. Jumlah penduduk di Desa Cenrana sampai dengan akhir tahun 2015 berjumlah 2171 jiwa dengan jumlah laki-laki 1051 dan jumlah perempuan 1120 orang dengan 528 KK.

1. Visi Misi Desa Cenrana a. Visi

Terwujudnya Masyarakat Cenrana yang maju sejahtera dan religius

42

Referensi

Dokumen terkait

ى لع سورحم خيشلال

Telah dilakukan pengukuran energi partikel proton pada Siklotron BATAN dengan menggunakan metode aktivasi tumpukan keping tembaga, sebagai bagian dari pengujian hasil

Ditekan dalam penelitian kemasan, bahwa penggunaan illustrasi pada desain kemasan, diharapkan dapat membantu informasi yang disampaikan menjadi lebih mudah diserap

Berkat rahmat dan hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir dengan judul “Rancang Bangun Sistem E-Learning Program Studi Teknik Telekomunikasi Berbasis

PEKERJAAN : : PEMBANGUNAN PEMBANGUNAN JALAN JALAN LINGKAR LINGKAR P. MALUKU MALUKU BARAT BARAT DAYA

Berikut ini merupakan proses pengujian software yang meliputi: kemampuan software dalam menentukan posisi tangan manusia dan membedakannya dengan objek lainnya. Dari

Bahasa Indonesia Lahir Pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam Kongres pemuda yang dihadiri oleh aktivis dari berbagai daerah di Indonesia, bahasa Melayu diubah

X = jumlah obat total yang dieliminasi dari dalam tubuh. yang merupakan hasil perkalian antara