• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA BIDANG PENGADAAN BARANG/JASA KONSTRUKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA BIDANG PENGADAAN BARANG/JASA KONSTRUKSI "

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ANALISIS HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA BIDANG PENGADAAN BARANG/JASA KONSTRUKSI

(Studi Putusan Nomor 74/Pid.Sus/2014/PN.Mks)

OLEH :

A EDWIN PARAWANGSYAH B111 14 518

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

(2)

HALAMAN JUDUL

ANALISIS HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA BIDANG PENGADAAN BARANG/JASA KONSTRUKSI

(Studi Putusan Nomor 74/Pid.Sus/2014/PN.Mks)

SKRIPSI

Disusun sebagai Tugas AKhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Pada Departemen Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum

disusun dan diajukan oleh A EDWIN PARAWANGSYAH

B111 14 518

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

A Edwin Parawangsyah (B111 14 518), Analisis Hukum Tindak Pidana Korupsi Pada Bidang Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Studi Putusan Nomor 74/Pid.Sus/2014/PN.Mks) Dibimbing oleh Muhadar sebagai Pembimbing I dan Amir Ilyas Pembimbing II.

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan mekanisme belanja pemerintah yang memegang peranan penting dalam pemanfaatan anggaran negara. Jasa konstruksi adalah sektor yang memegang peran penting dalam pembangunan Indonesia. Melalui sektor inilah, secara fisik kemajuan pembangunan dapat dilihat langsung.

Dalam praktik pada umumnya pelaksanaan pengadaan barang/jasa Konstruksi pemerintah seringkali terjadi permasalahan-permasalahan, antara lain terjadi pelanggaran-pelanggaran baik dari prosedur pengadaan barang/jasa Konstruksi maupun pelanggaran yang sifatnya merugikan Negara atau terkaitt tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh organisasi pengadaan barang/jasa Kontruksi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap bidang pengadaan barang/jasa konstruksi pasca Perpres No. 4 Tahun 2015 dan Untuk mengetahu bagaimana implementasi peneraan hukum pidana korupsi di bidang barang/jasa konstruksi pada putusan nomor 74/Pid.sus/2014/Pid.Mks.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif-empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder. Data tersebut dikumpulkan melalui metode wawancara dan studi kepustakaan yang kemudian dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif.

Berdasarkan hasi penelitian telah dilakukan, penulis berkesimpulan bahwa (1) telah diatur berbagai instrumen hukum terkait pelaksanaan pengadaan barang/jasa konstruksi pemerintah mulai dari Undang-Undang hingga Keputusan Presiden sebagai pengaturan secara teknis; serta (2) penerapan hukum pidana korupsi pada putusan nomor 74/Pid.sus/2014/Pid.Mks telah sesuai dengan ketentuan ketentuan UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kata Kunci : Jasa Konstruksi, Pengadaan Barang/Jasa.Tindak Pidana Korupsi

(7)

ABSTRACT

A Edwin Parawangsyah (B111 14 518), Corruption Law Analysist of Procurment of Government Goods/Services (Case Study No 74/PidSus/2014/PN.Mks). Supervised by Muhadar as Supervisor I and Amir Ilyas as Supervisor II.

Procurement of Government Goods / Services is a government spending mechanism that plays an important role in the utilization of state budget. Construction services are sectors that play an important role in Indonesia's development. Through this sector, the physical progress of development can be seen directly.

In practice in general the implementation of procurement of goods / services Government construction often occurs problems, among other things, violations of both the Procurement Procurement procedure and the infringement that are detrimental to the State or the criminal act of corruption perpetrated by the organization of procurement of goods / services Construction.

The purpose of this study is to determine the legal arrangements for the procurement of goods / services of construction after Perpres No. 4 Tahun 2015 and To know how the implementation of the application of criminal law of corruption in the field of goods / construction services on the decision No. 74/Pid.sus/2014/PN.Mks.

This research is a normative-empirical research using primary data and secondary data. The data were collected through interview method and literature study which then analyzed qualitatively and presented descriptively.

Based on the results of research has been done, the authors concluded that (1) has been arranged various legal instruments related to the implementation of procurement of goods / government construction services starting from the Act up to the Presidential Decree as a technical arrangement; and (2) the application of criminal law of corruption to the decision No. 74/Pid.sus/2014/PN.Mks has been in accordance with the provisions the provisions of the Act UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No 31 Tahun 1999 about Eradiction Criminal Act of Corruption.

Keywords : Construction Services, Corruption Law, Procurement of Government Goods/Services.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Segala Puji penulis panjatkan hanya untuk Allah SWT. Rasa syukur yang tiada hingga penulis haturkan kepada-Nya yang telah memberikan semua yang penulis butuhkan dalam hidup ini. Terima kasih banyak Ya Allah untuk semua limpahan berkah, rezeki, rahmat, hidayah, kesehatan yang Engkau titipkan, dan kesempatan yang Engkau berikan kepadaku untuk menyelesaikan kuliahku hingga penyusunan tugas skripsi ini dengan judul: Analisis Hukum Tindak Pidana Korupsi Pada Bidang Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Studi Putusan Nomor 74/Pid.Sus/2014/PN.Mks)

Sholawat dan salam tak lupa penulis ucapkan pada Rasulullah saw. Semoga cinta dan kasih sayang Sang Pemilik Alam Semesta selalu tercurah untuk Rasulullah saw beserta seluruh keluarga besarnya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya.

Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu M.A selaku Rektor Universitas Hasanuddin, beserta wakil Rektor lainnya

2. Ibu Prof. Farida Patittingi, S.H,. M.Hum. selaku Dekan Fakultas

(9)

2. Pembimbing I dan Pembimbing II Penulis, Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.Si dan Dr. Amir Ilyas, S.H.,M.H.yang telah memberikan tenaga, waktu, dan pikiran, kesabaran dalam membimbing penulismenyelesaikan skripsi ini, hingga skripsi ini layak untuk dipertanggungjawabkan.

3. Tim penguji ujian skripsi, Bapak Prof. Dr. H. M Said Karim, S.H., M.H M.Si, Ibu Dr. Haerana, S.H., M.H dan Ibu Dr. Nur Azisa, S.H., M.H yang telah menyempatkan waktunya untuk memeriksa skripsi ini dan memberikan masukan yang sangat positif kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini menjadi jauh lebih baik.

4. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Universitas Hasanuddin beserta semua dosen hukum Pidana, yang telah menyalurkan ilmunya pengetahuannya kepada penulis sehingga wawasan penulis bertambah mengenai hukum Pidana.

5. Para Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang juga telah menyalurkan ilmunya kepada penulis sehingga pengetahuan penulis tentang ilmu hukum bertambah.

6. Narasumber penelitian Bapak Rostansar, S.H., M.H, terima kasih telah menyempatkan waktunya dan membantu penulis dalam memberikan informasi yang penulis butuhkan tentang permasalahan skripsi ini.

(10)

7. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kedua orang tua Bapak Ir. H Sukwansyah, M.Si dan Ibu Dra. Hj. Faridah S, M.Si yang telah memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan yang tak terhingga kepada penulis.

8. Terima Kasih Kepada Pengadilan Negeri Makassar dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, atas segala bantuan dan dukungan kepada saya selama melakukan penelitian Skripsi ini.

9. Keluarga Besar Hasanuddin Law Study Centre dan Hipmi PT Universitas hasanuddin.

10. Keluarga Besar Mr. Gele dan Grup Lawak

11. Terima Kasih Untuk Sahabat Seperjuangan: Ulil Amri, Melisa Tenribali, Alif Anas, Miftahul fadli, Ismail Rauf, Litami Aprilia, Nikita Ahmady dan teman-teman yang lain yang tidak sempat saya sebut satu persatu

12. Pak Usman dan Pak Budi, dari Akademik FH – UH atas segala bantuannya.

13. Terima Kasih Kepada Teman-teman KKN Gel.96 Desa Cikoang Kec. Mangarabombang Kab. Takalar

14. Pegawai Akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Terima kasih untuk semua bantuannya selama ini.

(11)

Penulis menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritikan yang sifatnya membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

Makassar, Januari 2017

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK... v

ABSTRACT... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tindak Pidana ... 7

1. Istilah dan PengertianTindak Pidana ... 9

2. Unsur – Unsur Tindak Pidana ... 11

B. Pidana dan Pemidanaan ... 13

1. Pengertian Hukum Pidana ... 13

2. Teori-Teori Pemidanaan ... 15

(13)

3. Jenis-Jenis Pidana ... 17

C. Pertanggung Jawaban Pidana ... 21

D. Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi... 27

1. Pengertian Korupsi ... 27

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ... 28

E. Tinjauan Tindak Pidana Korupsi Barang/Jasa Konstruksi 31 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 31

2. Dasar Hukum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah .. 33

3. Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi ... 34

4. Prinsip-Prinsip Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah . 39 5. Komponen dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 45

6. Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah ... 49

F. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ... 52

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Peneltian ... 54

B. Jenis dan Sumber Data ... 54

C. Teknik Pengumpulan Data ... 55

D. Analisis Data ... 55

(14)

BAB IV PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hukum dalam Pengadaan Barang/Jasa

Konstruksi ... 59

1. UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 ... 60

2. UU No. 18 Tahun 1999 ... 68

3. Perpres No. 54 Tahun 2010 ... 71

4. Perpres No. 4 Tahun 2015 ... 89

B. Implementasi Penerapan Hukum Pidana Korupsi di Bidang Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi Pada Putusan No. 74/Pid.sus/2014/PN.Mks ... 93

1. Kasus Posisi Pada Putusan No. 74/Pid.sus/2014/PN.Mks ... 93

2. Tuntutan Penuntut Umum, Putusan Hakim & Pertimbangan Hakim Pada Putusan No. 74/Pid.sus/2014/PN.MKs ... 98

3. Analisis Terhadap Implementasi Penerapan Hukum Pidana Korupsi Pada Putusan No. 74/Pid.sus.2014/PN.Mks ... 111

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 114

B. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 116

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3).Bahwa segala sesuatu didasarkan pada hukum sebagai peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa.Republik Indonesia adalah Negara hukum yang demokrasi berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945,tidak ada pemusatan kekuasaan pada golongan tertentu tetapicenderung pada kedaulatan rakyat.

Sebagai negara hukum sudah jelas dalam penyelenggaraan aktivitasnya baik mengenai kehidupan bernegara maupun bermasyarakat selalu menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.Negara Indonesia adalah negara yang sedang berkembang.Sebagaimana negara-negara yang sedang berkembang, Indonesiabanyak menerima pengaruh yang berasal dari negara disekitarnya,baik itu pengaruh yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.

Hukum sebagai salah satu bidang yang keberadaannya sangat esensial sifatnya untuk menjamin kehidupan dan bernegara, apalagi Indonesia adalah Negara hukum, yang berarti setiap perbuatan harus berdasarkan pada hukum.Meskipun demikian, tetap saja terjadi kesalahpahaman dan menimbulkan permasalahan berupa kejahatan sehingga mengganggu keserasian hidup bersama.

(16)

Dalam landasan tersebut diatas maka semua warga Negara Indonesia yang melakukan pelanggaran atau kejahatan terhadap ketertiban umum harus tunduk pada aturan yang berlaku, bagi masyarakat Indonesia hukum pidana yang mengaturnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum pidana materil dan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil untuk mempertahankan dan menegakkan hukum pidana materil.

Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat.Salah satunya dari kejahatan tersebut adalah tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi pada umumnya memuat aktifitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai seseorang didalam jabatan umum secara tidak patut memperoleh keuntungan yang berdampak kepada diri sendiri maupun pihak lain.

Pemerintah sebagai organisatoris Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan masyarakat dan kegiatan pemerintahan.Salah satu kebutuhan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan yang cukup penting adalah pengadaan barang/jasa Konstruksi.Penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia pada dewasa terakhir telah memasuki era reformasi birokrasi dimana pemerintah wajib menerapkan prinsip-

(17)

prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), antara lain transparansi, partisipasi dan bebas dari korupsi dan nepotisme.

Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah merupakan mekanisme belanja pemerintah yang memegang peranan penting dalam pemanfaatan anggaran negara. PBJ melibatkan jumlah uang yang sangat besar, sehingga pemerintah disebut sebagai pembeli yang terbesar (the largest buyer) di suatu negara.6 Anggaran PBJ setiap tahunnya menurut LKPP sekitar 40% dari APBN dan APBD7, sehingga pada tahun 2015 ini diperkirakan anggaran PBJ adalah sebesar 815,8 Trilyun dari total belanja APBN sebesar 2,039 Trilyun8. Sementara anggaran PBJ dari APBD tahun 2015 diperkirakan sebesar 405,1Trilyun dari total belanja APBD Tahun 2015 sebesar 1,012 Trilyun.1

Jasa konstruksi adalah sektor yang memegang peran penting dalam pembangunan Indonesia. Melalui sektor inilah, secara fisik kemajuan pembangunan dapat dilihat langsung, misalnya pembangunan gedung-gedung bertingkat maupun tidak bertingkat, gedung apartemen/rusunnawa, mall yang tersebar di kota-kota, perumahan hunian serta jembatan, jalan, pabrik, bendung dan bendungan irigasi, termasuk pembangunan pembangkit listrik dan transmisi serta distribusinya dan banyak lagi bangunan konstruksi yang ada di sekitar kita.

1 Komisi Pemberantasan Korupsi, 2015, “Kajian Pencegahan Korupsi Pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah”, Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, Jakarta, Hal. 8.

(18)

Bidang Jasa Konstruksi merupakan bidang yang utama dalam melaksanakan agenda pembangunan nasional.Jasa Konstruksi sebagai salah satu bidang dalam sarana pembangunan, sudah sepatutnya diatur dan dilindungi secara hukum agar terjadi situasi yang objektif dan kondusif dalam pelaksanaannya.Hal ini telah sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 1999 beserta PP Nomor 28, 29, dan 30 Tahun 2000 serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Sebagaimana diketahui bahwa UU Nomor 18 Tahun 1999 ini menganut asas : kejujuran dan keadilan, asas manfaat, asas keserasian, asas keseimbangan, asas keterbukaan, asas kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.2

Pengaturan yang dilakukan pada proses pelaksanaan PBJ semata- mata bertujuan agar PBJ dapat berjalan secara efisien, terbuka, kompetitif, dan terjangkau, sehingga tercapai output berupa barang atau jasa yang berkualitas. Dengan adanya barang atau jasa yang berkualitas, maka akan berdampak pada peningkatan pelayanan public.

Pemerintah sendiri telah beberapa kali menerbitkan peraturan yang bersifat teknis berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. mulai dari Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa Pemerintah yang kemudian disempurnakan melalu Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksana Barang/Jasa Pemerintah. Seiring perkembangan zaman yang

(19)

menuntut hukum berkembang sesuai dengan perkembangan zaman pula, pemerintah pun menerbitkan aturan-aturan baru berkaitan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah diantaranya Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah yang kemudian disempurnakan beberapakali sampai yang terakhir malalui Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah guna mengakomodir dinamika pelaksanaan pengadan barang/jasa pemerintah yang telah berkembang ke arah penggunaan media elektronik dalam prosess pelaksanaanya seperti E- Purchasing, E-Budgeting hingga E-Proucurement.

Dalam praktik pada umumnya pelaksanaan pengadaan barang/jasa Konstruksi pemerintah seringkali terjadi permasalahan-permasalahan, antara lain terjadi pelanggaran-pelanggaran baik dari prosedur pengadaan barang/jasa Konstruksi maupun pelanggaran yang sifatnya merugikan Negara atau terkaitt tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh organisasi pengadaan barang/jasa Kontruksi.

Bentuk-bentuk dari tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam pengadaan barang/jasa konstruksi pun ada bermacam-macam.Salah satunya adalah ketika penyerahan barang/jasa kontruksi yang tidak sesuai dengan jumlah yang biaya yang dibayarkan oleh pemerintah sehingga mengindikasikan terjadinya kerugian Negara.

Hal ini pula yang terjadi pada kasus pada Putusan tindak pidana korupsi dengan Nomor Putusan 74/Pid.Sus/2014/PN.Mks. Dimana pada

(20)

prosess pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilakukan pada Dinas Kelautan dan Perikana Kabupaten Bone telah terjadi suatu tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh rekanan penyedia jasa konstruksi pemerintah dalam pembangunan beberapa proyek konstruksi pada lingkup Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bone pada penyerahan hasil pekerjaan konstruksi terdapat kekurangan volume pekerjaan yang tidak sesuai dengan jumlah yang telah dibayarkan kepada pihak penyedia barang/jasa konstruksi. Kekurangan volume pekerjaan yang tidak sesuai tersebut menyebabkan adanya sejumlah kerugian keuangan negara yang menjadi salah satu unsur utama dalam suatu tindak pidana korupsi.

Melihat permasalahan-permasalahan tersebut menarik minat penulis untuk mengadakan suatu penelitian ilmiah terkhusus pada bidang ilmu hukum pidana dengan judul “Analisis Hukum Tindak Pidana Korupsi pada Bidang Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Studi Putusan Nomor 74/Pid.Sus/2014/PN.Mks)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan tersebut sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap bidang pengadaan barang/jasa konstruksi pasca Perpres Nomor 4 Tahun 2015 ?

(21)

2. Bagaimanakah implementasi penerapan hukum pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa kontruksi pada Putusan Nomor 74/Pid.Sus/2014/PN.Mks?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap bidang pengadaan barang/jasa konstruksi.

2. Untuk mengetahui implementasi penerapan hukum pidana korupsi di bidang pengadaan barang/jasa konstruksi pada Putusan Nomor 74/Pid.Sus/2014/PN.Mks.

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya mengenai hal yang berkaitan dengan pidana korupsi pada pengadaan barang/jasa konstruksi.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan referensi bagi mahasiswa fakultas hukum pada umumnya dan pada khususnya bagi penulis sendiri dalam menambah pengetahuan pada bidang ilmu hukum.

