• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIFITAS PEMBERIAN LIDOKAIN BOLUS INTRAVENA DAN KONTINU TERHADAP INTENSITAS NYERI PASKA OPERASI MASTEKTOMI TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EFEKTIFITAS PEMBERIAN LIDOKAIN BOLUS INTRAVENA DAN KONTINU TERHADAP INTENSITAS NYERI PASKA OPERASI MASTEKTOMI TESIS"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

MASTEKTOMI

TESIS

Oleh : dr. Lysa Ogestha NIM : 157041016

Pembimbing I:

Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, Sp.An, KIC, KAO Pembimbing II:

dr. Soejat Harto, Sp.An, KAP

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN 2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

i

Dengan segala kerendahan hati, saya memanjatkan puji syukur serta doa saya sampaikan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala karena berkat rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kepada saya akal budi, hikmat dan pemikiran sehingga saya dapat menyelesaikan tesis penelitian sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Spesialis dalam bidang Ilmu Anestesiologi danTerapi Intensif di Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai dan banggakan.

Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis/hasil penelitian ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian bahasanya. Meskipun demikian, saya berharap dan besar keinginan saya agar kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat dan menambah khasanah serta perbendaharaan dalam penelitian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya tentang

“EFEKTIFITAS PEMBERIAN LIDOKAIN BOLUS INTRAVENA DAN KONTINU TERHADAP INTENSITAS NYERI PASKA OPERASI

MASTEKTOMI“.

Dengan penulisan tesis/hasil penelitian ini, maka pada kesempatan ini pula dengan diiringi rasa tulus dan ikhlas, ijinkan saya mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua saya H. Nurjasri, Bsc dan Hj. Elly Suharty yang tidak bosan – bosan mendoakan dan mendukung saya sejak kecil hingga sekarang. Dan juga ucapan terimakasih dan penghargaan kepada yang terhormat: Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn, KIC, KAO dan dr. Soejat Harto, SpAn, KAP atas kesediaannya sebagai pembimbing penelitian saya ini, yang walaupun di tengah kesibukannya masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta kesabaran, memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini. Tidak lupa ucapan terimakasih saya berikan kepada Dr. dr.

Arlinda Sari Wahyhuni, M. Kes. sebagai pembimbing statistik yang juga telah banyak meluangkan waktu dan kesibukannya untuk berdiskusi menganai statistik penelitian ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

ii

perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada:

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.hum, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dr. dr.

Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), Ketua Program Studi Magister Kedokteran Klinik Dr.

dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K), serta Sekretaris Program Studi Magister Kedokteran Klinik dr. Mohd. Rhiza Z Tala, M.Ked(OG), Sp.OG(K), atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan magister kedokteran klinik dan pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Dr. dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV dan Prof.

dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Tasrif Hamdi, M.Ked (An), SpAn sebagai Plt.

Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, dan dr. Cut Meliza Zainumi, M.Ked (An), SpAn sebagai Plt. Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, terimakasih karena telah memberikan izin, kesempatan, ilmu dan pengajarannya kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif hingga selesai.

Yang terhormat guru – guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan : dr. A. Sani P. Nasution, SpAn. KIC;

Alm. dr. Chairul M. Mursin, SpAn, KAO; Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC.

KAO; Dr. dr. Akhyar H. Nasution, SpAn. KAKV; dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn.

KAP.KMN; dr. Qadri Fauzi Tanjung, SpAn, KAKV; dr. Hasanul Arifin SpAn. KAP.

KIC; Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA; dr. Ade Veronica HY, SpAn. KIC; dr.

Yutu Solihat, SpAn. KAKV; dr. Soejat Harto, SpAn. KAP; dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn; dr Tumbur, SpAn; dr. Walman Sitohang, SpAn; Kol. (CKM) Purn. dr. Tjahaya, SpAn; Dr. dr. Dadik W. Wijaya, SpAn; dr. M. Ihsan, SpAn. KMN; dr. Andriamuri P.

Lubis,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(6)

iii

P. M. Ked (An) Sp. An; dr. Bastian Lubis M.Ked(An) Sp.An, KIC; dr. Wulan Fadine M. Ked(An) Sp.An; dr. A. Yafiz Hasbi M.Ked (An) Sp.An; dr. Tasrif Hamdi M. Ked (An) Sp.An, dr. Luwih Bisono, Sp. An, KAR, dr. John Frans Sitepu, M. Ked (An), Sp.An, FIPM, saya ucapkan terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien serta pengajaran dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.

Yang terhormat Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur RS USU, Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit TK II Putri Hijau Medan dan RS.

FL Tobing Sibolga yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan kepada saya untuk belajar menambah ketrampilan dan dapat menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin, tak lupa saya haturkan terimakasih.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada suami tercinta Adi Mustika, ST yang telah bersedia meluangkan waktu, perasaan dan tenaga untuk mendukung dan mendoakan selama masa pendidikan saya dimulai hingga saat ini.

Yang tercinta teman – teman sejawat peserta pendidikan keahlian Anestesiologi dan Terapi Intensif dr. Farilsah, dr. Galdy Wafie, dr. Agus Prima, dr. Riza Munawar, dr. Marco Audrik Silvester Tambunan, dan dr. M. Iqbal Saputra yang telah bersama- sama baik duka maupun suka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat dengan harapan teman – teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini.

Kepada seluruh teman – teman, rekan – rekan dan kerabat, handaitaulan, keluarga besar, pasien – pasien yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materil kepada saya selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati saya yang terdalam saya ucapkan terimakasih.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(7)

iv

Medan dan Rumkit Tk II Putri Hijau Medan yang telah banyak membantu dan bekerjasama selama saya menjalani pendidikan dan penelitian ini saya juga ucapkan terima kasih.

Dan akhirnya perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai.

Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerjasama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Medan, Januari 2020 Penulis

(dr. Lysa Ogestha)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(8)

v

tepat agar pasien pulih lebih cepat dan menghindarkan pasien dari nyeri kronik paska mastektomi. analgesia multimodal adalah kunci penanganan nyeri paska operasi dimana pada fase awal membutuhkan kontrol dengan analgesik opioid kuat dikombinasikan dengan agen anestesi lokal. Lidokain merupakan obat antiartimia yang juga berperan sebagai agen anestesi lokal intravena pilihan pada penanganan nyeri paska operasi.

Tujuan: Untuk mengetahui efektifitas pemberian lidokain bolus intravena dan kontinu terhadap intensitas nyeri paska operasi mastektomi di RSUP Haji Adam Malik Medan dan RS Universitas Sumatera Utara.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak terkontrol dan tersamar ganda. Dilaksanakan selama bulan November-Desember 2019. Total sampel yang diperoleh adalah dengan 42 pasien. Sampel ini di bagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A (lidokain) dan kelompok B (plasebo). Pengumpulan data menggunakan kuesioner VAS pada Jam-ke 0 (T0), 2 (T1), 4 (T2) dan 6 (T3) setelah pembedahan berakhir. Kriteria inklusi yaitu pasien berusia 19-25 tahun dengan status fisik ASA I dan II yang menjalani operasi mastektomi.

