• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put /PP/M.IB/10/2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put /PP/M.IB/10/2015"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put. 59161/PP/M.IB/10/2015

Jenis Pajak : PPh Pasal 21

Tahun Pajak : 2007

Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang sebesar Rp5.015.401.278,00, Pemohon Banding mengajukan banding dengan menyebutkan secara eksplisit besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang menurut perhitungan Pemohon Banding yaitu Rp3.276.020.346,00, sehingga nilai sengketa sampai dengan Surat Banding adalah sebesar Rp1.739.380.932,00;

1.

Sengketa Objek Pajak Pasal 21 sebesar Rp.689.880.840,00

Menurut Terbanding : bahwa Peneliti berpendapat bahwa koreksi Pemeriksa telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga koreksi Pemeriksa dipertahankan;

Menurut Pemohon Banding : bahwa Pemohon Banding berpendapat bahwa tidak terdapat alasan yang kuat baik kaitannya dengan peraturan perpajakan yang digunakan maupun logika administrasi perpajakan yang berlaku untuk dapat mengakomodasi pendapat Terbanding; Oleh karenanya Pemohon Banding mengusulkan agar Majelis Hakim dapat mengabulkan permohonan banding Pemohon Banding atas koreksi positif objek PPh Pasal 21 dari accrual bonus;

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(2)

Menurut Majelis : bahwa yang menjadi sengketa adalah koreksi Terbanding terhadap Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 21 sebesar Rp689.880.840,00 atas biaya bonus yang belum dbayarkan oleh Pemohon banding kepada para pegawainya (accrual bonus);

bahwa menurut Pemohon Banding, biaya bonus kepada karyawan tersebut pada tahun buku 2007 belum dibayarkan kepada para pegawai, namun telah dicatat sebagai biaya yang bersifat accrual (accrued expense), sehingga belum terutang PPh pasal 21;

bahwa berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pasal 21 Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor: 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut Undang-undang PPh Tahun 2007), dinyatakan sebagai berikut:

(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh:

1. Pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah dan honorarium dengan nama apapun sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan di Indonesia;

2. Bendaharawan Pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan tetap dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang dibebankan kepada keuangan negara;

3. Badan dana pensiun yang membayarkan uang pensiun;

4. Perusahaan dan badan-badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa yang dilakukan di Indonesia oleh tenaga ahli dan/atau persekutuan tenaga ahli sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas”;

bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, Majelis berpendapat bahwa PPh Pasal 21 atas bonus yang diberikan oleh Pemohon Banding kepada para pegawainya terutang dan harus dipotong oleh Pemohon Banding pada saat bonus tersebut dibayarkan oleh Pemohon Banding kepada para pegawainya;

bahwa oleh karena sampai dengan pada akhir tahun buku 2007 Pemohon Banding belum membayarkan bonus kepada para pegawainya, maka pada tahun buku 2007 tidak terdapat obyek PPh pasal 21 yang berasal dari bonus, sehingga tidak ada kewajiban Pemohon Banding memotong PPh pasal 21 dari para pegawainya;

bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp689.880.840,00 tidak dapat dipertahankan sehingga harus dibatalkan;

2. Sengketa Tarif PPh Pasal 21

(3)

Menurut Terbanding : Perhitungan tarif PPh Pasal 21 menggunakan ketentuan KK PTFI yang memberlakukan Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan ("Pajak Penghasilan Tahun 1984"), terhadap penghasilan Pegawai dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif dan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak sampai dengan Rp 10.000.000,- (sepuluh juta

rupiah)

15% (lima belas persen) di atas Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)

sampai dengan Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

25% (dua puluh lima persen)

di atas Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

35% (tiga puluh lima persen) Penghasilan Tidak Kena Pajak Untuk Diri

Pegawai

Rp 1.440.000,- (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah)

Menurut Pemohon Banding : Perhitungan tarif PPh Pasal 21 menggunakan Undang-undang Nomor: 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Pajak Penghasilan Tahun 1984 yang berlaku pada saat pemotongan pada tahun 2007 sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak sampai dengan Rp 25.000.000,- (dua puluh

lima juta rupiah)

5% (lima persen)

di atas Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

10% (sepuluh persen)

di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

25% (dua puluh lima persen)

di atas Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 200.000.000,- (dua ratus juta

rupiah)

30% (tiga puluh persen)

di atas Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)

35% (tiga puluh lima persen) Penghasilan Tidak Kena Pajak Untuk Diri

Pegawai

Rp 13.200.000,- (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah)

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(4)

Menurut Majelis : bahwa yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah koreksi Terbanding atas besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar Rp1.739.380.932,00 yang dihitung berdasarkan pasal-pasal yang terkait dengan penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 menurut Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;

bahwa Pemohon Banding telah memotong PPh Pasal 21 berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor: 17 Tahun 2000, sedangkan menurut Terbanding seharusnya PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;

bahwa berdasarkan Pasal 33(A) ayat (4) Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dinyatakan :

“ Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud”;

Penjelasan:

“ Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang- Undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut.