(22)

3. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat penegak hukum dalam praktik pengambil kebijakan khususnya dalam menangani masalah tindak pidana korupsi pada pengadaan barang/jasa konstruksi.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), tidak pidana dikenal sebagai strafbaarfeit. Strafbaarfeitmerupakan istilah yang berasal dari bahasa Belanda yang berarti delik.Strafbaarfeitterdiri atas 3 (tiga) suku kata, yaitu straf, baar, feit. Yang masing-masing memiliki arti3

 Strafdiartikan sebagai pidana dan hukum,

 Baardiartikan sebagai dapat dan boleh,

 Feitdiartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Jadi istilah strafbaarfei tadalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).4

Para sarjana barat memberikan pengertian/definisi yang berbeda- beda pula mengenai istilah strafbaarfeit, antara lain :5

3 Amir Iyas , 2012. Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta. Hal.19

4 Ibid. Hal. 19

5E.Y Kanter& S.R. Sianturi, 2012.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesian dan Penerapannya, StoriaGrafika, Jakarta. Hal.205

(24)

a. Perumusan Simons

Simons merumuskan bahwa: “Eenstrafbaarfeit” adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang) bertentangan dengan hukum (onrechmatic) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membagi dalam 2 (dua) golongan unsur yaitu: unsur-unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari petindak.

b. Perumusan Pompe

Pompe merumuskan: “strafbaarfeit” adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.

c. Perumusan Van Hamel

Van Hamel merumuskan: “strafbaarfeit” itu sama dengan yang dirumuskan Sioms, hanya ditambahkannnya dengan kalmia

“tindakan mana bersifat dapat dipidana”.

d. Perumusan Vos

Vos merumuskan: “strafbaarfeit” adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

(25)

Dalam buku E.Y Kanter dan S.R. Sianturi mengenai Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya menjelaskan bahwa istilah

“strafbaarfeit”, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai:6 a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum

b. Peristiwa pidana c. Perbuatan pidana, dan d. Tindak pidana

Dalam buku tersebut juga menjelaskan bahwa keempat terjemahan itu telah diberikan perumusan kemudian perundang-undangan Indonesia telah menggunakan keempat-empatnya, istilah tersebut dalam berbagai undang-undang.

Para sarjana Indonesia juga menggunakan beberapa atau salah satu dari istilah tersebut diatas yang kemudian telah dibagi menjadi 5 (lima) kelompok yakni, sebagai berikut:7

Ke-1 : “Peristiwa pidana” digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid (1962: 32), Rusli Efendy (1981: 46), Utrecht (Sianturi 1981:206) dan lain-lainnya;

Ke-2 : “Perbuatan pidana” digunakan oleh Muljatno (1983;54) dan lain-lain;

Ke-3 : “Perbuatan yang boleh dihukum” digunakan oleh H.J.VanSchravendijk( Sianturi 1986;206) dan lain-lain;

Ke-4 : “Tindak Pidana” Digunakan oleh WirjonoProjodikoro (1986:55), Soesilo (1979:26) dan S.R. Sianturi (1986:204) dan lain-lainnya;

6 Ibid. Hal.204

7Ibid. Hal.21

(26)

Ke-5 : “Delik”digunakan oleh AndiZainal Abidin Farid (1981:146) dan Satochid Karta Negara (tanpa tahun:74) dan lain-lain.

Dan dari istilah-istilah yang digunakan oleh para sarjana, masing- masing memiliki pengertian tersendiri atas istilah tersebut, diantaranya ialah:

a. Menurut Moeljatno, pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah:8

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.”

b. Menurut Andi Hamzah, pengertian tindak pidana menurut istilah beliau yakni, delik adalah:9

“Sesuatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana)”

c. Menurut S.R. Sianturi, perumusan tindak pidana sebagai berikut:10

“Tindak pidana adalah suatu bentuk tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang- undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggung jawab).”

d. Menurut Mr. R. Tresna, peristiwa pidana adalah:11

“suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan- peraturan lainnya terhadap perbuatan mana yang diadakan tindakan penghukuman.”

8Moeljatno, 2009.Asas-asas Hukum Pidana, Rineke Cipta,Jakarta. Hal.59

9 Ibid. Hal.19

10 Ibid. hal.22

(27)

e. Menurut WirjonoProdjodikoro, beliau merumuskan tindak pidana sebagai berikut:12

“Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunyadapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subject” tindak pidana.”

f. Sedangkan, menurut Rusli Effendy:13

“Definisi dari peristiwa pidana sendiri tidak ada.Oleh karena itu timbullah pendapat-pendapat para sarjana mengenai peristiwa pidana.Dapat dikatakan tidak mungkin membuat definisi mengenai peristiwa pidana, sebab hamper dalam KUHPidana (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) mengenai rumusan tersendiri mengenai hal itu.”

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan kedalam tiga bagian yaitu:

a. Ada perbuatan (mencocoki rumusan delik)

Artinya perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Jika perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak memenuhi rumusan undang-undang atau belum diatur dalam suatu undang-undang maka perbuatan tersebut bukanlah perbuatan yang bisa dikenai ancaman pidana.

b. Melawan hukum

Menurut Simons, melawan hukum diartikan sebagai

“bertentangan dengan hukum”, bukan saja terkait dengan hak

12 Ibid. hal.29

13 Rusli Effendy, 1989. Azas-azas Hukum Pidana

(28)

orang lain (hukum subjektif), melainkan juga mencakup Hukum Perdata dan Hukum Administrasi Negara.

Sifat melawan hukum dapat dibagi menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:

a. Sifat melawan hukum umum

Ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat di pidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana.

Perbuatan pidana adalah kelakuan manumur yang termaksud dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

b. Sifat melawan hukum khusus

Ada kalanya kata “bersifat melawan hukum”

tercantum secara tertulis dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat di pidana. Sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik dinamakan sifat melawan hukum khusus. Juga dinamakan “sifat melawan hukum facet”.

c. Sifat melawan hukum formal

Istilah ini berarti semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat di pidana)

(29)

d. Sifat melawan hukum materiil

Sifat melawan hukum materiil berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.

e. Tidak ada alasan pembenar

Meskipun suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku memenuhi unsur dalam undang-undang dan perbuatan tersebut melawan hukum, namun jika terdapat “alasan pembenar”, maka perbuatan tersebut bukan merupakan “perbuatan pidana”14

B. Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Hukum Pidana

Di dalam pembagian hukum konvensional, hukum pidana termasuk dalam bidang hukum publik.Artinya hukum pidana mengatur hubungan antar warga Negara dengan Negara dan menitik beratkan kepada kepentingan umum atau kepentingan publik.Hukum pidana merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yaitu dalam hal sanksinya.Setiap kita berhadapan dengan hukum, pikiran kita menuju kea rah sesuatu yang mengikat perilaku seseorang di dalam masyarakatnya.15

14I Made Widnyana, 2010, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. FikahatiAneska, Jakarta, hlm.