Hasil: Dari hasil didapatkan bahwa nilai rerata VAS-A pada 42 pasien sebesar 4,14±1,9.

Nilai rerata MAP pada kelompok lidokain sebesar 91,4±6,8 mmHg sedikit lebih rendah dibandingkan kelompok plasebo sebesar 92,2±5,2 mmHg (p=0,541). Nilai rerata denyut jantung pada kelompok lidokain sebesar 78,0±6,06 kali per menit dibandingkan kelompok plasebo sebesar 84,4±7,3 kali per menit (p=0,003). Pada kelompok lidokain diperoleh tidak ada korelasi antara MAP dengan nilai VAS paska operasi (r=-0,106;

p=0,324) dan korelasi negatif yang rendah antara denyut jantung dengan nilai VAS paska operasi pada kelompok lidokain (r=-0,201; p=0,524). Nilai VAS pada kelompok lidokain dan plasebo menunjukkan perbedaan yang bermakna pada pengamatan T0 (p=0,039).

Kesimpulan: Nilai VAS pada kelompok lidokain lebih rendah dibandingkan pada kelompok plasebo pada pengamatan T0, namun tidak berbeda bermakna pada pengamatan T1, T2, dan T3.

Kata Kunci: Nyeri paska operasi, Lidokain, Hemodinamik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(9)

vi

so that patients may recover more quickly and prevented from chronic pain after mastectomy. Multimodal analgesia is the key to manage postoperative pain which in initial phase requires control with strong opioid analgesics combined with local anesthetic agents. Lidocaine is an anti-arrhythmias drug that also acts as preferred local anesthetic agent in postoperative pain management.

Objective: To determine the effectiveness of intravenous bolus and continuous lidocaine on pain intensity after mastectomy surgery at Haji Adam Malik General Hospital Medan and North Sumatra University Hospital.

Method: This research is a randomized controlled and double-blind clinical trial.

Conducted during November-December 2019. Total samples obtained were 42 samples. This sample was divided into 2 groups: group A (lidocaine) and group B (placebo). Data collection using the VAS questionnaire at 0 (T0), 2 (T1), 4 (T2) and 6 (T3) hours after surgery. Inclusion criteria were patients aged 19-25 years with physical status ASA I and II who underwent mastectomy surgery.

Results: The results showed that t mean value of VAS-A in 42 samples was 4.14

± 1.9. The mean MAP in lidocaine group was 91.4 ± 6.8 mmHg, slightly lower than placebo group, 92.2 ± 5.2 mmHg (p = 0.541). Mean heart rate in lidocaine group was 78.0 ± 6.06 times per minute compared to placebo group at 84.4 ± 7.3 times per minute (p = 0.003). In lidocaine group, there was no correlation between MAP and postoperative VAS values (r = -0.106; p = 0.324) and low negative correlation between heart rate and postoperative VAS values in lidocaine group (r

= -0.201; p = 0.524) . VAS values in t lidocaine and placebo groups showed a significant difference in T0 observations (p = 0.039).

Conclusion: VAS values in lidocaine group were lower than placebo group at T0 observations, but not different significantly in T1, T2, and T3 observations.

Keywords: Postoperative pain, Lidocaine, Haemodynamics

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(10)

vii

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Hipotesis ... 5

1.4 Tujuan Penelitian... 5

1.4.1 Tujuan Umum ... 5

1.4.2 Tujuan Khusus ... 6

1.5 Manfaat Penelitian... 6

1.5.1 Manfaat Akademis ... 6

1.5.2 Manfaat Praktis ... 6

1.5.3 Manfaat Pelayanan Masyarakat ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 Konsep General Anesthesi ... 8

2.2 Fisiologi Nyeri... 8

2.3 Mekanisme Nyeri ... 9

2.3.1 Sensitisasi Perifer ... 11

2.3.2 Sensitisasi Sentral ... 12

2.4 Nosiseptor ... 12

2.5 Perjalanan Nyeri ... 13

2.5.1 Proses Transduksi... 14

2.5.2 Proses Transmisi ... 14

2.5.3 Proses Modulasi ... 14

2.5.4 Persepsi ... 14

2.6 Klasifikasi Nyeri ... 16

2.6.1 Nyeri Akut dan Kronik ... 16

2.6.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik ... 16

2.6.3 Nyeri Viseral ... 17

2.6.4 Nyeri Somatik ... 18

2.7 Penanganan Nyeri ... 18

2.7.1 Farmakologis ... 19

2.8 Multimodal Analgesia ... 19

2.8.1 Lidokain ... 20

2.8.2 Struktur dan Mekanisme Kerja Anestesi Lokal ... 21

2.8.3 Konsentrasi Minimum (Cm) ... 26

2.8.4 Farmakokinetik ... 26

2.8.5 Absorbsi ... 28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(11)

vii i

2.8.9 Alkalinisasi Larutan Anestetik Lokal ... 30

2.8.10 Indikasi ... 31

2.8.11 Farmakodinamik ... 31

2.9 Toksisitas Pada Anestesi Lokal ... 34

2.9.1 Toksisitas Sistemik ... 35

2.9.2 Toksisitas lokal ... 38

2.10 Terapi Toksisitas Anestetik Lokal ... 38

2.10.1 Terapi Toksisitas Sususnan Saraf Pusat ... 38

2.10.2 Terapi Toksisitas Jantung: Anti aritmia ... 39

2.10.3 Terapi Toksisitas Jantung: epinefrin dan atau vasopresin ... 40

2.10.4 Terapi Toksisitas Jantung: Emulsi Lipid... 41

2.11 Penilaian Nyeri ... 41

2.12 Kerangka Teori ... 45

2.13 Kerangka konsep ... 46

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Desain Penelitian ... 47

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 47

3.2.1 Tempat ... 47

3.2.2 Waktu ... 47

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 47

3.3.1 Populasi ... 47

3.3.2 Sampel ... 47

3.4 Besar Sampel ... 48

3.5 Teknik pengambilan sampel ... 49

3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 49

3.6.1 Kriteria Inklusi ... 49

3.6.2 Kriteria Eksklusi ... 49

3.6.3 Kriteria Putus Uji (Drop Out) ... 50

3.7 Informed Consent ... 50

3.8 Alat, Bahan dan Cara Kerja ... 50

3.8.1 Alat dan Bahan ... 50

3.8.2 Cara Kerja ... 51

3.9 Identifikasi Variabel ... 53

3.9.1 Variabel Bebas ... 53

3.9.2 Variabel Tergantung ... 54

3.10 Rencana Manajemen dan Analisis Data ... 54

3.11 Definisi Operasional ... 54

3.12 Masalah Etika ... 55

3.13 Prosedur Kerja ... 56

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57

4.1 Hasil ... 57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(12)

ix

4.1.3 Korelasi Hemodinamik Dengan Nilai VAS Pada Kelompok

Lidokain Dan Kontrol ... 59

4.1.4 Perbandingan Nilai VAS Setelah Operasi Pada Kelompok Lidokain Dan Plasebo ... 60

4.2 Pembahasan ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN ... 70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(13)