Walaupun Undang-Undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tetap dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud;.

Dengan demikian, ketentuan Undang-Undang ini baru diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditandatangani setelah berlakunya Undang-Undang ini”;

bahwa Majelis berpendapat, ketentuan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa pajak atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, tetap dihitung berdasarkan kontrak atau perjanjian dimaksud;

bahwa berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dinyatakan bahwa “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”;

bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal;

bahwa berdasarkan Pasal 1338 dan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata aquo Majelis berpendapat perjanjian/kontrak hanya mengikat bagi para pihak yang menandatangani/membuat perjanjian/kontrak, dan tidak mengikat bagi pihak ketiga yang tidak ikut menandatangani/membuat perjanjian/kontrak dimaksud;

bahwa PPh Pasal 21 merupakan pajak penghasilan pihak ke tiga (termasuk para pegawai) yang tidak terikat dengan kontrak karya, dan Pemohon Banding hanya berkewajiban untuk memungut PPh Pasal 21 dan menyetorkan ke Kas Negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 angka 4 ayat (i) Kontrak Karya;

bahwa para pegawai atau para pihak ke tiga lainnya merupakan Wajib Pajak, yang dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya harus tunduk pada Undang- undang perpajakan yang berlaku pada saat menerima penghasilan yang dibayarkan oleh Pemohon Banding, dalam hal ini Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor: 17 Tahun 2000;

bahwa berdasarkan uraian tersebut, Majelis berpendapat bahwa PPh pasal 21 yang dipungut oleh Pemohon Banding berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undangundang Nomor: 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, adalah sudah tepat;

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(5)

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai kredit pajak;

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;

Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf b Undangundang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding, dan menghitung kembali PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d Desember 2007 terutang menjadi sebagai berikut : Dasar Pengenaan Pajak cfm

Terbanding

Koreksi yang tidak dapat dipertahankan

Dasar Pengenaan Pajak cfm Majelis

Pajak Terhutang cfm keputusan Terbanding

Koreksi Pajak Terutang yang tidak dapat dipertahankan

Pajak Terhutang cfm Majelis Kredit Pajak

PPh yang kurang dibayar

Sanksi Pasal 13 ayat (2) UU KUP Jumlah yang masih harus dibayar

Rp. 12.432.603.408,- Rp. 689.880.840,- Rp. 11.742.722.568,- Rp. 5.023.912.778,- Rp. 1.747.892.432,- Rp. 3.276.020.346,- Rp. 3.276.020.346,- Rp. 0,- Rp. 0,- Rp. 0,-

Mengingat : Undang.undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang.undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;

Memutuskan : Mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-1265/WPJ.19/2013 tanggal 25 September 2013 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Masa Pajak Januari - Desember 2007 Nomor : 00004/201/07/091/12 tanggal 02 Juli 2012, atas nama : PT. XXX, sehingga perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Masa Pajak Januari - Desember 2007 yang masih harus dibayar menjadi sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak Pajak Terhutang Kredit Pajak PPh yang kurang dibayar Sanksi Pasal 13 ayat (2) UU KUP

Jumlah yang masih harus dibayar

Rp. 11.742.722.568,- Rp. 3.276.020.346,- Rp. 3.276.020.346,- Rp. 0,- Rp. 0,- Rp. 0,-

Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Rabu tanggal 7 Januari 2015, oleh Hakim Majelis I Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

ABC DEF GHI JKL

sebagai Hakim Ketua, sebagai Hakim Anggota, sebagai Hakim Anggota, sebagai Panitera Pengganti,

Dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Rabu tanggal 28 Januari 2015 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Terbanding maupun oleh Pemohon Banding.

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.24384/PP/M.IV/16/2010 tanggal 30 Juni 2010 tersebut

bahwa dari penelitian Majelis, Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang menurut Pemohon Banding sebesar Rp971.116.894,00 adalah berasal dari setoran masa sebesar Rp927.545.922,00

Faktor ini terdiri atas faktor-faktor yang menggambarkan karakteristik individu. 1) Pertama, tingkat sensation seeking yang tinggi, individu yang memiliki tingkat sensation

Menurut Terbanding: bahwa kesimpulan Terbanding, jenis barang yang diberitahukan sebagai 5 jenis Hot Rolled H Beam yang diberitahukan dengan PIB Nomor: 037851

Menurut Terbanding : bahwa dari pemeriksaan data-data yang ada disimpulkan harga yang diberitahukan dalam PIB Nomor: 130119 tanggal 26 Mei 2009 tidak dapat diyakini

2 Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.39906/ PP/M.XI/25/2012 tanggal 30 Agustus 2012,

bahwa dengan melihat fakta data seperti tersebut di atas biarpun Majelis berpendapat bahwa 2 (dua) atau lebih metode analisa kesebandingan (CUP dan TNMM) dapat dilaksanakan

Kendala internal yang dialami selama massa pra produksi selama observasi yang penulis lakukan adalah tidak pernah adanya meeting pada saat pra produksi, berbeda dengan