57

15 Teguh Prasetyo, 2010, “Hukum Pidana”, PT. Raja Grafindo, Jakarta, Hal. 3

(30)

Di dalamnya terdapat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, serta akibatnya. Yang pertama disebut norma sedang akibatnya dinamakan sebagai sanksi. Yang membedakan hukum pidana dengan hukum lainnya diantaranya adalah bentuk sanksinya, yang bersifat negatif yang disebut sebagai pidana (hukuman). Bentuknya bermacam-macam mulai dari dipaksa diambil hartanya karena harus membayar denda, dirampas kebebasannya karena dipidana kurungan atau penjara, bahkan dapat pula dirampas nyawanya, jika diputuskan dijatuhkan pidana mati.16

Beberapa pendapat pakar hukum berkaitan mengenai Hukum Pidana antara lain17 :

a. POMPE menyatakan bahwa hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

b. SOEDARTO mengatakan bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi negatif, ia diterapkan jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi yang subsider pidana termasuk juga tindakan (maatergele), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu, hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan alas an pembenaran pidana itu.

16Ibid

(31)

c. UTRECHT berpendapat bahwa hukum pidana merupakan sanksi istimewa, dan hanya mengambil alih hukum lain dan kepadanya dilekatkan sanksi pidana.

d. VAN HAMEL antara lain menyatakan bahwa hukum pidana telah berkembang menjadi hukum publik, karena pelaksanaannya sepenuhnya berada ditangan pemerintah, dengan sedikit pengecualian. Pengecualiannya ialah delik-delik aduan yang memerlukan pengaduan atau kebertaan pihak lain yang dirugikan agar pemerintah dapat menerapkannya.

2. Teori-Teori Pemidanaan

Adapun teori-teori pemidanaan dapat dibagi sebagai berikut18: a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (VergeldingsTheorien)

Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan.Inilah dasar pembenaran dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat.Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat, atau negara) yang telah dilindunginya.Kant berpendapat bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana terdapat di dalam apa yang disebut Kategorischen Imperative menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya

18BardaNawawiArief, 1996, “Bunga Rampai Kebijakan Pidana”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 136

(32)

mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembahasan yang semata-mata didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan.

Dari teori tersebut, Nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika, apabila seseorang yang melakukan kejahatan akan dihukum, dan hukuman itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan merubah etika dari yang jahat ke yang baik.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (DoelTheorien)

Dasar pemikirannya agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman, artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sifat mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi.

c. Teori Gabungan atau Teori Modern (vereningingsTheorien) Teori gabungan adalah kombinasi dari teori absolute dan teori relative, teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani dan psikologis juga yang terpenting adalah memberikan pemidanaan dan penderitaan.

Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hamel, dan Van List dengan pandangan sebagai berikut :

1) Hal penting dalam pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.

(33)

2) Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus bertujuan memperhatikan hasil studi antropologis dan sosiologis.

3) Pidana ialah satu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan.

3. Jenis-Jenis Pidana

Menurut ketentuan pasal 10 KUHP terdapat beberapa jenis Pidana yang dapat dijatuhkan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana, dimana hukuman yang akan dijatuhkan itu dapat berupa19:

a) Pidana Pokok:

a. Pidana Mati b. Pidana Penjara c. Pidana Kurungan d. Pidana Denda b) Pidana Tambahan :

a. Pencabutan Hak-Hak Tertentu

b. Perampasan Barang-barang Tertentu c. Pengumuan Putusan Hakim

Adapun uraiannya sebagai berikut:20 1. Pidana Mati

Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya

19 Lihat Pasal 10 KUHAP

20 Prof Teguh, Op.Cit Hal 117

(34)

pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 ayat 4 KUHP), pemberontakan yang diatur dalam pasal 124 KUHP.

2. Pidana Penjara

Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara atau kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari kurungan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan.

Adapun kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian. Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup, hal ini diatur dalam Pasal 12 KUHP.

3. Pidana Kurungan

Pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Lebih ringan antara lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur, selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam Pasal 18 KUHP yaitu lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun.

4. Pidana Denda

Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda

(35)

ditentukan minimum dua puluh sen, sedangkan jumlah maksimum tidak ada ketentuan. Mengenai hukuman denda diatur dalam Pasal 30 KUHP.

Pidana denda tersebut dapat dibayar oleh siapa saja, baik keluarga ataupun diluar dari pihak keluarga.

5. Pencabutan Hak Tertentu

Hal ini diatur dalam Pasal 35 KUHP yang berbunyi :

(1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang- undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah :

a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;

b. Hak memasuki angkatan bersenjata;

c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;

d. Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;

e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;

f. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.

(36)

(2) Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.

6. Perampasan Barang Tertentu

Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 39 KUHP yang berbunyi :

(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas.

(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja, atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti diatas, tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.

(3) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

7. Pengumuman Putusan Hakim

Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas

(37)

biaya si terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim di muat dalam putusan (Pasal 43 KUHP).

C. Pertanggung Jawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaarheidatau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan seseorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.21

Pertanggungjawaban pidana meliputi beberapa unsur yang diuraikan sebagai berikut:

a. Mampu Bertanggung jawab

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab, yang diatur yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab. Seperti isi Pasal 44 KUHP antara lain berbunyi sebagai berikut:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak di pidana.”