x

Gambar 2.1 Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan

nyeri akut akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses

pembedahan atau trauma ... 10

Gambar 2.2 Pain pathway ... 15

Gambar 2.3 struktur kimia lidokain ... 21

Gambar 2.4 Mekanisme Kerja Anestesi Lokal ... 26

Gambar 2.5 Toksisitas Agen Anestesi Lokal ... 35

Gambar 2.6 Wong Baker Faces Pain Rating Scale... 42

Gambar 2.7 Verbal Rating Scale ... 42

Gambar 2.8 Numerical Rating Scale ... 43

Gambar 2.9 Visual Analogue Scale... 44

Gambar 2.10 Kerangka Teori ... 45

Gambar 2.11 Kerangka Konsep ... 46

Gambar 3.1 Alur penelitian... 56

Gambar 4.1 Perbandingan Hemodinamik Pada Kelompok Lidokain Dan Plasebo ... 58

Gambar 4.2 Perbandingan VAS Pada Kelompok Lidokain Dan Plasebo ... 61

Gambar 4.3 Perubahan Nilai VAS Pada Pengamatan T0, T1, T2, Dan T3 Pada Kelompok Lidokain Dan Plasebo... 61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(14)

xi

Tabel 2.1 Pilihan obat untuk penanganan nyeri ... 19

Tabel 2.2 Farmakologi Lidokain ... 27

Tabel 2.3 Dose Dependent Effect of Lidocaine ... 36

Tabel 2.4 Klasifikasi Obat Antiarithmia ... 36

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel ... 57

Tabel 4.2 Perbanding Hemodinamik pada kelompok lidokain dan Plasebo ... 58

Tabel 4.3 Korelasi Hemodinamik Dengan Nilai VAS Pada Kelompok Lidokain Dan Plasebo ... 59

Tabel 4.4 Perbandingan Nilai VAS Setelah Operasi Pada Kelompok Lidokain Dan Plasebo ... 60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(15)

1.1 Latar Belakang

Kanker payudara ditemukan di seluruh dunia. Tahun 2003, insidens kanker payudara di Belanda 91 per 100.000 penduduk, Amerika 71,7 per

100.000 penduduk, Swiss 70 per 100.000 penduduk, Australia 83,2 per 100.000 penduduk, Kanada 84,7, Indonesia 26 per 100.000 penduduk pada tahun 2002 dan Jepang 16 per 100.000 penduduk. Kanker payudara lebih sering dijumpai pada umur 40-49 tahun yaitu sebesar 30,35%. Menurut Sukardja yang dikutip oleh Arlinda (2002) di Amerika frekuensi kanker payudara tertinggi ditemukan pada umur 40-50 tahun. Demikian juga di Jepang yaitu sebesar 40,6% kanker payudara ditemukan pada umur 40-49 tahun dan jarang pada umur kurang dari 30 tahun. Di Indonesia, kanker payudara masih menjadi masalah besar karena lebih dari 70%

pasien datang ke dokter pada stadium yang sudah lanjut dengan berbagai bentuk luka, antara lain tumor melekat pada kulit dan jaringan dibawahnya serta penyebaran pada kelenjar getah bening regional. Gejala lain yang mungkin timbul adalah batuk dan sesak nafas karena metastasis tumor pada paru, sakit di punggung akibat metastasis pada tulang belakang, berat badan semakin menurun dan anemia. Nyeri akut paska tindakan mastektomi memiliki durasi yang singkat namun berhubungan langsung dengan tindakan mastektomi, intervensi farmakologis memberikan keuntungan dalam memperbaiki nyeri. Strategi terapi yang tepat memungkinkan pasien pulih lebih cepat dan menghindarkan pasien dari nyeri kronik paska mastektomi (Post Mastectomy Pain Syndrome/PMPS) (Claassens, 2018).

Seiring dengan meningkatnya jumlah dan jenis operasi yang sehari-hari dikerjakan saat ini, manajemen nyeri akut menjadi aspek penting dari perawatan anestesi perioperatif. Hasil penelitian Apfelbaum dkk tahun 2003 pada 250 pasien di Amerika Serikat yang menjalani pembedahan, terdapat sekitar 80% pasien mengalami nyeri akut paska bedah, dan hampir 25% dari pasien yang menerima pengobatan pereda nyeri mengalami efek samping yang mengganggu. (Apfelbaum, 2003). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sommer dkk tahun 2007

1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(16)

mendapatkan prevalensi nyeri paska bedah dengan anestesi umum di Rumah Sakit Universitas Maastrict Belanda pada 1490 pasien paska bedah yang menerima penatalaksanaan nyeri sesuai protokol standar, hasilnya 41%, 30%, 19%, 16%, 14%

pasien mengalami nyeri sedang dan berat pada hari ke 0,1,2,3, dan 4. Prevalensi nyeri sedang dan berat pada grup bedah onkologi didapati tinggi pada hari 0-1 sebesar 30-55% (Sommer et al., 2008).

Nyeri paska operasi juga banyak dilaporkan pada pasien post mastektomi.

Bahkan sebagian besar berkembang menjadi Post Mastectomy Pain Syndrome (PMPS). Yang dilaporkan sebanyak 43% dari 408 wanita yang menjalani operasi mastektomi di Scotlandia.

Skor kualitas hidup berkurang signifikan pada wanita PMPS dibandingkan dengan wanita yang nyerinya dapat ditangani. Faktor risiko untuk persisten PMPS mencakup usia yang lebih muda dan yang memiliki berat badan berlebih. Pada penelitian terdahulu yang melaporkan PMPS pada 1996, separuh yang bertahan pada 2002 kembali mendapatkan pengalaman PMPS pada rata-rata 9 tahun setelah pembedahan (Macdonald et al., 2005).

Nyeri merupakan suatu perasaan atau pengalaman yang bersifat subjektif yang melibatkan sensoris, emosional dan tingkah laku yang tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan pada jaringan. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak negatif pada penderita paska bedah seperti kegelisahan (gangguan tidur), imunosupresi, hiperglikemi, perubahan hemodinamik (hipertensi, takikardi), penurunan gerakan nafas sehingga menyebabkan kemampuan untuk batuk berkurang sehingga mempermudah terjadinya atelektasis, ketakutan mobilisasi akan meningkatkan resiko komplikasi tromboemboli dan meningkatkan pelepasan katekolamin yang menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler, memperpanjang fase katabolik, menurunkan aliran darah ke ekstremitas inferior dan menurunkan sirkulasi darah ke splanchnicus.

Keadaan-keadaan tersebut akan mengakibatkan penyembuhan yang lambat, gangguan mobilisasi, factor resiko untuk menjadi nyeri kronik, jangka waktu rawatan di rumah sakit bertambah dan pada akhirnya akan meningkatkan biaya pengobatan (Morgan, Mikhail and Murray, 2006; Rawal, Fischer and Ivani, 2008;

Barash et al., 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(17)

American Society of Anestesiologists (ASA) menyatakan analgesia multimodal adalah kunci penanganan nyeri paska operasi. Penanganan nyeri yang baik akan meningkatkan hasil akhir pembedahan dengan mengurangi morbiditas dan mempercepat waktu pemulihan. Analgesia multimodal terbukti dapat menurunkan stress paska operasi, mengurangi nyeri pada pasien dengan komorbid yang berhubungan dengan pernapasan, jantung, komplikasi trombosis, mual, muntah, ileus, peningkatan katabolisme, disfungsi kognitif, memfasilitasi pemulihan dengan mempercepat saat pemberian nutrisi, mobilisasi, dan juga mengurangi lama tinggal di rumah sakit.

Infus lidokain telah digunakan untuk mengobati beberapa kondisi nyeri akut maupun kronis. Obat ini pertama kali digunakan untuk pengobatan nyeri neuropatik pada pasien paska luka bakar pada tahun 1943. Sejak itu lidokain sering diteliti pada keadaan nyeri kronis, seperti pasien dengan neuropati diabetikum dan sindroma nyeri regional yang kompleks.

Pada nyeri neuropatik, patofisiologi melibatkan modifikasi ekspresi kanal natrium yang mengarah pada respon yang bertanggung jawab untuk membangkitkan rasa sakit yang tidak wajar. Lidokain melemahkan kepekaan nosiseptor perifer dan sentral melalui aksi blocking kanal natriumnya. Lidokain juga memiliki peran klinisnya dalam mengobati nyeri perifer dan sentral.

Lidokain memiliki efek antiinflamasi yang kuat, yang bahkan lebih kuat dari obat- obatan antiinflamasi tradisional, dan dengan efek samping yang lebih sedikit.

Melalui jalur antiinflamasinya, infus lidokain telah terbukti mengurangi sirkulasi sitokin inflamasi. Peran sitokin inflamasi telah diakui dalam proses hiperalgesia sekunder dan sensitisasi sentral. Infus lidokain secara khusus efektif dalam mengurangi allodynia mekanik dan hiperalgesia yang terkait dengannya nyeri neuropatik kronis. Proses ini diyakini terjadi melibatkan sistem saraf pusat (Kandil et al., 2017).

Bedasarkan World Federartion of Societies of Anaesthesiologist (WFSA) Analgesic Ladder, pada fase awal, nyeri bersifat severe dan membutuhkan kontrol dengan pemberian analgesik opioid kuat dikombinasikan dengan agen anestesi lokal dan bekerja di perifer. Lidokain merupakan obat antiartimia yang juga berperan sebagai agen anestesi lokal intravena pilihan pada penanganan nyeri

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(18)

paska operasi dikarenakan waktu paruhnya yang sangat singkat. Pemberian secara intravena memberikan efek analgesia, antihiperalgesia, dan antiinflamasi.

Pemanjangan efek analgesia disebabkan penghambatan impuls spontan dari saraf perifer dan akar ganglion dorsalis yang cedera ke serabut yang rusak, serta penekanan pada reflex polisinaptik di dorsal horn spinal. Sebagai sodium channel blocker, lidokain sistemik mengganggu respon nyeri kulit terhadap stimulus mekanik dan kimia melalui mekanisme perifer dan sentral pada percobaan preklinis. Lidokain intravena sebagai adjuvan pada plasebo nyeri paska operasi sangat dianjurkan. Penggunaannya telah terbukti aman dan efektif dalam pembedahan perut, payudara, tulang belakang, dan baru-baru ini, juga dalam bedah thorak.

Menurut Tauzin-Fin, 2014, Obat lidokain mengurangi kebutuhan konsumsi opioid (morfin) paska operasi, serta menurunkan intensitas nyeri paska operasi (Tauzin-Fin et al., 2014; Dunn and Durieux, 2017) Menurut penelitian yang dilakukan oleh Terkawi et al. (2015) di virginia pada 61 pasien mastektomi yang mendapatkan analgetik intraoperatif fentanil 5 mcg/kg, didapat penurunan nyeri yang bermakna pada kelompok yang diberikan lidokain kontinu paska operasi mastektomi dengan yang kelompok placebo dengan signifikasi nilai p = 0,008. Penelitian Terkawi et. al., juga menunjukkan bahwa pemberian lidokain paska operasi menurunkan angka kejadian nyeri kronik paska mastektomi setelah 6 bulan, dimana pada kelompok lidokain terdapat 12% pasien yang mengalami nyeri kronik paska mastektomi dibandingkan placebo, 30%. (Terkawi et al., 2015).

Jay Thomas dkk, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dari 82 orang pasien yang mengalami pembedahan diberikan lidokain dibadingkan dengan pemberian morfin oral (median, 0-42,24 mg/hari) untuk terapi nyeri, 82% pasien yang dievaluasi melaporkan respon utama rasa sakit mereka berkurang pada pemberian lidokain, 8% melaporkan respon parsial, dan 10% melaporkan tidak ada manfaat (Thomas et al., 2004).

Sharma (2009) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pemberian infus tunggal lidokain memberikan perbaikan nyeri dan durasi nyeri yang lebih pendek pada pasien opioid-refractory dengan nyeri kanker yang sebelumnya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(19)

mendapatkan analgetik morfin dosis maksimal. Penelitian Sharma (2009) melaporkan bahwa dari 50 pasien nyeri kanker yang diberikan lidokain infus didapatkan adanya perbedaan signifikan dengan penurunan derajat nyeri dibandingkan dengan pasien yang tidak diberikan lidokain dengan signifikansi p<0,0012. Efek samping yang diamati adalah tinnitus, kebas perioral, sedasi, pusing ringan dan sakit kepala (Sharma et al., 2009). Dalam banyak penelitian, efek analgetik telah bertahan setelah infus lidokain dihentikan, yang menunjukkan pencegahan hipersensitivitas sentral, hipersensitivitas perifer, atau keduanya.

Penghambatan reseptor NMDA, polymorphonuclear leucocyte priming, atau keduanya dapat memainkan peran dalam efek ini. Lidokain perioperatif juga ditemukan memiliki efek pencegahan pada nyeri paska operasi hingga 72 jam setelah pembedahan abdomen (Ramaswamy, Wilson and Colvin, 2013).