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturimenjelaskan bahwa unsur- unsur mampu bertanggung jawab mencakup:

1) Keadaan jiwanya:

a) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporal);

21 Amir Ilyas, Op.Cit, hlm. 73

(38)

b) Tidak cacat dalam pertumbuhan (idiot, imbecile, dan sebagainya); dan

c) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap, pengaruh bawa sadar (reflexebeweging), melindur (slaapwandel), mengigau karena demam (koorts), nyidamdam dan lain sebagainya, dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

2) Kemampuan jiwanya:

a) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;

b) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan c) Dapat mengetahui ketercelaandari tindakan tersebut.22 b. Kesalahan

Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tidak tertulis dalam hukum positif Indonesia yang menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”, yang artinya, untuk dapat di pidananya seseorang diharuskan adanya kesalahan yang melekat pada diri seorang pembuat kesalahan untuk dapat diminta pertanggungjawaban atasnya.23

Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa, yang diuraikan lebih jelas sebagai berikut:

22 Amir Ilyas, Op.Cit, hlm. 76

(39)

1) Kesengajaan (Opzet)

Menurut Criminal Wetboek Nederland tahun 1809 Pasal 11, sengaja (Opzet) itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. 24

a) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)

Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu perbuatan pelaku yang memang dikehendaki dan ia juga menghendaki (atau membayangkan) akibatnya yang dilarang. Kalau yang dikehendaki atau yang dibayangkan ini tidak ada, ia tidak akan melakukan berbuat. 25

b) Kesengajaan dengan insaf pasti (opzetalszekerheidsbewustzjin)

Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat tersebut pasti akan mengikuti perbuatan itu. 26 c) Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan

(doluseventualis).

24Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, hlm. 226

25LedenMarpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta, SinarGrafika, 2012, hlm.

9

26 Amir Ilyas, Op. Cit., hlm. 80

(40)

Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan dengan kesadaran akan kemungkinan” bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang- undang. 27

2) Kealpaan (Culpa)

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang disebabkan kurangnya sikap hati-hati karena kurang melihat kedepan, kealpaan ini sendiri di pandang lebih ringan daripada kesengajaan.

Kealpaanterdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni 28

a) Kealpaan dengan kesadaran (bewusteschuld/culpa lata) Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, nyatanya timbul juga akibat tersebut.

b) Kealpaan tanpa kesadaran (onbewusteschuld/culpa levis)

Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang

27LedenMarpaung, Op. Cit., hlm. 18

(41)

atau diancam hukuman oleh undang-undang, sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya satu akibat.29

c. Tidak Ada Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsground ini menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukan atau criminal responsibility , alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal.

Alasan ini dapat kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan perbuatan dalam keadaan:

1) Daya Paksa Relatif

Dalam M.v.T daya paksa dilukiskan sebagai kekuatan, setiap daya paksa seseorang berada dalam posisiterjepit (dwangpositie). Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar diri si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya.30

2) Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas

Ada persamaan antara pembelaan terpaksa noodweardengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodwerexces, yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama,

29 Ibid

30 Amir Ilyas, Op. Cit, hlm. 88-89

(42)

yaitu tubuh, kehormatan, kesusilaan, dan harta benda baik diri sendiri maupun orang lain. Perbedaannya ialah:

a) Pada noodwer, si penyerang tidak boleh ditangani atau dipukul lebih daripada maksud pembelaan yang perlu, sedangkan noodwerexces pembuat melampaui batas-batas pembelaan darurat oleh karena keguncangan jiwa yang hebat.

b) Pada noodwer, sifat melawan hukum perbuatan hilang, sedangkan pada noodwerexcesperbuatan tetap melawan hukum, tetapi pembuatnya tidak dapat di pidana karena keguncangan jiwa yang hebat.

c) Lebih lanjut pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodwerexces menjadi dasar pemaaf, sedangkan pembelaan terpaksa (noodwer) merupakan dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada. 31

3) Perintah Jabatan Tidak Sah

Perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun pelaku menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang, pelaku dapat di maafkan jika pelaku melaksanakan perintah tersebut berdasarkan itikad baik, mengira bahwa

(43)

perintah tersebut sah dan masih berada pada lingkungan pekerjaannya. 32

D. Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Korupsi

Dalam EnsiklopediaIndonesia disebut ‘Korupsi` (dari bahasa latincurruptio = penyuapan; curruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidak beresan lainnya.33

Didalam black’s law dictionary dalam bukunya Marwan Effendy menyebutkan tentang korupsi itu sendiri yaitu34:

“Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain”.

Pengertian korupsi secara harafiah menurut A. I. N. Kramer SR mengartikan kata korupsi sebagai : busuk, rusak atau dapat disuap.35 Sedangkan arti korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasaIndonesia disimpulkan oleh Poerwadarminta bahwa korupsi adalah

32 Amir Ilyas, Op. Cit., hlm. 90

33EviHartanti, 2007, “Tindak Pidana Korupsi”, Sinar Grafika Offset, Jakarta, Hal. 8

34 Marwan Effendy, 2012, “Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana”, Referensi, Jakarta, Hal. 20

35 John M Echols dan Hassan Shadaly, 1997, Kamus Inggris Indonesia,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal. 149

(44)

perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.36

Istilah Korupsi pertama kali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi.Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif 2 (dua) tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 ayat (1) unsur-unsur korupsinya adalah:

1. Setiap orang;

2. Secara melawan hukum;

36 W.J. S. Poerwadarminta, 1976, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, Balai Pustaka,

(45)

3. Perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;

4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.

Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsur korupsinya adalah:

a. Setiap orang;

b. Dengan tujuan;

c. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

d. Menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

e. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Berikut adalah beberapa pendapat pakar hukum tentang unsur- unsur tindak pidana:37

a. Andi Hamzah

Delik korupsi Pasal 1 ayat (1) sub a UUPTPK urutannya sebagai berikut.

a) Melawan hukum.

b) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan.

c) Yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan

37Evihartanti, Op.CitHal. 18

(46)

negara atau perekonomian negara. Untuk menyusun dakwaan tidak perlu dimulai dengan melawan hukum. Dalam hukum pidana sering delik itu dibagi dua yaitu perbuatan dan pertanggungjawaban. Pada perumusan delik diatas perbuatan adalah “memperkaya diri sendiri dan seterusnya” dan akibatnya adalah “kerugian negara dan seterusnya”, disusul dengan

“melawan hukum” yang dapat diartikan dalam delik ini sebagai

“tanpa hak untuk menikmati hasil korupsi” tersebut selaras dengan putusan HR tanggal 30 Januari 1911, yang mengartikan “melawan hukum” itu “tidak mempunyai hak untuk menikmati keuntungan” itu dalam delik penipuan (Pasal 378 KUHP)

Kata-kata tidak mempunyai hak untuk menikmati hasil korupsi sama dengan pengertian sehari-hari, artinya pada umumnya telah mengerti maksud kata-kata itu. Para pakar berpendapat alas an peniadaan pidana (strafuitsluitingsgrond) tidak perlu disinggung dalam dakwaan tidak adanya alas an pemaaf itu. Dalam hukum pidana dikenal sebagai alasan pemaaf.