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti berkeinginan mengetahui bagaimana efektifitas pemberian lidokain intravena kontinu terhadap intensitas nyeri paska operasi mastektomi di RSUP Haji Adam Malik Medan, RS Universitas Sumatera Utara.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah efektifitas pemberian lidokain bolus intravena dan kontinu terhadap intensitas nyeri paska operasi mastektomi di RSUP Haji Adam Malik Medan dan RS Universitas Sumatera Utara.

1.3 Hipotesis

Lidokain bolus intravena dan kontinu dapat menurunkan intensitas nyeri paska operasi mastektomi.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektifitas pemberian lidokain bolus intravena dan kontinu terhadap intensitas nyeri paska operasi mastektomi di RSUP Haji Adam Malik Medan dan RS Universitas Sumatera Utara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(20)

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk melihat perbandingan hemodinamik pada kelompok lidokain dan kelompok plasebo

2. Untuk melihat korelasi hemodinamik dan nilai VAS pada kelompok lidokain dan plasebo

3. Untuk melihat perbandingan nilai VAS setelah operasi pada kelompok lidokain dan plasebo

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan tambahan dalam penelitian lanjutan tentang upaya-upaya dalam pemberian lidokain intravena sebagai analgetik adjuvan pada pasien yang menjalani pembedahan mastektomi dengan general anestesi.

1.5.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam pemberian lidokain intravena pada keadaan berikut:

1. Sebagai data untuk penelitian lanjutan mengenai pemberian lidokain intravena sebagai analgetik adjuvan pada pasien dengan pembedahan mastektomi dengan general anestesia.

2. Sebagai data untuk penelitian lanjutan mengenai alternatif analgetik lain yang lebih efektif digunakan sebagai analgetik adjuvan pada pasien dengan pembedahan mastektomi.

3. Sebagai data untuk penelitian lanjutan mengenai apakah pemberian lidokain intravena sebagai analgetik adjuvan bisa digunakan pada pembedahan mayor lainnya.

1.5.3 Manfaat Pelayanan Masyarakat

1. Untuk mengurangi nyeri yang diakibatkan paska pembedahan mastektomi.

2. Untuk mengurangi penggunaan opioid sebagai analgetik.

3. Untuk mempercepat waktu pemulihan,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(21)

4. Untuk menghindari timbulnya efek samping yang dapat terjadi akibat penggunaan opioid dalam jumlah besar.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep General Anesthesi

Anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel yang mengubah status fisiologis tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi), hilangnya persepsi nyeri (analgesia), hilangnya memori (amnesia) dan relaksasi. Beberapa senyawa yang dapat menghasilkan keadaan anestesi umum antara lain bersifat inert (xenon), anorganik (nitrous oxide), inhalasi hidrokarbon (halothan), dan struktur organik komplek (barbiturat) (Morgan, Mikhail and Murray, 2006).

Terdapat beberapa daerah mikoroskopik sebagai tempat bekerjanya substansi anestesi umum. Pada otak diketahui anestesi umum mempengaruhi beberapa tempat, seperti sistem retikular, kortek serebri, kortek olfaktori, dan hipokampus (Torpy, Lynm and Golub, 2011).

Melalui mekanisme kerjanya, anestesi umum mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada sistem seluler, seperti perubahan pada ligand gate ion channel, fungsi second messenger, atau reseptor neurotransmiter. Sebagai contoh terjadi peningkatan inhibisi pada γ-Aminobutyric Acid (GABA) pada sistem saraf pusat. Seperti diketahui reseptor agonis GABA akan memperdalam anestesi, sedangkan antagonis GABA akan menghilangkan aksi anestesi (Morgan, Mikhail and Murray, 2006).

Semua zat obat anestesi umum menghambat susunan saraf pusat secara bertahap, dimulai dari fungsi yang kompleks dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang bekerja sebagai pusat vasomotor dan pusat pernapasan.

2.2 Fisiologi Nyeri

Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.

Sebagaimana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin.

8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(23)

Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya dan tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi (Bonica and Mc Donald, 1995; Woolf, American College of Physicians and American Physiological Society, 2004; Sommer et al., 2008).

Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska bedah harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu akan menimbulkan Metabolic Stress Respon (MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi seperti (Apfelbaum et al., 2003):

 Perubahan kognitif: kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa

 Perubahan neurohumoral: peripheral hiperalgesia, peningkatan kepekaan luka

 Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi sehingga meningkatkan kepekaan nyeri

 Aktivasi simpatoadrenal: pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi

 Perubahan neuroendokrin: peningkatan kortisol, peningkatan kadar gula darah, katabolisme

Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan leukotrien) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan ini berperan pada proses transduksi dari nyeri (Garimella and Cellini, 2013).

2.3 Mekanisme Nyeri

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(24)

Gambar 2.1.Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan atau trauma (Carr, 1999)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(25)

Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak (Woolf, American College of Physicians and American Physiological Society, 2004).

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi dengan cara meminimalkan proses inflamasi seperti mengurangi rangsangan dan mengurangi gerak/mobilisasi. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif namun pada kasus-kasus pembedahan dan cedera karena trauma maka penatalaksanaan nyeri secara aktif menjadi pilihan. Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri (Regan et al., 2017).

Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksius atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistem saraf (nyeri fungsional) (Rawal, Fischer and Ivani, 2008).

2.3.1 Sensitisasi Perifer

Cedera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, kemokin dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers) (Meyer, 2006).

Sensitifitas daripada terminal nosiseptor perifer tidaklah tetap, dan aktifasinya dapat dilakukan baik melalui stimulasi perifer yang terjadi secara berulang atau melalui perubahan komposisi kimia dari terminal yang dapat mensensitisasi neuron sensor primer. Fenomena ini dikatakan sebagai sensitisasi perifer (Rawal, 2008).

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2, akan mereduksi ambang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(26)

aktifasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi (Meyer, 2006).

2.3.2 Sensitisasi Sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitifitas nyeri setelah cedera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler dari neuron (transcription dependent) (Meyer, 2006).

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan membuat jaringan saraf didalam medula spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini menyebabkan munculnya nyeri akibat stimulus non noksius (allodynia) dan daerah yang jauh dari jaringan cedera juga menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri (hyperalgesia) (Meyer, 2006).

2.4 Nosiseptor

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vascular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu, atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus saat istirahat. Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak melalui skrining fungsi ke CNS untuk interpretasi nyeri (Woolf, 2004) (Siregar, 2010).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(27)

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf proyeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap waspada pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal terjadi setelah 15 sampai 20 detik, tapi pada iskemia kulit terjadi setelah 20 sampai 30 menit (Woolf, 2004).

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.

Nosiseptor C dan nosiseptor A delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang tidak spesifik (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A beta mempunyai aktivitas nociceptor-like.

Serat–serat sensorik mekanoreseptor A beta bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika di daerah sekitar kerusakan jaringan terjadi inflamasi. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan oleh mekanoreseptor A beta (Woolf, 2004).

Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai reseptor nyeri, hal ini dikarenakan organ internal jarang terpapar pada keadaan yang bersifat merusak. Banyak stimulus yang merusak (memotong, membakar, menjepit) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur jaringan viseral. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan bertujuan untuk mempertahankan fungsi (Woolf, 2004).

2.5 Perjalanan Nyeri

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif yang merefleksikan 4 proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri) (Woolf, 2004) (Morgan, 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(28)

2.5.1 Proses Transduksi

Merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa stimuli fisik, kimia ataupun panas (Woolf, 2004; Morgan, 2013).

2.5.2 Proses Transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke talamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.

Selain itu serabut-serabut saraf ini mempunyai sinap interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Impuls disalurkan ke talamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri (Woolf, 2004) (Morgan, 2013).

2.5.3 Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak.

Analgetik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang (Woolf, 2004) (Morgan, 2013).

2.5.4 Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(29)

talamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik (Woolf, 2004) (Morgan, 2013).

Gambar 2.2 Pain pathways (Woolf, 2004)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(30)

2.6 Klasifikasi Nyeri

Kejadian nyeri itu unik pada setiap individual bahkan jika cedera fisik yang diterima tersebut sama pada individual lainnya. Adanya rasa takut, marah, cemas, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan.

Subjektivitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri. Salah satu pendekatan yaitu dengan cara mengklasifikasi nyeri berdasarkan durasi (akut, kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan, kanker) (Rahmatsyah, 2008).

2.6.1 Nyeri Akut dan Kronik

Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus. Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai 7 hari, Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1–6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction atau infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Nyeri kronik mungkin mempunyai elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai dengan keadaan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar jaringan yang rusak (dorsal horn pada spinal cord) membuat pengobatan menjadi lebih sulit (Woolf, 2004) (Rawal, 2008).

Pasien dengan nyeri akut dapat memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, nafas cepat) pada saat nyeri muncul tetapi nyeri kronik bisa tanpa disertai adanya respon otonom. Nyeri kronik dapat berupa hyperalgesia dan allodynia yang pengobatan untuk nyeri jenis ini sangat sulit sehingga penanganan untuk nyeri akut harus sebaik mungkin untuk mencegah timbulnya nyeri kronik (Jane, 2008) (Woolf, 2004).

2.6.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik

Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(31)

dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap analgetik opioid atau non opioid (Setiabudi, 2005) (Morgan, 2013).

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer dan biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgetik opioid (Woolf, 2004).

2.6.3 Nyeri Viseral

Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.

Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureter, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.

Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada peritonium. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggerogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat yang terkena (Elia, 2005) (Jane, 2008).

Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atauureter.

Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah karena distensi berlebih dari jaringan.

Impuls nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana impuls dari esofagus, trakea dan faring melalui afferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(32)

melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard. Parenkim otak, hati, dan alveoli paru merupakan daerah yang tidak memilikireseptor. Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat sensitif terhadap rangsangan nyeri (Larkin, 1999).

2.6.4 Nyeri Somatik

Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah, kala dua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak (Whitte& Sessler, 2002) (Argoff& McCleane, 2009).

Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh, impuls nyeri berasal dari apendik yang inflamasi melalui serat–serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11.

Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan, impuls nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi apendik menyentuh dinding abdomen, impuls–impluls ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah (Abraham& Schlicht, 2001) (Bonica&Loeser, 1990).

2.7 Penanganan Nyeri

Penanganan nyeri paska bedah yang efektif diperlukan pemahaman tentang patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, serta perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi) (Umar, 2002)(Rawal, 2008).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(33)

2.7.1 Farmakologis

Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgetik oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid intraspinal (Morgan, 2013).

Pemilihan teknik analgetik secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri paska bedah (Rawal, 2008)(Morgan, 2013).

Tabel 2.1. Pilihan obat untuk penanganan nyeri (Rawal et al, 2008)

Jenis Obat Contoh Obat

Non-opioid analgesics Paracetamol

NSAIDs, including COX-2 inhibitors* Gabapentin, pregabalin2

Weak opioids Codeine Tramadol

Paracetamol combined with codeinor tramadol Strong opioids Morphine Diamorphine Pethidine

Piritramide Oxycodone Adjuvans** Ketamin Clonidin

2.8 Multimodal Analgesia

Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Dimana multimodal analgesi melakukan intervensi nyeri secara berkelanjutan pada ketiga proses perjalanan nyeri, yakni (Umar, 2009) (Sommer, 2008):

 Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan NSAID

 Penekanan pada proses transmisi dengan anestetik lokal (regional)

 Peningkatan proses modulasi dengan opioid

Analgesia multimodal merupakan suatu pilihan yang dimungkinkan dengan penggunaan parasetamol dan AINS sebagai kombinasi dengan opioid atauanestesi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(34)

lokal untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang mengalami nyeri paska bedah ditingkat sedang sampai berat. Analgesia multimodal selain harus diberikan secepatnya (early analgesia), juga harus disertai dengan early mobilization disertai dengan pemberian nutrisi oral secepatnya (early feeding) (Tanra, 2000).

2.8.1 Lidokain

Anestesi lokal pertama kali disintesa dari kokain dan diperkenalkan sebagai obat lokal anestesi pertama kali tahun 1884 oleh Kollar untuk digunakan dalam ophthalmology. Halsted mengakui kemampuan dari kokain injeksi untuk menghambat konduksi impuls saraf, yang penting untuk diperkenalkan pada anestesia blok saraf tepi dan spinal anestesia. Sebagai ester dari asan benzoik, kokain dalam jumlah banyak terdapat pada tumbuhan Erythroxylon coca, sejenis tumbuhan yang tumbuh dipegunungan andes dimana kualitasnya dalam merangsang otak diketahui dengan baik. Keistimewaan yang unik lainnya dari kokain adalah kemampuannya menimbulkan vasokonstriksi lokal, membuat berguna untuk mengerutkan mukosa hidung pada saat proses rhinolaryngologic dan intubasi nasotracheal. Potensial penyalahgunaan dari kokain membatasi keabsahan penggunaannya secara medis, selain itu sifat iritasi kokain membatasi obat tersebut digunakan sebagai anestesi topikal pada kornea atau bentuk injeksi lainnya yang menyebabkan anestesi (Stoelting, 2006).