Delik korupsi tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) sub b UUPTPK yang unsur-unsurnya sebagai berikut:

1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan;

2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

(47)

3. Yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

b. Soedarto

Menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagai berikut.

1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lainatau suatu badan. “Perbuatan memperkaya” artinya berbuat apa saja, misalnya mengambil memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya, sehingga si pembuat bertambah kaya.

2. Perbuatan itu bersifat melawan hukum. “Melawan hukum” disini diartikan secara formil dam materiil. Unsur ini perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam rumusan delik.

3. Perbuatan itu secara langsung dan tidak langsung merugikan keuangan negara dan/ atau perekonomian negara, atau perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara

E. Tindak Tindak Pidana Korupsi Barang/Jasa Konstruksi

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah38:

“Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja

38 Lihat Pasal 1 Perpres No. 54 Tahun 2010

(48)

Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.

“Pengadaan Barang dan Jasa” - atau dalam istilah asing disebut sebagai procurement –munculkarena adanya kebutuhan akan suatu barang atau jasa, untuk jasa konsultasi serta kebutuhan jasalainnya.

Istilah pengadaan barang dan jasa – atau procurement- dalam makalah ini diartikan secara luas,mencakup penjelasan dari tahap persiapan, penentuan dan pelaksanaan atau administrasi tender untukpengadaan barang, lingkup pekerjaan atau jasa lainnya. Pengadaan barang dan jasa juga tak hanyasebatas pada pemilihan rekanan proyek dengan bagian pembelian (purchasing) atau perjanjian resmikedua belah pihak saja, tetapi mencakup seluruh proses sejak awal perencanaan, persiapan, perizinan,penentuan pemenang tender hingga tahap pelaksanaan dan proses administrasi dalam pengadaanbarang, pekerjaan atau jasa seperti jasa konsultasi teknis, jasa konsultasi keuangan, jasa konsultasihukum atau jasa lainnya.

Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Perpres 54 Tahun 2010) menerangkan secara lebih jelas, bahwa PBJP merupakan kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi (selanjutnya disebut K/L/D/I) lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya

(49)

seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Selain itu, ruang lingkup PBJP yang diatur dalam Pasal 2 Perpres No. 54 Tahun 2010 meliputi39:

a. Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/ APBD.

b. Pengadaan untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha milik Daerah (BUMD) yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD. Investasi di sini merupakan pembelanjaan modal sebagai penambahan aset atau untuk peningkatan kapasitas instansi tersebut.

c. Pengadaan barang dan jasa yang seluruhnya atau sebagian dananya bersumber dari pinjaman atau hibah. Pinjaman atau hibah dalam hal ini berasal dari luar negeri yang diterima oleh pemerintah pusat atau daerah.

2. Dasar Hukum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan:

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional.” Secara jelas

39Ibid

(50)

dalam Pasal 33 UUD 1945 termuat pemikiran demokrasi ekonomi, dimana demokrasi memiliki ciri khas yang proses perwujudannya diwujudkan oleh semua anggota masyarakat untuk kepentingan seluruh masyarakat, dan harus mengabdi kepada kesejahteraan seluruh rakyat.40

Sebagai salah satu implementasinya adalah dikeluarkannya Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.Perpres tersebut seharusnya dilaksanakan sesuai dan sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.Prinsip PBJP yang diatur berlandaskan pada prinsip demokrasi ekonomi, dalam rangka untuk mewujudkan kemandirian bangsa, efisiensi keuangan negara, menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional.Perpres No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah selama dua tahun terakhir mengalami perubahan, yaitu Perpres No. 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kemudian disempurnakan Kembali dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.41

3. Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi Perbuatan korupsi dalam istilah kriminologi digolongkan kedalam bentuk kejahatan White Collar Crime. Dalam praktek berdasarkan undang- undang yang bersangkutan, Korupsi adalah tindak pidana yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara

40BinotoNadapdap, 2009, “Hukum Acara Persaingan Usaha”, Jala Permata Aksara, Jakarta, Hal. 6

(51)

langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara dan Perekonomian. Definisi korupsi di atas mengidentifikasikan adanya penyimpangan dari pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi (serve private ends).

Senada dengan Azyumardi Azra mengutip pendapat Syed Husein Alatas yang lebih luas: ”Corruption is abuse of trust in the interest of private gain”, Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Masyarakat pada umumnya menggunakan istilah korupsi untuk merujuk kepada serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum dalam rangka mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain. Hal yang paling mengidentikkan perilaku korupsi bagi masyarakat umum adalah penekanan pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi.

Pola penyimpangan yang mungkin terjadi dalam tahap pengadaan barang dan jasa yang berimplikasikan tindak pidana korupsi, diantaranya42:

1) Tahap persiapan pengadaan, misalnya: pada kegiatan perencanaan pengadaan terjadi penggelembungan (mark up), mengarahkan kepada kepentingan produk atau penyedia barang jasa tertentu, pemakekatan agar hanya kelompok

42 Amiruddin, Analisis Pola Pemberantasan Korupsi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 8 No. I Mei 2012, Hal. 26-37

(52)

tertentu yang mampu melaksanakan pekerjaan (sehingga mempermudah korupsi, kolusi dan nepotisme), perencanaan yang tidak realistis terutama dari sudut pelaksanaan; pada kegiatan pembentukan panitia tender, panitia bekerja secara tertutup, tidak adil, tidak jujur, dikendalikan pihak tertentu; pada kegiatan penetuan harga perkiraan sendiri (HPS), gambaran HPS ditutup-tutupi, penggelembungan (mark up), harga dasar tidak standar, penetuan estimasi harga tidak sesuai aturan;

pada kegiatan penyusunan dokumen tender, spesifikasi teknis mengarah pada suatu produk tertentu, kriteria evaluasi dalam dokumen lelang diberikan penambahan yang tidak diperlukan, dokumen lelang tidak standar, dokumen lelang tidak lengkap.