Obat anestesi lokal sintetik pertama kali dibuat dari turunan ester yaitu prokain, diperkenalkan oleh einhorn (1905). Lidokain disintesa sebagai anestesi lokal golongan amide oleh Lofgren tahun 1943. Lidokain (Xylocaine/lignocaine) adalah obat anestesi lokal yang digunakan secara luas baik melalui pemberian topikal atau intravena. Lidokain menimbulkan blok saraf lebih cepat, lebih kuat dan durasinya lebih lama dibandingkan dengan prokain. Tidak seperti prokain, lidokain efektif digunakan secara topikal dan sangat poten untuk obat anti disritmia jantung. Untuk alasan ini, lidokain digunakan sebagai standar perbandingan dari obat anestesi lainnya. Lidokain dapat menimbulkan blok reversibel terhadap konduksi impuls saraf pusat dan perifer setelah anestesia regional ataupun blok saraf tepi. Meningkatnya konsentrasi dari obat-obat lokal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(35)

anestesia di sekitar serat saraf akan menyebabkan konsentrasi dari obat-obat lokal anestesi disekitar serat saraf akan menyebabkan transmisi saraf otonom, saraf sensorik, dan saraf motorik dihentikan sehingga menimbulkan blok sistem otonom, sensoris dan paralisis dari otot-otot skeletal yang dipersarafi oleh saraf yang di blok.

Berkurangnya konsentrasi anestesi lokal di daerah injeksi akan diikuti oleh kembalinya fungsi konduksi saraf secara spontan dan komplit, tanpa ditandai kerusakan struktur serat saraf sebagai akibat dari efek obat. Tiap mililiter lidokain mengandung: 2-(dietilamino)-N-(2,6-dimetilfenil) asetamida hodroklorida (Stoelting, 2006).

Gambar 2.3 struktur kimia lidokain

2.8.2 Struktur dan Mekanisme Kerja Anestesi Lokal 1. Struktur Anestesi Lokal

Anestesi lokal terdiri dari bagian lipofilik dan hidrofobik yang dihubungkan oleh rantai hidrokarbon (Gambar 2.3). Bagian hidrofobik disusun oleh amine tersier seperti : dietilamin, dimana bagian paraaminobenzoik asid. Bagian lipofilik ini berperan penting dalam menentukan aktifitas anestetik dari obat tersebut.

Berdasarkan strukturnya tersebut, obat anestesi lokal dapat diklasifikasikan menjadi golongan amino ester dan amino amida. Pembagian menjadi golongan ester dan amida ini erat kaitannya dengan metabolisme dan reaksi alergi yang ditimbulkannya (Stoelting,2006).

Modifikasi struktur kimia dari obat lokal anestesi ini berpengaruh pada efek farmakologi. Lidokain mirip dengn etidokain tetapi penggantian grup ethyl dari lidokain dengan propyl dan penambahan etyl pada alpha atom karbon di ratai hydrokarbon menyebabkan etidokain 50 kali lebih larut dalam lemak dan durasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(36)

203 kali lebih lama. Anestesi lokal pipecoluxylidide (mepivakain, bupivakain, ropivakain, levobupivakain) memiliki struktur chiral karena adanya atom karbon yang asimetris. Struktur ini menyebabkan obat tersebut meliki konfigurasi l (left) dan r (Right) enatiomer perbedaan konfigurasi ini erat kaitannya dengan efek neeurotoksisitas dan kardiotoksisitas, dimana l-enatiomer (ropivakain, levobupivakain) memiliki toksisitas yang lebih rendah dari r-enatiomer (stoelting, 2006).

Potensi sangat berhubungan dengan kelarutannya didalam lemak, karena hal ini berpengaruh terhadap kemampuan obat anestesi lokal dalam menembus membran sel neuron (epineurium, perineurium dan endoneurium). Secara umum kelarutan dalam lemak dan potensi dari lokal anestesi meningkat bila jumlah atom C (karbon) yang menyusun molekul obat tersebut bertambah banyak. Cara yang sering dipergunakan untuk mengukur potensi dari obat anestesi lokal adalah Cm (konsentrasi minimum dari lokal anestesi yang dapat memblok konduksi impuls saraf).

Mepivakain, bupivakain, dan ropivakain adalah obat chiral karena memiliki molekul karbon yang asimetris faktor : ukuran, tipe, dan myelin serat saraf, pH asam mengurangi potensi blok saraf), frekuensi rangsangan saraf dan kadar elektrolit (hipokalemia dan hiperkalemia) akan mempengaruhi dasar blok saraf.

Onset dari anestesi lokal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:

kelarutan dalam lemak, pKa (pH saat obat anestesi lokal yang terionisasi sama dengan yang tidak terionisasi). Obat yang memiliki pKa mendekati pH fisiologis, konsentrasi obat yang tidak terionisasi lebih besar sehingga lebih mudah menembus membran sel saraf, sehingga onset lebih cepat. Disamping itu, pH dari jaringan juga berpengaruh terhadap onset anestesi lokal, seperti pada infeksi lokal pH jaringan lebih asam, sehingga onset anestesi lokal akan lebih lambat.

Penambahan ephineprin akan membuat pH larutan lebih asam (molekul ephineprin lebih stabil pada suasana asam) sehingga onset maupun durasi dari anestesi lokal lebih lama. Sedangkan penambahan sodium bikorbonat (alkalinisasi 1ml 8,4% sodium bikarbonat per 10 ml 1% lidokain) akan meningkatkan pH larutan anestesi lokal sehingga onset dari obat lebih cepat dan durasinya lebih lama.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(37)

Durasi dari anestesi lokal sangat bergantung pada kelarutan obat dalam lemak. Semakin besar kelarutannya dalam lemak semakin lama durasinya oleh karena pembersihan oleh aliran darah menurun. Kelarutannya dalam lemak juga menunjukkan kekuatan ikatan antara obat dengan protein plasma berbanding lurus dengan kecepatan eliminasi dari obat.

2. Mekanisme Kerja Anestesia Lokal

Anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf dengan menghambat aliran ion natrium melalui saluran natrium pada keadaan potensial istrahat, neuron mempertahankan potensial (-70mV) didalam sel neuron dibandingkan dengan di luar sel. Pompa Na-K secara aktif mempertahankan potensial ini tetap terpelihara. Pompa aktif ini menggerakkan natrium (Na+) keluar dari sel neuron dan membawa kalium (K+) masuk kedalam sel sehingga terjadi perbedaan konsentrasi ion Na+ dan K+ didalam dan di luar sel (Na+ lebih tinggi di ekstrasel dan K+ lebih tinggi di intrasel). Untuk pergerakan pasif, sel neuron lebih permeabel terhadap ion K daripada ion Na sehingga potensial listrik intraseluler lebih negatif dari ekstrasel. Dengan adanya rangsangan potensial listrik pada neuron maka akan terjadilah fase depolarisasi sepanjang akson dan aktifasi kanal natrium di membrane sel yang menyebabkan reflek ion natrium ke dalam sel sehingga terjadi perubahan potensial membran dari -70 mV menjadi +35 mV.

Molekul anestesi lokal masuk kedalam sel dan menutup kanal ion Na dari dalam sel, sehingga potensial aksi dicegah dan transmisi impuls sepanjang saraf tidak terjadi (Rathmell, 2004).

Obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf (Butterworth dan Strichartz, 1990). Gerbang natrium sendiri adalah reseptor spesifik molekul obat anestesi lokal. Penyumbatan gerbang ion yang terbuka dengan molekul obat anestesi lokal berkontribusi sedikit sampai hampir keseluruhan dalam inhibisi permeabilitas natrium. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(38)

tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial (Darmadhita, 2015).

Lokal anestesi juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor Nmethyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat yang berbeda-beda. Beberapa golongan obat lain, seperti antidepresan trisiklik (amytriptiline), meperidine, anestesi inhalasi, dan ketamin juga memiliki efek memblok kanal sodium (Darmadhita, 2015).

Tidak semua serat-serat saraf dapat dipengaruhi oleh obat anestesi lokal, oleh karena sensitivitasnya sangat ditentukan oleh diameter dari akson, ada tidaknya myelin sehingga pada penggunaan blok spinal urutan saraf yang terblok adalah autonom, sensorik dan motorik. Sebaliknya pemulihannya dimulai dari saraf motorik, sensorik, terakhir adalah autonom (Morgan,2013).

Teori ekspansi membran mendalilkan bahwa anestesi lokal diserap ke dalam membran sel, memperluas membran dan menyebabkan penyempitan saluran natrium. Hipotesis ini sebagian besar telah memberi jalan kepada teori reseptor spesifik. Teori ini mengusulkan bahwa anestesi lokal berdifusi melintasi membran sel dan berikatan dengan reseptor spesifik pada pembukaan saluran natrium yang diberi tegangan. Afinitas anestesi lokal terhadap saluran Na + yang diberi tegangan meningkat secara nyata dengan laju eksitasi neuron. Ikatan ini mengarah pada perubahan struktur atau fungsi saluran dan menghambat pergerakan ion natrium. Blokade kebocoran arus K + oleh anestesi lokal kini juga diyakini berkontribusi pada blok konduksi dengan mengurangi kemampuan saluran untuk mengatur potensi membran (Dmyrek et al, 2015).

Atas dasar diameternya, serabut saraf dikategorikan menjadi 3 jenis. Serat tipe A adalah yang terbesar dan bertanggung jawab untuk melakukan tekanan dan sensasi motorik. Serat tipe B berukuran mielin dan ukuran sedang. Serat tipe C, yang mentransmisikan rasa sakit dan sensasi suhu, berukuran kecil dan tidak mengandung mielin. Akibatnya, anestesi memblokir serat tipe C lebih mudah daripada serat tipe A. Oleh karena itu, pasien yang telah memblokir sensasi nyeri masih merasakan tekanan dan memiliki mobilitas karena serat tipe A yang tidak diblokir (Dmyrek et al, 2015).

Beberapa teori berkaitan dengan aksi anestesi pada saraf. Namun, teori

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(39)

reseptor spesifik adalah teori yang paling banyak diterima. Satu fakta yang terbukti adalah bahwa anestesi mengganggu bagaimana impuls berjalan sepanjang saraf. Ini dilakukan dengan mengganggu masuknya ion natrium melintasi membran aksonal saraf perifer. Anestesi lokal berdifusi melintasi membran sel dan berikatan dengan reseptor spesifik pada pembukaan saluran natrium yang terdegagasi. Afinitas anestesi lokal terhadap saluran Na + yang terjaga tegangannya meningkat secara signifikan dengan laju eksitasi neuron. Anestesi lokal bekerja selama fase depolarisasi generasi impuls saraf dengan mengikat protein struktural yang dikenal sebagai reseptor spesifik pada saluran natrium.

Laju depolarisasi berkurang dan saraf tidak pernah mencapai potensi penembakan.

Anestesi yang berbeda mengikat di berbagai lokasi di membran. Pada saraf mielin, anestesi lokal memiliki akses ke membran saraf hanya di simpul Ranvier di mana saluran natrium berada (Logothetis, 2012).

Anestesi harus menembus 8-10 mm dari panjang saraf, sekitar tiga hingga empat node, untuk secara mendalam memblokir generasi impuls saraf karena impuls bisa cukup kuat untuk melewati satu atau dua node yang tersumbat.

Ketebalan saraf juga memiliki efek pada berapa banyak anestesi lokal yang diperlukan untuk menutup tiga hingga empat node untuk mencapai anestesi mendalam. Oleh karena itu selubung saraf yang lebih tebal seperti yang ditemukan pada saraf alveolar inferior akan membutuhkan lebih banyak anestesi untuk mencapai penyumbatan saraf yang memadai. Selama tahap istirahat konduksi saraf, ion kalsium (Ca ++) terikat pada situs reseptor dalam saluran ion membran sel. Selama depolarisasi, ion Ca ++ dipindahkan dan dianggap sebagai faktor paling signifikan yang bertanggung jawab atas masuknya natrium ke dalam saraf. Anestesi lokal bekerja dengan bersaing dengan ion Ca ++ untuk mengikat saluran ion ini selama depolarisasi lambat dan menutup (memblokir) saluran ini (Logothetis, 2012). Secara umum mekanisme anestesia lokal dapat disimpulkan dalam algoritna berikut ini (Guido Di Gregorio, 2010).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(40)

Anestesi Lokal

Berikatan dengan reseptor

Kanal Na+ terblok

Perpindahan Sodium Kecepatan depolarisasi membran

Potensial Aksi Tidak Terjadi

Konduksi diblok

Gambar 2.4 Mekanisme kerja anestesi lokal (Guido Di Gregorio, 2010)

2.8.3 Konsentrasi Minimum (Cm)

Konsentrasi minimum dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan untuk memblok konduksi saraf disebut dengan Cm (Concentration minimum), analog dengan Minimum Alveolar Concentration (MAC) untuk zat anestetik inhalasi.

Meningkatnya pH atau frekuensi rangsangan saraf akan menurunkan Cm. Sistem saraf motorik memiliki Cm dua kali dari sistem saraf sensori, hal ini menyebabkan anestesia sensorik tidak selalu disertai paralisis otot skeletal.

Meskipun tidak ada perbedaan Cm, dosis obat anestetik lokal akan lebih sedikit dibutuhkan pada regional subarachnoid dari pada epidural oleh karena serat saraf dalam subarachnoid lebih sedikit lapisan proteksinya (Stoelting, 2006).

2.8.4 Farmakokinetik

Anestesi lokal adalah basa lemah dengan pKa sedikit diatas pH fisiologi.

Pada pH fisiologis kurang dari 50% obat anestesi lokal terlarut dalam lemak dan tak mengalami ionisasi. Anestesi lokal yang memiliki pKa mendekati pH fisiologis memiliki onset yang lebih cepat karena rasio obat yang terionisasi dan dengan tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar

Gambar 2.1.Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh  proses pembedahan atau trauma (Carr, 1999)
Gambar 2.2 Pain pathways (Woolf, 2004)
Gambar 2.3 struktur kimia lidokain
Gambar 2.6 Wong Baker Faces Pain Rating Scale (Rawal et al, 2008).
+7

Referensi

Dokumen terkait