2) Tahap proses pengadaan, misalnya: pada kegiatan pemilihan penyedia barang dan jasa pada saat pengumuman tender:

terjadi pengumuman lelang yang semu dan palsu, materi pengumuman ambigius, jangka waktu pengumuman terlalu singkat, pengumuman tidak lengkap; pada saat pengambilan dokumen tender: dokumen tender yang diserahkan tidak sama (partial), waktu pendistribusian informasi terbatas, penyebarluasan dokumen yang cacat; pada saat penjelasan tender (Aanwijzing) terjadi pembatasan informasi oleh panitia agar kelompok dekat saja yang memperoleh informasi yang lengkap, penjelasan dirubah menjadi tanya jawab; pada

(53)

kegiatan penyerahan penawaran dan pembukaan penawaran, terjadi relokasi penyerahan dokumen penawaran dilakukan oleh panitia pengadaan dalam rangka pengaturan tender (agar tersingkirnya peserta tender yang bukan teman/kelompok dari panitia), penerimaan dokumen penawaran yang terlambat, menghalang-halangi peserta tertentu agar terlambat menyampaikan penawarannya; pada kegiatan evaluasi penawaran: terjadi penggantian dokumen dengan cara menyisipkan revisi dokumen ke dalam dokumen awal, pemenang bukan mewakili penawaran yang terbaik karena kolusif, panitia bekerja secara tertutup dan akses terhadap kontrol dilakukan, pada kegiatan pengumunan calon pemenang:

pengumunan yang disebarluaskan sangat terbatas, pengumaman dengan tanggal ditunda; pada kegiatan sanggahan peserta tender, tidak semua sanggahan ditanggapi, seluruh sanggahan diarahkan pada klausula mengenai evaluasi penawaran dan hak panitia tentang kerahasiaan dokumen evaluasi; pada kegiatan penetapan penyedia barang dan jasa terjadi surat penetapan diterbitkan sebelum berakhir waktu sanggah, surat penetapan sengaja ditunda pengeluarannya guna mendapat uang pelicin.

3) Tahap penyusunan dan penandatangan kontrak, misalnya:

terjadi penandatangan kontrak yang tidak dilengkapi dengan

(54)

dokumen pendukung (dokumen fiktif); penandatangan kontrak yang ditunda-tunda, karena jaminan pelaksanaan yang belum ada.

4) Tahap pelaksanaan kontrak dan penyerahan barang dan jasa, misalnya terjadi pada penyerahan barang, barangnya tidak sesuai dengan spesifikasi atau volume sebagaimana dalam dokumen tender, pengawas tidak melaksanakan pengawasan secara benar dan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dilakukan penyedia barang.

Potensi terjadinya tindak pidana korupsi dari pengadaan barang dapat terjadi mulai tahap persiapan sampai tahap pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa berdasarkan UU 31/1999 jo UU 10/2001 setidak-tidaknya dapat diidentifikasikan ke dalam 7 (tujuh) bentuk tindak pidana korupsi, diantaranya43:

a) Merugikan keuangan negara dengan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang (Pasal 2 dan Pasal 3);

b) Suap (Pasal 6, 11, 12 huruf a, b, c, d dan Pasal 13);

c) Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8 dan Pasal 10);

d) Pemerasan (Pasal 12 huruf e, f, g);

e) Perbuatan curang (Pasal 7 dan Pasal 12 huruf h);

f) Konflik kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf j; dan g) Gratifikasi (Pasal 12 B dan Pasal 12 C).

43

(55)

4. Prinsip-Prinsip Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Prinsip-prinsip dasar pengadaan artinya ketentuan atau peraturan atau standar yang pokok (utama) dilaksanakan dalam pengadaan.

Dengan demikian penerapan prinsip dasar pengadaan adalah merupakan keharusan. Sesuai dengan teori ekonomi dan pemasaran, barang/jasa harus diproduksi dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen (pembeli). Masing-masing pihak memiliki tujuan yang berbeda-beda.

Pengguna barang/pembeli menghendaki barang/jasa berkualitas tertentu dengan harga yang semurah-murahnya, sebaliknya penjual menginginkan keuntungan setinggi-tingginya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.

Selain itu dalam pengadaan barang/jasa oleh instansi pemerintah, pada umumnya para pelaku pengadaan cenderung belum merasa “memiliki”

seperti dengan membelanjakan dengan uangnya sendiri. Dalam teori agensi, pemilik sumber daya (uang) pada instansi pemerintah adalah rakyat, sedangkan pengguna anggaran/barang adalah manajer yang seringkali memiliki tujuan berbeda dengan pemiliknya. Tanpa prinsip para pihak cenderung untuk memuaskan keinginannya masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan kesepakatan yang harus dipenuhi bersama. Adapun prinsip-prinsip pengadaaan barang dan jasa sesuai dengan Pasal 5 Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah sebagai berikut:

(1) Efisien, maksudnya adalah pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat- singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan istilah lain,

Referensi

Dokumen terkait

Jadi dalam penelitian ini, penulis akan menggambarkan bagaimana praktik jual beli follower sosial media kemudian akan dianalisis dari sudut pandang hukum Islam, baik praktek jual

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai Kadar Aspal Optimum (KAO) serta nilai komposisi campuran limbah beton optimum, untuk mengetahui kinerja campuran aspal

Berdasarkan parameter berat umbi basah, hasil penelitian ini telah dapat memperlihatkan bahwa perlakuan yang terbaik adalah bawang merah dengan menggunakan bibit

2. Pada kedua jam ibadah tersebut dilaksanakan secara luring dan daring melalui channel YouTube GPIB GIBEON JAKARTA. b) Bagi jemaat yang hadir secara luring wajib mengisi

Model Problem Based Learning menggunakan team teaching dengan teknik terintegrasi dan semi terintegrasi pada pembelajaran ditinjau dari kemampuan kritis (kognitif) dan

† Toksikologi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan. menimbulkan pencemaran lingkungan (Cassaret,

28,29 Data from experimental models of chancroid suggest that these lesions should be responsive to azithromycin, 31 and therefore, that mass distribution of azithromycin for yaws

Pelayan masyarakat menjadi lebih penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat atau orang banyak, pelayanan masyarakat merupakan usaha yang dilakukan oleh